Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)
Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts

13 December, 2021

Ustadz Cabuli Belasan Anak SD, Kenapa Boleh Mengajar Di Sekolah Lain?

Saya sudah baca berita tentang kejadian seperti ini berkali-kali. Seorang pria ketahuan cabuli anak. Lalu, kasus itu diselesaikan "secara kekeluargaan". Dia tidak hadapi tuntutan hukum, dan para korban tidak dapat keadilan, apalagi bantuan psikologis. Puluhan orang dewasa mengetahui pelaku itu jahat, tapi mereka sepakat (atau tertekan/terpaksa) untuk "berdamai", dan izinkan pelaku pergi. Hasilnya? Dia pindah ke sekolah atau wilayah lain, dan cabuli anak di sana saja.

Hal ini bisa terjadi terus karena banyak orang dewasa siap menjadi "Pelindung" terhadap seorang pedofil. Yang penting hanya satu: "Anak kami jangan dicabuli lagi! Cabuli anak Muslim di tempat lain saja!" Dibutuhkan sanksi bagi semua orang dewasa yang TAHU secara pasti pelakunya berbahaya (karena sudah mengaku di depan mereka), tapi mereka memilih untuk berdamai saja dan izinkan dia pergi. Para orang dewasa itu perlu disalahkan oleh rakyat dan kena tuntutan hukum juga. (Misalnya, kepala sekolah dan guru yang PNS dipecat.) Anak di tempat lain hanya menjadi korban karena orang dewasa dalam kasus pertama bantu melindungi seorang penjahat.

Ketika kita dapat ular berbisa di kamar anak, sangat tidak logis untuk tangkap lalu lempar saja ke rumah tetangga, karena "berharap" ular itu akan "memperbaiki diri" dan tidak gigit anak di sana. Kita akan sadari ular itu berbahaya dan membunuhnya. Kenapa pedofil malah dimaafkan dan dilepaskan untuk cabuli anak di tempat lain?
-Gene Netto

Terungkap, Guru Agama di Cilacap yang Cabuli Belasan Siswi SD Pernah Lakukan Hal Serupa di Sekolah Lain, Modusnya Sama
Kompas.com - 11/12/2021, KOMPAS.com - Guru agama, MAYH (51), yang mencabuli 15 siswi salah satu sekolah dasar di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ternyata pernah melakukan hal serupa pada setahun lalu.
https://regional.kompas.com

19 May, 2021

Menghina Palestina, Apa Harus Ditangkap, Diancam Penjara, Dan Dikeluarkan Dari Sekolah?

Dunia sekarang sudah berbeda. Kalau dulu, semua orang bisa punya pendapat buruk, tapi kita tidak akan bisa tahu. Apa yang diucapkan di kamar, warung, pinggir jalan dll. mungkin hanya diketahui beberapa orang saja. Dan tidak ada yang terjadi selain beberapa orang menjadi kesal, dan bahas "kurang ajarnya" pelaku itu. Sekarang beda. Puluhan juta anak dan seratus juta dewasa punya HP dan medsos. Setiap hari, mereka bisa merekam atau ketik sebuah pendapat dan sebarkan.

Mungkin yang paling parah adalah Twitter, tapi sekarang TikTok sama. Semua komentar dan pemikiran jelek bisa disebarkan langsung kepada ratusan juta atau milyaran orang (dalam bahasa Inggris). Yang menjadi masalah adalah kemampuan setiap orang untuk menahan diri dan tidak sebarkan pendapat tersebut. Seringkali anak yang ditangkap mengaku "iseng saja", tapi diancam dengan beberapa tahun penjara.

Hak bicara bebas kurang dipahami di sini karena kebanyakan orang belum merasakan manfaatnya. Memang ada komentar buruk di dunia ini, dan kita bisa menjadi sakit hati. Tapi fungsi utama polisi, pengadilan, dan penjara seharusnya untuk MELINDUNGI kita dari pembunuh, pemerkosa, perampok dan orang2 lain yang berbahaya, bukan untuk melindungi perasaan hati kita dari anak remaja yang membuat komentar buruk.

Sayangnya, rakyat Indonesia tidak rasakan nikmatnya tinggal di sebuah negara di mana semua orang berhak keluarkan pendapat sendiri TANPA harus takut masuk penjara. Jadi di sini, setiap kali mau bicara, kebanyakan orang sudah terbiasa sensor diri sendiri sebelum bertindak. Semoga suatu hari Indonesia bisa berubah, dan polisi tidak disuruh tangkap anak kecil yang punya pendapat buruk, dan masyarakat dididik sejak sekolah untuk biarkan orang lain punya pendapat yang berbeda, termasuk yang buruk, dan kita dibiasakan menahan diri dan abaikan saja.

Sebuah video TikTok yang dibuat oleh anak sekolah yang punya ratusan follower tidak perlu menjadi berita nasional berhari-hari. Tidak perlu sidang untuk anak remaja yang panggil ahli bahasa dan ahli agama untuk jelaskan pelanggarannya. Rakyat perlu minta pemerintah mengubah hukum negara, agar ada kebebasan bicara yang luas (yang sudah tertulis dalam UUD 45), dan penjara tidak menjadi solusi bagi pemuda yang punya pendapat buruk.
-Gene Netto

HL alias Ucok (23) di Lombok Barat : Cleaning Service Mengaku Iseng Bikin Video Tiktok Isinya Menghina Palestina, Kini Dia Jadi Tersangka
https://www.tribunnews.com

MS di Bengkulu Tengah : Siswi SMA yang Hina Palestina di Medsos Dikeluarkan dari Sekolah
https://nasional.okezone.com

Pakar Hukum Sebut Menghina Palestina Bisa Dijerat Pidana
https://www.wartaekonomi.co.id

17 February, 2021

Jokowi: Kalau UU ITE Tak Bisa Beri Keadilan, Saya Minta DPR Revisi

Setuju! Tapi mungkin lebih baik ada penghapusan, bukan revisi. Di UU 45 ada pasal yang berikan hak bicara bebas kepada rakyat. Kenapa tidak menjadi landasan hukum yang paling kuat? Lalu hanya perlu pelatihan baru bagi polisi, jaksa, dan hakim agar tidak ada lagi yang bisa dilaporkan dgn UU ITE, atau pencemaran nama baik, atau penistaan agama. Pemerintah bisa berikan kebebasan kepada rakyat, lalu membuat batas yang jelas, yang sudah terbukti manfaatnya di banyak negara.

Contohnya: Kalau ajak orang melakukan kekerasan, ilegal. Tapi kalau sebatas bilang "membenci" sesuatu, silahkan saja. Hak pribadi. Dan kalau menjadi berita, rakyat juga punya hak untuk menegur, dan boleh boikot usaha orang itu, dsb. Dan pasal pencemaran nama baik perlu bukti yang sangat kuat, seperti kerugian yang jelas (bisnisnya bangkrut). Tidak cukup perasaan "sakit hati" atau malu di depan umum. Selain itu, bebas berpendapat. Dan sekaligus rakyat dididik untuk berdiskusi dan berdebat dengan cara terbuka, untuk menerima pendapat yang berbeda yang tidak disenangi. Mudah sekali, dan bisa dikembangkan di sini dengan cepat.

Kondisi ini belum umum di Indonesia karena satu sebab saja: Peninggalan sistem Orde Baru, yang kembangkan pola pikir "militer", dan masih berlaku di banyak sekolah, kampus, organisasi, dan keluarga. Guru selalu benar, jangan berani berbeda pendapat, "diam dan taat" adalah sikap terbaik. Kata "guru" bisa diganti dengan siapa saja yang berkuasa: Pemerintah, pemda, pejabat, ketua, atasan, bapak, ustadz, dll. Diam dan taat, jangan berani melawan, walaupun dia salah. Yang berkuasa selalu benar.

Tapi tidak harus begitu. Rakyat bisa dididik untuk membuka pikirannya, mencari wawasan, berdiskusi secara bebas, menerima pendapat yang tidak disenangi, dan insya Allah umat Islam dan bangsa Indonesia akan bisa maju dengan cepat. Kenapa? Karena pola pikir itu adalah pola pikir dewasa yang dimiliki kebanyakan dewasa di seluruh dunia dan terbukti membawa kemajuan karena semua pendapat jadi ketahuan oleh semua orang, jadi kita bisa saring sendiri dan berpikir secara luas. Kepercayaan pada sistem demokrasi dibangun di atas hak berbeda pendapat. Ketika perbedaan pendapat, kritikan, dan bahkan penghinaan tidak boleh, maka hasilnya adalah negara diktator.
-Gene Netto

Jokowi: Kalau UU ITE Tak Bisa Beri Keadilan, Saya Minta DPR Revisi
https://news.detik.com

23 September, 2020

Menghina Orang, Masuk Penjara, Apa Manfaatnya Bagi Kemajuan Indonesia?

Polisi menjadi sibuk. Bukan karena menangkap pembunuh, perampok, begal, koruptor, pelaku pemerkosaan dan sodomi terhadap anak, dll. Polisi dibuat sibuk menangkap orang yang "menghina" orang atau kelompok lain. Cukup satu orang mengaku "sakit hati" dan polisi harus bertindak. Apa manfaatnya bagi kemajuan Indonesia kalau polisi dibuat sibuk menjaga "perasaan hati" orang?

Di negara barat, anak kecil diajarkan untuk cuek saja kalau ada anak lain yang menghinanya. Yang penting jangan diserang secara fisik. Kalau sewaktu-waktu diejek teman kelas, orang tua mendidik anak untuk abaikan saja. Harga diri kita berasal dari diri sendiri, dan martabat kita di mata keluarga dan teman. (Ini bukan tentang bullying, tapi komentar buruk atau penghinaan yang tidak rutin.)

Hasilnya, kebanyakan orang menjadi dewasa yang bisa abaikan perkataan dan komentar orang lain. Hormat kita berasal dari kita sendiri, bukan pendapat orang lain. Apa di Indonesia sebaliknya? Yang penting hanyalah kehormatan yang didapatkan dari orang yang tidak dikenal? Pendapat pribadi kita, keluarga, dan teman tentang kemuliaan kita tidak penting? Martabat kita berada di tangan orang lain, dan bisa bangkit atau hancur ketika satu orang lain bersuara? Dan solusinya adalah penjarakan orang untuk "menjaga" kehormatan kita yang begitu rapuh?

Saya tidak lihat manfaatnya bagi kemajuan Indonesia kalau kondisi ini berlangsung terus. Indonesia akan lebih baik kalau ada UU Kebebasan Bicara, dan rakyat diizinkan bicara seenaknya, dan hanya orang yang jahat dan berbahaya yang masuk penjara. Orang yang menghina kita cukup diabaikan saja karena pendapat mereka tidak penting sedikit pun! Menyatakan mereka salah, lalu lupakan saja. Tidak perlu menjadikan mereka dan komentarnya berita nasional!
-Gene Netto

Kemenkes Somasi Jurnalis Narasi TV karena Hina Terawan
https://www.cnnindonesia.com

Hina Habib Rizieq Sampah, Budi Djarot Dipolisikan FPI ke Polda Metro
https://news.detik.com

Pengakuan Nenek 67 Tahun Penghina Ahok: Ingin Dapat Like-Komen Lalu Ketagihan
https://news.detik.com

Hina Guru via Facebook, Pria Ini Hendak Klarifikasi tetapi Berujung Ricuh
https://regional.kompas.com

Polisi di Medan Didesak Tangkap Pria Penghina Cadar
https://www.tagar.id

11 May, 2020

Kenapa Semua Kesalahan Harus Dibalas Dengan Penjara?

Salah satu hal yang menyedihkan di Indonesia adalah hukum. Hal yang cukup "sepele" dibalas dgn ancaman penjara, dengan tuntutan hukum yang melebihi yang dikasih kepada pembunuh, pemerkosa anak, koruptor, dll. Kenapa tidak dibuat sanksi selain penjara? Kenapa polisi dan jaksa tidak punya wewenang utk selesaikan perkara secara sosial saja, daripada dengan penangkapan dan ancaman bertahun-tahun penjara? Semua penjara penuh. Banyak pembunuh, perampok dan pemerkosa belum ditangkap. Kenapa membuat sistem pengadilan penuh dgn urusan yang tidak penting, apalagi tidak ada korban yang menderita secara serius.

Apa Ferdian salah lakukan prank berikan sampah kepada waria? Iya. Korban prank malu? Ya. Apa ada yang mati, terluka, atau trauma mendalam (spt korban pemerkosaan)? Tidak. Kenapa perlu diancam dgn penjara 12 tahun? Apa anak berusia 19 tahun yang shalat sambil joget salah? Ya. Apa keluarganya malu? Ya. Apa ada orang Muslim yang marah? Ya. Apa ada yang mati, terluka, atau trauma mendalam? Tidak. Kenapa perlu dipenjarakan 5 tahun?

Sistem hukum begini, yang balas semua "kesalahan" dengan penjara, sangat tidak bermanfaat untuk kemajuan negara. Sayangnya, pemerintah, DPR, dan rakyat diam saja dan membiarkan rakyat selalu waswas, takut bicara, takut bertindak, takut menulis di medsos, karena "TANPA ADA NIAT JAHAT", seorang pemuda bisa diancam dengan penjara 5-10 tahun. Seakan-akan pemerkosa anak dan pembunuh dan orang yang bikin prank utk YouTube adalah setara. Padahal mereka sangat tidak setara. Semoga rakyat dan pemerintah segera bersatu untuk mengubah sistem hukum ini, dan rakyat Indonesia menjadi lebih bebas dalam bicara dan bertindak, dan kesalahan yang tidak berlandasan "niat jahat" cukup dibalas dgn kemarahan sosial saja.
-Gene Netto

Berbaju Tahanan, YouTuber Ferdian Paleka Terancam 12 Tahun Bui
https://news.detik.com

Polisi Tangkap Pembuat Video Salat Sambil Joget di TikTok
https://www.cnnindonesia.com

31 December, 2019

Ahmad Dhani Bebas dari Penjara

Mengucapkan satu kata seperti "idiot" dan pelaku bisa masuk penjara 1 tahun, bersama pembunuh, perampok dan pemerkosa. Pemerintah melindungi rakyat dari perasaan sakit hati, seperti halnya orang tua melindungi balita dari perasaan sakit hati. Orang tua tahu anak mereka ber-IQ rendah, tidak bisa berlapang dada, dan tidak bisa kontrol emosinya karena belum dewasa. Lalu pemerintah mengharapkan apa dari rakyat kalau sikapnya sama seperti orang tua terhadap balita? Kapan boleh menjadi dewasa?

Sayang sekali kalau tidak boleh ada hak bicara bebas di negara ini. UUnya sudah ada, tetapi dipangkas oleh DPR dan pemerintah! Membahas agama lain masuk penjara, membahas agama sendiri masuk penjara, menyampaikan pendapat pribadi secara jujur masuk penjara. Rakyat diharapkan selalu takut bicara jadi lebih baik rakyat berbohong terus. Itu lebih aman daripada ungkapkan pendapat dan perasaan secara jujur.

Pasal pencemaran nama baik dan pasal2 lain selalu menanti kalau ada yang berani bahas apa yang dipikirkan secara jujur. Terbukti satu kata sudah cukup untuk menjadi penyebab masuk penjara! Di negara2 maju, orang yang paling berbahaya yang masuk penjara. Di Indonesia, orang yang membuat satu orang lain merasa sakit hati juga bisa masuk penjara! Aneh betul. Tapi rakyat takut protes. Di negara barat, ada hak bicara bebas, dan hal itu menghasilkan perdebatan pro dan kontra. Di Indonesia, diam dan taat lebih diutamakan daripada berpikir sendiri dan banyak bertanya.

Korea Utara, Rusia dan Cina akan kirim pujian bagi pemerintah Indonesia! Mereka sudah duluan membuat rakyatnya takut bicara! Tapi apa ada yang bisa menjelaskan kenapa Indonesia mau meniru mereka? Yang sangat takut pada hak bicara bebas selalu membahas "kerukunan". Tapi yang mereka puji adalah kerukunan palsu, di mana orang senyum di depan muka kita (karena terpaksa, karena takut jujur) dan menghujat kita di belakang punggung. Itu bukan kerukunan.

Terlihat di negara maju. Orang naik panggung, saling menghujat dan menghinakan dan mengatakan ide2 pihak lawannya jelek dan buruk. Lalu setelah acara selesai, mereka ngopi bersama dan diskusi sebagai kawan. Kenapa? Karena ada kerukunan yang benar. Mereka saling tidak setuju, tapi bisa menghargai hak orang lain. Di Indonesia tidak. Kita harus pura2 rukun, padahal membenci orang lain, tapi kebencian itu tidak boleh diungkapkan. Kasihan anak Indonesia yang tidak mau dikasih kebebasan dari pemerintahnya sendiri. Apa ini hasil perjuangan kemerdekaan? Rakyat yang takut bicara? Apa bedanya dengan zaman penjajahan?  
-Gene Netto

Ahmad Dhani Bebas dari Penjara
https://www.kompas.com

09 December, 2019

Warga NTT Sangkal Menista Yesus: Saya Pertanyakan Agama Saya, Kok Dipenjara?

Dengan adanya UU 156 penistaan agama (tanpa definisi yg jelas) dan UU ITE, kita hanya perlu tunggu saja pemeluk agama yang sama saling melaporkan. UU ini sangat buruk, dan merusak masyarakat. Pemerintah anggap UU itu menjaga kerukunan. Tapi yang didapatkan hanya kerukunan palsu. Orang yang diam karena takut masuk penjara tidak sama dengan orang yang menerima pendapat yang berbeda.

Kondisi ini membuat rakyat Indonesia setara dengan anak balita. Banyak orang tua melihat anaknya lari, tabrak kursi, jatuh, dan menangis. Orang tua datang ke balita, dan suruh jangan menangis. Kursi yang jahat! Anak tidak bersalah! Kursinya ditampar dan disalahkan. Ini sebuah pola pendidikan yang umum, tapi salah. Anak tidak dididik untuk bersikap dewasa, berlapang dada, dan menjaga diri sendiri. Kesalahan dilimpahkan pada pihak yang lain. Anak yang sakit hati harus dilindungi dari "kejahatan" pihak lain yang menjadi penyebab sakit hati.

Pemerintah Indonesia sepertinya senang dengan sistem pemikiran seperti itu sejak masa Orde Baru. Rakyat dianggap setara dengan anak balita, yang perlu diarahkan dan dilindungi oleh pemerintah. Rakyat tidak bisa mengurus diri sendiri, atau menjadi dewasa. Ketika terjadi masalah, rakyat diharapkan menunggu pemerintah datang, mengusap kepala rakyat, dan "memukul" pihak yang bikin rakyat sakit hati. Rakyat tidak perlu dewasa dan menerima kenyataan ada orang yang punya pendapat yang buruk di dunia ini. Pemerintah akan melindungi rakyat, agar rakyat selalu "senang" dan tidak perlu diganggu dengan pemikiran yang berat.

Indonesia akan maju lebih cepat, dan lebih siap menjadi pemimpin dunia, kalau ada kebebasan bicara di sini. Yang sangat takut memberikan hak bicara bebas pada rakyat hanyalah para diktator di seluruh dunia.
-Gene Netto

Warga NTT Sangkal Menista Yesus: Saya Pertanyakan Agama Saya, Kok Dipenjara?
2019/11/10 Andi Saputra – detikNews. Alor - Lamboan Djahamao dinyatakan Mahkamah Agung (MA) telah menista agama dan dijatuhi hukuman 6 bulan penjara. Lamboan yang juga penganut Protestan itu merasa janggal dengan putusan itu karena ia mempertanyakan keyakinan yang dianutnya yaitu kelahiran Yesus pada 25 Desember.
https://news.detik.com

21 November, 2019

Biarawati di Perancis Dilarang pakai Kerudung Suster di Rumah Jompo

Seorang biarawati di Perancis sudah masuk usia pensiun. Setelah mengabdi di Gereja 50 tahun, dia kembali ke kota asalnya, dan lamar untuk masuk rumah jompo milik negara (seperti haknya semua warga biasa di sana). Mereka mau terima, tetapi dengan syarat: kerudung suster yang dipakai sebagai simbol pengabdian dalam agamanya wajib dicopot. Juga dilarang memakai kalung salib kalau "terlalu besar".

Ini efek dari hukum di Perancis yang melarang semua simbol agama dalam semua instansi milik negara (sekolah, universitas, gedung pemerintah dan pemda, dll.). Dianggap hukum "sekuler" ini membuat semua orang menjadi "sama" dan "bebas" karena tidak "terganggu" oleh agamanya orang lain. Di sana diperdebatkan oleh rakyat, tapi sampai saat ini, pihak yang melarang menang di atas pihak yang ingin memberikan kebebasan untuk memakai pakaian apa saja, termasuk pakaian agama.

Di banyak negara barat, kebebasan merupakan hasil perjuangan ratusan tahun, karena dulu rakyat ditindas dengan banyak larangan oleh raja, penguasa, atau pemerintah yang tidak peduli pada rakyat. Dari perjuangan melawan penindasan itu, muncul kebebasan mutlak (dengan beberapa larangan khusus saja). Perancis malah memaksa rakyat taat pada kemauan pemerintah utk sembunyikan agama, dan mereka anggap itu "paling bebas". Ini salah satu efek negatif ketika agama dibuang jauh2 dari pemerintahan.
-Gene Netto

French nun misses out on retirement home place over veil ban

19 November, 2019

Atta Halilintar Dilaporkan ke Polisi atas Dugaan Penistaan Agama


Ini kondisi Indonesia sekarang. Satu kalimat, satu tindakan, bisa menjadi penyebab  pelaku kena pasal penistaan agama dan masuk penjara. Cukup satu orang yang merasa dalam hatinya, "Saya tersinggung atas nama agama saya" dan pelaku bisa ditangkap. Tidak ada kebebasan bicara. Tidak ada kebebasan beragama. Yang ada hanyalah kebebasan untuk "tidak pernah berbeda pendapat dengan semua orang yang lain". Hanya ada satu bentuk kebenaran, yang dimiliki orang yang merasa sebagai korban. Pendapat orang lain tidak penting.

Satu orang yang merasa "tersinggung", atas nama sebuah agama dengan 1,8 milyar pengikut, berhak penjarakan orang lain untuk mengatasi rasa sakit hati pribadinya. Definisi "penghinaan" milik 3 hakim. Niat dan tujuan pelaku tidak penting. Permintaan maaf dari pelaku tidak penting. Yang penting hanya "korban" yang merasa agamanya telah disakiti oleh 1 kalimat atau 1 tindakan. Toleransi berasal dari kemampuan untuk tidak setuju dengan orang lain dan tetap sopan dan bersahabat. Sedangkan di sini, toleransi diartikan semua orang takut membahas agama karena terancam masuk penjara.

Semoga pemerintah punya rencana bangun banyak penjara baru. Soalnya, dengan pasal penistaan agama, pembahasan agama apapun oleh siapapun (termasuk membahas agama sendiri) menjadi penuh risiko. Kasihan anak Indonesia yang harus hidup di negara seperti ini.
-Gene Netto


Kalau Presiden Buruk, Di Amerika Boleh Ditampilkan, Di Indonesia Bisa Masuk Penjara

Dalam video ini, HANYA ada perkataan Presiden Trump sendiri. Tapi dikemas kembali untuk menunjukkan beberapa sifat buruknya. Dia selalu cap diri "paling baik" dalam berbagai hal. Dia mengaku punya banyak "teman". Dia menghitung sampai "nomor paling besar". Dia selalu berlebihan, selalu menyatakan "milyaran" tentang hal apapun.

Trump terbukti berbohong lebih dari 10 ribu kali sejak menjadi presiden. Video ini menjadi bagian dari sifat buruk Trump, yang ingin ditampilkan. Di Amerika boleh. Ada hak bicara bebas. Tetapi di Indonesia, presiden wajib "dihormati" dan definisi hormat terserah pemerintah. Jadi kalau ada video seperti ini yang dibuat tentang Jokowi, walaupun bermanfaat untuk rakyat, maka pelaku dan orang yang sebarkan bisa terancam dengan penjara. Terserah pemerintah menggangap suatu video sebagai penghinaan atau tidak.

Indonesia akan menjadi lebih baik kalau ada hak bicara bebas. Kalau kita tidak suka pendapat orang lain dalam suatu hal, cukup kita berhenti mendengarkan mereka. Penjara bukan solusi, karena hanya membuat rakyat takut bicara, tanpa manfaat yang jelas bagi negara. Negara yang paling anti terhadap hak bicara bebas hanyalah negara diktator. Kenapa Indonesia tidak berani memberikan kebebasan terhadap rakyat? Indonesia adalah negara demokrasi milik rakyat, bukan milik orang yang menjadi pejabat sementara.
-Gene Netto

Trump Talk: All Our Best Mashups In One Video

Nabi Muhammad Dibandingkan, Sukmawati Dipolisikan

Ini efek buruk dari pasal 156 dan UU ITE. Orang yang "bicara" bisa masuk penjara, selama 2 tahun, ditaruh di sel yang sama dengan pembunuh, pemerkosa, dan perampok. Kalau membahas agama lain, cukup mengucapkan 1 kalimat, dan cukup 1 orang merasa tersinggung, kita bisa masuk penjara. Ditangkap polisi, ditahan menunggu persidangan, lalu 3 hakim akan memutuskan sendiri apa 1 kalimat itu telah "menistakan agama" tersebut. Membahas agama lain berbahaya. Membahas agama sendiri berbahaya. Siapapun, di mana pun, dari ucapan apapun, dengan niat apapun, bisa masuk penjara.

Tidak ada pengecualian untuk orang yang melakukan "diskusi agama". Atau untuk orang yang melakukan perbandingan agama secara akademis. Cukup 1 kalimat. Cukup 1 orang yang mengangkat diri menjadi korban. Tidak penting niat pelaku apa. Tidak penting 2 milyar manusia lain TIDAK merasa tersinggung. Satu orang yang angkat diri menjadi "korban sakit hati" menjadi cukup untuk penjarakan orang lain.

Pasal2 ini merusak kemajuan Indonesia, dan membuat rakyat takut bicara. Kita tidak bisa tahu isi hati orang yang sebenarnya, karena kebanyakan orang akan takut buka mulut dan bicara dgn jujur ttg apa yang mereka pikirkan. Negara ini menjadi penuh dengan pembohong dan orang munafik, yang terpaksa rahasiakan isi hati mereka agar tidak masuk penjara. Sejarah di negara lain membuktikan bahwa kondisi seperti itu akan timbulkan kerusakan dan perpecahan di jangka panjang. Indonesia akan maju lebih cepat kalau rakyat boleh bicara secara bebas dan kita bisa tahu secara pasti siapa teman dan siapa yang musuh. Tapi dalam kondisi sekarang, semua orang terpaksa pasang topeng, dan kita tidak tahu apa-apa...
-Gene Netto

Nabi Muhammad Dibandingkan, Sukmawati Dipolisikan

23 September, 2019

Bahayanya Pasal Penghinaan Presiden: Hina Erdogan, Politikus Turki Divonis 10 Tahun Penjara

Ibu Canan Kaftancioglu adalah anggota partai oposisi, Partai Rakyat Republik (CHP), di Istanbul. Dia punya peran penting dalam kekalahan partainya Erdogan (AKP) dalam pilkada yang memilih walikota baru utk Istanbul. Karena CHP menang, Erdogan jadi malu sekali. Simsalabim, tweet dari 2012 menjadi dasar untuk tangkap Canan Kaftancioglu, dengan pasal "menghinakan presiden" ditambahkan pasal "mendukung terorisme". Pengadilan tunduk dengan kemauan Erdogan, dan Ibu Canan Kaftancioglu dihukum 9 tahun 8 bulan penjara.

Kemarin banyak orang yang protes ketika saya bahas pasal penghinaan presiden di sini. Katanya Indonesia negara timur, dan tidak usah peduli pada hukum di negara lain. Saya jelaskan bahwa dulu di negara lain juga ada pasal penghinaan pemimpin, biasanya utk raja, dan dipakai utk penjarakan orang yang berani lawan raja. Di semua negara diktator, pasal itu masih digunakan dgn tujuan yang sama. Diktator selalu berusaha kontrol pemikiran dan perkataan rakyat, dan membuat rakyat takut melawan.

Sejarah dunia penuh dengan contoh, tapi mohon maaf, banyak orang Indonesia tidak belajar sejarah dunia. Hasilnya, mereka merasa presiden perlu dilindungi dari kata2 yang membuatnya sakit hati. Ini dianggap masalah "hormat", tapi sangat keliru. Hormat itu seharusnya merupakan pilihan. Bukan paksaan. Diktator tidak berikan pilihan, dan memaksa rakyat menghormati pemimpin. Sayangnya, banyak orang Indonesia tidak mau belajar dari sejarah kelam di negara lain, dan mau ulangi kesalahan yang sama, yang rata2 menghasilkan kerusakan pada sistem politik.
-Gene Netto

Hina Presiden Erdogan, Politikus Turki Divonis 10 Tahun Penjara
Minggu, 08 September 2019. Tak lama setelah putusan pengadilan dibacakan, politikus CHP Ekrem Imamoglu mengatakan, "Tidak ada keadilan di negara ini. Di Turki, bukannya mendengarkan suara hati mereka, hakim condong ke istana (kantor Presiden)." Dia mengklaim, Kaftancioglu dijatuhi hukuman "karena keberhasilannya dalam pemilu di Istanbul".
https://www.suara.com

15 July, 2019

Dapat Grasi Jokowi, Terpidana Kasus Sodomi di JIS Bebas!

Sayangnya, yang WNI masih di penjara. Sejak awalnya kasus ini, saya tidak percaya guru Neil Bantleman ini bersalah. Secara singkat:

1. Dia tidak mengaku bersalah. Dalam mayoritas kasus lain, ketika sudah ditangkap, pelaku mengaku dgn harapan vonisnya lebih ringan. Ini tidak.

2. "Korban" diperiksa di rumah sakit di Indonesia dan Singapura. Tidak ada penyakit atau kerusakan pada anus. Bukan korban sodomi. Setelah dapat hasil itu, anak dibawa ke rumah sakit yang lain. Simsalabim, dinyatakan korban sodomi dan ada penyakit herpes. Hanya hasil itu yang diterima di pengadilan. Yang lain dibuang.

3. Dalam video singkat dari persidangan, seorang hakim perempuan teriak penuh emosi. Dia tanya Bantleman main seks berapa kali dgn isterinya setiap minggu. Bantleman jawab biasanya 1 kali. Sibuk kerja, dan sudah lama menikah. Hakim terhormat tambah histeris, dan teriak pria yang tidak main seks setiap hari pasti menjadi pedofil. (Wah?) Kesannya, terdakwah sudah divonis bersalah sebelum sidang mulai. Bukti tidak penting.

4. Anak yang dikatakan "korban" masuk JIS dgn santai, dan tunjukkan lokasi "kejadian". Anak itu terlihat bosan, bukan trauma. Dalam ribuan kasus lain, anak begitu trauma sampai tidak mau keluar dari rumah, berhenti makan, menolak kehadiran pria dewasa, histeris kalau mendekati lokasi, dsb. Anak ini terkesan korban trauma paling santai sepanjang zaman. Kalau tidak salah ingat, Kak Seto juga komentari keanehan itu.

5. "Lokasi kejadian" adalah ruang guru, yang seluruh temboknya dibuat dari kaca, di tengah ruangan2 administrasi, yang semua temboknya juga dibuat dari kaca. Banyak orang melintas wilayah itu, dan ada CCTV. Di mana buktinya anak itu disodomi oleh gurunya di ruangan terbuka itu? Sepertinya tidak perlu bukti rekaman atau saksi.

Kesimpulannya: Tidak terlihat ada bukti Mr. Bantleman sodomi seorang anak di ruang guru, yang seluruh temboknya dibuat dari kaca, sehingga membuat anak itu menderita penyakit herpes, yang hanya bisa terdeteksi di satu rumah sakit. Setelah Bantleman masuk penjara, ada tim investigasi dari tivi Australia yang minta izin tes darah anak itu lagi. Lab independen tidak temukan penyakit herpes. Kata ibunya: Lab itu salah! Anaknya ada herpes!

Kenapa bisa muncul kasus ini? Ada kabar burung JIS mau digusur. Kalau muncul kasus sodomi, mungkin diharapkan siswa ditarik, sekolah tutup, dan tanah mau dijual. Lalu kalau memang ketahuan Bantleman tidak bersalah, kenapa baru dibebaskan sekarang? Mungkin ada suatu janji dari Kanada, untuk menolong Jokowi dengan suatu hal? Yang jelas, dari keterangan di atas, saya anggap Bantleman sebagai korban "keadilan" Indonesia. Keadilan bukan suatu kepastian di negara hukum ini!
-Gene Netto

Dapat Grasi Jokowi, Neil Bantleman Terpidana Kasus Sodomi di JIS Bebas!
Jumat 12 Juli 2019, Indah Mutiara Kami, Dhani Irawan – detikNews
https://news.detik.com

10 July, 2019

Pertama Mereka Datang untuk Orang Komunis…

Ini sebuah puisi yang terkenal di negara barat:

Pertama mereka datang untuk [tangkap] orang komunis,
dan saya tidak berbicara karena saya bukan orang komunis.
Kemudian mereka datang untuk [tangkap] anggota serikat buruh,
dan saya tidak berbicara karena saya bukan anggota serikat buruh.
Kemudian mereka datang untuk [tangkap] orang Yahudi,
dan saya tidak berbicara karena saya bukan seorang Yahudi.
Kemudian mereka datang untuk [tangkap] saya,
dan tidak ada orang yang tersisa untuk berbicara bagi saya.

Assalamu’alaikum wr.wb. Mungkin banyak orang belum pernah baca puisi terkenal ini. Ditulus oleh seorang pastor Jerman bernama Martin Niemöller pada tahun 1946. Waktu Adolf Hitler dan partai Nazi bangkit, Niemöller dukung mereka. Saat orang komunis ditangkap dan dipenjarakan, Pastor Niemöller diam, karena dia bukan orang Komunis. Lalu, Nazi tangkap anggota serikat buruh, dan Niemöller diam, karena bukan anggota serikat buruh. Lalu, Nazi tangkap semua orang Yahudi, dan Niemöller diam karena bukan orang Yahudi.

Lalu Hitler mengatakan pemerintah harus berkuasa di atas agama, dan Pastor Niemöller mulai mengritik Hitler, tapi sudah telat. Jadi pada saat Niemöller sendiri dipenjarakan, tidak ada pihak lain yang tersisa, yang berani berbicara dan protes atas nama dia. Orang lain diam, karena "mereka bukan pastor".

Kejadian nyata ini dipelajari di sekolah di negara barat. Kalau rakyat diam, dan membiarkan pihak tertentu dalam pemerintah membuat aturan semaunya, dan anggap anggota rakyat sebagai "musuh", tanpa peduli pada keadilan, atau aspirasi rakyat, maka pada saat pihak itu mau penjarakan kita juga, disebabkan afiliasi kita, tidak ada sisa orang yang berani bicara untuk melindungi kita!

Zaman dulu di negara2 barat, orang yang "menghinakan pemimpin" kena hukuman keras. Bisa disiksa, dipenjarakan, atau dibunuh. Tidak ada kebebasan bicara. Rakyat jadi korban kedzholiman terus. Kalau berani mengritik, dianggap orang subversif yg menghinakan pemimpin dan pemerintah. Lalu negara2 itu berubah, disebabkan pengalaman buruk itu. Rakyat diberikan hak bicara bebas, selama hanya "bicara" dan tidak "bertindak".

Terbukti, mayoritas dari rakyat tidak mau menghinakan pemimpin. Rakyat belajar bersikap dewasa dalam diskusi, dan pemerintah tidak menjadi sibuk melindungi orang dari "perasaan sakit hati". Sistem kebebasan bicara itu muncul dari sejarah yang gelap, dan terbukti lebih besar manfaatnya kalau rakyat boleh bebas, daripada pikiran dan ucapan rakyat harus "dikontrol" oleh pemerintah. Coba anda pikirkan. Sistem mana yang terbaik untuk kemajuan bangsa Indonesia? Mau ulangi sejarah buruk itu, atau mau belajar dari kesalahan orang lain dan memberikan kebebasan, sambil mendidik rakyat berdiskusi dewasa? Atau harus menunggu anda sendiri menjadi korban, baru berani protes, seperti Pastor Niemöller?
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto


[Ini versi bahasa Inggrisnya]:

First they came…

First they came for the communists,
and I didn't speak out because I wasn't a communist.
Then they came for the trade unionists,
and I didn't speak out because I wasn't a trade unionist.
Then they came for the Jews,
and I didn't speak out because I wasn't a Jew.
Then they came for me
and there was no one left to speak out for me.

- Martin Niemöller

https://en.wikipedia.org

08 July, 2019

Pelanggaran UU ITE di Kasus Hina Jokowi Mumi

Mungkin perlu dipasang spanduk baru di bandara:

*** "Selamat datang di Indonesia! Hati-hati kalau bicara. Tidak ada hak bicara bebas di sini. Kalau anda menghinakan orang lain, bisa masuk penjara!" (1)

Catatan Kaki (1): Definisi "penghinaan" terserah pemerintah, jaksa dan hakim. Jangan minta contohnya. Setiap hari bisa berubah, tergantung siapa yang membuat tuntutan. Lakban untuk tutupi mulut dijual di tempat pengambilan bagasi. Selamat berlibur di Indonesia. Awas, jangan banyak bicara ya! ***

Korea Utara sudah sangat pandai membuat rakyatnya takut bicara. Di sana berhasil menciptakan rakyat yang "rukun" yang tidak pernah menhinakan presiden, atau pejabat, atau organisasi. Jangankan menghinakan, mengritik saja tidak berani. Orang yang buka mulut bisa hilang, masuk penjara bertahun-tahun, tanpa sidang. Indonesia masih lebih baik. Ada kesempatan masuk pengadilan sebelum masuk penjara. Tapi apa pernah ada yang kena pasal UU ITE lalu TIDAK masuk penjara?? Apa anggota DPR mau studi banding ke Korea Utara untuk belajar cara2 yang paling efektif membuat rakyat ketakutan pada pemerintah? Kalau mau meniru negara kediktatoran, kenapa tidak langsung belajar pada ahlinya?
-Gene Netto

3 Saksi Ahli Kuatkan Dugaan Pelanggaran UU ITE di Kasus Hina Jokowi Mumi
Sabtu 06 Juli 2019, Erliana Riady - detikNews
https://news.detik.com

PPP Minta Bareskrim Usut Akun Zara Zettira yang Disebut Hina Pesantren
Jumat 05 Juli 2019, Gibran Maulana Ibrahim - detikNews
https://news.detik.com

04 July, 2019

Mau Hidup di Negara Demokrasi atau Negara Kediktatoran?

Negara2 kediktatoran punya ciri2 yang sama. Tidak ada kebebasan bicara. Kritikan terhadap pemerintah (termasuk satire, ucapan konyol yang spontan, dan penghinaan) dianggap ancaman terhadap negara karena bisa berikan wawasan yang tidak diinginkan kepada rakyat, dan membuat rakyat meragukan kebenaran pemerintah. Penghinaan terhadap pemimpin dilarang. (Definisi "penghinaan" terserah pemerintah). Dan orang yang sebatas "menghina" pemimpin diancam penjara bertahun-tahun, sama seperti pembunuh, pemerkosa dan teroris.

Sebaliknya, di negara2 demokrasi, di mana pemimpin diangkat dari rakyat untuk melayani rakyat, ada ciri2 yang sama juga. Ada kebebasan bicara. Kritikan terhadap pemimpin dan pemerintah diizinkan secara bebas. Pemimpin dianggap pelayan, dan bukan mahluk suci. Rakyat yang mengritik dan menghinakan tidak kena ancaman penjara. Hal seperti "pencemaran nama baik" sulit dimenangkan di pengadilan karena hak bicara bebas adalah hak mutlak. Dan kerugian nyata dari pencemaran nama tersebut harus dibuktikan oleh korban. (Dipecat dari pekerjaan, bisnisnya bankrut, dsb.)

Turki sudah menunjukkan ciri2 negara kediktatoran di bawah kepemimpinan Erdogan. Anehnya, banyak orang Muslim di Indonesia sibuk memujinya. Hanya karena "kebaikan" yang dia lakukan. Seorang diktator juga bisa berbuat baik. Tapi kebaikan itu tidak menghapus ketidakadilan yang dia lakukan.
-Gene Netto

Politisi Oposisi Turki Terancam Bui 17 Tahun karena Postingan 6 Tahun Lalu
Sabtu 29 Juni 2019, Rita Uli Hutapea - detikNews
Istanbul - Politisi oposisi Turki, Canan Kaftancioglu telah ditangkap atas serangkaian postingan di Twitter yang mengkritik pemerintah dan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
https://news.detik.com

01 July, 2019

Cabuli 34 Murid, Guru Matematika Divonis 9 Tahun Penjara

Seorang guru manfaatkan posisinya untuk cabuli dan sodomi 34 anak. Jaksa menuntut 12 tahun. Tapi hakim baik hati, dan hanya kasih 9 tahun saja. 9 tahun x 12 bulan = 108 bulan. 108 bulan dibagi 34 = 3 bulan per korban. Bayangkan kalau anda anak disodomi gurunya, lalu dipenjarakan utk 3 bulan.

Memang tidak begitu cara menghitung sebuah hukuman. Maksud saya, seorang guru yang sodomi 1 murid saja bisa kena hukuman 9 tahun. Jadi, kalau mau sodomi murid, lebih baik sodomi sebanyak-banyaknya, untuk dapat kenikmatan yang maksimal. Soalnya kalau hanya 1 siswa saja, hukumannya bisa sama dgn 34 atau 100 siswa. Jumlah tidak menjadi persoalan di pengadilan ternyata.

Saya juga tidak paham logika hakim. Hal yang "meringankan" vonisnya adalah pelaku belum pernah dihukum. Jadi kalau belum pernah ditangkap karena sodomi anak bertahun-tahun, maka itu dianggap hal yang "baik"? Sedangkan seorang guru yang sodomi 1 anak, dipenjarakan, keluar, sodomi lagi, dianggap buruk, padahal korbannya cuma 2? Bagi saya tidak masuk akal. Pelaku juga mengakui perbuatannya. Tapi ada 34 saksi. Siapa yang peduli kalau dia mengaku? Kalau teroris bunuh 34 orang dan polisi sudah punya bukti lengkap, masa diringankan hukumannya hanya karena mengaku? Dan kalau tidak mengaku, hukumannya berat? Logika dari mana itu?

Lebih aneh lagi, diringankan vonis karena "berjanji" tidak akan mengulangi perbuatannya. Sudah diulangi 34 kali sebelum ditangkap. Ketika menjadi guru, ada kontrak kerja, dgn pasal2 berjanji taat pada aturan, dsb. Dia sudah ingkari janjinya dalam kontrak itu. Ketika ditangkap karena sodomi siswa, tiba2 janjinya punya makna kuat dan vonis hakim diringankan? Kenapa hakim minta perjanjian dari orang yang telah ingkari perjanjiannya 34 kali?! Sungguh tidak logis. Kasihan anak Indonesia! Mereka patut dapat kondisi negara yang lebih berkualitas.
-Gene Netto.

Cabuli 34 Murid, Guru Matematika di Bandung Divonis 9 Tahun Penjara
https://www.merdeka.com

28 January, 2019

Dasar Hukum Kemerdekaan Berpendapat di Muka Umum

Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah menjamin kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum melalui berbagai peraturan perundang-undangan.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah menjamin kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum melalui berbagai peraturan perundang-undangan.

Pasal 28 menyatakan: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28 E ayat (2): setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 28 E ayat (3): setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28 F: setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

[Baca selengkapnya]:
http://www.gresnews.com

Hati-Hati Kalau Berani Punya Pendapat!

Makin berbahaya untuk memiliki pendapat di negara ini. Mungkin kalau mau aman, harus hapus Facebook, Twitter, WA group, tidak pernah menulis online, tidak pernah direkam orang lain, tidak menulis artikel atau buku, dan jarang keluar dari rumah. Baru bisa aman dari ancaman UU ITE, pasal penghinaan agama, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan pasal2 lain.

Kasihan anak Indonesia. Daripada diajarkan ttg manfaatnya kebebasan bicara, dan dididik untuk berbeda pendapat secara dewasa, dan berlapang dada kalau ada yang menghinakan kita, malah diajarkan untuk selalu takut berpendapat. Siapa tahu besok ada orang yang merasa "tersinggung" dari satu komentar kita. Berbahaya kalau memberikan pendapat secara jujur.

Rakyat diharapkan selalu takut terhadap pemerintah, daripada dididik untuk berdebat secara terbuka! Kalau boleh berdebat secara bebas, kita bisa dengar semua argumen, yang baik dan buruk, walaupun sebagian orang bisa tersinggung. Tapi dengan ancaman dari UU itu, kita tidak bisa tahu isi hati orang lain. Dikira teman, ternyata musuh. Dikira orang baik, ternyata orang jahat. Yang penting senyum di depan mata, berikan kata2 manis, dan pura2 baik hati. Pendidikan seperti ini tidak akan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Yang diciptakan hanya “kerukunan palsu”, yang bisa ambruk kapan saja, karena fondasinya kerukunan itu hanya sebuah fatamorgana!
-Gene Netto

Ahmad Dhani Divonis 1,5 Tahun Penjara
https://news.detik.com

21 August, 2018

Keluhkan Suara Azan, Perempuan Tanjung Balai Kena Hukuman 1,5 Tahun Penjara

 Keluhkan suara adzan, masuk penjara 1,5 tahun. Bagaimana kalau ada orang yang menulis buku yang menyatakan dgn jelas dan tegas bahwa Yesus bukan anak Tuhan, dan isi Alkitab direkayasa oleh manusia dan tidak asli lagi? Masuk sel penjara di sebelah Ahok untuk berapa tahun ya?
Sayang sekali tidak ada hak kebebasan bicara di negara ini. Daripada belajar berbeda pendapat dengan lapang dada dan menjadi dewasa, masyarakat dijaga dalam kondisi mental seperti anak kecil: emosi tinggi, dan siap menyerang siapapun yang mengganggunya. Seharusnya pemerintah mencerdaskan rakyat dan membangun masyarakat yang dewasa dan bijaksana, bukan mendukung sistem di mana semua orang takut bicara.
Kalau mau penjarakan orang yang “menghinakan” agama lain, maka seharusnya ada ada definisi tentang apa yang merupakan penghinaan. Kalau seandainya ada seorang Nabi Allah di sini sekarang, sangat mungkin dia akan dipenjarakan oleh pemerintah dgn pasal 156 itu. Soalnya, nabi itu (kalau ada) akan salahkan semua agama lain, dan suruh semua orang menerima kebenaran yang dia sampaikan dari Allah. Orang lain agama akan emosi dan mau menyerang dia. Solusi pemerintah? Penjarakan nabi itu!!  
-Gene Netto  

Keluhkan Suara Azan, Perempuan Tanjung Balai Dijerat Pasal Penodaan Agama
15 Agustus 2018, Tuntutan penjara 1,5 tahun terhadap perempuan yang mengeluhkan suara azan masjid di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 2016 lalu semakin menambah individu yang dikenai pasal penodaan agama. Meiliana mengatakan bahwa suara azan yang dikumandangkan masjid di dekat rumahnya 'terlalu keras dan 'menyakiti telinganya.
Andreas Harsono dari organisasi pegiat hak asasi manusia Human Rights Watch mengungkapkan ini untuk kesekian kalinya pasal penodaan agama "memakan korban". Aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP dianggap sebagai pasal karet dan melanggar konsep HAM yang melindungi kebebasan individu termasuk dalam menafsirkan keyakinannya. "Pasal ini dipakai sejak bulan Januari 1965, dalam 40 tahun berikutnya, dengan lima presiden hanya dipakai 8 kali. Zaman SBY 89 kali dipakai, yang masuk penjara 125 orang. Sekarang zaman Jokowi, kalau ibu (Meiliana) masuk, ada 22 korban penodaan agama," ujar Andreas kepada BBC Indonesia, Rabu (15/08).
(Baca selengkapnya):

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...