Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

16 February, 2007

Balasan Email Tentang Sekolah 2

Assalamu’alaikum wr.wb.,

{deleted}

{>>Kalau gaji guru rendah, kualitas guru juga bakalan rendah. Guru asing mungkin ditampilkan sewaktu-waktu saja supaya orang tua mau bayar mahal.}

Saya kurang faham, mengapa gaji guru bisa rendah ya Pak? Bukankah kami orang tua membayar mahal? Apa karena sekolah didirikan berorientasi profit itu ya Pak?

Sebenarnya bagaimana di luar negeri? Yang namanya menjalankan bisnis, tentunya harus ada profit.. Kalau tidak, bagaimana bisa berjalan?

Ya, karena hampir semua sekolah ini mengejar profit. Orang tua bayar mahal dan anggota yayasan mengucapkan terimakasih, dan beli Mercedes baru. Di Australia, gaji guru di sekolah swasta sangat tinggi. Dan ada saingan besar untuk masuk karena gaji, fasilitas dan benefit lain untuk guru sangat banyak. Di sekolah negeri pun tidak terlalu buruk, dan gaji guru tetap bagus. Guru dihitung sebagai professional, sama dengan dokter, pengacara dsb.

Lembaganya bukan Lembaga itu, Pak Gene, tetapi (*nama lembaga dihapus atas permintaan pengirim*) Saya lupa persisnya.. Kalau nggak salah dia ada latar belakang linguistik, tetapi saya lupa juga persisnya.. Sebenarnya yang saya sasar adalah anak saya berinteraksi langsung dengan native speaker.. Apa tetap penting bahwa native speaker tersebut seorang guru ya Pak?

Ilmu linguistic dan ilmu pendidikan berbeda. Ahli lingistik belajar bahasa dan bagaimana bahasa itu terbentuk dan berkembang, dsb. Guru bahasa belajar bagaimana caranya mengajarkan bahasa asing kepada anak kecil dengan hasil yang baik.

Anak kecil (dan orang dewasa yang awam) TIDAK membutuhkan native speaker. Ini hanya trik marketing sekolah supaya mereka bisa pasang biaya yang tinggi (“Kita ada bule, lho! Kita sekolah bilingual!”) Bukannya tidak boleh, hanya saja tidak dibutuhkan. Kalau anak/dewasa belum sampai ke tahap yang mahir, native speaker untuk bahasa apa pun tidak perlu. Cukup guru lokal dengan bahasa Inggris yang cukup bagus (dan ada banyak guru seperti itu).

Coba berfikir begini: ada sekolah minta biaya tinggi dan menyatakan “Guru Iqro kita Dr.Quraisy Shihab. Dia mengajar Iqra 1 di TK!” Apakah kira kira anak Iqra 1 membutuhkan Quraisy Shihab? Apakah anak SMA pun bisa mengikuti dan memahami ilmu tafsir Pak Quraisy? Kalau sekolah memang mendapat seorang ahli untuk mengajar anak, rata-rata bukan karena perlu tetapi supaya sekolah bisa bergengsi dan pamer, dan supaya mereka menuntut biaya yang tinggi.

Hasil tes IQ (entah ini valid atau tidak) memang menunjukkan bahwa anak saya memiliki kecerdasarn di atas rata-rata. Saya diskusi dengan gurunya di (Sekolah), menurut gurunya sepertinya anak saya memang sangat cerdas, terutama untuk Matematika dan Sains..

Kecerdasan di atas rata2 pada umur 5 tahun tidak begitu menunjukkan apa apa. Dan tidak berarti dia bisa bertahan kalau umurnya 10 tahun dan dia telah diejek selama 4 tahun karena berbadan kecil. Dampak psikologis masa depan tidak bisa ditentukan.

Dia bisa masuk SD sekarang dan menjadi anak biasa, atau bisa masuk SD tahun depan dan menjadi anak paling pintar di kelas. Bagusan yang mana?

Dan sejauh ini dia bisa bergaul dengan baik dengan teman-temannya, meskipun secara fisik dia lebih kecil.. Ada juga teman2nya yang seumur dia (sama-sama masuk SD lebih cepat). Dia tipenya senang memimpin, suka mengatur, perfeksionis.. Mudah-mudahan sikap2 ini bisa membantu dia survive..

Sikap keras anak terhadap anak lain yang umur lebih mudah hanya muncul pada umur sekitar 8-12 tahun. Untuk anak anda pada saat ini, umur belum mengganggu. Di sekolah, semua orang dianggap teman main. Nanti pada umur 9 tahun, teman yang berumur 10 tahun itu bisa berubah sikapnya.

Untuk PR, memang di (Sekolah ***) tidak ada PR. Tapi tes.. Ya, benar, ini kadang-kadang membuat dia sedikit tertekan..

Baru umur 6 tahun, sudah tertekan di sekolah. Apalagi nanti di SMP dan SMA.

Kasihan.

Ada titipan pertanyaan dari teman-teman..

Bagaimana dengan sekolah swasta non Islam [Nama sekolah dihapus], dll?

Apakah sistem pendidikan di sana cukup baik?

Menurut saya, tidak. Kedua sekolah swasta ini punya masalah yang sama dengan sekolah swasta yang lain. Saya sempat kerja di sekolah pertama selama 7 bulan dan di sekolah kedua selama 3 bulan.

Cerita di artikel pertama saya tentang sekolah di mana guru yang menyusun program bahasa Inggris tetapi dia adalah mantan DJ dari Inggris, itu dari sekolah kedua. Dan “program” bahasa Inggris yang mereka gunakan (bernama “Spalding”) diciptakan di Amerika mulai pada tahun 1950an. Program ini hanya sebuah program “phonics” yang sekarang sudah tua dan bukan sebuah program untuk membentuk kelas bilingual. Program ini terlalu terfokus pada memaksakan anak menulis dengan rapi, padahal seharusnya hal itu tidak menjadi fokus di kelas bahasa. Program ini juga sangat terfokus pada guru dan bukan “student-centered”. Pada saat saya menyaksikan pelaksanaannya, saya menjadi heran bahwa anak2 yang belum bisa menulis di dalam bahasa Indonesia, justru dipaksakan untuk belajar menulis di dalam bahasa Inggris. Tentu saja hal ini membingungkan karena ucapan “Ca” di dalam bahasa Inggris berbeda dengan “Ca” di dalam bahasa Indonesia. Kenapa anak2 tidak diajar untuk menulis dulu di dalam bahasa yang sudah mereka pahami (Indonesia), dan sesudahnya akan menjadi mudah mengajarkan mereka menulis dengan ejaan bahasa asing, karena mereka sudah bisa menulis.

Di kelas2 yang saya saksikan, anak2 dipaksakan mempelajari dua hal yang sangat rumit pada saat yang sama: belajar menulis, dan belajar bahasa Inggris (pada saat menulis). Bukannya ini mempersulit tugas mereka?

Di sekolah kedua saya diminta langsung mengajar di kelas padahal kurikulum untuk kelas bilingual tidak ada. Saya tidak menemukan pengurus sekolah satupun yang mengerti sistem bilingual seharusnya seperti apa. Sikap mereka sepertinya: bule masuk kelas = anak menjadi bilingual. Padahal sama sekali tidak semudah itu. Kalau memang semudah itu, waktu saya sia-sia mempelajari pendidikan bahasa selama 15 tahun. Cukup ada Native masuk kelas, problem selesai. Masa begitu?

Di sekolah pertama, managemen sekolah termasuk yang paling buruk yang pernah saya temukan. Saya dinyatakan “tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah. Dia ikut mengatur segala sesuatu di dalam sekolah dan hal itu membuat guru pusing dan sulit bekerja dengan baik. Saat saya ada di sekolah itu, Executive Principal ganti 2 kali dalam 2 tahun karena tidak ada yang tahan kerja di sana. (Principal kedua sampai masuk rumah sakit karena kena stress!)

Saya sungguh sangat kecewa dengan sebuah sekolah yang dibuat begitu kacau oleh seorang pengusaha yang mengejar profit di atas segala-segala, dan mengatur sekolah sendiri seakan-akan dia memliki gelar PhD di bidang pendidikan, padahal gelar dia MBA (Business).

Pada saat saya kerja di sana, saya pernah membuat tes bahasa Inggris untuk para murid untuk mengukur kemajuannya. Ada seorang ahli kurikulum yang membuat tes Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan (dengan tingkatnya: mudah). Hasil tes adalah: mayoritas dari anak2 di sekolah gagal dengan nilai yang rendah sekali di empat mata pelajaran itu. Saya diberitahu bahwa hasil tes itu dirahasiakan supaya orang tua tidak bisa tahu. Berarti saya tidak ada bukti sama sekali bahwa tes tersebut pernah diberikan kepada anak-anak karena saya tidak mendapatkan hasilnya (saya sudah mengundurkan diri), dan orang tua tentu saja tidak pernah melihatnya. Hanya ada perkatan dari orang itu yang membuat tesnya bahwa anak2 gagal.

Pada saat saya mengusulkan anak2 membuat “mural” (lukisan besar yang mengisi tembok) yang sering sekali ada di sekolah di manca negara, sikap managemen sekolah adalah: jangan, nanti tembok bisa rusak. Setahu saya cet tembok tidak bisa merusak tembok (??). Lalu pemilik sekolah mendapat seorang pelukis/seniman untuk membuat lukisan besar dengan harga mahal sekali. Lukisan itu masih tergantung di lobi sekolah. Kesenian dari anak tidak perlu, lebih baik ada lukisan professional yang membuat pemilik sekolah merasa bangga dan bergensi. Justru di luar negeri, “mural” itu dibuat oleh anak2 supaya mereka ada rasa “kepemilikan” di sekolah. Tetapi di sekolah itu, anak2 diberi rasa “bertamu” di sekolah milik seorang pengusaha. (Jangan menyentuh luksian mahal ini ya!)

Satu contoh lagi: pada saat Hari Olahraga, pemilik sekolah memberitahu guru bahwa anak2 tidak boleh kalah: semua harus menang dan mendapat piagam. Guru berprotes karena ini tidak duniawi. Anak harus belajar untuk menerima kekalahan dengan lapang dada. Dan tempat yang benar untuk belajar hal itu adalah di sekolah. (Untuk anak TK boleh kalau semua menang untuk menjaga perasaan mereka. Untuk anak SD sudah tidak cocok lagi.) Lomba lari diadakan. Semua dinyatakan menang sebelum ikut lomba. Ternyata anak2 tidak begitu semangat lari karena apapun yang terjadi, mereka semua dinyatakan menang.

Setelah selesai, ada seorang ibu datang:

“Anak saya lupa daftar untuk lomba lari. Ulangi lagi dong”

“Tidak bisa Bu, sudah selesai,” kata guru.

“Awas, pemilik sekolah teman saya! Saya telfon dia ya!”

“Telfon saja.”

Dia telfon, dan pemilik sekolah datang dan menyuruh guru mengulangi lomba lari untuk anak temannya itu. (Seharusnya pemilik sekolah membela guru yang benar, bukan teman gaulnya). Anak2 yang lain dibujuk untuk lari lagi dan mereka berprotes “Buat apa??” Diadakan lagi lomba lari, dan anak baru itu dinyatakan “menang” sama dengan semua anak yang lain, yang sekarang sudah jenuh.

Untuk urusan lomba lari saja, pemilik sekolah yang tidak mengerti pendidikan ikut campur dan memaksa semua orang menuruti kehendak dia.

Apalagi di dalam urusan pendidikan!!

Selama 7 bulan di sekolah itu, hampir setiap minggu ada kasus yang membuat saya gelengkan kepala. Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat berhati-hati kalau ingin memasukkan anaknya ke sana. Saya sangat kuatir terhadap masa depan anak yang menjadi lulusan sekolah itu. Kalau orang tua merasa yakin dengan sistem sekolah dan komentar dari pengusaha yang menjadi pemilik sekolah, silahkan saja. Saya sebagai seorang guru tidak pernah ingin sekolahkan anak saya di sana.

Apakah lebih baik menyekolahkan anak ke sekolah swasta non Islam?

Sebenarnya pertimbangan saya, mengingat pergaulan sekarang sangat jauh dari nilai-nilai Islam, lebih baik anak-anak sekolah di sekolah Islam sehingga mereka mantap dengan nilai-nilai Islam, aspek pendidikan lain Insya Allah juga tidak terlalu buruk..

Setuju.

Akan tetapi jika aspek pendidikan keilmuannya justru yang penting, apa malah sebaiknya nilai-nilai Islam dicoba ditanamkan di rumah saja?

Sekolah Islam saja. Masih ada sebagian (besar/kecil?) dari guru di sekolah Islam yang sangat bagus, cuma orang tua harus waspada saja terhadap managemen sekolah.

Jika saya tetap menyekolahkan anak saya di [Sekolah Islam ***] (terlepas dari masalah dia terlalu cepat masuk SD), hal-hal apa yang harus saya lakukan untuk "mengisi kekurangan" akibat ketidaksempurnaan sistem pendidikan di [Sekolah Islam ***]?

Memantau saja dan mengulangi sebagian pelajaran di rumah untuk memastikan anak benar-benar paham. Tetapi jangan terlalu banyak karena nanti anak menjadi jenuh.

Demikian pertanyaan lanjutan dari saya Pak Gene..

Semoga Bapak masih bersedia menjawab.. :-)

Masih.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr wb.,

Gene



2 comments:

  1. Dear High/Scope Parents,

    Email ini kami tulis sehubungan dengan kutipan dari blog Gene Netto
    tentang High/Scope yang beredar di mailing list SHIPA yang kemudian kami
    lengkapi data tersebut dengan melihat langsung diblognya.

    Gene Netto pernah bekerja sebagai English Subject Coordinator di Sekolah
    High/Scope Indonesia – TB. Simatupang, sejak Maret 2003 sampai dengan
    September 2003. Namun karena tidak perform dan bermasalah maka yang
    bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003.

    Berdasarkan data-data kami, pengunduran diri dilakukan setelah yang
    bersangkutan menerima warning letter (surat peringatan), tegoran, dan
    catatan khusus sehubungan dengan performance, kemampuan teknis dan tingkah
    laku (attitute) dan ketidakmampuan dari yang bersangkutan untuk mengikuti
    standard kerja di tempat kami. Selain itu juga, hasil performance
    evaluation after probation period yang bersangkutan tidak memuaskan. Oleh
    karena itu kami tidak terlalu kaget ketika membaca tulisan diblog tersebut
    yang tidak proporsional.

    Bagi orang tua High/Scope yang ingin memastikan kebenaran informasi
    tersebut diatas dapat melihat dokumen lengkap dan tertulis pada HRD kami.

    Untuk memberikan pemahaman yang lebih proporsional, dengan ini kami ingin
    memberikan tanggapan secara singkat tentang tulisan tersebut sebagai
    berikut:

    Penilaian yang bersangkutan tentang sekolah High/Scope Indonesia selama 7
    bulan adalah sebagai berikut:

    • Saya dinyatakan „tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah:
    dengan acuan sederhana seperti yang telah disebutkan di atas antara lain
    tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar,
    warning letter, dll. dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang
    bersangkutan memang tidak mengerti pendidikan dan menjadi pendidik yang
    baik. Selama 7 bulan bekerja di tempat kami, Gene Netto tidak memberikan
    output yang sesuai dengan perjanjian.

    • Executive Principal ganti 2x dalam 2 tahun: kami tentu menyayangkan hal
    ini terjadi di sekolah kami. Saat itu kami langsung mengevaluasi apakah
    memang standardnya terlalu tinggi atau kualifikasinya yang kurang pas.
    Hasil dari evaluasi tersebut, kami memutuskan untuk mengubah strategi
    organisasi dengan meniadakan Executive principal. Sejak September 2004
    sampai saat ini, keputusan tersebut telah berjalan dengan baik


    • Tentang uang pangkal Rp. 40 Juta adalah non refundable, dan seterusnya:
    Ini adalah informasi yang salah total, orang tua tersebut belum pernah
    membayar uang enrollment apalagi disuruh membayar uang pangkal lagi.
    Kami maklum karena Gene Netto tidak teliti dan akurat sebagai penulis
    karena dasarnya hanya pemberitahuan orang.

    • Tentang tes Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu
    Pengetahuan: Adalah benar adakalanya memang sekolah melakukan assessment
    khusus untuk memperoleh feedback tentang seberapa jauh efektivitas suatu
    pengajaran. Hasilnya pasti ada yang baik dan kurang baik. Justru atas
    dasar tersebut lalu sekolah melakukan analisa untuk peningkatan dan
    penyempurnaan program-programnya. Sama seperti statement sebelumnya, di
    sini yang bersangkutan hanya mendasarkan „katanya” dan tidak ada bukti
    karena yang bersangkutan sudah mengundurkan diri.

    • Tentang mural anak-anak yang diganti dengan lukisan besar.
    Memang benar kami memajang lukisan sebesar 4m x 2m di lobby Gedung I yang
    dibuat oleh Erica, yang dikenal sebagai ”art’s most playful child” di
    Indonesia karena memang proporsional dan edukatif untuk murid-murid kami.
    Namun yang pasti anak-anak masih punya space yang cukup besar (luas
    sekolah ± 10.000m2) untuk memajang artworknya (lihat di sekolah kami)
    dibanding lukisan yang besarnya hanya 8 m2 tersebut. Jadi tidak benar anak
    High/Scope seperti bertamu di sekolanya.

    • Tentang cuti hamil guru. Benar bahwa ada guru yang masuk untuk membantu
    membuat laporan hasil belajar, namun tidak benar bahwa guru tersebut tidak
    dijinkan melanjutkan cutinya setelah selesai pembuatan laporan tersebut.
    Untuk diketahui bahwa sekolah kami selalu mengikuti aturan Undang-undang
    Tenaga Kerja dan sampai saat ini tidak ada masalah.

    • Saat hari olah raga, anak-anak tidak boleh kalah, semua harus menang dan
    mendapat piagam. Di SHI ada event sports day yang kegiatannya adalah
    perlombaan berbagai permainan sport. Dalam kegiatan tsb. Kami lebih
    menitikberatkan kepada aspek sportivitas, partisipasi, dan team building,
    sehingga pada akhir lomba kami memberikan penghargaan kepada semua anak
    atas usaha dan kerja kerasnya dengan cara memberi sertifikat/piagam kepada
    semua peserta; sedangkan untuk pemenang diberikan medali. Jadi semua
    mendapatkan penghargaan, dan ini bisa disalahartikan sebagai „anak-anak
    tidak boleh kalah” bagi mereka yang tidak mengerti konsep tsb. Kami
    sayangkan bisa terjadi salah pengertian.

    • Statement Gene Netto: Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat
    berhati-hati menyekolahkan anaknya kesana.
    Dalam kenyataannya Gene Netto tidak hanya menyarankan tapi sudah
    melaksanakan, terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat” kami menerima
    telepon dari orang tua murid bahwa mereka diprovokasi oleh yang
    bersangkutan supaya keluar dari sekolah kami. Untuk kesekian kalinya
    Gene Netto membuktikan attitudenya yang sangat tidak pantas ditiru oleh
    siapapun, apalagi sebagai seorang yang mengaku sebagai pendidik.

    Ada pepatah yang menyatakan: kuman diseberang lautan tampak, gajah
    dipelupuk mata tidak tampak, mungkin inilah yang tepat dianalogikan dengan
    artikel yang ditulis oleh Gene Netto ini.

    Penilaian-penilaian yang dilakukan oleh Gene Netto terhadap High/Scope
    maupun sekolah lainnya atas dasar “katanya” dan observasi singkat
    sangatlah tidak relevan karena pendidikan adalah proses jangka panjang dan
    tidak dapat dinilai sesaat.

    Apa yang kami kemukakan disini terhadap Gene Netto berdasarkan kejadian
    ditahun 2003 yang lalu, seperti kejadian dan contoh kejadian di High/Scope
    yang dibuat oleh yang bersangkutan dalam artikel ini. Sehingga oleh karena
    itu bisa saja yang terjadi saat ini, pada masa 4 tahun yang akan datang,
    asumsinya sudah tidak valid.

    Untuk kami, “tidak ada gading yang tidak retak” kami memang sadar untuk
    menjadi sekolah yang sempurna dan/atau ideal tidak mudah, perlu waktu dan
    perjuangan, namun kami sadar bahwa kami setiap hari harus lebih baik.
    Hari ini lebih baik dibanding kemarin.

    Sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas perhatian semua pihak yang
    concern kepada kami dan pendidikan di Indonesia.

    Jakarta, 23 Februari 2007

    Hormat kami,

    Siti Maidatun Naimah
    Public Relation Department
    Sekolah High/Scope Indonesia

    ReplyDelete
  2. Balasan saya terhadap Email Sekolah High Scope ini ada di Links Pendidikan di Blog.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...