Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

22 April, 2007

George Galloway speaking about War in Iraq

The Best Testimony of The 21st Century


British MP George Galloway speaking before the US Senate about the War in Iraq

http://www.youtube.com/watch?v=d9AbVbYAAYk

21 April, 2007

QuikClot: Kapan muncul di indonesia?

Sebuah penemuan baru bernama QuikClot. Bahan ini adalah bahan kimia seperti "Pasir" yang kalau ditumpahkan ke dalam sebuah luka besar yang berdarah, maka terjadi "clotting" (pengentalan darah). Sebagian besar korban yang ditembak atau mengalami luka besar setelah kecelakaan justru wafat di jalan karena pendarahan. Dengan penemuan baru ini, yang secara rutin sudah diberikan kepada polisi di beberapa wilayah di AS, jumlah pasien yang selamat meningkat secara drastis.

Pada saat diujicoba dengan babi, yang saluran darahnya terpotong dengan sengaja, maka jumlah babi yang selamat dari luka tersebut adalah 100%.

Kapan kita bisa mendapatkan ini di Indonesia, ya? Kayanya banyak korban kecelakaan di sini pasti wafat sebelum sampai ke RS terdekat karena macet di jalan dan lamanya menunggu ambulance.

Sachets of sand-like material called QuikClot are carried by every US marine and navy soldier in Iraq and Afghanistan. When poured into a bleeding wound, it accelerates clotting by more than 80%, dramatically increasing the likelihood of survival. Unfortunately a chemical reaction during clotting can heat QuikClot enough to cause serious burns: tolerable in life-or-death situations but less acceptable for civilian use. But a new generation of materials from QuikClot's makers will soon offer even faster, cooler clotting. Make room in your first-aid kit..

Read the full article here: New Scientist

Tenaga Anak Untuk Pompa Air




Kenapa kita tidak bisa mendapatkan ini di Indonesia? Karosel ini digunakan untuk memompa air. Dipakai anak-anak setiap hari, dan setiap putaran memompa air. Berapa banyak desa dan gedung, terutama gedung sekolahan bisa menggunakan teknologi sederhana ini. Dengan menggunakan sistem tersebut, anak menjadi sehat, tagihan listrik berkurang, dan beban terhadap suplai listrik PLN akan menurun. Win-win solution. Kalau ada niat….

A company in South Africa has found a way to harness youthful energy in solving the constant problem of water supply in rural villages.

It uses a playground roundabout to power a water pump. Roundabout Outdoors is now hoping to take the concept to other African countries where water infrastructure languishes behind South Africa.

The play-pump benefits women and girls in particular who can spend hours each day fetching water. "African and Asian women spend up to six hours a day walking to collect water," Roundabout Outdoor's Trevor Field told the BBC's World Today. If we put a play-pump in, if you look at the saving on time alone it's phenomenal, and it does have a massive impact on the health of children and people in general."

Energy

Mr Field describes the device as "basically windmill equipment". "It's a positive displacement water pump, and as the children spin around it transfers their energy into vertical or reciprocal motion, and that pumps water from an underground borehole or well to the surface where it's stored in a tank for future use."

With the children pushing the roundabout around 16 times a minute, the play-pump can produce 1,400 litres of water per hour from a depth of 40 metres. The pump is effective up to a depth of 100 metres. Its manufacturers say a typical hand pump installation cannot compete with this delivery rate.

The play-pumps require an initial investment of 50,000 rand ($9000). Advertising billboards above the pump raise the funds for maintenance. The South African Aids awareness organisation, LoveLife, is currently paying for advertising space.

Roundabout Outdoor has entered a partnership with the South African Department of Water Affairs and Forestry to help it meet commitments to supply water to rural communities.

BBC News



16 April, 2007

Drugs in schools

A total of 81,702 students used illegal drugs in 2006 (Jakarta Post, 11 April). The National Narcotics Agency (BNN) reports that 8,449 of those drug users were elementary school students and those are the ones we know about. With the assumption that those who were detected represent the tip of the iceberg, just how many children in this country are taking illegal drugs?

First, where did they get the money from? I’m assuming that illegal drugs are not that cheap.

Second, where did they get the drugs from? Are drug dealers standing outside schools beside the snack vendors? (“Meatballs, ice cream, ecstasy!”) Are other kids selling the drugs inside the schools? How? Considering the small size of most schools and the large number of students, it’s not as though there are many private places for child drug dealers to hide.

Third, when and where are these children using drugs? At home, a friend’s home, at school or on the street? None of these locations seems like an optimal location for using drugs without being detected.

Fourth, where are the parents and teachers while this wave of “stoned” children is sweeping the nation? How is it possible that so many children had the time, access, money and freedom from observation to take drugs?

Is no one taking care of the children in this country? How about a hotline for children to report suspected drug use in their school? How about random urine testing in schools where there is a suspicion of drug use? Then, appropriate sanctions for those caught using drugs and more severe sanctions for those caught dealing drugs. How can we build a prosperous future when some kids are already getting “stoned” in elementary school and public officials are too concerned with their latest project to care about the future leaders of this nation?

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

(Published in Jakarta Post 16 April, 2007)

14 April, 2007

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!


Dari Milis. Email ini dari 2 tahun yang lalu tetapi masih relevan. Gene.

###


Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!


SUARA PEMBARUAN DAILY Jum’at, 17 Juni 2005

Surat Terbuka kepada Mendiknas:

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke lembaga Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.

Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini “surat terbuka” yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya, apa yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada anak-anak seusianya.

Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan terakhir, kata “sekolah” dan “belajar” baginya telah menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada “Hari Pendidikan Nasional”, misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke sekolah. Alasannya sederhana: “Aku benci sekolah!” Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.

Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya. Kata “telan mentah-mentah” sengaja saya pilih, karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang (masih terus) mengandalkan pada “hafalan mati” - walau pun sudah begitu banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.

Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan “otonomi khusus” masing-masing sekolah. Akan tetapi, pada praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai “ketinggalan” dari sekolah-sekolah “favorit”. Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai “fasilitator” (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya, merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Alhasil, sistem “telan mentah-mentah” kembali merajalela.

Mari! saya beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling tidak harus “menelan” 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa harus “menelan mentah-mentah” setidaknya 15 buku - saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian kenaikan kelas. Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa buku-ajar standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu. Jadi, izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar anak saya.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transporta! si
(manusia dan hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.

Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, “Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?”

Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum “perkelahian pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau mati”, pasal-pasal mana untuk “perkelahian pelajar secara berkelompok”, dan pasal-pasal mana yang dipakai jika “pelajar menyerang guru”!

Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika “pelajar mabuk-mabukan, minum-minuman keras”, atau jika terjadi “pemerasan oleh pelajar”, atau “pencurian di kalangan pelajar”, atau “pelajar membawa senjata api atau senjata tajam”…

Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.

Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan kata “sekolah” dan “belajar” momok yang sangat menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *

Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

Ada Yang Menebak: Revolusi Pendidikan


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Tetapi perlu dipahami juga ada suatu hal yang lain yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat, dan tidak ada hubungan dengan teknologi sama sekali! Apakah ada yang tahu? (Dari Post: Jangan Membatasi Diri + Belum Ada Yang Menebak)

Ternyata hanya sedikit yang ikut menebak. Yang paling pertama mendapat jawaban yang benar adalah Ibu Shamara (di Blog). Dia mengatakan negara2 yang telah maju ini melakukan revolusi pendidikan. Dengan mengadakan wajib sekolah K-12 dalam 100 tahun terakhir di negara barat, banyak sekali yang berubah di masyarakat. Ini bukan alasan satu-satunya kenapa negara2 barat lebih maju, tetapi menjadi salah satu landasan untuk semua keberhasilan yang lain.

Kalau kita periksa sejarah lebih dari 100 tahun yang lalu, seorang anak petani akan ikut menjadi petani, anak tukang jahit menjadi tukang jahit, dan seterusnya. Mayoritas dari masyarakat buta huruf, dan hanya anak orang kaya dan bangsawan bisa mendapat pendidikan. Ada sedikit sekali sekolah swasta (misalnya sekolah Eton yang didirikan pada tahun 1440 AD) dan tidak ada sekolah negeri. Selain dari itu, ada anak orang kaya yang mendapat pelajaran di rumah dengan guru khusus (tutor) yang datang ke rumah setiap hari.

Untuk anaknya orang miskin, yang paling utama adalah mendapatkan pekerjaan supaya bisa makan setiap hari. Tidak kerja = tidak makan. Uang yang dihasilkan bapak dan ibu belum cukup untuk memberi makan kepada anaknya. Lalu setelah terjadi revolusi industri, ada banyak hal yang berubah dalam waktu yang relatif singkat. Dimulai sistem serikat buruh. Gaji karyawan, buruh dan tukang mulai naik. Kesejahateraan anak mulai dipikirkan pemimpin bangsa. Sekolah menjadi wajib. Awalnya, hanya sampai kelas 9-10, atau umur 15-16 tahun, dan hanya anak yang berniat kuliah akan teruskan sekolah sampai Kelas 12. Tetapi secara bertahap, setiap negara mulai wajibkan K-12, dan tentu saja kualitas pendidikan dan kualitas guru meningkat terus.

Dengan demikian, mayoritas dari masyarakat menjadi sanggup membaca dan menulis. Penjualan koran dan buku meningkat. Orang yang lahir dalam keluarga yang miskin ada harapan baru untuk “melebihi” bapaknya dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih baik. Ini merupakan sebuah revolusi pendidikan yang belum pernah terjadi sepanjang masa.

Tingkat “literacy” (sanggup baca tulis) di Selandia Baru, misalnya, mencapai 99% dari masyarakat. Membaca buku menjadi hal yang biasa. Hampir setiap rumah ada koleksi buku buat anak. Di Amerika, jumlah sekolah, perpustakaan umum, universitas dan jumlah pemenang piagam Nobel meningkat terus-terusan di dalam 100 tahun terakhir. Beda dengan Indonesia.

Kenapa revolusi pendidikan membantu negara2 ini maju? Karena orang yang hanya lulus SD (atau putus sekolah sebelum lulus SD) belum mendapat daya pikir yang terbentuk untuk menganalisa, membaca, menulis, berargumentasi, berbeda pendapat dan tetap berteman, bermimpi dan seterusnya. Yang sering saya jumpai di sini adalah orang yang lulus SD, menjadi pembantu rumah tangga atau tukang, dan sikapnya “nrimo” saja. Pasrah. Ini dunia saya. Saya tidak bisa menjadi lebih dari ini. Dan sikap ini ada dulu di dunia barat, lebih dari 100 tahun yang lalu.

Seseorang yang sudah lulus SMA dengan kualitas guru dan pendidikan yang bermutu tentu saja, sangat berbeda pikirannya dengan orang yang hanya lulus SD. Tambahan pendidikan itu membentuk daya pikir yang membantunya dalam semua hal. Untuk bisnis misalnya, pada saat orang lain hanya bisa melihat 1 solusi, anak yang sudah mendapatkan pendidikan yang baik bisa melihat 5 solusi. Hal yang sederhana seperti ini mendorong banyak perubahan di masyarakat di dalam semua bidang.

Semua kemajuan di negara barat bisa dikaitkan dengan peningkatan pendidikan masal di masyarakat. Orang yang sebelumnya bisa “dibohongi” mulai membaca sendiri undang-undang negara dan ingin terlibat dalam pengurusan kotanya atau negaranya. Orang bisa menyebarkan informasi secara tertulis untuk mencapai ratusan ribu orang, tanpa harus ketemu. Sebelumnya, seorang pemimpin harus bertemu langsung dengan rakyat untuk menyampaikan suatu ide. Sekarang, cukup ditulis artikel oleh wartawan dan efeknya sama. Informasi dan ilmu menjadi milik rakyat dan bukan milik kaum elit dan politikus.

Di Indonesia masih ada yang menginginkan seorang Presiden yang hanya lulus SMA. Menyedihkan sekali. Kita seharusnya mencari yang terbaik untuk masa depan bangsa, bukannya mundur ke masa lalu.

Saya dulu menjadi orang pertama di keluarga besar saya yang masuk kuliah di Australia. Sekarang ada beberapa sepupu yang lebih muda yang kuliah juga. Hal itu hanya terjadi karena pemerintah di Australia memberikan subsidi untuk kuliah bagi orang yang tidak sanggup. Kalau saya diwajibkan bayar penuh, saya juga tidak sanggup kuliah. Inilah yang bisa terwujud kalau sekolah diwajibkan dan kuliah dipermudah. Sampai sekarang, niat saya untuk melakukan S2 dan S3 belum tercapai karena saya memikirkan biayanya dan juga waktunya yang harus dihabiskan untuk mendapatkan gelar itu.

Lebih dari 100 tahun yang lalu, anak yang pintar dari keluarga yang miskin tetap tidak bisa sekolah. Sekarang, semua anak diwajibkan bersekolah dan anak pintar yang miskin itu mendapat kesempatan yang hampir setara dengan anaknya orang kaya. Inilah yang perlu kita utamakan untuk masa depan bangsa Indonesia.

Di Indonesia masih ada “penjajahan mental” yang tersisa dari zaman Belanda dan Orde Baru. Bentuk pemikiran ini hanya bisa berubah kalau masyarakat mendapatkan pendikan yang layak dan pendidikan menjadi hak setiap anak bangsa dan bukan orang elit saja.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

04 April, 2007

Belum ada yang menebak...

Belum ada yang menebak apa yang saya bicarakan di sini:

Tetapi perlu dipahami juga ada suatu hal yang lain yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat, dan tidak ada hubungan dengan teknologi sama sekali! Apakah ada yang tahu? Saya dengan sengaja tidak akan memberikan jawaban sampai hari Jumat. Kalau ada yang bisa menebak, saya akan salut pada anda sebagai pemikir yang baik. (Traktir kopi juga boleh.)

(Dari Post: Jangan Membatasi Diri)

Tidak ada yang menang kopinya. Kenapa negara maju begitu hebat, dan negara Indonesia begitu ketinggalan? Apa yang terjadi di negara sana? (Tidak ada kaitan dengan teknologi).
Ayo, coba menebak...

Letting the TV Baby-sit Your Child


(Letter to Jakarta Post 10 August 2006)

A front-page article in the Post (9 August) was about “Wanti” and her addiction to TV gossip shows, which were recently pronounced haram (forbidden) by Nadhlatul Ulama (NU). What struck me more, however, was not just Wanti’s addiction but another glaring fact that slipped quietly by and was easily missed: who looks after her children when she goes out?

According to the article, Wanti watched TV most of the day as her husband was at work and her seven year old son was at school. Her 18 month old daughter was left to flounder on the floor by herself, with cookies for breakfast (no time to cook – busy watching TV).

“By 6 p.m., Wanti had watched almost a dozen shows; the number would have been 15 but she went to a Koran recital for two hours and let Aldi watch cartoons.” So, who is looking after her seven year old son while she goes out? Is he at home alone? Is her husband there? I would hope that Wanti took her baby with her, but was anyone watching her son? The article makes no mention of other adults in the house. (Please let there be a loving grandmother there).

What about turning the TV off and spending time on the floor playing creative games with the children? What around reading with them to make them love books? What about just being a caring and attentive adult in their lives?

Why care about TV shows? Why doesn’t NU declare “bad parenting” to be haram instead? That could be followed up by free workshops in mosques all over the country to teach basic parenting skills like “paying attention to children”. That would surely have a much greater impact on Muslims and society in general than bothering with what people watch. Forget about TV shows. Put society’s focus back on how to be a good parent. Then TV gossip shows will disappear by themselves when parents are too busy playing to watch them anymore.

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

10 August 2006

Schools and teachers matter

(Letter to Jakarta Post 05 May 2006)

As a qualified teacher with more than 10 years classroom experience, I can only wonder about what The Jakarta Post wishes to achieve with its regular articles on education by Simon Gower, who actually has a degree in engineering.

His latest attempt (the Post, May 2) is truly saddening. His argument that classrooms are not "real" just proves how little he understands about the field of education, as opposed to giving job-skill training to future factory workers.

Having a "surplus" of university graduates in European countries is a blessing. There was a time when only the rich and privileged could get a degree. Now almost anyone can, yet Gower sees that as bad? Should we allow entry to university based on the amount of land owned by parents? That would sure keep the numbers down.

And if having more graduates means a "(lower) quality" of education, then how can we explain the hundreds of Nobel Laureates in the UK, Europe and the U.S.? Low quality "surplus" graduates? There are none in Indonesia, which has a low ratio of graduates. Isn't society better off with more great thinkers? Should we have fewer thinkers in society, perhaps, and more mindless drones to fill the factories owned by those who believe that the only purpose of schools is to "teach" "skills" to children so that they can work for companies when they graduate? God save us from curriculum dictated by CEOs.

Schools are not "self-serving". And we teachers are not in this field in order to keep ourselves employed. Studying the Roman Empire can show us what may befall the new U.S. empire. We can learn lessons from the "deadly dull textbooks" that good teachers can make "real" by turning the focus onto something topical. (Or, we can just ask for new textbooks).

The article shows contempt for teachers who spend "their entire working lives" in their chosen field. So what? So do many great doctors, engineers, police officers, and many great stay-at-home mothers.

GENE NETTO
Jakarta

05 May 2006

Schools Responsibility



(Letter to Jakarta Post 2 November 2004)


In response to the letter “Parents should be responsible” (Jakarta Post, Oct. 25), the policy of the school in question is outdated and inappropriate. Locking students out of schools is a worthless exercise and should be stopped. There are other more positive methods that could be used to “encourage” students to arrive on time. Locking them out is a negative, top-down approach which only teaches students to fear authority and to focus on goals rather than process. Speeding or dangerous driving to arrive on time is preferred? Attending school without breakfast is preferred? I also wonder if the policy applies to the Principal as well.

A student can be delayed for a variety of reasons, many of which are out of their control. A flooded street may cause a detour. So why punish the student?

Ms. Quan’s assertion that parents are responsible and should always know what their children are doing is not realistic. In 10 years of teaching, I have frequently heard secrets from students that they wouldn’t dare tell their parents. I have given advice about very serious issues because the child was afraid to talk to their parents.

Children keep secrets for various reasons. Blaming a parent for the decision of a child is unfair. In my experience only naive parents believe that they know all about their children. It is possible that Ms. Quan has a rare relationship with her child. That would be great if it’s true. Most parents are not that lucky, although many falsely believe that they are.

Rather than blame the parents (that’s easy) it would be better to focus on the responsibility of the school. Schools and teachers are charged with acting as surrogate parents (in loco parentis). They have a duty of care towards a child. That duty is not upheld by denying entry to a school. The school should act responsibly towards the child, the parents and the community.


Gene Netto

Jakarta

Tuesday, November 02, 2004

03 April, 2007

Spend Money On Poor Kids

My Letter To Jakarta Post (Published on 3 April 2007)

Spend Money On Poor Kids

Starting in April, the city administration will be giving away money for education. A total of Rp 47.5 billion to be exact (Post, 28 March). Will it go to the poorest of the poor who need it the most? Not exactly. The money will go to the richer children in private schools who attend the 761 Primary and 689 Junior High Schools in Jakarta.

The number of private Primary Schools is about 25% of the total number in the city (around 3,200), an extremely large percentage. Supporting any children in attending school is great, but why support the richer ones who are already receiving better facilities than others, facilities that in a western country would be considered normal and not elite? Are there no better uses for public money than encouraging the privatization of the school system? With entry fees ranging in the tens of millions, these schools are already doing good business without any help from the government.

The government says education in Primary is already free. But at a restaurant I often go to, there is a 10 year old boy who sells magazines until 11pm every day, including school nights. When I asked why, he said so he can afford to go to school. I talked to him about his family and his difficult life, so I believe he was being honest. Schools may well be free, but food, transport, books, uniforms, shoes, notebooks, pencils, etc., are very clearly not free. How many kids are not going to school for want of enough money to buy these things? Instead of helping kids like that boy, the government wants to make the life of richer kids in private schools even easier.

How about some other uses for that money in the public system such as higher teacher salaries, teacher training (upgrading of skills), fixing roofs so they don’t collapse, increasing the number of storybooks, providing computers, repainting school buildings, providing sports equipment, fixing toilets and providing soap, etc. Don’t kids in public schools deserve first use of public money? If the government gave away money to rich kids in Pondok Indah to reduce the cost of buying pizza, wouldn’t parents see it as an unnecessary expense, especially when there are so many kids who can’t eat properly everyday? Why can’t the government gets its priorities straight and take care of those who are suffering in the public schools before worrying about richer kids?

When is Indonesia going to get public officials who actually care about our children and the future of this country?

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

Jangan Membatasi Diri 2


Kita memang patut sedih Gene. Tapi itu fakta. Guru sekualifikasi Mr Cho
'belum' dibutuhkan oleh sekolah-sekolah kita. Seperti yang Anda lihat
sendiri, bahkan sekolah-sekolah mahal (dan menyatakan dirinya
berkualitas internasional) pun masih menggunakan guru-guru yang
berkualifikasi asal-asalan.
Untuk dapat menghasilkan guru dengan kualifikasi seperti Mr Cho
dibutuhkan kompetisi yang ketat sehingga setiap guru berusaha untuk
meningkatkan kualifikasinya secara maksimal. Jika tuntutan kompetisi
tersebut tidak ada maka tidak akan bisa dihasilkan guru dengan
kualifikasi seperti itu. That's why I said our schools do not need a
teacher with such quality.
Now, what can we do, Gene? Kita perlu bersinergi untuk mengatawsi
masalah ini.

We can put all of our money, time and energy into re-training and motivating the teachers!

Stok guru sudah ada, hanya skilnya yang kurang. Motivational trainer banyak, orang Indonesia dan asing. Saya pernah melakukan training di Pusdiklat DKI dan ketua dari training tidak menentukan topiknya. Saya bebas untuk bicarakan apa saja.

Untuk 2 jam, tanpa bahan (sengaja), saya ajak para guru membahas “Apa itu guru?”, “Apa itu murid?” dan “Apa itu sekolah?”.

Itu saja.

Ada puluhan guru datang kepada saya sesudahnya dan menyatakan dunianya sudah berubah total, karena semua yang kita bahas tidak disadari sebelumnya.

Bagaimana kalau saya diberikan waktu satu minggu? Bagaimana kalau ada program yang dibuat oleh 20 Trainer yang berpengalaman (bukan hanya ide dari saya saja)? Bagaimana kalau semua guru di setiap wilayah bisa mendapatkan Training yang setara? Bagaimana kalau jumlah trainer 100 orang? Atau 1000?

Mustahil? Tidak.

Hanya persoalan logistik.

Hanya persoalan waktu.

Hanya persoalan pembiayaan.

Yang mana dari tiga persoalan itu yang sulit untuk Allah?

Negara Inggris bisa membuat terowongan di bawah laut. Di Amerika sudah beberapa kali dilakukan operasi dengan dokter dan pasien di negara yang berbeda: dokter mengendalikan robot lewat koneksi satelit dan melihat hasil di layar komputer.

Tetapi Indonesia tidak sanggup menyediakan sekian Trainer saja untuk melakukan Teacher Training?

Busway bisa, monorail bisa, gedung bertingkat tinggi bisa, rumah sakit bisa, jaringan telfon selular bisa, internet dan komputer bisa, kapal selam bisa, tetapi Trainer susah?

No way!! Saya sama sekali tidak percaya!

Ini hasil dari manusia yang membatasi diri.

Kita justru sangat membutuhkan guru seperti Mr Cho. Dan tugas serta tanggungjawaban kita sebagai pendidik adalah bagaimana kita bisa berjuang untuk mewujudkan hasil seperti itu.

Kalau kita mengatakan “tidak membutuhkan” karena sulit, dan generasi mendatang juga bicara begitu, dan generasi sesudahnya juga, dan seterusnya, mulai kapanlah akan ada orang yang mengatakan “SUDAHLAH! Sekarang kita butuhkan!!”

Kalau seratus tahun mendatang, ada yang bicara seperti itu dan menjadi serius mengubah paradigma pendidikan di negara ini, kenapa tidak boleh sekarang saja?

There are no limits except the limits we make.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

02 April, 2007

Jangan Membatasi Diri

Assalamu’alaikum wr.wb.,

“Kita tidak punya guru seperti Mr Cho karena kita memang tidak membutuhkan kualifikasi guru seperti Mr Cho.”

[Komentar ini ditulis seorang guru mengenai sebuah kisah di milis SD-Islam. Di kisah itu, seorang anak SMA di Amerika menceritakan bahwa guru sejarahnya bernama Mr. Cho menjadi inspirasi bagi dia, karena selalu mengajak dia untuk menjadi seorang pemikir yang lebih baik, sehingga dia merasa berhasil sendiri tanpa perlu dibantu gurunya lagi.]

Komentar ini membuat saya sedih sekali apalagi kalau datang dari seorang pendidik yang baik hati dan bijaksana.

Bagaimana kita bisa mengembangkan negara ini kalau semua orang sibuk melihat sasaran yang ada di depan kaki dan bukan sasaran yang ada di batasan pandangan (paling jauh di depan mata).

Bayangkan: kalau seorang guru memang sanggup menjadi seperti Mr Cho (guru yang sangat baik), kenapa harus dibatasi menjadi “Asal guru masuk kelas, dan murid hafalkan sekian fakta, bersyukur deh! Tidak usah lebih, karena itu terlalu sulit.”

Bayangkan: di Indonesia di masa mendatang ada seorang cendekiawan baru, ibarat Einstein, Edison, Galileo, Flemming, atau Da Vinci. Orang itu masih anak sekarang. Dengan guru yang memberikan dia semangat, ilmu, daya pikir dan wawasan dengan sebaik mungkin (bukan sempurna), anak itu menjadi pelopor yang akan mengubah negara ini. Contohnya, Bill Gates versi Indonesia. Setelah dia menciptakan X (misalnya, Microsoft Windows), dan setelah di menjadi manusia terkaya di dunia mengantikan Bill Gates, dan setelah dia menyatakan bahwa dia menjadi semangat berfikir dan belajar karena guru sekolah (memang sudah genius, tetapi guru menjadi percikan), suatu hari dia berkata seperti ini:

“Sebagai tanda bersyukur kepada Allah dan kepada guru saya, saya akan membayar hutang negara dengan uang pribadi saya. Saya akan simpan 10 trillion Rupiah di Investment Fund Syariah, dan dengan hasilnya, saya akan memperbaiki semua sekolah se-indonesia…” Dan seterusnya.

Tidak mungkin? Tidak percaya? Kalau percaya kepada Allah dengan penuh hati, tidak ada yang mustahil. Kitalah yang membatasi diri, dimulai dengan komentar seperti di atas: “kita tidak membutuhkan…” dengan arti: itu terlalu sulit untuk kita, tidak realistis, tidak praktis, kita tidak bisa, kita tidak sanggup, uang dari mana nanti,…” dan seterusnya!

Tidak ada yang sulit bagi Allah. Tidak ada yang sulit bagi orang yang percaya kepada Allah. Jangan menentukan masa depan bangsa ini dengan memandang ke bawah dan menetapkan standar yang rendah. Mengarah ke atas dengan mengharapkan hasil yang sebaik mungkin. Terserah Allah membantu kita berhasil atau tidak, tetapi sebagai syarat minimal, kita tidak akan membatasi diri tanpa alasan dari awalnya.

Kalau kita mengharapkan yang terendah (karena itu dinilai cukup), ya, kita akan bersyukur kalau hanya mencapai sasaran itu yang hampir pasti tercapai. Kalau kita mengharapkan lebih, tanpa kepastian bisa mencapainya, kita harus siap untuk gagal, tetapi rasa sukses jauh lebih besar kalau kita berhasil. Dan juga sangat mungkin bahwa dengan usaha untuk mencapai sasaran yang tinggi, kita akan melewati/melebihi sasaran rendah yang ditetapkan orang lain.

Seratus tahun yang lalu, tidak ada manusia yang bisa terbang. Tidak ada yang bisa tinggal di luar angkasa. Tidak ada operasi transplantasi jantung. Tidak ada komputer atau “artificial intelligence”. Tidak ada cara untuk mengirim teks ke lain negara dalam waktu 1 detik. Tidak ada microwave oven. Tidak ada Handycam. Tidak ada radar. Dan berapa banyak hal yang lain yang muncul secara tiba2 dalam 100 tahun terakhir?

Kenapa bisa begitu? Karena dari semua orang di bumi ini, ada yang memandang ke atas dan berjuang untuk mencapai sesuatu yang dikatakan “mustahil” oleh orang lain (dan teknologi mendukung juga, tentu saja).

Tetapi perlu dipahami juga ada suatu hal yang lain yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat, dan tidak ada hubungan dengan teknologi sama sekali! Apakah ada yang tahu? Saya dengan sengaja tidak akan memberikan jawaban sampai hari Jumat. Kalau ada yang bisa menebak, saya akan salut pada anda sebagai pemikir yang baik. (Traktir kopi juga boleh.)

Mudah-mudahan kita tidak mau bersikap “kalah duluan”. Mudah-mudahan kita bisa memandang ke atas di bidang pendidikan (biar orang lain mengurus yang lain) dan kita bisa mengubah negara ini dengan suara kita saja. Cukup menyatakan kepada orang lain “KAMU BISA!” daripada mengatakan “Tidak usah coba deh, segini saja sudah cukup.”

Negara ini dan masa depan anak ada di tangan kita yang menjadi guru dan orang tua.

Jangan menyerah duluan.

Berjuang untuk mendapat yang sebaik-baiknya.

Anggap setiap anak yang diajar anak kandung anda sendiri, dan berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi mereka semua. Untuk anak kandung anda tidak ada istilah “cukup baik”.

Mohon jangan digunakan untuk anak orang lain.

Kita mohon petunjuk dan pertolongan dari Allah setiap hari:

5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(Surah Al Fatihah QS. 1:5-6)

Dan Allah berjanji untuk melimpahkan rahmat kepada kita:

96. Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, PASTILAH Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

(Surah Al Araf QS. 7:96)

Rahmat dari Allah bukan suatu kemungkinan tetapi sebuah KEPASTIAN. Semua tergantung pada diri kita !!

JANGAN MEMBATASI DIRI !!

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

(Apakah anda sudah bisa menebak apa yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat?)

01 April, 2007

Pemain Game Balapan Menjadi Pengemudi Berbahaya


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Dari BBC:

Hasil riset menunjuk bahwa balapan mobil virtual (di Playstation, Gameboy, komputer, dsb.) membuat seorang pengemudi lebih cenderung mengambil risiko di jalan saat mengemudi mobil benaran. Balapan virtual ini membuat pengemudi lebih agresif dan menjadi lebih cenderung ambil risiko, terutama untuk laki-laki, kata para periset Jerman.

Pria yang terbiasa main game balapan ini lebih mungkin membalap di jalan dan menyelip mobil lain, tetapi tingkat kecepatan reaksinya malah lebih pelan satu detik. Hasil riset ini dimuat kemarin di “Journal of Experimental Psychology: Applied”.

Riset menunjukkan bahwa pemain game balapan mobil ini lebih cenderung kena kecelakan mobil juga, kata periset, terutama untuk pemuda laki-laki – sebuah kelompok yang sudah dianggap “high risk” bagi semua perusahaan asuransi.

“Orang yang aktif di bidang ‘road traffic safety’ seharusnya memahami bahwa game balapan mobil ini membuat jalan kita lebih berbahaya,” kata periset.

Ternyata, sebuah survei baru dari Sekolah Pengemudi BSM juga menunjuk bahwa pengemudi muda lebih cenderung mengebut di jalan setelah main game balapan ini. Dari hasil survey itu, 27% dari pengemudi di bawah umur 24 tahun mengaku lebih sering mengambil risiko di jalan setelah menghabiskan waktunya untuk main game ini. Kalau hasil survei ini digabung dengan hasil riset di atas, maka kedua butki ini memberi kesan bahwa bermain game balapan membuat pengemudi lebih cenderung ambil risiko di jalan.

Di dalam studi yang terbaru, Dr Peter Fischer dari Ludwig-Maximilians University bersama dengan rekan dari Allianz Center for Technology merekrut 198 sukarelawan untuk mengikuti studi dalam 3 bagian. Pertama, para pengemudi ini disuruh menilai sendiri tingkat keselamatan pribadi mereka di jalan, dan menjelaskan berapa kali mereka telah kena kecelakaan mobil. Mereka juga harus menjelaskan frekuensi mereka main game balapan mobil. Kedua, mereka disuruh main game, termasuk balapan mobil dan juga yang netral seperti sepak bola. Keitga mereka diberi kesempatan mengemudi di dalam “computer simulator” untuk mengecek reaksi mereka seakan-akan berada di jalan.

BBC News

Kesimpulan:

Kalau anak anda masih di SD-SMP, mudah-mudahan tidak bermasalah. Selama dia tidak kecanduan main game balapan ini (setiap hari untuk berjam-jam), maka barangkali dampak game ini sudah hilang ketika dia menjadi remaja. Kalau anak sudah di SMP-SMA dan masih sering main game ini setiap hari, mungkin lebih baik bila orang tua bicara dengan dia 1-2 tahun sebelum mendapat SIM mobil. Ajak dia berhenti main game ini, dan gantikan dengan yang lain. Jelaskan bahwa game seperti ini akan membiasakan dia mengambil risiko di jalan, dan pada saat dia baru belajar mengemudi mobil sikap “senang ambil risiko” ini sangat berbahaya. (Kalau ambil risiko di game dan menabrak mobil lain, tinggal restart saja dan main lagi. Beda dengan mobil benaran).

Tidak disebutkan secara terinci di dalam artikel ini, tetapi sepertinya yang dimaksudkan dengan “game balapan” juga termasuk balapan motor (bukan mobil saja), berarti masalah ini juga berlaku untuk laki-laki muda yang main balapan motor dan mengendarai sepeda motor. Lebih baik bila orang tua waspada dan mengajak anak muda yang punya sepeda motor untuk berhati-hati, terutama kalau dia terbiasa main balapan motor di Playstation dll.

Hati-hati juga kalau suami anda (yang masih muda) terbiasa main game ini. Kecenderungan ambil risiko ini bisa saja berlaku juga untuk orang dewasa yang berkeluarga (tergantung kepribadiannya) dan tidak terbatas pada anak remaja saja.

Semoga bermanfaat,

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...