Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (217) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (545) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

19 July, 2008

Pengakuan Guru 2: Kelas “Bilingual” Kacau


Dalam pertemuan dengan seluruh orangtua murid calon kelas bilingual di satu SMP, saya berusaha untuk menyamakan ekspektasi mereka pada realitas yang kami miliki di sekolah. Lebih tepatnya lagi, saya berusaha untuk menurunkan ekspektasi mereka yang terlalu tinggi terhadap Bahasa Inggris para pengajar. Ada tiga kondisi dimana Bahasa Inggris akan digunakan. Garis besarnya, penggunaan Bahasa Inggris sbb:

Pertama, Bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar untuk membuka dan menutup kelas. Membuka kelas termasuk greeting, conducting an opening prayer, dan light talk [= pembicaraan ringan].

Kedua, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa untuk memberikan perintah sehari-hari dari guru ke murid-murid. Misalnya please open your book [at] page bla..bla..bla, come forward, work in pairs, put away your books, prepare a piece of paper, don’t cheat, and so on. Semua guru yang mengajar di kelas bilingual, kecuali guru Bhs Indonesia, wajib menggunakan Bahasa Inggris dalam dua kondisi di atas. Mereka telah dilatih berkali-kali untuk memastikan pronunciation-nya minimal comprehensible enough [dapat dipahami saja] bagi murid-murid. Kami tidak dapat berharap native-like language production [= tidak berharap penggunaan bahasa Inggris seperti native-speaker]. It’s simply far-fetched [= sangat tidak mungkin].

Ketiga, khusus untuk pengajar science, math, dan IT, mereka wajib menggunakan bahasa Inggris untuk penyebutan istilah-istilah khusus dalam pelajarannya. Prosedurnya begini, pertama-tama materi disampaikan sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia. Jika murid-murid telah memahami konsep dasar yang diajarkan, guru akan menjelaskan ulang konsep tersebut dalam Bahasa Indonesia tetapi menggunakan term-term khusus dalam Bahasa Inggris. Misalnya untuk mathematical operator symbols dibaca dalam Bahasa Inggris, luas bidang (area), keliling (perimeter, circumference) and so on. Untuk biologi, penyebutan bagian tanaman dalam bahasa Inggris, misalnya root, stem, leaf, branch, twigs… Tetapi susunan kalimat bahasa pengantar ketika guru menjelasakan baik dalam penjelasan pertama maupun berikutnya tetap dalam Bahasa Indonesia. Maka Bhs Inggris digunakan dalam menjelaskan pelajaran sebatas penggunaan istilah-istilah ilmiah. Saya punya alasan logis yang kalau dijelaskan disini bisa panjang. Yang pasti, hal ini akan mengurangi beban content teachers.

Penjelasan ini tidak memuaskan kepala sekolah, karena tidak ‘menjual’ sekolah. Salah satu ortu secara pribadi mengatakan pada saya bahwa beliau membatalkan anaknya masuk kelas ini karena berharap anaknya mendapatkan eksposure bahasa Inggris seketika dia menginjakkan kaki di gerbang sekolah. Ibu ini mengharapkan para guru bercasi-cis-cus dalam Bahasa Inggris di sekolah sebagaimana yang dilihatnya disekolah-sekolah berbahasa Inggris dengan immersion program. Again, it’s simply far-fetched [sangat tidak mungkin].

Saya jelaskan beberapa type dan kondisi program bilingual yang dikenal dalam literatur pengajaran Bahsa asing, mulai dari immersion program (mis di JIS, BIS), transitional, maintenance, dst. Guru-guru yang ada di sekolah kami tidak direkrut dengan kemampuan Bahsa Inggris yang memadai untuk mampu mengajar dalam immersion program. Lantas ibu ini bertanya, mengapa diberi label ‘bilingual’ kalau bahasa Inggris digunakan dalam kondisi yang amat sangat terbatas? Dan mengapa orangtua harus membayar jauh lebih banyak SPP dibanding kelas reguler sementara perbedaannya hanya sebatas fasilitas fisik saja. Saya tidak bisa menjawab. The principal was not happy, neither was the mother. But I’m glad to bring them back to reality. I’m not a good salesperson, indeed. Saya harus siap-siap cari kerjaan lain, mungkin semester depan she would kick me out [diusir kepala sekolah].

[Komentar dari Pak Satria Dharma]

Bravo untuk Anda! Jelas sekali bahwa motivasi para kepala sekolah RSBI ini adalah hendak MENIPU para orang tua dengan segala kamuflase yang bisa ia lakukan agar orang tua mau masuk ke program RSBI. Motifnya jelas sekali adalah UANG. Jadi sama sekali tidak ada idealisme disitu. Saya bersyukur bahwa Anda memutuskan untuk memenangkan hati nurani Anda dan bukannya ikut terseret permainan gila para kepala sekolah.

Saya benar-benar gregetan dengan situasi ini dan ingin mengajak Anda dan teman-teman lain untuk membongkar kebohongan program RSBI ini. Kalau tidak maka kita ikut berdosa membiarkan kebohongan ini berkelanjutan tanpa kita berusaha untuk mencegah.

Salam,

Satria

Sumber: (dari Pak Satria Dharma)

[Komentar dari Gene Netto]

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Sekali lagi ada pengakuan dari seorang guru yang berani, yang jujur dalam menceritakan kondisi nyata dan kualitas sekolah yang sangat jauh dari harapan orang tua. Perlu dikumpulkan berapa banyak pengakuan seperti ini sebelum orang tua menyadari penipuan yang dilakukan terhadap mereka, baik dari sekolah atau kelas SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), maupun dari kelas bilingual di sekolah swasta?

Semua kelas ini punya landasan yang sama: UANG.

Ilmu yang diharapakan orang tua untuk anaknya adalah suatu hal yang belum tentu muncul, dan kalau memang ada sebagian anak yang mendapatkan ilmu bahasa Inggris yang diinginkan orang tua, belum tentu didapatkan dari sekolah. Justru sangat mungkin dia dapatkan dari internet, dari tivi kabel, dari dvd dan vcd, dari buku, dari kakaknya, dan seterusnya. Sekolah swasta dan kelas bilingualnya yang mahal itu belum tentu menjadi sumber utama dalam perkembangan bahasa anak-anak ini, terutama bila di dalam sekolah/kelas tersebut, tidak ada ahli pengajaran bahasa asing yang sudah tahu caranya mengajarkan bahasa asing dengan baik kepada anak kecil. Ada banyak sekali efek samping yang bisa muncul kalau bahasa asing diberikan dengan cara yang kurang baik. Tetapi jarang harapkan sekolah akan memberitahu orang tua/kustomer.

Kapan orang tua di Indonesia akan menjadi kompak dan menuntut sistem pendidikan yang berkualitas buat semua anak bangsa?

Orang tua mengharapkan dengan bayar mahal di sekolah swasta, minimal anak mereka menjadi lebih pintar daripada anak tetangga, dan dengan itu mendapatkan kesempatan yang lebih luas di dunia ini. Tetapi semua orang tua di seluruh nusantara mengharapkan hal yang sama buat anak mereka, baik orang tua itu direktur bank maupun supir taksi. Kapan orang tua di Indonesia akan bersatu dan dengan kepedulian pada SEMUA anak bangsa, bersuara keras dan menuntut hak pendidikan yang layak buat semua anak bangsa, tanpa lihat siapa bapaknya, atau berapa banyak uangnya?

Bangsa ini bisa maju kalau mayoritas dari penduduk mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu yang baik di dalam sekolah yang baik. Kapan para orang tua akan mulai peduli pada anak tetangga dan bergabung untuk menuntut perhatian yang wajar dari pemerintah negara ini untuk semua anak bangsa?

Semuanya ada di tangan orang tua.

Sekarang, yang kaya ditipu dengan sekolah SBI dan bilingual. Yang miskin diabaikan saja dan aspirasi mereka untuk anak mereka (yang persis sama dengan aspirasi orang kaya untuk anak mereka) sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Situasi dan kondisi ini tidak akan berubah sampai orang tua bergabung, dan mulai peduli pada anak tentangga dan pendidikan yang layak buat semua anak bangsa.

Bukannya itu hak mereka?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

7 comments:

  1. Perbandingan sekolah internasional asli dengan internasional ala RSBI

    Di bawah ini adalah hasil pengamatan dan bincang-bincang dengan orang tua dan murid sekolah RSBI.

    1. Bahasa Inggris pengajarnya menyedihkan
    Anak saya sebelumnya bersekolah di SMP swasta internasional. Saat itu semua guru, murid, dan staf adminsitrasi berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Keuntungannya, anak saya menguasai Bhs Inggris secara alami tanpa harus les tambahan di luar sekolah. Inilah yang saya kira akan dialami anak saya di SMAN program RSBI. Ternyata di sini mayoritas guru tetap mengajar dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris umumnya dipakai hanya untuk ‘Good morning’ dan ‘See you later’. Guru-guru sains memang berusaha menggunakan Bahasa Inggris gado-gado, tapi pengucapannya sukar dipahami sehingga anak saya kasihan melihat gurunya tergagap-gagap berbahasa Inggris dan menajdi bahan tertawaan. Anak lain memilih untuk belajar sendiri dari buku daripada mendengarkan penjelasan guru dalam Bahasa Inggris yang mengenaskan. Saya pernah mencoba ngobrol dalam bahasa Inggris dengan salah satu guru sains-nya, yang ternyata cuma bisa mesam- mesem dan mengaku tidak bisa berbahasa Inggris. Pantes. Padahal alasan utama orang tua memasukkan anak di kelas RSBI adalah atmosphere bahasa Inggrisnya.

    2. Ujian / sertifikasi tidak sesuai kebutuhan
    Saya tidak berencana untuk menguliahkan anak saya ke luar negeri. Nampaknya begitu juga orang tua lainnya. Kami tetap berharap anak-anak diterima di salah satu dari lima universitas negeri favorit di sini. Setahu saya kalau mau anak lulus SMPTN, jangan masukkan ke sekolah berkurikulum internasional, tapi harus kurikulum nasional, karena kedua tipe sekolah ini punya cara seleksi dan content ujian yang berbeda. Tetapi tahun depan sekolah ini akan meng-Cambridge-kan kurikulum di kelas RSBI. Padahal saya melihat tidak ada keperluannya. Saya cuma bingung, bagaimana dengan kurikulum lokalnya? Waktu saya tanya sebenarnya berapa anak yang berencana untuk melanjutkan studi ke luar negeri selepas SMA, ternyata dari 25 murid, hanya 2 anak yang memang berencana kuliah diluar. Lantas, apakah 23 anak harus berkorban mengikuti dua anak ini? Kepala sekolahnya mengiming-imingi beberapa murid akan dicarikan beasiswa kuliah di luar negeri. Setahu kami, beasiswa untuk lulusan SMA jarang sekali. Kalau untuk mahasiswa banyak. Untuk mendapatkan beasiswa tsb juga tidak wajib bersertifikat Cambridge. Saya kira tawaran sekolah terlalu muluk, padahal biaya sertifikasi jutaan rupiah dan harus ditanggung orang tua.

    3. tuntutan belajar yang tidak realistis
    Saya melihat pendidikan dasar penting untuk pembentukkan karakter, di sekolah ber kurikulum internasional hal ini dipenuhi. Anak saya IQ-nya biasa-biasa saja, tapi tidak pernah kepingin bolos di sekolahnya dulu. Pembelajaran sangat interaktif dan menarik. Kejujuran juga sangat dijunjung tinggi di sekolahnya yang lama. Guru tidak boleh memaksakan anak mendapatkan nilai seratus di ulangan. Proses belajar diutamakan daripada hasilnya. Dua bulan bersekolah di sini, anak saya tidak terlalu happy karena guru-guru bawaanya tegang terus karena memaksakan semua anak harus pintar pada semua mata pelajaran. Akan tetapi, pada saat UAN, guru ’membantu’ murid agar lulus demi nama baik sekolah. Saya jadi bingung, konsep ’nama baik sekolah’ yang bagaimana yang ada di benak para guru dan kepsek ini!

    4. Standar kebersihan
    Di sekolah swasta internasional, standard kebersihan sangat jelas dan ketat. Tidak ada sampah berserakan, toilet tidak berbau, kantin bersih dan nyaman. Anak saya tidak mau buang air kecil di toilet sekolah karena trauma pernah buang air di sekolah tapi tiba-tiba air mati. Hal ini sering kali terjadi.

    5. Disiplin
    Jam pelajaran dimulai jam 7 pagi. Semua murid wajib sudah berada di kelas pada jam itu. Tetapi guru-gurunya baru muncul 30 menit kemudian. Kalau murid telat lebih dari 15 menit, dia dipulangkan ke rumah. Tapi tidak ada hukuman apapun kalau guru telat. Disiplin apa namanya ini?

    6. Jurang kaya-miskin dipertunjukkan
    Salah satu nilai kelebihan sekolah negeri adalah representasi keberagaman muridnya. Dengan adanya program RSBI yang spp-nya berlipat kali kelas regular, maka terjadilah segregasi yang sangat telanjang. Anak-anak orang kaya masuk kelas RSBI, yang miskin di kelas regular. Murid-murid RSBI diperlakukan sangat eksklusif, guru-guru yang konon terbaik (!), kelas ber-AC, ada in-focus, komputer lengkap dengan printer dan internet, sekelas hanya 25 anak. Bandingkan kelas reguler, sekelas 42 anak, panas, pengap, kumuh, guru-gurunya cuek, dan malas. Apa gunanya penyeragaman pakaian di sekolah tapi pikiran segregasi diperkuat dengan pembedaan fasilitas fisik yang mencolok antara si kaya dan si miskin?

    7. Tipisnya kepekaan sosial
    Mengenai pendidikan kepekaan sosial, salah satu orang tua mempertanyakan rencana sekolah untuk membawa murid-murid studi banding ke sebuah sekolah yang disebutnya sebagai sister school di Singapura. Anak-anak, guru, dan mayoritas orangtua setuju sekali. Mungkin ini ide yang baik. Tapi coba bandingkan apa yang dilakukan murid-murid JIS Jakarta. Sekolah ini mewajibkan muridnya untuk melakukan community service. Ada yang tinggal di desa dan mengajar Bahasa Inggris di sana. Mereka sangat bangga karena bisa memberi manfaat kepada bangsa Indonesia, padahal mayoritas muridnya orang asing.

    Bagi sebagian orang tua yang belum pernah menyekolahkan anaknya di sekolah internasional yang sesungguhnya, hal-hal di atas mungkin dapat dimaklumi. Mereka sudah cukup terhibur dengan janji dan fasilitas yang rada mewah menurut standard sekolah negeri. Tetapi terlalu naif untuk menilai ”taraf internasional”-nya dari sisi fisik saja.

    Belum pernah pendidikan di negeri kita menghasilkan begitu banyak kekacauan seperti yang kita alami saat ini; kecurangan UAN, uang masuk universitas negeri puluhan juta, dan ini satu lagi anomaly, RSBI. Memang betul secara fisik pendidikan kita kelihatannya membaik. Gaji guru naik, guru sudah disertifikasi, gedung sekolah mulai diperbaiki disana-sini. Ini hanya gegap gempita yang terlihat saja. Tetapi nilai-nilai edukasi (yang memang tidak kasat mata dan hanya dapat dilihat dalam jangka panjang) yang selayaknya diperjuangkan oleh departemen pendidikan, justru saat inilah yang paling dilecehkan.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih ahuahu. Komentarnya bagus dan bermanfaat. Kasihan anak yang mengalami perubahan seperti itu. Apakah anak anda bisa betahan di sekolah yang baru? Pasti dia mengalami banyak stres dan rasa kecewa pada guru dan sekolahnya.

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. setelah membaca perspective bapak/mas/ibu yang terhormat saya mempunyai argument. berkaca dari masa orde lama ke orde baru terus berubah menjadi demokrasi itulah masa transisi bangsa kita tercinta ini, seperti itu pula yang terjadi di kaca mata pendidikan yang ada dinegeri kita ini. semua program yang diadakan itu adalah sebuah pemikiran, dimana disitu pasti ada taktik dan strateginya( goals dan target ).
      SWOT adalah salah satu integrated yang dilakukan disemua lembaga baik itu formal dan non-formal yang ada dinegeri ini.
      SWOT
      strength : bagaimana situasi yang ada serta dukungan dari sikon.
      weakness : adalah fenomena environment baik itu dari quality maupun quantity.
      opportunity : memanfaatkan peluang keinginan, untuk menjadi controlling-self.
      threat : capability serta media yang standard untuk mensupport.
      program RSBI yang diadakan oleh depdiknas itu adalah salah satu antisipasi pemerintah buat bangsa ini. munkin kita pernah mendengar yang namanya free trade world " perdaganggan bebas". ketika saya mengetahui yang nama free trade world . menurut analisa saya RSBI adalah salah satu key word untuk bangsa ini, agar generasi muda lebih siap untuk berkompetisi baik itu secara internal maupun eksternal.
      belum lagi kalau kita melihat MNC (multinational cooperation) yang ada dibangsa ini sejauh mana menguntungkan bagi bangsa yang kaya akan natural resources ini.
      sejauh mana MNC itu menjadi benefit bagi bangsa ini, dan apa hal nyata yang ada dari MNC itu buat kesejahteraan rakyat??.
      apakah kita pernah menyadari bahwasanya kita sangat membutuhkan program RSBI.
      saya sebagai anak muda saya sangat berapresiasi sekali dengan program rintisan ini.
      mari kita bercermin dengan hal-hal yang spesial dibangsa ini, baik itu sangan dan pangan. contoh kecil kenapa pada saat ini anak muda dan masyarakat ekonomi menenggah ke atas lebih suka menggantri di depan KFC, MACDONALD, PIZZA HUT yang harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menggisi perut dan harus spent time mereka hanya untuk mendapatkan barang tersebut dengan harga yang jauh lebih fantastic.
      sebuah tanda tanya besar kenapa orang-orang tidak menggantri didepan warung pak sobar yang menjual ayam goreng atau bebek goreng yang asli produk bangsa ini.
      pak/ibu pendidikan itu ibaratkan nasi bungkus, ketika kita membeli dengan harga yang relativ maka kita akan mendapatkan barang yang sama. semua sesuatu itu membutuhkan proses. jangan membanding diamond dengan besi berkarat tentunya tidak akan sepadan.
      seperti itu juga pendidikan di negeri ini. jika generasi muda hanya di inject dengan monologue language atau mother tongue seperti apa perkembangan bangsa ini??. siap tidak untuk bersaing di 3,4,5 tahun kedepan???
      paradigma kita yang hanya memandang dari satu sisi tolong di eraser dan through sejauh munkin biar bangsa ini memandang tegak untuk kedepan. persaingan semankin keras, makanya harus dipersiapkan dari sekarang demi untuk kebaikan bersama.
      value yang ada untuk saat ini tentang RSBI adalah salah satu input yang besar untuk developing pendidikan bangsa ini.
      ingat suatu proses utuk mencapai hasil.
      kalau tidak sekarang kapan akan dimulai?? apakah kata-kata nanti yang harus muncul. aksi dan reaksi yang akan memproved bahwasanya hal itu terjadi. law balancing lah yang akan mengkolaborasikannya.
      terimakasih.

      Delete
  4. saya sedang mencari bahan presentasi mengenai bilingual school, makasih bgt pak informasinya sangat membantu ...
    harapan saya semoga pendidikan d indonesia ini semakin membaik dengan tidak terlalu mementingkan uang, karena bisa jadi adanya bilingualschoolitu faktor utamanya adalah uang ..

    sangat disayangkan ...

    ReplyDelete
  5. Anak saya sekolah di sekolah Bilingual bernuansa agama islam aliran salafi keras di Munjul Jakarta Timur.
    sebelum saya mendaftarkan anak saya di sekolah itu,saya baca iklan yang sangat menjanjikan,tetapi kenyataannya sangat bertolak belakang dari yang d brosur iklan sekolah.
    sekolah itukacau balau "contoh : gurunya banyak yang ga bisa bahasa inggris,dan kalaumurid bersalah, maka dendanya harus bayar uang dalam jumlah sangat besar, yang artinya Ujung ujungnya Duit.
    Metode pengajarannya sangat kaku dan Membosankan, Banyak Murid di sekolah itu lebih pintar Bahasa Inggrisnya dari Gurunya. Banyak Muris Stress karena kelas kacau berisik banget saat ada guru dan saat guru tidak masuk.
    Banyak Guru tidak masuk kelas saat jam belajar ,padahal bayar uang pedaftaran dan uang sekolah di sekolah itu sangat mahal sekali.

    ReplyDelete
  6. repot juga ya kalo pendidikan hanya berporos pada bisnis
    mesti ada subsidi dari pemerintah juga agar bisa meningkat pendidikan yg baik

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...