Assalamu’alaikum wr.wb., Dulu saya mengajar di sekolah negeri SMP-SMA di di Brisbane, Australia. Saya masih muda, sangat
idealis dan masih belajar tentang pendidikan dan psikologi anak. Di hari pertama, saya diberitahu akan dapat
kelas 8-F. Banyak guru langsung teriak,
karena di kelas itu ada Luke! Katanya, Luke
sering ditangkap polisi. Dia pernah coba
membakar gedung sekolah, menyerang guru,
berkelahi di kelas, dll. Setiap
hari dia dikeluarkan dari setiap kelas dan dikirim ke ruangan kepala
sekolah.
Para
guru senior mulai menggambarkan sosok sebuah monster, dengan
tanduk, mata merah, dan taring yang tajam. Tidak ada siswa yang lebih
buruk katanya. Mereka berharap saya akan
selamat kl harus mengajar Luke. Saya berusaha meyakinkan
diri bisa mengajar sebuah monster seperti itu. Di kelas,
saya panggil
nama “Luke” lalu dapat kejutan. Mukanya sangat manis dan harus dikatakan ganteng. Ini si monster?
Saya
mulai mengajar. Lima menit kemudian, ada anak yg mengejek Luke jadi dia berdiri dan menyerang. Saya
tahan Luke dan suruh dia duduk. Guru senior yg
awasi saya diam saja. Saya tegor anak yang menghina
Luke dan berdiri dekat anak itu. Luke juga
duduk dan kerjakan tugas tanpa masalah lagi. Ternyata, Luke hanya bertindak setelah dihinakan anak lain. Anehnya, guru2 senior salahkan Luke karena
menyerang, tetapi biarkan anak itu menghina Luke.
Sore
itu, Luke berdiri di luar ruang guru. Saya mulai
berpikir. Di dalam kuliah psikologi pendidikan, anak seperti ini dibahas. Ada banyak cara di dalam buku teks psikologi untuk bantu
dia. Apa bisa saya praktekkan dengan Luke? Saya coba ajak dia diskusi. Tujuan hidup Luke
apa? Katanya mau jadi pilot. Tapi saya bilang, kl
nakal terus, nanti bisa masuk penjara. Jadi saya suruh dia pilih yang lebih utama. Penjara atau pilot. Dia bilang ingin pilih menjadi pilot.
Saya
jelaskan, anak-anak lain di kelas itu sengaja mengejek Luke sebagai “permainan”. Penghinaan mereka itu ibaratnya “perintah
menyerang” dan Luke selalu nurut dan membuat mereka ketawa setelah dia kena
hukuman. Jadi Luke harus belajar utk mengabaikan
mereka. Yang penting hanya pendapat Luke tentang diri sendiri, bukan
pendapat dari orang jelek. Dia
bilang semua orang pasti marah kalau
diejek. Saya keluarkan 20 dolar (sekitar 200 ribu
rupiah). Saya
bilang “Coba menghina saya, dan kalau saya jadi emosi, kamu menang uang
ini.”
Dia mulai ucapkan kata-kata kasar, sampai kehabisan kata
dan saya masih senyum. Dia bingung. Kok bisa? Saya jelaskan, menjadi marah
adalah pilihan kita. Saya yakin
bahwa saya orang yang baik, jadi saya tidak peduli pada pendapat dia. Dan Luke juga bisa sama. Tidak perlu menjadi
marah.
Saya
ajak dia coba berdua dengan saya, dengan cara saling menghina. Saya mulai dengan menghina dia, dan dia balas dengan menghina
saya juga. Setelah
5 menit kami kehabisan kata dan mulai ketawa berdua. Saya bilang, sudah
terbukti. Luke juga bisa menahan diri dan tidak
menjadi marah.
Besok, kl ada yang hinakan Luke
di kelas, saya janji akan hentikan “serangan” mereka itu, dan
melindungi Luke. Dia kaget. Kok ada guru yg mau “melindungi” dia? Saya bilang saya akan selalu melindungi dia karena dia siswa saya.
Dia diam, seakan-akan belum pernah dapat kepedulian seperti itu dari orang dewasa. Saya bilang dia harus percaya pada saya, tidak
menyerang orang lain, dan saya akan melindungi
dia. Besok ada siswa yg
menghina Luke, dan saya langsung tegor dan
suruh minta maaf. Luke tidak gerak.
Besoknya,
saya ajak Luke diskusi lagi. Kalau mau jadi pilot, harus
dapat nilai A terus. Dia bilang tidak mungkin dapat A karena selalu dapat D dan
E di rapor. Saya ingat pelajaran dari dosen psikologi. Saya tawarkan A saat itu juga, dan Luke hanya
perlu “menjaganya” dengan tidak berbuat salah. Saya ambil rapot Luke dari laci, dan menulis
A di depan matanya. Kalau dia berkelahi, nilai itu akan turun, tapi kalau dia kembali baik,
naik lagi menjadi A. Nilai A itu sudah
menjadi hak milik dia, dan hanya perlu dijaga setiap minggu dgn ahklak yang
baik.
Dalam
rapat guru minggu itu, kepala sekolah bertanya apakah
Luke sakit, karena dia sudah seminggu tidak ketemu Luke. Padahal biasanya
ketemu setiap hari. Sepuluh guru langsung tunjuk kepada saya. Kepala sekolah bingung dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan pada
Luke?” Saya jelaskan isi dari diskusi saya dengan Luke, dan teori psikologi
anak yang sedang digunakan. Saya jelaskan cara saya
fokuskan pikirannya ke masa depan ingin menjadi pilot, dan cara memilih yang terbaik sekarang. Kepala sekolah mengatakan, “Bagus sekali Gene, tolong
diteruskan!” Saya kaget. Masih guru muda, dan
tiba-tiba dapat
pujian di depan 60 guru senior.
Total
waktu saya yang habis untuk diskusi
dengan Luke mungkin hanya 15 jam saja. Masalah utama dia sebenarnya ada di rumah.
Orang tuanya tidak ingin punya anak. Bapak sering hajar dia. Ibu sering
menghina dia dan bilang bahwa dia tidak
diinginkan. Jadi Luke belum biasa merasakan
kasih sayang, perhatian dan perlindungan dari orang dewasa dan itu sebabnya dia
menjadi liar di sekolah.
Setelah
saya pindah ke Indonesia tahun 1995, di zaman sebelum ada HP, email
dan internet, saya tidak pernah dapat kabar lagi tentang Luke,
jadi tidak tahu kalau apa dia menjadi pilot atau masuk penjara. Tapi saya masih
ingat pada dia. Mungkin dia merasa dapat “pelajaran” dari saya, tapi saya malah bersyukur sekali karena dia menjadi
pelajaran yang paling penting dalam kehidupan saya sebagai seorang guru.
Semua anak yang “nakal” bisa berubah. Anak “monster” bisa berubah. Terserah kita yang menjadi
guru, orang tua, saudara dan tetangga. Apa kita mau datang kepada anak bermasalah sebagai teman dan tawarkan bantuan, nasehat, perlindungan, dan
kasih sayang? Kalau kita siap menolong mereka dengan sungguh-sungguh, insya Allah
anak yang sangat nakal bisa berubah sebelum menjadi orang yang merusak
komunitasnya sendiri.
Ini
kisah nyata yg saya alami sendiri. Saya masih ingat dengan
tajam sampai sekarang pengalaman saya ketemu dengan Luke. Semoga kisah ini bermanfaat bagi teman-teman guru dan orang tua yang peduli pada masa depan
anak Indonesia.
Wassalamu’alaikum
wr.wb.,
Gene
Netto