Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

13 March, 2008

Ayat-ayat Cinta (mencintai atau memperalat?)


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Sekarang lagi beredar beberapa email yang membicarakan pro dan kontranya film Ayat-Ayat Cinta (AAC).

Saya baru nonton filmnya, tetapi belum membaca bukunya. Jadi mohon diingat bahwa komentar saya berkaitan dengan isi film dan bukan isi buku. Kata teman yang baca bukunya, ada cukup banyak perbedaan di antara film dan buku, jadi saya belum tahu kalau komentar saya berlaku terhadap buku juga. (Mungkin kisahnya berbeda).

Salah satu masalah utama buat saya adalah “niat” untuk berpoligami yang dilakukan oleh tokoh utama, Fahri.

Di dalam film, ada tokoh Fahri yang menikah dengan Aisyah. Dan karena suatu kejadian, akhirnya Fahri juga menikah dengan Maria, seorang Kristen yang mencintai Fahri dan telah sakit hati karena Fahri menikah dengan Aisyah. Saat pernikahannya, Maria juga belum kembali sadar dari keadaan koma setelah ditabrak mobil.

Si Fahri dituduh sebagi pemerkosa oleh Noura (anak tetangga). Saksi yang satu-satunya yang bisa membuktikan bahwa Fahri tidak bersalah hanya Maria (yang dalam koma). Kata dokter, Maria tidak mau kembali sadar karena sakit hati terhadap Fahri. Mungkin dia merasa “ditinggal” oleh Fahri yang nikah dengan Aisyah.

Jadi Fahri ditahan polisi dengan tuduhan pemerkosaan, dan pada saat yang sama Aisyah menjadi sadar bahwa dia sudah hamil. Karena dia ingin suaminya dibebaskan dari penjara, dia butuh Maria sebagai saksi. Tetapi Maria masih di dalam koma. Tanpa coba macam-macam cara untuk menyadarkan Maria (yang dicoba hanya rekaman suara Fahri), maka dengan sangat berat hati, Aisyah menyuruh Fahri untuk menikah dengan Maria dengan harapan bahwa dengan itu Maria akan kembali sadar. (Akad nikah = pengobatan alternatif, atau ilmu sihir).

Masih di dalam keadaan koma, Maria dinikahkan Fahri. Beberapa saat kemudian, Maria kembali sadar (dan siap menjadi saksi, tentu saja).

Yang saya anggap kurang bagus dari cerita ini cukup banyak (maksudnya, dari pandangan Islam, karena kata semua orang ini film yang islamiah). Misalnya, apakah seorang perempuan (yang Kristen) bisa dinikahkan di dalam keadaan koma, tanpa memberi izin?

Tetapi dari semua hal yang saya anggap cukup ganjil dan aneh, salah satu yang paling buruk adalah alasan Fahri disuruh menikah dengan Maria. Aisyah, isterinya Fahri, yang suruh.

Kenapa?

Apa manfaatnya bagi dia bila suaminya menikah dengan Maria? Ternyata, dia MEMBUTUHKAN persaksian Maria di pengadilan untuk membebaskan suaminya.

Aisyah itu tidak mau ditinggal suaminya. Dia tidak mau membesarkan anak sendiri dengan seorang suami di penjara (walaupun tidak bersalah). Dia butuh suaminya. (Dan barangkali juga mencintai suaminya). Tujuan utama dari pernikahan itu adalah untuk membebaskan Fahri dari penjara lewat persaksian Maria. Apakah karena Aisyah mencintai Fahri atau karena Aisyan butuh bapak untuk anaknya adalah hal yang sangat subyektif. (Kita tidak bisa tahu yang mana yang paling mendorong pikiran Aisyah).

Intinya, Maria itu “diperalat” (padahal masih di dalam keadaan koma).

Pernikahan (poligami) dengan Maria sama sekali tidak dilakukan karena semuanya kuatir terhadap masa depan Maria. Tidak dilakukan karena semuanya begitu sayang kepada Maria dan ingin membantunya. Tetapi dilakukan semata-mata untuk membebaskan Fahri dari penjara.

Di dalam kejadian ini, saya lihat sikap dan perilaku yang cukup buruk. Berpoligami bukan karena sayang dan ingin membantu, tetapi karena membutuhkan persaksian. Ini nilai Islam apaan?

Saya berfikir lebih lanjut. Bagaimana kalau Maria tidak di dalam koma, dan sebatas depresi saja. Apakah Fahri masih disuruh berpoligami? Bagaimana kalau Maria seorang laki-laki (dan dalam koma)? Bagaimana kalau Maria telah menikah buru-buru dengan seorang pria yang lain sebelum ditabrak mobil? Solusinya apa? Kesan di dalam film ini, solusinya hanya berpoligami saja, dan itu tetap untuk kepentingan Fahri, bukan Maria.

Jadi, ada sekian banyak hal yang membuat saya gelisah waktu nonton, dan inilah hanya salah satu perkara yang kurang bagus dan tidak berkaitan dengan ajaran Islam. Di dalam kisah “cinta” ini, hak berpoligami dan seorang perempuan yang kena musibah diperalat untuk kepentingan Fahri. Saya tidak melihat “ayat-ayat cinta” tetap “ayat-ayat kepentingan diri sendiri” yang diperalat oleh sebuah pihak. (Kenapa Aisyah tidak menyuruh Fahri menikah dengan Noura dan Nurul juga, padahal mereka juga mencintai Fahri seperti Maria? Mungkin karena Aisyah tidak “membutuhkan” sesuatu dari mereka).

Kalau saya mulai menulis tentang semua hal lain yang saya anggap buruk di dalam film ini, maka kayanya tidak jadi tidur malam ini karena ada begitu banyak perkara.

Sekian saja dulu. Semoga bermanfaat sebagai renungan. Dan semoga bapak-bapak yang berniat poligami, melakukannya dengan niat yang lebih mulia daripada si Fahri dan Aisyah.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

13 comments:

  1. Assalamu'alaikum
    Saya sudah lama banget baca novel Ayat-Ayat Cinta, bahkan sebelum heboh novelnya jadi best seller. Dan saya jatuh cinta sekali dengan karya Kang Abik ini. Jadi, begitu tahu novelnya dibuat film, ekspektasi saya terhadap visualisasinya menjadi begitu tinggi.
    Dan ternyata, di tengah puja-puji film ini di tengah masyarakat, terus terang sja saya justru kecewa. Mungkin bagi mereka yang belum sempat baca novelnya, filmnya terlihat bagus. Tapi, bagi orang-orang yang sangat menikmati(bahkan menghayati) novel ini, pasti akan merasakan perbedaan yang sangat mendasar.
    Menurut saya pribadi (menurut saya lho ya, sebagai penikmat film) filmnya justru gagal memvisualisasikan karya besar Kang Abik. Baik dari segi karakter, setting (yang seharusnya insah banget), bahkan sampai jalan cerita yang berubah jauh. Karena setahu saya di novel itu, poligami bukanlah isuu sentralnya. Makanya (sebelum nonton filmnya) dulu saya sempat heran, kok orang-orang yang udah nonton justru ditanyain soal poligami, sih? Ternyata jalan cerita film sudah bertambah jauh, mengubah essensi yang sebenarnya.
    Juga di dalam novel nilai-nilai Islamnya tersa lebih kental.
    Menurut saya, film ini menunjukkan bahwa para produser film kita hanya mau keluar modal sedikit tapi menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Filmnya terkesan terlalu sederhana dibanding apa yang digambarkan Kang Abik dalam novelnya.
    Saya jadi bertanya-tanya, apakah Kang Abik tidak dilibatkan dalam proses penggarapannya?
    But, however, Ayat-Ayat Cinta tetaplah sebuah fiksi, bukan ajaran Islam yang sesungguhnya. AAC hanyalah secuil saja dari Islam yang luas dan penuh rahmah.
    Jadi, kalau kemudian Fahri dan Aisyah dianggap mempunyai motif yang 'kurang' mulia dalam berpoligami, maka janganlah dianggap iti menggambarkan nilai Islam yang sesungguhnya.
    Wassalam.

    ReplyDelete
  2. assalamu'alaikum Wr.Wb.

    SEPAKAT sama anonymous,

    kurang lebih itu yang ingin saya sampaikan....persis...karena saya juga belum nonton film nya baru baca novelnya..saya kaget sekali luar biasa ketika teman saya bertanya pada saya...apakah saya sudah menonton film AAC tentang poligami itu? saya kaget luar biasa, POLIGAMI?!!!!????? (saya jadi tidak semangat menonton karena ternyata dugaan saya benar kalau film itu hanya mengambil sisi komersil yang bikin booming saja sehingga banyak menyedot penjualan tiket bioskop...saya yakin kalau saya sudah nonton nanti pasti komentar dan kekecewaan saya akan jauhnya misi novel yang tidak tersampaikan itu dibandingkan dengan filmnya yang memang menurut Hanung Bramantyo sengaja dibuat berbeda, (kalau berbeda buat saja dengan judul film yang berbeda jangan berjudul AAC, bilang saja diilhami dari NOvel tapi bukan "mengangkat cerita dari Novel AAC"


    Pergeseran tema sentral demi alasan komersial sehingga pesan moral yang dalam mengenai keseharian kehidupan yang dicontohkan Rasulullah (sedikit dan secuil adab2 dan aplikasi hadits2 yang dituangkan dalam kehidupan keseharian dan pemikiran sang tokoh fiksi tersebut)dalam bergaul dengan sesama, dalam menyusun rencana, dalam pergaulan lawan jenis, dsb...(tokoh jadi terpaksa digambarkan sempurna dalam novel karena menurut saya mungkin tujuan kang Abik ingin menyampaikan aplikasi penerapan secuil dari hadits2 Rasulullah dalam kehidupan keseharian)...Notabene cerita cinta-cintaan lebih digemari anak muda, mungkin menurut kang Abik cara ini dipilih untuk bisa masuk dikalangan umum (bisa muslim dan non muslim muda dan tua-karena ceritanya sedikit banyak ada menggambarkan kehidupan cinta anak muda).

    Intinya tema POLIGAMI bukan tema novel saya, kaget mendengar pertama kali perihal tema film tersebut, karena poligami itu cuma salah satu bagian dari alur cerita dan bukan inti utama nilai yang ingin disampaikan kang Abik (menurut penangkapan saya) justru dari kisah menikahnya Fahri dengan Maria itu sebenarnya ingin mengungkap betapa cinta yang halal adalah setelah menikah, dan cinta yang seharusnya adalah kepada Alloh bukan cinta membabi buta dan mendalam sampai membuat sakit (di novel Maria diceritakan mengalami koma karena menurut riwayat keluarga dari Ibunya, Ibunya kalau mencintai seseorang dan terhalang cintanya maka dia akan koma, mungkin sakit perasaan yg terlalu mendalam-derita psikologis). Selain itu menurut penangkapan saya bukan poligami yang dititik beratkan tetapi betapa hanya Islam yang diakui Alloh sebagai Agama yang diridhoi-Nya. karena di dalam cerita Novel Maria di dalam sakaratul mautnya (dalam komanya bermimpi- ini fiksi tidak bisa dijadikan dalil sekali lagi ini cuma untuk penggaran kan Abik betapa Islam Agama yang diridhoi (subyektif saya) tidak bisa langsung meninggal hanya mengetuk pintu memanggil2 nama Alloh tetapi pintu tidak mau terbuka, sampai akhirnya dibaca surat Maryam pintu terbuka tetapi yang keluar perempuan berwujud Siti Maryam yang mengatakan bahwa Maria tidak bisa memasuki pintu itu. Maria bertanya kenapa padahal saya mencintai Alloh juga seperti Maryam, tetapi Maryam berkata karena kamu menjaga jarak dengan Muhammad (pembawa Risalah Alloh Nabi penutup pembawa ajaran yang telah disempurnakan dan menyempurnakan semua agama-agama sebelumnya, Maria lalu bertanya bagaimana saya bisa beriman terhadap Muhammad, Maryam menjawab ambillah wudhlu dan ucapkanlah Laa Illahailallah, lalau tersadar dan ada Fahri dan Aisha disampingnya yang menuntunnya mengambil wudhu lalu terbaring kembali dan mengucapkan syahadat akhirnya sakaratul mautnya lancar. Dikisahkan dalam Novel tsb Maria walaupun kristen dia penggemar Al-qur'an dan penghapal Surat Maryam,menurut saya ada misi dibalik Novel ini saya berpikiran mengapa tokoh ini bernama Maria dan akhirnya menurut cerita dia akhirnya menyukai surat Maryam karena namanya sama dengan surat itu dan dia bangga namanya disebut2 dan dijadikan nama Surat dalam kitab suci orang Islam) tetapi kalau menurut subyektif saya mungkin kang Abik sengaja mengambil tema cinta yang bisa universal dan disukai oleh semua kalangan (termasuk non muslim) - dan mengapa dipilih surat Maryam karena di dalam QS. Maryam setelah saya teliti ternyata pada ayat 34-37 berisi kesaksian Nabi Isa AS bahwa dia bukan anak Tuhan dan Alloh tidak mempunyai anak dan tidak layak bagi Alloh untuk mempunyai anak, dan Nabi Isa mengatakan Sembahlah Alloh Dia adalah Tuhanku dan Tuhanmu. Mungkin dengan tema universal (cinta) penyampaian kebenaran tentang ketauhidan ini dapat sampai kepada khlayak luas(uraian surat Maryam dibaca lengkap Maria pada saat koma (mengigau) setelah menikah dengan Fahri dan setelah bersaksi langsung koma lagi tidak sempat menjalani kehidupan sebagai istri dengan fahri). Jadi intinya Novel itu bukan mau menonjolkan nilai poligaminya (berbeda dengan filmnya-mungkin).

    Saya juga kurang mengerti apakah boleh seorang lelaku Muslim menikah dengan wanita non muslim (didalam novel aisha mengatakan tidak mengapa karena fitrahnya semua manusia muslim dan di dalam novel aisha juga sangat kasihan dengan Maria-kalau saya tidak salah tangkap) permasalahannya Fahri sudah berjanji pada istrinya untuk tidak mempoligami aisha (janji diucapkan waktu mengkhitbah-melamar).Yang membuat saya bertanya apa masih ada jaman sekarang wanita ahli kitab (menurut sebagian ulama ada yang bilang masih boleh menikahi wanita non muslim), tetapi di dalam Novel Fahri malah tidak mau menikahi Maria karena menurutnya lebih baik menikahi budak kulit hitam asal muslim (diambil dari hadits)- mungkin ini juga pesan yg mau disampaikan Novel bahwa lelaki muslim tidak boleh menikahi wanita non muslim (terlarang) -Sekali lagi mohon maaf kalau salah, bisa dilihat di kitab2 hadits shahih sebagai rujukannya.

    Dan kalau toh ada cerita sedikit menyinggung poligami hanya beberapa halaman terakhir saja.

    Saya setuju pendapat Mr/Mrs. Anonymous:

    "But, however, Ayat-Ayat Cinta tetaplah sebuah fiksi, bukan ajaran Islam yang sesungguhnya. AAC hanyalah secuil saja dari Islam yang luas dan penuh rahmah.
    Jadi, kalau kemudian Fahri dan Aisyah dianggap mempunyai motif yang 'kurang' mulia dalam berpoligami, maka janganlah dianggap itu menggambarkan nilai Islam yang sesungguhnya."

    Terima kasih anonymous, terima kasih Pak Guru Gene.

    Bagaimanapun itu semua subyektif saya yang saya tangkap dari hasil membaca nove AAC saya tidak tahu dengan pasti apa ide besar yang melatar belakangi Kang Abik waktu menuliskan novelnya.

    tetapi semoga jika ada setitik kebenaran yang datangnya pasti dari Alloh maka dapat membuka mata hati setiap pembaca Novel dan filmnya meskipun ada keburukan dan kesalahan di dalamnya semoga tidak dianggap ajaran dari Islam.

    semoga dengan adanya kritik2 untuk membangun justru menjadi cambuk bagi sineas2 INA untuk lebih banyak melahirkan karya2 religius sebagai media dakwah yang memang cerita dan visualisasinya diupayakan sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya tidak hanya dengan kepentingan komersial saja..

    Demikian saya sampaikan..

    Terima kasih

    wassalamualaikum Wr.Wb.

    ReplyDelete
  3. Assalamu'alaikum Wr.Wb.

    Satu lagi, ada yang ketinggalan menurut kaca mata saya yang paling banyak saya tangkap dari novel AAC adalah betapa Islam agama yang cinta damai dan mencintai semua manusia dan mengajarkan umatnya untuk menjadi rahmatan lil alamin tidak seperti cercaan dunia saat ini sebagai teroris (tuduhan tidak berdasar dan tidak terbukti nyata dan akurat). Hal ini menurut subyektif saya merupakan salah satu dari banyak pesan yang ingin diusung oleh Novel AAC hal ini dapat dilihat dari penggambaran perilaku fahri dan teman2nya terhadap keluarga Maria Girgis.

    Maaf terlalu banyak komentar bukan berarti saya memihak manapun saya tetap netral.

    Terima kasih.

    Wassalamua'alaikum.Wr.Wb

    ReplyDelete
  4. Assalamu'alaikum,

    Sekedar menambahkan komen2 di atas, hal yang paling membekas dalam benak saya setelah membaca novel AAC adalah
    (1) Betapa Islam melindungi dan mendudukkan perempuan pada posisi yang terhormat.
    (2) Betapa indahnya rumah tangga yang dibangun atas dasar kecintaan kepada Allah.

    Ketika mendengar kabar AAC difilmkan, saya sudah membayangkan bahwa film itu akan mendistorsi pesan awal dan keindahan novelnya. Bagaimanapun, film adalah komoditi industri hiburan yang tidak steril dari motif finansial. Belum lagi, saya tak mampu membayangkan bagaimana cara memvisualisasikan interaksi Fachri dengan Aisyah yang sudah menjadi istrinya tanpa melanggar syariat Islam itu sendiri. Sungguh, saya menyayangkan mengapa Kang Abik memberi izin novelnya diangkat menjadi film dengan judul yang sama.

    Kalau Pak Gene sudah membaca novelnya, saya tertarik untuk mengetahui kesan Bapak terhadapnya. Adakah saya yang dibutakan dengan hamparan teks yang begitu memikat hati saya ketika membaca novelnya?

    Wassalam.

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum.
    Saya belum pernah baca novel mengenai AAC ini sebelumnya, mendengar saja juga baru-baru ini saja. Saya tertarik untuk melihat karena banyak yang membicarakan film ini bahkan sampai pak Habibi pun melihatnya. Secara keseluruhan saya melihat ini menghibur dan banyak masyarakat mau membelinya, mungkin memang itu yang diharapkan produsernya. Cuma yang kurang menurut saya kenapa bahasanya kebanyakan Indonesia, bukanya itu di Mesir. Overall film ini bagus walaupun masih ada yang perlu diperbaiki.
    Mengenai alasan mengapa Fachri menikahi Mariam, menurut saya bukan karena ingin memperalat, tapi justru karena ingin menyelamatkan dan peduli pada Mariam. Sebagai istri tentu Aisyah ingin suaminya keluar dari penjara. Namun melihat kondisi Mariam yang sebenarnya dan melihat masa lalu suaminya berdasarkan yang dia lihat di buku harian Mariam, Aisyah jadi tergugah hatinya untuk membantu menyembuhkan Mariam. Walaupun memang ada maksud agar setelah sembuh diharapkan Mariam bisa bersaksi untuk meringankan suaminya, itu kebetulan saja.
    Wassalaam

    ReplyDelete
  6. “Mengenai alasan mengapa Fachri menikahi Mariam, menurut saya bukan karena ingin memperalat, tapi justru karena ingin menyelamatkan dan peduli pada Mariam.”

    Kalau Aisyah menyuruh Fahri menikah dengan Maria untuk kepentingan Maria, dan karena sayang pada Maria, kenapa Aisyah justru menangis keras dan jerit-jerit (di dalam film)? Hal itu memberi kesan bahwa dia menyuruh Fahri dengan sangat berat hati, dan bukan karena ingin membantu Maria. Kalau itulah alasannya, seharusnya dia tidak perlu menjerit-jerit seperti orang yang mengalami kesakitan. Saya tetap melihatnya sebagai keadaan di mana Maria diperalat untuk kepentingan Aisyah. Tetapi mungkin di buku tidak seburuk itu.

    ReplyDelete
  7. Assalamu'alaikum

    "kenapa Aisyah justru menangis keras dan jerit-jerit (di dalam film)?....,
    Saya tetap melihatnya sebagai keadaan di mana Maria diperalat untuk kepentingan Aisyah."

    ***Menangis dan menjeritnya Aisyah (di dalam film) di artikan bukan dia tidak ikhlas Fahri menikahi Maria, padahal dia yang menyuruh. Tapi itu menggambarkan seperti itulah "hati" seorang wanita.

    Hati seorang wanita itu bagaikan lautan samudra, dia merelakan tapi bagaimana pun dia hanyalah manusia apalagi dia seorang wanita tetap 'tidak akan' sanggup menerima kenyataan harus berbagi cinta.

    Jika ada 'poliandri' apakah seorang pria mau berbagi?...

    Saya juga kecewa film tersebut, menyelesaikan masalah dengan 'motif' (orang memperalat dan memanfaatkan orang) dan poligami diselesaikan dengan cara semudah dan sedatar itu, bagaimana nanti muslim awam menterjemahkan dalam pikiran mereka dan begitu juga non muslim akan menilai bahwa seperti itulah poligami islam.

    ReplyDelete
  8. "Saya juga kecewa film tersebut, menyelesaikan masalah dengan 'motif' (orang memperalat dan memanfaatkan orang) dan poligami diselesaikan dengan cara semudah dan sedatar itu, bagaimana nanti muslim awam menterjemahkan dalam pikiran mereka dan begitu juga non muslim akan menilai bahwa seperti itulah poligami islam".

    Saya kira ending film tersebut sudah bagus dan alternatif itulah yang menurut saya bagus. Seandainya Aisyah tidak mempunyai inisiatif agar suaminya mau menikahi Mariam, lantas solusi seperti apa yang terbaik? Saya kira untuk kasus ini Aisyah melakukan sesuatu yang benar walaupun dengan berat hati daripada seandainya dia tidak mengijinkan suaminya menikahi Mariam. Tentu kondisi Mariam akan semakin parah karena "salah satunya" jalan untuk mengobati sakit hati Mariam adalah Fahri. Yang jelas endingnya mereka bahagia dan pada akhirnya bisa menerima. Tentu untuk kasus lain penyelesaian yang terbaik bisa saja berbeda, sangat tergantung pada pribadi masing2 pelakunya.

    ReplyDelete
  9. Assalamualaikum Wr.Wb.
    Saya sudah baca novel AAC dan sudah lihat filemnya.
    Novelnya sangat bagus dan sangat "dalam" nilai dakwah Islamnya, buat saya pribadi saya banyak belajar setelah baca novel ini, ada banyak bagian yg bisa bikin saya 'mbrebes mili' terutama ketika saya jadi tersentil betapa kurangnya Cinta saya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW ...
    Filemnya ..., suka nggak suka saya anggap filmnya berubah jadi film roman/percintaan biasa yg dibalut dengan nuansa Islami dan masih jauh dari film dakwah. Dari blog sang sutradara (http://hanungbramantyo.multiply.com/) dan wawancara2 di media, film itu memang hasil maksimal kompromi 4 kepentingan: sutradara, penulis, produser dan Muhammadiyah (CMIIW). Terlepas dari pro kontra dan semua kekurangan filem itu, saya harus katakan bahwa filem itu adalah salah satu filem yg paling layak buat ditonton di Indonesia, apalagi dibandingkan dengan filem2 horor, cinta2an dll yg marak belakangan ini.
    Komentar masalah poligami pd film itu, menurut saya motif Aisha mengijinkan Fahri menikah lagi untuk 'menolong Maria' dan 'agar si calon bayi punya ayah' adalah motif yang akan terlihat masih 'logis', 'manusiawi' dan bisa diterima oleh Aisha sebagai perempuan dan manusia biasa ...
    Jadi terlihat menggampangkan, tapi kalau mau seindah aslinya (novelnya)... wah bakal nggak habis 2 jam filemnya...
    Saya juga gak bela siapa-siapa ...

    Wassalam Wr.Wb,

    Abu Syauqi

    ReplyDelete
  10. “Mengenai alasan mengapa Fachri menikahi Mariam, menurut saya bukan karena ingin memperalat, tapi justru karena ingin menyelamatkan dan peduli pada Mariam.”

    Kalau Aisyah menyuruh Fahri menikah dengan Maria untuk kepentingan Maria, dan karena sayang pada Maria, kenapa Aisyah justru menangis keras dan jerit-jerit (di dalam film)? Hal itu memberi kesan bahwa dia menyuruh Fahri dengan sangat berat hati, dan bukan karena ingin membantu Maria. Kalau itulah alasannya, seharusnya dia tidak perlu menjerit-jerit seperti orang yang mengalami kesakitan. Saya tetap melihatnya sebagai keadaan di mana Maria diperalat untuk kepentingan Aisyah. Tetapi mungkin di buku tidak seburuk itu.

    Wah kok ceritanya bisa ditafsirkan macam2 ya? kekeke.. menunjukkan belum matangnya film indonesia dalam seni peran dan seni kesan. Karena seni chemistry pemainnnya kurang barangkali jadi yg ditangkap secara kasat mata dari ceritanya adalah memperalat istri baru, kekeke.. yah bgitulah kwalitas film kita msh perlu kerja keras lagi utk sejajar dgn film2 drama buatan hollywood dan bollywood :-)

    ReplyDelete
  11. Subhanalloh

    wah salut untuk Gene Netto
    Meskipun belum lama menjadi muslim tapi pemahaman tentang poligamy cukup bagus.

    Ada apa dengan muslim Indonesia??? kok bisa ya film AAC bisa ditonton oleh petinggi negeri ini.

    Padahal film itu berpotensi mejatuhkan Islam.
    Dalam agama islam, amalan dilihat pada niatnya, Innamal a'malubinniat ( amalan itu tergantung pada niat).

    Dalam kasus film AAC:
    Kalau Aisyah menyuruh sang suami untuk menikahi Maria dengan tujuan agar Maria bisa sembuh dari koma dan kemudian bisa menjadi saksi kunci yang akan menyelamatkan sang suami, BUKANKAH SEMUA ORANG DENGAN GAMBLANG BISA MENILAI NIAT AISYAH MEMINTA SANG SUAMI UNTUK MENIKAHI MARIA SI SAKSI KUNCI.

    Sedih sekali menonton film itu.....kok bisa lolos sensor pada bagian poligami.

    Yang lebih menyedihkan, tidak banyak yang protes atas film itu ( kok malah sang Mualaf yg kritis).

    oh ya aku liat film itu karena ada di sharedoc temenku, kalo mesti nonton di Bioskop...nggak lah yauuu....sayang uangnya.

    para muslimah jangan mau dibodohi oleh film ya.......yang nampak islami belum tentu islami, ayo kembangkan sikap kritis.

    sorry baru baca posting ini

    ReplyDelete
  12. Assalamu'alaikum wr wb

    Hehehe,kuper nih,saya baru baca artikel ini,dah basi ya api tidak apa2 lah sekedar sumbang uneg2 juga.

    Salut,Pak Gene bisa sekritis itu menanggapi film AAC,tapi baik menanggapi dari sudut pandang yang berbeda,biar karya2 seniman Islam lebih berbobot lagi.

    Saya sih no coment,bagaimana mau coment karena saya belum pernah baca buku nya apalagi nonton film nya,sampai detik ini belum terarik,saya lebih tertarik pada dunia nyata daripada fiksi hehehe,bahkan saat diputar pertama kali di sekolah(belum dipublikasikan di umum),gratis lagi,tapi tetap saja tidak tertarik,saya cuma dengar dari cerita2 teman saja sama baca2 komentar di blog ini cukup,jadi serasa sudah nonton film nya hehehe.

    Tapi saya salut juga sama kang Habiburrahman yang mampu bersaing dengan karya2 lain yang kadang malah tidak punya makna,maju terus kang....

    ReplyDelete
  13. menurutku kisah ddalam cerita AAC adalah memang fiksi benar adanya. ini hanya sebuah karya manusia yang mencoba membuat sempurna, namun ternyata kesempurnaan memang hanya milik Allah. terlepas banyaknya hal-hal yang tidak sesaui dgn ajaran Islam, maka tolong para insan film ini dijadikan sebai bahan renungan bahwa kemana arah kita menyetir produk budaya kita? apa kearah Islam atau kearah yang lebih hina dan terhina. Apreasiku untuk fillm AAC yang hanya sebuah fiksi yang mampu menggugah hati untuk menjadi lebih sempurna dihadapan Allah. AAC bukan ajaran Islam yang aku anut, AAC hanya hiburan pelepas penat dikala banyaknya hiburan yang melepas syahwat. Wassalam

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...