Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

10 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 2/5

KURIKULUM APA YANG BAGUS?

Kalau orang tua bertanya kurikulum mesti seperti apa, berarti kita harus menentukan tujuan dari sekolah dulu. Kita harus tahu bahasa Inggris akan digunakan untuk apa sehingga anak-anak membutuhkan tingkat kelancaran seperti apa? Yang paling utama di dalam kurikulum sesudah itu adalah "language acquisition" atau bagaimana caranya si anak akan "mendapatkan" bahasa yang diinginkan dan berapa lama yang dibutuhkan sampai proses ini mencapai tingkat yang mahir sehingga anak menjadi "self-learner" (kemungkinan besar ini bisa tercapai pada akhir dari SD, tetapi tergantung pada pengalaman anak mendapatkan bahasa dari awal). Jadi status dari bahasa tersebut menjadi penting.

Apakah bahasa Inggris diajar sebagai bahasa utama, atau bersama dengan L1 (bahasa Ibu)? Berapa persen menggunakan L1 , berapa persen menggunakan L2 (bahasa asing)? Bagaimana sekolah mengatur penggunaan kedua bahasa ini? Misalnya, kelas Matematika selalu menggunakan L1 dan Kesenian selalu menggunakan L2? Atau apakah para guru disuruh mencampuri bahasa di kelas secara acak? Kalau begitu berarti pengurus sekolah tidak bisa memantau persentase dari kedua bahasa tersebut. Kalau orang tua bertanya, mungkin pengurus sekolah menyatakan "50/50". Tetapi apakah benar? Yang memantau siapa? Ada data dari observasi setiap hari di mana? Kalau guru kelas ini lokal, berarti dia bukan Native Speaker dan karena itu, kemampuan bahasa dari setiap guru akan berbeda-beda. Kalau guru ini Native Speaker, apakah dia menggunakan bahasa yang sesuai dengan kemampuan anak untuk memahaminya ("comprehensible input")? Kalau si Native Speaker (yang barangkali bukan orang yang bergelar pendidikan dan "asal bule" saja) menggunakan bahasa yang terlalu rumit untuk anak, maka yang didengarkan anak adalah suatu "bunyi/keberisikan" yang di tengah2nya ada beberapa kosa kata yang bisa ditangkap. Berarti sebagian besar dari apa yang diucapkan "guru" ini adalah sia-sia, dan tidak membangun kemampuan si anak. Apalagi mengembangkan ilmu akademisnya dan cara berpikir dengan pikiran yang makin dewasa ("cognitive development").

Sebagai contoh: Coba suruh anak duduk di depan TV pada saat ada berita di Metro TV dalam bahasa Cina (asumsi bahasa Cinanya nol). Ulangi terus untuk 3 bulan. Lalu mengetes anak: sudah mengerti bahasa Cina atau belum kalau sebelumnya nol? Kalau masih nol, atau dia baru "hafal" sebagian kecil kata, tanpa merasa yakin tentang artinya (misalnya ucapan "selamat siang") maka ini mirip dengan mendengarkan si Native Speaker yang kurang berilmu terus2an.

Kalau di kelas, anak sanggup menangkap kosa kata dengan cepat karena konteks dan tindakan teman membantu. Misalnya, guru menyatakan "Get some paper" lalu anak yang lain mengambil kertas. Berarti anak yang belum paham akan ikut mengambil kertas, karena ikuti tindakan teman, bukan karena mengerti apa yang diucapkan oleh gurunya. Tetapi kalau si guru Native bicara terlalu cepat dan menggunakan terlalu banyak kosa kata, kalimat yang rumit, dan banyak idiom (untuk anak di tingkat SD), barangkali buat si anak tidak ada bedanya dengan mendengarkan berita bahasa Cina.

Di kelas ini, status dari masing2 bahasa harus ditentukan terlebih dahulu. Full L1? Full L2? Campur? Campur berapa persen? Tujuan dan cara menggunakan bahasa ini seharusnya mengikuti kurikulum, bukan ditentukan oleh guru secara acak. Seharusnya hal ini ditentukan sebelum kurikulum dibuat, dan sebelum sekolah dibuka. Bukan dengan asal ngomong "Kita sekolah bilingual lho! Di sini 50-50"). Itu bukan suatu kebijakan melainkan sebuah tebakan.

Kalau tidak salah ingat, di kurikulum IB ada bagian khusus untuk meningkatkan kemampuan bilingual (saya sudah lama tidak melihatnya). Di bagian itu, kurikulum bukan Language Arts saja tetapi semacam "campuran' antara Language Arts dan skil2 yang harus dibangun untuk meningkatkan kemampuan L2. Skil ini bisa diajar dalam berbagai macam format, sehingga tidak mesti hanya menggunakan "notional-functional approach" seperti yang sering ada di dalam kursus bahasa Inggris.

Misalnya, di kurikulum ada pelajaran tentang "Memories" (hal-hal yang diingat dari masa lalu) di mana anak diajak membahas masa kecilnya. Apa di rumah/kota yang sama, dsb.? Misalnya ada anak diajak bicara/menulis "When I was little we lived in Bandung and I saw butterflies everyday." Di tengah membahas ingatan masa kecil, muncul kata kerja (verb) yang menggunakan Past Tense. Lalu apa bedanya "I saw butterflies" sama "I have seen butterflies"? Penggunaan Past Simple atau Present Perfect ini mengubah makna. Guru harus bisa melihat berapa banyak anak yang benar dan salah dalam penggunaan. Kalau hanya satu atau dua anak, berarti hanya mereka yang perlu dipantau lebih intensif.

Justru bagian "Memories" itu ada di kurikulum supaya guru di program bilingual bisa memantau perkembangan dan kepahaman setiap anak terhadap Verb Tense ini. Kalau ternyata kebanyakan anak masih belum benar dalam penggunaan (misalnya, sudah di Kelas 3), maka guru bisa berusaha untuk memberikan pelajaran yang lebih banyak menggunakan Past Tense ini sehingga anak mendapat masukan yang lebih konkret di dalam konteks tersebut. Ini seringkali dilakukan dengan menggabungkan beberapa pelajaran yang berbeda supaya mengikuti tema yang sama ("thematic approach"). Dengan ini (misalnya, tema adalah "Indonesian History"), kosa kata yang sama akan muncul di beberapa mata pelajaran sehingga lebih mudah dihafalkan.

Kurikulum bilingual seperti ini diciptakan untuk diajar oleh seorang guru bahasa, tentu saja, dan bukan seorang lulusan ekonomi yang asal bisa bahasa Inggris. Bedanya adalah kalau di lain negara seorang guru bahasa akan melihat kurikulum seperti ini dan dia akan mengerti bagaimana caranya mengembangkan kemampuan anak dari berbagi aspek: phonemic awareness, reading comprenension, audio-lingual comprehension, communicative competence, discourse competence, dsb.

Tetapi kalau di sini? Apakah "Guru" anak anda juga mengerti? Atau lebih tepat, apakah guru anak anda mengerti pendidikan bahasa asing? Dan berapa banyak dari semua pelajaran menggunakan L2 setiap hari? Kalau kelas dibagikan supaya misalnya matematika selalu di dalam L2, dst. apakah si guru yang mengajar matematika termasuk orang yang paling mengerti pendidikan bahasa? Atau apakah dia hanya salah satu orang yang sanggup menggunakan bahasa Inggris dan juga mengerti sedikit tentang matematika? Atau apakah dia sangat mengerti matematika dan bahasa Inggrisnya pas-pasan? Dan dampaknya apa terhadap para murid kalau dia mengajar dengan cara yang tidak efektif di dalam bahasa yang kurang tepat? Kalau misalnya dia anggap bahwa murid yang bahasanya salah harus selalu dikoreksi, siapa yang akan membantu anak itu pada saat dia mendapat "low self esteem" (tingkat percaya diri rendah)? Kalau anak selalu merasa tidak mampu, bisa jadi semangat dia untuk belajar akan berkurang.

Dan kalau si anak selalu tidak mengerti apa yang diucapkan oleh guru di SD, bagaimana caranya dia akan memahami ilmu matematika?

Guru kelas sebaiknya sanggup: mengajar dengan tingkat bahasa, kosa kata dan tata bahasa yang dipahami anak ("comprehensible input"), sambil mengajarkan ilmu matematika dan sebagainya ("academic content"), dengan menjaga perkembangan daya pikirnya ("cognitive development"), tanpa lupa mengembangkan L2-nya secara teratur dari sisi tata bahasa dan kosa kata ("language acquisition"), sekaligus membantu anak dengan process "decoding" di L1 (karena decoding di L1 berlangsung terus sampai anak lulus SD, dan juga lebih dari itu: salah satu aspek dari "decoding" adalah Phonemic Awareness), sambil juga membantu dengan "decoding" di L2, dengan sekaligus tidak abaikan "social cultural development" sehingga anak masih merasa bangga dengan bahasa dan budaya orang tuanya, dan juga memantau keadaan psikologisnya supaya gangguan disebabkan pengertian rendah di L2 tidak menimbulkan efek samping seperti gangguan terhadap pengertian di "academic content", yang sesudahnya bisa menyebabkan stres, "low self esteem", atau "negative self image", dsb.

Kalau seandainya guru anak anda adalah seorang lulusan ekonomi dengan pengalaman mengajar hanya satu tahun, yang menggunakan sebuah kurikulum bilingual yang "masih ditulis" (oleh para guru juga barangkali), apakah dia bisa melakukan semua hal ini dengan cara yang terbaik untuk menjaga perkembangan daya pikir, ilmu pengetahuan, dua bahasa, rasa percaya diri dan rasa bangga pada L1nya, budayanya, agamanya, keluarganya dan negaranya? Dan semuanya harus dilakukan di dalam sebuah bahasa asing padahal si guru sendiri siap mengaku bahwa dia tidak lancar.

Dan kalau jawaban anda adalah "Saya tidak yakin!" perlu dipertanyakan lagi tentang kenapa sekolah anak anda begitu mahal? Apa sebenarnya yang mereka tawarkan selain gedung yang mewah dan penggunaan bahasa Inggris yang tidak ada di Sekolah Negeri? Bagaimana anda bisa memastikan bahwa hasilnya akan sesuai dengan harapan anda sebagai orang tua? (Kata pemilik sekolah: "It's a kind of magic!")

PULL OUT PROGRAM: ANAK PAHAM APA DI KELAS?

Untuk anak yang baru dipindahkan dari sekolah yang lain dan langsung "ditenggelamkan" di dalam bahasa Inggris (misalnya di Kelas 2 atau Kelas 3), kemampuan bahasanya pasti sangat rendah. Supaya ilmu pelajarannya tidak ketinggalan, sekolah harus membantu dia meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan secepat mungkin. Salah satu cara yang standar untuk melakukan itu adalah melalui Pull Out Program. Artinya, pada saat anak lain belajar Kesenian, anak2 yang bermasalah ini akan dicabut dan diberikan pelajaran tata bahasa di ruangan yang lain. Pelajaran ini biasanya adalah murni ESL (English as a Second Language) seperti di kursus bahasa dan bukan Language Arts lagi. Ini juga bisa dalam bentuk After School Program sehingga tidak ada pelajaran yang harus ditinggalkan. Kelas ini akan menjadi wajib bagi si anak sehingga kemampuan bahasanya cukup untuk bertahan di kelas. Cara yang ketiga adalah guru ESL masuk kelas, tetapi kalau jumlah anak yang perlu bantuan adalah besar, ini tidak akan efektif.

Kalau di sekolah anak anda, tidak ada program seperti ini, maka orang tua perlu bertanya kenapa. Setiap sekolah bilingual sangat membutuhkan program seperti ini, dan sebaiknya dijalankan oleh seorang guru bahasa, bukan guru kelas biasa yang ingin mendapatkan tambahan gaji (kalau After School, mungkin dibayar Overtime).

Bagi anak yang baru dipindahkan ke sekolah bilingual ini, perlu dipertanyakan: sejauh mana kemampuan dia untuk memahami apa yang terjadi di dalam kelasnya? Kalau kemampuan bahasa dia sangat rendah, kemungkinan besar dia akan duduk dengan diam untuk sebagian besar dari kelasnya pada saat anak yang lain menggunakan L2 (bahasa asing) dan ini akan berlangsung untuk semua kelasnya, kecuali anak yang lain juga menggunakan L1 (bahasa Ibu). Kalau dia berani, mungkin dia akan menggunakan L1 pada saat hampir semua anak yang lain menggunakan L2. Tetapi kalau dia tidak berani, dia akan diam dan merasa malu karena tidak bisa melakukan hal yang dilakukan anak lain: berkomunikasi dalam L2. Dan tentu saja itu bisa menimbulkan rasa stres yang sangat besar. Kalau di sekolah ini juga tidak ada Pull Out Program untuk meningkatkan kemampuan bahasanya, perlu kita tanyakan: anak ini akan dibiarkan menderita seperti ini untuk berapa lama?

Kalau orang tua bertanya kepada pihak sekolah, barangkali mereka akan menjawab dengan enteng: "Ohh tidak perlu kuatir Ibu! Setelah […Ibu memberikan kita puluhan juta rupiah, non-refundable, tentu saja, dan…] anak sudah duduk di kelas untuk beberapa bulan, dia akan menjadi lancar seperti anak yang lain."

Apa begitu mudah menguasai sebuah bahasa asing dalam waktu singkat sehingga bisa mempelajari ilmu akademis? Bagaimana kalau seandainya proses ini jauh lebih rumit daripada yang dijelaskan pemilik sekolah? Bagaimana perasaan seorang anak yang duduk di dalam sebuah kelas, dikelilingi oleh orang yang mengucapkan hal-hal yang membuat semuanya senyum dan ketawa, tetapi yang dia mendengarkan adalah: "Kijnvo vipoj foot ubnrn gperbnf prioeb bicycle fpubl giporbhki kjg PENCIL ugogo oihuirg my gpairbr!!!" HAHAHA, sangat lucu kan? Apakah anda sudah ketawa? Belum ketawa? Tetapi anak yang lain sudah ketawa. Guru ketawa. Anak ini senyum saja karena semua ketawa (dia terbawa dengan suasana). Guru melihat bahwa anak ini senyum dan langsung berpikir "Ohh, anak baru itu mengerti juga. Bagus." Barangkali ini yang anak anda mengalami di kelasnya sepanjang hari setiap hari selama beberapa bulan (untuk kelas yang pakai L2 terus). Barangkali anak yang satu ini diam saja dan berpikir "Saya orang bodoh. Saya tidak bisa paham. Orang lain bisa paham. Saya tidak disayangi guru. Dia tahu saya tidak mengerti. Kenapa di pakai bahasa itu terus?" dan seterusnya.

Bukannya ini merupakan "penggangguan atau penyiksaan emosional dan mental" terhadap seorang anak kecil? Saya pernah menyaksikan hal ini terjadi di dalam sebuah kelas dengan seorang anak yang baru dipindahkan ke sekolah itu. Tidak ada program ESL untuk membantu dia belajar bahasa dengan cepat. Dia benar-benar "ditenggelamkan". Anak ini tidak bisa selesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia selalu harus berbisik dengan teman (pakai L1) untuk bertanya mesti kerjakan apa. Dia tidak langsung bertindak kalau guru memberi perintah. Dia tunggu dulu dan melihat apa yang dilakukan oleh anak yang lain.

Kalau anak anda melewati beberapa bulan seperti ini, karena tidak ada guru profesional di sekolah, tidak ada Pull Out Program, dan kurikulum "masih ditulis", bukannya hal itu berarti bahwa anda telah memberikan izin kepada pihak sekolah untuk melakukan eksperimen bahasa asing terhadap anak anda karena tidak ada program yang formal dan tersusun dengan baik untuk meningkatkan kemampuan bahasanya? Hasil di kelas didasarkan "tebakan" pemilik sekolah tentang bagaimana caranya skil bahasa dan ilmu pengetahuan anak anda akan berkembang. Dan kalau ternyata anak anda tidak sanggup paham untuk berbulan-bulan, dan merasa tertekan, berarti anda telah memberikan izin kepada pihak sekolah untuk "mengganggu atau menyiksa" anak anda secara mental dan emosional, secara tidak sengaja tentu saja, dan anda malah membayar mereka untuk melakukan proses tersebut.

Ini sama halnya kalau seorang tukang jamu yang asal mengambil daun dari pohon mana saja dan bikin minuman. Saat dia memberikan kepada anda, dia justru tertarik untuk melihat efeknya setelah anda minum karena dia tidak tahu sebelumnya.

Sebuah model pendidikan baru: Pendidikan Berbasis Tebakan!

SILENT PERIOD

Memang ada suatu tahap yang dilewati dalam proses mempelajari bahasa yang disebut "silent period" (masa diam). Artinya, seorang anak akan duduk tanpa bicara karena dia sedang melakukan decoding, atau berusaha memahami peraturan bahasa tersebut. "Lho, bukannya itu yang dilakukan oleh anak ini di atas?" Tidak. Dia tidak paham saja. Apa bedanya? Ambil contoh seorang anak yang naturally bilingual: ibu menggunakan bahasa Indonesia, bapak menggunakan bahasa Inggris. Saat teman bapak datang ke rumah, dan mereka berbincang dalam bahasa Inggris, anak duduk dengan tenang, di dalam suasana yang penuh dengan kasih sayang, tanpa diberikan tugas yang berkaitan dengan bahasa itu, tanpa ada paksaan dari siapapun untuk memahami apa pun, berarti ini memang "silent period". Dia sedang mempelajari bahasa, tetapi tidak bakalan merasa "tertekan" kalalu tidak paham. Lain soal di kelas di mana barangkali si "guru" sering mengucapkan: "Ayo Budi, write your sentences, faster, ayo, come on, you are so slow!" Dan barangkali pada saat ini, anak lain ketawa. Bapak di rumah tidak pernah ketawa kalau anaknya diam dan mendengarkan saja tanpa mengerjakan apa saja. Jadi, anak yang banyak diam di kelas memang tetap melakukan decoding, tetapi harus dibedakan antara kapan dia sedang decoding dan kapan dia sedang tidak paham saja.

Kalau pemilik sekolah ingin mengatakan bahwa dia diam terus karena ini "silent period" dan orang tua tidak perlu kuatir, coba mengetes teori ini. Taruh anak di depan TV dan suruh dia nonton berita dalam bahasa Cina di Metro TV (dengan asumsi bahasa Cinanya nol). Suruh di tonton dan sesudahnya memberikan tes 10 pertanyaan: "Presiden membuat perjanjian apa minggu ini?" Dan seterusnya. Apakah anak sanggup jawab? Dia hanya diam terus pada saat nonton dan sepertinya tidak paham apa-apa. Apakah ini silent period? Atau tidak paham saja? Coba diulangi setiap hari untuk 3 bulan. Berikan tes terus. Masih tidak sanggup menjawab? Apakah berarti "silent period" terus? Atau barangkali dia tidak paham terus karena tidak ada yang mengajarkan bahasa Cina kepadanya!

Tetapi barangkali ada kemungkinan bahwa dia bisa menjadi paham secara tiba-tiba kalau anda mengucapkan: "Kita punya TV bilingual lho!" Kali 1000.

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian  5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Appendix
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

07 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 1/5

Assalamu'alaikum wr.wb. Artikel ini saya pecahkan menjadi 5 Bagian karena isinya cukup panjang. Semoga informasi ini menjadi bermanfaat untuk para orang tua, anak, dan masa depan bangsa. Saya sudah berusaha untuk menyingkat komentar saya, tetapi saya khawatir kalau begitu, malah banyak orang tua akan mengirim email dan bertanya tentang apa yang saya maksudkan. Setelah membaca ini, insya Allah, tidak akan ada yang perlu ditanyakan kepada saya karena sudah cukup jelas. Terima kasih atas waktu anda untuk membacanya.

Di bagian pertama ini, terdapat banyak istilah yang digunakan guru bahasa dan jurnal/buku yang membahas pendidikan bahasa. Saya sengaja menggunakannya sehingga orang tua yang ingin belajar lagi di internet, atau mencari buku tentang topik ini bisa menjadi biasa dengan istilah2 tersebut. Bila sulit dipahami, mohon dibaca secara pelan saja, kalimat demi kalimat. Insya Allah landasan teori pendidikan bahasa ini (walaupun secara ringkas saja) akan bermanfaat nanti.

PROGRAM IMMERSION 

Sekolah manapun yang menamakan diri "bilingual" sebaiknya memiliki program yang tepat untuk mewujudkan dua bahasa pada saat yang sama. Di sini, barangkali ada sekolah yang berusaha melakukan ini dengan cara "Full Immersion" di mana anak "ditenggelamkan" di dalam sebuah bahasa sepanjang hari. Ada juga sekolah yang melakukan Semi-Immersion, di mana bahasa ibu juga boleh digunakan lebih banyak dibandingkan Full Immersion. Sebenarnya, tipe program Immersion dan arti daripada istilah "bilingual program" ada beberapa variasi, jadi kita harus menentukan yang mana yang dimaksudkan. Ada Early Immersion, Middle Immersion, Late Immersion, dan tingkat penggunaan masing-masing bahasa, 20-80 / 50-50 / 80-20, tergantung sekolahnya.

Sekolah yang menggunakan sistem "Full Immersion" di luar negeri seringkali hanya menunjuk satu kelas di dalam sekolah dan bukan seluruh sekolah (ada juga yang seluruh sekolah). Hal ini disebabkan ada anak yang "drop out" karena tidak sanggup tahan pelajaran di dalam sebuah bahasa asing. Di mancanegara, sudah ada banyak hasil riset mengenai kelas Full Immersion ini, dan memang ada beberapa masalah yang bisa muncul kalau Full Immersion atau Semi Immersion tidak dilakukan dengan benar. Seorang anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa asing bisa mendapatkan bantuan khusus di kelas, atau bisa pindah kelas, tetapi di Indonesia, harus pindah sekolah. Dan di sini, kalau uang pangkal puluhan juta adalah non-refundable, apakah orang tua akan siap memindahkan anaknya? Atau membujuknya untuk bertahan? Mungkin dia bisa berhasil bertahan, dan nanti ada kemungkinan bahasa dia berkembang dengan secukupnya untuk bertahan saja, dengan risiko dia tidak mau mendalami tata bahasa yang rumit, karena yang penting di hatinya dari masa awal di sekolah hanya bertahan saja karena dipaksakan orang tua (ada motivasi ekstrinsik, dari luar, dan bukan intrinsik, dari dalam).

Dengan begitu banyak variasi sistem sekolah bilingual di luar negeri, ada terlalu banyak pilihan. Banyak sekolah (terutama di Kanada) mulai dengan langsung "tenggelamkan" anak dari TK sampai Kelas 2. Yang namanya "guru" di kelas ini, tentu saja seorang guru yang berkualifikasi dan terlatih dengan cara2 mengembangkan bahasa kedua (L2) untuk anak kecil ini. Si anak akan tetap menggunakan bahasa Ibunya (L1), tetapi guru selalu memberikan tanggapan dengan bahasa asingnya (L2). Lewat waktu berbulan2 sampai bertahun2, anak mulai mengerti bahasa asing ini karena memang tidak ada pilihan. Guru tidak pernah menggunakan bahasa selain bahasa asingnya. Dan tentu saja suasana di kelas sangat "child-friendly", "child-centered", dan jauh dari tekanan atau pemojokan.

Mulai dari Kelas 2 ke atas (kalau ini Early Immersion), ada program Language Arts untuk bahasa Ibu (L1) yang tidak ada sebelumnya. Dengan sistem seperti ini, anak akan mulai belajar membaca dan menulis di dalam bahasa asing (L2) sebelum bahasa Ibunya (L1). Oleh karena itu, sering terjadi bahwa kemampuan akademis anak ini berkembang dengan pelan dibandingkan dengan anak di sekolah biasa. Setelah beberapa tahun, perbedaan ini hilang dan anak menjadi sama dengan anak lain yang hanya belajar di L1nya.

Di Kelas 5 dan 6, ada kemungkinan kelas2 yang menggunakan L2 hanya tinggal 50% dan sampai ke SMA, pelajaran yang menggunakan L2 barangkali tinggal 20% saja. Persentase penggunaan ini bervariasi dari sekolah ke sekolah dan wilayah ke wilayah. Intinya, anak yang mulai menggunakan L2 langsung dari TK, sudah berubah dan menggunakan L1 untuk kebanyakan mata pelajaran di SMP dan SMA. Kalau di Late Immersion, menjadi sebaliknya: anak menggunakan L1 terus sampai Kelas 6-8, dengan hanya 20% L2, lalu berubah sehingga di tahun terakhir SMA menggunakan 50-50% atau juga bisa 80% L2 dan hanya 20% L1.

Ini sekedar sedikit informasi standar tentang bentuk program bilingual yang ada di mancanegara. Yang membuat saya khawatir tentang program bilingual di sini adalah kesan bahwa terlalu banyak sekolah swasta (terutama yang kecil dan baru) tidak menjalankan program bilingual dengan cara yang sama. Saya sering mendapat kesan bahwa di sini ada sistem baru. Di TK, guru menggunakan L2 sebanyak mungkin dan masih menggunakan L1 juga, berarti Semi Immersion. Naik ke SD, L2 menjadi bahasa utama dan digunakan secara acak oleh guru, karena tidak ditentukan pelajaran yang mana yang menggunakan bahasa apa. Dengan demikian, tidak ada kontrol terhadap jumlah bahasa L1 dan L2 yang digunakan. Berarti ini jatuhnya antara Semi dan Full Immersion.

Naik ke SMP dan SMA, barangkali hampir semua pelajaran mengutamakan L2 dengan hanya kelas bahasa Indonesia (dan mungkin kelas agama) yang menggunakan L1, berarti mendekati model Sekolah Internasional. Kalau ada sebagian atau banyak sekolah seperti ini di Indonesia, berarti ini sebuah model sekolah bilingual baru dan mungkin belum ada riset yang membuktikan dampak baik dan buruknya.

BAHASA IBU

Kalau seandainya bahasa Ibu (L1) tidak dikembangkan dengan baik, dan bahasa asing (L2) diutamakan dengan cara yang kurang tepat, maka bisa terjadi beberapa dampak negatif, yang barangkali tidak akan dibahas dengan para calon orang tua (calon "customer" yang akan menyumbang puluhan sampai ratusan juta rupiah pada pihak sekolah). Satu contoh adalah bahasa Ibu (L1) menjadi kurang lancar dan itu juga memberikan dampak terhadap sosialisasi dengan keluarga besar. Juga bisa terjadi anak menganggap bahasa dan budaya dari orang tuanya adalah "rendah" karena mulai dari TK, dia sudah dibiasakan dengan bahasa asing itu selalu diutamakan di sekolah.

Kalau sebuah sekolah ingin menjalankan satu kelas atau seluruh sekolah dengan sistem Semi atau Full Immersion, maka tentu saja itu kembali pada kurikulum yang disusun sedemikian rupa untuk menjaga bahasa Ibunya, dan juga untuk memastikan bahwa bahasa asingnya berkembang dengan benar.

Sebagai salah satu contoh dari masalah yang bisa muncul, bisa ada seorang anak yang selalu tidak selesaikan tugas dengan cepat, lalu sering ditegur oleh guru, lalu dianggap sebagai pemalas, dan akhirnya dia menjadi anak "nakal" di kelas. Setelah diperiksa, ternyata dia kurang paham apa yang dijelaskan oleh gurunya di dalam bahasa asing dan hal itu membuatnya stres. Stres itu keluar sebagai sikap "tidak mau nurut". Ada juga anak yang terlalu banyak diam dengan alasan yang sama. Kekurangannya di dalam menggunakan bahasa asing ini akan mempengaruhi pergaulan sosialnya, dan juga rasa percaya diri.

Untuk memahami pelajaran di kelas, anak harus membentuk "communicative competence" atau mungkin hanya "proficiency" pada tingkat dasar, sehingga dia mampu berkomunikasi. Untuk mencapai kemampuan ini, dia harus melakukan "decoding" yang berarti anak harus berusaha untuk mengerti "peraturan bahasa" itu sehingga sanggup membentuk kalimat sendiri dan memahami kalimat dari orang lain. Kalau dia belum berhasil dengan proses ini, dan kalau seandainya bahasa Ibu tidak boleh digunakan, dampaknya bisa cukup negatif terhadap si anak. Setiap sekolah membuat peraturan sendiri2 tentang bagaimana guru sebaiknya tanggapi anak yang selalu ingin menggunakan L1nya, padahal sekolah ingin membujuk dia menggunakan L2. Ada cara yang baik untuk membujuknya seperti memberikan semangat sambil senyum, dan ada cara yang buruk seperti menggunakan "punishment system" (sistem hukuman) yang berarti setiap kali anak menggunakan L1 dia akan kena sanksi tertentu. Kalau cara buruk digunakan, anak bisa mengambil kesimpulan bahwa bahasa ibunya adalah bahasa yang tidak dihargai.

NATURALLY BILINGUAL

Ada anak yang menjadi "naturally bilingual" (bilingual secara alamiah) karena orang tua menggunakan dua bahasa di rumah (kedua bahasa itu dihitung L1). Anak ini memang lebih mudah belajar dua bahasa sekaligus di usia kecil (1,5 tahun sampai dengan 5 tahun) dengan alasan dia akan mengikuti ucapan orang tua saja. Dia menganggap dua bahasa itu normal. Anak ini akan bereksperimen dengan dua bahasa tersebut dengan cara mencampurinya (ini disebut "code switching"). Setelah sekian tahun (sebelum TK), anak ini akan sanggup menggunakan kedua bahasa itu, karena memang sudah terbiasa begitu dari lahir.

Ini agak berbeda dengan seorang anak yang masuk TK di mana kemampuan bahasa ibunya sudah maju jauh dan dia sudah mulai melakukan "decoding" (berusaha memahami peraturan bahasa) terhadap bahasa ibu itu (L1). Kemudian, guru di sekolah memaksakan dia (dengan cara yang baik atau tidak baik) untuk berfokus lagi pada sebuah bahasa baru (L2), yang juga membutuhkan proses decoding, padahal dia belum selesai decoding dengan bahasa ibunya. Pada saat yang sama, barangkali dia diwajibkan belajar membaca dan menulis di dalam dua bahasa sekaligus, oleh orang yang belum tentu mengerti cara mengajar bahasa apa pun. (Ini membicarakan proses untuk anak di kelas formal, dan bukan anak yang menjadi "naturally bilingual" karena prosesnya berbeda). Kalau di luar negeri, di kelas Full Immersion, anak hanya mendapatkan L2 dan belajar membaca dan menulis hanya di dalam L2. Tetapi yang pernah saya lihat di sini adalah anak harus melakukan kedua hal yang rumit ini (membaca dan menulis) di dalam dua bahasa sekaligus. Anak ini bukan anak yang mendapatkan dua bahasa di rumah secara alamiah. Anak ini bukan anak yang "naturally bilingual".

Apakah orang tua bisa memahami kenapa ada anak yang mengalami stres? [Kata Pemilik Sekolah: "Oh, tidak Ibu, tidak ada stres di sini. Kita sekolah bilingual lho!" (Kali 1000).]

Justru ada sebagian dari riset yang membuktikan bahwa anak yang membentuk satu bahasa terlebih dahulu sudah memiliki skil untuk mempelajari bahasa yang lain. (Salah satu ahli yang berpendapat seperti ini adalah Professor Wong Fillmore). Anak sudah pernah melakukan "decoding". Dia sudah bisa membaca dan menulis, berarti dia bisa menggunakan kamus bilingual dan monolingual. Dia sudah percaya diri karena sudah berpengalaman beberapa tahun menulis cerpen dan sebagainya di dalam bahasa ibunya. Dan dia merasa bangga dengan bahasa ibunya dan budayanya, yang memberikan dampak sosial yang sangat positif kepadanya.

Di sini, perlu dijelaskan bahwa ada dua kubu yang mengemukakan riset yang agak bertentangan. Ada yang menyatakan bahwa "tenggelam" di dalam L2 di TK tidak apa-apa dan justru baik untuk anak, dan ada yang sebaliknya yang menyatakan bahwa Full Immersion ini bisa menimbulkan berbagai macam masalah. Di kalangan guru bahasa, ahli linguistik dan ahli pendidikan, persoalan ini masih seperti perkara "mazhab" – tergantung kita mau percaya pada teori/ riset/ ahli yang mana.

KURIKULUM LANGUAGE ARTS

Saat saya memeriksa kurikulum di sebuah sekolah swasta, saya langsung menyadari bahwa kurikulum yang digunakan oleh sekolah adalah kurikulum yang diambil langsung dari sebuah negara barat: kurikulum untuk Native Speaker of English, dan bukan kurikulum bilingual untuk anak di lain negara yang belum tahu bahasa Inggris. Saran saya untuk menyusun kurikulum baru yang sengaja dibuat untuk anak Non-Native Speaker, langsung ditolak oleh pemilik sekolah. Kurikulum untuk Native Speaker harus digunakan karena sudah dibeli dari negara barat itu dan akan dijual lagi ke para pembeli franchise. Kebutuhan anak "A", kebutuhan bisnis "B". Dan "B" menang.

Saya yakin kurikulum itu tidak akan bisa berhasil di sini karena keadaan yang digambarkan di atas di mana anak masuk Immersion dari TK dan keluar sebagai anak bilingual, sangat tergantung pada adanya kurikulum yang tepat dan guru bahasa yang terlatih dan lancar di L2 itu. Apakah di sekolah anak anda ada banyak guru bahasa yang berkualifikasi, terlatih dan lancar dalam bahasa Inggris?

Sebagian besar orang tua barangkali tidak bisa membedakan antara kedua kurikulum tersebut. Sebagai contoh sederhana, coba ingat masa sekolah anda sendiri. Apakah pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, anda belajar tentang cara menyusun cerita? Membuat puisi? Membaca sebuah buku kemudian membuat laporan tentang buku tersebut? Kalau iya, berarti itu kurikulum "Language Arts" untuk orang yang memang Native Speaker dari bahasa tersebut, dan sangat kecil porsinya yang terfokus pada meningkatkan kemampuan bahasanya dari sisi tata bahasa, kosa kata, atau perbaikan logat. Semua itu, rata-rata meningkat sendiri karena ini memang bahasa Ibu anda yang digunakan sehari-hari.

Apakah guru Bahasa Indonesia anda sering memberikan pelajaran tentang logat yang benar? Kalau tidak, berarti anda memang Native Speaker of Indonesian dan anda sudah mendapatkan bahasa ibu anda, termasuk logat yang benar, dari umur 1-5 tahun (dengan asumsi bahwa bahasa ibu anda, atau L1, adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Jawa, dll.). Berarti anda bisa mempelajari "Language Arts" pada saat masuk kelas bahasa Indonesia. Lain halnya kalau ada mau belajar bahasa Inggris, bahasa Mandarin atau bahasa Perancis mulai dari nol. Tantangannya sangat berbeda. Apalagi kalau "guru" anak anda tidak memiliki kualifikasi atau pengalaman sebagai guru, dan dia juga tidak lancar di dalam bahasa Inggris itu, dan dia sendiri lebih senang menggunakan bahasa Indonesia kalau bisa. Barangkali menggunakan bahasa Inggris setiap hari juga bikin dia "pusing" karena tidak biasa.


[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Appendix
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

Para Guru Dipecat Dan Diancam Dengan Tindakan Hukum


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Barangkali ada orang tua yang kaget dengan semua komentar saya tentang pengurus sekolah yang malah membuat kinerja sekolah menjadi kurang baik. Saya berniat memberikan pengertian kepada para orang tua bahwa apa yang terjadi di sekolah belum tentu seindah yang anda asumsikan. Setelah menerima email ini, saya minta izin untuk tampilkan, dan nama pengirim serta lokasi sekolah sudah dihapus karena ini merupakan proses hukum yang sendang berlangsung. Semoga orang tua bisa membaca ini dan berfikir sendiri: ini yayasan yang telah menerima ratusan juta dari orang tua lain (yang sama seperti saya, hanya inginkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya) dan sekarang uang itu mau digunakan untuk menuntut para guru yang memiliki keadaan ekonomi yang lemah.

Tanpa saya mengetahui masalah utamanya, sudah jelas bahwa sebuah yayasan seharusnya bisa melakukan negosiasi dengan baik dan bijaksana bersama dengan para gurunya. Apalagi kalau antara sesama Muslim. Kok malah memecat semua, dan karena guru tidak pergi begitu saja supaya bisa digantikan (mereka pindah ke masjid yang dekat dan mayoritas anak ikut), sekarang pihak sekolah ingin menuntut mereka di pengadilan. Silahkan membaca dan berfikir sendiri tentang fungsi sebuah yayasan sekolah: membangun sebuah tempat belajar yang kondusif bagi para siswa dan membantu proses pendidikan atau mengancam dan memecat para guru secara mendadak kalau tidak mau nurut?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

###

Untuk rekan-rekan yg punya pengalaman dengan urusan hukum dan advokasi guru, mohon bantuan sarannya. Lebih kurang seperti ini kondisinya :

[Telah] terjadi konflik di sebuah sekolah islam di kawasan [lokasi dihapus] (saya belum bisa sebutkan namanya)antara pihak yayasan dan para guru. dalam permasalahan tersebut, ortu berusaha melakukan mediasi (dewan kelas) supaya tdk terjadi tindakan2 yg bisa merugikan anak tentunya dan upaya ini gagal. perseteruan tersebut berakibat 19 guru dipecat (dari total 22 guru) dan kemudian proses KBM dihentikan selama 2 hari untuk rekuitment guru baru. Fakta ternyata yayasan sdh melakukan rekruitmen guru tersebut sebelum dilakukan proses pemecatan. Ortu yg terlanjur kecewa terhadap kesewenangan yayasan kemudian mengajukan pengunduran diri (secara resmi) dan kemudian meminta guru2 tersebut melanjutkan proses KBM secara mandiri di salah satu masjid (sekitar 80% siswa pindah). jadi dalam seminggu ini proses kbm dilakukan secara mandiri, sudah berlangsung baik dan selanjutnya disepakati akan dilakukan dalam skema PKBM (Program Kegiatan Belajar Masyarakat - informal di bawah naungan PLS). Hari ini yayasan mengajukan SOMASI ke guru-guru tersebut dengan pasal Perbuatan tidak menyenangkan, Penggelapan aset dan Tuntutan berhenti membujuk siswa untuk belajar di mesjid.

Karena saya buta hukum, mohon dibantu :
1. Bagaimana menjawab SOMASI secara benar sesuai kaidah hukum. Langkah-langkah dan bukti apa saja yang harus dilakukan?
2. Apakah dalam fase ini sdh diperlukan bantuan Lawyer? atau bisa dijawab langsungan saja oleh guru2 bersangkutan.
3. Karena ini guru yg jelas2 tdk bisa bayar lawyer, apakah rekan2 punya kontak lembaga hukum etc yg bisa membantu guru2 ini secara layak dan gratis tentunya.


Saya jadi ingat ucapan pak Gene tentang (adanya) yayasan yg brengsek...ok ini salah satunya!! Mohon informasinya segera. Tx

Wassalam,
[nama pengirim dihapus]

###

Does Justice Exist Here?


My letter to the Jakarta Post:

Can someone please explain to me what is wrong with this country? Reading the Post these days is an exercise in reading news of the most absurd extremes.

A 12 year old boy in North Sumatera was threatened with seven years in prison for allegedly stealing "tin rods" (Post, 8 Feb) and if that outrageous sentence was not bad enough, he had already been held in an adult prison since December last year. Without ever being proven guilty of any crime, he has already served three months in prison with real convicted criminals. (I would like to express my deep respect and gratitude to Judge Budiman Sitorus who acquitted the boy and ordered his immediate release. Better late than never.)

Then, just a few days later, this news: ex-speaker of West Java legislative council threatened with 18 months in prison for alleged misuse of public funds (Post, 2 March). Oh well, I thought, he must have taken quite a small amount of the people's money, certainly less than the cost of few pieces of metal (tin rods). Wrong! He is charged with embezzling Rp. 33.4 billion or about $US 6.6 million! Is only 18 months in prison a serious sentence, or are the prosecutors joking? And the real kicker is he is "allowed to retain [his post] in the House of Representatives" while the trial continues.

And of course we have the now infamous case of Tommy Soeharto who was convicted of ordering the cold-blooded murder of a Supreme Court Justice. How long for that crime? Four years.

Can anyone else see the insanity here? May I suggest a name change for this government institution: "The Department of [Who Cares About] Justice". Surely this is a more appropriate name for them.

If the government can't even perform a simple logistical task of standardizing sentencing policy for minor and serious crimes, then God help us if they ever build a nuclear reactor! And please don't tell me about regional autonomy (RA) as the reason for different sentences. The government and the House gave us RA and they could certainly take it away or modify it if they actually cared about justice in this country.

Seven years for pieces of metal? Who is looking after our children if the government is not?

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

Published on 7 February, 2007

03 March, 2007

Balasan Email Sebuah Sekolah Swasta

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Terima kasih kepada pihak Sekolah ### yang sempat memberi tanggapan terhadap tulisan saya. Saya akan berusaha untuk menjawab semua keterangannya dengan kata-kata yang baik dan bijaksana. Terserah orang tua menilai perkataan saya sendiri.

Diterima dari:

Public Relation Department
Sekolah ### Indonesia

[ Surat Peringatan ]

Dari Public Relations Department,

Dear ### Parents,
…Gene Netto pernah bekerja sebagai English Subject Coordinator di Sekolah
### Indonesia, sejak Maret 2003 sampai dengan September 2003. Namun karena tidak perform dan bermasalah maka yang bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003.
Berdasarkan data-data kami, pengunduran diri dilakukan setelah yang
bersangkutan menerima warning letter (surat peringatan), tegoran, dan
catatan khusus sehubungan dengan performance, kemampuan teknis dan tingkah laku (attitute) dan ketidakmampuan dari yang bersangkutan untuk mengikuti standard kerja di tempat kami. Selain itu juga, hasil performance
evaluation after probation period yang bersangkutan tidak memuaskan. Oleh
karena itu kami tidak terlalu kaget ketika membaca tulisan diblog tersebut
yang tidak proporsional.

Dari Gene: Betul, saya mendapat dua surat peringatan selama kerja di sekolah ###. Saya kurang ingat surat pertama, tetapi saya sangat ingat surat yang kedua.

Dalam sebuah rapat, Kepala Sekolah menyatakan hari Senin dan Selasa yang pertama setelah liburan sekolah adalah hari libur juga karena murid belum masuk. Sore itu, ada rapat dadakan lagi dan informasi ini berubah: guru kelas diberitahu mereka wajib masuk supaya bisa bertemu dengan orang tua kalau ada yang datang. Saya tidak ikuti rapat kedua itu dan tidak pula diberitahu hasilnya.

Senin dan Selasa pertama setelah liburan, saya tetap libur tetapi ternyata guru yang lain masuk. Pada hari Rabu saya dipanggil pemilik sekolah (atasan saya) dan dimarahi untuk 45 minit, dan diberikan surat peringatan.

Di tengah kemarahan pemilik sekolah yang berlebihan itu, saya sempat bertanya kenapa Manager HRD tidak telfon saya pada Senin pagi dan suruh saya masuk. Misalnya: “Maaf, Pak, mungkin anda belum diberitahu, hari ini harus masuk. Harapa datang dengan segera ya!” Malah Manager HRD dengan sengaja menunggu sampai hari Rabu supaya saya bisa dimarahi dan diberi surat peringatan. Saat saya bertanya kenapa saya tidak ditelfon saja, pemilik sekolah menjawab dengan tegas “Saya tidak mau bicarakan itu!” Dari pandangan saya, Manager HRD harus tanggung jawab juga untuk sikapnya itu. Tetapi pemilik sekolah sudah mempunyai niat untuk hanya menyalahkan saya saja.

Kalau ada Memo sebelum liburan yang jelas tentang masuknya Senin dan Selasa itu, tentu saja saya akan masuk. Kalau ada telfon dari Manger HRD pada hari Senin pagi, tentu saja saya akan masuk. Yang membuat saya bingung adalah kenapa Manager HRD sengaja diam pada Senin pagi, Senin siang, Senin sore, Senin malam, Selasa pagi, dan Selasa sore?

Justru karena sikap seperti ini di pihak managemen sekolah, yang kurang dewasa, tidak bijaksana, dan tidak membentuk suasana kerja yang baik, saya memutuskan untuk mengundurkan diri daripada disalahkan terus. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri terhadap saya.

[ Uang 40 Juta ]

Tentang uang pangkal Rp. 40 Juta adalah non refundable, dan seterusnya:
Ini adalah informasi yang salah total, orang tua tersebut belum pernah
membayar uang enrollment apalagi disuruh membayar uang pangkal lagi.
Kami maklum karena Gene Netto tidak teliti dan akurat sebagai penulis
karena dasarnya hanya pemberitahuan orang.

Dari Gene: Saya mohon maaf dengan sungguh-sungguh bila informasi itu keliru. Saya sudah menghapus bagian itu dari artikel saya. Saat menulis, saya anggap benar dan hanya sekedar menggunakannya sebagai salah satu contoh kepedulian tinggi sebuah sekolah terhadap uang.

Setiap kali saya berbicara dengan orang tua tentang sekolah anaknya (sekolah swasta manapun), mereka selalu laporkan bahwa di sekolah itu uang pangkal adalah non-refundable. Saya belum mendapat kabar dari orang tua tentang sebuah sekolah yang siap mengembalikan uang kepada orang tua dalam keadaan apapun (insya Allah ada, tetapi sekolah mana yang begitu baik?).

Kalau seandainya anak seseorang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil pada minggu pertama sekolah, apakah uang pangkal tetap non-refundable? Karena yang jelas, kursi anak itu tidak akan kosong sepanjang satu tahun. Dan anak baru yang masuk untuk isi kursi tersebut juga membayar sekian puluh juta rupiah untuk kursi yang sama. Jadi kalau memang begitu, pihak sekolah swasta manapun akan mendapatkan 2x uang pangkal untuk mengisi satu kursi. Ini salah satu hasil dari kebijakan non-refundable itu.

Saya sama sekali tidak paham kenapa segala hal yang bekatian dengan uang di sebagian besar sekolah swasta (yang pernah dilaporkan kepada saya) selalu menjadi non-refundable. Apa bedanya sebuah sekolah dengan tempat belanja yang lain? Apakah orang tua dipandang sebagi “orang tua”, dan partner dalam membangun kemampuan anak, atau apakah orang tua dipandang sebagai “customer” yang sudah “membeli” suatu pelayanan dan uang yang sudah masuk tabungan sekolah tidak pernah akan dikembalikan? Kenapa harus begitu? Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Lukisan Anak ]

• Tentang mural anak-anak yang diganti dengan lukisan besar.
Memang benar kami memajang lukisan sebesar 4m x 2m di lobby Gedung I yang dibuat oleh [seorang artis], yang dikenal sebagai ”art’s most playful child” di
Indonesia karena memang proporsional dan edukatif untuk murid-murid kami. Namun yang pasti anak-anak masih punya space yang cukup besar (luas sekolah ± 10.000m2) untuk memajang artworknya (lihat di sekolah kami) dibanding lukisan yang besarnya hanya 8 m2 tersebut. Jadi tidak benar anak [sekolah ini] seperti bertamu di sekolanya.

Dari Gene: Mohon dipahami bahwa saya tidak pernah menyatakan tidak ada lukisan anak di sekolah. Saat saya masih di sana, lukisan anak memang banyak: lukisan di atas kertas yang ditempelkan untuk sementara di tembok. Yang saya bicarakan, dan yang saya usulkan adalah “mural” atau lukisan besar yang langsung dibuat di atas tembok oleh anak2 yang bersifat permanen. Yang saya ingin jelaskan dengan contoh itu adalah sikap pemilik sekolah pada saat mural itu diusulkan: “Jangan, nanti tembok bisa rusak.” Keutuhan tembok menjadi lebih utama dari lukisan yang baik dan bermanfaat untuk anak. Saya mengira akan mendapatkan tanggapan seperti ini: “Oh, itu suatu usul yang baik. Mari kita membahas dengan yang lain untuk mencaritahu kalau itu yang terbaik untuk anak dan sekolah.” Malah saya mendapat tanggapan langsung bahwa tembok lebih utama.

Saya bukan seorang insinyur, tetapi saya masih bingung tentang bagaimana caranya sebuah tembok yang memang sudah dicet, bisa dibuat “rusak” kalau dicet lagi dengan warna yang berbeda dan gambar2 yang dibuat oleh anak-anak? Lukisan yang dibuat oleh seorang pelukis terkenal bukannya tidak boleh, dan saya tidak menyatakan tidak boleh, hanya saja saya tidak mengerti kenapa hal seperti itu diutamakan di atas lukisan yang dibuat oleh anak2 yang ada ikatan yang lebih kuat pada sekolah: anak2 yang masuk sekolah setiap hari, anak2 yang menjaga lingkungan sekolah, anak2 yang mewujudkan prestasi dan nama baik untuk sekolah, tetapi lukisan dari seorang profesional diberi keutamaan di sekolah, dan bukan kesenian dari anak2 sendiri.

Ini hanya sekedar menujukkan bahwa ada perbedaan di antara pikiran guru dan pikiran pengusaha. Guru inginkan yang terbaik untuk anak, dengan anak2 diberi wewenang untuk membantu membangun sekolah. Salah satu contoh adalah lukisan anak yang dibuat di tembok sekolah dan dilihat oleh para orang tua setiap hari. Kalau pengusaha barangkali lebih cendurung memikirkan sisi bisnis. Lukisan anak2 di tembok bisa merusak tembok (??) dan lukisan dari orang terkenal lebih bermanfaat. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Executive Principal Ganti 2x Dalam 2 Tahun ]


• Executive Principal ganti 2x dalam 2 tahun: kami tentu menyayangkan hal
ini terjadi di sekolah kami. Saat itu kami langsung mengevaluasi apakah
memang standardnya terlalu tinggi atau kualifikasinya yang kurang pas.
Hasil dari evaluasi tersebut, kami memutuskan untuk mengubah strategi
organisasi dengan meniadakan Executive principal. Sejak September 2004
sampai saat ini, keputusan tersebut telah berjalan dengan baik

Kualifikasi Masters Degree di bidang School Administration kurang pas? Hmm. Atau standar biasa semua sekolah negeri (dari manca negara) dianggap terlalu tinggi? Hmm. Apakah alasan menghapus posisi ini karena itulah yang terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak dan pengurusan sekolah? Atau yang terbaik meningkatkan kualitas tabungan sekolah? Executive Principal di sekolah swasta manapun, yang berasal dari negara asing, biasanya mendapat gaji puluhan juta rupiah (sering dibayar dengan dolar), fasilitas rumah dan mobil, dan berbagai macam benefit yang lain. Kalau posisi ini tidak ada, berarti sekolah bisa menghemat ratusan juta rupiah setiap tahun.

Dan barangkali, seorang Principal dari negara asing tidak akan takut untuk membela kepentingan anak2 dan para guru, di atas kepentingan si pengusaha (berarti akan bentrok terus!). Kalau kepala sekolah lokal dengan gaji yang jauh lebih rendah, dan keadaan ekonomi yang lemah dibandingkan dengan pemilik sekolah, barangkali akan lebih mudah dipaksakan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk anak, tapi baik untuk perkembangan bisnis. Jadi, apakah posisi ini dihapus untuk kepentingan anak2 atau untuk alasan yang lain?

Juga ada kemungkinan bahwa tidak ada seorangpun yang mau lamar untuk posisi itu karena semuanya sudah mendapatkan informasi tentang masalah managemen sekolah dari teman2 yang lain. Dengan demikian, barangkali akan lebih baik buat sekolah kalau mereka menyatakan posisi ini dihilangkan saja, daripada harus menjelaskan terus kepada orang tua tentang kenapa orang di posisi ini tidak bisa bertahan lama dan selalu mengundurkan diri. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Gene Tidak Mengerti Pendidikan ]

• [Gene] dinyatakan “tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah:
dengan acuan sederhana seperti yang telah disebutkan di atas antara lain
tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar,
warning letter, dll. dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang
bersangkutan memang tidak mengerti pendidikan dan menjadi pendidik yang baik. Selama 7 bulan bekerja di tempat kami, Gene Netto tidak memberikan output yang sesuai dengan perjanjian.

Dari Gene: Sekali lagi saya dinyatakan “tidak mengerti pendidikan”. Alhamdulillah. Mungkin itu disebabkan saya hanya kuliah pendidikan dan bukan bisnis, karena barangkali orang bisnis yang lebih mengerti pendidkan daripada guru. Kuliah 5 tahun, dan pengalaman di kelas selama 10 tahun berarti tidak menguasaikan bidang pendidikan. Tetapi malah orang yang bergelar bisnis yang mengerti. Baiklah. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

Coba berfikir begini. Kita naik pesawat dan pilot menyatakan akan melakukan emergency landing (mendarat darurat). Kita sebagai penumpang memikirkan keselamatan kita sendiri. Pengusaha yang menjadi Pemilik dari perusahaan penerbangan tersebut barangkali lebih memikirkan pesawat dulu: “Kalau pesawat saya rusak, bisnis saya rugi.” Lalu bagaimana kalau jauh hari sebelumnya ada seorang pilot yang mengritik keamanan pesawat tersebut? Dia menyatakan pesawat ini tidak layak terbang. Kemudian pilot dihujat oleh si pengusaha dengan komentar:

“Emang dia siapa? Dia tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar, dapat warning letter, dll. Dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang bersangkutan memang tidak mengerti ilmu penerbangan. Dia hanya seorang pilot yang bergelar sebagai pilot dan hanya ada berpengalaman terbang 10 tahun saja. Saya seorang pengusaha dan itu pasti membuktikan bahwa saya lebih mengerti ilmu penerbangan daripada dia! Pesawat ini layak untuk terbang. Silahkan naik semua!”

Lalu bagaimana kalau pesawat memang jatuh. Apakah berarti si pilot benar? Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi si pengusaha pasti akan menyuruh Public Relations Departmentnya membuat statement dengan buruh-buruh: “Kecelakaan ini disebabkan ‘human error’ dan bukan gangguan teknis.” Terserah kita yang menjadi penumpang untuk membuat penilaian sendiri. Apakah masih yakin pada perusahaan tersebut?

Saya terima semua komentar negatif ini tentang diri saya bukan dari seorang Kepala Sekolah yang menguasaikan ilmu pendidikan, tetapi dari: “Public Relation Department, Sekolah ### Indonesia”. Kok sekolah membutuhkan Public Relations Department juga? Sama dong dengan perusahaan penerbangan. Tugas utama orang Public Relations kira-kira apa? Menjaga hak dan kepentingan “customer” supaya selamat dan tidak dirugikan oleh perusahaan? Atau menjaga hak dan kepentingan “perusahaan” supaya tidak dirugikan oleh siapapun?

Kalau di bidang pendidikan memang tidak bisa hitam-putih begitu karena tidak ada “kecelakaan akedemis” yang terjadi secara mendadak pada suatu hari pada semua anak dan bisa menujukkan ada masalah. Orang tua harus menunggu bertahun2 untuk melihat “hasil” dari proses pendidikan. Kalau ternyata kurang baik, orang tua bisa berbuat apa? Apakah anak akan disuruh kembali ke Kelas 1 dan mengulangi semua pelajarannya lagi?

Siapa yang mau didengarkan di bidang pendidikan? Para Guru dan para Ahli Pendidikan atau pengusaha? Siapa yang mau didengarkan di bidang penerbangan? Pilot dan Insinyur Pesawat atau pengusaha? Orang tua dan para penumpang dipersilahkan membuat penilaian sendiri.

[ Ibu Dibujuk Keluarkan Anaknya ]

• Statement Gene Netto: “Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat berhati-hati menyekolahkan anaknya kesana”.
Dalam kenyataannya Gene Netto tidak hanya menyarankan tapi sudah
melaksanakan, terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat” kami menerima telepon dari orang tua murid bahwa mereka diprovokasi oleh yang
bersangkutan supaya keluar dari sekolah kami. Untuk kesekian kalinya
Gene Netto membuktikan attitudenya yang sangat tidak pantas ditiru oleh
siapapun, apalagi sebagai seorang yang mengaku sebagai pendidik.

Dari Gene: Saya memang telfon seorang ibu. Setelah saya memberikan tes bahasa inggris kepada anaknya, saya menjadi sadar bahwa dia memang seorang native speaker karena memang dibesarkan di luar negeri. Semua pertanyaan di tesnya dijawab dengan sempurna, berarti dia jauh lebih lancar dari semua guru di sekolah. Saya bicara dengan 3 teman yang juga ahli bahasa untuk mencaritahu apa yang terbaik untuk masa depan anak yang satu ini.

Setelah sudah yakin, saya telfon ibunya dan menjelaskan ada kemungkinan tingkat kelancaran anaknya akan menurun kalau tidak dijaga dengan sengaja. Kalau ibu tidak peduli bahwa bahasa Inggrisnya yang sudah fasih bisa hilang, maka tidak ada masalah. Tetapi kalau ibu juga inginkan supaya tingkat kelancaran ini tidak hilang, saya memberikan pilihan sebagai berikut:

  1. Anak bisa dipindahkan ke sekolah yang lain seperti Tiara Bangsa, Binus, Pelita Harapan atau Cita Buana, atau sekolah internasional seperti JIS, karena di sekolah itu lebih banyak native speaker. Anak ini justru harus bertemu dengan native speaker setiap hari kalau mau lestarikan bahasanya. Ada kemungkinan dia akan tetap lancar tanpa ketemu Native Speaker yang lain, tetapi cara yang lebih aman adalah sering ketemu. Saat itu di sekolah ini hanya ada dua orang native speaker (termasuk saya).
  2. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu harus mendapatkan guru les (native speaker) untuk datang ke rumah.
  3. Anak bisa tetap di sekolah ini dan bisa didaftarkan untuk kursus di TBI, ILP, British Council dsb. pada tingkat advanced. Hanya saja saya ragukan manfaatnya karena umur dia tidak akan sesuai dengan pelajaran. Pada umur 10 tahun, TOEFL pasti sangat membosankan. Dan kursus itu rata2 tidak ada kelas pada tingkat advanced untuk anak kecil, semuanya untuk dewasa: TOEFL, IELTS, FCE dsb.
  4. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu bisa memberikan suasana bahasa Inggris di rumah dengan banyak DVD, cable television, CD Rom, internet, buku dan sebagainya. Ibu juga bisa berusaha untuk menggunakan bahasa Inggris sebanyak mungkin di rumah.
  5. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu bisa memohon kepada pihak sekolah untuk menambahkan jumlah native speaker untuk membantu mengingkatkan kemampuan anak dia dan juga sekaligus semua anak yang lain.

Anak ini juga sanggup memberikan “conversation class” kepada para guru untuk meningkatkan kemampuan dan kelancaran mereka, yang berarti dia akan berfokus pada bahasanya kalau harus mengajar orang lain, tetapi saya lupa kalau itu diusulkan atau tidak.

Apakah semua ini berarti saya telah “membujuk” Ibu itu untuk mengeluarkan anaknya? Pada saat saya bicara dengan dia di telfon, saya ingat dengan betul bahwa dia mengucapkan terima kasih sekali kepada saya dan menyatakan sangat kagum dengan saya karena memberitahu dia tentang apa yang terbaik untuk anaknya, daripada hanya berpihak kepada bisnis sekolah.

Apakah besok hari dia telfon sekolah dan menyatakan bahwa saya “membujuk” dia untuk mengeluarkan anaknya? Saya sama sekali tidak tahu karena saya tidak mendengarkan percakapan tersebut. Seingat saya ada satu anak lagi yang juga lancar sekali, dan saya juga telfon ibu dia dengan nasihat yang sama. Berarti jumlah ibu yang ditelfon adalah dua.

Kalau ada orang yang ingin beragumentasi bahwa saya seorang “guru buruk” yang “membenci” sekolah ini, maka saya mohon penjelasan tentang kenapa saya tidak telfon setiap orang tua (ada 200an anak saat itu) dan “membujuk” mereka semua untuk mengeluarkan anaknya? Kenapa saya hanya bicara dengan dua Ibu kalau niat saya memang buruk?

Saya tidak mau berkomentar lagi. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Semua Anak Menang Untuk Team Building ]

• Saat hari olah raga, anak-anak tidak boleh kalah, semua harus menang dan mendapat piagam. Di [sekolah] ada event sports day yang kegiatannya adalah perlombaan berbagai permainan sport. Dalam kegiatan tsb. Kami lebih menitikberatkan kepada aspek sportivitas, partisipasi, dan team building, sehingga pada akhir lomba kami memberikan penghargaan kepada semua anak atas usaha dan kerja kerasnya dengan cara memberi sertifikat/piagam kepada semua peserta; sedangkan untuk pemenang diberikan medali. Jadi semua mendapatkan penghargaan, dan ini bisa disalahartikan sebagai „anak-anak tidak boleh kalah” bagi mereka yang tidak mengerti konsep tsb. Kami sayangkan bisa terjadi salah pengertian.

Dari Gene: Kalau salah satu tujuan hari tersebut adalah team building, apakah ada yang bisa menjelaskan kenapa hari itu penuh dengan lomba? (Kalau sportivitas, oke lomba boleh juga.). Bukannya lomba itu bersifat kompetisi karena kita bersaing dengan orang lain di dalam lomba tersebut? Kalau anak2 disuruh main bola basket untuk team building, maka hal itu hanya bisa berhasil kalau anak2 mau mengoper bola. Kalau ternyata kebanyakan anak egois dan setelah mendapat bola berusaha untuk mendapat basket sendiri, maka tujuan team building akan gagal.

Pada saat anak2 ikuti lomba lari, lalu disuruh ikuti lomba lari lagi atas perintah pemilik sekolah, apakah itu juga termasuk team building? Anak merasa tidak perlu, guru merasa tidak perlu, tetapi kemauan satu Ibu diutamakan diatas kemauan anak2 dan guru. Apakah itu termasuk team building? Apakah itu termasuk sportivitas? (“Kalian wajib menuruti kemauan saya! Saya pemilik sekolah!”) Guru tidak sanggup menolak perintah yang dia anggap tidak bermanfaat. Dia wajib menuruti kemauan orang tua yang akrab dengan pemilik sekolah. Apakah ini team building? Barangkali ini versi team building yang baru karena saya belum menemukan versi team building ini di dunia pendidikan di manca negara. Hanya ada versi team building tersebut di sekolah yang satu ini.

Saat Manager HRD dengan sengaja tidak telfon saya dan suruh saya masuk pada hari Senin dan Selasa yang diceritakan di atas sehingga saya mendapatkan surat peringatan, apakah itu juga termasuk sikap sportivitas dan team building? Kalau sekolah ini sangat peduli dengan sportivitas dan team building, maka seharusnya dicontohkan di dalam perbuatan mereka sendiri. Pada saat saya dimarahi untuk hampir satu jam oleh pemilik sekolah, apakah itu termasuk team building? Team building versi apa ini? Atau team building di sekolah ini diutamakan untuk anak-anak dan Ibu-Ibunya yang akrab dengan pemilik sekolah. Barangkali guru bukan bagian dari team sehingga tidak perlu mewujudkan sikap team building dengan para guru. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Mengundurkan Diri Atau Dipecat? ]

…yang bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003…

….terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat”…

Ternyata orang yang berkuasa di sekolah ini juga tidak sanggup mengunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dia bagian atas email dari mereka, mereka sendiri menyatakan bahwa saya mengundurkan diri dan saya ada suratnya kalau ada yang ingin melihatnya. Setelah menyerahkan surat tersebut, saya tetap kerja selama 1 bulan, sesuai dengan kontrak saya. Lalu di bagian bawah dari emailnya, mereka menyatakan bahwa saya “dipecat”. Kok bisa begitu? Kok orang yang dipecat masih kerja untuk 1 bulan lagi? Aneh. Apakah ini menujukkan tingkat kemampuan pengurus sekolah di dalam bahasa Indonesia, sehinga hitam bisa menjadi putih dan putih bisa menjadi hitam? Kasihan anak yang mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah ini. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Tes Untuk Anak ]

• Tentang tes Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu
Pengetahuan: Adalah benar adakalanya memang sekolah melakukan assessment khusus untuk memperoleh feedback tentang seberapa jauh efektivitas suatu pengajaran. Hasilnya pasti ada yang baik dan kurang baik. Justru atas dasar tersebut lalu sekolah melakukan analisa untuk peningkatan dan penyempurnaan program-programnya. Sama seperti statement sebelumnya, di sini yang bersangkutan hanya mendasarkan „katanya” dan tidak ada bukti karena yang bersangkutan sudah mengundurkan diri.

Dari Gene: Saya sendiri yang membuat tes bahasa Inggris, saya sendiri yang berikan dan saya sendiri yang memeriksa. Hasil saat itu: mayoritas dari anak di sekolah tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Saya tidak memegang tes itu sekarang jadi saya tidak ada bukti selain dari file dan document tes di komputer saya dengan tanggal pembuatan file itu yang memang sesuai dengan waktu saya bekerja di sekolah. Orang tua silahkan berfikir sendiri.

Untuk hasil tes Matematika, Ilmu Pengetahuan, dan Bahasa Indonesia, memang bukan saya yang membuat tes dan bukan saya yang memeriksa. Saya hanya ada perkataan dari orang yang membuat tes itu bahwa kebanyakan anak tidak lulus, padahal tes sengaja dibuat dengan tingkat mudah atas permintaan pihak sekolah. Kalau sekolah ingin mengatakan bahwa tes itu tidak pernah diberikan atau anak tidak gagal, maka saya tidak sanggup berkomentar lagi karena hanya ada perkataan orang yang saya kenal sebagai ahli pendikian yang juga memiliki kepedulian tinggi terhadap masa depan anak bangsa ini. Saya tidak akan bicarakan tes itu lagi karena tidak memegang bukti. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

Kesimpulan Komentar Saya Tentang Sekolah Ini

Sekian saja. Orang tua dipersilahkan membuat penilaian sendiri. Barangkali saya memang seorang guru yang buruk karena saya hanya bergelar pendidikan dan tidak pernah berfikir untuk mengikuti kuliah bisnis. Insya Allah pada masa depan saya akan sanggup menjadi seorang guru yang baik, yang sanggup mengerti bidang pendidikan, dan untuk mencapai tujuan itu barangkali saya harus mengabaikan kuliah saya selama 5 tahun, mengabaikan pengalaman saya di kelas selama 10 tahun, dan membuang semua buku saya tentang pendidikan (ada 80-100 kali, belum dihitung), dan membuang semua artikel dari internet yang ada di computer, dan saya harus menggantikan semua itu dengan buku-buku bisnis terbaik supaya saya bisa memahami ilmu pendidikan dan kemudian menjadi seorang guru yang dipandang baik.

Saya ingin berterima kasih kepada para orang tua atas perhatian dan waktunya untuk membaca tulisan saya. Supaya jelas, saya ingin menyatakan bahwa saya tetap tidak berniat memfitnah atau menjatuhkan sekolah mana pun. Ada beberapa sisi yang baik di sekolah ini tetapi saya dengan sengaja tidak membicarakannya. Orang tua bisa melihat sendiri bahwa lingkungan sekolah sangat aman dan kebersihan dijaga dengan sangat baik. Di sisi itu saya sangat salut terhadap sekolah ini. Tujuan saya membuat tulisan tentang sekolah swasta hanya karena saya merasa beban moral untuk menyadarkan para orang tua bahwa gedung yang mewah (di sekolah mana pun) tidak secara automatis identik dengan kualitas pendidkan yang tinggi. Orang tua tetap harus memantau apa yang terjadi di sekolah (dan untuk sekolah negeri pun juga perlu begitu) dan berusaha untuk memastikan bahwa ilmu dan kemampuan anaknya memang berkembang dengan baik dan sesuai dengan umurnya.

Mohon Orang Tua Tidak Bertanya Lagi Tentang Sekolah Swasta Yang Satu Ini

Saya sangat mohon kepada para orang tua untuk tidak menanyakan saya lagi tentang sekolah ini. Saya sudah membuang tujuh bulan dari nyawa saya di situ. Saya tidak ingin buang waktu saya lagi untuk membalas email terus-terusan, karena saya anggap hal itu tidak bermanfaat bagi saya. Kalau setelah ini masih ada orang tua yang kirim email untuk bertanya tentang sekolah ini, mohon maaf, saya tidak akan tanggapi. Kalau para orang tua ingin percaya kepada seorang pengusaha di sekolah mana pun untuk mendidik anak anda, silahkan saja. Saya tidak merasa dirugikan kalau ilmu saya dianggap tidak bermanfaat. Silahkan taruh anak di mana saja. Saya rasa pendapat saya mengenai sekolah ini sudah jelas. Kalau orang tua ingin percaya bahwa saya seorang guru yang buruk, yang tidak menguasaikan ilmu pendidikan hanya karena ada pernyataan seperti itu dari seorang pengusaha, silahkan saja. Saya anggap pembahasan tentang sekolah ini sudah selesai, dan saya tidak mau membicarakannya lagi.

Terima kasih atas waktunya membaca komentar saya.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

Jakarta,

3 March, 2007

24 February, 2007

Program gratis untuk blokir situs porno (Free Download)

Site Blocker

Free Download

Home: Ahlul on the Web

Ahlul Fadish Resha, seorang mahasiswa di UGM, Yogya, telah menciptakan sebuah program computer yang bisa memblokir sebagian besar situs porno.

Program ini mengunakan sistem database untuk memblokir situs yang sudah ketahuan sebagai situs porno. Kalau situs porno baru muncul, yang tidak ada di database, program tidak akan berhasil memblokirnya. Untuk mengatasi masalah ini, program harus di-update terus (sama halnya dengan program anti-virus).

Jakarta Post melakukan uji coba dan tidak berhasil masuk situs porno satupun. Selalu mendapat pesan "Mohon Maaf Situs Ini Tidak Bisa Diakses."

Ahlul menyatakan dia sengaja menyebarkan program ini secara cuma-cuma supaya menjadi bermanfaat bagi masyarakat. “Buat apa bikin hak paten kalau ada orang yang dengan mudah bisa membajaknya nanti. Saya lebih mau memberikannya secara cuma-cuma,” katanya.

Ahlul dengan program ini menjadi juara di sebuah kompetisi pemuda berprestasi yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga.


Indo Pos

Jakarta Post

23 February, 2007

Membantu Anak Hafalkan Ayat2 Di Sekolah




Pertanyaan dari seorang guru:

Assalamu’alaikum, Gus Gene. Ente punya ga trik2 yang memudahkan anak untuk menghafal surat-surat pendek dalam juz amma. Thanks

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Supaya anak mudah menghafalkan, harus ada alasan untuk menghafal. Mereka dapat apa kalau bisa menghafalkan? Harus ada yang memberikan mereka semangat karena dari pandangan anak, asal menghafalkan sesuatu di dalam sebuah bahasa asing bukanlah sesuatu yang bermanfaat atau utama bagi dia.

Keponakan saya dulu sering ikut “nyanyi” saat mendengar asmaul husna di kaset. Orang tua senang, tapi dia belum hafal. Suatu hari, dia minta dibelikan sepeda. Orang tua setuju, dengan syarat dia hafalkan asmaul husna dulu. Dua minggu kemudian dia sudah hafal 100% padahal sebelumnya hanya ikut nyanyi.

Guru memang harus mengajarkan, tapi semangat (motivasi intrinsik) muncul kalau anak ada tujuan yang jelas dan juga dinginkan oleh dia. Kalau anak tidak termotivasi sendiri, maka kita bisa berusaha untuk semangatkan dari luar (motivasi ekstrinsik). Coba diskusi dengan kepala sekolah. Misalnya, anak2 akan dibawa ke Taman Mini atau Ragunan kalau semuanya hafalkan surah2 tersebut. Kalau kepala sekolah setuju, diskusi dengan anak2: “Kalau anak berhasil menghafalkan surah2 ini (seluruh juz amma, misalnya) di dalam 6 bulan, ada hadiah: kita bisa ke Ragunan, atau Taman Mini atau Dufan. Anak2 mau yang mana? Kalian diskusi dulu dan pilih sendiri.”

Sekarang anak2 ada tujuan yang jelas. Mereka mau hafalkan supaya bisa ke Dufan (atau yang lain). Ajarkan anak2 bahwa semua harus hafal (padahal nanti kalau ada yang belum hafal, bisa diberikan kelonggaran. Tapi jangan kasihtahu ke anak2 dulu. Target memang hanya untuk mayoritas anak2 bukan 100% karena belum tentu semua anak sanggup secara langsung.)

Ajarkan ke anak2 yang pintar ngaji untuk membantu temannya mengingat. Dia bisa bantu “mengetes” temannya kapan saja di mana saja, karena setahu anak2, mereka semua mendapatkan hadiah hanya pada saat “semua” anak menghafalkan.

Bisa juga membuat sebuah poster di kelas dengan daftar nama anak dan daftar surah yang perlu dihafalkan. Setiap minggu, anak2 bisa diberi tes singkat untuk menentukan apakah dia sudah hafal. Kalau iya, kasih stiker bintang (atau yang serupa). Ini bisa dijadikan sebuah kompetisi berkelompok atau berpasangan di mana anak2 hanya mendapat stiker kalau semua anggota menghafalkan ayat (dan guru boleh memberi kelonggaran sedikit untuk seorang anak yang sulit menghafalkan).

Anak2 biasanya memberi tanggapan yang sangat positif bila ada kemajuan yang konkret yang kelihatan terus di dalam kelas. Seorang anak yang belum berhasil bisa diberi semangat khusus dan teman2 kelas bisa diajak untuk membagi waktunya untuk mengajar teman yang satu itu secara khusus. Dengan demikian, anak2 bantu mengajar dan tidak selalu guru yang harus mengajar. Tetapi perlu dipantau juga. Jangan sampai seorang anak yang ketinggalan sedikit dibuat merasa sebagai orang yang “gagal”, atau lebih buruk “menggagalkan penerimaan hadiah” buat teman sekelas. Guru harus tetap bijaksana dan memastikan bahwa semuanya berjalan dengan sikap yang positif.

Dengan cara seperti ini, anak2 insya Allah bisa menjadi semangat untuk menghafalkan karena mereka ada tujuan yang jelas2 menarik dan diinginkan oleh mereka. Kalau sekedar mengajarkan mereka bahwa “nanti orang tua akan bangga kalau hafal” tidak cukup. Harus ada yang lebih dari itu yang mendorong mereka. Kamu bisa diskusi dengan guru2 yang lain dulu untuk mencari “hadiah” apa yang paling tepat kalau tidak mau pakai kunjungan ke Dufan. Yang lain juga boleh. Tetapi memberikan beberapa pilihan dan biarkan anak2 menentukan sendiri hadiahnya, supaya mereka merasa “memiliki” hadiah itu. (Apakah pernah dapat kado ulang tahun yang tidak diinginkan? Beda rasanya dengan keadaan di mana saudara bertanya ‘mau dibelikan apa’ lalu dia belikan yang kita inginkan.)

Sistem dengan memberikan hadiah tidak boleh dipakai terus2an untuk segala sesuatu di sekolah, karena justru bisa merusak motivasi intrinsik bila digunakan dengan cara yang berlebihan: “tidak ada hadiah, tidak perlu berusaha!”

Tetapi untuk membantu anak2 menghafalkan ayat/teks di dalam sebuah bahasa asing yang tidak dipahami atau digunakan sehari2, maka saya anggap wajar2 saja dan tepat untuk menggunakan sistem hadiah.

Untuk sistem penghafalan sendiri, memang harus diulangi terus2an, tapi bisa dengan cara yang bervariasi. Misalnya, pertama, membaca bahasa Arabnya dan mengulangi sampai ada sebagian anak yang kurang lebih hafal. Dan juga baca terjemahannya. Lalu kamu bikin sendiri bahan yang ada terjemahan dengan kalimat yang diacak/tidak urut. Anak2 harus berlomba2 dalam kelompok untuk kembalikan dengan susunan yang benar. Contoh, Al Ikhlas:

  • dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
  • Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
  • Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
  • Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan

Kalau kamu sudah pintar cut dan paste dari situs di internet, maka hal yang persis sama bisa dilakukan dengan ayat2 dalam bahasa Arab. Misalnya, 4 ayat diacak dan anak2 harus memotong dan lem lagi di atas kertas baru dengan susunan yang tepat. Lalu mereka bisa menulis terjemahan disebelahnya. Hal seperti ini sebaiknya dikerjakan berdua atau di dalam kelompok pada awalnya supaya selalu ada teman yang membantu. Kalau anak2 sudah biasa dengan hal ini, maka boleh juga dikerjakan sendiri.

Juga bisa dibikin game. Setiap ayat dalam bahasa Indonesia dipotong (misalnya ada 12 ayat) dan disembunyikan di sekitar kelas. Anak2 harus mencarikan dulu, lalu menulis ayat di kertasnya sendiri, lalu menyusun supaya benar, lalu ingat dan mengucapkan bahasa Arabnya, dan kelompok yang paling cepat selesai menang. Kelompok dianggap selesai kalau dia sudah mencatat terjemahan yang benar dengan susunan yang benar, dan dia juga bisa mengucapkan bahasa Arabnya dengan benar tanpa membaca dari al Qur'an (boleh melihat sebentar untuk ingat tapi kemudian harus ditutup).

Kalau ada kelompok yang menyatakan diri selesai, lalu ternyata belum benar, game diteruskan lagi dengan guru mengucapakan: “Ayo, cepat, belum ada yang benar.” Dan seterusnya. Tetapi harus bijaksana juga. Kalau ternyata semua mengalami kesulitan, sampai makan waktu terlalu lama karena surahnya belum dihafalkan, maka suruh semuanya berhenti dan guru membantu untuk selesai. Kalau diteruskan tanpa akhir, anak2 hanya akan menjadi jenuh karena merasa tidak sanggup berhasil. Guru harus tahu (dari ekspresi muka dan bahasa tubuh anak2) kapan saatnya untuk memaksa terus, dan kapan sebaiknya berhenti.

Game yang lain: Ayat2 di dalam bahasa Arab dikopi dan dipotong supaya menjadi dua belah. Setiap anak dibagikan sebagian secara acak dengan jumlah potongan yang sama untuk setiap anak. Misalnya ada 12 ayat, maka menjadi 24 potongan dan setiap anak mendapatkan 24 potongan secara acak. Bisa jadi ada anak yang mendapat 5 ayat yang lengkap dan sisanya tidak lengkap. Semua anak harus berputar2 di dalam kelas untuk mencari teman yang ada potongan ayat yang dibutuhkan. Untuk itu, tentu saja dia harus ingat ayatnya secara keseluruhan atau minta tolong sama teman supaya tahu ayat yang lengkap.

Misalnya, saya pegang “Qulhu wallahu” dan saya harus mencari orang yang ada “ahad” dan saya harus minta potongan ayat itu darinya supaya ayat saya menjadi lengkap. Mungkin dia juga ingin minta potongan saya jadi kita harus bernego. [Sebuah variasi: anak2 kerja dalam kelompok (misalnya 4 anak) dan masing2 mendapat hanya 6 potongan (=24 ptongan total dalam kelompok, =12 ayat). Untuk mendapatkan semua ayat yang lengkap kita harus mencari ayat yang dibutukan sendiri dan yang dibutuhkan teman2 juga), lalu kita duduk dan menyusun semuanya sehingga menjadi 12 ayat yang lengkap.]

Kalau anak2 sudah mendapatkan potongan ayat yang dibutuhkan, mereka harus duduk dan susan dengan benar. Yang pertama selesai menang. Anak yang merasa sudah benar akan disuruh membaca bahasa Arabnya, dan guru akan langsung tahu kalau susunan itu benar. Kalau belum benar (masih diacak sedikit) diteruskan saja sampai ada yang mendapat semua ayat dengan susunan benar. Lalu ayat2 itu bisa dilem di kertas baru dan dihias/diwarnai oleh semua, dan juga bisa ditulis terjemahannya. Ilmu agama didapatkan dari bahasa yang dipahami bukan dari bahasa Arabnya, jadi sebanyak mungkin, mencari kesempatan untuk membaca, menulis dan menghafalkan terjemahan juga. Pada saat yang sama, guru bisa mainkan kaset dengan ayat2 tersebut supaya semua mendengarkan sambil kerja.

Game seperti ini bisa dibuat dengan variasi yang lain juga.

Sekian saja dulu. Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...