Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

27 April, 2010

Sekolah Selesai, Pelajar Mencoret-Coret Bajunya Lagi

Assalamu'alaikum wr.wb.,
Setiap tahun, hal yang sama terulang lagi. Pelajar selesai sekolah, dan baju mereka dicoret-coret. Yang paling senang, pedagang cat semprot. Dan setelah selesai mencoret baju, celana, tas dan bahkan rambut teman, apakah mereka berhenti di situ juga? Apalagi yang akan mereka rusak dengan grafiti dalam perjalanan pulang, karena masih ada sisa cat semprot yang belum dipakai?

Kemarin saya lewat jembatan busway di Gatot Soebroto. Pada pegangan tangan di pinggir tangga, ada puluhan, atau mungkin ratusan nama dari anak2 selolah yang dicoret ke mana-mana dengan spidol. Mungkin mereka anggap itu boleh2 saja, karena setiap tahun dibiasakan melakukan hal yang sama terhadap bajunya.

Kenapa budaya “merusak baju” menjadi lebih umum di sini? Sedangkan untuk sebagian keluarga yang miskin, anaknya harus putus sekolah karena biaya untuk beli buku dan juga SERAGAM terlalu mahal bagi mereka. Kenapa harus ada budaya coret2 baju, dan bukan sedekahkan baju kepada orang yang kurang mampu?

Anak-anak Indonesia dibiasakan merusak barang miliknya dan tidak usah peduli pada tetangga yang hidup dalam kemiskinan. Yang penting senang sendiri. Lalu, sebagian dari anak2 sekolah itu akan menjadi pemimpin dan pejabat di masa depan. Apakah mereka sanggup peduli pada orang lain? Atau lebih sanggup peduli pada diri sendiri di atas segala-galanya? Mau korupsi? Kenapa tidak! Asal bisa lebih kaya daripada orang lain!

Sangat disayangkan bahwa para guru, kepala sekolah, organisasi pendidikan, Menteri Pendidikan, dan bahkan Presiden tidak berusaha untuk MENDIDIK anak bangsa supaya mereka lebih senang memberi dan bersedekah daripada mengambil dan merusak.
Daripada membuat pedagang cat semprot bahagia, bagaimana kalau pada tahun depan, anak-anak sekolah mengumpulkan seragam bekas mereka, dan juga uang saku mereka (yang tahun ini digunakan untuk beli cat semprot) dan mereka sedekahkan semuanya kepada tetangga-tetangga yang miskin, supaya anak mereka juga bisa bersekolah?

Masih ingat gotong royong? Saya pernah diajarkan tentang itu waktu kuliah di Australia. Mahasiswa di Australia masih harus belajar tentang itu. Sayangnya, anak Indonesia sendiri sudah tidak peduli lagi padanya.

Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene
########

Pedagang Cat Semprot Untung Besar Saat Pengumuman Kelulusan Siswa

Senin, 26/04/2010 16:23 WIB
Ari Saputra – detikNews
Jakarta - Lulus atau tidak, rezeki tahunan kembali ke pedagang cat semprot. Mereka mengaku menyiapkan jauh-jauh hari untuk perayaan tahunan para pelajar SMP/SMu. Penjual menyetok hingga 2 kali lipat dari jumlah sehari-hari, mengantisipasi lonjakan permintaan.

"Sehari-hari, saya sedia 40-an botol ukuran sedang. Sejak 3 hari lalu saya nambah menjadi 100 botol. Perbotol Rp 35.000," kata Dani, salah satu penjaga toko di kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan, Senin (26/4/2010).

Menurut Dani, dari tahun ke tahun permintaan cat semprot naik turun. Tidak dapat dipastikan trend dari tahun ke tahun. Hanya saja pembeli kebanyakan siswa SMA secara bergerombol. Satu 'gank' memborong 5 hingga 10 botol dengan warna-wana terang dan mencolok.

"Yang paling banyak tetep warna dasar. Hijau, biru, merah. Belinya gerombolan. Ada yang patungan, ada yang ngebosin. Keliatan dari receh atau uang ratusan ribu,"  tukas Rudi (40) salah satu penjaga toko yang lain dikawasan serupa.

Budaya mengecat baju seragam dengan cat semprot sudah mengakar. Bila membuka file foto tahun 80-an hingga 90-an, kultur pelajar tersebut telah terekam. Tidak hanya baju seragam, tetapi juga rambut, celana atau sebagian wajah. Biasanya disertai coretan spidol warna mencolok dengan berbagai komentar unik ataupun tanda-tangan satu kelompok.

"Sejak saya jualan di sini 20 tahun lalu, sudah ada tuh beli-beli cat semprot. Lumayan untung sih. Kan pada mborong," imbuh Rudi.

Hanya saja, pro-kontra menyemprot baju seragam selalu naik turun dari tahun ke tahun. Bagi yang menolak, menyayangkan karena baju yang disemprot dapat disumbangkan kepada siswa tidak mampu. Sementara yang membolehkan mencoba memahami psikologis anak yang sedang berbahagia. (Ari/anw)

Sumber: detiknews.com

3 comments:

  1. (dari teman)

    Mas Gene,

    Saya juga punya kegelisahan yang sama. Kemarin saya juga melintasi jalan dan banyak bertemu gerombolan siswa yang seperti itu. Di milis lain ada postingan dari kantor berita Antara, para siswi di Pamekasan melepas kerudungnya dan menjadikannya seperti bendera saat konvoi dengan dibonceng siswa laki-laki. Nggak berhenti sampai di situ, mereka juga menggunting roknya.

    Tahun sebelumnya, saya membaca koran, para siswi itu bahkan juga nekat meminta guru laki-lakinya menyemprotkan cat di bagian (maaf) pantat dan dada. Astaghfirullah, sangat mengenaskan ya...

    Entah siapa yang mulai tradisi "sesat" ini. Tapi kita memang perlu menghentikannya melalui proses pembinaan yang intensif di sekolah. Guru jangan hanya peduli pada target materi yang diampu, tapi juga penting untuk menyampaikan nilai-nilai yang baik dan buruk untuk siswa.

    Salam,
    MI

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum

    Apa yang ditulis Gene itu memang benar, dan telah menjadi bagian kegelisahan banyak orang di Negeri ini.

    Tapi menurutku yang paling bertanggung jawab terhadap prilaku anak-anak seperti itu adalah orang tuanya. Karena Madrasah/ tempat pendidikan pertama bagi anak adalah keluarga. Kalau dari kecil, anak-anak ditanamkan untuk menghargai rezeki dan dilatih untuk mengasihi sesama, Insya Allah ketika dewasa, mereka akan terhindar dari melakukan perbuatan yang sia-sia.

    Oh ya Gene, saat pergi ke Mall, saat melintasi gedung cinema, aku suka berfikir: seandainya semua uang yang dibelanjakan oleh para muslim untuk nonton di Cinema dikumpulkan, maka Insya Allah jumlah uang mereka bisa untuk membantu anak yatim. Tapi itu hanya sebuah angan-anganku yang mungkin bagi banyak orang itu adalah suatu fikiran yang sangat naif.

    bahwa memikirkan bangsa adalah tugas kita semua, hanya porsi dan tugas yang berbeda sesuai dengan jabatan dan kemampuan masing-masing individu.

    Allat ta'ala telah menjajikan kesejahteraan kepada suatu negeri, apabila penduduknya taat kepada Dia yang Maha Segala-galanya.

    Inilah PR besar bagi kita semua, bagaimana membantu membuat negeri ini menjadi sejahtera. Ayo kita mualai dari diri sendiri, keluarga dan tetangga. Wallohua'lam Bishowab.

    ReplyDelete
  3. Salam.., jaman saya SMA..(engga seangkatan sama Om gene kayaknya:)
    Waktu pengumuman kelulusan itu tidak disekolah.
    Guru menkelompokan siswa, untuk berkumpul disalah satu rumah teman yang dipilih berkumpul disana. dengan baju yang bebas, tidak berseragam. Dan di rumah itu baru diserahkan hasil kelulusan..ya yang bersuka cita memang tidak banyak. karena tidak disatukan di sekolah. itu untuk mengantisipasi hal2 yang tidak diinginkan. Dan waktu SMA cuma sekolah saya yang ga rame2 corat coret..., yang penting lulus^_^ perjuangan lulus dari kelas IPA itu huhuhu..senangnya tujuh turunan..ga ketemu matematika lagi, pelampiasannya cuma makan-makan sama teman2...syukuran, dan baju seragam sekolahnya yang masih layak pakai, disumbangkan:)seharusnya gitu aja...itu ide guru-guru saya yang Oke jaman SMA:D

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...