Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (300) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (223) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (360) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (12) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (36) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)
Showing posts with label sekolah. Show all posts
Showing posts with label sekolah. Show all posts

09 October, 2024

Kenapa Buruk Kalau Guru "Taat Pada Aturan" Dan Potong Rambut Siswa?

Bagi orang yang belum tahu, salah satu dari pelajaran yang sangat berharga dari Perang Dunia II terkait pembelaan yang digunakan oleh prajurit Nazi, guru, polisi, hakim, PNS, dan semua petugas dan pejabat yang lain. Katanya, "Kami hanya mengikuti aturan!!" Jadi disebabkan ada "aturan" dari Hitler, orang Yahudi dan banyak kelompok yang lain boleh diusir, dipecat, ditangkap, disiksa, dipenjarakan, barangnya disita, dan juga dibunuh. Ada aturan yang mengizinkan. Semua petugas itu hanya "mengikuti aturan", jadi mereka menolak disalahkan.

Sejak itu, dalam persidangan di Eropa selama beberapa tahun, muncul pelajaran baru: Barangsiapa yang disuruh taat pada suatu aturan, atau arahan dari atasan mereka, atau aturan dari pemimpin wilayah, sedangkan mereka tahu bahwa itu buruk, jahat, tidak adil, atau bahkan melanggar UU negara, maka mereka DIWAJIBKAN MENOLAK. Dan kalau tidak menolak, maka mereka disalahkan dan harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tetapi sampai sekarang, di semua negara diktator, masih ada petugas dan pejabat yang menindas rakyat sendiri dan berikan alasan yang digunakan Nazi: “Hanya ikuti aturan!”

Dan di Indonesia, sering terlihat efeknya. Jenderal polisi suruh anak buah bunuh polisi lain, mereka laksanakan. Taat pada atasan. Kolonel TNI suruh anak buah buang dua remaja yang ditabrak mobilnya ke sungai (padahal masih hidup), dan mereka laksanakan. Taat pada atasan. Pemuda lulus dari pesantren, hafiz Quran, masuk Kementerian Agama, dan disuruh ikuti korupsi berjemaah terhadap dana Haji, dia taat pada atasan. Ada ribuan contoh yang lain.

Banyak guru juga bertindak dengan sikap yang sama. Ada aturan, ada arahan dari atasan, jadi para guru taat. Hanya ikuti aturan (atau arahan). Tidak ada yang berani protes. Tidak ada berani bertanya KENAPA harus ada aturan atau arahan itu, atau apakah adil. Tidak berani melakukan perubahan. Hanya bisa diam dan taat. Rakyat Indonesia yang dirugikan, sejak kenal guru-guru itu di masa sekolah. Pola pikir orang dewasa sekarang terbentuk oleh gurunya di zaman dulu. Diam dan taat pada aturan (dan arahan). Jangan berpikir, jangan berbeda pendapat, jangan peduli pada keadilan atau kebenaran atau ilmu atau UU negara. Diam dan taat saja. Lalu 70 juta siswa diberikan pola pikir itu dari gurunya…

Jadi sangat buruk kalau guru memotong rambut siswa secara paksa. Lebih baik 3 juta guru berani bertanya kenapa harus ada aturan yang mengatur ukuran rambut laki-laki itu, dan apa hubungannya antara rambut dan pendidikan. Lalu dicoret saja aturan tersebut, dan urusan rambut anak diserahkan kepada orang tuanya. Sederhana, bukan? Lalu orang tua dan siswa bisa diajak memberikan masukan tentang aturan mana lagi yang mau diubah di semua sekolah karena sebenarnya tidak penting, atau tidak berguna, dan hanya menjadi alat bagi guru yang buruk untuk menindas para muridnya.
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
-Gene Netto

23 July, 2024

Kenapa Pelantikan OSIS Dilakukan Dengan Gaya Upacara Militer?

Assalamu’alaikum wr.wb. Minggu lalu ada berita tentang seorang anak yang Ketua OSIS, yang tewas di sekolahnya. Pada saat mencari beritanya, saya buka beberapa video tentang “OSIS” di YouTube, lalu menjadi kaget. Ada banyak video yang menunjukkan pelantikan OSIS di sekolah. Saya baru tahu karena tidak pernah alami sendiri. Yang membuat saya kaget adalah nuansa “upacara militer” di dalam proses itu.

Militer dan sekolah berbeda. Militer harus punya disiplin ketat sehingga ketika diperintah membunuh manusia lain, prajurit tidak berani bertanya kenapa, dan langsung taat saja dan membunuh. Sekolah tidak begitu. Sekolah perlu “disiplin” juga, tapi dalam arti tidak merusak, bisa belajar tanpa mengganggu, dan sebagainya. Tidak perlu ketaatan tinggi sehingga siap membunuh manusia lain (kecuali mau ikut tawuran juga). Jadi kalau mau siapkan anak untuk menjadi pemimpin di keluarga dan masyarakat, hendaknya kita tidak mendidik mereka dengan pola pikir dan kebiasaan militer, karena tidak cocok dalam proses pendidikan anak.

Di sekolah, yang terbaik adalah anak diajarkan untuk BERPIKIR SENDIRI dan berani berprotes apabila dianggap gurunya salah, atau infonya salah. Lalu diberikan kesempatan oleh gurunya untuk menyampaikan pandangan berbeda. Kenapa ini penting? Karena semua kemajuan umat manusia di dunia berasal dari orang yang punya “pemikiran berbeda”. Listrik, telfon, mobil, pesawat, komputer, internet, dll. berasal dari orang yang melihat “keadaan sekarang” dan berusaha memperbaikinya, dan seringkali ditolak oleh masyarakat. Jadi mereka harus “melawan pendapat umum” untuk menciptakan kemajuan. Itu skil penting yang perlu didapatkan di sekolah, di bawah pembinaan seorang guru yang baik. Yang tidak dibutuhkan adalah kebiasaan diam dan taat, takut pada atasan, dan melakukan segala sesuatu dengan gaya militer.

Kalau belum tahu, di banyak negara tidak ada organisasi setara OSIS. Dan kalau ada, maka pada saat pelantikannya, anak itu dipanggil untuk maju ke depan saat rapat sekolah, lalu dikasih sertifikat dsb. Selesai. Tidak ada upacara gaya militer di halaman sekolah selama 1 jam. Dan kebiasaan itu di Indonesia tidak membina pola pikir menjadi orang mandiri yang berani berpikir sendiri untuk menenggakkan kebenaran dan melawan kesalahan. Jadi kenapa mau dilestarikan dalam 400.000 sekolah?
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Contoh perbedaan antara Pelantikan Ketua OSIS di Inggris dan di Indonesia:

Head Girl and Boy Election Results Live - 18th Jan 2019
https://www.youtube.com/watch?v=koX-twUEYbI

INAUGURAL OSIS OF SMP NEGERI 2 KRAMAT 28 October 2016
https://www.youtube.com/watch?v=iXYLremHccM


11 July, 2024

Pelajar SMA di Klaten Tewas Tersetrum usai Dilempar ke Kolam karena Ulang Tahun

"Usai rapat, teman-temannya memberikan kejutan ulang tahun dengan menaburkan tepung dan menjatuhkannya ke dalam kolam sekolah yang memiliki kedalaman 1,75 meter."

Pertanyaan yang logis:

1.    Kenapa harus ada kolam di dalam sebuah sekolah?
2.    Kenapa kolam (kalau ada) harus begitu dalam (1,75m) sehingga seorang anak tidak bisa berdiri saja tanpa kesulitan?
3.    Kenapa tidak ada jalur keluar yang jelas (seperti tangga)?
4.    Kenapa kolam (kalau ada) terletak di dekat gedung sekolah, dan bukan di tempat yang jauh dari murid, dengan pagar tinggi yang terkunci di sekitarnya?
5.    Kenapa harus ada kabel listrik di dekat kolam, sehingga ada risiko bisa jatuh ke dalam?
6.    Kenapa ketika seorang anak ulang tahun, daripada dihargai dan dihormati, malah ditabur tepung dan dilempar ke kolam? (Dikasih kado dan diajak makan bersama tidak mau?)

Dan seperti semua kasus lain (ketika ada anak yang tenggelam), korban yang mungkin dalam keadaan sesak nafas dan setengah sadar setelah disetrum, yang seharusnya langsung ditolong di tempat dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP/CPR), malah ditaruh di mobil dan dibawa jalan-jalan keliling kota. Lalu ketika anak yang tidak bernafas selama 20 menit akhirnya sampai ke tangan dokter, secara ajaib dan di luar dugaan, dokter menyatakan bahwa anak yang sebelumnya tidak bernafas itu tetap saja tidak bernafas dan sudah tewas. Disebabkan kebodohan orang di sekitarnya, terutama para guru.

Kalau ketemu anak yang tenggelam atau disetrum, langsung periksa apakah masih bernafas dan jantungnya berdetak. Kalau iya, anak itu ditenangkan dulu, berbaring miring, dijaga terus selama beberapa menit, sehingga terlihat stabil dan tenang, baru dibawa ke dokter. Kalau tidak bernafas, dan jantung tidak berdenyut, langsung mulai Resusitasi Jantung Paru (RJP/CPR). Korban dibawa jalan-jalan selama 20 menit dalam kondisi tidak bernafas = JAMINAN akan mati secara permanen.

Dan kalau di sekolah anak anda ada kolam yang lebih dalam dari ketinggian kepala anak, dan tidak ada pagar yang terkunci di sekitarnya sehingga sangat sulit diakses, maka tolong PROTES dengan keras, dan minta sekolah hilangkan kolam itu secepatnya. Sekaligus, silahkan periksa sekolah anak anda untuk puluhan hal lain yang berbahaya, seperti barang berat yang bisa jatuh, barang yang tajam, tangga yang licin, racun, dan sebagainya, dan minta semuanya diperbaiki. Sebelum anak yang anda kenal juga menjadi korban disebabkan kebodohan orang lain, yang tidak menyadari bahwa barang dan tempat tertentu bisa menjadi berbahaya bagi anak sekolah.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Pelajar SMA di Klaten Tewas Tersetrum usai Perayaan Ulang Tahun
https://daerah.sindonews.com

Pelajar SMA di Klaten Tewas Diduga Tersetrum usai Dilempar ke Kolam karena Ulang Tahun
https://www.kompas.tv

24 June, 2024

Boleh Memukul Siswa Kalau Sudah Frustrasi?

[Komentar Guru No.1 ]: "Saya berasumsi bahwa guru yang "main tangan" itu sudah kehabisan akal dan kesabaran sehingga ia melakukan pemukulan kepada siswa."

[Komentar Guru No.2 ]: "Jangan terlalu mudah menilai kesalahan seorang guru. Kita punya permasalahan yang berbeda-beda. Jangan dianggap bahwa jika guru sudah main tangan, guru yang salah, tanpa melihat penyebabnya, kelakuan anak seperti apa. Kita harus memikirkan murid lain yang mungkin terganggu satu anak nakal itu."

[Gene]: Assalamu’alaikum wr.wb. Mari kita menguji pemikiran seperti itu, dengan membawa konsepnya ke ranah yang lain.

Polisi – Kalau Polisi tangkap anak muda, interogasi berjam-jam, suruh mengaku, tapi dia menolak untuk patuh dengan polisi, maka polisi tidak salah kalau memukul anak tersebut. Yang penting tujuan tercapai secara cepat dan instan. Harus ada orang yang mengaku, masuk penjara, selesai. Kita harus memikirkan rakyat lain yang rugi kalau pemerkosa, perampok, dll. tidak segera dipenjarakan. Jadi Polisi yang frustrasi boleh memukul agar tersangka mengaku. Betul?

Pejabat – Kalau pejabat mau ambil tanah untuk bantu temannya buka perkebunan kelapa sawit, mungkin ada rakyat yang menolak jual tanah dan tidak patuh. Jadi pejabat tidak salah kalau kirim pasukan untuk memukul rakyat nakal itu. Yang penting tujuan tercapai secara cepat dan instan. Tanah dijual, dan PT kelapa sawit dibangun. Kita harus memikirkan rakyat lain yang rugi kalau tidak dibuka lapangan kerja. Penjualan tanah harus cepat selesai, jadi pejabat yang frustrasi boleh kirim pasukan untuk memukul rakyat. Betul?

Contoh-contoh lain seperti itu mudah sekali dibuat. Ada guru yang mau "main tangan" dengan alasan "sudah frustrasi". Sedangkan orang-orang lain hanya boleh "mengikuti hukum yang berlaku" ketika frustrasi, dan tidak boleh memukul karena mereka akan disalahkan oleh rakyat dan media, dan bisa menjadi kasus hukum di pengadilan. Jadi kenapa sebagian guru merasa harus ada izin khusus bagi mereka untuk memukul anak kecil yang tidak sanggup membela diri?

Semoga para guru (dan orang tua) yang suka memukul anak kecil bersedia merenung.
Kalau ada niat mendidik anak, maka mendidik mereka dengan baik. Dengan menggunakan KATA. Dengan psikologi anak. Dengan ilmu pendidikan. Bukan dengan kekerasan. Bagi orang dewasa, tidak ada hak menggunakan kekerasan kalau tidak merasa terganggu. Secara logis, harus lebih dilarang menggunakan kekerasan terhadap anak!
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

05 June, 2024

Murid di Malaysia Jadi Difabel setelah Dijemur 3 Jam di Lapangan, Keluarga Tuntut Sekolah

Assalamu’alaikum wr.wb. Awalnya, saya kurang percaya pada berita ini. Heatstroke adalah kondisi di mana manusia jatuh sakit karena tubuhnya kepanasan. Tetapi setiap hari, banyak anak main berjam-jam di bawah matahari dan tidak jatuh sakit. Banyak anak juga dipaksa berjemur di sekolah, di pesantren, sejak zaman dulu, dan jarang jatuh sakit. Lalu saya tanya ke dokter dan cari info online. Saya tahu Heatstroke berbahaya bagi anak dan dewasa, tapi saya kira paling jatuh pingsan saja. Ternyata, lebih berbahaya dari itu. Kita “beruntung” saja tidak terlalu sering menjadi masalah besar, atau berakibat fatal.

Ada beberapa faktor yang terkait. Antara lain: 1) Kondisi kesehatan anak sebelumnya. 2) Suhu udara hari itu. 3) Jam berjemurnya. 4) Pakaiannya banyak (dipaksa pakai jaket) atau tidak. 5) Boleh minum air atau tidak. 6) Boleh bergerak atau tidak. Dan sebagainya.

Ketika seorang anak dipaksa berjemur selama beberapa jam di siang hari, ketika suhu udara sangat panas, dan anak itu mungkin saja kurang sehat sebelumnya, maka selain pingsan (yang paling umum terjadi), sel otak dan organ tubuh bisa mengalami kerusakan ketika tubuhnya mencapai suhu 40 derajat Celsius. Kalau anak itu tidak pingsan dan masih tahan berdiri, maka kerusakan sel otak sangat bisa terjadi dan hasilnya adalah cacat otak secara permanen. Heatstroke juga berbahaya bagi dewasa, tapi lebih berbahaya bagi anak.

Kalau ada sekolah atau pesantren yang menghukum anak dengan cara berjemur di siang hari, tolong bagikan info ini kepadanya, dan sarankan mereka berubah sekarang juga, sebelum ada korban yang otaknya rusak dan tidak bisa diobati. Intinya adalah ini suatu hukuman yang berbahaya dan tidak pantas dilakukan dengan sengaja terhadap anak kecil.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Murid di Malaysia Jadi Difabel setelah Dijemur 3 Jam di Lapangan, Keluarga Tuntut Sekolah
https://www.kompas.com

04 March, 2024

Banyak Orang Keracunan Makanan, Apa Program Makan Siang Nasional Bijaksana?

Ada berita tentang rencana program makan siang gratis bagi anak di seluruh negara. Pertanyaan saya, apakah itu bijaksana ketika hampir setiap hari ada berita tentang puluhan orang yang keracunan makanan, dan sering terjadi di sekolah dan pesantren? Dan ini hanya kasus-kasus yang ketahuan karena masuk berita. Yang tidak masuk berita berapa banyak lagi? Siapa yang mau bertanggung jawab terhadap puluhan ribu anak yang keracunan makanan setiap bulan nanti? Sekarang saja, ketika dibayar oleh konsumen (swasta), ada banyak penjual yang tidak mau jaga kebersihan. Yang penting asal jual saja. Bagaimana kalau sudah ada program nasional?
Ini beberapa contoh judul berita tentang keracunan makanan yang berhasil ditemukan dari beberapa minggu terakhir.
-Gene Netto


1 Maret, Banjar - 51 Siswa di 6 SD Kota Banjar Keracunan Jajanan Sekolah Keliling

1 Maret, Bogor - Siswa SD di Cileungsi Bogor Diduga Keracunan Jajanan

1 Maret, Magetan - 20 Warga di Magetan Keracunan Makanan Usai Hadiri Hajatan Selamatan Bayi

27 Feb, Bandung Barat - Keracunan Massal Murid SD di Bandung Barat

26 Feb, Sukabumi - Puluhan Pelajar di 2 Sekolah Sukabumi Diduga Keracunan Jajanan

23 Feb, Sukoharjo - 28 Warga Sukoharjo Mual-Diare Usai Hadiri Acara Ruwahan

23 Feb, Purwakarta - 5 Pelajar SD di Purwakarta Mual dan Diare, Diduga Keracunan Makanan Jajanan

22 Feb, Pagar Alam, Sumatera Selatan - Belasan Warga di Pagar Alam Keracunan, Diduga Usai Makan Ikan Tongkol

22 Feb, Samarinda - Diduga Keracunan Makanan, 23 Anak Panti Sosial di Samarinda Dilarikan ke Rumah Sakit

21 Feb, Klaten - Korban Keracunan Pecel di Klaten Bertambah, Jadi 30 Orang dari 3 Kecamatan

20 Feb, Labuhanbatu, Sumatra Utara - Puluhan Warga di Labuhanbatu Diduga Keracunan usai Santap Nasi Bungkus

13 Feb, Grobogan - 56 Pengawas TPS di Grobogan Keracunan Usai Santap Nasi Kotak Bimtek

12 Feb, Sragen - 59 Siswa SMK Muhammadiyah di Sragen Keracunan Makanan, Diduga Akibat Snack

12 Feb, Garut - Santap Masakan Catering, Puluhan Siswa SDIT di Garut Keracunan

08 Feb, Gayo Lues, Aceh - 25 Anak di Gayo Lues Diduga Keracunan Usai Makan Bakso

04 Feb, Jambi - Puluhan Warga Merangin Diduga Keracunan Usai Konsumsi Ikan Tongkol

31 Jan, Cilacap - Polisi Dalami Penyebab Puluhan Anggota KPPS Cilacap yang Keracunan Makanan

31 Jan, Purbalingga - Puluhan Siswa SD di Purbalingga Keracunan Usai Jajan Bola Susu di Kantin Sekolah

25 Jan, Samarinda - Jumlah Petugas KPPS Samarinda Keracunan Nasi Kotak Capai 70 Orang

12 Jan, Bogor - 20 Warga Ciomas Bogor Keracunan Ikan Tongkol

20 Des, Bogor -121 Warga Bogor Alami Keracunan Massal Setelah Santap Makanan Tahlilan

18 Nov, Purwakarta - Ratusan Warga Purwakarta Keracunan Usai Makan Nasi Kotak

[AKHIR]

20 February, 2024

Kenapa Murid TK Bisa Tewas Setalah Tertimpa Rak Penyimpanan Tas?

Menyedihkan sekali. Seorang anak TK tewas di dalam kelas, setelah tertimpa oleh rak penyimpanan tas. Kenapa bisa terjadi? Karena banyak sekolah dan pesantren kurang aman, dan banyak guru dan ustadz kurang memikirkan keselamatan siswa. Kenapa tidak? Karena ketika belajar menjadi pendidik, mereka tidak dilatih untuk utamakan keselamatan anak sebagai prioritas tertinggi.

Saya pernah periksa berbagai sekolah dan pesantren. Di setiap lokasi ada hal-hal yang berbahaya. Ada tembok atau atap yang siap runtuh. Ada barang yang siap jatuh dari atas. Ada tangga dan lantai yang sangat licin. Ada potongan besi atau pagar yang tajam. Dan seterusnya. Di sebuah sekolah, saya lihat papan pengumuman besar, yang berdiri secara bebas. Beratnya mungkin 100kg, tetapi tidak stabil. Dengan 1 jari tangan, saya mulai dorong secara pelan. Bagian atas langsung miring. Teman saya maju cepat dan tangkap. Katanya, saya bisa dimarahi kalau jatuh dan pecah. Saya tanya, "Apa lebih baik dibiarkan, menunggu kepala anak yang pecah??" Dia sarankan saya laporkan saja. Dilaporkan. Tidak ada yang berubah…

Pernah saya lihat tembok miring yang sudah mau runtuh di sebuah SD. Saya taruh 1 tangan di belakang dan mulai dorong pelan, dan tembok itu mulai bergeser. Teman saya tegur dan suruh saya jangan merusak tembok sekolah. Kalau jatuh, saya akan dimarahi. Saya tanya, "Apa lebih baik dibiarkan, menunggu 5 anak menjadi korban?"

Saya lupa berapa kali saya pernah lihat hal-hal yang berbahaya di sekolah, lalu saya memberi tahu teman, guru, ustadz, kepala sekolah, yayasan dan tidak ada yang berubah. Sayalah yang dianggap aneh. Tembok belum jatuh, belum ada anak yang mati, jadi kenapa perlu dibahas? Tunggu anak mati dulu, lalu dikatakan "takdir", dan baru ada keperluan memperbaiki tembok! (Yang penting, bukan anak kandung sendiri yang mati ya!)

Ketika saya kuliah di Australia dulu, dosen jelaskan secara tegas: "Murid harus selamat!" Tidak ada prioritas lebih tinggi. Percuma guru kembalikan mayat murid kepada orang tuanya, sambil jelaskan, "Tapi nilai bahasa Inggrisnya tinggi ya Bu!!" Tugas guru adalah bertindak sebagai wakil dari orang tua. Dalam bahasa Latin disebut "in loco parentis". Guru diwajibkan bertanggung jawab secara hukum. Dan sebagai wakilnya orang tua, semua murid ibaratnya anak kandung guru, jadi tentu saja nilai pelajaran tidak penting dibandingkan kewajiban untuk selamatkan semua anak, setiap saat, setiap hari.

Guru yang profesional akan mencari, melaporkan, dan memperbaiki apa saja yang berbahaya bagi anak di dalam sekolah dan pesantren. Tapi hal itu tidak selalu terjadi. Jadi orang tua perlu memikirkan: Berapa persen dari guru dan ustadz mengerti tugasnya sebagai pendidik, dan mengerti bahwa keselamatan anak lebih tinggi prioritasnya daripada nilai pelajaran?
-Gene Netto

Murid TK di Bangka Tewas Usai Tertimpa Rak Penyimpanan Tas
https://www.detik.com

Kasus Bullying Di Sekolah Binus

Ada berita tentang kasus bullying di SMA Binus di Serpong. Puluhan anak terlibat, ternyata anggota dari satu geng. Banyak orang tua menduga sekolah yang sangat mahal akan jauh lebih baik, dengan kualitas pendidikan lebih tinggi, anak yang lebih mulia (dari keluarga kaya), dan hasil yang lebih bagus untuk masa depan anaknya. Secara umum ada benarnya, tapi walaupun ada banyak keuntungan, ternyata ada fatamorgana yang meliputi semuanya.

Kasus di Binus bisa terjadi di mana saja, jadi jangan buru-buru salahkan Binus. Terjamin di banyak sekolah lain juga ada geng-geng anak yang brutal. Di satu sekolah, mungkin ada seratus anak yang terlibat. Ada ratusan anak lain yang tahu, tetapi mereka tidak mau lapor kepada guru atau orang tua untuk selamatkan para korban. Coba tanya anak anda sendiri, ada beberapa geng di sekolahnya, dan bagaimana perilakunya.

Banyak sekolah mahal punya fasilitas mewah, jadi orang tua berasumsi "pasti" lebih baik dari sekolah yang lebih murah, atau sekolah negeri. Tetapi sekolah mahal bisa cukup "rusak" dalam manajemennya, sehingga banyak guru keluar setiap tahun. Guru yang tidak puas cepat pindah, dan para guru baru tidak kenal siswanya. Ada untung besar kalau seorang guru yang baik bisa pantau dan mendidik anak yang sama selama beberapa tahun.

Ada sekolah yang gurunya bukan guru, tapi lulusan psikologi, ekonomi, dll. tanpa latar belakang pendidikan. Pengurus sekolah pilih orang yang bisa berbahasa Inggris, agar bisa dicap "sekolah bilingual". (Apa pernah lihat CV dari semua gurunya anak anda? Mungkin sekolah akan menolak kalau diminta!) Saya sudah periksa berbagai sekolah "bilingual". Belum pernah dapat satu sekolah yang punya ahli pendidikan bahasa asing yang bisa bangun sistem bilingual yang benar. Banyak sekolah swasta dijalankan sebagai bisnis, dan sisi bisnis itu lebih utama daripada keselamatan anak, kualitas pendidikan, pendidikan moral, dll.

Dalam kasus Binus, pada satu sisi, para pelaku salah karena tidak punya rasa belas kasihan. (Tetapi hasil pendidikannya begitu.) Di sisi lain, korban juga "salah" karena berusaha masuk geng di sekolah, dan siap dihajar agar menjadi anggota. Jadi yang salah siapa? Orang tua. Guru. Guru agama. Siswa lain. Sekolah. Keluarga besar. Komunitas. Dan lain-lain. Kita semua salah, karena geng anak tidak muncul dalam kekosongan. Ada orang tua dan guru yang pernah mendidik anak-anak itu bertahun-tahun, juga ada banyak saudara, dan teman, dan tetangga. Tetap saja tidak ada rasa kasih sayang di dalam hatinya. Kenapa? Karena "banyak orang" gagal mendidiknya.

Dan kalau anak sudah punya hati yang buruk, masuk sekolah mahal bukan obatnya. Apalagi kalau setiap tahun gurunya berganti. Apalagi orang tuanya cerai karena selingkuh. Apalagi saudaranya atau temannya pakai narkoba. Apalagi lihat berita tentang koruptor yang cepat kaya dan sedikit yang ditangkap. Apalagi lihat ribuan anak tawuran setiap hari, tapi hanya disuruh baca Pancasila ketika ditangkap. Apalagi lihat orang yang curang tapi bisa berhasil dalam usahanya.

Jadi anak-anak itu dibesarkan dalam negara di mana banyak orang di sekitar mereka tidak bertanggung jawab, dan tidak berikan contoh akhlak yang mulia. Mengharapkan mereka menjadi mulia, lewat "proses ajaib" yang tidak diketahui dalam sekolah mahal, sangat bodoh. Anak menjadi mulia kalau dididik menjadi mulia, dan terlihat orang yang tidak mulia kena hukuman atau gagal. Tetapi seringkali, yang terlihat adalah sebaliknya. Orang yang tidak mulia atau curang malah bisa berhasil. Jadi jangan buru-buru menyalahkan anak di geng itu, atau sekolahnya, atau orang tuanya, sebelum kita periksa diri sendiri dan saudara dan teman kita, lalu berpikir tentang contoh apa yang kita berikan dalam semua tindakan dan perbuatan kita sehari-hari.
-Gene Netto

Sekolah Benarkan Anak Vincent Rompies Terlibat Kasus Bully Siswa Binus Tangsel
https://news.detik.com

18 February, 2024

3 Siswi SD Tenggelam Dalam Acara Pramuka, Kenapa "Kegiatan Sekolah" Bisa Begitu Berbahaya?

Di Indramayu, 3 anak SD tenggelam dalam kegiatan Pramuka di sungai. Kadang saya ingin teriak. Tetapi tidak tahu apakah seharusnya teriak pada guru yang bodoh, atau pada orang tua yang bodoh. Hal yang sama terulang terus, tetapi tidak ada yang berubah. Coba pantau berita dari Australia, Selandia Baru, Singapura, dll. Negara maju, dengan lebih banyak kegiatan sekolah dibandingkan Indonesia, tetapi nyaris tidak pernah ada berita "anak tewas saat ikuti kegiatan sekolah". Di sini, berita itu begitu umum, sampai kebanyakan orang dewasa tidak terlalu peduli kalau melihat judul itu. Yang penting bukan anak kandung sendiri. Dan selama masih anaknya orang lain, cukup ucapkan Mantra Nasional, "Kami tidak menyangka", dan boleh dilupakan sampai terjadi lagi nanti.

Coba berpikir, berapa banyak anak Indonesia masih hidup kalau Pramuka dilarang, camping dilarang, liburan ke pantai dilarang, dan acara berenang dari sekolah dilarang? Mungkin sudah ribuan anak. Tetapi saya tidak bisa sebutkan angka yang pas, karena tidak ada yang cukup peduli pada anak Indonesia sampai mau direpotkan mencatat berapa banyak yang MATI dalam kegiatan sekolah. Jadi tidak ada data. Mungkin kita harus menunggu kematian anak dari orang yang punya jabatan tinggi, baru bisa terjadi perubahan. Dan baru ada kemungkinan anak Indonesia yang lain bisa diselamatkan dari bahayanya "kegiatan sekolah".

Anehnya, orang tua tetap izinkan anaknya ikut terus, tanpa tanyakan "kondisi" dari kegiatan tersebut. Dan perlindungan bagi setiap anak sebatas "harapan" anaknya kembali dalam kondisi hidup. Ketika beberapa orang tua dikasih jenazah, bukan kebodohan dari sistem itu yang dibahas, malah dicap "takdir" saja dan dibiarkan berlalu begitu saja. Sampai terjadi lagi... Siapa yang bisa bertindak untuk akhiri kebodohan dari sistem yang menewaskan anak Indonesia terus, tanpa pernah ada orang dewasa yang harus bertanggung jawab?
-Gene Netto

3 Siswi SD Tenggelam di Sungai Panarikan Indramayu, 2 Ditemukan Meninggal dan 1 Lagi Hilang
https://news.okezone.com

09 February, 2024

Sistem Pendidikan Di Indonesia Membuat Banyak Anak Trauma

Ada teman yang berkonsultasi dengan saya tentang pendidikan anaknya, yang berusia 7 tahun, kelas 2 SD di Jakarta. Dia sudah benci sekolah, menangis, dan minta pindah sekolah. Dia sangat benci bahasa Inggris dan matematika. Saya dikasih lihat ujian bahasa Inggrisnya. Nilainya rendah sekali. Lalu saya cek jawabannya.

Struktur ujian kurang baik. Tidak sesuai dengan usia seperti itu. Tulisan tangannya juga tidak bisa dibaca karena dipaksa menulis dengan huruf sambung, padahal dia tidak sanggup dan merasa itu terlalu berat. Kalau huruf cetak cukup baik untuk usianya, dan bisa dibaca. Tapi dilarang. Harus pakai huruf sambung untuk semua tulisan di kelas, dan dimarahi dan kena hukuman kalau tidak. Jadi sebelum menulis dalam ujian, sudah trauma duluan, karena harus berkonsentrasi untuk menulis dengan huruf sambung (padahal tidak bisa), dalam bahasa asing, sambil ingat kosa kata dan tata bahasa. Ini namanya pendidikan?

Lalu ada pertanyaan2 yang penuh dengan kesalahan tata bahasa, walaupun bukan masalah serius, tetap saja kurang profesional. Tapi lebih buruk lagi adalah pertanyaan dengan dua jawaban yang bisa benar. Saya bermain bola di: A) Lapangan, B) Sekolah. C dan D salah. Jawaban yang benar hanya boleh "lapangan" sedangkan anak mungkin merasa benar kalau main bola di sekolah, tapi tidak boleh benar, karena hanya jawaban dari guru yang benar. Murid otomatis salah.

Saya melihat buku pelajaran bahasa Inggrisnya. Buku itu juga penuh dengan kesalahan tata bahasa, tapi sekali lagi, bukan perkara "fatal". Ada dua bab yang menjadi materi dari ujian. House Hold (alat2 rumah tangga) dan Transportations (transportasi). Saya lihat banyak contoh yang aneh, gambar yang tidak jelas, dan cara mengajar bahasa Inggris yang juga jauh dari ideal. Lalu dari contoh2 kurang baik itu dibuat ujian. Saya lihat 3 pertanyaan dalam ujian yang tata bahasanya tidak diterangkan di dalam buku pelajaran, jadi bagaimana siswa bisa paham? Beberapa bentuk tata bahasa diajarkan sekaligus, dengan tambahan banyak kosa kata. Orang dewasa yang tidak bisa berbahasa Inggris akan alami kesulitan, apalagi anak yang baru belajar membaca dan menulis, apalagi harus menulis dengan huruf bersambung agar tidak kena hukuman.

Ibunya anak itu tunjukkan sebuah buku teks bahasa Inggris, buatan luar negeri. Saya periksa. Isinya lebih bagus dan juga berwarna. Cara mengajar lebih tepat, dan tidak ada kesalahan. Saya tanya kenapa tidak pakai itu saja? Katanya, sekolah wajibkan orang tua beli, tapi tidak pernah dipakai. Ada 3 buku. Lalu juga ada buku untuk belajar membuat huruf bersambung. Ada 3 buku juga. Dan juga tidak pernah dipakai oleh guru di kelas.

Di tengah ujian, ada satu pertanyaan yang aneh sendiri. Harus menulis "45" dalam bahasa Inggris (fourty five) tapi anak itu jelas tidak bisa. Dan tidak masuk akal kenapa tiba2 ada pertanyaan seperti itu. Gurunya sudah jelas tidak mengerti cara membuat ujian untuk anak seusia itu, dan jelas materi di dalam buku tidak diajarkan dengan cara yang cukup jelas agar siswa bisa tangkap.

Saya tanya kepada anak itu apa dia paham kenapa jawaban dia salah, setelah diterangkan oleh gurunya? Dia langsung terlihat stres, takut, dan hampir menangis. Ternyata, ditanyakan saja tentang bahasa Inggris, dia langsung takut dan mengira akan dimarahi. Saya tanya orang tuanya kenapa. Katanya guru bahasa Inggris itu galak, selalu marah dan tidak izinkan anak2 bertanya banyak. Lalu setelah selesai ujian, kertas jawaban dibagikan dan disuruh bawa pulang tanpa keterangan apapun. Tapi itu baru guru bahasa Inggris. Katanya guru kelas lebih galak lagi, marah2 terus, dan tidak suka anak yang bertanya atau anak yang tidak mengerti. Jadi anak ini sudah tidak tahan dan minta pindah sekolah dari beberapa bulan yang lalu.

Orang tua sudah ke kepala sekolah, dan ditawarkan pindah kelas saja. Ternyata kalau guru marah2, galak, marahi anak yang bertanya, dan menolak bahas jawaban dalam ujian, maka kepala sekolah tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada solusi selain pindah kelas.

Teman saya bertanya, "Kalau anak saya pergi ke sekolah, bukannya dia mesti dibuat happy, dan senang belajar, bukan menangis dan takut bertanya?" Saya tidak paham kenapa ada yang mau menjadi guru kalau senangnya galak dan marah pada anak kecil dan membuat mereka takut bertanya, dan juga tidak suka jawab pertanyaan. Itu bukan seorang guru menurut saya. Lebih cocok menjadi Satpam saja.

Saya tidak mengerti kenapa kepala sekolah tidak bisa melakukan apa-apa selain suruh anak pindah kelas atau pindah sekolah. Kejadian itu di sekolah swasta Islam, bukan sekolah umum. Jadi semua guru itu punya kontrak kerja, dan bukan PNS. Berapa banyak anak harus mengalami kondisi seperti ini di sekolah setiap hari? Usia 7 tahun sudah benci sekolah, tidak mau belajar, benci bahasa Inggris, dan takut bertanya. Apa manfaatnya sekolah, kalau membuat akan trauma seperti itu?  
-Gene Netto

14 January, 2024

Santri Korban Pengeroyokan Belasan Temannya di Blitar Meninggal Dunia

Assalamu’alaikum wr.wb. Satu lagi santri Indonesia mati secara sia-sia. Dan kita hanya tahu apa yang terjadi karena sekarang orang tua lebih bebas laporkan perkara ke polisi. Hanya ada dua kemungkinan. 1) Banyak santri juga tewas di masa lalu, tapi berhasil ditutupi oleh pihak pesantren demi menjaga nama baik pesantren, jadi tidak dilaporkan ke polisi sehingga tidak ada data. 2) Santri di zaman ini jauh lebih sadis daripada santri di zaman dulu. Lebih suka pilihan yang mana? Setelah Penjajah Belanda dan Jepang berhasil diusir, siapa yang bisa melindungi anak Indonesia dari sebagian anak Indonesia yang lain, yang ternyata lebih sadis daripada prajurit Belanda dan Jepang? Berapa banyak anak harus tewas secara sia-sia sebagai korban kekerasan (atau anak SIAPA yang harus tewas?) sebelum terjadi perubahan dalam sistem pendidikan nasional?

Ada fokus yang berlebihan pada urusan administratif dan usaha "kontrol siswa" seperti: rambut laki-laki harus pendek, PR harus diselesaikan, jawaban siswa harus setara dengan pendapat guru, biaya ujian harus dibayar sebelum terima rapor, sepatu tidak boleh ada garis putih, seragam harus lengkap, harus diam dan taat pada guru, banyak hafalan di pesantren sebagai fokus utama, dan lain-lain. Yang dibutuhkan adalah fokus pada tanggung jawab pribadi untuk menjadi manusia mandiri, kemampuan berpikir secara logis, kemauan untuk utamakan diskusi di atas kekerasan, berakhlak tinggi, bermoral, dan siap membela kebenaran dan melawan ketidakadilan. Tetapi semua hal tersebut harus diajarkan secara aktif oleh para guru dan ustadz. Tanpa proses pendidikan, 80 juta anak Indonesia tidak akan bisa menemukan semua kemampuan itu sendiri. Jadi siapa yang mau mendidik anak Indonesia untuk menjadi manusia yang mulia?
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Santri Korban Pengeroyokan Belasan Temannya di Blitar Meninggal Dunia
https://surabaya.kompas.com

09 January, 2024

Saran Untuk Mengatasi Masalah Pencabulan Terhadap Anak

Assalamu’alaikum wr.wb. Walaupun para orang tua dikasih tahu berkali-kali, hasilnya percuma. Info dari saya, dan sewaktu-waktu lihat berita, tidak membuat kebanyakan orang tua takut atau waspada. Selalu berprasangka baik, dan yakin anak mereka tidak mungkin menjadi korban. Tidak mungkin suami mereka, ipar mereka, bapak mereka, tetangga mereka, guru sekolah anak, guru ngaji anak, dll. akan melakukan kejahatan terhadap anak. Lalu ketika terjadi, semua orang tua mengatakan, "Kami tidak menyangka!"

Perlu dipahami juga, dari pengamatan saya terhadap puluhan ribu kasus pencabulan terhadap anak (saya ada link ke semua artikel beritanya), ketika seorang remaja atau pemuda laki-laki diajak ikut melakukan pemerkosaan bergilir terhadap seorang anak SMP atau SMA, jawaban mereka selalu IYA. Nol persen dari pelaku menolak dan berusaha selamatkan korban atau telfon polisi. Pelaku yang berusia 12-25 tahun menjadi mayoritas. Selalu setuju, dan menunggu kesempatan perkosa anak itu, setelah 5-8 teman mereka sudah selesai.

Jadi ini jelas sebuah masalah pendidikan dan budaya. Tetapi ketika saya berusaha bahas topik ini dalam sebuah grup guru online dengan 150 ribu anggota, saya dimarahi dan disuruh diam. Mereka tidak mau tahu, dan tidak mau cari korban di kelas masing-masing. Ketika saya bertemu Ketua KPAI untuk diskusi, dia mengaku kaget karena data saya (yang dikumpulkan dari berita saja) lebih lengkap dari berita mereka. Lalu dia jelaskan, semua polsek di seluruh Indonesia tidak wajib laporkan data kasus pencabulan ke pusat atau ke KPAI atau ke tempat lain. Jadi tidak ada yang punya data akurat dari seluruh negara, karena tidak ada UU yang wajibkan. Data saya pernah dipakai oleh Mendikbud dalam sebuah presentasi kepada kepala dinas pendidikan se-Indonesia. Hasilnya juga nol. Hanya diberitahu ada masalah. Tanpa ada tindakan nyata yang bisa menjadi solusi.

Menurut pendapat saya, perkara ini bisa mulai diatasi dari 4 tindakan saja.

1)    Pelatihan dan pendidikan anti-pencabulan di sekolah sejak SD. Wajib. Anak diberi tahu bahwa orang lain dilarang menyentuh kemaluan mereka, dan siapapun yang memaksa dan menakuti mereka, wajib langsung dilaporkan ke orang tua atau guru. Belum pernah ada pelatihan nasional seperti ini.
Anak perempuan harus diajarkan untuk tidak percaya pada "kenalan baru" dari Facebook atau TikTok yang ajak mereka jalan-jalan.
Anak laki-laki harus diajarkan bahwa perempuan adalah manusia yang wajib disayangi dan dilindungi, dan bukan alat untuk "dipakai" oleh mereka.

2)    Wajib dipasang poster di semua sekolah dan pesantren yang ingatkan anak tentang bahaya pencabulan, dan berikan nama orang dan nomor telfon yang bisa dihubungi untuk laporkan perkara. Dengan teks yang jelaskan mereka akan dilindungi dan dibantu.

3)    Iklan TV yang ditayangkan secara rutin untuk ingatkan orang tua dan anak agar waspada dan tidak mudah percaya pada orang yang lain.

4)    Latihan bela diri anti-pencabulan di sekolah, sejak SD kelas 5-6 sampai SMA, khusus untuk perempuan, dan laki-laki juga boleh ikut. Diajarkan pukul dan tendang saja (ilmu bela diri standar), dan khusus bagi perempuan, diajarkan untuk selalu tendang pria di kemaluan, mata, dsb. lalu melarikan diri apabila diserang. Banyak perempuan diam saja ketika mau diperkosa, karena tidak pernah diajarkan untuk bela diri.

Dan jangan bertanya kepada saya kenapa hal-hal seperti ini tidak disampaikan kepada pihak yang punya wewenang untuk bertindak. Saya sudah berusaha berkali-kali. Hasilnya selalu nol. Kebanyakan orang yang punya kemampuan bertindak sibuk dengan banyak urusan lain, dan keselamatan bagi 80 juta anak Indonesia tidak dianggap sebagai prioritas. Sekian dulu. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

18 December, 2023

Kenapa Banyak Guru Mau Atur Ukuran Rambut Anak Laki-laki?

Assalamu’alaikum wr.wb. Saya pernah diskusi dengan banyak guru tentang persoalan memotong rambut anak laki-laki secara paksa dengan cara jelek agar menimbulkan efek jera. Saya bertanya kenapa rambut anak laki-laki perlu dipotong oleh gurunya (tapi rambut perempuan tidak), lalu mereka menjawab. Setelah jawaban pertama itu dibuktikan salah, jawaban mereka berubah. Jawaban itu juga saya buktikan salah, jadi jawaban mereka berubah lagi. Dan hal yang sama terulang berkali-kali sampai saya mencatat semua jawaban mereka. Ini sebagian dari contohnya.

Rambut anak laki-laki harus dipotong secara paksa oleh gurunya, karena rambutnya harus pendek sejak usia 7 tahun dengan alasan:

•    Tidak sopan kalau panjang
•    Diminta oleh masyarakat
•    Diminta oleh orang tua
•    Ini masalah pendidikan (hanya untuk laki-laki)
•    Ini masalah kerapian (hanya untuk laki-laki)
•    Ini masalah kesehatan (hanya untuk laki-laki)
•    Rambut panjang akan membuat kepala terasa berat dan panas (hanya untuk laki-laki)
•    Harus mematuhi norma hukum masyarakat
•    Ada aturan tidak tertulis di masyarakat
•    Ada aturan tertulis di sekolah
•    Harus belajar mematuhi aturan
•    Guru terpaksa mengikuti aturan sekolah
•    Aturan sekolah tidak boleh diubah atau dihapus
•    Harus membentuk sikap dan perilaku
•    Harus menjadi suatu pembiasaan
•    Tidak bisa dapat pekerjaan kalau rambutnya panjang
•    Mulai potong rambut di usia 18 tahun tidak bisa (harus sejak dini)
•    Bahaya kalau bekerja di pabrik nanti
•    Harus disiapkan kerja di pabrik atau perusahaan sejak usia 7 tahun
•    Masyarakat menilai kompetensi seseorang dari ukuran rambutnya
•    Dan seterusnya

Memaksa anak patuh pada "aturan" rambut tersebut memberikan rasa "berkuasa" kepada banyak guru, dan membuat mereka merasa "ditakuti dan dihormati" walaupun didapatkan secara terpaksa. Jadi mereka teruskan sistem itu karena inginkan siswa takut dan patuh terhadap guru dalam segala hal. Ini hanya salah satu caranya guru memaksakan kehendaknya terhadap anak, agar guru-guru itu merasa puas secara batin. Banyak sekali guru Indonesia "gila hormat". Kalau mengajar anak dengan sikap baik hati dan ramah, dan menjadi sahabat dan mitra bagi semua anak, sangat jelas para guru itu akan dihormati oleh hampir semua muridnya, tanpa perlu dipaksa. Tapi bagi banyak guru, "kemungkinan besar akan dihormati" nanti tidak cukup. Harus dipaksakan sejak awal!

Tidak ada hubungan antara ukuran rambut dan pendidikan. Kalau ada, perempuan akan bodoh semua (karena rambutnya panjang). Ini hanya kebiasaan nasional yang dilestarikan sejak keadaan Petrus (Pembunuhan Misterius) pada tahun 80-90an. (Sebelumnya, banyak siswa laki-laki punya rambut panjang, dan ada bukti dari foto-foto lama.) Tetapi banyak guru merasa urusan rambut siswa itu berikan mereka kesempatan untuk menunjukkan kekuasaannya, dan memaksa semua siswa taati dan hormati mereka.

Fungsi seorang guru BUKAN untuk abaikan pendapat orang tua dan anak, dan memaksa semua anak siap kerja di pabrik setelah usia SD. Kalau ada guru yang berpikir begitu, maka mereka sudah gagal memahami fungsinya menjadi guru. Para guru tidak tahu setiap anak akan kerja di mana pada masa depan. Saya sudah bicara langsung dengan banyak manajer, direktur, pemilik perusahaan, orang HRD, anggota DPR, Menteri, ribuan orang tua, dll. Ketika mereka komplain tentang kualitas SDM di Indonesia, tidak ada satupun yang menyatakan "banyak anak punya ukuran rambut 6cm jadi mustahil dapat pekerjaan." Tidak ada yang mengeluh bahwa rambut anak perlu dipotong secara paksa agar anak itu bisa menjadi karyawan berkualitas di kemudian hari.  

Tetapi yang dijelaskan adalah begitu banyak anak yang tidak bisa menulis dengan baik, tidak bisa baca, tidak bisa memahami perintah dan petunjuk, tidak bisa kerja secara mandiri, malas, curang, tidak jujur, mencuri, dll. Sama sekali tidak ada yang membahas kesulitan mengatur ukuran rambut karyawan. Jadi kenapa begitu banyak guru sekolah merasa ada kewajiban besar memotong rambut anak secara paksa dengan cara jelek agar anak "siap kerja" dan menjadi bagian dari masyarakat? Para orang tua dan pemimpin di bidang pendidikan perlu bersatu untuk mengakhiri kebiasaan buruk ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto


02 October, 2023

Pelajar Dan Santri Sering Tenggelam, Kenapa Sulit Diatasi?

Assalamu’alaikum wr.wb. Ada berita tentang 3 santri yang tenggelam di pantai, di Enrekang, Sulawesi Selatan, saat ikuti acara pesantren. Jumlah anak 122 orang, tapi tidak disebutkan jumlah orang dewasa. Dalam kasus serupa, jumlah orang dewasa mungkin hanya 2-3 orang saja, dan belum tentu bisa berenang. Kalau mau bawa 50-100 anak ke  tempat wisata, kolam renang, atau pantai dalam rangka kegiatan sekolah atau pesantren, seharusnya ada "persiapan" yang wajib dilakukan sebelumnya.

Jumlah orang dewasa harus cukup untuk awasi semua anak. Harus ada dewasa yang mengerti P3K, kompresi jantung dan nafas buatan. Di pantai (atau sungai), harus bertanya dulu ke orang lokal apakah aman berenang di situ pada waktu itu. (Tidak cukup dikatakan aman sebulan sebelumnya pada waktu survei.) Harus ada perahu penyelamat yang siap dipakai. Harus ada beberapa rompi pelampung. Harus ada petugas lifeguard, atau orang dewasa yang bisa berenang dan berdiri di pantai untuk mengawasi semua anak. Harus tahu lokasi puskesmas atau rumah sakit terdekat, dan tahu jalannya.

Tetapi persiapan seperti itu jarang dilakukan. Jadi setelah beberapa anak tenggelam, semua guru dan ustadz hanya berkomentar: "Kami tidak menyangka. Ini takdir Allah." Tidak pernah ada yang mengatakan: "Kami sangat lalai, seharusnya melakukan persiapan yang benar!" Anak dititip ke sekolah dan pesantren untuk menuntut ilmu tetapi beberapa anak dikembalikan sebagai jenazah. Dan guru dan ustadz yang "tidak menyangka" tidak pernah ditanya tentang KENAPA mereka tidak sanggup menggunakan akal sehat dan menyangka sebelum ada anak yang tewas. Selama para orang tua tidak menuntut tanggung jawab dari guru dan ustadz, berita tentang anak tenggelam akan muncul terus. Kalau anak anda mau dibawa ke salah satu lokasi tersebut berserta 100 anak lain, sebaiknya anda tidak izinkan tanpa tanya dulu apa guru dan ustadz sanggup "menyangka" dan sudah melakukan persiapan yang benar.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

3 Santri Ponpes Imam Asy-Syafii Tewas Tenggelam di Pantai Lowita Pinrang
https://www.beritasatu.com

04 September, 2023

Sebelum Pilih Mata Kuliah untuk Anak, Ingat Bahwa Banyak Pekerjaan Bisa Dilakukan Oleh Komputer Nanti!

Assalamu’alaikum wr.wb. Ini sebuah peringatan bagi para orang tua: Pekerjaan dan tugas manusia yang bisa ditangani oleh program komputer sudah mulai terjadi di negara-negara maju. Banyak tugas karyawan sudah diganti oleh AI (Artificial Intelligence, atau Kecerdasan Buatan). Bagi yang belum paham, AI adalah program komputer, yang bisa "berpikir sendiri". Mungkin pernah dengar satu contohnya, bernama ChatGPT yang masuk berita. Program itu dikasih permintaan dari kita, lalu program komputer itu bertindak sendiri dan berikan hasil. Contohnya, saya minta ke programnya: "Membutuh skenario sinetron untuk tayangan 30 menit, yang terjadi di Jakarta dan menunjukkan hubungannya antara 3 keluarga kaya!" (Mungkin ada beberapa petunjuk tambahan.)

Lalu komputer akan tulis teks skenario sinetron sendiri, lengkap dengan nama orang, lokasi, dialog, kejadian, dll. Jadi buat apa bayar "5 penulis skenario sinetron" yang gajinya mahal? Cukup pakai program AI dan dapat hasil serupa dalam 10 menit. Bahkan sekarang sudah ada yang jual buku di Amazon, yang TIDAK DITULIS oleh manusia. Contohnya, ChatGPT disuruh menulis buku tentang serangan teroris di kota London, dikasih beberapa petunjuk lain, dan program itu langsung menulis buku. Siap dijual dalam setengah jam.

Artinya, kita perlu sangat bijaksana dan berwawasan luas ketika memikirkan pelajaran dan pekerjaan bagi anak-anak di masa depan. Jangan anggap "aman menjadi akuntan" (dan sebagainya) karena diharapkan "pasti bisa" dapat pekerjaan setelah kuliah. Justru dalam 10 tahun ke depan, sangat mungkin dunia akan penuh dengan penulis, guru, akuntan, pengacara, dll. yang pengangguran karena pekerjaannya ratusan orang di satu PT diganti dengan 1 program komputer. Kita harus belajar secara dalam tentang masa depan setiap bidang, dan memikirkan bakat dan minat setiap anak. Kalau ada risiko sebuah pekerjaan sangat mudah diganti oleh program komputer, kita perlu melihat beberapa mata kuliah dan kesempatan berusaha yang berbeda-beda sekaligus. Jangan bergantung pada satu rencana bernama "kuliah akuntansi" (atau yang lain) karena diharapkan sangat mudah dapat pekerjaan nanti. Sudah tidak ada lagi jalan yang mudah dan pekerjaan yang aman. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

IBM Berencana Mengganti Hampir 8.000 Pekerjaan dengan AI — Pekerjaan Ini Adalah Yang Pertama
Transisi ini akan terjadi secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan, dengan mesin berpotensi mengambil alih hingga 30% dari pekerjaan yang tidak berhubungan dengan konsumen, dalam lima tahun mendatang. Artinya, pekerja di bidang keuangan, akuntansi, SDM, dan bidang lainnya kemungkinan besar akan menghadapi persaingan ketat dari robot dan algoritma.
https://finance-yahoo-com.translate.goog/news/ibm-plans-replace-nearly-8-174052360.html?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=en&_x_tr_pto=wapp

Doktor Robot. Dalam video ini, robot dengan 8 tangan masih dikendalikan oleh dokter bedah. Tapi direncanakan nanti AI bisa kendalikan robot dan melakukan operasi sendiri.

da Vinci Surgical System: Surgery on a grape
https://www.youtube.com/watch?v=KNHgeykDXFw
da Vinci Robot Stitches a Grape Back Together
https://www.youtube.com/watch?v=0XdC1HUp-rU


21 March, 2023

Anak Yang "Bodoh" Mungkin Punya Masalah Dengan Mata

Assalamu'alaikum wr.wb. Ada seorang anak SD yang cerdas dan cepat memahami sesuatu yang dijelaskan kepadanya, kata anggota keluarganya. Tapi anak laki-laki itu dicap "bodoh", dan dianggap "lambat belajar" oleh guru kelasnya, jadi diyakini ada kecacatan mental yang membuatnya tidak bisa tangkap pelajaran di kelas. Guru itu juga inginkan anak tersebut dikirim ke SLB, karena hanya dianggap sebagai beban bagi gurunya.

Saudaranya anak itu konsultasi dengan saya, dan saya dapat kesan anak itu "normal" alias bisa berpikir dan diskusi secara baik. Hanya saja dia tidak suka baca buku (jadi belajar dan kerjakan PR menjadi sulit). Saya bertanya, apa pernah dicek matanya dan telinganya? Ternyata belum. Dan setelah dicek, jadi diketahui matanya MINUS 5 !!! Jelas dia tidak akan bisa baca tulisan di papan tulis. Sebagian guru juga sering tempatkan "anak bodoh" itu di belakang kelas, agar tidak mengganggu gurunya, jadi anak dengan mata minus akan makin menderita. Apalagi dilarang pindah tempat dan duduk secara bebas.

Saya bertanya tentang guru itu. Dia seorang PNS, di sebuah SD negeri. Saya bisa paham kalau dia seorang guru honorer (dengan ilmu terbatas) di pelosok, yang jarang dapat pelatihan. Tetapi seorang guru PNS yang profesional seharusnya punya ilmu yang cukup, dan mau mencari akar masalah dengan sarankan orang tua periksa mata dan telinga anak itu sebagai langkah paling awal. Guru tidak suruh, orang tua tidak paham, dan anak tidak bisa jelaskan apa yang dia rasakan. Hasilnya adalah anak cerdas dicap "bodoh". Dan hanya bisa naik kelas karena pandai menghafal (daripada membaca).

Berapa banyak anak alami gangguan serupa, dan menderita di kelas karena gurunya anggap anak itu "bodoh" dan tidak berpikir untuk periksa matanya? Jadi kalau ada orang lain seperti guru yang menyatakan anak anda "bodoh" atau cacat mental, tapi anda yakin tidak, jangan mudah percaya. Tidak semua orang yang punya profesi siap kerja secara profesional. Mereka dibayar untuk berikan pelayanan, tapi lebih inginkan yang mudah bagi dirinya, dan anak yang tidak "normal" dan mudah diatur mau dibuang saja. Orang tualah yang harus protes dan cari informasi sendiri karena pendapat dari sebagian "ahli" tidak selalu mengandung keahlian. Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
-Gene Netto

19 November, 2022

Kenapa "Murid Tenggelam" Harus Menjadi Berita Normal Di Indonesia?

Assalamu’alaikum wr.wb. Berita tentang anak yang tewas dalam kegiatan sekolah bisa dipandang dengan dua cara berbeda. Pertama, ada padangan "biasa" dari kebanyakan guru, ustadz, dan masyarakat Muslim: Salah sendiri, kenapa santri itu main ke tengah ombak? Padangan kedua, dari orang yang perhatikan ilmu pendidikan: Kenapa 100 anak dibawa ke tempat berbahaya, tanpa ditentukan aman, tanpa pengawasan yang cukup, tanpa daftar larangan dan sanksi?

Kebanyakan orang hanya salahkan korban, lalu lupakan beritanya. Oleh karena itu, terjadi terus, tanpa perubahan. (Anaknya orang lain yang tewas, bukan anak saya, kenapa perlu dipikirkan? Takdir!) Tetapi dari padangan berbeda, berbasis ilmu pendidikan, kegiatan itu sendiri bisa salah dari awalnya. Lokasi harus ditentukan aman. Kalau ada bahaya, misalnya di pinggir laut, harus ada aturan jelas. Misalnya: Main ke tengah ombak tanpa izin, otomatis dikeluarkan dari pesantren!

Jumlah anak berapa? Jumlah pengawas dewasa berapa? Kalau di pinggir laut, apa ada kapal kecil yang bisa langsung digunakan untuk selamatkan anak? Apa ada pelampung? Apa semua anak bisa berenang? Apa ada orang lokal yang bisa jelaskan lokasi aman? Kalau ustadz dan guru peduli pada keselamatan anak sebagai prioritas, seharusnya jarang ada anak yang tewas dalam kegiatan sekolah. Tapi keselamatan anak belum menjadi prioritas. Jadi persiapan hadapi kondisi darurat adalah NOL.

Mohon maaf, tapi banyak orang yang bertugas mendidik anak tidak punya ilmu pendidikan yang baik. Hasilnya, anak Muslim tewas terus. Dan rakyat tidak mau tahu, selama anak mereka aman. Yang tewas itu takdir Allah, musibah, dan sama sekali bukan kelalaian orang dewasa. Jadi tidak ada yang perlu bertanggung jawab, tidak perlu terjadi perubahan, tidak perlu SOP nasional untuk kegiatan di luar sekolah. Bagaimana kondisi ini bisa berubah kalau 100 juta orang tua Muslim belum mau bersatu untuk pedulikan anaknya orang lain?
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Santri Ponpes Al-Mukmin yang Hanyut di Pantai Seruni Ditemukan Tewas
Jumat, 18 Nov 2022 Gunungkidul - Santri M. Yuski Fahimudin (18) ditemukan meninggal dunia tidak jauh dari lokasi kejadian. Rombongan 100 orang dari Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo menginap di Pantai Seruni. "Korban bersama empat temannya sudah berulang kali diingatkan agar jangan terlalu ke tengah tapi dihiraukan."
https://www.detik.com


17 November, 2022

Studi: Anak yang Berteman dengan Orang Kaya Berpeluang Keluar dari Kemiskinan

Novia Aisyah – detikEdu, Sabtu, 05 Nov 2022 Jakarta - Hubungan dengan orang lain bisa berpengaruh secara signifikan, tetapi memperkirakan bagaimana relasi tersebut mempengaruhi status ekonomi seseorang tentunya adalah urusan yang cukup rumit. Namun, sebuah studi yang dipublikasikan melalui jurnal Nature pada 1 Agustus 2022 lalu menjelaskan, persahabatan antara individu yang lebih kaya dan lebih miskin pada masa kanak-kanak berkaitan dengan peningkatan pendapatan anak-anak miskin di masa depan.

Studi tersebut bertajuk Social Capital I: Measurement And Associations With Economic Mobility. Ekonom Raj Chetty dari Harvard University bersama timnya menggunakan sekitar 72 juta pengguna Facebook berusia 25-44 tahun di Amerika Serikat untuk penelitian ini. Tim peneliti menemukan, jika seorang anak yang cenderung miskin tinggal di area yang membuat mereka bisa berteman dengan anak kaya, maka anak miskin tersebut berpeluang memperoleh pendapatan 20 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata.
https://www.detik.com

 Apa Budaya “Diam Dan Taat “Bagi Anak Kurang Tepat?

Assalamu’alaikum wr.wb. Pernah ada berita tentang seorang guru SD di Depok yang sodomi belasan anak DI DALAM KELAS pada saat jam pelajaran berlangsung. Sungguh luar biasa. Orang tua berasumsi anaknya akan aman di sekolah. Tapi bahaya ada di mana-mana, dan di sekolah juga ada. Salah satu faktor utama dalam kejadian seperti ini (pencabulan siswa oleh gurunya) adalah budaya pendidikan.

Kebanyakan anak diajarkan untuk diam dan taat pada orang tua dan GURU, dan juga pada orang dewasa yang lain. Tidak diajarkan untuk berpikir sendiri, dan berpikir apakah mereka mau setuju atau tidak dengan suatu perkara. Sikap “diam dan taat” yang diharapkan oleh orang dewasa. Lalu karena di banyak SD tidak ada pendidikan seks, dan kebanyakan orang tua “malu” membahas anatomi tubuh dan fungsi biologis, maka ketika anak disuruh buka celana oleh gurunya, TIDAK BANYAK YANG BERANI MENOLAK.

Mungkin mereka merasa malu. Tapi sudah disuruh oleh guru, jadi apa boleh buat? Bagaimana caranya menolak? Apalagi kalau diancam nilai sekolah jadi jelek? Bisa cari perlindungan dari guru jahat di mana? Apa guru lain akan peduli dan melindungi? Ternyata, kebanyakan siswa tidak melihat guru sebagai sahabat dan pelindung terhadap mereka. Jadi mereka hanya bisa diam. Masih berpikir tentang apa yang mesti dilakukan, sudah selesai dicabuli oleh sang guru.

Anak SD perlu dididik bahwa orang lain dilarang menyentuh kemaluan mereka. Juga perlu diajarkan untuk berani melawan “yang salah” dan melarikan diri untuk laporkan kepada guru/dewasa yang lain. Berkali-kali saya baca berita tentang anak yang menjadi korban pencabulan. Bisa terjadi KARENA ketika disuruh ikut oleh seseorang yang lebih tua, anak itu ikut saja (tanpa berpikir). Disuruh buka baju, dia buka. Disuruh melakukan perbuatan terkait hubungan seks, dia lakukan. Ada sebagian yang berusaha menolak, lalu dipaksakan. Tetapi sudah telanjang dulu di tempat sepi, baru mulai menolak. Seharusnya dari awal sudah berani menolak. Tapi mereka tidak dididik untuk menjaga diri, jadi tidak curiga ketika disuruh ikut atau melakukan sesuatu oleh orang yang lebih tua.

Kalau kita mau kurangi jumlah anak yang menjadi korban, kita perlu revisi budaya pendidikan. Budaya “diam dan taat” sudah merugikan ratusan ribu anak (atau lebih) yang telah menjadi korban pencabulan dari orang di sekitarnya. Kita perlu mendidik  semua anak untuk memahami apa yang benar dan salah, dan berani melawan yang salah, walaupun banyak orang tua dan guru tidak suka anak yang punya keberanian seperti itu (karena mereka sangat takut dilawan oleh anaknya atau muridnya sendiri ketika salah). Tapi tidak ada cara lain selamatkan semua anak. Budaya pendidikan harus berubah. Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto     

15 November, 2022

Rambut Gondrong: Kapan 3 Juta Guru Akan Mulai Introspeksi?

Assalamu’alaikum wr.wb. Sudah tahun 2022. Pertanyaan serius saya adalah kapan 3 juta guru Indonesia akan bangun dari dunia mimpi dan menyadari faktanya bahwa tempat mereka kerja di sekolah negeri bukan milik mereka? Sekolah itu dibangun dengan uang rakyat, dan para guru itu juga digaji dari uang rakyat. Jadi sekolah itu milik orang tua dan siswa (sebagai anggota rakyat, secara abadi, tanpa masa pensiun) dan guru digaji agar melayani orang tua dan siswa untuk menyediakan sistem pendidikan yang sesuai harapan.

Tapi faktanya, setiap kali ada guru yang masuk berita karena suatu perbuatan, misalnya potong rambut anak laki-laki secara paksa, guru-guru yang lain secara otomatis keluarkan komentar yang sama, sejak puluhan tahun yang lalu. Katanya, siswa harus taat pada aturan. Guru tidak bersalah. Siswa yang salah. Orang tua sudah dikasih peringatan. Dan seterusnya. Banyak guru posisikan diri setara sersan di tentara, atau penjaga penjara, yang "gila hormat" dan tidak bisa terima kalau ada pihak yang tidak mau hormati mereka, anggap mereka salah, atau berbeda pendapat.

Ada 100 juta orang tua dan 60 juta siswa yang berharap rakyat Indonesia bisa bangkit, bersatu, dan menciptakan negara maju yang kuat dan sejahtera. Tapi di saat yang sama, banyak guru sibuk keliling sekolah dengan gunting karena merasa ada tanggung jawab mereka untuk memaksa siswa taat pada guru, takut pada guru, dan siap dipermalukan di depan umum agar tidak berani lawan gurunya besok.

Dari semua guru itu, tidak ada yang bisa jelaskan:
•    Definisi rambut gondrong yang disepakati semua;
•    Hubungan antara rambut laki-laki dan proses pendidikan;
•    Kenapa rambut perempuan tidak perlu dipotong secara jelek juga;
•    Dan kenapa aturan tentang rambut laki-laki itu tidak dihapus saja.

Lalu guru-guru lain yang mungkin tidak setuju hanya mau DIAM saja dan tidak berani melawan guru yang semangat memaksa siswa. Kapan 3 juta guru bisa sadar, dan mulai posisikan diri sebagai mitra orang tua dan siswa, sebagai orang yang digaji untuk melayani rakyat, yang perlu mendidik bukan memaksa, dan siap menerima pendapat orang tua yang berbeda?

Kalau 100 juta orang tua dan 60 juta siswa punya harapan "A", dan 3 juta guru tidak peduli dan hanya mau kasih "B" saja, kenapa para guru itu bisa merasa dirinya perlu dihormati atau ditaati? Padahal sifat dasar dari tugasnya saja tidak dipahami oleh mereka. Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...