Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (85) dhuafa (18) for fun (12) Gene (219) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (565) islam (549) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (49) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (173) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (8) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)
Showing posts with label bilingual. Show all posts
Showing posts with label bilingual. Show all posts

13 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 3/5

MANA RISET/BUKTI ILMIAH TENTANG LULUSAN SEKOLAH SWASTA BILINGUAL INI?

Barangkali orang tua sudah tahu bahwa ada beberapa sekolah yang sudah lama menjalankan program Immersion/Bilingual di sini dengan tujuan membuat anak lancar dalam bahasa Inggris. Karena sekolah2 ini sudah lama berjalan, berarti jumlah lulusan mereka sudah banyak. Di mana mantan murid itu sekarang dan bagaimana keadaan mereka? Seorang ahli pendidikan akan mau tahu tentang hal ini, tetapi barangkali seorang ahli bisnis tidak akan peduli. Sebagai contoh tentang hal yang perlu kita pahami adalah:

· Apakah lulusan ini (yang sudah dewasa) masih ada di Jakarta?

· Apakah mereka dikirim keluar negeri untuk kuliah?

· Apakah mereka sanggup kuliah di sini (karena keadaan pendidikan di universitas lokal barangkali sangat berbeda dengan pengalaman baik mereka waktu di sekolah swasta, sehingga mereka tidak tahan dan minta kuliah ke luar negeri)?

· Kalau kuliah di luar negeri sudah selesai, apakah semuanya atau mayoritas kembali ke Indonesia atau tetap di luar negeri karena sudah merasa lebih betah di sana?

· Bagaimana dengan kemampuan bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesianya sekarang?

· Apakah bahasa Inggrisnya lebih lancar, atau bahasa Indonesianya?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, bagaimana dampaknya terhadap orang yang harus bekerja di sini?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, apakah karena mereka sudah merasa lebih "normal" menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka memandang orang yang tidak bisa berbahasa Inggris sebagai orang "rendah" atau orang "biasa" dan bukan elite seperti mereka?

· Bagaimana pergaulan mereka dengan keluarga besar (kakek, nenek dsb.) yang tidak bisa menggunakan bahasa Inggris sama sekali?

· Apakah mereka merasa bangga dengan bahasa dan budaya Indonesia?

· Atau apakah bahasa dan budaya orang tuanya membuat mereka merasa malu?

· Kalau mereka kuliah di sini dengan menggunakan bahasa Indonesia apakah kemampuan bahasa Inggrisnya berkurang? Kalau iya, berapa jauh?

· Dan penurunan kualitas bahasa itu, bila ada, terjadi dalam jangka waktu berapa tahun?

· Kalau kemampuan bahasa Inggrisnya ternyata sudah turun secara drastis, apakah hal itu berarti sia-sia ribuan jam di SD-SMA hanya untuk belajar bahasa Inggris yang kemudian menjadi hilang?

· Bagaimana nilainya orang yang kuliah di sini dalam bahasa Inggris di universitas swasta?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di sini tetapi menggunakan bahasa Indonesia?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di luar negeri dalam bahasa Inggris dan bersaing langsung dengan Native Speaker?

· Bagaimana nilainya tiga kelompok ini dibandingkan dengan nilai sebuah kelompok "kontrol" yang tidak pernah masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Nilai lebih tinggi di kelompok yang mana?

· Bagaimana keadaan psikologis semua lulusan ini?

· Apakah ada sebagian dari mereka yang mengalami perasaan tertekan, stres, depresi, dan gangguan emosional/psikologis yang lain disebabkan mereka merasa kehilangan citra diri (karena tidak suka budaya dan bahasa lokal, tetapi masih merasa sebagai orang Indonesia)?

· Kalau ada yang mengalami perasaan stres dan berbagai gangguan yang lain, berapa persen, untuk berapa lama, mulai berapa tahun setelah keluar dari sekolah?

· Apakah gangguan ini mempengaruhi hubungannya dengan suami atau isteri yang tidak bisa berbahasa Inggris karena dia lulus dari sekolah biasa?

· Kalau semua lulusan sekolah2 ini merasa 'bahagia', apakah mereka bisa dikatakan kurang, sama, atau lebih bahagia dari anak yang tidak masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka hanya bisa bahagia selama mendapatkan pekerjaan di luar negeri, atau di perusahaan asing di Indonesia, sehingga skil mereka dengan bahasa Inggris sangat dihargai?

· Kalau mereka terpaksa pindah ke perusahaan lokal yang tidak membutuhkan bahasa inggris, apakah mereka masih 'bahagia'?

· Apakah mereka dipandang 'elite' oleh karyawan yang lain karena sering menjawab pertanyaan biasa dengan bahasa Inggris (karena sudah terbiasa begitu), sehingga mereka menjadi susah bergaul di kantor?

· Dan seterusnya!

Inilah termasuk hal2 yang akan dipikirkan ahli pendidikan pada saat membicarakan dampak secara luas dari sebuah program bahasa asing yang akan diwajibkan untuk semua anak di sebuah sekolah. Bukan hanya apa yang terjadi kepada mereka selama di sekolah tetapi bagaimana kehidupan mereka setelah keluar dari sekolah. Kebutuhan bahasa di sekolah akan mempengaruhi persentase L1 (bahasa Ibu) dan L2 (bahasa asing) yang digunakan. Misalnya, penggunaan 50%-50% sangat berbeda dengan 10%-90%. Dan tingkat penggunaan ini juga mempengaruhi hal yang lain seperti "cognitve development" (perkembangan daya pikir), "acquisition of academic content" (pengertian terhadap ilmu pelajaran), dan "socio-cultural development" (rasa bangga dengan bahasa/ budaya orang tuanya).

Seorang ahli pendidikan akan bertanya: Apa dampaknya program bahasa tersebut di masa depan semua anak ini? Yang baik apa? Yang buruk apa? Bagaimana caranya mencegah yang buruk dan memperkuat hasil yang baik? Ini cara berpikir guru dan ahli pendidikan yang profesional. (Barangkali seorang pengusaha hanya akan bertanya: Apa dampaknya program ini pada masa depan deposito saya?)

Apakah anda pernah mendengarkan pemilik sekolah anak anda membicarakan hal seperti ini? Kemungkinan besar tidak.

Alasannya dua:

1.) Setahu saya, hasil riset seperti ini yang berkaitan dengan konteks kita di Indonesia tidak ada. Kalau riset untuk orang di luar negeri, misalnya di Kanada, saya yakin ada. Tetapi konteksnya berbeda. Di Kanada, semua atau mayoritas dari para guru bisa diyakini profesional, dan program Immersion itu dipantau terus oleh Diknas dan bukan dikerjakan secara acak oleh sekolah swasta yang asal mendapatkan staf yang bisa berbahasa Inggris. Di Kanada barangkali hanya hanya satu kelas yang melakukan program Immersion dan bukan seluruh sekolah. Kurikulum sudah terbentuk oleh sebuah tim ahli dan digunakan oleh semua sekolah. Beda halnya dengan Indonesia di mana saya sering menemukan "guru" (baca: lulusan ekonomi dsb.) yang dipaksakan sekolah membuat Kurikulum untuk menghemat pengeluaran. (Kalau harus mencari seorang ahli untuk membuat kurikulum, berarti bayar lagi. Guru saja deh!)

Setahu saya, tidak ada orang di sini yang melakukan penganalisan secara intensif dan ekstensif terhadap apa yang sebenarnya terjadi kepada anak yang telah lulus dari sekolah swasta bilingual di sini. Paling ada informasi yang bisa didapatkan dari salah satu sekolah yang menyatakan lulusannya pergi ke mana (seperti asosiasi alumni). Informasi selain lokasi dan pekerjaannya barangkali tidak ada.

2.) Pemilik sekolah anak anda barangkali tidak akan peduli. Apakah menguntungkan tabungan dia kalau dia sungguh2 mempelajari apa yang terjadi kepada lulusan dari sekolah dia? Kalau seandainya ada 12% yang mengalami berbagai bentuk stres atau depresi setelah 10 tahun keluar dari sekolah, disebabkan mereka merasa "asing" di negara sendiri, apakah pemilik sekolah mau memberitahu kepada orang tua (kalau dia tahu)? Barangkali tidak.

Tetapi kalau dia tahu 12% dari lulusan sekolah masuk perusahaan multinasional dengan jabatan dan gaji yang tinggi, pasti itulah yang akan diberitahu kepada orang tua. Kata pemilik sekolah: "Kalau anda mau [memberikan kita puluhan juta rupiah sekarang juga, non-refundable tentu saja, dan] daftarkan anak anda di sekolah kita, maka dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik seperti ini. Kita sekolah bilingual lho! (Kali 1000)." Dan tentu saja orang tua dari seorang anak berumur enam tahun akan kagum dan bahagia kalau diyakinkan masa depannya begitu bagus. Tinggal bayar saja, dan dia akan lulus SMA dalam keadaan bilingual dan langsung mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji besar. Semuanya beres!

Barangkali anda ingin mengatakan bahwa setahu anda, anak yang tertekan dan depresi ini tidak ada di Jakarta. Sudah ada banyak lulusan dari sekolah bilingual yang menggunakan Immersion Program dan sepertinya mereka semua baik-baik saja. Apakah benar? Apakah 100% dari mereka "baik-baik saja"? Atau kurang dari 100%?

Barangkali ada 80% yang bahagia dan telah menjadi bilingual tanpa masalah. Taruhlah ada 10% lagi yang bisa berhasil juga walaupun tidak begitu mudah bagi mereka. Dan bagaimana kalau seandainya masih ada sisa 10% yang mengalami berbagai macam gangguan seperti stres, depresi, kehilangan citra diri, merasa lebih elite daripada orang tua sendiri, merasa asing dengan orang tua, lebih senang tinggal di luar negeri, susah bergaul dengan teman kantor, dsb.

Saya ingin bertanya kepada para orang tua: Siapa yang akan membela sisa 10% anak ini (kalau memang ada) yang mengalami kesulitan belajar di dalam sekolah bilingual, dan barangkali juga akan menghadapi berbagai macam masalah setelah lulus? Fungsi seorang guru bukan untuk mengajar 90% dari muridnya yang sanggup mengikuti pelajaran dalam sebuah bahasa asing dan abaikan saja 10% tersisa yang mengalami masalah (baik di dalam maupun di luar sekolah). Fungsi seorang guru adalah untuk berusaha sebaik mungkin bahwa semua muridnya akan berhasil di dalam semua aspek kehidupan, bukan nilai akademisnya saja.

Kalau guru kelas merasa bahwa anak anda telah masuk 10% yang akan "gagal" dengan arti dia masih bisa lulus tetapi dengan nilai yang sangat rendah, dan barangkali akan mengalami masalah psikologis nanti, apakah anda siap menerima kenyataan ini begitu saja? Apakah cukup baik bagi anda bahwa 90% dari lulusan sekolah itu berhasil dan menjadi orang bilingual yang bahagia, walaupun anak anda tidak termasuk kelompok itu?

Dan barangkali alasannya kenapa anda belum pernah melihat seorang lulusan sekolah swasta yang mengalami masalah adalah disebabkan kebanyakan dari mereka berada di luar negeri sekarang karena tidak senang tinggal di Indonesia lagi. Atau juga bisa jadi alasannya adalah karena anak yang anda kenal pernah masuk sebuah sekolah swasta yang sangat mahal, yang penuh dengan guru profesional, lengkap dengan kurikulum yang benar, dengan Pull Out Program (untuk meningkatkan bahasanya), dengan guru ESL yang berpengalaman, dsb. Barangkali itulah sebabnya 99% dari lulusan sekolah itu yang anda kenal telah berhasil.

Tetapi bagaimana dengan sekolah anak anda yang baru berdiri 5 tahun, yang gurunya dan kepala sekolah berganti-ganti setiap tahun, yang kurikulumnya "masih ditulis" oleh para guru, yang biayanya meningkat setiap tahun tanpa perubahan fasilitas, dsb.? Apakah komitmen mereka terhadap masa depan anak anda begitu serius?

SEKOLAH SWASTA LEBIH PEDULI PADA UANG?

Kita bisa bertanya sekarang: apakah begitu banyak anak diwajibkan dan dipaksakan belajar bahasa Inggris di sekolah karena memang itu yang terbaik untuk dirinya? Atau apakah hal ini dilakukan karena sekolah tahu orang tua akan siap bayar lebih mahal untuk sekolah bilingual dan tujuan sekolah semata-mata sebagai sebuah bisnis yang harus menghasilkan profit sebanyak mungkin? (Dan bisa jadi dua-duanya benar).

Sebagai sebuah contoh apakah sebuah sekolah swasta mana pun lebih peduli pada uang daripada pendidikan, orang tua bisa bertanya kalau gaji guru sama semua atau apakah kontrak kerja mereka harus dinegosiasi sendiri-sendiri. Kalau sama semua, berarti sekolah ingin adil terhadap guru, misalnya dengan gaji standar Rp 2 juta. (Ya, anda tidak salah baca, itu angka DUA. Gaji guru untuk orang lokal di sekolah swasta anak anda bisa sekecil itu, mungkin 1,5-4 juta. Tetapi untuk orang bule yang menjadi idaman anda, bisa mencapai 15-30 juta ++).

Kalau seandainya ada sebuah sekolah yang siap memberikan gaji standar kepada semua guru lokal, tetapi ada seorang guru dengan sebuah gelar, keahlian atau pengalaman khusus (misalnya dia sudah mencapai Masters Degree/S2), maka dia bisa diberikan bonus, dan hal itu bisa dijelaskan kepada guru yang lain supaya mereka semua paham bahwa orang ini memang ada skil khusus. Dengan demikian insya Allah mereka akan terima dengan lapang dada dan tidak akan iri karena semuanya terbuka dan jujur: gaji dia sedikit lebih besar karena skil dia lebih besar.

Sebaliknya, kalau gaji semua guru berbeda-beda, maka hal itu dilakukan untuk kepentingan bisnis. Dua guru di kelas yang sama dengan gelar yang sama dan latar belakang yang kurang lebih sama bisa menerima gaji yang berbeda. Kalau perbedaan itu mencapai 1-2 juta, apakah guru yang gajinya rendah bisa menerima kalau dia tidak bisa melihat alasan untuk perbedaan tersebut? Sebenarnya ini terjadi karena pada saat masuk, satu guru negosiasi terus sampai mendapat gaji yang tinggi, dan guru yang lain takut tidak akan mendapatkan pekerjaan jadi dia tidak berani negosiasi dengan keras.

Kenyataan gaji yang berbeda ini bisa menimbulkan suasana yang negatif di kalangan guru. Misalnya, guru yang gajinya rendah bikin "flashcard" untuk suatu pelajaran Matematika. Guru yang gajinya besar minta pinjam. Guru pertama (karena jenuh) membuat alasan supaya tidak dipinjamkan. ("Emang gue pikirin? Biarkan dia bikin sendiri!") Kalau ini terjadi di dalam sebuah sekolah, yang jelas adalah sebagian dari para guru akan dirugikan. Anak juga dirugikan karena para guru tidak mau saling bantu-membantu untuk memberikan kelas yang terbaik bagi anak. (Buat orang tua yang belum tahu, guru yang saling bantu-membantu merupakan bagian yang sangat vital dan utama di dalam sebuah sekolah).

Dan yang jelas diuntungkan adalah tabungan sekolah! Tetapi masalah ini tidak hanya terjadi pada guru: kalau seandainya seorang kepala sekolah menyadari bawah gaji dia 2x lebih kecil dari sebagian guru, bagaimana dia mau kerja dengan semangat? (Sebenarnya, dia salah sendiri karena menerima gaji yang dia anggap cukup baik, dibandingkan dengan gaji di SD Negeri, tetapi sudah ada guru yang mendapat lebih dari dia.)

Silahkan bertanya kepada para guru di sekolah anak anda kalau gaji guru ada standarnya atau apakah setiap kontrak dinegosiasi sendiri, dan bertanya ke pihak sekolah kenapa harus begitu? Sekaligus, silahkan bertanya kalau ada asuransi untuk anak guru? (Asuransi guru pasti ada, walaupun hanya dengan nilai nominal yang sangat minim.) Kalau anak seorang guru menjadi sakit keras, dan ibunya harus mengeluarkan beberapa juta rupiah, dengan sekaligus cuti dari sekolah, apakah pihak sekolah akan peduli? Baca di tembok sekolah anak anda tentang semua sikap yang mereka ingin ajarkan seperti "Caring", "Respect", "Social Awareness", "Empathy", "Leadership" dan sebagainya. Barangkali anda pernah melihat kata2 ini ditempelkan di tembok sekolah. Kalau memang ada, bertanya ke pihak sekolah tentang kenapa mereka tidak mulai dengan mencontohkan sikap2 mulia ini terhadap para guru dan anaknya sebelum mencari orang lain di pinggir kali?

"KENAPA SAYA TIDAK BISA BERBAHASA INGGRIS PADAHAL MULAI DARI SMP?"

Kalau orang tua mengatakan "Saya belajar bahasa Inggris dulu di SMP tetapi masih nggak bisa sampai sekarang!" berarti anda mengalami masalah, dan masalah itu tidak ada hubungan sama sekali dengan umur anda pada waktu mulai belajar. Yang menimbulkan masalah buat anda adalah sistem pengajaran yang tidak bagus, yang sangat baku, terfokus pada penghafalan kalimat dan frase baku, dan tidak memberikan kebebasan kepada anda untuk menguasai bahasa itu supaya bisa membentuk "communicative competence" (kemampuan berkomunikasi sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari guru).

Kalau seandainya anda pernah mendapatkan sistem pendidikan bahasa yang berbeda di masa SMP dulu, saya sangat yakin bahwa (insya Allah) anda sudah menjadi lancar sekarang. Justru karena anda tidak menjadi lancar, anda membuat kesimpulan bahwa hal itu disebabkan anda mulai pada usia yang terlalu tua. Dan persepsi itu 100% keliru. Oleh karena persepsi itu, anda ingin mewajibkan anak anda menjadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris mulai dari Playgroup!

Saya dan teman2 kelas dulu di SMP-SMA belajar bahasa Jerman atau bahasa Perancis. Hampir semua menjadi cukup lancar dalam 3 tahun, sehingga menjadi sanggup berbincang dan menulis di dalam bahasa itu. Ini disebabkan metode pengajaran bahasa yang berbeda dengan yang anda alami di sini.

BELAJAR BAHASA DI USIA TUA

Kalau orang tua sangat takut bahwa anak tidak akan bisa belajar bahasa Inggris pada usia yang lebih dewasa, saya ingin menjelaskan bahwa saya mulai belajar bahasa Indonesia dari "nol" pada umur 20 tahun. Anda bisa menilai sendiri kemampuan saya menggunakan bahasa Indonesia sekarang. Saat saya tiba di Indonesia pada tahun 2005 karena ada beasiswa untuk kuliah di Universitas Indonesia untuk satu tahun, umur saya sudah mencapai 24 tahun dan kemampuan bahasa saya kurang lebih sama dengan sekarang karena sudah belajar di Australia. (Mungkin saya sedikit lebih lancar sekarang karena sudah tinggal di Jakarta untuk 11 tahun). Beberapa tahun yang lalu, saya malah sering diberitahu ada logat Jawa karena orang yang berbicara dengan saya di telfon tidak percaya bahwa saya adalah orang asing - dianggap orang Jawa. (Sekarang logat itu sudah hilang).

Dia kampus saya di Australia dulu, ada seorang bapak yang sudah pensiunan, dan dia masuk kuliah supaya ada kegiatan. Dia mempelajari bahasa Indonesia di kelas bersama saya, dan saat mulai, umurnya adalah 60 tahun. Umurnya yang begitu lanjut memang sedikit mengganggu dia (cepat lupa kosa kata) tetapi tidak menjadi halangan besar. Hanya saja, dia tidak bisa hilangkan logat Skotlandia yang sangat tebal.

Orang remaja dan dewasa memang sanggup mempelajari bahasa dan menjadi lancar sekali. Anak berumur 12 tahun yang tidak pernah mempelajari bahasa Inggris (secara formal di kelas) insya Allah bisa menguasainya. Orang tua tidak perlu kuatir. Tidak perlu membuat anak stres dengan terlalu banyak memaksa dia menjadi 100% lancar sebelum tamat SD. Kecuali seluruh pelajaran di sekolah SMP-SMA nanti menggunakan bahasa Inggris sehingga anak yang tidak lancar saat tamat SD akan kena masalah. Kalau sekolah yang dituju memang seperti itu, maka mau tidak mau, anak harus dipaksakan lancar supaya bisa bertahan di SMP-SMA. Apakah anak akan senang dan bahagia dengan pilihan/paksaan orang tua ini?

Kalau anak anda belajar selama di SD dengan menggunakan L1 (bahasa Ibu) untuk mayoritas dari kelasnya, dengan L2 (bahasa asing) mendapat status "English For Fun" dan bukan "English for Understanding Maths and Science" dan baru mulai menambahkan lebih banyak L2 di Kelas 4, 5, 6, SMP dan SMA, insya Allah tidak akan menjadi halangan baginya untuk menjadi lancar dalam Bahasa Inggris dan juga Bahasa Indonesia karena justru itu yang terbukti dari riset. Yang penting adalah sistem pengajaran dan bukan umurnya (setelah dia menjadi lancar di L1, tentu saja).

Orang tua harus berpikir tentang apa yang lebih utama: bahasa Inggris atau ilmu akademisnya? Kalau bisa, orang tua pasti inginkan dua-duanya. Tetapi kalau salah satu harus "dikorbankan" untuk memastikan bahwa yang lain tidak terganggu, apakah lebih baik membela ilmu akademisnya atau kelancaran bahasa Inggrisnya?

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

10 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 2/5

KURIKULUM APA YANG BAGUS?

Kalau orang tua bertanya kurikulum mesti seperti apa, berarti kita harus menentukan tujuan dari sekolah dulu. Kita harus tahu bahasa Inggris akan digunakan untuk apa sehingga anak-anak membutuhkan tingkat kelancaran seperti apa? Yang paling utama di dalam kurikulum sesudah itu adalah "language acquisition" atau bagaimana caranya si anak akan "mendapatkan" bahasa yang diinginkan dan berapa lama yang dibutuhkan sampai proses ini mencapai tingkat yang mahir sehingga anak menjadi "self-learner" (kemungkinan besar ini bisa tercapai pada akhir dari SD, tetapi tergantung pada pengalaman anak mendapatkan bahasa dari awal). Jadi status dari bahasa tersebut menjadi penting.

Apakah bahasa Inggris diajar sebagai bahasa utama, atau bersama dengan L1 (bahasa Ibu)? Berapa persen menggunakan L1 , berapa persen menggunakan L2 (bahasa asing)? Bagaimana sekolah mengatur penggunaan kedua bahasa ini? Misalnya, kelas Matematika selalu menggunakan L1 dan Kesenian selalu menggunakan L2? Atau apakah para guru disuruh mencampuri bahasa di kelas secara acak? Kalau begitu berarti pengurus sekolah tidak bisa memantau persentase dari kedua bahasa tersebut. Kalau orang tua bertanya, mungkin pengurus sekolah menyatakan "50/50". Tetapi apakah benar? Yang memantau siapa? Ada data dari observasi setiap hari di mana? Kalau guru kelas ini lokal, berarti dia bukan Native Speaker dan karena itu, kemampuan bahasa dari setiap guru akan berbeda-beda. Kalau guru ini Native Speaker, apakah dia menggunakan bahasa yang sesuai dengan kemampuan anak untuk memahaminya ("comprehensible input")? Kalau si Native Speaker (yang barangkali bukan orang yang bergelar pendidikan dan "asal bule" saja) menggunakan bahasa yang terlalu rumit untuk anak, maka yang didengarkan anak adalah suatu "bunyi/keberisikan" yang di tengah2nya ada beberapa kosa kata yang bisa ditangkap. Berarti sebagian besar dari apa yang diucapkan "guru" ini adalah sia-sia, dan tidak membangun kemampuan si anak. Apalagi mengembangkan ilmu akademisnya dan cara berpikir dengan pikiran yang makin dewasa ("cognitive development").

Sebagai contoh: Coba suruh anak duduk di depan TV pada saat ada berita di Metro TV dalam bahasa Cina (asumsi bahasa Cinanya nol). Ulangi terus untuk 3 bulan. Lalu mengetes anak: sudah mengerti bahasa Cina atau belum kalau sebelumnya nol? Kalau masih nol, atau dia baru "hafal" sebagian kecil kata, tanpa merasa yakin tentang artinya (misalnya ucapan "selamat siang") maka ini mirip dengan mendengarkan si Native Speaker yang kurang berilmu terus2an.

Kalau di kelas, anak sanggup menangkap kosa kata dengan cepat karena konteks dan tindakan teman membantu. Misalnya, guru menyatakan "Get some paper" lalu anak yang lain mengambil kertas. Berarti anak yang belum paham akan ikut mengambil kertas, karena ikuti tindakan teman, bukan karena mengerti apa yang diucapkan oleh gurunya. Tetapi kalau si guru Native bicara terlalu cepat dan menggunakan terlalu banyak kosa kata, kalimat yang rumit, dan banyak idiom (untuk anak di tingkat SD), barangkali buat si anak tidak ada bedanya dengan mendengarkan berita bahasa Cina.

Di kelas ini, status dari masing2 bahasa harus ditentukan terlebih dahulu. Full L1? Full L2? Campur? Campur berapa persen? Tujuan dan cara menggunakan bahasa ini seharusnya mengikuti kurikulum, bukan ditentukan oleh guru secara acak. Seharusnya hal ini ditentukan sebelum kurikulum dibuat, dan sebelum sekolah dibuka. Bukan dengan asal ngomong "Kita sekolah bilingual lho! Di sini 50-50"). Itu bukan suatu kebijakan melainkan sebuah tebakan.

Kalau tidak salah ingat, di kurikulum IB ada bagian khusus untuk meningkatkan kemampuan bilingual (saya sudah lama tidak melihatnya). Di bagian itu, kurikulum bukan Language Arts saja tetapi semacam "campuran' antara Language Arts dan skil2 yang harus dibangun untuk meningkatkan kemampuan L2. Skil ini bisa diajar dalam berbagai macam format, sehingga tidak mesti hanya menggunakan "notional-functional approach" seperti yang sering ada di dalam kursus bahasa Inggris.

Misalnya, di kurikulum ada pelajaran tentang "Memories" (hal-hal yang diingat dari masa lalu) di mana anak diajak membahas masa kecilnya. Apa di rumah/kota yang sama, dsb.? Misalnya ada anak diajak bicara/menulis "When I was little we lived in Bandung and I saw butterflies everyday." Di tengah membahas ingatan masa kecil, muncul kata kerja (verb) yang menggunakan Past Tense. Lalu apa bedanya "I saw butterflies" sama "I have seen butterflies"? Penggunaan Past Simple atau Present Perfect ini mengubah makna. Guru harus bisa melihat berapa banyak anak yang benar dan salah dalam penggunaan. Kalau hanya satu atau dua anak, berarti hanya mereka yang perlu dipantau lebih intensif.

Justru bagian "Memories" itu ada di kurikulum supaya guru di program bilingual bisa memantau perkembangan dan kepahaman setiap anak terhadap Verb Tense ini. Kalau ternyata kebanyakan anak masih belum benar dalam penggunaan (misalnya, sudah di Kelas 3), maka guru bisa berusaha untuk memberikan pelajaran yang lebih banyak menggunakan Past Tense ini sehingga anak mendapat masukan yang lebih konkret di dalam konteks tersebut. Ini seringkali dilakukan dengan menggabungkan beberapa pelajaran yang berbeda supaya mengikuti tema yang sama ("thematic approach"). Dengan ini (misalnya, tema adalah "Indonesian History"), kosa kata yang sama akan muncul di beberapa mata pelajaran sehingga lebih mudah dihafalkan.

Kurikulum bilingual seperti ini diciptakan untuk diajar oleh seorang guru bahasa, tentu saja, dan bukan seorang lulusan ekonomi yang asal bisa bahasa Inggris. Bedanya adalah kalau di lain negara seorang guru bahasa akan melihat kurikulum seperti ini dan dia akan mengerti bagaimana caranya mengembangkan kemampuan anak dari berbagi aspek: phonemic awareness, reading comprenension, audio-lingual comprehension, communicative competence, discourse competence, dsb.

Tetapi kalau di sini? Apakah "Guru" anak anda juga mengerti? Atau lebih tepat, apakah guru anak anda mengerti pendidikan bahasa asing? Dan berapa banyak dari semua pelajaran menggunakan L2 setiap hari? Kalau kelas dibagikan supaya misalnya matematika selalu di dalam L2, dst. apakah si guru yang mengajar matematika termasuk orang yang paling mengerti pendidikan bahasa? Atau apakah dia hanya salah satu orang yang sanggup menggunakan bahasa Inggris dan juga mengerti sedikit tentang matematika? Atau apakah dia sangat mengerti matematika dan bahasa Inggrisnya pas-pasan? Dan dampaknya apa terhadap para murid kalau dia mengajar dengan cara yang tidak efektif di dalam bahasa yang kurang tepat? Kalau misalnya dia anggap bahwa murid yang bahasanya salah harus selalu dikoreksi, siapa yang akan membantu anak itu pada saat dia mendapat "low self esteem" (tingkat percaya diri rendah)? Kalau anak selalu merasa tidak mampu, bisa jadi semangat dia untuk belajar akan berkurang.

Dan kalau si anak selalu tidak mengerti apa yang diucapkan oleh guru di SD, bagaimana caranya dia akan memahami ilmu matematika?

Guru kelas sebaiknya sanggup: mengajar dengan tingkat bahasa, kosa kata dan tata bahasa yang dipahami anak ("comprehensible input"), sambil mengajarkan ilmu matematika dan sebagainya ("academic content"), dengan menjaga perkembangan daya pikirnya ("cognitive development"), tanpa lupa mengembangkan L2-nya secara teratur dari sisi tata bahasa dan kosa kata ("language acquisition"), sekaligus membantu anak dengan process "decoding" di L1 (karena decoding di L1 berlangsung terus sampai anak lulus SD, dan juga lebih dari itu: salah satu aspek dari "decoding" adalah Phonemic Awareness), sambil juga membantu dengan "decoding" di L2, dengan sekaligus tidak abaikan "social cultural development" sehingga anak masih merasa bangga dengan bahasa dan budaya orang tuanya, dan juga memantau keadaan psikologisnya supaya gangguan disebabkan pengertian rendah di L2 tidak menimbulkan efek samping seperti gangguan terhadap pengertian di "academic content", yang sesudahnya bisa menyebabkan stres, "low self esteem", atau "negative self image", dsb.

Kalau seandainya guru anak anda adalah seorang lulusan ekonomi dengan pengalaman mengajar hanya satu tahun, yang menggunakan sebuah kurikulum bilingual yang "masih ditulis" (oleh para guru juga barangkali), apakah dia bisa melakukan semua hal ini dengan cara yang terbaik untuk menjaga perkembangan daya pikir, ilmu pengetahuan, dua bahasa, rasa percaya diri dan rasa bangga pada L1nya, budayanya, agamanya, keluarganya dan negaranya? Dan semuanya harus dilakukan di dalam sebuah bahasa asing padahal si guru sendiri siap mengaku bahwa dia tidak lancar.

Dan kalau jawaban anda adalah "Saya tidak yakin!" perlu dipertanyakan lagi tentang kenapa sekolah anak anda begitu mahal? Apa sebenarnya yang mereka tawarkan selain gedung yang mewah dan penggunaan bahasa Inggris yang tidak ada di Sekolah Negeri? Bagaimana anda bisa memastikan bahwa hasilnya akan sesuai dengan harapan anda sebagai orang tua? (Kata pemilik sekolah: "It's a kind of magic!")

PULL OUT PROGRAM: ANAK PAHAM APA DI KELAS?

Untuk anak yang baru dipindahkan dari sekolah yang lain dan langsung "ditenggelamkan" di dalam bahasa Inggris (misalnya di Kelas 2 atau Kelas 3), kemampuan bahasanya pasti sangat rendah. Supaya ilmu pelajarannya tidak ketinggalan, sekolah harus membantu dia meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan secepat mungkin. Salah satu cara yang standar untuk melakukan itu adalah melalui Pull Out Program. Artinya, pada saat anak lain belajar Kesenian, anak2 yang bermasalah ini akan dicabut dan diberikan pelajaran tata bahasa di ruangan yang lain. Pelajaran ini biasanya adalah murni ESL (English as a Second Language) seperti di kursus bahasa dan bukan Language Arts lagi. Ini juga bisa dalam bentuk After School Program sehingga tidak ada pelajaran yang harus ditinggalkan. Kelas ini akan menjadi wajib bagi si anak sehingga kemampuan bahasanya cukup untuk bertahan di kelas. Cara yang ketiga adalah guru ESL masuk kelas, tetapi kalau jumlah anak yang perlu bantuan adalah besar, ini tidak akan efektif.

Kalau di sekolah anak anda, tidak ada program seperti ini, maka orang tua perlu bertanya kenapa. Setiap sekolah bilingual sangat membutuhkan program seperti ini, dan sebaiknya dijalankan oleh seorang guru bahasa, bukan guru kelas biasa yang ingin mendapatkan tambahan gaji (kalau After School, mungkin dibayar Overtime).

Bagi anak yang baru dipindahkan ke sekolah bilingual ini, perlu dipertanyakan: sejauh mana kemampuan dia untuk memahami apa yang terjadi di dalam kelasnya? Kalau kemampuan bahasa dia sangat rendah, kemungkinan besar dia akan duduk dengan diam untuk sebagian besar dari kelasnya pada saat anak yang lain menggunakan L2 (bahasa asing) dan ini akan berlangsung untuk semua kelasnya, kecuali anak yang lain juga menggunakan L1 (bahasa Ibu). Kalau dia berani, mungkin dia akan menggunakan L1 pada saat hampir semua anak yang lain menggunakan L2. Tetapi kalau dia tidak berani, dia akan diam dan merasa malu karena tidak bisa melakukan hal yang dilakukan anak lain: berkomunikasi dalam L2. Dan tentu saja itu bisa menimbulkan rasa stres yang sangat besar. Kalau di sekolah ini juga tidak ada Pull Out Program untuk meningkatkan kemampuan bahasanya, perlu kita tanyakan: anak ini akan dibiarkan menderita seperti ini untuk berapa lama?

Kalau orang tua bertanya kepada pihak sekolah, barangkali mereka akan menjawab dengan enteng: "Ohh tidak perlu kuatir Ibu! Setelah […Ibu memberikan kita puluhan juta rupiah, non-refundable, tentu saja, dan…] anak sudah duduk di kelas untuk beberapa bulan, dia akan menjadi lancar seperti anak yang lain."

Apa begitu mudah menguasai sebuah bahasa asing dalam waktu singkat sehingga bisa mempelajari ilmu akademis? Bagaimana kalau seandainya proses ini jauh lebih rumit daripada yang dijelaskan pemilik sekolah? Bagaimana perasaan seorang anak yang duduk di dalam sebuah kelas, dikelilingi oleh orang yang mengucapkan hal-hal yang membuat semuanya senyum dan ketawa, tetapi yang dia mendengarkan adalah: "Kijnvo vipoj foot ubnrn gperbnf prioeb bicycle fpubl giporbhki kjg PENCIL ugogo oihuirg my gpairbr!!!" HAHAHA, sangat lucu kan? Apakah anda sudah ketawa? Belum ketawa? Tetapi anak yang lain sudah ketawa. Guru ketawa. Anak ini senyum saja karena semua ketawa (dia terbawa dengan suasana). Guru melihat bahwa anak ini senyum dan langsung berpikir "Ohh, anak baru itu mengerti juga. Bagus." Barangkali ini yang anak anda mengalami di kelasnya sepanjang hari setiap hari selama beberapa bulan (untuk kelas yang pakai L2 terus). Barangkali anak yang satu ini diam saja dan berpikir "Saya orang bodoh. Saya tidak bisa paham. Orang lain bisa paham. Saya tidak disayangi guru. Dia tahu saya tidak mengerti. Kenapa di pakai bahasa itu terus?" dan seterusnya.

Bukannya ini merupakan "penggangguan atau penyiksaan emosional dan mental" terhadap seorang anak kecil? Saya pernah menyaksikan hal ini terjadi di dalam sebuah kelas dengan seorang anak yang baru dipindahkan ke sekolah itu. Tidak ada program ESL untuk membantu dia belajar bahasa dengan cepat. Dia benar-benar "ditenggelamkan". Anak ini tidak bisa selesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia selalu harus berbisik dengan teman (pakai L1) untuk bertanya mesti kerjakan apa. Dia tidak langsung bertindak kalau guru memberi perintah. Dia tunggu dulu dan melihat apa yang dilakukan oleh anak yang lain.

Kalau anak anda melewati beberapa bulan seperti ini, karena tidak ada guru profesional di sekolah, tidak ada Pull Out Program, dan kurikulum "masih ditulis", bukannya hal itu berarti bahwa anda telah memberikan izin kepada pihak sekolah untuk melakukan eksperimen bahasa asing terhadap anak anda karena tidak ada program yang formal dan tersusun dengan baik untuk meningkatkan kemampuan bahasanya? Hasil di kelas didasarkan "tebakan" pemilik sekolah tentang bagaimana caranya skil bahasa dan ilmu pengetahuan anak anda akan berkembang. Dan kalau ternyata anak anda tidak sanggup paham untuk berbulan-bulan, dan merasa tertekan, berarti anda telah memberikan izin kepada pihak sekolah untuk "mengganggu atau menyiksa" anak anda secara mental dan emosional, secara tidak sengaja tentu saja, dan anda malah membayar mereka untuk melakukan proses tersebut.

Ini sama halnya kalau seorang tukang jamu yang asal mengambil daun dari pohon mana saja dan bikin minuman. Saat dia memberikan kepada anda, dia justru tertarik untuk melihat efeknya setelah anda minum karena dia tidak tahu sebelumnya.

Sebuah model pendidikan baru: Pendidikan Berbasis Tebakan!

SILENT PERIOD

Memang ada suatu tahap yang dilewati dalam proses mempelajari bahasa yang disebut "silent period" (masa diam). Artinya, seorang anak akan duduk tanpa bicara karena dia sedang melakukan decoding, atau berusaha memahami peraturan bahasa tersebut. "Lho, bukannya itu yang dilakukan oleh anak ini di atas?" Tidak. Dia tidak paham saja. Apa bedanya? Ambil contoh seorang anak yang naturally bilingual: ibu menggunakan bahasa Indonesia, bapak menggunakan bahasa Inggris. Saat teman bapak datang ke rumah, dan mereka berbincang dalam bahasa Inggris, anak duduk dengan tenang, di dalam suasana yang penuh dengan kasih sayang, tanpa diberikan tugas yang berkaitan dengan bahasa itu, tanpa ada paksaan dari siapapun untuk memahami apa pun, berarti ini memang "silent period". Dia sedang mempelajari bahasa, tetapi tidak bakalan merasa "tertekan" kalalu tidak paham. Lain soal di kelas di mana barangkali si "guru" sering mengucapkan: "Ayo Budi, write your sentences, faster, ayo, come on, you are so slow!" Dan barangkali pada saat ini, anak lain ketawa. Bapak di rumah tidak pernah ketawa kalau anaknya diam dan mendengarkan saja tanpa mengerjakan apa saja. Jadi, anak yang banyak diam di kelas memang tetap melakukan decoding, tetapi harus dibedakan antara kapan dia sedang decoding dan kapan dia sedang tidak paham saja.

Kalau pemilik sekolah ingin mengatakan bahwa dia diam terus karena ini "silent period" dan orang tua tidak perlu kuatir, coba mengetes teori ini. Taruh anak di depan TV dan suruh dia nonton berita dalam bahasa Cina di Metro TV (dengan asumsi bahasa Cinanya nol). Suruh di tonton dan sesudahnya memberikan tes 10 pertanyaan: "Presiden membuat perjanjian apa minggu ini?" Dan seterusnya. Apakah anak sanggup jawab? Dia hanya diam terus pada saat nonton dan sepertinya tidak paham apa-apa. Apakah ini silent period? Atau tidak paham saja? Coba diulangi setiap hari untuk 3 bulan. Berikan tes terus. Masih tidak sanggup menjawab? Apakah berarti "silent period" terus? Atau barangkali dia tidak paham terus karena tidak ada yang mengajarkan bahasa Cina kepadanya!

Tetapi barangkali ada kemungkinan bahwa dia bisa menjadi paham secara tiba-tiba kalau anda mengucapkan: "Kita punya TV bilingual lho!" Kali 1000.

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian  5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Appendix
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

07 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 1/5

Assalamu'alaikum wr.wb. Artikel ini saya pecahkan menjadi 5 Bagian karena isinya cukup panjang. Semoga informasi ini menjadi bermanfaat untuk para orang tua, anak, dan masa depan bangsa. Saya sudah berusaha untuk menyingkat komentar saya, tetapi saya khawatir kalau begitu, malah banyak orang tua akan mengirim email dan bertanya tentang apa yang saya maksudkan. Setelah membaca ini, insya Allah, tidak akan ada yang perlu ditanyakan kepada saya karena sudah cukup jelas. Terima kasih atas waktu anda untuk membacanya.

Di bagian pertama ini, terdapat banyak istilah yang digunakan guru bahasa dan jurnal/buku yang membahas pendidikan bahasa. Saya sengaja menggunakannya sehingga orang tua yang ingin belajar lagi di internet, atau mencari buku tentang topik ini bisa menjadi biasa dengan istilah2 tersebut. Bila sulit dipahami, mohon dibaca secara pelan saja, kalimat demi kalimat. Insya Allah landasan teori pendidikan bahasa ini (walaupun secara ringkas saja) akan bermanfaat nanti.

PROGRAM IMMERSION 

Sekolah manapun yang menamakan diri "bilingual" sebaiknya memiliki program yang tepat untuk mewujudkan dua bahasa pada saat yang sama. Di sini, barangkali ada sekolah yang berusaha melakukan ini dengan cara "Full Immersion" di mana anak "ditenggelamkan" di dalam sebuah bahasa sepanjang hari. Ada juga sekolah yang melakukan Semi-Immersion, di mana bahasa ibu juga boleh digunakan lebih banyak dibandingkan Full Immersion. Sebenarnya, tipe program Immersion dan arti daripada istilah "bilingual program" ada beberapa variasi, jadi kita harus menentukan yang mana yang dimaksudkan. Ada Early Immersion, Middle Immersion, Late Immersion, dan tingkat penggunaan masing-masing bahasa, 20-80 / 50-50 / 80-20, tergantung sekolahnya.

Sekolah yang menggunakan sistem "Full Immersion" di luar negeri seringkali hanya menunjuk satu kelas di dalam sekolah dan bukan seluruh sekolah (ada juga yang seluruh sekolah). Hal ini disebabkan ada anak yang "drop out" karena tidak sanggup tahan pelajaran di dalam sebuah bahasa asing. Di mancanegara, sudah ada banyak hasil riset mengenai kelas Full Immersion ini, dan memang ada beberapa masalah yang bisa muncul kalau Full Immersion atau Semi Immersion tidak dilakukan dengan benar. Seorang anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa asing bisa mendapatkan bantuan khusus di kelas, atau bisa pindah kelas, tetapi di Indonesia, harus pindah sekolah. Dan di sini, kalau uang pangkal puluhan juta adalah non-refundable, apakah orang tua akan siap memindahkan anaknya? Atau membujuknya untuk bertahan? Mungkin dia bisa berhasil bertahan, dan nanti ada kemungkinan bahasa dia berkembang dengan secukupnya untuk bertahan saja, dengan risiko dia tidak mau mendalami tata bahasa yang rumit, karena yang penting di hatinya dari masa awal di sekolah hanya bertahan saja karena dipaksakan orang tua (ada motivasi ekstrinsik, dari luar, dan bukan intrinsik, dari dalam).

Dengan begitu banyak variasi sistem sekolah bilingual di luar negeri, ada terlalu banyak pilihan. Banyak sekolah (terutama di Kanada) mulai dengan langsung "tenggelamkan" anak dari TK sampai Kelas 2. Yang namanya "guru" di kelas ini, tentu saja seorang guru yang berkualifikasi dan terlatih dengan cara2 mengembangkan bahasa kedua (L2) untuk anak kecil ini. Si anak akan tetap menggunakan bahasa Ibunya (L1), tetapi guru selalu memberikan tanggapan dengan bahasa asingnya (L2). Lewat waktu berbulan2 sampai bertahun2, anak mulai mengerti bahasa asing ini karena memang tidak ada pilihan. Guru tidak pernah menggunakan bahasa selain bahasa asingnya. Dan tentu saja suasana di kelas sangat "child-friendly", "child-centered", dan jauh dari tekanan atau pemojokan.

Mulai dari Kelas 2 ke atas (kalau ini Early Immersion), ada program Language Arts untuk bahasa Ibu (L1) yang tidak ada sebelumnya. Dengan sistem seperti ini, anak akan mulai belajar membaca dan menulis di dalam bahasa asing (L2) sebelum bahasa Ibunya (L1). Oleh karena itu, sering terjadi bahwa kemampuan akademis anak ini berkembang dengan pelan dibandingkan dengan anak di sekolah biasa. Setelah beberapa tahun, perbedaan ini hilang dan anak menjadi sama dengan anak lain yang hanya belajar di L1nya.

Di Kelas 5 dan 6, ada kemungkinan kelas2 yang menggunakan L2 hanya tinggal 50% dan sampai ke SMA, pelajaran yang menggunakan L2 barangkali tinggal 20% saja. Persentase penggunaan ini bervariasi dari sekolah ke sekolah dan wilayah ke wilayah. Intinya, anak yang mulai menggunakan L2 langsung dari TK, sudah berubah dan menggunakan L1 untuk kebanyakan mata pelajaran di SMP dan SMA. Kalau di Late Immersion, menjadi sebaliknya: anak menggunakan L1 terus sampai Kelas 6-8, dengan hanya 20% L2, lalu berubah sehingga di tahun terakhir SMA menggunakan 50-50% atau juga bisa 80% L2 dan hanya 20% L1.

Ini sekedar sedikit informasi standar tentang bentuk program bilingual yang ada di mancanegara. Yang membuat saya khawatir tentang program bilingual di sini adalah kesan bahwa terlalu banyak sekolah swasta (terutama yang kecil dan baru) tidak menjalankan program bilingual dengan cara yang sama. Saya sering mendapat kesan bahwa di sini ada sistem baru. Di TK, guru menggunakan L2 sebanyak mungkin dan masih menggunakan L1 juga, berarti Semi Immersion. Naik ke SD, L2 menjadi bahasa utama dan digunakan secara acak oleh guru, karena tidak ditentukan pelajaran yang mana yang menggunakan bahasa apa. Dengan demikian, tidak ada kontrol terhadap jumlah bahasa L1 dan L2 yang digunakan. Berarti ini jatuhnya antara Semi dan Full Immersion.

Naik ke SMP dan SMA, barangkali hampir semua pelajaran mengutamakan L2 dengan hanya kelas bahasa Indonesia (dan mungkin kelas agama) yang menggunakan L1, berarti mendekati model Sekolah Internasional. Kalau ada sebagian atau banyak sekolah seperti ini di Indonesia, berarti ini sebuah model sekolah bilingual baru dan mungkin belum ada riset yang membuktikan dampak baik dan buruknya.

BAHASA IBU

Kalau seandainya bahasa Ibu (L1) tidak dikembangkan dengan baik, dan bahasa asing (L2) diutamakan dengan cara yang kurang tepat, maka bisa terjadi beberapa dampak negatif, yang barangkali tidak akan dibahas dengan para calon orang tua (calon "customer" yang akan menyumbang puluhan sampai ratusan juta rupiah pada pihak sekolah). Satu contoh adalah bahasa Ibu (L1) menjadi kurang lancar dan itu juga memberikan dampak terhadap sosialisasi dengan keluarga besar. Juga bisa terjadi anak menganggap bahasa dan budaya dari orang tuanya adalah "rendah" karena mulai dari TK, dia sudah dibiasakan dengan bahasa asing itu selalu diutamakan di sekolah.

Kalau sebuah sekolah ingin menjalankan satu kelas atau seluruh sekolah dengan sistem Semi atau Full Immersion, maka tentu saja itu kembali pada kurikulum yang disusun sedemikian rupa untuk menjaga bahasa Ibunya, dan juga untuk memastikan bahwa bahasa asingnya berkembang dengan benar.

Sebagai salah satu contoh dari masalah yang bisa muncul, bisa ada seorang anak yang selalu tidak selesaikan tugas dengan cepat, lalu sering ditegur oleh guru, lalu dianggap sebagai pemalas, dan akhirnya dia menjadi anak "nakal" di kelas. Setelah diperiksa, ternyata dia kurang paham apa yang dijelaskan oleh gurunya di dalam bahasa asing dan hal itu membuatnya stres. Stres itu keluar sebagai sikap "tidak mau nurut". Ada juga anak yang terlalu banyak diam dengan alasan yang sama. Kekurangannya di dalam menggunakan bahasa asing ini akan mempengaruhi pergaulan sosialnya, dan juga rasa percaya diri.

Untuk memahami pelajaran di kelas, anak harus membentuk "communicative competence" atau mungkin hanya "proficiency" pada tingkat dasar, sehingga dia mampu berkomunikasi. Untuk mencapai kemampuan ini, dia harus melakukan "decoding" yang berarti anak harus berusaha untuk mengerti "peraturan bahasa" itu sehingga sanggup membentuk kalimat sendiri dan memahami kalimat dari orang lain. Kalau dia belum berhasil dengan proses ini, dan kalau seandainya bahasa Ibu tidak boleh digunakan, dampaknya bisa cukup negatif terhadap si anak. Setiap sekolah membuat peraturan sendiri2 tentang bagaimana guru sebaiknya tanggapi anak yang selalu ingin menggunakan L1nya, padahal sekolah ingin membujuk dia menggunakan L2. Ada cara yang baik untuk membujuknya seperti memberikan semangat sambil senyum, dan ada cara yang buruk seperti menggunakan "punishment system" (sistem hukuman) yang berarti setiap kali anak menggunakan L1 dia akan kena sanksi tertentu. Kalau cara buruk digunakan, anak bisa mengambil kesimpulan bahwa bahasa ibunya adalah bahasa yang tidak dihargai.

NATURALLY BILINGUAL

Ada anak yang menjadi "naturally bilingual" (bilingual secara alamiah) karena orang tua menggunakan dua bahasa di rumah (kedua bahasa itu dihitung L1). Anak ini memang lebih mudah belajar dua bahasa sekaligus di usia kecil (1,5 tahun sampai dengan 5 tahun) dengan alasan dia akan mengikuti ucapan orang tua saja. Dia menganggap dua bahasa itu normal. Anak ini akan bereksperimen dengan dua bahasa tersebut dengan cara mencampurinya (ini disebut "code switching"). Setelah sekian tahun (sebelum TK), anak ini akan sanggup menggunakan kedua bahasa itu, karena memang sudah terbiasa begitu dari lahir.

Ini agak berbeda dengan seorang anak yang masuk TK di mana kemampuan bahasa ibunya sudah maju jauh dan dia sudah mulai melakukan "decoding" (berusaha memahami peraturan bahasa) terhadap bahasa ibu itu (L1). Kemudian, guru di sekolah memaksakan dia (dengan cara yang baik atau tidak baik) untuk berfokus lagi pada sebuah bahasa baru (L2), yang juga membutuhkan proses decoding, padahal dia belum selesai decoding dengan bahasa ibunya. Pada saat yang sama, barangkali dia diwajibkan belajar membaca dan menulis di dalam dua bahasa sekaligus, oleh orang yang belum tentu mengerti cara mengajar bahasa apa pun. (Ini membicarakan proses untuk anak di kelas formal, dan bukan anak yang menjadi "naturally bilingual" karena prosesnya berbeda). Kalau di luar negeri, di kelas Full Immersion, anak hanya mendapatkan L2 dan belajar membaca dan menulis hanya di dalam L2. Tetapi yang pernah saya lihat di sini adalah anak harus melakukan kedua hal yang rumit ini (membaca dan menulis) di dalam dua bahasa sekaligus. Anak ini bukan anak yang mendapatkan dua bahasa di rumah secara alamiah. Anak ini bukan anak yang "naturally bilingual".

Apakah orang tua bisa memahami kenapa ada anak yang mengalami stres? [Kata Pemilik Sekolah: "Oh, tidak Ibu, tidak ada stres di sini. Kita sekolah bilingual lho!" (Kali 1000).]

Justru ada sebagian dari riset yang membuktikan bahwa anak yang membentuk satu bahasa terlebih dahulu sudah memiliki skil untuk mempelajari bahasa yang lain. (Salah satu ahli yang berpendapat seperti ini adalah Professor Wong Fillmore). Anak sudah pernah melakukan "decoding". Dia sudah bisa membaca dan menulis, berarti dia bisa menggunakan kamus bilingual dan monolingual. Dia sudah percaya diri karena sudah berpengalaman beberapa tahun menulis cerpen dan sebagainya di dalam bahasa ibunya. Dan dia merasa bangga dengan bahasa ibunya dan budayanya, yang memberikan dampak sosial yang sangat positif kepadanya.

Di sini, perlu dijelaskan bahwa ada dua kubu yang mengemukakan riset yang agak bertentangan. Ada yang menyatakan bahwa "tenggelam" di dalam L2 di TK tidak apa-apa dan justru baik untuk anak, dan ada yang sebaliknya yang menyatakan bahwa Full Immersion ini bisa menimbulkan berbagai macam masalah. Di kalangan guru bahasa, ahli linguistik dan ahli pendidikan, persoalan ini masih seperti perkara "mazhab" – tergantung kita mau percaya pada teori/ riset/ ahli yang mana.

KURIKULUM LANGUAGE ARTS

Saat saya memeriksa kurikulum di sebuah sekolah swasta, saya langsung menyadari bahwa kurikulum yang digunakan oleh sekolah adalah kurikulum yang diambil langsung dari sebuah negara barat: kurikulum untuk Native Speaker of English, dan bukan kurikulum bilingual untuk anak di lain negara yang belum tahu bahasa Inggris. Saran saya untuk menyusun kurikulum baru yang sengaja dibuat untuk anak Non-Native Speaker, langsung ditolak oleh pemilik sekolah. Kurikulum untuk Native Speaker harus digunakan karena sudah dibeli dari negara barat itu dan akan dijual lagi ke para pembeli franchise. Kebutuhan anak "A", kebutuhan bisnis "B". Dan "B" menang.

Saya yakin kurikulum itu tidak akan bisa berhasil di sini karena keadaan yang digambarkan di atas di mana anak masuk Immersion dari TK dan keluar sebagai anak bilingual, sangat tergantung pada adanya kurikulum yang tepat dan guru bahasa yang terlatih dan lancar di L2 itu. Apakah di sekolah anak anda ada banyak guru bahasa yang berkualifikasi, terlatih dan lancar dalam bahasa Inggris?

Sebagian besar orang tua barangkali tidak bisa membedakan antara kedua kurikulum tersebut. Sebagai contoh sederhana, coba ingat masa sekolah anda sendiri. Apakah pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, anda belajar tentang cara menyusun cerita? Membuat puisi? Membaca sebuah buku kemudian membuat laporan tentang buku tersebut? Kalau iya, berarti itu kurikulum "Language Arts" untuk orang yang memang Native Speaker dari bahasa tersebut, dan sangat kecil porsinya yang terfokus pada meningkatkan kemampuan bahasanya dari sisi tata bahasa, kosa kata, atau perbaikan logat. Semua itu, rata-rata meningkat sendiri karena ini memang bahasa Ibu anda yang digunakan sehari-hari.

Apakah guru Bahasa Indonesia anda sering memberikan pelajaran tentang logat yang benar? Kalau tidak, berarti anda memang Native Speaker of Indonesian dan anda sudah mendapatkan bahasa ibu anda, termasuk logat yang benar, dari umur 1-5 tahun (dengan asumsi bahwa bahasa ibu anda, atau L1, adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Jawa, dll.). Berarti anda bisa mempelajari "Language Arts" pada saat masuk kelas bahasa Indonesia. Lain halnya kalau ada mau belajar bahasa Inggris, bahasa Mandarin atau bahasa Perancis mulai dari nol. Tantangannya sangat berbeda. Apalagi kalau "guru" anak anda tidak memiliki kualifikasi atau pengalaman sebagai guru, dan dia juga tidak lancar di dalam bahasa Inggris itu, dan dia sendiri lebih senang menggunakan bahasa Indonesia kalau bisa. Barangkali menggunakan bahasa Inggris setiap hari juga bikin dia "pusing" karena tidak biasa.


[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Appendix
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

16 February, 2007

Balasan Email Tentang Sekolah 2

Assalamu’alaikum wr.wb.,

{deleted}

{>>Kalau gaji guru rendah, kualitas guru juga bakalan rendah. Guru asing mungkin ditampilkan sewaktu-waktu saja supaya orang tua mau bayar mahal.}

Saya kurang faham, mengapa gaji guru bisa rendah ya Pak? Bukankah kami orang tua membayar mahal? Apa karena sekolah didirikan berorientasi profit itu ya Pak?

Sebenarnya bagaimana di luar negeri? Yang namanya menjalankan bisnis, tentunya harus ada profit.. Kalau tidak, bagaimana bisa berjalan?

Ya, karena hampir semua sekolah ini mengejar profit. Orang tua bayar mahal dan anggota yayasan mengucapkan terimakasih, dan beli Mercedes baru. Di Australia, gaji guru di sekolah swasta sangat tinggi. Dan ada saingan besar untuk masuk karena gaji, fasilitas dan benefit lain untuk guru sangat banyak. Di sekolah negeri pun tidak terlalu buruk, dan gaji guru tetap bagus. Guru dihitung sebagai professional, sama dengan dokter, pengacara dsb.

Lembaganya bukan Lembaga itu, Pak Gene, tetapi (*nama lembaga dihapus atas permintaan pengirim*) Saya lupa persisnya.. Kalau nggak salah dia ada latar belakang linguistik, tetapi saya lupa juga persisnya.. Sebenarnya yang saya sasar adalah anak saya berinteraksi langsung dengan native speaker.. Apa tetap penting bahwa native speaker tersebut seorang guru ya Pak?

Ilmu linguistic dan ilmu pendidikan berbeda. Ahli lingistik belajar bahasa dan bagaimana bahasa itu terbentuk dan berkembang, dsb. Guru bahasa belajar bagaimana caranya mengajarkan bahasa asing kepada anak kecil dengan hasil yang baik.

Anak kecil (dan orang dewasa yang awam) TIDAK membutuhkan native speaker. Ini hanya trik marketing sekolah supaya mereka bisa pasang biaya yang tinggi (“Kita ada bule, lho! Kita sekolah bilingual!”) Bukannya tidak boleh, hanya saja tidak dibutuhkan. Kalau anak/dewasa belum sampai ke tahap yang mahir, native speaker untuk bahasa apa pun tidak perlu. Cukup guru lokal dengan bahasa Inggris yang cukup bagus (dan ada banyak guru seperti itu).

Coba berfikir begini: ada sekolah minta biaya tinggi dan menyatakan “Guru Iqro kita Dr.Quraisy Shihab. Dia mengajar Iqra 1 di TK!” Apakah kira kira anak Iqra 1 membutuhkan Quraisy Shihab? Apakah anak SMA pun bisa mengikuti dan memahami ilmu tafsir Pak Quraisy? Kalau sekolah memang mendapat seorang ahli untuk mengajar anak, rata-rata bukan karena perlu tetapi supaya sekolah bisa bergengsi dan pamer, dan supaya mereka menuntut biaya yang tinggi.

Hasil tes IQ (entah ini valid atau tidak) memang menunjukkan bahwa anak saya memiliki kecerdasarn di atas rata-rata. Saya diskusi dengan gurunya di (Sekolah), menurut gurunya sepertinya anak saya memang sangat cerdas, terutama untuk Matematika dan Sains..

Kecerdasan di atas rata2 pada umur 5 tahun tidak begitu menunjukkan apa apa. Dan tidak berarti dia bisa bertahan kalau umurnya 10 tahun dan dia telah diejek selama 4 tahun karena berbadan kecil. Dampak psikologis masa depan tidak bisa ditentukan.

Dia bisa masuk SD sekarang dan menjadi anak biasa, atau bisa masuk SD tahun depan dan menjadi anak paling pintar di kelas. Bagusan yang mana?

Dan sejauh ini dia bisa bergaul dengan baik dengan teman-temannya, meskipun secara fisik dia lebih kecil.. Ada juga teman2nya yang seumur dia (sama-sama masuk SD lebih cepat). Dia tipenya senang memimpin, suka mengatur, perfeksionis.. Mudah-mudahan sikap2 ini bisa membantu dia survive..

Sikap keras anak terhadap anak lain yang umur lebih mudah hanya muncul pada umur sekitar 8-12 tahun. Untuk anak anda pada saat ini, umur belum mengganggu. Di sekolah, semua orang dianggap teman main. Nanti pada umur 9 tahun, teman yang berumur 10 tahun itu bisa berubah sikapnya.

Untuk PR, memang di (Sekolah ***) tidak ada PR. Tapi tes.. Ya, benar, ini kadang-kadang membuat dia sedikit tertekan..

Baru umur 6 tahun, sudah tertekan di sekolah. Apalagi nanti di SMP dan SMA.

Kasihan.

Ada titipan pertanyaan dari teman-teman..

Bagaimana dengan sekolah swasta non Islam [Nama sekolah dihapus], dll?

Apakah sistem pendidikan di sana cukup baik?

Menurut saya, tidak. Kedua sekolah swasta ini punya masalah yang sama dengan sekolah swasta yang lain. Saya sempat kerja di sekolah pertama selama 7 bulan dan di sekolah kedua selama 3 bulan.

Cerita di artikel pertama saya tentang sekolah di mana guru yang menyusun program bahasa Inggris tetapi dia adalah mantan DJ dari Inggris, itu dari sekolah kedua. Dan “program” bahasa Inggris yang mereka gunakan (bernama “Spalding”) diciptakan di Amerika mulai pada tahun 1950an. Program ini hanya sebuah program “phonics” yang sekarang sudah tua dan bukan sebuah program untuk membentuk kelas bilingual. Program ini terlalu terfokus pada memaksakan anak menulis dengan rapi, padahal seharusnya hal itu tidak menjadi fokus di kelas bahasa. Program ini juga sangat terfokus pada guru dan bukan “student-centered”. Pada saat saya menyaksikan pelaksanaannya, saya menjadi heran bahwa anak2 yang belum bisa menulis di dalam bahasa Indonesia, justru dipaksakan untuk belajar menulis di dalam bahasa Inggris. Tentu saja hal ini membingungkan karena ucapan “Ca” di dalam bahasa Inggris berbeda dengan “Ca” di dalam bahasa Indonesia. Kenapa anak2 tidak diajar untuk menulis dulu di dalam bahasa yang sudah mereka pahami (Indonesia), dan sesudahnya akan menjadi mudah mengajarkan mereka menulis dengan ejaan bahasa asing, karena mereka sudah bisa menulis.

Di kelas2 yang saya saksikan, anak2 dipaksakan mempelajari dua hal yang sangat rumit pada saat yang sama: belajar menulis, dan belajar bahasa Inggris (pada saat menulis). Bukannya ini mempersulit tugas mereka?

Di sekolah kedua saya diminta langsung mengajar di kelas padahal kurikulum untuk kelas bilingual tidak ada. Saya tidak menemukan pengurus sekolah satupun yang mengerti sistem bilingual seharusnya seperti apa. Sikap mereka sepertinya: bule masuk kelas = anak menjadi bilingual. Padahal sama sekali tidak semudah itu. Kalau memang semudah itu, waktu saya sia-sia mempelajari pendidikan bahasa selama 15 tahun. Cukup ada Native masuk kelas, problem selesai. Masa begitu?

Di sekolah pertama, managemen sekolah termasuk yang paling buruk yang pernah saya temukan. Saya dinyatakan “tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah. Dia ikut mengatur segala sesuatu di dalam sekolah dan hal itu membuat guru pusing dan sulit bekerja dengan baik. Saat saya ada di sekolah itu, Executive Principal ganti 2 kali dalam 2 tahun karena tidak ada yang tahan kerja di sana. (Principal kedua sampai masuk rumah sakit karena kena stress!)

Saya sungguh sangat kecewa dengan sebuah sekolah yang dibuat begitu kacau oleh seorang pengusaha yang mengejar profit di atas segala-segala, dan mengatur sekolah sendiri seakan-akan dia memliki gelar PhD di bidang pendidikan, padahal gelar dia MBA (Business).

Pada saat saya kerja di sana, saya pernah membuat tes bahasa Inggris untuk para murid untuk mengukur kemajuannya. Ada seorang ahli kurikulum yang membuat tes Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan (dengan tingkatnya: mudah). Hasil tes adalah: mayoritas dari anak2 di sekolah gagal dengan nilai yang rendah sekali di empat mata pelajaran itu. Saya diberitahu bahwa hasil tes itu dirahasiakan supaya orang tua tidak bisa tahu. Berarti saya tidak ada bukti sama sekali bahwa tes tersebut pernah diberikan kepada anak-anak karena saya tidak mendapatkan hasilnya (saya sudah mengundurkan diri), dan orang tua tentu saja tidak pernah melihatnya. Hanya ada perkatan dari orang itu yang membuat tesnya bahwa anak2 gagal.

Pada saat saya mengusulkan anak2 membuat “mural” (lukisan besar yang mengisi tembok) yang sering sekali ada di sekolah di manca negara, sikap managemen sekolah adalah: jangan, nanti tembok bisa rusak. Setahu saya cet tembok tidak bisa merusak tembok (??). Lalu pemilik sekolah mendapat seorang pelukis/seniman untuk membuat lukisan besar dengan harga mahal sekali. Lukisan itu masih tergantung di lobi sekolah. Kesenian dari anak tidak perlu, lebih baik ada lukisan professional yang membuat pemilik sekolah merasa bangga dan bergensi. Justru di luar negeri, “mural” itu dibuat oleh anak2 supaya mereka ada rasa “kepemilikan” di sekolah. Tetapi di sekolah itu, anak2 diberi rasa “bertamu” di sekolah milik seorang pengusaha. (Jangan menyentuh luksian mahal ini ya!)

Satu contoh lagi: pada saat Hari Olahraga, pemilik sekolah memberitahu guru bahwa anak2 tidak boleh kalah: semua harus menang dan mendapat piagam. Guru berprotes karena ini tidak duniawi. Anak harus belajar untuk menerima kekalahan dengan lapang dada. Dan tempat yang benar untuk belajar hal itu adalah di sekolah. (Untuk anak TK boleh kalau semua menang untuk menjaga perasaan mereka. Untuk anak SD sudah tidak cocok lagi.) Lomba lari diadakan. Semua dinyatakan menang sebelum ikut lomba. Ternyata anak2 tidak begitu semangat lari karena apapun yang terjadi, mereka semua dinyatakan menang.

Setelah selesai, ada seorang ibu datang:

“Anak saya lupa daftar untuk lomba lari. Ulangi lagi dong”

“Tidak bisa Bu, sudah selesai,” kata guru.

“Awas, pemilik sekolah teman saya! Saya telfon dia ya!”

“Telfon saja.”

Dia telfon, dan pemilik sekolah datang dan menyuruh guru mengulangi lomba lari untuk anak temannya itu. (Seharusnya pemilik sekolah membela guru yang benar, bukan teman gaulnya). Anak2 yang lain dibujuk untuk lari lagi dan mereka berprotes “Buat apa??” Diadakan lagi lomba lari, dan anak baru itu dinyatakan “menang” sama dengan semua anak yang lain, yang sekarang sudah jenuh.

Untuk urusan lomba lari saja, pemilik sekolah yang tidak mengerti pendidikan ikut campur dan memaksa semua orang menuruti kehendak dia.

Apalagi di dalam urusan pendidikan!!

Selama 7 bulan di sekolah itu, hampir setiap minggu ada kasus yang membuat saya gelengkan kepala. Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat berhati-hati kalau ingin memasukkan anaknya ke sana. Saya sangat kuatir terhadap masa depan anak yang menjadi lulusan sekolah itu. Kalau orang tua merasa yakin dengan sistem sekolah dan komentar dari pengusaha yang menjadi pemilik sekolah, silahkan saja. Saya sebagai seorang guru tidak pernah ingin sekolahkan anak saya di sana.

Apakah lebih baik menyekolahkan anak ke sekolah swasta non Islam?

Sebenarnya pertimbangan saya, mengingat pergaulan sekarang sangat jauh dari nilai-nilai Islam, lebih baik anak-anak sekolah di sekolah Islam sehingga mereka mantap dengan nilai-nilai Islam, aspek pendidikan lain Insya Allah juga tidak terlalu buruk..

Setuju.

Akan tetapi jika aspek pendidikan keilmuannya justru yang penting, apa malah sebaiknya nilai-nilai Islam dicoba ditanamkan di rumah saja?

Sekolah Islam saja. Masih ada sebagian (besar/kecil?) dari guru di sekolah Islam yang sangat bagus, cuma orang tua harus waspada saja terhadap managemen sekolah.

Jika saya tetap menyekolahkan anak saya di [Sekolah Islam ***] (terlepas dari masalah dia terlalu cepat masuk SD), hal-hal apa yang harus saya lakukan untuk "mengisi kekurangan" akibat ketidaksempurnaan sistem pendidikan di [Sekolah Islam ***]?

Memantau saja dan mengulangi sebagian pelajaran di rumah untuk memastikan anak benar-benar paham. Tetapi jangan terlalu banyak karena nanti anak menjadi jenuh.

Demikian pertanyaan lanjutan dari saya Pak Gene..

Semoga Bapak masih bersedia menjawab.. :-)

Masih.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr wb.,

Gene



Balasan Email Tentang Sekolah 1


Assalamu’alaikum wr.wb.,

{paragraf pertama deleted, karena tidak penting}

Sekolah kedua (*nama sekolah dihapus atas permintaan pengirim* di Cibubur, apa Bapak pernah ke sana?), agak lumayan, gurunya cukup mengerti pendekatan kepada anak kecil.. Hanya ada masalah manajemen. Guru sering sekali berganti-ganti karena keluar.

Selain itu, sebenarnya tawarannya adalah bilingual, tapi pronounciation B. Inggris gurunya jauh sekali dari baik.

Saya pernah dengar tapi belum ke sana. Masalah managemen sudah cukup untuk merusak kinerja sekolah. Bahwa guru sering keluar seharusnya membuat kita kuatir terhadap kualitas pendidikan.

Sekolah yang ketiga (*nama sekolah dihapus atas permintaan pengirim* Sekolah Islam di Jakarta Selatan) sepertinya lebih baik.

Kerja sama dengan Al Azhar Mesir & Victoria Islamic School Australia (dari brosurnya).

Anak SD ditarget hafal Al Qur'an 16 juz.Saya awalnya percaya bahwa hal itu mungkin, karena di Mesir memang begitu. Jika gurunya orang Mesir, mungkin akan lebih efektif.

Ada anak teman di sekolah itu juga. Dari awalnya sekolah itu, kelihatan bahwa mereka tidak mengerti pendidikan. Didirikan dengan uang yang sangat minim. Saya diminta membantu mereka menulis kurikulum tanpa dibayar (karena kita sama2 orang Islam, jadi saya harus bantu dengan ikhlas, katanya). Akhirnya, guru sekolah yang bikin, dan sebagian dari mereka bukan guru.

Kurikulum diambil dari 5 lokasi (berapa negara?) dan dipadukan. Itu seperti memperbaiki mesin mobil Mercedes, dengan mengunakan onderdil dari 5 mobil yang lain (Kijang, Honda CRV, BMW, Volvo, dan Extrail). Apa kalau begitu kinerja mesin bisa bagus? Yang namanya kurikulum pasti berbeda di setiap negara karena kebutuhan dari sistem pendidikan beda di setiap negara.

Saya pernah ngecek dengan baca di internet: Al Azhar di Mesir ada tingkat drop out yang tinggi karena anak Arab itu tidak tahan kalau harus hafalkan al Qur'an di tingkat SD. Ada yang bisa, ada banyak yang tidak sanggup. Kalau mereka yang lancar bahasa Arab tidak bisa, kenapa anak sini diwajibkan begitu?

Terus, manfaat menghafalkan 16 juz pada umur 12 apa? Apakah ada riset yang membuktikan bahwa semua anak itu masih menghafal semuanya pada umur 30 tahun? Kalau 80% dari anak itu sudah lupa banyak dari hafalan pada usia dewasa, berarti mereka hanya makan banyak waktu di masa SD yang juga bisa digunakan untuk belajar hal yang lain: menjadi pemimpin, percaya diri, belajar bahasa Inggris, matematika, ilmu pengetahuan, berolahraga, membaca banyak buku untuk mendapat wawasan yang luas, lakukan bakti social, bermain saja, dsb.

Daripada kerjakan semua itu, anak2 diwajibkan duduk dan menghafalkan kata-kata dalam sebuah bahasa asing. Manfaatnya apa? Selain pahala, tentu saja. Manfaat pendidikannya apa dan mana riset yang membuktikan bahwa manfaat tersebut memang membantu proses pendidikannya dan masa depannya?

Akan tetapi, ternyata guru yang orang Mesir tidak setiap kali ada. Guru tahfizh nya adalah guru lokal, yang kadang2 tidak hafal juga.

Kalau gaji guru rendah, kualitas guru juga bakalan rendah. Mungkin guru asing ditampilkan sewaktu-waktu saja supaya orang tua mau bayar mahal.

Guru B. Inggris bukan dari Victoria itu, tetapi dari lembaga B. Inggris di Tebet.

Kalau begitu barangkali dia dari sebuah lembaga bahasa inggris di Tebet. Kalau dia memang dari lembaga itu, kemungkinan besar (90%) dia bukan guru bahasa inggris juga tapi “backpacker” atau orang biasa yang mendapat pekerjaan di lembaga itu untuk sementara. Karena setahu saya, mayoritas dari guru di lembaga itu adalah orang seperti itu, tanpa gelar pendidikan. Yang penting dia punya hidung mancung dan kulit putih karena hanya itu yang dilihat para orang tua. Pasti belum pernah ada orang tua yang ketemu kepala sekolah dan minta melihat kualifikasi si bule. Mereka hanya melihat bule dan merasa puas.

Terus terang saya sedikit merasa tertipu, tetapi sejauh ini tidak ada pilihan lain.

“Selamat datang dia dunia pendidikan swasta Jakarta!!”

Pertanyaannya :

1. Menurut Pak Gene, di antara sekolah Islam Indonesia yang jelek itu, mana yang paling kurang jeleknya?

Saya tidak bisa memberi rekomendasi terhadap sekolah Islam satupun pada saat ini. Masing-masing ada kebaikannya dan juga kekurangannya, dan belum banyak sekolah yang telah saya selediki secara mendalam, sehingga saya tidak tahu secara terinci sekolah itu seperti apa.

Kalau saya punya anak dan terpaksa memilih sebuah sekolah, saya akan tetap sekolahkan mereka di sebuah sekolah Islam yang dekat dengan rumah, karena dengan demikian mereka mendapatkan pergaulan yang Islmaiah dan ada sebagian (besar atau kecil?) dari guru2 di sekolah Islam yang bagus sekali. Saya sering mendengar tentang masalah dengan yayasan sekolah2 Islam di DKI dan perpecahan yang terjadi di dalam jaringan sekolahnya. Sayang sekali semua sekolah ini tidak bisa dijaga kualitasnya dengan cara yang lebih baik untuk kepentingan masa depan bangsa. Saya merasa sangat prihatin dengan keadaan para orang tua yang tidak ada pilihan yang baik untuk sekolahkan anaknya. Karena para orang tua tidak bisa mempengaruhi yayasan, saya tidak melihat solusi selain dari membangun sekolah Islam yang baru.

Ada [sebuah sekolah Islam di Jakarta Selatan]. Di sekolah itu lingkungan sekolah sangat bagus (hanya saja kelas tidak menggunakan AC), dan perpustakaan bagus sekali, termasuk yang terbaik di DKI menurut saya. Tetapi waktu saya ke sana, saya tidak melihat kurikulum dan tidak bicara dengan para guru (karena guru paling tahu kualitas sekolah, dan biasanya lebih jujur tentang hal itu daripada pemilik sekolah). Jadi, saya tidak bisa memberi jaminan bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu setara dengan kualitas bangunannya. Saya ada niat melamar untuk masuk sekolah itu pada waktu itu karena sering mendengar nama sekolah dari orang lain dan saya melihat sekolah mempunyai lingkungan yang baik. Tetapi kepala sekolah menawarkan saya gaji yang sangat rendah (untuk guru asing), dan saya tidak boleh membahas maslah itu langsung dengan yayasan: harus terima gaji rendah dulu, baru boleh ketemu dengan yayasan. Saya tolak. Setelah sekian bulan, saya minta tolong kepada seorang kenalan untuk melamar langsung pada anggota yayasan supaya saya bisa ditanggap dengan cara yang lebih serius. Jawaban dari anggota yayasan itu: “Ohh, tidak usah, kita sudah dapat BULE.” Kalau yang mereka inginkan hanya “ asal bule saja” dan bukan guru professional yang berpengalaman, maka saya menjadi tidak tertarik untuk masuk sekolah itu lagi. Dan sampai sekarang saya belum berusaha melamar lagi.

Ada juga sebuah sekolah Islam di daerah Cinere yang kelihatannya sangat baik. Ada anak teman dia sana, dan teman itu juga seorang guru jadi saya sangat percaya pada komentar dia tentang sebuah sekolah. Teman saya mengatakan bahwa setiap orang tua dikasih kopian kurikulum pada awal setiap tahun dan juga diberi penjelasan tentang latar belakang guru kelas. Itu saja sudah sangat luar biasa bagusnya, dan sekolah Islam yang lain juga seharusnya begitu. Saya diberitahu bahwa dia sangat puas dengan sikap pengurus sekolah yang sepertinya sangat peduli pada pendidikan dan siap menerima orang tua di sekolah untuk konsultasi. Mengenai fasilitas sekolah, sangat bagus dan dirawat dengan baik. Kalau lingkungan sekolah, bagus sekali, hanya saja kelas tidak menggunakan AC dan untuk itu ada pandangan yang pro and kontra. Jadi tidak menjadi soal besar. Saya termasuk yang senangi AC untuk kenyamanan belajar, tetapi ada pandangan lain bahwa udara yang alamiah dan segar lebih baik untuk anak. Selama ini, teman saya merasa puas dengan sekolah itu, dan dia belum ada keluhan tentang kualitas pendidikan. Dia memang tinggal di Cinere jadi faktor itu juga sedikit berpengaruh. Kalau saya punya anak dan tinggal di Jakarta Selatan, saya akan siap memasukkan anak saya ke sana setelah menyelediki sedikit lebih mendalam untuk meyakinkan diri sendiri. Waktu saya berkunjung ke sana, hanya melihat sekilas, tidak periksa kurikulum, dan tidak melihat isi dari Perpustakaan. Juga tidak sempat bicara dengan para guru.

Kalau orang tua membutuhkan contoh dari sebuah sekolah Islam yang insya Allah baik, maka Lazuardi cukup baik sebagai contoh tersebut. Orang tua bisa melakukan survei ke sekolah ini, melihat2, banyak bertanya, dan melihat suasana yang baik yang sudah diciptakan di sana. Kemudian, orang tua bisa kembali ke sekolah di mana anak belajar sekarang, dan bertanya kenapa tidak bisa mengikuti contoh yang baik seperti itu. Kalau untuk masuk, barangkali ada waiting list, jadi untuk tahap pertama, belajar dulu dari contoh sekolah ini supaya orang tua memahami sekolah yang baik mesti seperti apa.

2. Apakah lebih baik anak2 mengikuti homeschooling?

Kalau di Indonesia, saya rasa tidak. Kecuali orang tua memang sanggup. Dia sini, menurut saya, kebanyakan orang tua tidak sanggup membimbing anak sendiri dengan kurikulum Diknas. Kalau Ibunya si anak adalah seorang guru, baru boleh. Kalau dia hanya lulus SMA dan pernah menjadi sekretaris (misalnya), barangkali tidak sanggup. Kalau dia pernah kuliah, tapi tidak merasa bahwa dia punya wawasan yang luas dan kepintaran untuk tangani semua mata pelajaran, sebaiknya tidak. Tapi kalau si Ibu merasa yakin, boleh dicoba untuk setahun dulu. Setelah itu, harus dianalisa secara jujur, tanpa emosi. Kalau hasilnya kurang bagus, masuk sekolah. Kalau hasil bagus dan nilai tesnya baik, boleh diteruskan.

Sosialisasi yang terjadi di sekolah juga penting untuk perkembangan mental si anak. Dari sekolah dia dapat teman, harus belajar membagi, bekerja sama, mencari solusi kalau ada konflik, dan semua itu bermanfaat juga bagi perkembangannya.

3. Lebih jauh tentang anak saya. Anak saya ini seharusnya TK B. Akan tetapi karena di (sekolah ****) tidak ada TK B (ruangan tidak memadai), anak saya dicoba dites untuk masuk SD. Ternyata hasil tes baik, jadilah dia masuk SD (saat ini kelas 1, usia pas 6 tahun di bulan Feb ini). Sejauh ini dia bisa mengikuti pelajaran. Untuk matematika malah dia sangat menguasai. Hanya menulis yang sedikit ketinggalan. Secara psikologis sepertinya baik2 saja, hanya yang saya sedikit khawatirkan, dia badannya mungil sekali jika dibandingkan dengan teman2nya, kira2 apakah akan menjadi masalah? Mohon tanggapan Pak Gene tentang hal ini, bagaimana sebaiknya.

Coba mencari TK B di lain sekolah untuk setahun. Kalau mau berlanjut di (Sekolah ***), minta jaminan dari mereka bahwa anak bisa kembali lagi dan masuk SD Kelas 1 setelah selesai TK B di lain tempat.

Pada umur 6-7 tahun, hanya sedikit skil yang bisa dites jadi hasil tes itu hampir tidak ada makna. Hanya gambaran global saja tentang skil dasar dan sikap mentalnya. Tapi nanti, pada kelas 3 dan kelas 4, beda umur setahun sangat berarti buat anak-anak. Ada anak yang tidak mau bergaul dengan anak yang lebih muda 1 tahun karena dianggap tidak “se-level”. Untuk remaja tua/dewasa, perbedaan satu tahun tidak dianggap. Untuk anak SD bisa ada dampak besar.

Sebenarnya, ada terlalu banyak faktor yang berpengaruh: sikap anak, sikap anak yang lain di kelas, skil guru, skil orang tua untuk tangani kalau masalah muncul dan anak jadi stres, sistem sekolah untuk tangani “bullying” (satu anak menganggu anak lain secara fisik/mental), dsb.

Kalau tidak ada paksaan masuk cepat (karena dia genius, misalnya), maka lebih baik dia mendapat satu tahun lagi di TK untuk menikmati kehidupan sebagai anak kecil yang tidak pernah mendapat PR atau tes! Masa perkembangan ini 4-7 tahun, sangat penting buat anak. Jangan buru buru memaksakan dia menjadi “dewasa” terlalu cepat.

Mungkin demikian dulu. Mudah2an Pak Gene bersedia menjawab.

Saya selalu bersedia untuk membantu anak-anak di Indonesia dan orang tuanya!

Terima kasih banyak sebelumnya.

{nama pengirim dihapus}

Sama sama. Semoga bermanfaat.

Gene Netto

Komentar Tentang Sekolah Swasta DKI

Assalamu’alaikum wr.wb.,Bismillah hirrahman nirrahim.

Di sering menyatakan bahwa saya belum menemukan sekolah Islam yang bagus di Indonesia. Seorang ibu kirim email kepada saya dan menyatakan kaget. Dia minta saya menjelaskan kenapa pendapat saya seperti itu.
Artikel ini saya buat untuk menjelaskan pandangan saya terhadap sekolah swasta di Jakarta, Islam dan sekular, yang didasarkan pengalaman pribadi saya. Maaf, artikel ini agak panjang, tetapi saya sengaja membuatnya begitu supaya menjadi referensi yang lebih jelas dan akurat bagi para orang tua.

Kualifikasi saya
Supaya percaya dengan apa yang saya katakan, saya mau jelaskan kualifikasi saya dulu:
Saya seorang guru bahasa dan sejarah (Language and History teacher) dengan gelar Bachelor of Arts dan Graduate Diploma of Education dari Universitas Griffith di Brisbane, Australia. Sekarang saya sudah berpengalaman 10 tahun mengajar di kelas, baik di kursus bahasa Inggris maupun di sekolah swasta, juga les privat dan bentuk training yang lain. Sebagai pengamat pendidikan (hobi saya), saya sering membaca artikel dan berita tentang pendikikan, baik dari Indonesia maupun dari manca negara. Sudah beberapa kali saya melakukan kunjungan sekolah di DKI untuk menganalisa sekolah tersebut, baik karena ada permintaan dari orang tua atau teman, atau karena ada permintaan dari yayasan, atau karena saya sendiri ingin melihat sekolah itu. Hasilnya (laporan) biasanya diberikan secara lisan, tapi juga ada yang secara tertulis untuk anggota yayasan. Saya sudah melakukan Teacher Training untuk beberapa sekolah, dan juga untuk Pusdiklat DKI (melatihkan guru-guru SD).

Yang pernah saya lakukan sebagai seorang guru:
Mengajar bahasa Inggris di semua tingkat dari TK sampai dewasa, dari Foundation sampai TOEFL dan FCE.; melakukan Teacher Training; membimbing guru junior; menasihati kepala sekolah tentang masalah pendidikan dan masalah karyawan; membuat kurikulum bahasa Inggris untuk kursus bahasa Inggris dan sekolah swasta; membuat bahan dan ujian untuk murid di kursus dan sekolah swasta; melakukan Motivational Training untuk guru dan murid; membuat program Academic Writing untuk beberapa universitas di Indonesia dengan funding dari Ford Foundation; dan memeriksa dan menganalisa sekolah untuk menilai kualitasnya, termasuk “interview” para guru.

Saya pernah ditawarkan posisi sebagai: guru bahasa Inggris di beberapa sekolah swasta dan kursus; Kepala Sekolah di beberapa lokasi; Head of English Department (Binus High School, Simprug); Manager of English Services (Bina Nusantara University); dosen bahasa Inggris (Swiss German University, Serpong).
Sebagian besar dari tawaran ini tidak diterima karena beberapa alasan (gaji, lokasi, masalah dengan managemen, atau masalah dengan “job description”).
Insya Allah, semua pengalaman ini menjadi landasan yang cukup baik bagi saya untuk menganalisa sebuah sekolah dengan cara profesional.

Masalah Dengan Sekolah Di Indonesia
Masalah utama dengan sekolah swasta adalah tujuannya. Kebanyakan adalah bisnis yang dibangun oleh pengusaha yang tidak memiliki latar belakang pendikikan. Pada saat mereka mendirikan sekolah, mereka melihat bahwa orang lain sudah mendirikan sekolah dan menghasilkan profit besar, sampai ada yang membuat franchise sekolah (bukan cabang). Dengan demikian, sekolah menjadi sama dengan Starbucks atau Breadtalk: hanya sebuah bisnis yang menghasilkan profit bagi pemiliknya. Saya pernah mendengar seorang pemilik sekolah menyatakan dengan senyuman lebar dan dengan rasa bangga bahwa dia sudah break even (balik modal) dalam 4 tahun saja! Saya tidak paham kenapa hal itu membuatnya bangga.

Saya tidak berniat menjelekkan nama semua sekolah swasta atau semua guru yang kerja di sekolah itu. Ada masalah yang prinsip, dan ada masalah biasa. Semuanya memberi tanda bahwa sekolah tersebut tidak terfokus pada pendidikan seperti semestinya, dan bisa diperbaiki lagi, akan tetapi hal itu jarang terjadi, karena si pengusaha sebagai pemilik tidak melihat ada masalah sama sekali (“Profit tetap tinggi kok! Berarti orang tua puas! Kenapa harus diubah?”)

Sekolah Islam
Sekolah Islam tidak lepas dari masalah binis ini. Seringkali, yang diutamakan adalah profit untuk yayasan dan bukan kualitas guru atau kualitas pendidikan. Karena stok murid besar, sekolah bisa cuek pada kualitas sekolah dan tetap ada orang tua baru yang mau bayar mahal untuk daftarkan anaknya pada tahun berikut.

Yang sering terjadi, orang dewasa yang menjadi guru bukan orang yang kuliah pendidikan (lulusan IKIP, misalnya) tetapi orang mana saja yang bisa berbahasa Inggris karena ini yang dijual kepada orang tua: “Kita sekolah bilingual lho!” Saya pernah menemukan orang dengan gelar ekonomi, akutansi, finance, psikologi, hukum, sastra, linguistik, dan lain lain yang bekerja sebagai guru di sekolah swasta di Jakarta. Bahkan ada seorang apoteker. Saya bertanya kenapa dia bisa masuk sekolah, dia menjawab karena tidak ada pekerjaan lain, dan karena dia bisa berbahasa Inggris. Ini merupakan kegagalan sekolah untuk mendapatkan ahli pendidikan yang profesional.

Mungkin semua orang senang dengan [nama sekolah dihapus], salah satu sekolah Islam terkemuka di Indonesia. Sekarang, ada anak teman yang masuk TK sekolah tersebut. Guru anak itu membuat ibunya stres karena selalu mengeluh bahwa si anak “tidak bisa menulis dengan rapi”.

Pada umur 5,5 tahun tidak ada kewajiban untuk menulis dengan rapi! Seharusnya guru senang bahwa seorang anak laki-laki mau menulis daripada lari-lari terus. Ini sangat aneh. Pada umur ini, kemampuan motorik halus sedang berkembang. Seharusnya tidak ada orang (baik orang tua maupun guru) yang mewajibkan anak menulis dengan rapi pada umur ini. Dan seharusnya hal ini tidak menjadi salah satu hal yang dicermati guru, apalagi mengeluh kepada orang tua. Pada umur 7-9 ke atas, baru perlu dicermati.

Dan kalau kita jujur, apakah tulisan tangan yang rapi pernah ada pengaruh besar di dunia? Contoh: “Maaf, Mr. Einstein, Piagam Nobel anda harus dikembalikan karena anda menulis E = MC2 dengan tulisan yang tidak rapi. Maaf ya!” Para dokter di dunia terkenal dengan tulisan tangan yang tidak rapi. Apakah seharusnya tidak boleh menjadi dokter sampai bisa menulis dengan rapi?

Anak di sekolah itu lapor kepada saya bahwa di sekolah dia main dengan Lego juga (karena saya belikan dia Lego) tapi Legonya besar, bukan dengan batu-batu kecil seperti yang saya belikan. Tanpa melihatnya, saya tahu Lego yang dia maksudkan: Lego besar untuk anak berumur 2-4 tahun. Baca saja di kotaknya (ada batas umur). Berarti, Lego yang dia dapat di sekolah adalah mainan untuk balita berumur 2-4 tahun, padahal umur dia 5,5 tahun. Berarti yang membeli mainan untuk anak di sekolah itu tidak mengerti mainan yang mana yang cocok dengan umur anak, dan dia tidak mengerti kenapa Lego kecil lebih bermanfaat dari Lego besar pada umur ini: untuk melatihkan skil motorik halus yang juga digunakan untuk menulis! Kalau sekolah menuntut tulisan yang rapi, coba berikan mainan yang cocok dulu!

Saya juga dengar bahwa untuk masuk SD sekolah tersebut ada tes membaca dan menulis. Kalau tidak bisa membaca dan menulis, maka tidak bisa atau susah masuk (harus bayar lebih mahal kali?). Bukannya sekolah itu tempat belajar? Buat apa kita kirim anak ke SD kalau SD menuntut anak2 mendapatkan skil membaca dan menulis di luar sekolah? Kalau memang diajarkan di sekolah, kenapa harus dites untuk masuk? Kalau tidak diajarkan, emang siapa yang bertanggung jawab untuk mengajarkannya?
Bagaimana kalau rumah sakit ikut-ikutan menerapkan teori seperti ini: mau masuk rumah sakit, tes kesehatan dulu. Kalau ternyata tidak sehat, disuruh pulang dulu dan kembali kalau sudah sehat. Ampun!!

Bukannya masuk RS untuk menjadi sehat? Dan bukannya kita kirim anak ke SD untuk belajar membaca dan menulis? Kok sekolah bisa mewajibkan anak mendapat skil itu di lain tempat sebelum masuk?? Sungguh tidak masuk akal!

Pada saat saya diundang untuk menjadi juri di sebuah Lomba Bahasa Inggris di sekolah Islam tersebut, untuk anak2 dari jaringan sekolah itu se-DKI, saya kaget pada saat setiap anak dari sekolah yang sama membaca teks yang sama. Ini bukan lomba “membaca”, tapi lomba bahasa (bicara). Dari kosa kata yang digunakan, saya tahu bahwa orang dewasa yang menulisnya (gurunya barangkali?) dan bukan anak itu. Jadi piagam seharusnya dikasih kepada gurunya, bukan anak itu. Ini kegagalan dari pengurus lomba (para guru) untuk membuat peraturan yang jelas dan saya merasa bahwa seluruh hari itu sia-sia untuk anak2 dari sisi pendidikan.

Tapi saya tidak heran bahwa lomba menjadi kacau. Seseorang melaporkan kepada saya bahwa pada tahap “planning” para guru itu menghabiskan 2 jam untuk membahas seragam apa yang akan dipakai pada hari lomba. Setelah itu, mereka membahas lomba untuk sebentar sebelum bubar. Kalau bukan kenalan saya yang lapor begitu, saya tidak akan percaya. Guru itu sibuk memikirkan diri sendiri dan bukan lomba untuk kepentingan pendidikan anak.

Saat saya kunjungi sebuah sekolah Islam di Jakarta Selatan, saya kaget melihat bahwa papan putih ditempatkan di atas jendela. Kalau tutup pintu, kelas menjadi seperti gua, dan harus nyalakan lampu. Saya bertanya kenapa: katanya karena setiap kali ada orang yang lewat, anak tengok ke belakang. Jadi jendela harus ditutup. Ini kegagalan guru untuk mengendalikan anak (classroom management). Seharusnya, seorang guru profesional sudah tahu trik untuk membujuk anak fokus ke depan, dan tidak lihat ke belakang. Saya telah diberitahu bahwa sekolah ini sudah diperbaiki dan tidak seperti ini lagi. Pertanyaan saya adalah kenapa bisa seperti itu pada awalnya sehingga harus ada yang memperbaikinya? Kalau pengurus sekolah memang mengerti pendidikan dari awalnya, mereka tidak akan memberikan izin untuk jendela ditutup, dan guru yang ingin melakukannya akan diberi pengarahan atau training supaya mengerti caranya mengendalikan anak di kelas.

Sebagai Contoh: “PR malam ini tidak ada anak-anak, tapi kalau ada yang melihat ke belakang pada saat orang lewat, PR menjadi 1 halaman. Kalau terjadi lagi, 2 halaman, dan seterusnya. Tapi kalau kalian baik selama 30 minit, dan konsentrasi, 1 halaman dihapus, dan dihapus lagi sampai menjadi nol. Kalau kamu mau kerjakan PR, silahkan lihat ke belakang terus. Kalau tidak mau PR, lihat ke depan. Silahkan pilih sendiri.” Dan seorang guru juga harus fleksibel karena yang namanya “anak” ada batas waktu untuk berkonsentrasi yang sangat singkat. Kalau “melihat ke belakang” tidak merupakan sesuatu yang menimbulkan bahaya atau membuat kelas kacau untuk berjam2, kenapa harus dikhawatirkan oleh guru?

Selain dari masalah itu (kegagalan managemen kelas), juga makan biaya untuk listrik. Dan juga, cahaya matahari adalah suatu zat yang penting untuk perkembangan dan kesehatan anak. Juga ada pengaruh psikologis bagi anak yg bisa merasa “terkurung” di dalam sebuah kelas yang gelap. Cahaya alamiah adalah hal yang baik yang seharusnya ditambahkan bukan dikurangi.

Saat kunjungi [nama sekolah Islam ini dihapus] di daerah Jakarta Timur saya kaget melihat batang2 kayu di belakang sekolah dengan paku bangunan berdiri di tengahnya, seperti kayunya berduri. (Barangkali sudah tidak ada lagi sekarang). Ada tumpukan kayu (mungkin 70-100 batang) semuanya dengan paku yang berkaratan. Di depannya, 8 anak lari-lari main bulu tangkis tanpa memakai sepatu. Kalau ada yang injak ke samping, kaki akan kena paku. Kalau ada yang terdorong ke samping, kaki, paha, perut, dada, tangan dan mata bisa kena paku sekaligus. Saya panggil seorang pengurus karena melihat itu sebagai sesuatu yang berbahaya sekali. Seharusnya kayu itu tidak ada di sekolah. Komentar dia: “Wah, anak2 seharusnya tidak berada di situ. Kok pintu tidak dikunci.” Itu saja. Seharusnya kayu itu disingkirkan, atau ditutup, dan pintu ke belakang harus dikunci dan dicek terus, dan seharusnya ada pengumuman di pintu yang melarang anak2 ke belakang dengan menyebutkan sanksi bila melanggar.

Di kantin, anak anak berjalan tanpa sepatu (karena semua anak lepaskan sepatu di pintu masuk sekolah – lebih Islami kali?) dan menginjak tomat, daging, nasi, tulang ayam, sosis, saus tomat dan yang lain yang ada di lantai. Saya lewat kantin untuk mencapai ruangan kepala sekolah dan mencermati lantainya yang kotor karena anak2 baru selesai makan siang. Jadi, lepas sepatu lebih Islami, dan ... menginjak sosis adalah hal yang Islami juga? Dengan melihat kondisi sekolah, lebih baik anak2 pakai sepatu terus. Setelah melihat kayu yang penuh paku, saya sangat meragukan kemampuan dari pengurus sekolah untuk menjaga kualitas pendidikan, karena sudah jelas mereka tidak bisa menjaga ruang fisik dari acaman dan bahaya terhadap anak (padahal itu jauh lebih utama).

Saya kunjungi sebuah sekolah SD di sebelah sebuah masjid (saya lupa namanya). Kata salah satu orang tua saat bicara dengan saya, sekolah ini sangat bagus. Masa? Saya minta melihat kurikulum. Kepala sekolah mencari tapi tidak menemukan. Saya melihat daftar kelas2. Kurang lebih, yang saya ingat begini:
Menghafal al Qur’an.
Bahasa Arab
Bahasa Arab 2
Membaca Al Qur’an
Sejarah Islam
Bahasa Inggris
Matematika
IPA
(ada dua atau tiga lagi tapi saya lupa)

Tidak ada Kesenian. Tidak ada Olahraga. Tidak ada musik. Tidak ada Ekskul. Saya bertanya kenapa? Katanya: 1) tidak ada waktu lagi. 2) Musik tidak boleh dalam Islam, katanya. 3) Kesenian tidak perlu. 4) Olahraga: mereka bisa main bola dengan teman2 setelah sekolah. Luar biasa.

Kesenian: melatih motorik halus dengan menggambar, melukis, dsb. Melatih koordinasi tangan dan mata. Mempelajari warna dan campuran warna. Tidak semua orang menjadi ustadz: ada yang menjadi designer, berarti warna dan skil untuk membuat kombinasi warna perlu. Dari kebiasaan menggambar, ada yang menjadi artis, arsitek, designer, dan bahkan insinyur: rata-rata, insinyur membuat gambar mobil dulu dan sesudah itu baru membuat design, lalu membuatnya secara nyata. Kalau anak2 main dengan warna, ketahuan kalau ada anak yang sering bermasalah dengan warna: salah pilih atau salah menyebutkan. Bisa jadi ada masalah dengan matanya, atau dia buta warna. Lebih cepat terdeteksi, lebih baik.

Olahraga: dengan lari-lari dan bermain, kelihatan perkembangan motorik kasar, dan koordinasi tangan dan mata. Anak yang sering jatuh bisa ada masalah dengan telinga (keseimbangan), atau dengan matanya (minus, silinder). Masalah dengan mata penting untuk terdeteksi dengan cepat karena bisa menggangu pelajarannya. Anak tidak tahu bahwa matanya bermasalah. Dia menanggap semua orang “melihat” seperti itu, jadi dia tidak akan komplain bahwa tulisan guru samar-samar. Dengan main game di luar, anak belajar untuk membagi, berkompetisi, berlomba, menerima kekalahan dengan lapang dada, menang tanpa menjadi sombong, bekerja di dalam tim, bernegosiasi, bekerja cepat, berfikir cepat, ambil keputusan dengan cepat, dsb.

Musik: memainkan alat musik merupakan skil yang sulit. Mengembangkan motorik halus, gerakkan jari dengan cepat (seperti ketik), belajar mengikuti irama, menari, dan belajar puisi (lirik lagu sama dengan puisi) yang membantu perkembangan bahasanya dan kosa kata. Anak yang sulit mengikuti irama bisa ada masalah dengan pendengaran, bisa jadi dia kurang percaya diri, atau ada gangguan dengan koordinasi kakinya. Kalau dia tidak bisa menari, bisa ada gangguan telinga, atau gangguan syaraf sehingga kakinya tidak bertindak sesuai dengan keinginannya.

Pemantauan seperti ini termasuk apa yang dikerjakan guru profesional, beda halnya dengan seorang lulusan ekonomi yang bisa bahasa Inggris dan menjadi “guru”.

Saya pernah memberi tes bahasa Inggris kepada 100 anak SD dan dari 100 anak itu, saya menemukan satu anak yang bermasalah: dia tidak mau memandang mata saya. Mungkin orang lain (seperti si lulusan ekonomi) hanya akan mengatakan bahwa anak itu seorang pemalu dan melupakannya. Tetapi saya langsung telfon bapaknya. Dia menyatakan bahwa setelah saya berkomentar, dia baru sadar bahwa anaknya memang suka begitu dengan orang lain (selain orang tua). Berarti bukan karena diri saya (sebagai bule) yang membuat dia takut/malu. Dia memang tidak suka memandang mata orang dewasa. Saya hubungi seorang psikolog dan minta anak ini diobservasi.

Tidak memandang mata orang lain bisa berarti dia malu sekali, dan juga merupakan salah satu gejala Autis dan Asperger Syndrome (tipe Autis juga). Dari melihat anak itu dan setelah bertanya2 kepada bapaknya, saya menduga bahwa anak itu menderita dari Asperger Syndrome yang sangat ringan sehingga hanya ada satu gejala yang tampak: tidak suka memandang mata orang yang tidak dikenal! Untuk mengetahui kalau ada gejala yang lain, perlu dianalisa secara lengkap oleh seorang ahli. Saya serahkan kepada psikolog untuk melakukan diagnosis secara profesional.

Kalau saya bukan seorang guru, dan kalau saya tidak belajar tentang gejala penyakit yang diderita anak, dan kalau saya tidak memilih untuk melakukan investigasi (padahal tidak ada yang mewajibkan bagi saya utk cari informasi lebih dalam), maka anak itu belum tentu terdeteksi sebagai penderita Asperger sampai umurnya sudah terlalu tua. Untuk masalah seperti itu, lebih cepat ditangani, lebih baik hasilnya, terutama dari sisi pendidikan. Seringkali, anak sudah besar, dan nilai sekolah makin buruk terus, baru ketahuan ada masalah yang sudah lama mengganggu proses belajarnya.

Ada seorang teman yang memberitahu saya bahwa di sekolah dia ada guru yang menutup mulut anak TK dengan lakban (duct tape) karena... anak itu bicara terlalu banyak! Masa? Anak TK suka bicara? Dari kapan anak TK menjadi senang “bicara” di kelas? Bukannya semua duduk diam dan selalu nurut dengan gurunya seperti ROBOT? Setelah diperiksa, inilah salah satu guru yang bukan guru, tapi orang yang bisa berbahasa Inggris, karena itu sekolah “Bilingual”. Selamat kepada pemilik sekolahnya.

Saat saya periksa sebuah sekolah Islam di Jakarta Timur (saya lupa namanya) saya cek perpustakaan. Buku tidak banyak tapi cukuplah. Saya mengambil satu: ternyata buku teks matematika. Yang lain juga buku teks. Setelah saya bertanya pada Librarian (penjaga perpustakaan), dia memberitahu saya bahwa hanya ada buku teks di perpustakaan. Tidak ada buku cerita. Ada sedikit di dalam kelas saja. Seharusnya, setiap minggu setiap kelas dapat waktu di perpustakaan. Selain dari mendengar guru baca buku, anak2 harus diberi kebebasan (bahkan kewajiban) untuk memilih dan membaca buku sendiri. Bagaimana anak2 bisa mencintai buku kalau tidak ada pengalaman baca buku selain buku teks di sekolah?

Selandia Baru (New Zealand) adalah salah satu negara dengan tingkat kemampuan baca tulis (literacy rate) yang paling tinggi di dunia – sekitar 99% dari penduduk bisa membaca dan menulis dengan baik. Perpustakaan di SMP saya di Selandia Baru sebesar dua lantai dengan jumlah buku mencapai puluhan ribu. Waktu di SD, perpustakaan lebih besar dari satu kelas, dan penuh juga dengan buku. Kalau anda menyatakan bahwa buku mahal sehingga tidak bisa begitu di Indonesia, saya menyatakan bahwa ada cara untuk mendapatkan buku. Kita yang harus kreatif untuk mememukan caranya.

Satu contoh: daripada memberikan piagam setelah setiap lomba, beli satu buku dan pasang stiker di halaman depan dengan tulisan “Buku ini diberikan kepada Budi sebagai Pemenang Pertama pada lomba... dst.” Dan semua buku itu menjadi sumbangan buat perpustakaan sekolah. Setiap kali ada yang pinjam buku itu, kelihatan nama si Budi di depan. Bukan saja dia menjadi pemenang lomba, tapi juga dermawan yang membantu membangun sekolah dan masa depan adik kelas!! Bukanlah itu lebih baik dan lebih bermanfaat daripada setiap anak yang lulus SD mendapat sekotak piagam murahan?

Saat saya kunjungi sebuah sekolah di jakarta selatan [nama dihapus] saya menjadi kaget melihat tempat yang begitu berbahaya, saya heran ada orang tua yang mau masukkan anaknya ke sana. Di belakang sekolah ada jurang tanpa pagar di atas. Pada saat saya ada di sana untuk Open Day, seorang anak mengejar bola dan berhenti sekitar 2 meter dari pinggir jurang itu.

Perlu dipahami bahwa anak kecil tidak bisa mengukur jarak karena matanya dan persepsi jaraknya masih berkembang. Oleh karena itu, anak sering jedot kepala di meja makan karena dia tidak bisa melihat ujung meja yang menonjol itu. Menurut mata, masih jauh. Lalu jedot. Kalau ada jurang tanpa pagar, dan dia sedang lari mengejar bola, mata dia menyatakan jurang masih jauh maka dia kejar bola terus. Lalu tergelincir. Juga benar bahwa anak belum pintar mempertimbangkan risiko seperti orang dewasa. Orang dewasa melihat jalan yang ramai dan menyeberang dengan hati-hati. Anak melihat jalan dan melintas saja karena bahayanya tidak langsung masuk pikirannya.

Jalan masuk sekolah itu dibuat dari batu kali yang bulat dengan ukuran 5-15cm. Jalan tidak datar dan kita harus berjalan dengan pelan dan hati-hati. Saya yang dewasa hampir kena kaki keseleoh karena kaki saya injak sebuah batu besar dan tergelincir ke samping. Buat apa batu itu? Pagar di sebelah jalan itu dibuat dari kayu bambu yang bagian atasnya ditajamkan, seperti bambu runcing. (Apa ditakuti serang pasukan Belanda lagi?) Buat apa bambu di pagar sekolah ditajamkan begitu? Tingginya sekitar 50-60 senti. Saya bisa bayangkan seorang anak mendorong temannya, dan pada saat dia jatuh ke atas pagar itu, dadanya ketusuk bambu.

Ada seekor rusa di dalam kandang. Tembok kandang dibuat dari kawat ayam. Karena mengunakan kawat ayam yang kurang panjang, dua lapis diikat sehingga ada bagian atas dan bagian bawah dengan ikatan di tengah. Ikatan juga menggunakan kawat yang kuat, tetapi tidak diikat dengan rapi. Ada banyak bagian yang menonjol keluar sekitar 10-15cm. Artinya, tembok kandang itu menjadi “berduri” karena ujung2 kawat yang menonjol. Kalau ada anak lari ke sana, dan mendorong temannya, pada saat anak itu hajar kawat ayam, dia bisa ditusuk oleh kawat yang menonjol. Tingginya duri kawat itu sekitar 1 meter dari tanah, atau setinggi mata anak. Kalau mata seorang anak ketusuk, orang tua tidak bisa beli mata yang baru di toko swalayan.

Artinya semua ini, sekolah ini penuh dengan hal-hal yang berbahaya untuk anak (pada saat saya ke sana). Di Australia, tempat seperti itu tidak akan mendapat izin menjadi sekolah. Untuk membangun sekolah, keamanan dan keselamatan adalah nomor satu. Selalu. Bayangkan kalau anda terima telfon seperti ini: “Maaf, Ibu. Anak anda menjadi buta karena matanya ketusuk kawat saat dia main di samping pagar... tapi nilai bahasa Inggrisnya tinggi. Bagus kan?”

Pada saat ada informasi (iklan 1 halaman) tentang sekolah ini di sebuah koran, saya membaca suatu pernyataan yang paling aneh yang pernah saya baca berkaitan dengan pendidikan. Kata Pengurus “Kalau anak mau belajar tentang daun, maka dia harus memegang daun. Berarti harus ada hutan di depan sekolah.” Masa? Kalau teori pendidikan ini benar, coba kalau kita kembangkan: Kalau anak mau belajar tentang buaya, mereka harus memegang buaya. “Nah, Budi, yang sendang gigit kaki kamu itu, namanya buaya! Lihat giginya yang besar. Jangan teriak. Kamu masih punya kaki satu lagi.” Apakah begitu pendidikan? Kalau anak mau belajar tentang sesuatu, mereka harus mengalaminya secara langsung? Kalau belajar tentang alam semesta bagaimana? Atom? Pesawat? Piramida? Virus? Peredaran darah? Ledakan bom?

Berapa banyak hal selain daun dan bunga yang bisa dihadirkan di sekolah? Kalau seandainya dia membicarakan “Hands on Learning” atau “Experimental Learning”, maka saya tidak ada komentar karena itu memang bagus. Tetapi penjelasan dia tidak seperti itu, dal hal itu membuat saya meragukan pengertiannya tentang pendidikan.
Dan pada saat saya melihat jendela kelas tidak ada kacanya (supaya dekat dengan alam) saya memikirkan kemungkinan anak bisa kena Demam Berdarah. Nyamuk diberi akses penuh terhadap anak. Saya mencari alat pemadam kebakaran (karena gedung dibuat dari kayu) tapi tidak menemukannya (mungkin ada, tapi disimpan supaya tidak kelihatan). Tapi karena tidak ada kaca di jendela, anak bisa loncat keluar dari kelas dengan mudah kalau terjadi kebakaran.

Intinya, orang yang membangun sekolah ini seakan-akan inginkan anak kembali hidup di tengah hutan seperti orang Rimba. Saya bingung tentang kenapa ini menjadi idaman orang tua dan pemilik sekolah.

Sudah berkali-kali saya mengunjungi sebuah sekolah di DKI dan minta melihat kurikulum. Sering kali, kepala sekolah sulit menemukannya karena tidak tahu ada di mana. Lebih parah, sering ada yang menyatakan “Kita sedang menulisnya”. Dan “Kita” di sini adalah kepala sekolah dan para guru yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan. Pernah ada kepala sekolah menyatakan kepada saya dengan bangga: “Kita sudah membuat kurikulum untuk 6 bulan ke depan.”

Coba kita aplikasikan logika ini pada tempat yang lain: Kita naik bis dan pengemudi menyatakan “Saya ada peta untuk 6 kilo ke depan. Sisanya akan saya tulis dalam perjalanan kita ke Bali.” Apakah anda mau naik bis itu? Yakin bisa sampai ke tujuan?
Kalau kurikulum tidak dibuat dari K-6 dari awal sekolah, dan hanya 6 bulan di depan murid, bagaimana kalau sampai ke Kelas 6 dan para guru baru sadar ada banyak yang belum sempat diajarkan? Dari ilmu 100%, baru 60% yang diajarkan dari K-5. Apakah 40% yang tersisa bisa diberikan dalam 1 tahun terakhir? Seperti apa kelasnya nanti?
Kayanya ada banyak sekolah seperti ini, dan mayoritas dari orang tua tidak sadar bahwa sekolah tanpa kurikulum adalah masalah besar.

Ada sebuah sekolah yang mendapat “guru bahasa” dari negara Inggris untuk menyusun program bahasanya. Masalahnya adalah di Inggris dia bekerja sebagai DJ (Disc Jockey) di sebuah klub malam, tidak ada latar belakang pendidikan, dan juga tidak lulus kuliah. Program bahasa yang dia gunakan di sekolah itu diambil dari Amerika. Setelah diselidiki, ternyata program itu adalah sebuah program Phonics yang diciptakan pada tahun 1950an, dan sekarang sudah diganti di manca negara dengan program Phonemic Awareness (yang sifatnya berbeda).

Tetapi orang tua datang ke sekolah (“Kita sekolah bilingual lho!”) dan melihat bule, jadi mereka tidak bertanya tentang latar belakangnya. Yang penting bule.

Kalau mau tahu kalau sebuah sekolah bermasalah, coba cek kalau para guru sering diganti. Kalau setiap tahun ada banyak yang mengundurkan diri dan guru baru masuk, biasanya berarti ada masalah dengan managemen sekolah. Kalau gurunya bagus, dan kurikulum oke, tapi managemen sekolah tidak baik, maka guru akan keluar mencari kesempatan di lain tempat. Biasanya guru yang baik menjadi jenuh kalau kerjanya diganggu dan di otak-atik oleh pengusaha yang ingin mengatur sekolah sesuai dengan kemauan sendiri. Kalau guru sering diganti, dan kurikulum “sedang ditulis” maka hati-hati kalau mau masukkan anak anda ke sekolah itu.

Semua masalah yang disampaikan di atas bisa diatasi. Tapi karena pemilik sekolah tidak mengerti pendidikan, hal seperti ini dianggap masalah kecil dan bukan utama. Dan sayangnya, orang tua tidak sadar bahwa sekolah anak mereka adalah tempat yang tidak ideal.

Mohon diingat bahwa saya tidak membuat artikel ini dengan niat menjelekkan nama semua sekolah Islam yang ada di DKI. Walaupun tidak enak di hati, saya sengaja merasa kewajiban untuk membicarakan masalah ini supaya orang tua bisa menjadi sadar.

Sebagai seorang guru, saya merasa ada tanggung jawab untuk menyampaikan kritikan sekolah kepada para orang tua secara jujur. Kalau guru dari salah satu sekolah tersebut membaca artikel ini, mungkin dia tersinggung karena merasa sekolah dia oke-oke saja. Dan perlu dipahami, bahwa saya membandingkan sekolah di atas dengan sekolah ideal yang teratur secara baik.

Insya Allah pada suatu saat semua Sekolah Negeri di Indonesia bisa berubah menjadi sekolah ideal, dan sekolah swasta tidak akan diperlukan lagi, atau bisa dijaga secara ketat supaya tidak bisa menyimpang.

Masih ada banyak hal lain yang bisa saya sampaikan, tapi saya rasa sudah cukup untuk saat ini. Bisa jadi ada sekolah swasta yang bermutu di DKI, cuma saya belum mendengar tentang sekolah itu dan belum mengunjunginya.
Semoga bermanfaat,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...