Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

02 October, 2012

Perubahan Kurikulum Yang Dibutuhkan

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Teman-teman, ada kabar baru bahwa tahun depan kurikulum nasional akan diubah lagi. Dari dulu saya punya pendapat bahwa kurikulum di Indonesia perlu diubah, tapi mungkin tidak dengan cara yang dipikirkan kebanyakan orang. Masih menjadi kenyataan bahwa mayoritas dari warga Indonesia putus sekolah pada tingkat SD. Jadi karena itu masih sebuah kenyataan, fungsi SD sebaiknya diubah. Perlu dipikirkan skil dan ciri-ciri yang paling dasar dan paling penting yang perlu dimiliki orang dewasa yang harus mencari pekerjaan dan menjadi anggota masyarakat di sini. Setelah ditentukan skil dan ciri-ciri itu (life skills), harus diberikan sebanyak mungkin terhadap siswa SD dengan perkiraan mereka akan mulai kerja setelah lulus SD dan tidak akan kembali untuk belajar lagi.

Kalau ternyata kembali, bisa dianggap sebagai “bonus” dan hal yang sama terulang lagi di tingkat SMP. Kalau putus sekolah setelah SMP, maka skil dan cara berpikir yang penting sudah diberikan, dan mereka bisa kerja dan menjadi anggota masyarakat yang baik dan berkualitas. Kalau mereka kembali lagi untuk SMA, maka itu adalah bonus kedua. Jadi di tingkat SMA, hal yang sama terulang lagi, dengan asumsi mereka akan cari kerja setelah lulus SMA. (Sistem ini perlu diteruskan sampai menjadi kenyataan bahwa mayoritas dari penduduk Indonesia lulus SMA, dan saat itu, kurikulum bisa diubah lagi kalau perlu).

Di kelas 2 dan 3 SMA, perlu disortir semua siswa, dan ditentukan mana yang akan kuliah, dan mana yang akan kerja. Diutamakan skil untuk kerja, dan ditekankan ciri-ciri seorang anggota masyarakat yang berakhlak baik dan bermanfaat. Untuk anak yang diperkirakan akan bisa kuliah, karena orang tua sanggup bayar, atau karena mau cari beasiswa, bisa diberikan kelas2 tambahan atau bahan tambahan yang akan menyiapkan mereka untuk kuliah. Anak yang tidak akan kuliah tidak perlu kelas dan bahan tambahan itu. Jumlah anak yang kuliah di Indonesia masih sekitar 7% saja, jadi sebuah program pendidikan yang mengarah ke program universitas dan memberikan ilmu teori saja, sangat merugikan 93% dari anak bangsa yang perlu mencari pekerjaan setelah keluar dari SMA.

Untuk anak2 SMA yang mayoritas, program pendidikan yang mengarah ke dunia nyata, akan diutamakan (seperti di SD dan SMP). Ini akan menjadikan mereka anggota masyarakat yang baik dan berkualitas, yang sanggup mencari pekerjaan, atau bahkan menciptakan lapangan kerja baru secara kreatif, bukan asal menjadi karyawan.

Semua skil yang perlu diberikan sejak SD bisa dibahas secara luas dulu, dan dibutuhkan penelitian untuk menentukan apa yang paling penting. Sebagai contoh saja, anak yang diperkirakan tidak akan  kembali setelah SD harus dipastikan bisa membaca dan menulis dengan lancar dan punya kemampuan untuk mengurus diri sendiri, misalnya dengan mengerti cara isi formulir, bisa daftar untuk suatu program, mampu menganalisa dan membedakan antara program dan ide yang bermanfaat dan yang tidak, dan sebagainya.

Yang paling penting dari semuanya adalah kemampuan untuk belajar dan berpikir secara mandiri. Siswa harus diajarkan caranya untuk menuntut suatu ilmu baru, tanpa selalu bisa bertanya kepada orang lain (misalnya, cara menamam jamur organik). Siswa harus mengerti di mana ilmu bisa dicari (buku, internet, departemen pemerintah atau pemda, seminar dan workshop, eksperimen sendiri, orang yang kerja di bidang itu), dan harus mengerti cara mempelajari dan mencatat ilmu baru itu sampai mendapatkan keahlian sendiri.

Mereka harus bisa berpikir secara kreatif, dengan diajarkan untuk menganalisa suatu masalah, dan mencari solusi baru yang kreatif, bukan asal memberikan jawaban yang diinginkan guru dalam ujian pilihan ganda. Lebih baik semua ujian diubah agar siswa selalu bisa menulis jawaban sendiri, dan bukan memilih dari jawaban2 yang sudah ditentukan guru. (Memang makan waktu lebih lama untuk periksa ujian, tapi di jangka panjang lebih baik bagi siswa dan masyarakat).

Siswa harus diajarkan skil untuk bekerja secara mandiri dan juga bekerja sama dengan baik dalam kelompok. Dalam kelompok, siswa harus dapat giliran menjadi pemimpin dan belajar dasar2 kepemimpinan, dan juga dapat giliran menjadi anggota tim (atau pengikut) dan menjalankan pentunjuk dari pemimpin. Mereka harus diajarkan untuk berdiskusi dan bernegosiasi secara baik, dan sanggup berbeda pendapat tanpa ribut atau selalu mau benar sendiri. Mereka harus bisa berpikir secara logis, dan sanggup menganalisa suatu masalah secara logis untuk mencari akar permasalahannya. Contoh2 soal yang bisa membangun pemikiran seperti itu sudah ada, dan tinggal dijadikan bahan dasar di tingkat SD.

Siswa harus belajar untuk berdemokrasi, dan memutuskan perkara secara bersama, sehingga nanti sebagai anggota masyarakat mereka sanggup ikuti diskusi urusan penting di tingkat RT, kecamatan, kabupaten, dalam organisasi kerja dsb. dan bisa bersuara secara sehat dan logis dalam menentukan kebijakaan yang bermanfaat bagi semua. Siswa harus mengerti bahwa suara mereka juga penting, dan asal mengikuti kemauan orang lain tanpa berpikir sendiri adalah hal yang seringkali tidak baik di masa depan.

Siswa harus sanggup melihat kesempatan kerja yang baru, dan membangun suatu usaha dari nol dengan mengerti caranya mendapatkan modal yang minimal untuk menjalankan bisnis itu. Intinya, siswa SD harus bisa menjadi pengusaha atau entrepreneur tingkat kecil, agar mengerti cara membangun suatu usaha dan bantu orang tuanya dalam membangun bisnis kecil. Mereka harus mengerti dasar ekonomi mikro seperti konsep supply and demand (permintaan dan ketersediaan) agar tahu caranya membangun suatu usaha kecil yang sehat dan menghasilkan profit. Anak bisa belajar untuk langsung membuat makanan ringan dan minuman (misalnya), dan menjualnya di luar sekolah. Bisa dikerjakan secara kelompok dulu, lalu secara mandiri pada tingkat Kelas 6.

Mereka harus mengerti tentang pengurusan stok barang, jangka waktu yang perlu ditunggu sampai modal kembali, bagaimana memutar uang ke dalam usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi dan sebagainya. Juga perlu belajar dasar2 akutansi seperti pembukuan untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran. Kalau orang tua sudah memiliki suatu usaha (seperti warung) siswa bisa langsung praktekkan di rumah dan membantu orang tua mencatat profit atau kerugian.

Sebagai anggota masyarakat (siswa harus dianggap “calon orang dewasa”), mereka harus bisa menerima pendapat orang lain, walaupun tidak selalu setuju, dengan lapang dada, dan tanpa menjadi emosi. Harus bisa kerja dengan orang yang tidak disukai secara pribadi. Harus bisa hidup secara rukun dengan orang dari agama dan budaya yang lain. Harus bisa memperhatikan tetangga, dan tidak semata-mata utamakan diri sendiri dalam semua urusan. Harus bisa memperhatikan dan memperdulikan jompo, janda dan anak miskin di lingkungan mereka. Harus bisa memikirkan lingkungan yang sehat, dan tidak membuang sampah secara sembarangan. Harus bisa berhenti merokok, atau tidak mulai, atau minimal tidak merokok di dekat orang lain yang mungkin terganggu. Harus bisa sabar untuk antrian di semua lokasi yang memerlukannya, dan sabar untuk tidak melewati lampu merah. Harus bisa bicara secara jujur, dengan kata-kata yang baik dan mulia. Harus bisa menahan diri dari melanggar hukum pada skala besar dan kecil, dan membentuk masyarakat yang taat hukum. Harus menjadi terbiasa membaca sebanyak mungkin setiap minggu, dengan membentuk rumah baca di komunitas masing2, dan utamakan hobi membaca di atas hobi nonton sinetron. Dan seterusnya.

Siswa juga perlu diberikan dasar-dasar P3K agar bisa membantu orang yang mengalami kecelakaan (dokter dan rumah sakit seringkali jauh). Saya sering bertemu orang dewasa yang tidak mengerti bedanya antara tangan yang keseleo atau patah. CPR (resusitasi jantung paru-paru) bisa dipelajari di tingkat SD, untuk bantu orang yang tidak bernafas (serangan jantung, tenggelam, jatuh, dsb). Cara tangani orang yang berdarah penting sekali, dan banyak terjadi kesalahan fatal di sini, misalnya, suatu benda yang menusuk ke dalam tubuh korban ditarik keluar, dan hasilnya adalah perdarahan tambah parah dan pasien wafat sebelum sampai rumah sakit. (Seharusnya dibiarkan di dalam badan, dan dokter yang mencabut dengan hati-hati). Banyak orang kena penyakit menular seperti TBC dan menyebarkan lagi karena tidak paham (atau tidak peduli) terhadap apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga keluarga dan tetangga dari penyakit. 

Kalau kurikulum SD dan SMP diubah untuk mengutamakan hal-hal seperti ini, maka kenyataan bahwa mayoritas warga Indonesia masih putus sekolah pada tingkat SD tidak akan menjadi beban seumur hidup bagi orang itu. Mereka akan sanggup mencari pekerjaan yang baik, dan mungkin juga membuat pekerjaan sendiri karena sudah terlatih menjadi entrepreneur di dalam sekolah. Mereka akan bisa menjadi anggota masyarakat yang berakhlak baik dan produktif dan bisa menambahkan ilmu sendiri dengan cara baca buku, dan banyak diskusi dengan orang lain.

Di tingkat SMA, jumlah pelajaran juga perlu dikurangi. Pernah ada siswa saya di kelas 3 SMA yang menunjukkan daftar 23 mata pelajaran kepada saya dan ternyata itu semua kelas dia di sekolah. Sedangkan di Australia dan Selandia Baru, siswa di kelas 3 SMA hanya mengikuti 5-6 mata pelajaran saja. Kenapa Indonesia bisa 23, dan semuanya berikan PR dan ujian kepada siswa?

Di tingkat kuliah, juga perlu perubahan. Empat tahun termasuk skripsi tidak perlu. Di banyak negara maju, tidak ada tahun keempat dan tidak ada skripsi. Di universitas saya di Australia, kalau sudah kumpulkan 24 SKS (1 SKS per mata kuliah) maka lulus secara automatis dengan gelar Bachelor of Arts (atau yang lain) dan sudah cukup untuk lamar kerja. Kalau diterapkan di sini, maka orang tua bisa hemat biaya satu tahun, mahasiswa tidak akan dibuat pusing dengan belajar cara membuat skripsi, dan bisa lebih cepat mencari pekerjaan (atau lebih baik menciptakan pekerjaan). Bagi saya terkesan aneh bahwa syarat untuk lulus kuliah di tingkat paling rendah (S1) lebih sulit di sini daripada di negara maju seperti Australia. Seharusnya terbalik.

Sekian saja. Semoga bermanfaat bagi teman2 yang peduli pada dunia pendidikan dan masa depan bangsa. Ini termasuk yang paling minimal yang bisa dilaksanakan, dan saya tidak paham kenapa belum dilakukan puluhan tahun yang lalu.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

1 comment:

  1. Ini sungguh menarik perhatian saya. Kegagalan implementasi kurikulum selama ini hanya dinilai dari 1 sisi, yaitu kurikulum itu sendiri. Padahal, seperti apapun kurikulum itu, pada tingkat implementasi setidaknya ia ditentukan oleh:
    1. Kesungguhan pemerintah mengawal, menstimulus, merespon, secara sigap, berani, tanpa motif UANG, apaun resikonya, dari tingkat pemerintah pusat (Presiden, DPR, DPD, Kemdikbud, dan Kem-kem terkait), provinsi (Gubernur,DPRD, Dinas Pend. Prop), kabupaten (Bupati, DPRD, Dinas Pend Kab), kecamatan (Camat, UPTD Dinas Pend.), bahkan pada level kepemimpinan kepala sekolah.
    2. Kesadaran GURU sebagai ujung tombak untuk mengabdi kepada bangsa dan negara yang mestinya sampai pada level mengabaikan kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan anak bangsa. Tidak seenaknya sendiri, semaunya sendiri, meningkatkan kompetensinya secara sungguh-sungguh. Peningkatan kesadaran jiwa pengabdian guru dan kompetensinya menjadi syarat awal mutlak bagi implementasi kurikulum secara kaaffah (menyeluruh/holistik). Bila perlu guru yang pemalas, tidak berkompeten, tidak mau diatur, dll diberi sanksi yang tegas bila perlu diberhentikan, diganti dengan guru-guru muda yang siap terjun tanpa pamrih.
    3. Kesadaran masyarakat ahli pendidikan (peneliti , dosen, widya iswara, dan lain-lain termasuk orang tua peserta didik supaya mendukung kurikulum melalui wadah yang telah ada misalnya: Dewan Pendidikan, Komite, Paguyuban Orang Tua atau Wali, dll).

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...