Assalamu’alaikum wr.wb.,
Tanggal 17 Augsutus 2016. Indonesia sudah merdeka untuk 71
tahun. Katanya. Secara fisik, memang merdeka. Bagaimana dengan kondisi mental?
Apa benar bahwa rakyat, khususnya anak Indonesia, sudah merdeka? Di sekolah,
dan juga di rumah, banyak anak diberikan pelajaran penting: "Diam dan
Taat" pada pihak yang berkuasa, walaupun mereka dzholim. Keadilan,
kebenaran, kejujuran, dan banyak konsep lain menjadi tidak penting. Semuanya boleh
ditukar dengan harga yang sedikit kapan saja.
Di sekolah, ada guru yg memukul siswa, tidak menjadi
masalah. Siswa memukul guru, dihukum. Ada guru yg datang telat 2 jam, tidak
menjadi masalah. Siswa telat 30 detik, dihukum. Guru tidak periksa PR dan tidak
membahas jawabannya, tidak menjadi masalah. Siswa yang tidak kerjakan PR, dihukum.
Apakah sekolah adil? Apa mengajarkan anak untuk menegakkan keadilan dan membela
kebenaran? Atau mengajarkan anak utk siap tukar benar dan salah di depan pihak
yg berkuasa tapi dzholim?
Ada ujian anak SD. "Burung hantu tinggal di mana?"
Siswa: Di hutan. Guru: Salah, di pohon. "Ikan tinggal di mana?" Siswa:
Di laut. Guru: Salah, di sungai. Anak gagal dalam ujian. Apa jawabannya salah? Tidak.
Tapi hanya guru yg boleh benar. Walaupun salah, guru tetap benar. Ada ujian
bahasa Inggris. Pertanyaannya sudah salah, 4 jawabannya salah dgn kesalahan
tata bahasa dan kosa kata. Siswa jelaskan dgn sopan bahwa gurunya salah (siswa
lebih lancar). Siswa dimarahi, dan dihukum. Nilai kelasnya dikurangi agar ada
efek jera, agar semua siswa belajar untuk tidak berani melawan pendapat guru. Yang
penting Diam dan Taat.
Seorang anak SD disuruh potong rambutnya. Kata gurunya, "gondrong".
Kata guru lain, tidak. Orang tua sibuk, tidak bisa antar anak potong rambut,
dan juga tidak mau potong. Besok siang, anak ditahan oleh guru pertama, rambutnya
dipotong secara paksa untuk mempermalukannya, agar ada efek jera, agar semua anak
tidak berani melawan pendapat guru yang berkuasa. Benar dan salah tidak
penting. Siswa dilarang berbeda pendapat. Dilarang "melawan". Dilarang
menjadi lebih benar dari guru. Dilarang berbeda sendiri. Dilarang berpikir
secara mandiri. Dilarang kreatif. Guru selalu benar. Yang penting Diam dan Taat.
Apakah ini "kemerdekaan"? Penjajah Belanda sudah hilang,
tapi masih ada "penjajahan mental" di banyak sekolah. Ada guru lain
yang baik dan tidak mengajar begitu, tapi masih berprinsip: Diam dan Taat. Kenapa?
Karena guru yg buruk lebih senior, takut kena masalah, atau guru buruk dekat
dengan pejabat, dsb. Siswa, orang tua, bahkan guru yg baik bisa kena masalah kl
berani melawan guru yang dzholim.
Para guru harus siap berubah. Siswa harus diberikan izin
untuk hidup dengan pemikiran merdeka, di negara merdeka. Harus ada izin untuk
berbeda pendapat dgn guru, izin untuk menjadi mandiri, Izin untuk hidup secara
bahagia di sekolah dan di luar sekolah, dan izin untuk menikmati waktu kosongnya
tanpa beban PR sampai 5 jam per hari. Guru harus ciptakan sekolah ramah. Guru harus
mengajarkan siswa untuk menegakkan keadilan, membela kebenaran, dan jangan
pernah tukar benar dan salah dgn harga yang sedikit. Guru harus ajarkan siswa
untuk berani melawan kedzholiman, bahkan dari guru yang berkuasa di atasnya.
Negara lain bisa kirim robot ke planet Mars, tapi di Indonesia,
anak SD malah dijadikan "robot" (semua harus sama), lalu kepalanya
diisi dengan program yang salah agar siap Diam dan Taat. Sistem pendidikan
penjajahan mental seperti ini harus diperbaiki. Kita harus berikan kemerdekaan
berpikir kepada semua anak Indonesia dan siapkan mereka untuk menjadi generasi
emas dan pemimpin dunia. Indonesia bisa segera menjadi negara yang maju dan
sejahtera kalau guru mau ajarkan siswa untuk menjadi pemimpin, pelopor dan
penemu. Izinkan anak Indonesia untuk berpikir secara merdeka, dan jangan paksakan
mereka Diam dan Taat terus. Cara berpikir seperti itu disenangi Penjajah. Apakah
guru mau menjadi penjajah baru, penggantinya Belanda? Atau "Pejuang
Kemerdekaan Mental"? Silahkan pilih sendiri.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
No comments:
Post a Comment