Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

15 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual Bagian 4/5

SEBENARNYA ORANG TUA YANG SALAH! (“KOK KITA DISALAHKAN?”)

Terus terang saja, sebagian besar dari semua permasalahan ini yang berkaitan dengan sekolah swasta, program immersion atau bilingual, kualitas pendidikan dan kualitas guru adalah disebabkan kesalahan orang tua, yang tidak sengaja tentu saja. (Dan ini juga terlepas dari persoalan Diknas yang tidak melakukan kontrol terhadap sekolah2 ini). Seorang pengusaha bisa melihat bahwa bisnis pendidikan cukup menguntungkan karena contoh sudah banyak. Jadi, karena dia memang ahli bisnis, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan: bersaing!

Untuk bangun sebuah sekolah baru tidak perlu latar belakang pendidikan sama sekali. Juga tidak perlu mencari ahli pendidikan dan memberikannya wewenang penuh untuk mengatur sekolah sesuai dengan ilmunya. Cukup mencaritahu orang tua inginkan apa, atau lebih tepat mengatakan orang tua “siap bayar mahal untuk apa”? Kalau sudah ada daftar, tinggal menyediakan “barang” tersebut. Dengan contoh toko swalayan, pemilik menaruh barang yang kira2 akan dibeli oleh customer = orang tua. Makin laris “barang” itu, makin kaya si pemilik. Kalau laris sekali, bisa di-franchise.

“Ibu menuntut sekolah harus bilingual? Kita siap! Ibu minta Multiple Intelligences? Siap! Mau setiap guru diambil dari lulusan psikologi supaya lebih ‘mengerti’ anak? Siap! Mau Kurikulum IB? Siap! Mau kita mengimpor guru dari Arab Saudi, Cina atau Inggris? Siap! Mau anak belajar 5 bahasa sekaligus di sekolah? Siap! Mau anak diwajibkan hafal seluruh isi/separuh dari Al Qur'an sebelum boleh lulus SD? Siap! Mau diadakan 50 macam kegiatan ekskul? Siap! Mau anak tidak pernah mendapatkan PR selama di SD? Siap! Mau anak tidak pernah diberikan tes selama di SD? Siap! Mau anak sekaligus belajar menjadi atlit Olimpik? Siap! Mau anak diajar menyanyi oleh penyanyi terkenal supaya bisa menjadi kontestan di Indonesian Idol, dan kemudian kita membuat Production House di sekolah supaya anak bisa menjadi bintang sinetron? Siap! Siap! Siap!” (…Asal Ibu bayar ya!” )

Kalau orang tua tidak tahu apakah ini benar atau tidak, coba melakukan sebuah eksperimen dengan teman2 anda. Dari mulut ke mulut, lewat email, mailing list, dsb., coba menyebarkan sebuah ide baru dan melihat kalau ada sebagian sekolah yang mulai bersaing untuk menyediakan “barang” baru itu.

Sebagai contoh: mengatakan kepada teman bawah menurut anda, banyak orang tua akan sangat senang kalau ada salon rambut di sekolah. Anak bisa potong rambutnya dan dapat creambath di waktu istirahat dan juga sesudah sekolah. Menjelaskan kepada semua teman anda bahwa pasti ada banyak orang tua yang menginginkan salon di sekolah karena selalu sulit mencari waktu untuk membawa anak ke pemangkas rambut. Kalau ide ini sudah disebarkan ke mana2, tunggu saja dan mengecek kalau tiba-tiba sebuah sekolah mengadakan salon.

Anda juga bisa membantu memberikan semangat pada sekolah dengan cara telfon beberapa sekolah dan sekedar bertanya kalau ada salon di sekolah: “Selamat siang, saya mau bertanya kalau ada salon rambut di sekolah anda? Ohh, belum ada salon ya? Bukannya banyak sekolah swasta ada salon sekarang? Baiklah, saya akan cari sekolah yang lain saja. Terima kasih.”

Setelah mendengar ini 100 kali dari “calon customer” alias orang tua murid baru, apakah sekolah akan berfikir dua kali untuk mengadakan salon? Cari sesuatu seperti contoh ini dan bereksperimen dengan sekolah untuk mencaritahu apakah mereka benar2 siap menyediakan sesuatu yang diinginkan “customer”. (“Ohh, belum ada gajah di sekolah ini ya? Tahun depan ada nggak?”)

Dan barangkali anda sudah pernah melakukan hal seperti ini dengan telfon sekolah2 saat mau daftarkan anak, dan menanyakan hal seperti Bilingual, IB, guru Bule, Multiple Intelligences, dsb. Pada saat sebuah sekolah menyatakan tidak ada salah satunya, anda mencari sekolah yang lain! Padahal bisa jadi sekolah yang ditinggal itu bagus dari sisi ilmu akademis/pendidikan. Dan setelah anda sekedar mendengarkan istilah “bule”, atau “IB”, atau “Multiple Intelligences”, anda menjadi yakin untuk memasukkan anak tanpa berfikir untuk memeriksa lebih dalam. (Misalnya dengan minta melihat CV dari si Bule).

Apakah mungkin anda akan datang ke sebuah kantor perusahaan penerbangan dan bertanya seperti ini:

“Maaf Pak, ini perusahaan penerbangan ya?” (Ya.) “Ada pesawat?” (Ada.) “Pesawat itu punya sayap?” (Sayap ada Bu.) “Ada pilot Bule?” (Ya, ada!) “Oh, kalau begitu, perusahaan anda sudah terbukti sebagai perusahaan penerbangan terkemuka di Indonesia, dan pesawat anda sudah pasti merupakan pesawat yang terbaik yang diterbangkan oleh seorang pilot yang paling berilmu dan berpengalaman dan sangat tidak mungkin pesawat anda akan mengalami kecelakaan. Inilah anak saya. Tolong terbangkan dia ke Australia!!”

Apakah begitu mudah menentukan kualitas dari sebuah perusahaan penerbangan hanya dengan bertanya seperti itu? Tetapi untuk urusan sekolah, barangkali sebagian orang tua persis seperti itu. Asal mendengarkan kata kunci yang diinginkan, orang tua jadi percaya 100% dan anak langsung didaftarkan.

Karena orang tua siap bayar, sekolah siap menyediakan. Dan ini mencerminkan salah satu sisi dari bisnis murni: berikan apa yang diinginkan oleh pasar! Sebagai contoh, kalau pengusaha ingin membuka café baru, apakah mungkin dia buka café yang tidak menyediakan Cappucino dan Café Latte? Apakah dia bisa laris kalau tidak menyediakan minuman ini yang merupakan dua minuman standar di semua café yang lain? Kalau tidak ada, customer akan berfikir: “Ini café macam apa ya? Café ini tidak bermutu”. Dan dia akan mencari yang lain. Sama seperti café, orang tua atau “customer” datang ke sekolah dan bertanya “Ada bilingual di sini? Ada Bule di sini? Ada Kurikulum IB di sini? Apakah ada 50 macam ekskul?” Dan seterusnya.

Sekarang, orang tua menjadi seperti customer yang masuk café mencari Cappucino. Yang dia inginkan memang disediakan oleh café/ tempat usaha/ sekolah.

Kesalahan orang tua ini sebenarnya dilakukan dengan niat yang sangat mulia: orang tua ingat pengalaman sekolah mereka di masa lalu yang dipandang buruk dan menyatakan “Anak saya harus mendapatkan yang lebih baik!” Ini adalah suatu sikap yang sangat baik dan mulia. Sayangnya, orang tua mencaritahu apa yang “terbaik” untuk anak dengan cara bertanya kepada teman2 yang juga bukan ahli pendidikan. Kata teman2nya:

· “Bagusan sekolah bilingual. Nanti anak bisa bahasa Inggris. Kita tidak bisa. Seharusnya dimulai di usia lebih muda. Harus dari Playgroup, bukan di SMP seperti kita dulu.”

· “Bagusan sekolah IB. Kurikulum baru bagus kalau IB. Lihat saja sudah banyak orang yang bikin sekolah IB. Berarti IB bagus kan? IB. IB. IB!”

· “Saya dulu tidak belajar agama dengan baik waktu di sekolah. Sampai sekarang masih tidak bisa ngaji dengan baik. Seharusnya anak hafalkan seluruh Al Qur'an di masa SD. Anak kecil sangat mudah menghafalkan segala sesuatu dibandingkan orang dewasa, iya kan? Dan di negara2 Arab pasti semua anak hafalkan Al Qur'an di TK, iya kan? Bukannya begitu?”

· Dan seterusnya.

Setiap teman yang memberikan komentar ini berniat sangat baik karena ingin membagi informasi yang dipandang bermanfaat. Setelah orang tua mendengar nasihat yang sama dari 10 teman, dia menjadi yakin dan anak dimasukkan ke sekolah tersebut; sekolah yang seusai dengan apa yang dicarikan orang tua. Hal ini biasanya terjadi karena orang tua tidak mengenal seorang guru atau ahli pendidikan satu pun. Tetapi kalau seandainya orang tua mempunyai masalah kesehatan, dia akan berkonsultasi dengan dokter (ahli pengobatan). Teman boleh2 saja menambahkan komentar tentang apa yang baik. Tetapi sebagaian besar orang tua akan lebih beratkan informasi dan komentar dari si dokter. Untuk masalah pendidikan, tenyata tidak demikian. Hanya ada teman2 biasa. Saya tidak berniat menghinakan teman2 anda karena insya Allah mereka juga termasuk orang yang baik hati, pintar dan bijaksana, dan nasehat dari mereka insya Allah juga bermanfaat untuk didengarkan. Hanya saja, keahlian mereka di bidang pendidikan tidak ada, dan hal itu mempengarui “wawasan” mereka sehingga nasehat itu diberikan dari satu sisi saja, tanpa bisa melihat segala macam kemungkinan yang lain, termasuk hal-hal yang kurang baik.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah semua “barang” yang disediakan oleh sekolah swasta ini memang yang terbaik untuk anak2? Kalau kurikulum IB memang baik, misalnya, tetapi apakah sekolah menyediakan karena alasan itu atau karena ada “customer” yang ingin “membeli”nya?

MESTI BAGAIMANA SEKARANG: SOLUSI BIASA

Ini yang paling berat. Saya juga tidak bisa memberikan sebuah solusi yang dijamin lebih baik dari keadaan anda sekarang. Anak anda harus sekolah. Anda sudah bayar untuk masuk sebuah sekolah swasta. Yang bisa saya sarankan adalah mulai saat ini, orang tua membuat janji pada diri sendiri untuk melakukan dua hal:

1.) Belajar sedikit tentang pendidikan. Anda bisa mencari sumber informasi di internet, misalnya kalau mau tahu sekolah bilingual mesti seperti apa, ketik “bilingual” atau “bilingual program” dan membuka beberapa situs. Baca sebagaian kecil dan berusaha untuk memahaminya. Mungkin dari yang dibaca itu, akan muncul pertanyaan: “Kok sekolah anak saya tidak seperti itu? Mana “Pull Out Program”nya?” Dan sayangnya ini hanya bisa dilakukan oleh orang tua yang bisa bahasa Inggris. Barangkali ada situs2 di Malaysia yang menggunakan bahasa Melayu dan bukan bahasa Inggris. Carikan. Kalau baca bahasa Melayunya insya Allah anda bisa menangkap intinya. Coba pahami sedikit teori saja. Ini penting kalau anda sangat inginkan menyekolahkan anak di sekolah bilingual. Anda harus tahu program bilingual yang standar seperti apa, karena, sayangnya, anda tidak bisa asal percaya bahwa semua sekolah swasta akan melakukan yang terbaik. (Itu sebabnya saya memberikan sedikit teori standar di Bagian Pertama artikel ini untuk membantu orang tua yang belum pernah berfikir tentang bentuk program bilingual)

2.) Menjadi lebih kritis terhadap ada yang terjadi di sekolah anak anda. Barangkali ini sulit kalau baik bapak maupun ibu bekerja. Sudah pulang malam, capai, belum makan, masa harus bertanya2 tentang segala sesuatu yang terjadi di sekolah? Mohon maaf, tetapi memang harus begitu. Karena sistem yang sudah ada di sini sekarang, anda tidak bisa asal titipkan anak di sekolah dan menerima seorang remaja yang sudah dibentuk dengan baik pada akhir SMA nanti. Memantau dan menganalisa apa yang terjadi di sekolah. Dengan logika biasa, barangkali sesuatu akan terasa sedikit “ganjil” dan hal itu harus dipertanyakan ke pihak sekolah. Minta melihat budget untuk sebuah kegiatan yang mewajibkan suatu bayaran. Minta melihat hasil dari semua ujian yang diikuti oleh anak anda. Minta melihat print out dari semua ujian dari tahun2 kemarin untuk menjadi perbandingan. Kalau kelihatan ada penurunan nilai di satu pelajaran, hubungi sekolah/guru dan minta penjelasan. Cari tahu apa yang bisa dilakukan orang tua di rumah untuk membantu. Kalau sekolah mengumumkan anak akan disiapkan untuk mengikuti sebuah lomba di luar kota, cari tahu lomba itu seperti apa. Apakah benar2 bermanfaat untuk anak atau hanya diikuti untuk meningkatkan “gengsi” sekolah karena selalu berpartisipasi dalam semua lomba yang ada? Dan seterusnya.

MESTI BAGAIMANA SEKARANG: SOLUSI LAIN

Kalau orang tua tidak puas dengan memantau anak dan sekolah saja, berarti barangkali orang tua harus mulai menjadi lebih tegas dengan sekolah yang tidak jelas. Kebanyakan masalah yang telah dibahas di dalam artikel ini ada di pihak sekolah. Anda sudah bayar mahal dan anda harus menunjukkan bahwa anda tidak puas dengan pelayanan yang mereka berikan. Kalau seandainya sekolah ini adalah perusahaan penerbangan, anda bisa berhenti saja membeli tiket mereka. Dengan sekolah tidak bisa begitu. Berarti orang tua harus berusaha untuk mengubah sikap kurang baik dari sekolah ini.

Orang tua bisa datang ke sekolah dalam sebuah rombongan, misalnya 20-30 orang. Kalau datang sendiri2, sekolah bisa mengabaikan keinginan anda dan komentar anda dengan sangat mudah. Kelompok menunjukkan kekuatan dan kekompakan.

Kurikulum: minta melihat kurikulum dari sekolah. Kalau “masih ditulis” bertanya kenapa bisa begitu padahal sekolah sudah beroperasi beberapa tahun. Minta diberikan kopian dari kurikulum. Saya diberitahu dari seorang teman bahwa Sekolah SD Lazuardi di Cinere tidak takut melakukannya dan malah memberikan kepada orang tua tanpa ada yang minta. Luar biasa. Kenapa sekolah anak anda tidak mau? Apa yang mereka sembunyikan?

CV: minta melihat CV dari semua “guru” di sekolah, terutama guru kelas anak anda. Setiap sekolah pasti menyimpan CV gurunya di file karyawan. Kalau sekolah menyatakan itu data pribadi, suruh mereka panggil guru dan langsung minta izin di depan mukanya. Kalau dia tidak izinkan, tanya kenapa. Apakah dia ada gelar atau latar belakang dan pengalaman pendidikan? Apakah dia pernah bekerja di sebuah sekolah sebelum masuk sekolah ini? Ini juga penting dilakukan untuk guru bule. Mungkin guru bahasa Inggris anak anda adalah mantan kuli bangunan dari Australia. Dan mungkin orang dengan gelar atau pengalaman pendidikan merupakan hanya 40-60% dari guru di sekolah anak anda (karena masih baru). Jadi kalau orang yang insya Allah “mengerti pendidikan” hanya 40%, kira-kira siapa yang menjaga perkembangan ilmu akademis dan “cognitive development” (daya pikir) dari anak anda? Si pengusaha yang menjadi pemilik sekolah?

Budget: minta melihat budget sekolah. Hampir pasti mereka tidak mau menunjukkannya. Berfikir tentang apa isinya yang membuat mereka takut kalau orang tua tahu? Apakah ada hal yang ganjil? Apakah misalnya ada pengeluaran ratusan juta untuk pemilik sekolah dan keluarganya yang sering pergi ke Bali, ke Singapore dan lain negara, dengan munggunakan uang sekolah, tanpa jelas tujuannya apa? Sedangkan jumlah uang untuk beli buku buat perpustakaan hanya mencapai 10 juta per tahun. Kalau sekolah tidak mau terbuka dan jujur tentang uang sekolah dipakai untuk apa, maka anda bisa berfikir sendiri tentang kenapa mereka lebih senang kalau anda tidak tahu tentang persoalan itu. (Sekolah yang licik tinggal membuat Budget palsu khusus untuk diperlihatkan kepada para orang tua.)

Daftar asset: Minta lihat daftar aset milik sekolah. Hampir pasti mereka tidak mau menunjukkannya. Berfikir tentang apa isinya yang membuat mereka takut kalau orang tua tahu? Mungkin di dalamnya anda akan menemukan banyak aset seperti mobil mewah dan rumah mewah. Bertanya siapa yang memakai fasilitas ini? Barangkali pemilik sekolah merasa dirinya adalah Fund Manager. Setelah dia kumpulkan milyaran rupiah dari anda semua, apakah digunakan untuk kepentingan anak dan sekolah? Bagaimana kalau dia membeli perkebunan kelapa sawit, atau saham hotel, atau uang dimasukkan deposito saja. Untung dari usaha itu untuk siapa? Kembali lagi ke sekolah untuk kepentingan anak, atau masuk tabungan pemilik sekolah? Sebenarnya dia tidak melanggar hukum kalau melakukan hal seperti ini. Anda yang memberikan milyaran rupiah kepadanya tanpa pernah bertanya uang itu digunakan untuk apa. Berarti dia bebas menggunakan bunga deposito untuk kepentingan diri sendiri. Kalau memang begitu, apakah niat dia bangun sekolah karena mau memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak anda, atau sekolah itu hanya sebuah “alat” yang membuka jalur supaya dia bisa menjadi Fund Manager dengan uang anda untuk kepentingan diri sendiri. (Sekolah yang licik tinggal membuat Daftar Aset yang palsu khusus untuk diperlihatkan kepada para orang tua.)

Membentuk asosiasi orang tua: ajak orang tua yang lain kumpul di sebuah rumah untuk membahas keadaan sekolah. Lebih baik anda membentuk asosiasi sendiri. Kalau sekolah sudah membentuknya, dan anda hanya diajak masuk, bisa jadi sekolah membentuk duluan dengan niat melakukan “control” terhadap para orang tua. Barangkali orang yang membangunnya dan sangat aktif di organisasi pertama itu adalah teman2 pemilik sekolah dan para pendukung “fanatis” yang tidak siap mendengarkan sisi buruk dari sekolah mereka. Barangkali mereka selalu mendukung 100 persen semua ucapan pemilik sekolah. Mereka ingin sekolah ini berlangsung terus di bawah kepemimpinan teman mereka (pemilik sekolah) dan siapa pun yang terlalu banyak bertanya2 tentang kualitas pendidikan, kualitas bahasa, atau hal yang lain akan dipandang sebagai “pengganggu” saja. Mereka lebih utamakan “status quo” daripada kebenaran. Bentuk asosiasi sendiri supaya anda bisa bicara bebas. Kalau semua orang tua sepakat ada masalah tertentu, hal itu bisa disampaikan ke pemilik sekolah lewat surat, misalnya, dengan tanda tangan 100 orang tua, dsb.

Membantu guru membentuk sebuah Serikat Guru: saya belum pernah mendengar tentang sebuah sekolah swasta yang langsung membentuk serikat guru sendiri untuk menjaga kepentingan para guru. Manfaat dari serikat guru adalah memberikan kekuatan kepada para guru untuk mencegah kebijakan yang tidak baik atau tidak adil dari pemilik sekolah (pengusaha). Dengan asumsi bahwa sebagian besar dari guru di sekolah adalah guru yang baik, yang berniat mengajar dengan sebaik mungkin (tanpa melihat gelarnya), maka mereka pasti tidak bisa melakukan protes apapun kalau tiba2 pemilik sekolah mewajibkan mereka melakukan sesuatu yang mereka anggap tidak baik untuk anak, atau sangat mengganggu kenyamanan mereka sebagai guru. Guru harus menuruti semua kebijakan pemilik sekolah. Kalau ada serikat guru, dan semua guru merasa suatu kebijakan tidak bermanfaat, tidak adil, dsb. maka mereka bisa menghadapi pemilik sekolah secara kolektif. Kalau tidak ada serikat, tidak ada yang bisa membeka anak2 dari kemauan aneh pemilik sekolah, atau membela guru yang merasa ditindas.

Apakah ini suatu jalan yang baik? Kalau seandainya orang tua mengambil salah satu dari jalan ini, kemungkinan besar akan menimbukan masalah baru dengan pihak sekolah. Di atas semua masalah yang sudah ada, orang tua akan dipandang sebagai “pengganggu” dan bukan “partner”. Kalau hal ini terjadi, hanya ada tiga kemungkinan:

1. Sekolah mulai mendengarkan orang tua dan berubah supaya selalu melakukan yang terbaik untuk anak, bukan terbaik untuk bisnis.

2. Sekolah cuek saja pada keluhan orang tua dan tidak berubah. Kalau orang tua tidak suka, silahkan keluar saja (uang pangkal puluhan juta non-refundable, tentu saja).

3. Sekolah akan menjadi marah besar karena merasa dilawan oleh customer yang seharusnya terima saja “barang-barang” yang disediakan perusahaan tanpa komplain. Orang tua dipandang sebagai lawanan dan kinerja sekolah menjadi rusak.

Oleh karena itu, saya sarankan agar orang tua berfikir kembali sepuluh kali sebelum mengambil suatu tindakan untuk “melawan” pemilik sekolah (walaupun tujuannya adalah untuk mendapatkan yang terbaik bagi anak) karena ada kemungkinan tidak akan berhasil dan malah akan menimbulkan masalah baru!

MESTI BAGAIMANA SEKARANG: SOLUSI IMPIAN

Pemerintah akan mulai peduli dengan pendidikan, baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Dan semua SD Negeri akan menjadi begitu baik dan bermutu sehingga tidak akan ada orang tua yang inginkan anaknya masuk sekolah swasta!

Bukannya 20% dari APBN seharusnya untuk pendidikan, tetapi sampai sekarang belum mencapai target terus? Anggaran untuk sekian banyak proyek dan perjalanan pejabat ke luar negeri selalu ada. Untuk tangani lumpur panas di Sidoarjo disediakan trillunan rupiah (secara tiba-tiba). Tetapi untuk pendidikan selalu tidak cukup. Kalau mau melihat hasilnya kalau sebuah negara menjadi serius dengan mengembangkan sistem pendidikannya, lihat saja Malaysia dan hasil yang tercapai di dalam 30 tahun terakhir ini. Kira-kira berapa banyak atap kelas yang ambruk di Malaysia setiap tahun? Di sini hampir setiap minggu ada kasus.

Kalau seandainya Diknas melakukan kontrol yang ketat terhadap sekolah swasta, mungkin sebagian dari guru kelas akan dipecat karena tidak mencapai standar tertentu (terutama yang “asal bule” saja). Bagaimana kalau sekolah tidak boleh dibuka kalau kurikulum belum ada? Sekolah swasta akan menjadi sedikit saja. Untuk menghindari masalah ini, banyak sekolah cukup menyatakan “Kita menggunakan kurikulum Diknas” tetapi setelah 4 tahun mereka masih sibuk “menulisnya kembali” berarti kurikulum tidak stabil untuk bertahun2.

Apakah petugas dari Diknas akan peduli pada sekolah swasta anak anda, padahal ada sekian banyak masalah dengan Sekolah Negeri yang belum bisa ditangani juga. Dengan gaji yang masih tergolong rendah, kenapa seorang petugas dari Diknas akan peduli kalau anak anda di sekolah swasta sedang diajar (atau “disiksa secara emosional”?) oleh seorang mantan kuli bangunan dari Australia?

APAKAH GURU YANG BAIK PASTI BERGELAR PENDIDIKAN?

Perlu saya jelaskan bahwa seseorang tanpa gelar pendidikan bisa saja menjadi guru yang hebat. Tergantung niatnya dan usahanya. Dan seseorang dengan gelar pendidikan bisa saja menjadi guru yang buruk. Tergantung niatnya dan usahanya. Saya tidak mau menjelekan nama semua guru sekolah yang tidak lulus dari Fakultas Pendidikan karena saya ada banyak teman dengan gelar yang lain dan mereka telah menjadi guru dengan kualitas terbaik sehingga saya akan memilih mereka untuk menjadi guru daripada orang yang baru lulus dari IKIP/UNJ dan belum berpengalaman.

Tetapi yang bisa membedakan antara guru yang baik dan buruk adalah orang yang mengerti pendidikan dan fungsi guru. Orang tua belum tentu bisa menentukan bedanya. Kalau orang tua ingin coba, mulai dengan mengikuti perasaan saja. Melihat kepedulian guru terhadap semua anak. Apakah kelihatan sayang sama anak? Kalau anda komplain tentang sesuatu, apakah dia tanggapi dengan cara yang baik, dsb.? Apakah dia selalu mencari solusi yang baik bila terjadi sebuah masalah? Apakah dia terbuka untuk diskusi dan menerima saran? Apakah dia bisa menjelaskan kenapa sebuah saran dari orang tua itu tidak baik bagi perkembangan anak? (Misalnya, orang tua minta anak Playgroup harus diwajibkan membaca dan menulis, lalu guru menolak dan sanggup menjelaskan kenapa saran itu tidak baik untuk semua anak!). Kalau anda mendapat perasaan baik tentang guru itu, berarti itu adalah suatu permulaan yang baik. Tetapi sikap baiknya itu tidak secara automatis berarti dia bisa mengajar dengan benar.

Yang saya maksudkan di dalam artikel ini dengan selalu memberikan komentar buruk mengenai si “lulusan ekonomi” adalah begini: kalau ada seorang guru yang lamar untuk masuk sekolah anak anda, dan ternyata dia lulusan IKIP dengan pengalaman 8 tahun di kelas, dia termasuk guru terbaik di SD Negerinya, tetapi dia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, kemungkinan besar dia akan ditolak, tetapi si lulusan ekonomi akan diterima dengan alasan bahwa dialah yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan hanya itulah yang dipertanyakan orang tua.

Berfikir: Orang yang mana yang paling baik untuk mendidik anak anda? Kalau dari sisi pendidikan, guru yang pertama adalah yang terbaik. Kalau yang diinginkan adalah “asal guru bisa berbahasa Inggris” karena itu yang mau “dibeli” oleh orang tua, maka guru yang kedua lebih cocok.

Orang tua harus mulai berfikir dengan bijaksana tentang mana yang lebih utama bagi masa depan anak anda.

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

13 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 3/5

MANA RISET/BUKTI ILMIAH TENTANG LULUSAN SEKOLAH SWASTA BILINGUAL INI?

Barangkali orang tua sudah tahu bahwa ada beberapa sekolah yang sudah lama menjalankan program Immersion/Bilingual di sini dengan tujuan membuat anak lancar dalam bahasa Inggris. Karena sekolah2 ini sudah lama berjalan, berarti jumlah lulusan mereka sudah banyak. Di mana mantan murid itu sekarang dan bagaimana keadaan mereka? Seorang ahli pendidikan akan mau tahu tentang hal ini, tetapi barangkali seorang ahli bisnis tidak akan peduli. Sebagai contoh tentang hal yang perlu kita pahami adalah:

· Apakah lulusan ini (yang sudah dewasa) masih ada di Jakarta?

· Apakah mereka dikirim keluar negeri untuk kuliah?

· Apakah mereka sanggup kuliah di sini (karena keadaan pendidikan di universitas lokal barangkali sangat berbeda dengan pengalaman baik mereka waktu di sekolah swasta, sehingga mereka tidak tahan dan minta kuliah ke luar negeri)?

· Kalau kuliah di luar negeri sudah selesai, apakah semuanya atau mayoritas kembali ke Indonesia atau tetap di luar negeri karena sudah merasa lebih betah di sana?

· Bagaimana dengan kemampuan bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesianya sekarang?

· Apakah bahasa Inggrisnya lebih lancar, atau bahasa Indonesianya?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, bagaimana dampaknya terhadap orang yang harus bekerja di sini?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, apakah karena mereka sudah merasa lebih "normal" menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka memandang orang yang tidak bisa berbahasa Inggris sebagai orang "rendah" atau orang "biasa" dan bukan elite seperti mereka?

· Bagaimana pergaulan mereka dengan keluarga besar (kakek, nenek dsb.) yang tidak bisa menggunakan bahasa Inggris sama sekali?

· Apakah mereka merasa bangga dengan bahasa dan budaya Indonesia?

· Atau apakah bahasa dan budaya orang tuanya membuat mereka merasa malu?

· Kalau mereka kuliah di sini dengan menggunakan bahasa Indonesia apakah kemampuan bahasa Inggrisnya berkurang? Kalau iya, berapa jauh?

· Dan penurunan kualitas bahasa itu, bila ada, terjadi dalam jangka waktu berapa tahun?

· Kalau kemampuan bahasa Inggrisnya ternyata sudah turun secara drastis, apakah hal itu berarti sia-sia ribuan jam di SD-SMA hanya untuk belajar bahasa Inggris yang kemudian menjadi hilang?

· Bagaimana nilainya orang yang kuliah di sini dalam bahasa Inggris di universitas swasta?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di sini tetapi menggunakan bahasa Indonesia?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di luar negeri dalam bahasa Inggris dan bersaing langsung dengan Native Speaker?

· Bagaimana nilainya tiga kelompok ini dibandingkan dengan nilai sebuah kelompok "kontrol" yang tidak pernah masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Nilai lebih tinggi di kelompok yang mana?

· Bagaimana keadaan psikologis semua lulusan ini?

· Apakah ada sebagian dari mereka yang mengalami perasaan tertekan, stres, depresi, dan gangguan emosional/psikologis yang lain disebabkan mereka merasa kehilangan citra diri (karena tidak suka budaya dan bahasa lokal, tetapi masih merasa sebagai orang Indonesia)?

· Kalau ada yang mengalami perasaan stres dan berbagai gangguan yang lain, berapa persen, untuk berapa lama, mulai berapa tahun setelah keluar dari sekolah?

· Apakah gangguan ini mempengaruhi hubungannya dengan suami atau isteri yang tidak bisa berbahasa Inggris karena dia lulus dari sekolah biasa?

· Kalau semua lulusan sekolah2 ini merasa 'bahagia', apakah mereka bisa dikatakan kurang, sama, atau lebih bahagia dari anak yang tidak masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka hanya bisa bahagia selama mendapatkan pekerjaan di luar negeri, atau di perusahaan asing di Indonesia, sehingga skil mereka dengan bahasa Inggris sangat dihargai?

· Kalau mereka terpaksa pindah ke perusahaan lokal yang tidak membutuhkan bahasa inggris, apakah mereka masih 'bahagia'?

· Apakah mereka dipandang 'elite' oleh karyawan yang lain karena sering menjawab pertanyaan biasa dengan bahasa Inggris (karena sudah terbiasa begitu), sehingga mereka menjadi susah bergaul di kantor?

· Dan seterusnya!

Inilah termasuk hal2 yang akan dipikirkan ahli pendidikan pada saat membicarakan dampak secara luas dari sebuah program bahasa asing yang akan diwajibkan untuk semua anak di sebuah sekolah. Bukan hanya apa yang terjadi kepada mereka selama di sekolah tetapi bagaimana kehidupan mereka setelah keluar dari sekolah. Kebutuhan bahasa di sekolah akan mempengaruhi persentase L1 (bahasa Ibu) dan L2 (bahasa asing) yang digunakan. Misalnya, penggunaan 50%-50% sangat berbeda dengan 10%-90%. Dan tingkat penggunaan ini juga mempengaruhi hal yang lain seperti "cognitve development" (perkembangan daya pikir), "acquisition of academic content" (pengertian terhadap ilmu pelajaran), dan "socio-cultural development" (rasa bangga dengan bahasa/ budaya orang tuanya).

Seorang ahli pendidikan akan bertanya: Apa dampaknya program bahasa tersebut di masa depan semua anak ini? Yang baik apa? Yang buruk apa? Bagaimana caranya mencegah yang buruk dan memperkuat hasil yang baik? Ini cara berpikir guru dan ahli pendidikan yang profesional. (Barangkali seorang pengusaha hanya akan bertanya: Apa dampaknya program ini pada masa depan deposito saya?)

Apakah anda pernah mendengarkan pemilik sekolah anak anda membicarakan hal seperti ini? Kemungkinan besar tidak.

Alasannya dua:

1.) Setahu saya, hasil riset seperti ini yang berkaitan dengan konteks kita di Indonesia tidak ada. Kalau riset untuk orang di luar negeri, misalnya di Kanada, saya yakin ada. Tetapi konteksnya berbeda. Di Kanada, semua atau mayoritas dari para guru bisa diyakini profesional, dan program Immersion itu dipantau terus oleh Diknas dan bukan dikerjakan secara acak oleh sekolah swasta yang asal mendapatkan staf yang bisa berbahasa Inggris. Di Kanada barangkali hanya hanya satu kelas yang melakukan program Immersion dan bukan seluruh sekolah. Kurikulum sudah terbentuk oleh sebuah tim ahli dan digunakan oleh semua sekolah. Beda halnya dengan Indonesia di mana saya sering menemukan "guru" (baca: lulusan ekonomi dsb.) yang dipaksakan sekolah membuat Kurikulum untuk menghemat pengeluaran. (Kalau harus mencari seorang ahli untuk membuat kurikulum, berarti bayar lagi. Guru saja deh!)

Setahu saya, tidak ada orang di sini yang melakukan penganalisan secara intensif dan ekstensif terhadap apa yang sebenarnya terjadi kepada anak yang telah lulus dari sekolah swasta bilingual di sini. Paling ada informasi yang bisa didapatkan dari salah satu sekolah yang menyatakan lulusannya pergi ke mana (seperti asosiasi alumni). Informasi selain lokasi dan pekerjaannya barangkali tidak ada.

2.) Pemilik sekolah anak anda barangkali tidak akan peduli. Apakah menguntungkan tabungan dia kalau dia sungguh2 mempelajari apa yang terjadi kepada lulusan dari sekolah dia? Kalau seandainya ada 12% yang mengalami berbagai bentuk stres atau depresi setelah 10 tahun keluar dari sekolah, disebabkan mereka merasa "asing" di negara sendiri, apakah pemilik sekolah mau memberitahu kepada orang tua (kalau dia tahu)? Barangkali tidak.

Tetapi kalau dia tahu 12% dari lulusan sekolah masuk perusahaan multinasional dengan jabatan dan gaji yang tinggi, pasti itulah yang akan diberitahu kepada orang tua. Kata pemilik sekolah: "Kalau anda mau [memberikan kita puluhan juta rupiah sekarang juga, non-refundable tentu saja, dan] daftarkan anak anda di sekolah kita, maka dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik seperti ini. Kita sekolah bilingual lho! (Kali 1000)." Dan tentu saja orang tua dari seorang anak berumur enam tahun akan kagum dan bahagia kalau diyakinkan masa depannya begitu bagus. Tinggal bayar saja, dan dia akan lulus SMA dalam keadaan bilingual dan langsung mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji besar. Semuanya beres!

Barangkali anda ingin mengatakan bahwa setahu anda, anak yang tertekan dan depresi ini tidak ada di Jakarta. Sudah ada banyak lulusan dari sekolah bilingual yang menggunakan Immersion Program dan sepertinya mereka semua baik-baik saja. Apakah benar? Apakah 100% dari mereka "baik-baik saja"? Atau kurang dari 100%?

Barangkali ada 80% yang bahagia dan telah menjadi bilingual tanpa masalah. Taruhlah ada 10% lagi yang bisa berhasil juga walaupun tidak begitu mudah bagi mereka. Dan bagaimana kalau seandainya masih ada sisa 10% yang mengalami berbagai macam gangguan seperti stres, depresi, kehilangan citra diri, merasa lebih elite daripada orang tua sendiri, merasa asing dengan orang tua, lebih senang tinggal di luar negeri, susah bergaul dengan teman kantor, dsb.

Saya ingin bertanya kepada para orang tua: Siapa yang akan membela sisa 10% anak ini (kalau memang ada) yang mengalami kesulitan belajar di dalam sekolah bilingual, dan barangkali juga akan menghadapi berbagai macam masalah setelah lulus? Fungsi seorang guru bukan untuk mengajar 90% dari muridnya yang sanggup mengikuti pelajaran dalam sebuah bahasa asing dan abaikan saja 10% tersisa yang mengalami masalah (baik di dalam maupun di luar sekolah). Fungsi seorang guru adalah untuk berusaha sebaik mungkin bahwa semua muridnya akan berhasil di dalam semua aspek kehidupan, bukan nilai akademisnya saja.

Kalau guru kelas merasa bahwa anak anda telah masuk 10% yang akan "gagal" dengan arti dia masih bisa lulus tetapi dengan nilai yang sangat rendah, dan barangkali akan mengalami masalah psikologis nanti, apakah anda siap menerima kenyataan ini begitu saja? Apakah cukup baik bagi anda bahwa 90% dari lulusan sekolah itu berhasil dan menjadi orang bilingual yang bahagia, walaupun anak anda tidak termasuk kelompok itu?

Dan barangkali alasannya kenapa anda belum pernah melihat seorang lulusan sekolah swasta yang mengalami masalah adalah disebabkan kebanyakan dari mereka berada di luar negeri sekarang karena tidak senang tinggal di Indonesia lagi. Atau juga bisa jadi alasannya adalah karena anak yang anda kenal pernah masuk sebuah sekolah swasta yang sangat mahal, yang penuh dengan guru profesional, lengkap dengan kurikulum yang benar, dengan Pull Out Program (untuk meningkatkan bahasanya), dengan guru ESL yang berpengalaman, dsb. Barangkali itulah sebabnya 99% dari lulusan sekolah itu yang anda kenal telah berhasil.

Tetapi bagaimana dengan sekolah anak anda yang baru berdiri 5 tahun, yang gurunya dan kepala sekolah berganti-ganti setiap tahun, yang kurikulumnya "masih ditulis" oleh para guru, yang biayanya meningkat setiap tahun tanpa perubahan fasilitas, dsb.? Apakah komitmen mereka terhadap masa depan anak anda begitu serius?

SEKOLAH SWASTA LEBIH PEDULI PADA UANG?

Kita bisa bertanya sekarang: apakah begitu banyak anak diwajibkan dan dipaksakan belajar bahasa Inggris di sekolah karena memang itu yang terbaik untuk dirinya? Atau apakah hal ini dilakukan karena sekolah tahu orang tua akan siap bayar lebih mahal untuk sekolah bilingual dan tujuan sekolah semata-mata sebagai sebuah bisnis yang harus menghasilkan profit sebanyak mungkin? (Dan bisa jadi dua-duanya benar).

Sebagai sebuah contoh apakah sebuah sekolah swasta mana pun lebih peduli pada uang daripada pendidikan, orang tua bisa bertanya kalau gaji guru sama semua atau apakah kontrak kerja mereka harus dinegosiasi sendiri-sendiri. Kalau sama semua, berarti sekolah ingin adil terhadap guru, misalnya dengan gaji standar Rp 2 juta. (Ya, anda tidak salah baca, itu angka DUA. Gaji guru untuk orang lokal di sekolah swasta anak anda bisa sekecil itu, mungkin 1,5-4 juta. Tetapi untuk orang bule yang menjadi idaman anda, bisa mencapai 15-30 juta ++).

Kalau seandainya ada sebuah sekolah yang siap memberikan gaji standar kepada semua guru lokal, tetapi ada seorang guru dengan sebuah gelar, keahlian atau pengalaman khusus (misalnya dia sudah mencapai Masters Degree/S2), maka dia bisa diberikan bonus, dan hal itu bisa dijelaskan kepada guru yang lain supaya mereka semua paham bahwa orang ini memang ada skil khusus. Dengan demikian insya Allah mereka akan terima dengan lapang dada dan tidak akan iri karena semuanya terbuka dan jujur: gaji dia sedikit lebih besar karena skil dia lebih besar.

Sebaliknya, kalau gaji semua guru berbeda-beda, maka hal itu dilakukan untuk kepentingan bisnis. Dua guru di kelas yang sama dengan gelar yang sama dan latar belakang yang kurang lebih sama bisa menerima gaji yang berbeda. Kalau perbedaan itu mencapai 1-2 juta, apakah guru yang gajinya rendah bisa menerima kalau dia tidak bisa melihat alasan untuk perbedaan tersebut? Sebenarnya ini terjadi karena pada saat masuk, satu guru negosiasi terus sampai mendapat gaji yang tinggi, dan guru yang lain takut tidak akan mendapatkan pekerjaan jadi dia tidak berani negosiasi dengan keras.

Kenyataan gaji yang berbeda ini bisa menimbulkan suasana yang negatif di kalangan guru. Misalnya, guru yang gajinya rendah bikin "flashcard" untuk suatu pelajaran Matematika. Guru yang gajinya besar minta pinjam. Guru pertama (karena jenuh) membuat alasan supaya tidak dipinjamkan. ("Emang gue pikirin? Biarkan dia bikin sendiri!") Kalau ini terjadi di dalam sebuah sekolah, yang jelas adalah sebagian dari para guru akan dirugikan. Anak juga dirugikan karena para guru tidak mau saling bantu-membantu untuk memberikan kelas yang terbaik bagi anak. (Buat orang tua yang belum tahu, guru yang saling bantu-membantu merupakan bagian yang sangat vital dan utama di dalam sebuah sekolah).

Dan yang jelas diuntungkan adalah tabungan sekolah! Tetapi masalah ini tidak hanya terjadi pada guru: kalau seandainya seorang kepala sekolah menyadari bawah gaji dia 2x lebih kecil dari sebagian guru, bagaimana dia mau kerja dengan semangat? (Sebenarnya, dia salah sendiri karena menerima gaji yang dia anggap cukup baik, dibandingkan dengan gaji di SD Negeri, tetapi sudah ada guru yang mendapat lebih dari dia.)

Silahkan bertanya kepada para guru di sekolah anak anda kalau gaji guru ada standarnya atau apakah setiap kontrak dinegosiasi sendiri, dan bertanya ke pihak sekolah kenapa harus begitu? Sekaligus, silahkan bertanya kalau ada asuransi untuk anak guru? (Asuransi guru pasti ada, walaupun hanya dengan nilai nominal yang sangat minim.) Kalau anak seorang guru menjadi sakit keras, dan ibunya harus mengeluarkan beberapa juta rupiah, dengan sekaligus cuti dari sekolah, apakah pihak sekolah akan peduli? Baca di tembok sekolah anak anda tentang semua sikap yang mereka ingin ajarkan seperti "Caring", "Respect", "Social Awareness", "Empathy", "Leadership" dan sebagainya. Barangkali anda pernah melihat kata2 ini ditempelkan di tembok sekolah. Kalau memang ada, bertanya ke pihak sekolah tentang kenapa mereka tidak mulai dengan mencontohkan sikap2 mulia ini terhadap para guru dan anaknya sebelum mencari orang lain di pinggir kali?

"KENAPA SAYA TIDAK BISA BERBAHASA INGGRIS PADAHAL MULAI DARI SMP?"

Kalau orang tua mengatakan "Saya belajar bahasa Inggris dulu di SMP tetapi masih nggak bisa sampai sekarang!" berarti anda mengalami masalah, dan masalah itu tidak ada hubungan sama sekali dengan umur anda pada waktu mulai belajar. Yang menimbulkan masalah buat anda adalah sistem pengajaran yang tidak bagus, yang sangat baku, terfokus pada penghafalan kalimat dan frase baku, dan tidak memberikan kebebasan kepada anda untuk menguasai bahasa itu supaya bisa membentuk "communicative competence" (kemampuan berkomunikasi sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari guru).

Kalau seandainya anda pernah mendapatkan sistem pendidikan bahasa yang berbeda di masa SMP dulu, saya sangat yakin bahwa (insya Allah) anda sudah menjadi lancar sekarang. Justru karena anda tidak menjadi lancar, anda membuat kesimpulan bahwa hal itu disebabkan anda mulai pada usia yang terlalu tua. Dan persepsi itu 100% keliru. Oleh karena persepsi itu, anda ingin mewajibkan anak anda menjadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris mulai dari Playgroup!

Saya dan teman2 kelas dulu di SMP-SMA belajar bahasa Jerman atau bahasa Perancis. Hampir semua menjadi cukup lancar dalam 3 tahun, sehingga menjadi sanggup berbincang dan menulis di dalam bahasa itu. Ini disebabkan metode pengajaran bahasa yang berbeda dengan yang anda alami di sini.

BELAJAR BAHASA DI USIA TUA

Kalau orang tua sangat takut bahwa anak tidak akan bisa belajar bahasa Inggris pada usia yang lebih dewasa, saya ingin menjelaskan bahwa saya mulai belajar bahasa Indonesia dari "nol" pada umur 20 tahun. Anda bisa menilai sendiri kemampuan saya menggunakan bahasa Indonesia sekarang. Saat saya tiba di Indonesia pada tahun 2005 karena ada beasiswa untuk kuliah di Universitas Indonesia untuk satu tahun, umur saya sudah mencapai 24 tahun dan kemampuan bahasa saya kurang lebih sama dengan sekarang karena sudah belajar di Australia. (Mungkin saya sedikit lebih lancar sekarang karena sudah tinggal di Jakarta untuk 11 tahun). Beberapa tahun yang lalu, saya malah sering diberitahu ada logat Jawa karena orang yang berbicara dengan saya di telfon tidak percaya bahwa saya adalah orang asing - dianggap orang Jawa. (Sekarang logat itu sudah hilang).

Dia kampus saya di Australia dulu, ada seorang bapak yang sudah pensiunan, dan dia masuk kuliah supaya ada kegiatan. Dia mempelajari bahasa Indonesia di kelas bersama saya, dan saat mulai, umurnya adalah 60 tahun. Umurnya yang begitu lanjut memang sedikit mengganggu dia (cepat lupa kosa kata) tetapi tidak menjadi halangan besar. Hanya saja, dia tidak bisa hilangkan logat Skotlandia yang sangat tebal.

Orang remaja dan dewasa memang sanggup mempelajari bahasa dan menjadi lancar sekali. Anak berumur 12 tahun yang tidak pernah mempelajari bahasa Inggris (secara formal di kelas) insya Allah bisa menguasainya. Orang tua tidak perlu kuatir. Tidak perlu membuat anak stres dengan terlalu banyak memaksa dia menjadi 100% lancar sebelum tamat SD. Kecuali seluruh pelajaran di sekolah SMP-SMA nanti menggunakan bahasa Inggris sehingga anak yang tidak lancar saat tamat SD akan kena masalah. Kalau sekolah yang dituju memang seperti itu, maka mau tidak mau, anak harus dipaksakan lancar supaya bisa bertahan di SMP-SMA. Apakah anak akan senang dan bahagia dengan pilihan/paksaan orang tua ini?

Kalau anak anda belajar selama di SD dengan menggunakan L1 (bahasa Ibu) untuk mayoritas dari kelasnya, dengan L2 (bahasa asing) mendapat status "English For Fun" dan bukan "English for Understanding Maths and Science" dan baru mulai menambahkan lebih banyak L2 di Kelas 4, 5, 6, SMP dan SMA, insya Allah tidak akan menjadi halangan baginya untuk menjadi lancar dalam Bahasa Inggris dan juga Bahasa Indonesia karena justru itu yang terbukti dari riset. Yang penting adalah sistem pengajaran dan bukan umurnya (setelah dia menjadi lancar di L1, tentu saja).

Orang tua harus berpikir tentang apa yang lebih utama: bahasa Inggris atau ilmu akademisnya? Kalau bisa, orang tua pasti inginkan dua-duanya. Tetapi kalau salah satu harus "dikorbankan" untuk memastikan bahwa yang lain tidak terganggu, apakah lebih baik membela ilmu akademisnya atau kelancaran bahasa Inggrisnya?

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

10 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 2/5

KURIKULUM APA YANG BAGUS?

Kalau orang tua bertanya kurikulum mesti seperti apa, berarti kita harus menentukan tujuan dari sekolah dulu. Kita harus tahu bahasa Inggris akan digunakan untuk apa sehingga anak-anak membutuhkan tingkat kelancaran seperti apa? Yang paling utama di dalam kurikulum sesudah itu adalah "language acquisition" atau bagaimana caranya si anak akan "mendapatkan" bahasa yang diinginkan dan berapa lama yang dibutuhkan sampai proses ini mencapai tingkat yang mahir sehingga anak menjadi "self-learner" (kemungkinan besar ini bisa tercapai pada akhir dari SD, tetapi tergantung pada pengalaman anak mendapatkan bahasa dari awal). Jadi status dari bahasa tersebut menjadi penting.

Apakah bahasa Inggris diajar sebagai bahasa utama, atau bersama dengan L1 (bahasa Ibu)? Berapa persen menggunakan L1 , berapa persen menggunakan L2 (bahasa asing)? Bagaimana sekolah mengatur penggunaan kedua bahasa ini? Misalnya, kelas Matematika selalu menggunakan L1 dan Kesenian selalu menggunakan L2? Atau apakah para guru disuruh mencampuri bahasa di kelas secara acak? Kalau begitu berarti pengurus sekolah tidak bisa memantau persentase dari kedua bahasa tersebut. Kalau orang tua bertanya, mungkin pengurus sekolah menyatakan "50/50". Tetapi apakah benar? Yang memantau siapa? Ada data dari observasi setiap hari di mana? Kalau guru kelas ini lokal, berarti dia bukan Native Speaker dan karena itu, kemampuan bahasa dari setiap guru akan berbeda-beda. Kalau guru ini Native Speaker, apakah dia menggunakan bahasa yang sesuai dengan kemampuan anak untuk memahaminya ("comprehensible input")? Kalau si Native Speaker (yang barangkali bukan orang yang bergelar pendidikan dan "asal bule" saja) menggunakan bahasa yang terlalu rumit untuk anak, maka yang didengarkan anak adalah suatu "bunyi/keberisikan" yang di tengah2nya ada beberapa kosa kata yang bisa ditangkap. Berarti sebagian besar dari apa yang diucapkan "guru" ini adalah sia-sia, dan tidak membangun kemampuan si anak. Apalagi mengembangkan ilmu akademisnya dan cara berpikir dengan pikiran yang makin dewasa ("cognitive development").

Sebagai contoh: Coba suruh anak duduk di depan TV pada saat ada berita di Metro TV dalam bahasa Cina (asumsi bahasa Cinanya nol). Ulangi terus untuk 3 bulan. Lalu mengetes anak: sudah mengerti bahasa Cina atau belum kalau sebelumnya nol? Kalau masih nol, atau dia baru "hafal" sebagian kecil kata, tanpa merasa yakin tentang artinya (misalnya ucapan "selamat siang") maka ini mirip dengan mendengarkan si Native Speaker yang kurang berilmu terus2an.

Kalau di kelas, anak sanggup menangkap kosa kata dengan cepat karena konteks dan tindakan teman membantu. Misalnya, guru menyatakan "Get some paper" lalu anak yang lain mengambil kertas. Berarti anak yang belum paham akan ikut mengambil kertas, karena ikuti tindakan teman, bukan karena mengerti apa yang diucapkan oleh gurunya. Tetapi kalau si guru Native bicara terlalu cepat dan menggunakan terlalu banyak kosa kata, kalimat yang rumit, dan banyak idiom (untuk anak di tingkat SD), barangkali buat si anak tidak ada bedanya dengan mendengarkan berita bahasa Cina.

Di kelas ini, status dari masing2 bahasa harus ditentukan terlebih dahulu. Full L1? Full L2? Campur? Campur berapa persen? Tujuan dan cara menggunakan bahasa ini seharusnya mengikuti kurikulum, bukan ditentukan oleh guru secara acak. Seharusnya hal ini ditentukan sebelum kurikulum dibuat, dan sebelum sekolah dibuka. Bukan dengan asal ngomong "Kita sekolah bilingual lho! Di sini 50-50"). Itu bukan suatu kebijakan melainkan sebuah tebakan.

Kalau tidak salah ingat, di kurikulum IB ada bagian khusus untuk meningkatkan kemampuan bilingual (saya sudah lama tidak melihatnya). Di bagian itu, kurikulum bukan Language Arts saja tetapi semacam "campuran' antara Language Arts dan skil2 yang harus dibangun untuk meningkatkan kemampuan L2. Skil ini bisa diajar dalam berbagai macam format, sehingga tidak mesti hanya menggunakan "notional-functional approach" seperti yang sering ada di dalam kursus bahasa Inggris.

Misalnya, di kurikulum ada pelajaran tentang "Memories" (hal-hal yang diingat dari masa lalu) di mana anak diajak membahas masa kecilnya. Apa di rumah/kota yang sama, dsb.? Misalnya ada anak diajak bicara/menulis "When I was little we lived in Bandung and I saw butterflies everyday." Di tengah membahas ingatan masa kecil, muncul kata kerja (verb) yang menggunakan Past Tense. Lalu apa bedanya "I saw butterflies" sama "I have seen butterflies"? Penggunaan Past Simple atau Present Perfect ini mengubah makna. Guru harus bisa melihat berapa banyak anak yang benar dan salah dalam penggunaan. Kalau hanya satu atau dua anak, berarti hanya mereka yang perlu dipantau lebih intensif.

Justru bagian "Memories" itu ada di kurikulum supaya guru di program bilingual bisa memantau perkembangan dan kepahaman setiap anak terhadap Verb Tense ini. Kalau ternyata kebanyakan anak masih belum benar dalam penggunaan (misalnya, sudah di Kelas 3), maka guru bisa berusaha untuk memberikan pelajaran yang lebih banyak menggunakan Past Tense ini sehingga anak mendapat masukan yang lebih konkret di dalam konteks tersebut. Ini seringkali dilakukan dengan menggabungkan beberapa pelajaran yang berbeda supaya mengikuti tema yang sama ("thematic approach"). Dengan ini (misalnya, tema adalah "Indonesian History"), kosa kata yang sama akan muncul di beberapa mata pelajaran sehingga lebih mudah dihafalkan.

Kurikulum bilingual seperti ini diciptakan untuk diajar oleh seorang guru bahasa, tentu saja, dan bukan seorang lulusan ekonomi yang asal bisa bahasa Inggris. Bedanya adalah kalau di lain negara seorang guru bahasa akan melihat kurikulum seperti ini dan dia akan mengerti bagaimana caranya mengembangkan kemampuan anak dari berbagi aspek: phonemic awareness, reading comprenension, audio-lingual comprehension, communicative competence, discourse competence, dsb.

Tetapi kalau di sini? Apakah "Guru" anak anda juga mengerti? Atau lebih tepat, apakah guru anak anda mengerti pendidikan bahasa asing? Dan berapa banyak dari semua pelajaran menggunakan L2 setiap hari? Kalau kelas dibagikan supaya misalnya matematika selalu di dalam L2, dst. apakah si guru yang mengajar matematika termasuk orang yang paling mengerti pendidikan bahasa? Atau apakah dia hanya salah satu orang yang sanggup menggunakan bahasa Inggris dan juga mengerti sedikit tentang matematika? Atau apakah dia sangat mengerti matematika dan bahasa Inggrisnya pas-pasan? Dan dampaknya apa terhadap para murid kalau dia mengajar dengan cara yang tidak efektif di dalam bahasa yang kurang tepat? Kalau misalnya dia anggap bahwa murid yang bahasanya salah harus selalu dikoreksi, siapa yang akan membantu anak itu pada saat dia mendapat "low self esteem" (tingkat percaya diri rendah)? Kalau anak selalu merasa tidak mampu, bisa jadi semangat dia untuk belajar akan berkurang.

Dan kalau si anak selalu tidak mengerti apa yang diucapkan oleh guru di SD, bagaimana caranya dia akan memahami ilmu matematika?

Guru kelas sebaiknya sanggup: mengajar dengan tingkat bahasa, kosa kata dan tata bahasa yang dipahami anak ("comprehensible input"), sambil mengajarkan ilmu matematika dan sebagainya ("academic content"), dengan menjaga perkembangan daya pikirnya ("cognitive development"), tanpa lupa mengembangkan L2-nya secara teratur dari sisi tata bahasa dan kosa kata ("language acquisition"), sekaligus membantu anak dengan process "decoding" di L1 (karena decoding di L1 berlangsung terus sampai anak lulus SD, dan juga lebih dari itu: salah satu aspek dari "decoding" adalah Phonemic Awareness), sambil juga membantu dengan "decoding" di L2, dengan sekaligus tidak abaikan "social cultural development" sehingga anak masih merasa bangga dengan bahasa dan budaya orang tuanya, dan juga memantau keadaan psikologisnya supaya gangguan disebabkan pengertian rendah di L2 tidak menimbulkan efek samping seperti gangguan terhadap pengertian di "academic content", yang sesudahnya bisa menyebabkan stres, "low self esteem", atau "negative self image", dsb.

Kalau seandainya guru anak anda adalah seorang lulusan ekonomi dengan pengalaman mengajar hanya satu tahun, yang menggunakan sebuah kurikulum bilingual yang "masih ditulis" (oleh para guru juga barangkali), apakah dia bisa melakukan semua hal ini dengan cara yang terbaik untuk menjaga perkembangan daya pikir, ilmu pengetahuan, dua bahasa, rasa percaya diri dan rasa bangga pada L1nya, budayanya, agamanya, keluarganya dan negaranya? Dan semuanya harus dilakukan di dalam sebuah bahasa asing padahal si guru sendiri siap mengaku bahwa dia tidak lancar.

Dan kalau jawaban anda adalah "Saya tidak yakin!" perlu dipertanyakan lagi tentang kenapa sekolah anak anda begitu mahal? Apa sebenarnya yang mereka tawarkan selain gedung yang mewah dan penggunaan bahasa Inggris yang tidak ada di Sekolah Negeri? Bagaimana anda bisa memastikan bahwa hasilnya akan sesuai dengan harapan anda sebagai orang tua? (Kata pemilik sekolah: "It's a kind of magic!")

PULL OUT PROGRAM: ANAK PAHAM APA DI KELAS?

Untuk anak yang baru dipindahkan dari sekolah yang lain dan langsung "ditenggelamkan" di dalam bahasa Inggris (misalnya di Kelas 2 atau Kelas 3), kemampuan bahasanya pasti sangat rendah. Supaya ilmu pelajarannya tidak ketinggalan, sekolah harus membantu dia meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan secepat mungkin. Salah satu cara yang standar untuk melakukan itu adalah melalui Pull Out Program. Artinya, pada saat anak lain belajar Kesenian, anak2 yang bermasalah ini akan dicabut dan diberikan pelajaran tata bahasa di ruangan yang lain. Pelajaran ini biasanya adalah murni ESL (English as a Second Language) seperti di kursus bahasa dan bukan Language Arts lagi. Ini juga bisa dalam bentuk After School Program sehingga tidak ada pelajaran yang harus ditinggalkan. Kelas ini akan menjadi wajib bagi si anak sehingga kemampuan bahasanya cukup untuk bertahan di kelas. Cara yang ketiga adalah guru ESL masuk kelas, tetapi kalau jumlah anak yang perlu bantuan adalah besar, ini tidak akan efektif.

Kalau di sekolah anak anda, tidak ada program seperti ini, maka orang tua perlu bertanya kenapa. Setiap sekolah bilingual sangat membutuhkan program seperti ini, dan sebaiknya dijalankan oleh seorang guru bahasa, bukan guru kelas biasa yang ingin mendapatkan tambahan gaji (kalau After School, mungkin dibayar Overtime).

Bagi anak yang baru dipindahkan ke sekolah bilingual ini, perlu dipertanyakan: sejauh mana kemampuan dia untuk memahami apa yang terjadi di dalam kelasnya? Kalau kemampuan bahasa dia sangat rendah, kemungkinan besar dia akan duduk dengan diam untuk sebagian besar dari kelasnya pada saat anak yang lain menggunakan L2 (bahasa asing) dan ini akan berlangsung untuk semua kelasnya, kecuali anak yang lain juga menggunakan L1 (bahasa Ibu). Kalau dia berani, mungkin dia akan menggunakan L1 pada saat hampir semua anak yang lain menggunakan L2. Tetapi kalau dia tidak berani, dia akan diam dan merasa malu karena tidak bisa melakukan hal yang dilakukan anak lain: berkomunikasi dalam L2. Dan tentu saja itu bisa menimbulkan rasa stres yang sangat besar. Kalau di sekolah ini juga tidak ada Pull Out Program untuk meningkatkan kemampuan bahasanya, perlu kita tanyakan: anak ini akan dibiarkan menderita seperti ini untuk berapa lama?

Kalau orang tua bertanya kepada pihak sekolah, barangkali mereka akan menjawab dengan enteng: "Ohh tidak perlu kuatir Ibu! Setelah […Ibu memberikan kita puluhan juta rupiah, non-refundable, tentu saja, dan…] anak sudah duduk di kelas untuk beberapa bulan, dia akan menjadi lancar seperti anak yang lain."

Apa begitu mudah menguasai sebuah bahasa asing dalam waktu singkat sehingga bisa mempelajari ilmu akademis? Bagaimana kalau seandainya proses ini jauh lebih rumit daripada yang dijelaskan pemilik sekolah? Bagaimana perasaan seorang anak yang duduk di dalam sebuah kelas, dikelilingi oleh orang yang mengucapkan hal-hal yang membuat semuanya senyum dan ketawa, tetapi yang dia mendengarkan adalah: "Kijnvo vipoj foot ubnrn gperbnf prioeb bicycle fpubl giporbhki kjg PENCIL ugogo oihuirg my gpairbr!!!" HAHAHA, sangat lucu kan? Apakah anda sudah ketawa? Belum ketawa? Tetapi anak yang lain sudah ketawa. Guru ketawa. Anak ini senyum saja karena semua ketawa (dia terbawa dengan suasana). Guru melihat bahwa anak ini senyum dan langsung berpikir "Ohh, anak baru itu mengerti juga. Bagus." Barangkali ini yang anak anda mengalami di kelasnya sepanjang hari setiap hari selama beberapa bulan (untuk kelas yang pakai L2 terus). Barangkali anak yang satu ini diam saja dan berpikir "Saya orang bodoh. Saya tidak bisa paham. Orang lain bisa paham. Saya tidak disayangi guru. Dia tahu saya tidak mengerti. Kenapa di pakai bahasa itu terus?" dan seterusnya.

Bukannya ini merupakan "penggangguan atau penyiksaan emosional dan mental" terhadap seorang anak kecil? Saya pernah menyaksikan hal ini terjadi di dalam sebuah kelas dengan seorang anak yang baru dipindahkan ke sekolah itu. Tidak ada program ESL untuk membantu dia belajar bahasa dengan cepat. Dia benar-benar "ditenggelamkan". Anak ini tidak bisa selesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia selalu harus berbisik dengan teman (pakai L1) untuk bertanya mesti kerjakan apa. Dia tidak langsung bertindak kalau guru memberi perintah. Dia tunggu dulu dan melihat apa yang dilakukan oleh anak yang lain.

Kalau anak anda melewati beberapa bulan seperti ini, karena tidak ada guru profesional di sekolah, tidak ada Pull Out Program, dan kurikulum "masih ditulis", bukannya hal itu berarti bahwa anda telah memberikan izin kepada pihak sekolah untuk melakukan eksperimen bahasa asing terhadap anak anda karena tidak ada program yang formal dan tersusun dengan baik untuk meningkatkan kemampuan bahasanya? Hasil di kelas didasarkan "tebakan" pemilik sekolah tentang bagaimana caranya skil bahasa dan ilmu pengetahuan anak anda akan berkembang. Dan kalau ternyata anak anda tidak sanggup paham untuk berbulan-bulan, dan merasa tertekan, berarti anda telah memberikan izin kepada pihak sekolah untuk "mengganggu atau menyiksa" anak anda secara mental dan emosional, secara tidak sengaja tentu saja, dan anda malah membayar mereka untuk melakukan proses tersebut.

Ini sama halnya kalau seorang tukang jamu yang asal mengambil daun dari pohon mana saja dan bikin minuman. Saat dia memberikan kepada anda, dia justru tertarik untuk melihat efeknya setelah anda minum karena dia tidak tahu sebelumnya.

Sebuah model pendidikan baru: Pendidikan Berbasis Tebakan!

SILENT PERIOD

Memang ada suatu tahap yang dilewati dalam proses mempelajari bahasa yang disebut "silent period" (masa diam). Artinya, seorang anak akan duduk tanpa bicara karena dia sedang melakukan decoding, atau berusaha memahami peraturan bahasa tersebut. "Lho, bukannya itu yang dilakukan oleh anak ini di atas?" Tidak. Dia tidak paham saja. Apa bedanya? Ambil contoh seorang anak yang naturally bilingual: ibu menggunakan bahasa Indonesia, bapak menggunakan bahasa Inggris. Saat teman bapak datang ke rumah, dan mereka berbincang dalam bahasa Inggris, anak duduk dengan tenang, di dalam suasana yang penuh dengan kasih sayang, tanpa diberikan tugas yang berkaitan dengan bahasa itu, tanpa ada paksaan dari siapapun untuk memahami apa pun, berarti ini memang "silent period". Dia sedang mempelajari bahasa, tetapi tidak bakalan merasa "tertekan" kalalu tidak paham. Lain soal di kelas di mana barangkali si "guru" sering mengucapkan: "Ayo Budi, write your sentences, faster, ayo, come on, you are so slow!" Dan barangkali pada saat ini, anak lain ketawa. Bapak di rumah tidak pernah ketawa kalau anaknya diam dan mendengarkan saja tanpa mengerjakan apa saja. Jadi, anak yang banyak diam di kelas memang tetap melakukan decoding, tetapi harus dibedakan antara kapan dia sedang decoding dan kapan dia sedang tidak paham saja.

Kalau pemilik sekolah ingin mengatakan bahwa dia diam terus karena ini "silent period" dan orang tua tidak perlu kuatir, coba mengetes teori ini. Taruh anak di depan TV dan suruh dia nonton berita dalam bahasa Cina di Metro TV (dengan asumsi bahasa Cinanya nol). Suruh di tonton dan sesudahnya memberikan tes 10 pertanyaan: "Presiden membuat perjanjian apa minggu ini?" Dan seterusnya. Apakah anak sanggup jawab? Dia hanya diam terus pada saat nonton dan sepertinya tidak paham apa-apa. Apakah ini silent period? Atau tidak paham saja? Coba diulangi setiap hari untuk 3 bulan. Berikan tes terus. Masih tidak sanggup menjawab? Apakah berarti "silent period" terus? Atau barangkali dia tidak paham terus karena tidak ada yang mengajarkan bahasa Cina kepadanya!

Tetapi barangkali ada kemungkinan bahwa dia bisa menjadi paham secara tiba-tiba kalau anda mengucapkan: "Kita punya TV bilingual lho!" Kali 1000.

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian  5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Appendix
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

07 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 1/5

Assalamu'alaikum wr.wb. Artikel ini saya pecahkan menjadi 5 Bagian karena isinya cukup panjang. Semoga informasi ini menjadi bermanfaat untuk para orang tua, anak, dan masa depan bangsa. Saya sudah berusaha untuk menyingkat komentar saya, tetapi saya khawatir kalau begitu, malah banyak orang tua akan mengirim email dan bertanya tentang apa yang saya maksudkan. Setelah membaca ini, insya Allah, tidak akan ada yang perlu ditanyakan kepada saya karena sudah cukup jelas. Terima kasih atas waktu anda untuk membacanya.

Di bagian pertama ini, terdapat banyak istilah yang digunakan guru bahasa dan jurnal/buku yang membahas pendidikan bahasa. Saya sengaja menggunakannya sehingga orang tua yang ingin belajar lagi di internet, atau mencari buku tentang topik ini bisa menjadi biasa dengan istilah2 tersebut. Bila sulit dipahami, mohon dibaca secara pelan saja, kalimat demi kalimat. Insya Allah landasan teori pendidikan bahasa ini (walaupun secara ringkas saja) akan bermanfaat nanti.

PROGRAM IMMERSION 

Sekolah manapun yang menamakan diri "bilingual" sebaiknya memiliki program yang tepat untuk mewujudkan dua bahasa pada saat yang sama. Di sini, barangkali ada sekolah yang berusaha melakukan ini dengan cara "Full Immersion" di mana anak "ditenggelamkan" di dalam sebuah bahasa sepanjang hari. Ada juga sekolah yang melakukan Semi-Immersion, di mana bahasa ibu juga boleh digunakan lebih banyak dibandingkan Full Immersion. Sebenarnya, tipe program Immersion dan arti daripada istilah "bilingual program" ada beberapa variasi, jadi kita harus menentukan yang mana yang dimaksudkan. Ada Early Immersion, Middle Immersion, Late Immersion, dan tingkat penggunaan masing-masing bahasa, 20-80 / 50-50 / 80-20, tergantung sekolahnya.

Sekolah yang menggunakan sistem "Full Immersion" di luar negeri seringkali hanya menunjuk satu kelas di dalam sekolah dan bukan seluruh sekolah (ada juga yang seluruh sekolah). Hal ini disebabkan ada anak yang "drop out" karena tidak sanggup tahan pelajaran di dalam sebuah bahasa asing. Di mancanegara, sudah ada banyak hasil riset mengenai kelas Full Immersion ini, dan memang ada beberapa masalah yang bisa muncul kalau Full Immersion atau Semi Immersion tidak dilakukan dengan benar. Seorang anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa asing bisa mendapatkan bantuan khusus di kelas, atau bisa pindah kelas, tetapi di Indonesia, harus pindah sekolah. Dan di sini, kalau uang pangkal puluhan juta adalah non-refundable, apakah orang tua akan siap memindahkan anaknya? Atau membujuknya untuk bertahan? Mungkin dia bisa berhasil bertahan, dan nanti ada kemungkinan bahasa dia berkembang dengan secukupnya untuk bertahan saja, dengan risiko dia tidak mau mendalami tata bahasa yang rumit, karena yang penting di hatinya dari masa awal di sekolah hanya bertahan saja karena dipaksakan orang tua (ada motivasi ekstrinsik, dari luar, dan bukan intrinsik, dari dalam).

Dengan begitu banyak variasi sistem sekolah bilingual di luar negeri, ada terlalu banyak pilihan. Banyak sekolah (terutama di Kanada) mulai dengan langsung "tenggelamkan" anak dari TK sampai Kelas 2. Yang namanya "guru" di kelas ini, tentu saja seorang guru yang berkualifikasi dan terlatih dengan cara2 mengembangkan bahasa kedua (L2) untuk anak kecil ini. Si anak akan tetap menggunakan bahasa Ibunya (L1), tetapi guru selalu memberikan tanggapan dengan bahasa asingnya (L2). Lewat waktu berbulan2 sampai bertahun2, anak mulai mengerti bahasa asing ini karena memang tidak ada pilihan. Guru tidak pernah menggunakan bahasa selain bahasa asingnya. Dan tentu saja suasana di kelas sangat "child-friendly", "child-centered", dan jauh dari tekanan atau pemojokan.

Mulai dari Kelas 2 ke atas (kalau ini Early Immersion), ada program Language Arts untuk bahasa Ibu (L1) yang tidak ada sebelumnya. Dengan sistem seperti ini, anak akan mulai belajar membaca dan menulis di dalam bahasa asing (L2) sebelum bahasa Ibunya (L1). Oleh karena itu, sering terjadi bahwa kemampuan akademis anak ini berkembang dengan pelan dibandingkan dengan anak di sekolah biasa. Setelah beberapa tahun, perbedaan ini hilang dan anak menjadi sama dengan anak lain yang hanya belajar di L1nya.

Di Kelas 5 dan 6, ada kemungkinan kelas2 yang menggunakan L2 hanya tinggal 50% dan sampai ke SMA, pelajaran yang menggunakan L2 barangkali tinggal 20% saja. Persentase penggunaan ini bervariasi dari sekolah ke sekolah dan wilayah ke wilayah. Intinya, anak yang mulai menggunakan L2 langsung dari TK, sudah berubah dan menggunakan L1 untuk kebanyakan mata pelajaran di SMP dan SMA. Kalau di Late Immersion, menjadi sebaliknya: anak menggunakan L1 terus sampai Kelas 6-8, dengan hanya 20% L2, lalu berubah sehingga di tahun terakhir SMA menggunakan 50-50% atau juga bisa 80% L2 dan hanya 20% L1.

Ini sekedar sedikit informasi standar tentang bentuk program bilingual yang ada di mancanegara. Yang membuat saya khawatir tentang program bilingual di sini adalah kesan bahwa terlalu banyak sekolah swasta (terutama yang kecil dan baru) tidak menjalankan program bilingual dengan cara yang sama. Saya sering mendapat kesan bahwa di sini ada sistem baru. Di TK, guru menggunakan L2 sebanyak mungkin dan masih menggunakan L1 juga, berarti Semi Immersion. Naik ke SD, L2 menjadi bahasa utama dan digunakan secara acak oleh guru, karena tidak ditentukan pelajaran yang mana yang menggunakan bahasa apa. Dengan demikian, tidak ada kontrol terhadap jumlah bahasa L1 dan L2 yang digunakan. Berarti ini jatuhnya antara Semi dan Full Immersion.

Naik ke SMP dan SMA, barangkali hampir semua pelajaran mengutamakan L2 dengan hanya kelas bahasa Indonesia (dan mungkin kelas agama) yang menggunakan L1, berarti mendekati model Sekolah Internasional. Kalau ada sebagian atau banyak sekolah seperti ini di Indonesia, berarti ini sebuah model sekolah bilingual baru dan mungkin belum ada riset yang membuktikan dampak baik dan buruknya.

BAHASA IBU

Kalau seandainya bahasa Ibu (L1) tidak dikembangkan dengan baik, dan bahasa asing (L2) diutamakan dengan cara yang kurang tepat, maka bisa terjadi beberapa dampak negatif, yang barangkali tidak akan dibahas dengan para calon orang tua (calon "customer" yang akan menyumbang puluhan sampai ratusan juta rupiah pada pihak sekolah). Satu contoh adalah bahasa Ibu (L1) menjadi kurang lancar dan itu juga memberikan dampak terhadap sosialisasi dengan keluarga besar. Juga bisa terjadi anak menganggap bahasa dan budaya dari orang tuanya adalah "rendah" karena mulai dari TK, dia sudah dibiasakan dengan bahasa asing itu selalu diutamakan di sekolah.

Kalau sebuah sekolah ingin menjalankan satu kelas atau seluruh sekolah dengan sistem Semi atau Full Immersion, maka tentu saja itu kembali pada kurikulum yang disusun sedemikian rupa untuk menjaga bahasa Ibunya, dan juga untuk memastikan bahwa bahasa asingnya berkembang dengan benar.

Sebagai salah satu contoh dari masalah yang bisa muncul, bisa ada seorang anak yang selalu tidak selesaikan tugas dengan cepat, lalu sering ditegur oleh guru, lalu dianggap sebagai pemalas, dan akhirnya dia menjadi anak "nakal" di kelas. Setelah diperiksa, ternyata dia kurang paham apa yang dijelaskan oleh gurunya di dalam bahasa asing dan hal itu membuatnya stres. Stres itu keluar sebagai sikap "tidak mau nurut". Ada juga anak yang terlalu banyak diam dengan alasan yang sama. Kekurangannya di dalam menggunakan bahasa asing ini akan mempengaruhi pergaulan sosialnya, dan juga rasa percaya diri.

Untuk memahami pelajaran di kelas, anak harus membentuk "communicative competence" atau mungkin hanya "proficiency" pada tingkat dasar, sehingga dia mampu berkomunikasi. Untuk mencapai kemampuan ini, dia harus melakukan "decoding" yang berarti anak harus berusaha untuk mengerti "peraturan bahasa" itu sehingga sanggup membentuk kalimat sendiri dan memahami kalimat dari orang lain. Kalau dia belum berhasil dengan proses ini, dan kalau seandainya bahasa Ibu tidak boleh digunakan, dampaknya bisa cukup negatif terhadap si anak. Setiap sekolah membuat peraturan sendiri2 tentang bagaimana guru sebaiknya tanggapi anak yang selalu ingin menggunakan L1nya, padahal sekolah ingin membujuk dia menggunakan L2. Ada cara yang baik untuk membujuknya seperti memberikan semangat sambil senyum, dan ada cara yang buruk seperti menggunakan "punishment system" (sistem hukuman) yang berarti setiap kali anak menggunakan L1 dia akan kena sanksi tertentu. Kalau cara buruk digunakan, anak bisa mengambil kesimpulan bahwa bahasa ibunya adalah bahasa yang tidak dihargai.

NATURALLY BILINGUAL

Ada anak yang menjadi "naturally bilingual" (bilingual secara alamiah) karena orang tua menggunakan dua bahasa di rumah (kedua bahasa itu dihitung L1). Anak ini memang lebih mudah belajar dua bahasa sekaligus di usia kecil (1,5 tahun sampai dengan 5 tahun) dengan alasan dia akan mengikuti ucapan orang tua saja. Dia menganggap dua bahasa itu normal. Anak ini akan bereksperimen dengan dua bahasa tersebut dengan cara mencampurinya (ini disebut "code switching"). Setelah sekian tahun (sebelum TK), anak ini akan sanggup menggunakan kedua bahasa itu, karena memang sudah terbiasa begitu dari lahir.

Ini agak berbeda dengan seorang anak yang masuk TK di mana kemampuan bahasa ibunya sudah maju jauh dan dia sudah mulai melakukan "decoding" (berusaha memahami peraturan bahasa) terhadap bahasa ibu itu (L1). Kemudian, guru di sekolah memaksakan dia (dengan cara yang baik atau tidak baik) untuk berfokus lagi pada sebuah bahasa baru (L2), yang juga membutuhkan proses decoding, padahal dia belum selesai decoding dengan bahasa ibunya. Pada saat yang sama, barangkali dia diwajibkan belajar membaca dan menulis di dalam dua bahasa sekaligus, oleh orang yang belum tentu mengerti cara mengajar bahasa apa pun. (Ini membicarakan proses untuk anak di kelas formal, dan bukan anak yang menjadi "naturally bilingual" karena prosesnya berbeda). Kalau di luar negeri, di kelas Full Immersion, anak hanya mendapatkan L2 dan belajar membaca dan menulis hanya di dalam L2. Tetapi yang pernah saya lihat di sini adalah anak harus melakukan kedua hal yang rumit ini (membaca dan menulis) di dalam dua bahasa sekaligus. Anak ini bukan anak yang mendapatkan dua bahasa di rumah secara alamiah. Anak ini bukan anak yang "naturally bilingual".

Apakah orang tua bisa memahami kenapa ada anak yang mengalami stres? [Kata Pemilik Sekolah: "Oh, tidak Ibu, tidak ada stres di sini. Kita sekolah bilingual lho!" (Kali 1000).]

Justru ada sebagian dari riset yang membuktikan bahwa anak yang membentuk satu bahasa terlebih dahulu sudah memiliki skil untuk mempelajari bahasa yang lain. (Salah satu ahli yang berpendapat seperti ini adalah Professor Wong Fillmore). Anak sudah pernah melakukan "decoding". Dia sudah bisa membaca dan menulis, berarti dia bisa menggunakan kamus bilingual dan monolingual. Dia sudah percaya diri karena sudah berpengalaman beberapa tahun menulis cerpen dan sebagainya di dalam bahasa ibunya. Dan dia merasa bangga dengan bahasa ibunya dan budayanya, yang memberikan dampak sosial yang sangat positif kepadanya.

Di sini, perlu dijelaskan bahwa ada dua kubu yang mengemukakan riset yang agak bertentangan. Ada yang menyatakan bahwa "tenggelam" di dalam L2 di TK tidak apa-apa dan justru baik untuk anak, dan ada yang sebaliknya yang menyatakan bahwa Full Immersion ini bisa menimbulkan berbagai macam masalah. Di kalangan guru bahasa, ahli linguistik dan ahli pendidikan, persoalan ini masih seperti perkara "mazhab" – tergantung kita mau percaya pada teori/ riset/ ahli yang mana.

KURIKULUM LANGUAGE ARTS

Saat saya memeriksa kurikulum di sebuah sekolah swasta, saya langsung menyadari bahwa kurikulum yang digunakan oleh sekolah adalah kurikulum yang diambil langsung dari sebuah negara barat: kurikulum untuk Native Speaker of English, dan bukan kurikulum bilingual untuk anak di lain negara yang belum tahu bahasa Inggris. Saran saya untuk menyusun kurikulum baru yang sengaja dibuat untuk anak Non-Native Speaker, langsung ditolak oleh pemilik sekolah. Kurikulum untuk Native Speaker harus digunakan karena sudah dibeli dari negara barat itu dan akan dijual lagi ke para pembeli franchise. Kebutuhan anak "A", kebutuhan bisnis "B". Dan "B" menang.

Saya yakin kurikulum itu tidak akan bisa berhasil di sini karena keadaan yang digambarkan di atas di mana anak masuk Immersion dari TK dan keluar sebagai anak bilingual, sangat tergantung pada adanya kurikulum yang tepat dan guru bahasa yang terlatih dan lancar di L2 itu. Apakah di sekolah anak anda ada banyak guru bahasa yang berkualifikasi, terlatih dan lancar dalam bahasa Inggris?

Sebagian besar orang tua barangkali tidak bisa membedakan antara kedua kurikulum tersebut. Sebagai contoh sederhana, coba ingat masa sekolah anda sendiri. Apakah pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, anda belajar tentang cara menyusun cerita? Membuat puisi? Membaca sebuah buku kemudian membuat laporan tentang buku tersebut? Kalau iya, berarti itu kurikulum "Language Arts" untuk orang yang memang Native Speaker dari bahasa tersebut, dan sangat kecil porsinya yang terfokus pada meningkatkan kemampuan bahasanya dari sisi tata bahasa, kosa kata, atau perbaikan logat. Semua itu, rata-rata meningkat sendiri karena ini memang bahasa Ibu anda yang digunakan sehari-hari.

Apakah guru Bahasa Indonesia anda sering memberikan pelajaran tentang logat yang benar? Kalau tidak, berarti anda memang Native Speaker of Indonesian dan anda sudah mendapatkan bahasa ibu anda, termasuk logat yang benar, dari umur 1-5 tahun (dengan asumsi bahwa bahasa ibu anda, atau L1, adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Jawa, dll.). Berarti anda bisa mempelajari "Language Arts" pada saat masuk kelas bahasa Indonesia. Lain halnya kalau ada mau belajar bahasa Inggris, bahasa Mandarin atau bahasa Perancis mulai dari nol. Tantangannya sangat berbeda. Apalagi kalau "guru" anak anda tidak memiliki kualifikasi atau pengalaman sebagai guru, dan dia juga tidak lancar di dalam bahasa Inggris itu, dan dia sendiri lebih senang menggunakan bahasa Indonesia kalau bisa. Barangkali menggunakan bahasa Inggris setiap hari juga bikin dia "pusing" karena tidak biasa.


[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Appendix
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

Para Guru Dipecat Dan Diancam Dengan Tindakan Hukum


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Barangkali ada orang tua yang kaget dengan semua komentar saya tentang pengurus sekolah yang malah membuat kinerja sekolah menjadi kurang baik. Saya berniat memberikan pengertian kepada para orang tua bahwa apa yang terjadi di sekolah belum tentu seindah yang anda asumsikan. Setelah menerima email ini, saya minta izin untuk tampilkan, dan nama pengirim serta lokasi sekolah sudah dihapus karena ini merupakan proses hukum yang sendang berlangsung. Semoga orang tua bisa membaca ini dan berfikir sendiri: ini yayasan yang telah menerima ratusan juta dari orang tua lain (yang sama seperti saya, hanya inginkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya) dan sekarang uang itu mau digunakan untuk menuntut para guru yang memiliki keadaan ekonomi yang lemah.

Tanpa saya mengetahui masalah utamanya, sudah jelas bahwa sebuah yayasan seharusnya bisa melakukan negosiasi dengan baik dan bijaksana bersama dengan para gurunya. Apalagi kalau antara sesama Muslim. Kok malah memecat semua, dan karena guru tidak pergi begitu saja supaya bisa digantikan (mereka pindah ke masjid yang dekat dan mayoritas anak ikut), sekarang pihak sekolah ingin menuntut mereka di pengadilan. Silahkan membaca dan berfikir sendiri tentang fungsi sebuah yayasan sekolah: membangun sebuah tempat belajar yang kondusif bagi para siswa dan membantu proses pendidikan atau mengancam dan memecat para guru secara mendadak kalau tidak mau nurut?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

###

Untuk rekan-rekan yg punya pengalaman dengan urusan hukum dan advokasi guru, mohon bantuan sarannya. Lebih kurang seperti ini kondisinya :

[Telah] terjadi konflik di sebuah sekolah islam di kawasan [lokasi dihapus] (saya belum bisa sebutkan namanya)antara pihak yayasan dan para guru. dalam permasalahan tersebut, ortu berusaha melakukan mediasi (dewan kelas) supaya tdk terjadi tindakan2 yg bisa merugikan anak tentunya dan upaya ini gagal. perseteruan tersebut berakibat 19 guru dipecat (dari total 22 guru) dan kemudian proses KBM dihentikan selama 2 hari untuk rekuitment guru baru. Fakta ternyata yayasan sdh melakukan rekruitmen guru tersebut sebelum dilakukan proses pemecatan. Ortu yg terlanjur kecewa terhadap kesewenangan yayasan kemudian mengajukan pengunduran diri (secara resmi) dan kemudian meminta guru2 tersebut melanjutkan proses KBM secara mandiri di salah satu masjid (sekitar 80% siswa pindah). jadi dalam seminggu ini proses kbm dilakukan secara mandiri, sudah berlangsung baik dan selanjutnya disepakati akan dilakukan dalam skema PKBM (Program Kegiatan Belajar Masyarakat - informal di bawah naungan PLS). Hari ini yayasan mengajukan SOMASI ke guru-guru tersebut dengan pasal Perbuatan tidak menyenangkan, Penggelapan aset dan Tuntutan berhenti membujuk siswa untuk belajar di mesjid.

Karena saya buta hukum, mohon dibantu :
1. Bagaimana menjawab SOMASI secara benar sesuai kaidah hukum. Langkah-langkah dan bukti apa saja yang harus dilakukan?
2. Apakah dalam fase ini sdh diperlukan bantuan Lawyer? atau bisa dijawab langsungan saja oleh guru2 bersangkutan.
3. Karena ini guru yg jelas2 tdk bisa bayar lawyer, apakah rekan2 punya kontak lembaga hukum etc yg bisa membantu guru2 ini secara layak dan gratis tentunya.


Saya jadi ingat ucapan pak Gene tentang (adanya) yayasan yg brengsek...ok ini salah satunya!! Mohon informasinya segera. Tx

Wassalam,
[nama pengirim dihapus]

###

Does Justice Exist Here?


My letter to the Jakarta Post:

Can someone please explain to me what is wrong with this country? Reading the Post these days is an exercise in reading news of the most absurd extremes.

A 12 year old boy in North Sumatera was threatened with seven years in prison for allegedly stealing "tin rods" (Post, 8 Feb) and if that outrageous sentence was not bad enough, he had already been held in an adult prison since December last year. Without ever being proven guilty of any crime, he has already served three months in prison with real convicted criminals. (I would like to express my deep respect and gratitude to Judge Budiman Sitorus who acquitted the boy and ordered his immediate release. Better late than never.)

Then, just a few days later, this news: ex-speaker of West Java legislative council threatened with 18 months in prison for alleged misuse of public funds (Post, 2 March). Oh well, I thought, he must have taken quite a small amount of the people's money, certainly less than the cost of few pieces of metal (tin rods). Wrong! He is charged with embezzling Rp. 33.4 billion or about $US 6.6 million! Is only 18 months in prison a serious sentence, or are the prosecutors joking? And the real kicker is he is "allowed to retain [his post] in the House of Representatives" while the trial continues.

And of course we have the now infamous case of Tommy Soeharto who was convicted of ordering the cold-blooded murder of a Supreme Court Justice. How long for that crime? Four years.

Can anyone else see the insanity here? May I suggest a name change for this government institution: "The Department of [Who Cares About] Justice". Surely this is a more appropriate name for them.

If the government can't even perform a simple logistical task of standardizing sentencing policy for minor and serious crimes, then God help us if they ever build a nuclear reactor! And please don't tell me about regional autonomy (RA) as the reason for different sentences. The government and the House gave us RA and they could certainly take it away or modify it if they actually cared about justice in this country.

Seven years for pieces of metal? Who is looking after our children if the government is not?

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

Published on 7 February, 2007

03 March, 2007

Balasan Email Sebuah Sekolah Swasta

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Terima kasih kepada pihak Sekolah ### yang sempat memberi tanggapan terhadap tulisan saya. Saya akan berusaha untuk menjawab semua keterangannya dengan kata-kata yang baik dan bijaksana. Terserah orang tua menilai perkataan saya sendiri.

Diterima dari:

Public Relation Department
Sekolah ### Indonesia

[ Surat Peringatan ]

Dari Public Relations Department,

Dear ### Parents,
…Gene Netto pernah bekerja sebagai English Subject Coordinator di Sekolah
### Indonesia, sejak Maret 2003 sampai dengan September 2003. Namun karena tidak perform dan bermasalah maka yang bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003.
Berdasarkan data-data kami, pengunduran diri dilakukan setelah yang
bersangkutan menerima warning letter (surat peringatan), tegoran, dan
catatan khusus sehubungan dengan performance, kemampuan teknis dan tingkah laku (attitute) dan ketidakmampuan dari yang bersangkutan untuk mengikuti standard kerja di tempat kami. Selain itu juga, hasil performance
evaluation after probation period yang bersangkutan tidak memuaskan. Oleh
karena itu kami tidak terlalu kaget ketika membaca tulisan diblog tersebut
yang tidak proporsional.

Dari Gene: Betul, saya mendapat dua surat peringatan selama kerja di sekolah ###. Saya kurang ingat surat pertama, tetapi saya sangat ingat surat yang kedua.

Dalam sebuah rapat, Kepala Sekolah menyatakan hari Senin dan Selasa yang pertama setelah liburan sekolah adalah hari libur juga karena murid belum masuk. Sore itu, ada rapat dadakan lagi dan informasi ini berubah: guru kelas diberitahu mereka wajib masuk supaya bisa bertemu dengan orang tua kalau ada yang datang. Saya tidak ikuti rapat kedua itu dan tidak pula diberitahu hasilnya.

Senin dan Selasa pertama setelah liburan, saya tetap libur tetapi ternyata guru yang lain masuk. Pada hari Rabu saya dipanggil pemilik sekolah (atasan saya) dan dimarahi untuk 45 minit, dan diberikan surat peringatan.

Di tengah kemarahan pemilik sekolah yang berlebihan itu, saya sempat bertanya kenapa Manager HRD tidak telfon saya pada Senin pagi dan suruh saya masuk. Misalnya: “Maaf, Pak, mungkin anda belum diberitahu, hari ini harus masuk. Harapa datang dengan segera ya!” Malah Manager HRD dengan sengaja menunggu sampai hari Rabu supaya saya bisa dimarahi dan diberi surat peringatan. Saat saya bertanya kenapa saya tidak ditelfon saja, pemilik sekolah menjawab dengan tegas “Saya tidak mau bicarakan itu!” Dari pandangan saya, Manager HRD harus tanggung jawab juga untuk sikapnya itu. Tetapi pemilik sekolah sudah mempunyai niat untuk hanya menyalahkan saya saja.

Kalau ada Memo sebelum liburan yang jelas tentang masuknya Senin dan Selasa itu, tentu saja saya akan masuk. Kalau ada telfon dari Manger HRD pada hari Senin pagi, tentu saja saya akan masuk. Yang membuat saya bingung adalah kenapa Manager HRD sengaja diam pada Senin pagi, Senin siang, Senin sore, Senin malam, Selasa pagi, dan Selasa sore?

Justru karena sikap seperti ini di pihak managemen sekolah, yang kurang dewasa, tidak bijaksana, dan tidak membentuk suasana kerja yang baik, saya memutuskan untuk mengundurkan diri daripada disalahkan terus. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri terhadap saya.

[ Uang 40 Juta ]

Tentang uang pangkal Rp. 40 Juta adalah non refundable, dan seterusnya:
Ini adalah informasi yang salah total, orang tua tersebut belum pernah
membayar uang enrollment apalagi disuruh membayar uang pangkal lagi.
Kami maklum karena Gene Netto tidak teliti dan akurat sebagai penulis
karena dasarnya hanya pemberitahuan orang.

Dari Gene: Saya mohon maaf dengan sungguh-sungguh bila informasi itu keliru. Saya sudah menghapus bagian itu dari artikel saya. Saat menulis, saya anggap benar dan hanya sekedar menggunakannya sebagai salah satu contoh kepedulian tinggi sebuah sekolah terhadap uang.

Setiap kali saya berbicara dengan orang tua tentang sekolah anaknya (sekolah swasta manapun), mereka selalu laporkan bahwa di sekolah itu uang pangkal adalah non-refundable. Saya belum mendapat kabar dari orang tua tentang sebuah sekolah yang siap mengembalikan uang kepada orang tua dalam keadaan apapun (insya Allah ada, tetapi sekolah mana yang begitu baik?).

Kalau seandainya anak seseorang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil pada minggu pertama sekolah, apakah uang pangkal tetap non-refundable? Karena yang jelas, kursi anak itu tidak akan kosong sepanjang satu tahun. Dan anak baru yang masuk untuk isi kursi tersebut juga membayar sekian puluh juta rupiah untuk kursi yang sama. Jadi kalau memang begitu, pihak sekolah swasta manapun akan mendapatkan 2x uang pangkal untuk mengisi satu kursi. Ini salah satu hasil dari kebijakan non-refundable itu.

Saya sama sekali tidak paham kenapa segala hal yang bekatian dengan uang di sebagian besar sekolah swasta (yang pernah dilaporkan kepada saya) selalu menjadi non-refundable. Apa bedanya sebuah sekolah dengan tempat belanja yang lain? Apakah orang tua dipandang sebagi “orang tua”, dan partner dalam membangun kemampuan anak, atau apakah orang tua dipandang sebagai “customer” yang sudah “membeli” suatu pelayanan dan uang yang sudah masuk tabungan sekolah tidak pernah akan dikembalikan? Kenapa harus begitu? Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Lukisan Anak ]

• Tentang mural anak-anak yang diganti dengan lukisan besar.
Memang benar kami memajang lukisan sebesar 4m x 2m di lobby Gedung I yang dibuat oleh [seorang artis], yang dikenal sebagai ”art’s most playful child” di
Indonesia karena memang proporsional dan edukatif untuk murid-murid kami. Namun yang pasti anak-anak masih punya space yang cukup besar (luas sekolah ± 10.000m2) untuk memajang artworknya (lihat di sekolah kami) dibanding lukisan yang besarnya hanya 8 m2 tersebut. Jadi tidak benar anak [sekolah ini] seperti bertamu di sekolanya.

Dari Gene: Mohon dipahami bahwa saya tidak pernah menyatakan tidak ada lukisan anak di sekolah. Saat saya masih di sana, lukisan anak memang banyak: lukisan di atas kertas yang ditempelkan untuk sementara di tembok. Yang saya bicarakan, dan yang saya usulkan adalah “mural” atau lukisan besar yang langsung dibuat di atas tembok oleh anak2 yang bersifat permanen. Yang saya ingin jelaskan dengan contoh itu adalah sikap pemilik sekolah pada saat mural itu diusulkan: “Jangan, nanti tembok bisa rusak.” Keutuhan tembok menjadi lebih utama dari lukisan yang baik dan bermanfaat untuk anak. Saya mengira akan mendapatkan tanggapan seperti ini: “Oh, itu suatu usul yang baik. Mari kita membahas dengan yang lain untuk mencaritahu kalau itu yang terbaik untuk anak dan sekolah.” Malah saya mendapat tanggapan langsung bahwa tembok lebih utama.

Saya bukan seorang insinyur, tetapi saya masih bingung tentang bagaimana caranya sebuah tembok yang memang sudah dicet, bisa dibuat “rusak” kalau dicet lagi dengan warna yang berbeda dan gambar2 yang dibuat oleh anak-anak? Lukisan yang dibuat oleh seorang pelukis terkenal bukannya tidak boleh, dan saya tidak menyatakan tidak boleh, hanya saja saya tidak mengerti kenapa hal seperti itu diutamakan di atas lukisan yang dibuat oleh anak2 yang ada ikatan yang lebih kuat pada sekolah: anak2 yang masuk sekolah setiap hari, anak2 yang menjaga lingkungan sekolah, anak2 yang mewujudkan prestasi dan nama baik untuk sekolah, tetapi lukisan dari seorang profesional diberi keutamaan di sekolah, dan bukan kesenian dari anak2 sendiri.

Ini hanya sekedar menujukkan bahwa ada perbedaan di antara pikiran guru dan pikiran pengusaha. Guru inginkan yang terbaik untuk anak, dengan anak2 diberi wewenang untuk membantu membangun sekolah. Salah satu contoh adalah lukisan anak yang dibuat di tembok sekolah dan dilihat oleh para orang tua setiap hari. Kalau pengusaha barangkali lebih cendurung memikirkan sisi bisnis. Lukisan anak2 di tembok bisa merusak tembok (??) dan lukisan dari orang terkenal lebih bermanfaat. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Executive Principal Ganti 2x Dalam 2 Tahun ]


• Executive Principal ganti 2x dalam 2 tahun: kami tentu menyayangkan hal
ini terjadi di sekolah kami. Saat itu kami langsung mengevaluasi apakah
memang standardnya terlalu tinggi atau kualifikasinya yang kurang pas.
Hasil dari evaluasi tersebut, kami memutuskan untuk mengubah strategi
organisasi dengan meniadakan Executive principal. Sejak September 2004
sampai saat ini, keputusan tersebut telah berjalan dengan baik

Kualifikasi Masters Degree di bidang School Administration kurang pas? Hmm. Atau standar biasa semua sekolah negeri (dari manca negara) dianggap terlalu tinggi? Hmm. Apakah alasan menghapus posisi ini karena itulah yang terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak dan pengurusan sekolah? Atau yang terbaik meningkatkan kualitas tabungan sekolah? Executive Principal di sekolah swasta manapun, yang berasal dari negara asing, biasanya mendapat gaji puluhan juta rupiah (sering dibayar dengan dolar), fasilitas rumah dan mobil, dan berbagai macam benefit yang lain. Kalau posisi ini tidak ada, berarti sekolah bisa menghemat ratusan juta rupiah setiap tahun.

Dan barangkali, seorang Principal dari negara asing tidak akan takut untuk membela kepentingan anak2 dan para guru, di atas kepentingan si pengusaha (berarti akan bentrok terus!). Kalau kepala sekolah lokal dengan gaji yang jauh lebih rendah, dan keadaan ekonomi yang lemah dibandingkan dengan pemilik sekolah, barangkali akan lebih mudah dipaksakan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk anak, tapi baik untuk perkembangan bisnis. Jadi, apakah posisi ini dihapus untuk kepentingan anak2 atau untuk alasan yang lain?

Juga ada kemungkinan bahwa tidak ada seorangpun yang mau lamar untuk posisi itu karena semuanya sudah mendapatkan informasi tentang masalah managemen sekolah dari teman2 yang lain. Dengan demikian, barangkali akan lebih baik buat sekolah kalau mereka menyatakan posisi ini dihilangkan saja, daripada harus menjelaskan terus kepada orang tua tentang kenapa orang di posisi ini tidak bisa bertahan lama dan selalu mengundurkan diri. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Gene Tidak Mengerti Pendidikan ]

• [Gene] dinyatakan “tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah:
dengan acuan sederhana seperti yang telah disebutkan di atas antara lain
tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar,
warning letter, dll. dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang
bersangkutan memang tidak mengerti pendidikan dan menjadi pendidik yang baik. Selama 7 bulan bekerja di tempat kami, Gene Netto tidak memberikan output yang sesuai dengan perjanjian.

Dari Gene: Sekali lagi saya dinyatakan “tidak mengerti pendidikan”. Alhamdulillah. Mungkin itu disebabkan saya hanya kuliah pendidikan dan bukan bisnis, karena barangkali orang bisnis yang lebih mengerti pendidkan daripada guru. Kuliah 5 tahun, dan pengalaman di kelas selama 10 tahun berarti tidak menguasaikan bidang pendidikan. Tetapi malah orang yang bergelar bisnis yang mengerti. Baiklah. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

Coba berfikir begini. Kita naik pesawat dan pilot menyatakan akan melakukan emergency landing (mendarat darurat). Kita sebagai penumpang memikirkan keselamatan kita sendiri. Pengusaha yang menjadi Pemilik dari perusahaan penerbangan tersebut barangkali lebih memikirkan pesawat dulu: “Kalau pesawat saya rusak, bisnis saya rugi.” Lalu bagaimana kalau jauh hari sebelumnya ada seorang pilot yang mengritik keamanan pesawat tersebut? Dia menyatakan pesawat ini tidak layak terbang. Kemudian pilot dihujat oleh si pengusaha dengan komentar:

“Emang dia siapa? Dia tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar, dapat warning letter, dll. Dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang bersangkutan memang tidak mengerti ilmu penerbangan. Dia hanya seorang pilot yang bergelar sebagai pilot dan hanya ada berpengalaman terbang 10 tahun saja. Saya seorang pengusaha dan itu pasti membuktikan bahwa saya lebih mengerti ilmu penerbangan daripada dia! Pesawat ini layak untuk terbang. Silahkan naik semua!”

Lalu bagaimana kalau pesawat memang jatuh. Apakah berarti si pilot benar? Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi si pengusaha pasti akan menyuruh Public Relations Departmentnya membuat statement dengan buruh-buruh: “Kecelakaan ini disebabkan ‘human error’ dan bukan gangguan teknis.” Terserah kita yang menjadi penumpang untuk membuat penilaian sendiri. Apakah masih yakin pada perusahaan tersebut?

Saya terima semua komentar negatif ini tentang diri saya bukan dari seorang Kepala Sekolah yang menguasaikan ilmu pendidikan, tetapi dari: “Public Relation Department, Sekolah ### Indonesia”. Kok sekolah membutuhkan Public Relations Department juga? Sama dong dengan perusahaan penerbangan. Tugas utama orang Public Relations kira-kira apa? Menjaga hak dan kepentingan “customer” supaya selamat dan tidak dirugikan oleh perusahaan? Atau menjaga hak dan kepentingan “perusahaan” supaya tidak dirugikan oleh siapapun?

Kalau di bidang pendidikan memang tidak bisa hitam-putih begitu karena tidak ada “kecelakaan akedemis” yang terjadi secara mendadak pada suatu hari pada semua anak dan bisa menujukkan ada masalah. Orang tua harus menunggu bertahun2 untuk melihat “hasil” dari proses pendidikan. Kalau ternyata kurang baik, orang tua bisa berbuat apa? Apakah anak akan disuruh kembali ke Kelas 1 dan mengulangi semua pelajarannya lagi?

Siapa yang mau didengarkan di bidang pendidikan? Para Guru dan para Ahli Pendidikan atau pengusaha? Siapa yang mau didengarkan di bidang penerbangan? Pilot dan Insinyur Pesawat atau pengusaha? Orang tua dan para penumpang dipersilahkan membuat penilaian sendiri.

[ Ibu Dibujuk Keluarkan Anaknya ]

• Statement Gene Netto: “Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat berhati-hati menyekolahkan anaknya kesana”.
Dalam kenyataannya Gene Netto tidak hanya menyarankan tapi sudah
melaksanakan, terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat” kami menerima telepon dari orang tua murid bahwa mereka diprovokasi oleh yang
bersangkutan supaya keluar dari sekolah kami. Untuk kesekian kalinya
Gene Netto membuktikan attitudenya yang sangat tidak pantas ditiru oleh
siapapun, apalagi sebagai seorang yang mengaku sebagai pendidik.

Dari Gene: Saya memang telfon seorang ibu. Setelah saya memberikan tes bahasa inggris kepada anaknya, saya menjadi sadar bahwa dia memang seorang native speaker karena memang dibesarkan di luar negeri. Semua pertanyaan di tesnya dijawab dengan sempurna, berarti dia jauh lebih lancar dari semua guru di sekolah. Saya bicara dengan 3 teman yang juga ahli bahasa untuk mencaritahu apa yang terbaik untuk masa depan anak yang satu ini.

Setelah sudah yakin, saya telfon ibunya dan menjelaskan ada kemungkinan tingkat kelancaran anaknya akan menurun kalau tidak dijaga dengan sengaja. Kalau ibu tidak peduli bahwa bahasa Inggrisnya yang sudah fasih bisa hilang, maka tidak ada masalah. Tetapi kalau ibu juga inginkan supaya tingkat kelancaran ini tidak hilang, saya memberikan pilihan sebagai berikut:

  1. Anak bisa dipindahkan ke sekolah yang lain seperti Tiara Bangsa, Binus, Pelita Harapan atau Cita Buana, atau sekolah internasional seperti JIS, karena di sekolah itu lebih banyak native speaker. Anak ini justru harus bertemu dengan native speaker setiap hari kalau mau lestarikan bahasanya. Ada kemungkinan dia akan tetap lancar tanpa ketemu Native Speaker yang lain, tetapi cara yang lebih aman adalah sering ketemu. Saat itu di sekolah ini hanya ada dua orang native speaker (termasuk saya).
  2. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu harus mendapatkan guru les (native speaker) untuk datang ke rumah.
  3. Anak bisa tetap di sekolah ini dan bisa didaftarkan untuk kursus di TBI, ILP, British Council dsb. pada tingkat advanced. Hanya saja saya ragukan manfaatnya karena umur dia tidak akan sesuai dengan pelajaran. Pada umur 10 tahun, TOEFL pasti sangat membosankan. Dan kursus itu rata2 tidak ada kelas pada tingkat advanced untuk anak kecil, semuanya untuk dewasa: TOEFL, IELTS, FCE dsb.
  4. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu bisa memberikan suasana bahasa Inggris di rumah dengan banyak DVD, cable television, CD Rom, internet, buku dan sebagainya. Ibu juga bisa berusaha untuk menggunakan bahasa Inggris sebanyak mungkin di rumah.
  5. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu bisa memohon kepada pihak sekolah untuk menambahkan jumlah native speaker untuk membantu mengingkatkan kemampuan anak dia dan juga sekaligus semua anak yang lain.

Anak ini juga sanggup memberikan “conversation class” kepada para guru untuk meningkatkan kemampuan dan kelancaran mereka, yang berarti dia akan berfokus pada bahasanya kalau harus mengajar orang lain, tetapi saya lupa kalau itu diusulkan atau tidak.

Apakah semua ini berarti saya telah “membujuk” Ibu itu untuk mengeluarkan anaknya? Pada saat saya bicara dengan dia di telfon, saya ingat dengan betul bahwa dia mengucapkan terima kasih sekali kepada saya dan menyatakan sangat kagum dengan saya karena memberitahu dia tentang apa yang terbaik untuk anaknya, daripada hanya berpihak kepada bisnis sekolah.

Apakah besok hari dia telfon sekolah dan menyatakan bahwa saya “membujuk” dia untuk mengeluarkan anaknya? Saya sama sekali tidak tahu karena saya tidak mendengarkan percakapan tersebut. Seingat saya ada satu anak lagi yang juga lancar sekali, dan saya juga telfon ibu dia dengan nasihat yang sama. Berarti jumlah ibu yang ditelfon adalah dua.

Kalau ada orang yang ingin beragumentasi bahwa saya seorang “guru buruk” yang “membenci” sekolah ini, maka saya mohon penjelasan tentang kenapa saya tidak telfon setiap orang tua (ada 200an anak saat itu) dan “membujuk” mereka semua untuk mengeluarkan anaknya? Kenapa saya hanya bicara dengan dua Ibu kalau niat saya memang buruk?

Saya tidak mau berkomentar lagi. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Semua Anak Menang Untuk Team Building ]

• Saat hari olah raga, anak-anak tidak boleh kalah, semua harus menang dan mendapat piagam. Di [sekolah] ada event sports day yang kegiatannya adalah perlombaan berbagai permainan sport. Dalam kegiatan tsb. Kami lebih menitikberatkan kepada aspek sportivitas, partisipasi, dan team building, sehingga pada akhir lomba kami memberikan penghargaan kepada semua anak atas usaha dan kerja kerasnya dengan cara memberi sertifikat/piagam kepada semua peserta; sedangkan untuk pemenang diberikan medali. Jadi semua mendapatkan penghargaan, dan ini bisa disalahartikan sebagai „anak-anak tidak boleh kalah” bagi mereka yang tidak mengerti konsep tsb. Kami sayangkan bisa terjadi salah pengertian.

Dari Gene: Kalau salah satu tujuan hari tersebut adalah team building, apakah ada yang bisa menjelaskan kenapa hari itu penuh dengan lomba? (Kalau sportivitas, oke lomba boleh juga.). Bukannya lomba itu bersifat kompetisi karena kita bersaing dengan orang lain di dalam lomba tersebut? Kalau anak2 disuruh main bola basket untuk team building, maka hal itu hanya bisa berhasil kalau anak2 mau mengoper bola. Kalau ternyata kebanyakan anak egois dan setelah mendapat bola berusaha untuk mendapat basket sendiri, maka tujuan team building akan gagal.

Pada saat anak2 ikuti lomba lari, lalu disuruh ikuti lomba lari lagi atas perintah pemilik sekolah, apakah itu juga termasuk team building? Anak merasa tidak perlu, guru merasa tidak perlu, tetapi kemauan satu Ibu diutamakan diatas kemauan anak2 dan guru. Apakah itu termasuk team building? Apakah itu termasuk sportivitas? (“Kalian wajib menuruti kemauan saya! Saya pemilik sekolah!”) Guru tidak sanggup menolak perintah yang dia anggap tidak bermanfaat. Dia wajib menuruti kemauan orang tua yang akrab dengan pemilik sekolah. Apakah ini team building? Barangkali ini versi team building yang baru karena saya belum menemukan versi team building ini di dunia pendidikan di manca negara. Hanya ada versi team building tersebut di sekolah yang satu ini.

Saat Manager HRD dengan sengaja tidak telfon saya dan suruh saya masuk pada hari Senin dan Selasa yang diceritakan di atas sehingga saya mendapatkan surat peringatan, apakah itu juga termasuk sikap sportivitas dan team building? Kalau sekolah ini sangat peduli dengan sportivitas dan team building, maka seharusnya dicontohkan di dalam perbuatan mereka sendiri. Pada saat saya dimarahi untuk hampir satu jam oleh pemilik sekolah, apakah itu termasuk team building? Team building versi apa ini? Atau team building di sekolah ini diutamakan untuk anak-anak dan Ibu-Ibunya yang akrab dengan pemilik sekolah. Barangkali guru bukan bagian dari team sehingga tidak perlu mewujudkan sikap team building dengan para guru. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Mengundurkan Diri Atau Dipecat? ]

…yang bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003…

….terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat”…

Ternyata orang yang berkuasa di sekolah ini juga tidak sanggup mengunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dia bagian atas email dari mereka, mereka sendiri menyatakan bahwa saya mengundurkan diri dan saya ada suratnya kalau ada yang ingin melihatnya. Setelah menyerahkan surat tersebut, saya tetap kerja selama 1 bulan, sesuai dengan kontrak saya. Lalu di bagian bawah dari emailnya, mereka menyatakan bahwa saya “dipecat”. Kok bisa begitu? Kok orang yang dipecat masih kerja untuk 1 bulan lagi? Aneh. Apakah ini menujukkan tingkat kemampuan pengurus sekolah di dalam bahasa Indonesia, sehinga hitam bisa menjadi putih dan putih bisa menjadi hitam? Kasihan anak yang mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah ini. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Tes Untuk Anak ]

• Tentang tes Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu
Pengetahuan: Adalah benar adakalanya memang sekolah melakukan assessment khusus untuk memperoleh feedback tentang seberapa jauh efektivitas suatu pengajaran. Hasilnya pasti ada yang baik dan kurang baik. Justru atas dasar tersebut lalu sekolah melakukan analisa untuk peningkatan dan penyempurnaan program-programnya. Sama seperti statement sebelumnya, di sini yang bersangkutan hanya mendasarkan „katanya” dan tidak ada bukti karena yang bersangkutan sudah mengundurkan diri.

Dari Gene: Saya sendiri yang membuat tes bahasa Inggris, saya sendiri yang berikan dan saya sendiri yang memeriksa. Hasil saat itu: mayoritas dari anak di sekolah tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Saya tidak memegang tes itu sekarang jadi saya tidak ada bukti selain dari file dan document tes di komputer saya dengan tanggal pembuatan file itu yang memang sesuai dengan waktu saya bekerja di sekolah. Orang tua silahkan berfikir sendiri.

Untuk hasil tes Matematika, Ilmu Pengetahuan, dan Bahasa Indonesia, memang bukan saya yang membuat tes dan bukan saya yang memeriksa. Saya hanya ada perkataan dari orang yang membuat tes itu bahwa kebanyakan anak tidak lulus, padahal tes sengaja dibuat dengan tingkat mudah atas permintaan pihak sekolah. Kalau sekolah ingin mengatakan bahwa tes itu tidak pernah diberikan atau anak tidak gagal, maka saya tidak sanggup berkomentar lagi karena hanya ada perkataan orang yang saya kenal sebagai ahli pendikian yang juga memiliki kepedulian tinggi terhadap masa depan anak bangsa ini. Saya tidak akan bicarakan tes itu lagi karena tidak memegang bukti. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

Kesimpulan Komentar Saya Tentang Sekolah Ini

Sekian saja. Orang tua dipersilahkan membuat penilaian sendiri. Barangkali saya memang seorang guru yang buruk karena saya hanya bergelar pendidikan dan tidak pernah berfikir untuk mengikuti kuliah bisnis. Insya Allah pada masa depan saya akan sanggup menjadi seorang guru yang baik, yang sanggup mengerti bidang pendidikan, dan untuk mencapai tujuan itu barangkali saya harus mengabaikan kuliah saya selama 5 tahun, mengabaikan pengalaman saya di kelas selama 10 tahun, dan membuang semua buku saya tentang pendidikan (ada 80-100 kali, belum dihitung), dan membuang semua artikel dari internet yang ada di computer, dan saya harus menggantikan semua itu dengan buku-buku bisnis terbaik supaya saya bisa memahami ilmu pendidikan dan kemudian menjadi seorang guru yang dipandang baik.

Saya ingin berterima kasih kepada para orang tua atas perhatian dan waktunya untuk membaca tulisan saya. Supaya jelas, saya ingin menyatakan bahwa saya tetap tidak berniat memfitnah atau menjatuhkan sekolah mana pun. Ada beberapa sisi yang baik di sekolah ini tetapi saya dengan sengaja tidak membicarakannya. Orang tua bisa melihat sendiri bahwa lingkungan sekolah sangat aman dan kebersihan dijaga dengan sangat baik. Di sisi itu saya sangat salut terhadap sekolah ini. Tujuan saya membuat tulisan tentang sekolah swasta hanya karena saya merasa beban moral untuk menyadarkan para orang tua bahwa gedung yang mewah (di sekolah mana pun) tidak secara automatis identik dengan kualitas pendidkan yang tinggi. Orang tua tetap harus memantau apa yang terjadi di sekolah (dan untuk sekolah negeri pun juga perlu begitu) dan berusaha untuk memastikan bahwa ilmu dan kemampuan anaknya memang berkembang dengan baik dan sesuai dengan umurnya.

Mohon Orang Tua Tidak Bertanya Lagi Tentang Sekolah Swasta Yang Satu Ini

Saya sangat mohon kepada para orang tua untuk tidak menanyakan saya lagi tentang sekolah ini. Saya sudah membuang tujuh bulan dari nyawa saya di situ. Saya tidak ingin buang waktu saya lagi untuk membalas email terus-terusan, karena saya anggap hal itu tidak bermanfaat bagi saya. Kalau setelah ini masih ada orang tua yang kirim email untuk bertanya tentang sekolah ini, mohon maaf, saya tidak akan tanggapi. Kalau para orang tua ingin percaya kepada seorang pengusaha di sekolah mana pun untuk mendidik anak anda, silahkan saja. Saya tidak merasa dirugikan kalau ilmu saya dianggap tidak bermanfaat. Silahkan taruh anak di mana saja. Saya rasa pendapat saya mengenai sekolah ini sudah jelas. Kalau orang tua ingin percaya bahwa saya seorang guru yang buruk, yang tidak menguasaikan ilmu pendidikan hanya karena ada pernyataan seperti itu dari seorang pengusaha, silahkan saja. Saya anggap pembahasan tentang sekolah ini sudah selesai, dan saya tidak mau membicarakannya lagi.

Terima kasih atas waktunya membaca komentar saya.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

Jakarta,

3 March, 2007

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...