Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

18 January, 2007

IQ Anak Bisa Ditingkatkan Dengan Cara Bermain Saja

Assalamu’alaikum wr.wb. Sekali lagi terbukti pentingnya bermain di masa kecil seorang anak. Sebuah laporan yang terbit di Jurnal Medis Lancet menjelaskan nasib anak2 yang kurang gizi di Bangladesh. Pemberian mainan kepada anak-anak prasekolah untuk dimainkan akan meningkatkan perkembangan mental mereka, bahkan jika mereka menderita kekurangan gizi. Seperti kita tahu, salah satu hal utama dalam membentuk IQ yang tinggi adalah makanan bergizi. Tetapi di tengah kalangan anak miskin yang sangat kurang gizi, IQ masih terbukti meningkat hanya dengan cara bermain di masa prasekolah.

"Kami telah melaksanakan program bermain di Bangladesh di mana anak-anak sangat kekurangan gizi, dan kami telah menghasilkan peningkatan hingga 9 poin dalam IQ anak-anak ini, hanya dengan cara bermain," kata penulis Sally McGregor dari Institut Kesehatan Anak di University College London. Anak di dalam studi ini dipantau terus sampai umur 18 dan ternyata IQ-nya lebih tinggi, kemampuan membaca lebih baik, lebih jarang putus sekolah, kesehatan mental lebih baik, tingkat depresinya lebih rendah (dibandingkan anak lain), mereka tidak merasa waswas, dan rasa percaya diri (self esteem) lebih tinggi.

Ini hasilnya untuk anak yang sangat miskin, yang biasanya tidak memiliki mainan, kena banyak stres dalam kehidupan sehari-hari, dan gizinya sangat rendah. Bagaimana dengan anak kita di tengah kota yang gizinya tinggi, dan mainannya banyak? Insya Allah studi ini membuktikan bahwa tingkat IQ semua anak bisa dikembangkan hanya dengan bermain. Kalau anda punya anak kecil, coba utamakan mainan yang berkualitas untuk mereka. Semua mainan bermanfaat, tetapi mainan yang memicu daya pikir lebih baik. Contoh bagus adalah Lego. Tapi mobil-mobilan, balok, boneka, dll. juga bermanfaat. Yang penting bisa dipakai anak sebanyak mungkin setiap hari.

Jadi kalau anda diajak ikut dalam acara bagikan sembako kepada orang miskin di, maka coba mengusulkan agar sekaligus membagikan mainan anak, karena makanan hanya akan isi perut mereka untuk sesaat saja, tetapi mainan anak terbukti bisa meningkatkan IQ-nya dan mengubah masa depan menjadi lebih berkualitas, insya Allah. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Boosting Intelligence Among Poor Is Child's Play
https://www.reuters.com



01 January, 2007

Renungan Bulan Dan Matahari

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Dengan datangnya Idul Adha di Indonesia, ada sekelompok orang yang bersikeras bahwa kita seharusnya mengikuti ketentuan hari itu dari pemerintah Arab Saudi.

Setelah saya renungkan, saya mulai berfikir tentang alasannya kenapa mereka mau mengikuti pemerintah negara yang lain. Mereka menyatakan, kalau sudah masuk hari Idul Adha di Saudi, maka kita harus mengikuti negara Saudi. Hilal yang belum muncul di Indonesia sudah kelihatan di Saudi empat jam kemudian.

Apakah kita mau mengikuti petunjuk Nabi (saw.) dan menetapkan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah?

"Jika kalian telah memasuki hari raya, tanggal 10 Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya."

(HR. Muslim)

Karena Nabi (saw.) juga sangat jelas bahwa bulan yang menjadi patokan buat kita dan bukan pemerintah di negara yang lain.

“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah (saw.) menjelaskan Ramadhan, maka beliau bersabda: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kalau sudah jelas bahwa ketentuan dari Nabi (saw.) untuk Hari Idul Adha adalah melihat hilal untuk menetapkan awal dari bulan Dzulhijjah, maka jelas pula (atas sepakat ulama dan pemerintah) bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di Indonesia pada tahun 2006 jatuh pada hari Minggu 31 Desember.

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.”

(QS. Al-Baqarah: 189)

Melakukan sholat dan berkurban pada hari Sabtu tanggal 29 Desember, dan bukan hari Minggu, adalah penyimpangan dari contoh Nabi (saw.) karena Nabi (saw.) tidak melakukan sholat dan kurban pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Kalau ada kaum di Indonesia yang menyatakan bahwa hilal sudah kelihatan di Arab Saudi, dan dengan demikian kita wajib mengikuti mereka, maka saya ingin bertanya kenapa kaum itu pelit sekali dan hanya mengikuti peredaran bulan dari pandangan Saudi? Kenapa tidak pula mengikuti peredaran matahari dari pandangan negara Arab Saudi?

Bulan dan matahari sama-sama ciptaan Allah. Kalau bulan hanya mau dipandang dari posisi Arab Saudi di permukaan bumi maka kita bisa berpuasa dan berkurban tanpa harus melihat hilal di Indonesia.

Kenapa tidak juga mengikuti waktu sholat wajib dari posisi matahari sesuai dengan pandangan negara Arab Saudi? Kalau waktu Subuh di Indonesia adalah jam 4 pagi, maka di Saudi masih jam 12 malam. Supaya waktu sholat kaum ini menjadi benar, seharusnya ditambah 4 jam di Indonesia menjadi jam 8 pagi WIB. Kalau orang itu ditanya kenapa dia melakukan sholat Subuh pada jam 8 pagi, maka dia cukup menjawab “Saya mengikuti hitungan matahari dari posisi negara Arab Saudi. Walaupun matahari sudah tinggi di sini, di Arab Saudi baru terbit, jadi itulah yang paling benar.”

Untuk kaum ini di Indonesia, Sholat Subuh seharusnya dilaksanakan pada jam 8 pagi, Sholat Dzuhur pada jam 4 sore, dan Sholat Maghrib pada jam 10 malam.

Barangkali itulah yang paling benar: menentukan hari dan jam dari peredaran bulan dan matahari yang kelihatan di Arab Saudi dan bukan di Indonesia.

Kalau ikuti bulan dari pandangan mereka, tanggal 10 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu 30 Desember, dan bukan hari Minggu. Dan sekaligus kalau iktui matahari dari ketentuan Arab Saudi, maka sholat Idul Adha sebaiknya dikerjakan pada jam 11 pagi WIB karena Subuh baru mulai pada jam 8 WIB.

Lalu bagaimana dengan puasa Hari Arafah?

Dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi (saw.) shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".

(HR. Muslim)

Yang jelas di sini adalah anjuran untuk berpuasa pada Hari Arafah (wukuf) dan bukan anjuran untuk berpuasa pada tangal 9 Dzulhijjah. Apa bedanya? Wukuf di Arafah hanya bisa terjadi di satu lokasi dan pada satu hari. Sedangkan tanggal 9 Dzulhijjah bisa terjadi di setiap negara dan pada tanggal (sekular) yang berbeda.

Bayangkan 200 tahun yang lalu – 1806 AD. Orang Indonesia tidak memiliki telfon untuk mengetahui ketentuan tanggal dari Arab Saudi. Jadi, yang wajar adalah mereka mencari hilal di sini dan menentukan tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah (yang misalnya, jatuh pada tanggal 30 dan 31 Desember, tahun 1806). Mereka perkirakan bahwa wukuf sedang terjadi pada tanggal 30 Desember karena sama dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Kalau seandainya mereka salah, dan wukuf sudah terjadi di Saudi pada tanggal 29 Desember, maka sama sekali tidak munkgin untuk orang Indonesia mengetahui hal itu. Mereka perkirakan tanggal 30 Desember dan mereka sebenarnya salah, tetapi tidak dengan sengaja. Insya Allah sebuah kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja akan dimaafkan Allah dan pahalanya akan tetap.

Zaman sekarang, kita bisa mengetahui dengan pasti kapan terjadinya wukuf di Arafah. Cukup kita telfon saja. Kita tidak perlu perkirakan lagi. Dan ternyata Hari Arafah jatuh pada Jumat tanggal 29 Desember, jadi kita disuruh Nabi (saw.) berpuasa pada hari itulah.

Tetapi Nabi (saw.) juga menyuruh kita berkurban pada tangal 10 Dzulhijjah, dan bukan pada “hari apa saja yang datang sesudah Hari Arafah”.

Jadi, secara logika, kita mengikuti Nabi (saw.) dengan berpuasa pada Hari Arafah (yang sekarang ketahuan dengan pasti jatuh pada tanggal 29 Desember) dan kita juga mengikuti Nabi (saw.) dengan berkurban pada tanggal 10 Dzulhijjah (yang jatuh pada tanggal 31 Desember di sini). Kenyataan bahwa ada satu hari kosong di antara hari ini disebabkan hari Arafah hanya bisa terjadi di Arab Saudi, sedangkan tanggal 10 Dzulhijjah terlepas dari Hari Arafah dan bisa terjadi di manca negara.

Kalau seandainya Allah menghendaki kita melihat hilal pada hari yang sama dengan Arab Saudi maka sesungguhnya itulah yang akan terwujud. Allah menghendaki yang lain. Kenapa kita berpecah-belah dan tidak menuruti ketentuan dari Nabi dengan lapang dada?

29. Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; (1) tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

31. dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,

32. yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka (2) dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

(Surah Ar Rum QS: 30.29-32)

Wallahu a’lam bish-shawab

Semoga bermanfaat sebagai renungan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

Bacaan lain:

Dari Republika: Depag Sesalkan Ada Idul Adha Ganda

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=277191&kat_id=23

Jumat, 29 Desember 2006 22:32:00


Pada zaman Nabi (saw.) Muhammad, ujarnya, pernah terjadi perbedaan Idul Fitri antara Mekkah dan Madinah di mana Mekkah lebih dulu merayakannya sedangkan Madinah belakangan, padahal jarak antara kedua kota itu hanya 480 km dan 15 menit waktu penerbangan.
"Apa lagi antara Indonesia dan Arab Saudi yang jaraknya ribuan kilometer dengan jarak (perbedaan) waktu sampai empat jam. Tentu saja perbedaan waktu adalah hal yang wajar, kita lebih dulu menemukan matahari, sementara Saudi lebih dulu bertemu bulan. Jadi malahan salah kalau waktu Idul Adhanya sama," katanya.

Fatwa-fatwa Seputar Berhari Raya Dengan Pemerintah

http://forsitek.brawijaya.ac.id/index.php?do=detail&cat=fatwa&id=ftw-hariraya

Renungan Bulan

Sebatas komentar atas penentuan tanggal penting

Assalamu'alaikum wr.wb.,

Mungkin sudah saatnya untuk meledakkan bulan dengan rudel nuklir.

Begitu banyak orang Islam sudah tidak memerlukannya lagi karena sudah memiliki sistim perhitungan untuk mementukan awal dan akhir bulan Islam. Orang yang memilih untuk diam saja (tidak bertengkar) dan bersabar untuk melakukan rukyat sesuai dengan contoh Nabi (saw.) malah sering dihujat dan dibilang ketinggalan zaman.

Banyak orang yang bertengkar dan berbeda pendapat sekarang bukan karena melihat atau tidak melihat hilal, tapi karena mempunyai system perhitungan yang berbeda.

Jadi, kenapa tidak diledakkan saja bulan? Terlalu banyak orang sudah cuek pada bulan dan hilalnya yang bisa dilihat dengan mata telanjang/teropong.

Banyak dari ummat Islam sekarang berpendapat seakan-akan kita semua tinggal di bawah tanah, dengan arti tidak mungkin naik ke permukaan bumi untuk melihat hilal dengan mata (kaya komunitas manusia di film Matrix yang tinggal di gua-gua di pusat bumi).

Ledakkan saja bulan kita karena banyak dari ummat Islam tidak membutuhkannya lagi.

Kita sudah cukup dengan system perhitungan, supaya kita bisa saling ribut pada minggu-minggu sebelum tanggal mulia tersebut.

Barangkali Nabi (saw.) dan para sahabat tidak bisa berhitung sampai 31, dan oleh karena itu mereka harus berkiblat ke mata. Sedangkan ummat Islam sekarang bisa berhitung sampai 31 dan juga lebih, jadi mata tidak diperlukan lagi untuk melihat hilal

Barangkali mata kita juga bisa dibuang setelah bulan diledakkan!

Wassalamu'alaikum wr.wb.,

Gene Netto

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...