Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

04 August, 2008

Pengakuan Guru 4: Kelas Bilingual Lagi (SBI)

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ini ditinggalkan sebagai komentar di post Saya Lebih Mau Kelaparan Daripada Kirim Anak Saya Ke SD Negeri.

Perlu dikumpulkan berapa banayk pengakuan seperti ini sebelum orang tua merasa dorongan untuk bertindak?

Di sini kelihatan lagi bahwa program SBI ini masih kacau sekali. Guru yang tidak layak masuk kelas, diprotes oleh muridnya, dan hanya bisa minta maaf dan mengaku tidak sanggup. Dana 300 juta dihabiskan untuk kirim guru ke kursus bahasa Inggris di EF, malah oleh guru dikatakan tidak efektif. Dana 400 juta dihabiskan untuk beli buku Cambridge, ternyata guru tidak mau membacanya.

Ini jelas-jelas merupakan penipuan terhadap orang tua yang sudah bayar mahal dengan harapan anak mereka bisa mendapat pendidikan yang lebih layak dan sekaligus menjadi lancar dalam bahasa Inggris. Ternyata, siswa tetap lebih lancar daripada gurunya, dan kualitas pendidikan malah jadi terganggu karena guru tidak sanggup menjelaskan semua soal dalam bahasa Inggris. Kemungkinan besar, siswa tetap bingung kecuali hal yang sama dijelaskan dalam bahasa Indonesia.

Jadi, program SBI ini untuk apa???

Selama orang tua diam terus, dan tidak menuntut hak pendidikan yang layak bagi semua anak bangsa, situasi ini tidak akan berubah.

Solusi masalah pendidikan nasional ada di tangan orang tua.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

##########

Tolong, kalau Anda menyekolahkan anak di program R/SBI dan [anda] berpenyakit jantung, [lebih baik] JANGAN BACA dialog di bawah ini.

Mau berbagi cerita lagi, boleh ya?

Begini, barusan saya chatting dengan teman saya sesama pendamping kelas bilingual di sekolah lain. Dia bercerita ttg pengalaman rapat pertamanya dengan team kelas bilingual di sekolahnya hari itu. Ini laporannya.

Hari ini kami mengadakan rapat koordinasi tentang pelaksanaan program SBI. Masalah utama yang dibahas adalah keluhan murid dan ortunya ttg minimnya penggunaan bhs inggris di kelas. Murid-murid kelas 1 (SMA) komplain dan sering menegur guru karena tidak berbahasa Inggris di kelas, padahal mereka (murid2) kalau menggunakan Bhs Indonesia kena penalti (skor kelakuannya dikurangi)

Sekedar info, kami baru punya 1 kelas bilingual dg jumlah murid 25. Tetapi pejabat yang mengerumuni program ini buanyak sekali. Ada direktur RSBI, manager (RSBI), koordinator, wali kelas (2 org), team konsultan mata pelajaran science dan bhs Inggris (dari universitas , 3 professor, 3 master, 1 bule) yang nongol 1 kali dalam 6 bulan, bahkan 2 diantaranya belum pernah nongol sampai setahun. 1 assistent bahasa [teman saya] yang kudu stanby di kelas, babysitting the kids. Dan 16 guru mata pelajaran.

Hari ini semuanya hadir di rapat, kecuali manager kurikulum dan kepsek.

Guru A: Kami diprotes murid karena tidak menggunakan Bhs Inggris di kelas.

Sebentar-sebentar murid X meneriakkan saya, ”English please.” Ihh, sebel. Saya kan nggak kepengen ngajar di kelas bilingual ini karena inggris saya jelek. Katanya saya bakal didampingi oleh guru bahasa Inggris, kok sampe saat ini mana tuh orangnya?

Guru B: Betul. Saya juga diprotes murid karena sering salah pengucapannya. Kayaknya malu deh ditegur siswa.

Guru C: Ah, masak sih? Saya kok nggak mengalami masalah itu. Pada saat pertama kali masuk kelas, saya sudah kasih tahu kondisi bhs Inggris saya yang belepotan jadi belum berani berbahasa Inggris di kelas. Mohon maklum. Gitu.

Direktur: Lha, ibu nggak bisa gitu dong. Kan kita semua pengajar kelas bilingual. Sekolah sudah menghabiskan dana 300 jutaan lebih setahun ini untuk mengirim kita ke kursus paling hebat. Kita ini guru-guru pilihan untuk mengajar murid-murid pilihan. Semua guru bilingual wajib pakai Bahasa Inggris, terutama pengajar science dan matematika. Ingat loh murid sdh bayar spp jauh lebih mahal dg harapan gurunya speaking English.

Guru C: Setahun mah memang belum apa-apa. Katanya guru RSBI dikasih waktu 3 tahun untuk belajar Bhs Inggris di EF. Ini kan baru setahun, belum bisa diharapkan banyak dong. Apalagi yang dipelajari di kursus tuh nggak nyambung dengan kebutuhan saya ngajar. Saya perlu pake terminology matematika dan percakapan antara murid-guru. Itu yang ingin saya pelajari. Bukannya percakapan membooking hotel kayak di EF.

Manager: Bahasa Inggris jangan dianggap beban dong. Sekolah- sekolah bertaraf internasional itu kan nggak cuma ditandai dengan penggunaan Bhs Inggris. Kalau ibu dan bapak datang tidak telat, dan mengajar dengan perhatian penuh, ini kan juga salah satu indikator pendidikan bertaraf internasional. Coba teman-teman pakai tuh buku2 Cambride yang disediakan sekolah. Oh ya, kita sudah habiskan dana 400 jutaan untuk beli buku Cambridge segitu banyak. Tolong dong dibaca-baca. Dari catatan sekertaris kelas, hampir semua anak di kelas ini meminjam dan tentunya membaca buku-buku itu di rumah. Tak satupun nama guru tercatat dalam buku peminjaman. Lha, gimana toh? Malu kan sama murid kalau mereka bertanya soal yang ada di buku Cambridge, terus kita bilang, ”Maaf ibu belum baca,nak.”

Direktur: Begini ya, saya jadi inget dulu waktu dipaksa kawin sama pacar saya. Katanya kalo mau kawin jangan tunggu kaya, tunggu punya kerjaan dulu, rumah dulu, mobil dulu, dst. Yang penting kawin aja dulu, ntar rejeki juga datang, yang penting kerja keras dan berdoa. Bener kan, setelah saya menikah rasanya rejeki ngejar-ngejar saya tuh. Begitu juga dg RSBI ini, kita jalan dulu deh dengan modal apa adanya. Terus belajar mumpung pemerintah masih mau bayarin.

Guru D: Di rapat komite kemarin ada ortu yang menawarkan jasa mengajar kimia di kelas bilingual. Kebetulan dia S2 nya di Inggris. Beliau pensiunan dari lembaga penelitian punya pemerintah, jadi bisa membantu di kelas ini. Eh, sebenarnya sudah ada 3 ortu yang menawarkan diri.

Manager: Ah, bayarannya pasti mahal! Kita nggak mampu.

Guru D: Nggak kok. Mereka bilang mau kerja sukarela, kalo hanya seminggu sekali.

Direktur: Maaf bapak2 dan ibu2. Asal tahu saja tujuan program ini adalah untuk meningkatkan profesional kita, bukan orang tua. Dengan adanya program ini kita dipaksa untuk belajar [TERNYATA TIDAK – Gene]. Lagi pula saya nggak percaya penawaran mereka bener-bener gratis.

Manager: Setuju. Lagipula kalau mereka ikut mengajar nanti murid-murid akan membanding-bandingkan kita dengan mereka. Lama-lama mereka protes, yang ngajar ortu kami aja deh, bapak dan ibu dipensiundinikan karena dianggap kurang pinter. Gimana coba?

Guru E: Wah, jangan sampe deh kita diganti. Saya udah keburu nyicil motor nih [Cicilannya dibayar dari insentif ngajar kelas bilingual]

6 comments:

  1. Peringatannya perlu ditambah deh mas gene,
    Awas SBI dpt menyebabkan kanker,serangan jantung,sakit kepala,insomnia,pertumbuhan generasi terhambat,dll,
    kantong kering krn mahal,serangan jantung krn terkejut ternyata ndk sesuai gambaran,sakit kepala krn pengen anak pinter tp uangnya ndk sebanyak paman gober,insomnia krn bingung nyari pinjeman kemana,generasi yg pinter ndk berkembang krn krg modal,he..he,capek deh.
    saya sepakat deh ama pak guru,org tua hrs beraksi,tp setelah baca artikel ini,saya rasa tdk hanya org tua ,guru jg punya andil besar kl mo merubah,kl guru merasa blm siap menjalankan sbi,kenapa ndk rame2 menolak,dari pd dilecehkan ama murid,kan ndk berkah jg tuh ilmu,pemerintahnya jg dengerin(apa perlu direkomendasikan alat bantu dengar yah,he,he)
    hobinya maksain,meski hasilnya gubrak..

    ReplyDelete
  2. Temen saya lulusan RSBI SMAN 70. Apa bener SPP-nya 3,4 juta per bulan? saya nggak yakin nih, kali aja temen saya itu membesar-besarkan supaya kelihatan tajir (Gene tau tajir? artinya kebanjiran duit dan bingung mau diapain tuh duit). Kalo bener, eh nggak nyangka ya bokapnya pejabat di BNI tapi bisa ambil keputusan bloon. Bokapku cuma pegawai kecil tapi kayaknya nggak sembarangan milihin sekolah untuk anak-anaknya. Kalo memang ada uang (dan dia katholik) kenapa nggak dikirim ke Pelita Harapan aja seklian, yang jelas-jelas internasional. Mereka menggunakan paket konsultan dengan UI-Cambridge. Jadi buku dan pengajranya dari sono. Cuma anaknya bilang di kelas tetep aja dosen eh gurunya nggak 100% bhs Inggris (Iyalah...emangnya dosen matematika UI otomatis bisa ngajar math dalm BHS Inggris?). Ajaibnya, lulusan tahun 2008 ini nggak satupun yang melanjutkan kuliah ke luar negeri meski mereka sudah mengantongi certificate Adv level-nya Cambridge. Anaknya sendiri end up di SBM ITB. Lha kalo mau masuk UI atau ITB mah nggak usah mahal-mahal sekolahnya. Dari sekolah biasa sangat mungkin. Malahan kans nya lebih besar daripada sekolah yang berkurikulum Cambridge. Saya nggak menentang RSBI, mungkin ini baik untuk swasta. Cuma kalau untuk negeri, pertanyaannya simple aja? Maaaf baak dan ibu guru, memangnya Anda bisa apa? Saya bukan murid RSBI, terserah kalo mau bilang iri (iya juga sih. Temen saya itu nggak pinter-pinter amat tapi keterima di SMA favorit kelas internasional. Saya enggak padahal saya dia nggak lebih pinter dari saya) Nyadar atuh bapak dan ibu guru. Kalau Anda (guru maupun dosen kemaruk) menolak ngajar di kelas tipu-tipuan ini, program ini kan nggak bakal jalan. Gile aja kalee, 3,4 juta per bulan(kalo bener) untuk kelas tipu-tipuan. Aduh nyebut...nyebuut...buuut. Mereka yang bergabung menjalankan program ini sekelas ama koruptor. TUkang tipu. Iih, benci gue. Nyesel dilahirin dinegeri ini.

    ReplyDelete
  3. Assalamualaikum wr wb

    Mas Gene, ternyata SBI memakan korban adik sepupuku sendiri. Disa skrg sekolah di SMA 1 Depok, karena berdasarkan seleksi masuk dia masuk dalam kelas SBI maka oleh orangtuanya dimasukinlah dia ke kelas SBI. Skrg si anak tersebut stress berat dan frustasi dgn pengajaran di SBI. Mungkin krn dia kurang siap dan mantap bahasa inggrisnya, trus ditambah lagi dgn kacaunya bahasa ingris yg dikuasai setiap guru mata pelajaran so jadi dia kesulitan untuk menangkap materi yg diajarkan. Jadi kehidupan kelas seperti acak2an krn mo pakai bahasa inggris gurunya juga gak paham, mo pakai bahasa indonesia gak boleh. jadi ya dia stres skrg.

    Dia mau pindah ke kelas reguler eh gak ada bangku kosong, jadi dia memutuskan untuk pindah sekolah. Mau urus kepeindahan sekolah oleh gurunya dipersulit dgn alasan2 bahwa belum genap 1 semester sehingga belum ada rapot. huh emang saya baru ngerasain sendiri susah dan berantakanya program SBI ini.

    Wassalam

    Arif/ardobinardi

    ReplyDelete
  4. Yup. Memang begitu. Saya sudah tahu akan kacau setelah membaca “rencana” saja. Tidak perlu melihat wujud nyata di lapangan. Dan perkiraan saya menjadi 100% nyata. Sangat disayangkan pemerintah di negara ini yang belum pernah serius dalam tangani masalah pendidikan.
    Saya juga sayangkan ratusan orang tua yang telah hubungi saya (dan terus sampai dengan sekarang) yang minta saya memberikan info tentang sekolah yang terbaik biar anak mereka bisa masuk sekolah tersebut. Anak tetangga sekolah di mana, peduli amat!
    Puluhan juta orang tua berjuang sendiri-sendiri untuk mendapatkan hasil yang sama: sekolah yang layak. Karena itu, semuanya cepat dikalahkan oleh sekolah swasta yang hanya peduli pada profit, dan sekolah negeri yang seringkali tidak layak.
    Kenapa puluhan jtua orang tua tersebut tidak bisa bergabung dan membentuk suatu organisasi massal? Coba bayangkan hasilnya bila 3-5 juta orang tua berdiri di depan DPR dan menuntut hak anak mereka untuk mendapatkan pendididkan yang layak? Bukannya menjadi takut anggota DPR?
    Tetapi saya yakin hal tersebut tidak akan terlihat dalam 20 tahun mendatang. Soalnya, kebanyakan orang tua di Indonesia sangat egois, dan hanya peduli pada anak mereka (dalam pengamatan saya). Mereka sama sekali tidak peduli pada anak tetangga, sekalipun anak itu tidak bisa makan setiap hari.
    Pejabat adalah orang tua yang punya anak (dan cucu) juga. Kalau Presiden serius untuk tangani masalah pendidikan, cukup dengan satu Keppres saja:
    “Mulai hari ini, semua anak dan cucu dari semua pejabat negara dan PNS pada semua tingkat, semua jenderal dan semua pewira TNI dan Polisi, dan semua anggota DPR dan MPR, semua pejabat pada tingkat Gubenur, walikota, bupati, lurah dan sebagainya WAJIB menyekolahkan anaknya dan cucunya pada sekolah negeri yang TERBURUK di dalam wilayah masing-masing. Dilarang sama sekali masuk sekolah swasta. Dan dilarang sekolah ke luar negeri.” (Dengan sangsi yang berat bagi yang melanggar).
    Besok hari, setelah Keppres itu keluar, semua pejabat akan langsung panik dan menjadi takut pada isterinya kalau anak atau cucu mereka harus masuk sekolah yang tidak layak. Mereka akan menekan Depdiknas dengan penekanan yang paling luar biasa yang pernah terlihat di dalam lingkungan politik Indonesia. Dan setelah semua sudah teriak dengan keras dan menuntut pendidikan yang layak untuk semua anak di wilayah mereka (karena anak mereka masuk sekolah yang terburuk, berarti semuanya harus punya kualitas yang sama-sama tinggi biar anak mereka dapat yang baik juga), baru ada kemungkinan akan terwujud tingkat pendidikan yang layak bagi semua anak bangsa.
    Tetapi tidak mungkin ada seorang presiden yang begitu berani. Dan juga tidak mungkin ada seorang presiden yang begitu peduli pada semua anak bangsa. Anak mati kelaparan saja, presiden tidak berkomentar, tidak datang ke lokasi, dan tidak bertindak. Dianggap biasa-biasa saja.
    Begitulah kebanyakan orang Indonesia. Semua orang berjuang untuk diri sendiri, dan berusaha mengisi rekening dengan uang sebanyak mungkin sebelum pensiun. Masa depan bangsa dan generasi mendatang bukan urusan mereka. Dan juga bukan urusan pemerintah.
    Selamat datang di Indonesia.

    ReplyDelete
  5. 7 tahun yang lalu saya pernah marah- sangat marah pada sisitm pendidikan di Indonesia.. sekarang kayaknya tidak marah lagi walaupun masih tidak sepaham dengan apa yang terjadi (marahnya kan tidak boleh dari 3 hari - selebihnya serahkan segala urusan kepada Allah yang Maha Pemilik dan Pengatur Segala Urusan). setelah membaca blog ini saya jadi berpikir ada tidak ya yang mau mebaca tulisan saya (dulu waktu marah saya tuangkan ke dalam bentuk tulisan yang sangat berantakan karena namanya juga di tulis dalam kondisi jengkel dan memang tidak bakat nulis). tapi inti dari tulisan itu adalah apakah tidak sebaiknya kata wajib belajar diganti dengan hak belajar.. karena hanya dengan perbedaan 2 kata tetapi imbasnya luar biasa baik dari input yang dituankan dalam proses belajar mengajar (materi belajar, teknik belajar dan mengajar, evaluasi, sarana dan prasarana termasuk didalamnya adalah pihak murid, orang tua, sekolah, guru, pemerintah, lingkungan)sampai akhirnya pada output. sangat menyedihkan....

    ReplyDelete
  6. Di Indonesia belum ada banyak politikus dan pejabat yang peduli pada hak2 anak bangsa.

    Kebanyakan dari mereka lebih peduli pada hak politikus untuk dapat posisi “basah” biar ada banyak amplop yang bisa dikumpulkan sebelum masa pensiun.

    Hak2 anak bangsa nggak masuk hitungan.

    Wassalam,

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...