Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

20 April, 2011

Tiga dari sepuluh tukang ojek di Jakarta adalah sarjana

 Mari Berwirausaha

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. R Edy Haryatno Fitriyanto (41) tak pernah mengira hidupnya bakal berubah drastis. Ketika PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran terhadap 6.551 karyawannya, Edy Haryatno Fitriyanto termasuk di dalamnya.

Sarjana Teknik Nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada ini tersingkir dari PT DI tahun 2003. Protes dan unjuk rasa tak mampu mengubah keputusan perusahaannya. Berbagai usaha telah dicoba untuk menyambung hidup. Dari beternak kelinci, ayam, itik, berjualan rokok, dan keripik singkong. Namun, kerja serabutan tersebut gagal atau tidak memuaskan. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjualan es krim di di pusat perbelanjaan Ramayana, Kota Cimahi, Jawa Barat.

Edy, yang dulunya bekerja sebagai pemrogram dan pendesain di bagian Engineering Research Development Center PT DI, harus menerima kenyataan ini. Bukan hanya Edy yang membuka usaha ini. Sedikitnya ada tujuh orang rekannya yang bernasib serupa, berjualan es krim.
“Itu karena kecakapan teknik yang tinggi tidak disertai dengan entrepreneurship (kewirausahaan) sehingga tidak dapat di manfaatkan secara efektif di tengah masyarakat,” ujar Agung B. Waluyo, PhD, dosen Universitas Ciputra, Jakarta.

Kisah malang Edy yang diwartakan sebuah harian nasional edisi 28 April 2007 dicuplik Agung di awal paparannya. Fakta itu membuat puluhan peserta Rapat Koordinasi Nasional tentang Program Kewirausahaan Masyarakat, di Yogyakarta, pada 12 Desember 2009 lalu itu terhenyak. Sebagian peserta yang sebelumnya menikmati kudapan, memainkan telepon genggam atau berbincang dengan peserta lain, mendadak menghentikan aktivitasnya. Semua mata tertuju pada Agung. Seluruh ruangan menjadi hening.

Seolah memanfaatkan momentum ini, Agung menghamburkan contoh-contoh lain. Kali ini, dia mengutip hasil riset terbaru dari Guru Besar Ekonomi Universitas Krisnadwipayana dan mantan Dirjen Binawas Depnaker, Profesor DR Payaman J Simanjuntak di Jakarta. “Riset Profesor Payaman menemukan bahwa tiga dari sepuluh tukang ojek di Jakarta adalah sarjana,” tandas Agung.

Agung menjelaskan, penganggur berstatus sarjana jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Pada tahun 2007, BPS mencatat 740.206 penganggur lulusan perguruan tinggi. Setahun berikutnya, jumlahnya melonjak menjadi 1,1 juta orang. Berikutnya, Agung menampilkan gambar derita seorang TKW di Malaysia. TKW itu terpotret merayap di jendela sebuah apartemen di lantai atas. Dia bersiap melompat kabur dari deraan siksa sang majikan. Upayanya berhasil dicegah setelah diselamatkan polisi setempat.

“Kelangkaan pekerjaan di Tanah Air mendorong generasi muda menjadi TKI. Tanpa entrepreneurship, Indonesia akan mengirim lebih banyak TKI ke luar negeri,” tegasnya.
Minimnya lapangan pekerjaan ditambah tingginya angka pengangguran terutama mereka yang terdidik, berpotensi menimbulkan masalah sosial. Dari tingginya angka kriminalitas, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, sampai perdagangan manusia. Stabilitas nasional akan terancam bila masalah krusial ini dibiarkan.

Menurut Agung, kewirausahaan adalah jiwa dan semangat yang membuat negara manapun mampu mengatasi masalah dunia di abad 21. Kewirausahaan dan wirausahawan juga memiliki makna penting dalam kemajuan sebuah bangsa.

Dalam kesempatan yang sama, Eko Suhartanto, pengajar Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya, Jakarta, memaparkan makna penting kewirausahaan dan wirausahawan dalam kemajuan sebuah bangsa. Eko mengungkapkan, besarnya jumlah wirausahawan di sebuah negara akan membawa kemajuan pesat bagi negara tersebut. Mengutip data hasil penelitian Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2007, dia mencontohkan kesejahteraan yang dialami Amerika Serikat karena 11 persen penduduknya adalah wirausahawan. Begitu pula dengan negara tetangga, Singapura yang 7 persen penduduknya menjadi wirausahawan.

Di Indonesia, lanjut Eko, jumlah wirausahawan baru sekitar 0,18 persen atau 400 ribu orang dari total jumlah penduduk. Untuk mengejar ketinggalan itu, Eko menuturkan, Indonesia memerlukan lebih banyak wirausahawan yang didorong oleh visi dan inovasi serta berorientasi pada penciptaan lapangan kerja baru.

Untuk hal ini, Agung menuturkan, wirausahawan bisa dibentuk lewat tiga cara. Yakni, dilahirkan sebagai wirausahawan, dibentuk melalui lingkungan, dan latihan. Dalam hal dibentuk melalui latihan, agung memaparkan, pendidikan kewirausahaan yang diajarkan di kampusnya. Di antaranya, pembelajaran lewat pengalaman; menyertakan business creation, business operation dan business growth; serta pembentukan jiwa wirausahawan secara utuh melalui pola pikir, perilaku, keahlian dan pengetahuan.

“Selain itu, cara mengajarnya harus oleh orang yang tepat, pada orang yang tepat atau selektif, dan dengan pendekatan yang benar,” tandasnya.
Sejalan dengan itu, Direktur Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan (Ditbinsuskel) DR Wartanto mengatakan, pemerintah fokus pada program kewirausahaan di tahun 2010. Oleh karena itu, lanjut dia, semua jalur dan jenis pendidikan harus mengajarkan program kewirausahaan. Termasuk membuat kurikulum kewirausahaan dalam pendidikan formal dari jenjang SD sampai perguruan tinggi.

”Khusus PNFI, harus menajamkan kewirausahaan dengan merancang program sampai peserta didik betul-betul mandiri,” ujarnya.
Wartanto menambahkan, program kewirausahaan yang dilaksanakan harus mengubah pola pikir, dan mental peserta didik dari mencari pekerjaan menjadi menciptakan pekerjaan. Sebab, kata dia, menciptakan wirausahawan tak cukup dengan pembekalan keterampilan. Harus diiringi dengan pengubahan mental dan perilaku sebagai calon wirausahawan.
Terkait dengan hal itu, Wartanto mengungkapkan, Ditjen PNFI akan meluncurkan program Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) pada tahun 2010.
”Sasaran rintisan PKM 2010 adalah pilot project di 125 lembaga yang memenuhi syarat,” tandasnya.

Dia menambahkan, bila program PKM di 125 lembaga percontohan itu berlangsung baik maka bisa dilanjutkan di tahun depan dengan jumlah lembaga lebih banyak. Jika program ini berjalan sesuai rencana maka akan banyak lahir wirausahawan baru pencipta lapangan kerja. Pada akhirnya, penuntasan masalah pengangguran dan kemiskinan bukan lagi sekadar mimpi. (mss)

2 comments:

  1. Assalamu'alaikum wr wb.
    Ada kesalahan dari awal pola pendidikan di tanah air.
    " capailah prestasi di sekolah setinggi mungkin, apapun caramu, supaya bisa dapet kerja yang oke, naik pangkat setinggi-tingginya, kalo bisa pegawai negeri, jadi aman masa depanmu"
    padahal pola seperti ini mematikan daya tahan bangsa.
    hasil pendidikan yang diperoleh adalah :
    1. segala cara ditempuh untuk dapet nilai tinggi, termasuk nyogok guru, nyontek dsb., akhirnya bukan isi materi pendidikan yang didapat tapi kesimpulan keliru untuk mencapai tujuan.

    2. inovasi dan pengembangan bakat nol, karena dilarang secara system, semua harus sama, kelebihan individual yang dikaruniakan Tuhan tidak boleh berkembang karena kurikulum harus sama, dalam arti biarpun sesoerang bakat disuatu bidang, kalau tidak lulus di suatu mata pelajaran maka dianggap bodoh.

    3. wiraswasta itu hanya untuk orang yang terpaksa, yang dianggap hebat adalah yang terus naik pangkat sebagai karyawan biarpun menghalalkan segala cara, akhirnya korupsi merajalela karena masing-masing orang ingin dianggap paling hebat, paling kaya, paling berkuasa, akhirnya bangsa ini sama dengan bunuh diri

    4. generasi muda dibuat lupa, bahwa sebenarnya yang menyumbang dana adalah sektor badan usaha yang membayar pajak, pegawai negeri itu hanya beban bagi rakyat, artinya kalau semua jadi pegawai negeri beban pemerintah dan rakyat akan semakin besar, semua jadi pemberat beban bukan malah sebagai peringan beban

    5. Generasi muda akhirnya lemah, tidak tahu bagaimana bertahan hidup diantara persaingan dagang dunia, akhirnya dijajah, semula dijajah secara ekonomi, dan akhrnya semua bahkan negara dikuasai bangsa yang dididik survive sebagai pengusaha.

    karena itu jangan harapkan pemerintah ikut bertanggung jawab, mereka paham saja mungkin tidak, karena mereka ini hasil didikan semacam itu dari awal.
    kita sendiri yang harus waspada, bagaimana anak-anak kita sanggup bertahan dari hantaman kehidupan dengan kemampuan berwirausaha.

    Wassalamu'alaikum wr wb.

    ReplyDelete
  2. (dikirim lewat email):
    Assalamu'alaikum wr wb.

    Ada kesalahan dari awal pola pendidikan di tanah air.

    " capailah prestasi di sekolah setinggi mungkin, apapun caramu, supaya bisa dapet kerja yang oke, naikpangkat setinggi-tingginya, kalo bisa pegawai negeri, jadi aman masa depanmu"

    padahal pola seperti ini mematikan daya tahan bangsa.

    hasil pendidikan yang diperoleh adalah :

    1. segala cara ditempuh untuk dapet nilai tinggi, termasuk nyogok guru, nyontek dsb., akhirnya bukan isi materi pendidikan yang didapat tapi kesimpulan keliru untuk mencapai tujuan.



    2. inovasi dan pengembangan bakat nol, karena dilarang secara system, semua harus sama, kelebihan individual yang dikaruniakan Tuhan tidak boleh berkembang karena kurikulum harus sama, dalam arti biarpun sesoerang bakat disuatu bidang, kalau tidak lulus di suatu mata pelajaran maka dianggap bodoh.



    3. wiraswasta itu hanya untuk orang yang terpaksa, yang dianggap hebat adalah yang terus naik pangkat sebagai karyawan biarpun menghalalkan segala cara, akhirnya korupsi merajalela karena masing-masing orang ingin dianggap paling hebat, paling kaya, paling berkuasa, akhirnya bangsa ini sama dengan bunuh diri



    4. generasi muda dibuat lupa, bahwa sebenarnya yang menyumbang dana adalah sektor badan usaha yang membayar pajak, pegawai negeri itu hanya beban bagi rakyat, artinya kalau semua jadi pegawai negeri beban pemerintah dan rakyat akan semakin besar, semua jadi pemberat beban bukan malah sebagai peringan beban



    5. Generasi muda akhirnya lemah, tidak tahu bagaimana bertahan hidup diantara persaingan dagang dunia, akhirnya dijajah, semula dijajah secara ekonomi, dan akhrnya semua bahkan negara dikuasai bangsa yang dididik survive sebagai pengusaha.



    karena itu jangan harapkan pemerintah ikut bertanggung jawab, mereka paham saja mungkin tidak, karena mereka ini hasil didikan semacam itu dari awal.

    kita sendiri yang harus waspada, bagaimana anak-anak kita sanggup bertahan dari hantaman kehidupan dengan kemampuan berwirausaha.



    Wassalamu'alaikum wr wb.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...