Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

10 October, 2011

Kondisi Berat Dalam Sekolah Di Indonesia

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Katanya dalam artikel berita ini bahwa Indonesia mempunyai jam sekolah yang paling lama di dunia. Kalau benar, kenapa murid2 di Indonesia tidak menjadi murid paling pintar di dunia?
Saya ingat waktu sekolah di Selandia Baru dulu. Masuk jam 8.45 pagi. Pulang jam 3.15 sore (untuk SMP-SMA, tetapi SD pulang lebih cepat). Dan ada waktu istirahat pagi 20 min, sekitar jam 10 pagi dan istirahat untuk makan siang dan main selama 1 jam dari jam 12.00-13.00.
PR yang diberikan tidak begitu banyak. Di tingkat SD tidak ada PR (atau jarang sekali ada). SMP-SMA ada sedikit, tetapi harus dikoordinasi antara semua kelas, jadi tidak bisa dapat PR dari semua kelas dalam satu hari. Maksimal jumlah PR tidak lebih dari 2 jam, dan rata2 tidak sebanyak itu. Seringkali tidak dapat PR dari semua kelas dalam satu hari.
Kelas 3 SMA, rata-rata semua murid mengikuti 5 mata pelajaran saja. Bukan 20an seperti di sini. Di tingkat2 sebelumnya, ada sedikit lebih banyak kelas, karena pelajaran lebih ringan dan agar siswa dapat ilmu yang lebih luas. Jadi makin tinggi tingkat sekolahnya, makin fokus. (Saya lupa totalnya di SMP, tetapi kalau tidak salah, tidak lebih dari 10 kelas).

Ulangan juga sedikit. Bukan setiap 1-2 minggu seperti di sini. Ujian dari guru kelas saja, jadi tidak dikoordinasi untuk seluruh sekolah sekaligus. Setiap guru boleh menentukan sendiri kapan mau kasih ujian ringan, asal ada sekian dalam satu semester. Jadi guru bikin jadwal sendiri2 dan kasih tahu kepada siswa untuk dicatat dalam 1-2 minggu sebelumnya.
Fasilitas juga baik dan berkualitas. Pembangunan gedung sekolah tidak ada korupsinya, jadi atap tidak pernah ambruk. Fee sekolah juga tidak ada. Hanya ada biaya admin sekali bayar di awal tahun (sekitar 100 dolar).
Seragam cuma satu untuk musim panas, satu untuk musim dingin. Tidak ada seragam khusus untuk upacara atau kegiatan yang lain (padahal orang tua lebih mampu beli daripada orang tua di sini). Di Indonesia bisa 3-4 macam seragam: (putih, abu-abu, batik, koko, pramuka).
Pada akhir setiap tahun, seragam lama boleh dijual (atau dikasih) ke sekolah dengan biaya rendah untuk kebutuhan anak kurang mampu. Jadi mereka bisa beli dari koperasi sekolah dengan biaya murah sekali. Tidak ada orang yang coret2 bajunya seperti di sini. Lebih banyak disedekahkan atau dijual murah kepada anak yang kurang mampu lewat sekolah, jadi kita tidak tahu anak mana yang beli atau siapa yang jual, karena pihak sekolah yang terima dan jual kembali supaya tidak ada yang merasa malu.
Semua buku teks milik sekolah, dan hanya dipinjamkan dan dikembalikan. Hanya perlu bayar sekian dolar kalau terjadi kerusakan. Jadi setiap sekolah hanya menggantikan buku teks sekali dalam 5-10 tahun.

Tidak pernah ada tawuran antar sekolah selama saya sekolah di Selandia Baru. Semua “keributan” antara sekolah hanya terjadi di lapangan olahraga, dan tidak ada selain itu. Murid yang mau berantem juga sedikit sekali. Kebanyakan murid tidak tertarik untuk ribut seperti itu. Semuanya sibuk dengan olah raga, kerja setelah sekolah (bantu orang tua di toko, tugas rumah, antar koran dll.), sibuk dengan keluarga atau santai di rumah masing2.
Murid yang merokok bisa dihitung (sangat sedikit) karena semua guru mengajarkan anak untuk tidak merokok, dan merupakan pelanggaran peraturan sekolah kalau ketahuan merokok, bahkan kalau merokok di luar waktu sekolah. Kita bisa lapor ke guru kalau tahu ada murid yang merokok, dan anak itu akan dipanggil untuk dapat binaan. Di lingkungan sekolah, tidak ada yang boleh merokok sama sekali.
Perpustakaan besar sekali, dua lantai di SMP-SMA saya. Dan setiap kelas ada waktu kosong 1 jam per minggu untuk duduk saja di dalam perpustakaan, tanpa ada beban tugas apapun. Terserah mau melakukan apa saja di dalam perpustakaan. Kebanyakan orang jadi membaca buku, sebagian kerjakan PR. Tidak ada yang tidur. Guru tetap ada, dan bergaul dengan semua murid di situ seperti teman dan pembina, tanpa memaksa kita harus mengerjakan sesuatu. Lebih mungkin guru tanya tentang kesukaan kita dan bantu kita cari buku. Saya ingat ada teman saya yang punya sifat kasar. Guru tanya kenapa dia tidak mau baca buku, dan dia bilang karena semua buku terlalu bersih dan manis, jadi dia tidak suka. Akhirnya guru bantu dia dapat novel yang penuh dengan kehidupan gangster, lengkap dengan kata2 kasar, sisi buruk kehidupan, dll. Kata guru, yang penting dia merasa senang membaca dulu. Tidak penting baca apa, asal mau baca.

Kenapa Indonesia harus sangat berbeda dengan negara maju seperti Selandia Baru? Sedangkan kondisi dan beban terhadap murid, jam sekolah, pelajaran dan sebagainya jauh lebih berat di sini? Kenapa di sini harus ada 3-4 seragam, sedangkan di negara maju hanya ada 1-2 versi (sesuai cuaca)? Kenapa murid bisa dapat 23 mata pelajaran di tingkat kelas 3 SMA? (Saya pernah lihat daftar 23 kelas itu di dalam buku catatan murid saya, dan hampir pingsan karena tidak percaya dia bisa dikasih begitu banyak pelajaran dari pihak sekolah). Kenapa bukan 6 mata pelajaran saja? Kalau tidak ada korupsi yang dilakukan terus oleh pejabat pendidikan, semua sekolah akan mampu beli buku sendiri, jadi murid tidak perlu beli. Tetapi malah korupsi yang diutamakan di sini, bukan kesejahteraan siswa.
Kenapa orang tua dan guru selalu diam setiap tahun ketika anak2 mencoret dan merusak seragam mereka? Kenapa anak non-Muslim di negara barat bisa lebih peduli pada teman yang miskin daripada orang tua, guru dan murid yang Muslim di Indonesia? Kenapa seragam tidak dikumpulkan dan dikirim ke daerah untuk kebutuhan anak2 yang terpaksa putus sekolah karena tidak sanggup beli seragam?  

Saya tidak paham kenapa Indonesia menjadi seperti ini. Saya lebih tidak paham lagi kenapa seratus juta orang tua bisa menerima keadaan ini SETIAP HARI, SETIAP BULAN, SETIAP TAHUN tanpa ada yang mau berusaha untuk mencari keadaan yang lebih baik.   
Kasihan anak Indonesia. Saya bermimpi suatu hari kondisi pendidikan di sini bisa menjadi lebih baik lagi dari Selandia Baru.  

Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
*********

Guru Sudah Mulai Bosan dan Lelah Mengajar

Liputan 6 – Rab, 5 Okt 2011
Liputan6.com, Jakarta: Memperingati hari Guru Internasional yang jatuh tepat pada tanggal 5 Oktober, tak sedikit guru di Indonesia yang masih mengeluh dengan kebijakan pemerintah saat ini. Guru juga manusia, punya rasa lelah, bosan dan stres.

Demikian ungkapan dari salah seorang guru yang sehari-hari mengajar di SMU 26 Jakarta, Fakhrul Alam, menyoroti kebijakan pemerintah saat ini terkait dengan jam mengajar tatap muka. Dirinya menganggap kebijakan ini tak masuk akal dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu. "Kondisi kelas yang nyaman tidak nampak di kelas yang dijejali dengan 40 siswa. Proses dituntut kontekstual, dan student centered learning. Tetapi guru dituntut berdiri di kelas 27,5 jam tatap muka, ini sangat tak masuk akal. Guru juga manusia punya rasa lelah, bosan dan bisa stres," ujar guru yang juga anggota Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) kepada Liputan6.com, Rabu (5/10).

Fakhrul mengatakan, pendidikan di Indonesia menganut sistem belajar paling lama di dunia. Sekitar tahun 80-an, guru juga dibebani 24 jam. Namun 18 jam itu untuk tatap muka, 6 jam untuk pelayanan, koreksi dan pengembangan materi dan lainya. "Kami pernah hadir dalam sebuah workshop di situ dikatakan pendidikan kita ini menganut sistem belajar paling lama di dunia. Masuk jam 6.30 selesai jam 15.10, ini umumnya di sekolah negeri," ungkapnya.
Ia menganggap kondisi ini tentu akan sangat mencerdaskan, jika kondisi ditunjang dengan lingkungan nyaman dan proses pembelajaran berjalan sesuai kebutuhan siswa, serta diasuh oleh guru-guru yang mumpuni. "Tapi dengan jumlah 40 siswa dalam satu kelas adalah omong kosong. Sepiawai apapun seorang guru akan berhasil menerapkan model pembelajaran siswa aktif secara efektif jika kondisi seperti ini," ujarnya.

Sebelumnya sesuai kebijakan Permendiknas No. 39 Tahun 2009, untuk mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) seorang guru harus memiliki kewajiban mengajar 24 jam tatap muka. Belum selesai dengan kebijakan tersebut, muncul usulan dari Kemenpan mengenai kewajiban guru mengajar 27,5 jam tatap muka. Usulan Kemenpan tersebut pun disetujui oleh Mendiknas yang dinilai kalangan guru sebagai hal yang tidak realistis. (ARI)

4 comments:

  1. Di Tunisa kemarin, terbukti bahwa masyarakat yang bersatu bisa bertindak untuk menjatuhkan seorang diktator yang kuat. Di Mesir, terbukti lagi. Di Libya, terbukti lagi.
    Rakyat yang bersatu dengan tujuan yang sama bisa mengakhiri suatu keadaan yang buruk, dan menciptakan keadaan yang lebih baik, demi kepentingan masa depan anak2 mereka.
    Sedangkan di Indonesia, setiap tahun, rakyat diam saja dan mengatakan “Kalau saya berprotes, tidak akan terjadi perubahan. Jadi buat apa protes?”
    UN dilakukan setiap tahun, dan membuat anak sekolah stress. Guru buruk memukul murid, dan kalau menjadi kasus dengan dilaporkan ke polisi (biasanya tidak menjadi perkara), maka guru hanya diberi sangsi administratif atau dimutasi ke daerah lain (untuk memukul murid di sana).
    Orang tua diam ketika sekolah menjadi lebih mahal, tetapi kualitas dari fasiltias sekolah justru menurun.
    Guru diam ketika mereka tahu kepala sekolah melakukan korupsi dengan uang BOS yang mesti digunakan untuk kepentingan siswa.
    Orang tua dan murid diam kalau mereka tahu ada pelanggaran dari guru yang buruk, karena mereka takut nilai anak akan diturunkan oleh guru tersebut.
    Orang tua, guru dan murid diam karena tidak ada sistem untuk melaporkan pelanggaran langsung kepada kelompok independen yang mengawasi pendidikan nasional (semacam watchdog terhadap Diknas dan jaringan sekolah dan guru secara nasional). Di semua negara maju ada organisasi seperti itu, dan rakyat bisa membuat laporan, dan laporan tersebut akan ditindak lanjuti. Di sini, setahu saya, sistem seperti itu tidak ada, dan semua orang diam tanpa menuntut harus dibuat. )Tapi kalau tidak salah, di negara maju tidak perlu kelompok independen. Dari Diknas sendiri sudah dibuat dan kerja secara professional. Di sini, harus mirip KPK dan independen dari Diknas.

    Di negara lain, diktator yang brutal bisa dijatuhkan oleh rakyat (orang tua, guru dan murid) yang bersatu untuk mencari solusi terhadap kehidupan mereka yang belum bagus. Dan mereka berhasil.
    Di sini, semua orang memilih diam, dan cari uang sebanyak2nya (bahkan dengan cara melakukan korupsi) agar anak mereka bisa masuk sekolah swasta dan setelah itu kuliah di luar negeri.
    Orang yang kaya hanya sebatas membuat sekolah swasta baru untuk anak2 mereka, dan anak teman mereka. Mereka tidak peduli pada puluhan juta anak lain yang mendapatkan sistem pendidikan yang buruk, dan guru yang buruk, di dalam sekolah yang buruk, untuk kemudian lulus dan dapat pekerjaan yang buruk dengan gaji dan jaminan sosial yang buruk. Orang kaya hanya ingin menjadi lebih kaya sendiri, dan menjamin masa depan anak kandung mereka (untuk menjadi bos-bos yang baru nanti).
    Tidak ada yang bersatu dan bertindak untuk menciptakan sistem pendidikan NASIONAL yang baik dan berkualitas.
    [lanjut ke bagian kedua.. ]

    ReplyDelete
  2. [bagian kedua]

    Semua yang dibutuhkan sudah ada di sini. Uang ada, dan banyak sekali (tetapi dikorupsi, atau tidak dikumpulkan dari pajak karena kantor pajak juga korup). Guru yang baik ada banyak sekali tetapi kita tidak kenal mereka, karena mereka tidak masuk berita. Guru yang memukul muridnya saja yang masuk berita. Kepala sekolah yang baik dan tidak mau korupsi ada. Pelatih guru yang berilmu tinggi dan berpengalaman luas ada. Tempat untuk membuat pelatihan guru ada (aula dan gedung). Uang CSR dari perusahaan besar ada. Contoh kurikulum yang baik ada (sudah dipinjam dari negara2 maju, dan sudah ada di sini sebagai contoh, baik di Kantor Diknas, di universitas, dan di banyak tempat yang lain). Kontraktor yang jujur untuk melakukan renovasi sekolah tanpa korupsi ada. Komite sekolah yang dipenuhi dengan guru dan orang tua yang jujur ada. Guru yang ingin belajar dengan sungguh2 setiap minggu untuk mengajar lebih baik ada. Murid yang ingin belajar dengan baik untuk menjadi warga negara, orang dewasa dan tetangga yang baik dan bermanfaat bagi keluarga dan komunitas ada. Dan seterusnya.
    Semua yang dibutuhkan sudah ada. Tetapi rakyat Indonesia (orang tua, guru dan murid) yang sudah mencapai jumlah lebih dari 100 juta manusia memilih untuk DIAM setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun. Kalau disuruh berkumpul, bersatu dan bertindak untuk kepentingan masa depan anak bangsa, semuanya memberikan jawaban yang sama: “Kalau saya berusaha, paling tidak ada yang berubah. Tidak akan ada yang peduli pada suara saya!”

    Pengalaman di Tunisa, di Mesir dan di Libya membuktikan yang sebaliknya. Yang perlu dilakukan oleh rakyat di sini bukan penyerangan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi sebatas berkumpul dan memberikan komitmen pribadi untuk mengubah keadaan pendidikan nasional.
    Bisa dengan berbagai macam cara. Satu cara yang sederhana: menulis surat. Kalau Presiden dan Mendiknas menerima 10 juta surat setiap hari selama sebulan dari orang tua, guru dan murid yang tidak puas, maka saya yakin 100% akan terjadi suatu perubahan. Semua surat itu perlu dibuka untuk diketahui isinya. Tidak bisa dibuang begitu saja, tanpa dilihat. Siapa yang akan membukanya? Siapa yang akan sortir? Akan ditaruh di mana sebelum dibuka? Dan sebagainya.
    Perbuatan kecil seperti itu akan membuat Mendiknas dan Presiden pusing setengah mati dalam satu minggu saja. Dan tidak perlu demo, aksi anarkis, pemberontakan, dan sebagainya. Cukup 10 juta orang tua, guru dan murid membuat komitmen untuk kirim surat setiap hari sampai ada yang berubah.
    Tetapi tidak ada yang mau.
    Saya pernah usulkan tindakan itu kepada sekelompok orang. Beberapa kali, dengan kelompok yang berbeda. Tidak ada yang bertindak satupun. Semuanya mengatakan “Buat apa? Tidak akan ada yang berubah!”

    Dan oleh karena itu, tidak ada yang berubah. Di Tunisia bisa berubah. Di Mesir bisa berubah. Di Libya bisa berubah. Tetapi di Indonesia, semua orang mengatakan “Lebih baik cari uang yang banyak dan masukkan anak saya ke sekolah swasta. Tidak usah peduli pada anaknya orang lain. Hanya anak saya yang penting.”

    Dan oleh karena itu, tidak ada yang berubah.

    Wassalam,
    Gene

    ReplyDelete
  3. terima kasih telah mengingatkan hal yang sangat jarang dipikirkan oleh jutaan rakyat indonesia. terima kasih.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...