Pages

Labels

alam (8) amal (97) anak (310) anak yatim (116) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (62) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (69) hukum islam (51) indonesia (577) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (364) kesehatan (97) Kisah Dakwah (11) Kisah Sedekah (11) konsultasi (13) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (53) my books (2) orang tua (10) palestina (34) pemerintah (137) Pemilu 2009 (63) pendidikan (511) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (41) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (37) renungan (182) Sejarah (5) sekolah (85) shalat (10) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

07 August, 2025

Anak Tenggelam Terus, Kenapa Dalam Beritanya Tidak Ada Pihak Yang Lalai?

Assalamu’alaikum wr.wb. Untuk mencegah anak tenggelam di negara ini, mungkin dibutuhkan 2 perubahan. Pertama, wartawan harus menulis berita dengan gaya lebih tegas. Kedua, harus ada orang dewasa terkait yang kena sanksi hukum. Yang paling mudah adalah yang pertama. Dalam kebanyakan artikel berita, ditulis bahwa anak yang tenggelam dibawa ke puskesmas, dan korban dinyatakan “tewas”. 

Tetapi sudah tewas pada saat dibawa pergi. Seharusnya korban dibantu langsung di tempat dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP, atau CPR). Tetapi sangat jarang terjadi. Biasanya dibawa ke puskesmas saja, dalam kondisi tidak bernafas. Kenapa? Karena banyak pengelola kolam renang, petugas, guru, ustadz, dan orang dewasa yang lain adalah orang yang bodoh dan lalai yang menolak belajar. Jadi mungkin artikel berita perlu tegaskan bahwa ada pihak yang bersalah. Misalnya:

SALAH SATU BERITA TERBARU: 
“Anak berusia 11 tahun tenggelam di kolam renang. Lalu petugas yang bodoh ambil jenazah anak yang tidak bernafas itu di membawanya jalan-jalan keliling kota. Setelah akhirnya tiba di puskesmas, dokter menyatakan bahwa anak yang sudah mati sejak 20 menit sebelumnya tetap saja mati. Artinya, petugas kolam renang membawa mayat jalan-jalan tanpa manfaat. Kenapa terjadi terus? Karena pemilik kolam renang yang bodoh dan lalai tidak mewajibkan semua petugas belajar Resusitasi Jantung Paru (RJP, atau CPR), dan pemerintah dan pemda yang bodoh dan lalai juga tidak mewajibkan pemilik usaha, guru, dan ustadz belajar RJP. Anak dibiarkan mati terus disebabkan kebodohan dan kelalaian dari pemerintah, pemda, pemilik usaha, petugas, guru, ustadz, dan orang dewasa lain yang seharusnya DILATIH untuk selamatkan anak.” [AKHIR]

Itu contoh artikel berita yang lebih tegas, yang jelaskan ada kelalaian. Tetapi saya tidak yakin banyak wartawan akan siap membuat berita yang tegas. Anak Indonesia harus dibiarkan mati terus, disebabkan kebodohan dan kelalaian dari orang dewasa yang punya kemampuan belajar, tetapi menolak, dan punya kemampuan untuk “menyangka”, tetapi malah selalu “tidak menyangka”. 

Sebagai perumpamaan, ketika terjadi kebakaran rumah, bagaimana kalau petugas damkar datang dan hanya tiup-tiup apinya tanpa hasil? Tidak membawa truk dan selang, dan tidak siram apinya dengan air. Lalu mereka berkomentar, “Kami tidak dilatih untuk memadamkan api! Tidak tahu caranya. Kami juga tidak menyangka rumah bisa kebakaran!” Apa kita akan terima, dan anggap tidak ada yang lalai? Atau apa kita akan marah, dan bertanya kenapa mereka tidak diwajibkan dapat pelatihan yang tepat? Lalu, apa bedanya dengan petugas di kolam renang? Kenapa tidak mereka diwajibkan dapat pelatihan RJP? Kenapa petugas damkar bisa “menyangka” rumah akan kebakaran dan siap bertindak, tetapi pengelola kolam renang, guru, ustadz, dan orang dewasa lain selalu “tidak menyangka” anak bisa tenggelam dan tidak siap bertindak?  

Kalau pelatihan RJP diwajibkan di SMP dan SMA, berapa ribu anak yang bisa diselamatkan dalam 1 tahun? Dan dalam beberapa tahun saja, 30-40% dari seluruh penduduk akan mengerti caranya setelah lulus sekolah (ada 80 juta anak di Indonesia). Jadi kenapa tidak wajib? Dan anak siapa yang harus tewas sebelum ada kepedulian?

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32)

Selama para korbannya hanya anaknya orang miskin, dan bukan anaknya orang elite, sepertinya tidak akan terjadi perubahan. Tetapi para wartawan bisa mulai membangun gerakan dulu, dengan SELALU BERTANYA kenapa petugas kolam renang tidak mengerti RJP, dan kenapa tidak ada pihak yang kena sanksi hukum disebabkan kelalaian tersebut.
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto 

Pelajar 11 Tahun Meninggal Tenggelam di Kolam Muara Louser Abdya 
Saat itu, korban sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kemudian, korban dilarikan ke Puskesmas Manggeng menggunakan sepeda motor.
https://prohaba.tribunnews.com/2025/07/19/pelajar-11-tahun-meninggal-tenggelam-di-kolam-muara-louser-abdya 

06 August, 2025

Disiplin Militer Di Sekolah Negeri Merusak Kreativitas Dan Kemajuan Siswa

[Komentar]: Maaf yaa, urusan rambut lah, topi waktu upacara lah, itu masalah sepele, masalah kecil. Kalau dalam perkara kecil saja siswa tidak diajar bertanggungjawab, bagaimana bisa diberikan tanggung jawab besar/ perkara yang besar... ?

[Gene]: Assalamu’alaikum wr.wb. Mungkin tanpa anda sadari, komentar anda berasal dari pemikiran dalam sistem pendidikan militer. Di militer, kesalahan sekecil apapun tidak bisa ditoleransi. Sersan harus memaksakan prajurit taat pada semua perintah dan aturan, dan tidak boleh ada kesalahan. Kenapa? Karena setiap prajurit harus siap MEMBUNUH manusia lain, pada saat diperintahkan. Tidak boleh berpikir dulu, tidak boleh introspeksi, tidak boleh berbeda pendapat, tidak boleh protes, tidak boleh menolak, tidak boleh berbeda sendiri. Wajib taat 100% ketika disuruh bunuh orang lain. 

Prajurit disuruh siapkan perlengkapan perang. Ketika sersan buka kotak amunisi, dan ternyata isinya sabun, prajurit yang salah isi kotak akan menjadi penyebab kematian pasukannya. Jadi prajurit wajib taat 100% pada perintah atasannya, dan kesalahan sekecil apapun tidak akan ditoleransi. Ini pemikiran militer. Jelas kenapa dibutuhkan. Sangat tidak benar kalau pemikiran yang sama digunakan untuk “mendidik” anak kecil di sekolah lalu mereka juga wajib kena hukuman tegas karena “lupa topinya” dsb. Anak bukan prajurit. Jangan dididik dengan pola pikir atau proses yang sama karena tujuannya sangat berbeda! 

Sayangnya, banyak guru menggunakan sikap “pendidikan militer” dalam sekolahnya dan tidak mau mencari program yang lebih cocok. Dan setelah mengalami sistem itu selama 12 tahun, ada anak yang lulus dan menjadi PNS. Ketika diperintahkan ikut “korupsi berjemaah”, banyak PNS merasa wajib menjawab, “Siap!” karena sesuai dengan pendidikan guru sekolahnya di masa lalun. Mantan siswa itu merasa wajib “diam dan taat” pada atasannya ketika diajak melanggar hukum. Kalau tidak diam dan taat, dia akan kena hukuman, karena pengalamannya di sekolah begitu. 

Einstein bisa menjadi salah satu manusia paling cerdas dalam sejarah, dan tidak ada yang peduli pada rambutnya. Bill Gates menciptakan Microsoft, Jeff Bezos menciptakan Amazon, Elon Musk menciptakan Tesla, dan mereka menjadi orang-orang yang paling kaya di dunia, tetapi tidak ada yang peduli pada rambutnya. Di Indonesia, ukuran rambut menjadi tanda ketaatan pada guru! Dan siswa wajib taat pada guru! (Tetapi hanya laki-laki saja, perempuan bebas mengatur rambutnya sendiri.) 

Wajib merasa takut akan kena hukuman dari guru kalau berbuat salah. (Dan konsep benar dan salah ditentukan oleh guru, pendapat siswa dan orang tua tidak penting!) Wajib menjadi sama dengan semua siswa lain. Wajib setuju dengan guru. Wajib menghafalkan jawaban yang benar yang dimiliki oleh guru. Wajib mengejar ranking satu. Wajib lulus semua ujian. Wajib menjadi sama dengan semua siswa yang lain. Dan jangan sampai berani melawan, berdebat, atau ingin menjadi berbeda.

Soalnya, Allah SWT sudah menciptakan semua manusia dalam keadaan persis sama dan Allah melarang perbedaan apapun, betul?? Salah! Allah menciptakan manusia dengan badan, bahasa, budaya, negara, kekayaan, dan bakat yang berbeda-beda! Lalu banyak guru Indonesia menjadi sibuk menghancurkan perbedaan itu, dan wajibkan semua siswa taat pada satu pendapat dan satu pemikiran yang dibenarkan oleh gurunya yang berkuasa. 

Dan ketika lulus dan menjadi PNS, sistem korupsi wajib dipelihara, atas perintah atasan yang berkuasa. Tidak boleh berbeda pendapat. Tidak boleh jujur sendiri kalau semua orang di sekitar kita berbohong. Anak Indonesia diwajibkan belajar sikap “Diam dan taat” dan wajib melestarikannya. Tidak ada kebenaran lebih tinggi daripada “Diam dan taat”. Lalu Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia, karena kebanyakan mantan siswa yang menjadi warga negara tidak berani melawan, atau menjadi berbeda sendiri, atau menegakkan kebenaran…

Semoga semua guru dan orang tua bisa melihat hubungannya antara pendidikan “diam dan taat” di sekolah, dan hasilnya di tengah masyarakat kita. 
Wa billahi taufiq wal hidayah, 
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto