Search This Blog

Labels

alam (8) amal (97) anak (317) anak yatim (117) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (64) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (69) hukum islam (51) indonesia (586) islam (559) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (372) kesehatan (97) Kisah Dakwah (11) Kisah Sedekah (11) konsultasi (13) kontroversi (5) korupsi (28) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (53) my books (2) orang tua (10) palestina (34) pemerintah (138) Pemilu 2009 (63) pendidikan (519) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (46) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (37) renungan (192) Sejarah (5) sekolah (90) shalat (10) sosial (323) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

Popular Posts

Showing posts with label pesantren. Show all posts
Showing posts with label pesantren. Show all posts

29 October, 2025

Asrama Putri Ponpes di Situbondo Ambruk, 1 Santriwati Meninggal-11 Luka

Assalamu’alaikum wr.wb. Harap ingat: “Ini Musibah, dan Takdir Allah, dan Kami Tidak Menyangka!” Ketika anak tewas di pesantren atau sekolah, kalimat sakral itu sudah cukup sebagai penjelasan. Tidak ada pihak yang salah atau lalai. Tidak ada yang perlu ditangkap. Musibah saja. Kegiatan di pesantren harus segera mulai lagi bagi anak yang belum mati, dan gedung yang rusak harus dibangun kembali dengan uang rakyat. 

Anehnya, ketika bis masuk jurang, sikap itu tidak berlaku. Sopirnya ditangkap, tidak ada usaha beli bis baru dengan uang rakyat, dan sopir itu tidak disuruh segera mengantar penumpang lagi. Sopir itu tidak sengaja bunuh orang, tapi dianggap bersalah. Pengurus pesantren tidak sengaja bunuh orang, jadi bebas dari kesalahan? 

Selain itu, ketika melihat video berita di YouTube, saya kaget. Terkesan bahwa seluruh TKP sudah “bersih” ketika Polisi datang. Semua puing, beton, genteng, dll. sudah dipindah. Jadi kalau insinyur sipil mau periksa “tata cara bangunan itu jatuh”, sudah mustahil. Tidak bisa lihat apa yang jatuh duluan, atau jatuhnya ke mana.

Apa usaha pelaku membersihkan seluruh TKP bukan perkara hukum? Kalau seorang bapak membunuh anaknya lalu bilang “tidak sengaja”, apa juga boleh begitu? Ketika polisi datang, mayat anak sudah hilang dari rumah, darah sudah dibersihkan, dan barang-barang rusak sudah hilang sampai TKP menjadi steril dan bersih? Apa boleh dilakukan di semua TKP? Atau hanya boleh di pesantren saja? 

Mungkin kondisi ini bisa menjadi bahan bagi mahasiswa fakultas hukum. Mereka bisa menulis makalah menarik tentang tipe orang yang kebal hukum, atau yang kena sanksi hukum, padahal perbuatannya mirip. Bedanya adalah satu pihak merupakan ahli agama di pesantren, dan pihak lain adalah orang biasa. Dan kalau seluruh barang bukti dihilangkan, apa di pesantren boleh, tetapi di rumah dilarang? 

Kenapa nyawa anak di pesantren kalah penting dengan nyawa anak di tempat lain? Sepertinya, investigasi terhadap anak yang tewas di rumah bisa luas dan lengkap. Tetapi bagi anak yang tewas di pesantren, ada kesan bahwa hukum negara kurang berlaku, dan tidak ada pelaku yang perlu bertanggung jawab, karena itu hanya musibah dan takdir Allah saja. Betul? 
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto 

Asrama Putri Ponpes di Situbondo Ambruk, 1 Santriwati Meninggal-11 Luka
Musibah terjadi di Pondok Pesantren Salafiah Syafi'iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani, Situbondo. Salah satu bangunan asrama putri di ponpes itu ambruk menewaskan seorang santriwati dan melukai 11 orang santriwati lainnya.
https://www.detik.com

Kamar Ponpes di Situbondo Ambruk, Belasan Santri Putri Tertimpa Reruntuhan & 1 Orang Tewas
https://www.youtube.com 



28 October, 2025

Santri Bunuh Diri, Investigasinya Nol, Pelaku Penyebab Trauma: AMAN

 


Assalamu’alaikum wr.wb. Ada berita tentang seorang anak yang bunuh diri, dan setelah beberapa hari, terungkap dia seorang santri. Saya cari beritanya di Google, tetapi malah ketemu beberapa kasus yang berbeda (3 santri bunuh diri di bulan Oktober 2025!) Pertanyaan saya, APA yang menimpa mereka sampai merasa tidak tahan, tidak bisa dapat bantuan, dan satu-satunya jalan keluar dari penderitaannya adalah bunuh diri? Kita tidak akan tahu. Selalu dianggap musibah dan takdir Allah. Jadi tidak perlu investigasi dari polisi (siapa yang mau bayar?) 

Dua hal yang paling mungkin adalah mereka korban bullying atau pencabulan. Dalam kasus pencabulan di pesantren, biasanya ada korban lain. Jarang ada berita pencabulan dari pesantren dengan 1 korban saja. Tetapi siapa yang mau investigasi? Kalau pencabulan atau bullying, hampir terjamin ada beberapa atau bahkan puluhan korban lain. Seharusnya Kemenag, Kemen PPPA, KPAI, dan Polri sangat peduli dan wajib melakukan investigasi. Ternyata tidak. Setiap kasus hanya musibah dan takdir Allah. Semua orang dewasa selalu berkata, “Kami tidak menyangka!”

Dan setelah saya cari berita tentang santri yang bunuh diri, juga muncul kasus anak SD dan SMP (bukan santri) yang bunuh diri. Dan dalam setiap kasus, dicap musibah dan takdir Allah, dan tidak ada investigasi, jadi penyebabnya tidak ketahuan, dan pelaku (bullying atau pencabulan) aman. Tidak ada yang mencarinya. Saksi mata utama sudah tewas. Simsalambim, kasus itu dilupakan. Dan besoknya, ketika terjadi lagi di dengan anak yang lain, boleh dilupakan juga. 

Kapan anak dan santri Indonesia akan dinilai penting, dan patut dijaga dan dilindungi? Kenapa mereka bisa dibiarkan menjadi korban terus, tanpa ada yang peduli pada kondisi hidupnya, sampai akhirnya sebagian anak merasa terpaksa bunuh diri untuk akhiri penderitaan mereka? Kalau ada sumber pertolongan yang jelas, seharusnya tidak ada anak yang bunuh diri, dan kasus bullying dan pencabulan berhenti cepat. Kenapa tidak ada yang mau berusaha selamatkan para anak dan santri dari takdir yang buruk itu? 
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto

Ini beberapa kasus yang saya temukan hari ini. Mungkin ada yang lain. Semuanya judul berita asli. Kalau juga cari berita anak SD-SMP yang bunuh diri, hasilnya lebih banyak. 

* 15 Oktober 2025, santri bunuh diri di Merangin, Jambi

Izin Mendadak, Santriwati Ini Ditemukan Tewas Gantung Diri di Pesantren
https://www.batamnews.co.id

* 11 Oktober 2025, santri bunuh diri di Muara Enim, Sumsel.

Santri di Muara Enim Ditemukan Gantung Diri dalam Kamar, Polisi Selidiki 
https://www.detik.com

* 3 Oktober 2025, santri bunuh diri di Musi Rawas, Sumsel.

Santri Tewas Gantung Diri Tinggalkan Surat untuk Ibu: Gading Sudah Tak Kuat dengan Cobaan Ini
https://news.okezone.com

* 11 September 2025, santri bunuh diri di Mangkubumi, Tasikmalaya,

Santri yang Tewas Tergantung di Mangkubumi Dikenal Sosok Baik dan Pendiam, Ponpes Bantah Korban Bullying
https://www.insiden24.com 

* 31 Juli 2025, siswi di asrama sekolah Islam bunuh diri di Tanjungpinang

Siswi yang Diduga Gantung Diri Hafidzah 30 Juz, Sekolah di SMA As-Sakinah Tanjungpinang
https://ulasan.co

* 26 April 2025, santri bunuh diri di Bener Meriah, Aceh

Seorang Santriwati di Bener Meriah Ditemukan Meninggal Tergantung di Pesantren
https://www.ajnn.net 

15 October, 2025

Menteri Agama: Kejahatan Seksual di Pesantren Dibesar-besarkan Media


Assalamu’alaikum wr.wb. Mohon maaf Pak Menteri, tetapi apakah bapak sudah pegang data yang akurat, sehingga berani bilang jumlahnya sedikit? Soalnya, penelitian di Indonesia dan juga di mancanegara membuktikan bahwa mayoritas dari korban pencabulan tidak pernah buka mulut. Jadi tidak ada yang tahu bahwa mereka telah menjadi korban. Ada perkiraan bahwa sebanyak 90% dari korban tidak pernah mengaku. 

Kondisi serupa pernah dialami oleh Gereja Katolik. Selama puluhan tahun, mereka bersikeras bahwa tidak ada masalah, dan yang penting adalah jangan sampai rakyat putus hubungan dengan Gereja. Ketika suatu kasus terjadi, Gereja buru-buru menutupinya, demi menjaga nama baik Gereja. Setelah dibongkar secara global (mulai dari Amerika), seluruh dunia jadi kaget. Satu contoh, di Perancis saja, 330.000 orang mengaku sebagai korban pencabulan di Gereja Katolik. Secara global, ada jutaan korban, tetapi masih ada banyak negara yang menolak kumpulkan data yang akurat. 

Pola yang persis sama terulang lagi dalam dunia pesantren di Indonesia. Mungkin setelah puluhan tahun, akan ketahuan bahwa jutaan santri dan santriwati pernah menjadi korban pencabulan. Lalu di saat itu, menteri agama, dan para pengurus pesantren akan berkata, “Mohon maaf, kami khilaf. Ini musibah. Ini takdir Allah. Dan, kami tidak menyangka!!!” 

Mereka tidak bersedia “menyangka” dari sekarang, dengan menciptakan sistem anti-pencabulan dengan latihan rutin di semua pesantren. Mereka tidak mau melakukan survei nasional untuk mencari semua korban dan menolongnya. Banyak pelaku yang ditangkap sekarang mengaku bahwa mereka menjadi korban dulu. Jadi korban di masa lalu bisa menjadi pelaku di masa sekarang. Itu yang terjadi ketika para korban tidak dapat bantuan terapi dari psikolog. 

Sayangnya, para pemimpin agama Islam di sini punya pola pikir persis sama dengan pemimpin Gereja Katolik di zaman dulu. Dianggap lebih baik semuanya ditutupi, dianggap jumlah korbannya kecil, tidak mau mencari data akurat, dan buang muka agar tidak perlu melihat jutaan anak kecil yang disiksa di pesantren. Yang penting adalah “nama baik pesantren”, jadi demi menjaga nama baik itu, mereka siap korbankan jutaan anak Muslim yang tidak berdosa. 

Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wa billahi taufiq wal hidayah, 
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto 

Menteri Agama: Kejahatan Seksual di Pesantren Dibesar-besarkan Media
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren itu sedikit, namun media massa telah membesar-besarkannya melalui pemberitaan. "Jangan sampai orang nanti alergi memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren,” katanya.
https://www.cnnindonesia.com

Usai Tragedi Maut, KBM di Ponpes Al Khoziny Dimulai 2-3 Minggu Lagi


Assalamu’alaikum wr.wb. Mohon maaf, apa pantas disebut “Tragedi Maut”? Bukannya itu kasus “kematian yang disebabkan oleh kelalaian” (yang biasanya juga kena pasal)? Setelah terbukti para pengurus pesantren telah gagal mengutamakan perlindungan dan keselamatan bagi 200 anak kecil, ternyata sanksinya adalah: Segera mulai kegiatan belajar mengajar di lokasi baru, sambil menunggu pemerintah bangun kembali gedung yang ambruk dengan uang rakyat?? Enak sekali sanksi itu!

Jadi, kegiatan belajar ilmu agama di pesantren akan dimulai lagi, tetapi hanya bagi para santri yang belum mati. (Mungkin anak yang sudah mati bisa dapat surat izin tidak hadir di kelas baru, agar nyawanya tidak dibahayakan lagi.) Ternyata, masih banyak orang tua berani titip anaknya kepada orang yang tidak mengerti cara melindungi anak. (Kalau cari babysitter untuk anak, apa mau memilih orang yang di tempat kerjanya yang lama, anak majikan mati??) Totalnya, sudah ada 63 anak yang mati dan puluhan lain yang kena luka berat, seperti tangan atau kaki diamputasi. 

Banyak orang anggap bahwa yang terjadi kemarin bukan kesalahan atau kelalaian dari orang dewasa yang tidak mengutamakan perlindungan anak. Katanya, itu musibah, dan takdir Allah, dan orang dewasa di situ tidak menyangka bahwa tempat berbahaya bisa berbahaya. Masih banyak santri yang belum mati, jadi para pengurus mau dikasih kesempatan mengurus 200 anak lagi. Semoga mereka bisa bertahan hidup sampai lulus!! 

Sepertinya lebih bijaksana kalau dicabut izinnya mengurus tempat pendidikan bagi para pendidik yang gagal melindungi ratusan anak. Tetapi itu hanya akan terjadi kalau nyawa anak punya harga. Ternyata, di Indonesia, harganya nyawa anak sangat murah sekali. Dan karena begitu yakin Kyai selalu dalam kebenaran, banyak orang tua tetap tidak berani menyalahkan kyai, walaupun ratusan anak sudah menjadi korban dari kelalaiannya.

Seharusnya dari awalnya, semua santri dilarang keras mendekati tempat proyek yang berbahaya itu! Karena orang dewasa yang akalnya sehat akan lihat tempat berbahaya dan sadar bahwa tempat itu berbahaya. Tetapi karena tidak dilakukan, hasilnya adalah 63 anak telah mati secara sia-sia. Sayangnya, daripada marah, banyak orang tua malah segera maafkan sang kyai, kembalikan santunan kepadanya, anggap takdir saja, dan minta doanya dari kyai. Kalau pelakunya bukan kyai, hampir pasti langsung ditangkap dan dipenjarakan puluhan tahun.

Semoga bermanfaat bagi orang dewasa yang punya akal sehat dan ingin merenung. Atau silahkan cuek saja dan baca Bismillah, karena bagi banyak orang Muslim di Indonesia, itu sudah cukup sebagai perlindungan bagi anak! Dan akal yang Allah berikan dibuang ke laut! Wa billahi taufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto 

Usai Tragedi Maut, KBM di Ponpes Al Khoziny Dimulai 2-3 Minggu Lagi
https://news.detik.com

13 October, 2025

Gedung Pesantren Ambruk: Ketika Perlindungan Anak Bukan Prioritas


Assalamu’alaikum wr.wb. Pada tanggal 29 September, 2025, gedung baru dalam sebuah pesantren di Sidoarjo ambruk pada saat banyak anak melakukan shalat di dalamnya. Hasilnya, 63 anak tewas, 24 anak luka berat, 74 anak luka ringan, dengan jumlah total korban 171 anak. Rakyat kaget, tetapi sebenarnya, ini merupakan hasil dari sistem pendidikan di Indonesia di mana perlindungan dan keselamatan anak bukan sebuah prioritas.

Di banyak sekolah dan pesantren ada bahaya. Ada sebagian anak yang mengalami bullying, penyiksaan, pemerasan, pencabulan, sodomi, atau pemerkosaan. Ada anak yang dikembalikan kepada orang tuanya sebagai mayat. Hal ini terjadi karena banyak guru dan ustadz yang menerima anak sebagai amanah tidak memahami tugas utamanya, yaitu, kewajiban melindungi anak! 

Kalau kita berpikir dengan akal yang sehat, sangat jelas bahwa tempat proyek berbahaya. Biasanya ada peringatan di pagarnya: Wajib memakai alat pelindung diri (APD) seperti helm safety, sepatu safety, dll. Suatu barang yang jatuh dari atas bisa membunuh orang di bawah. Sudah banyak pekerja yang terluka atau tewas di tempat proyek. *Kalau dewasa wajib pakai APD, kenapa 171 anak bisa masuk wilayah proyek dengan APD peci dan sarung saja? Sangat tidak masuk akal.*

Setiap kali ada anak yang terluka atau tewas, di pesantren, sekolah, atau dalam kegiatan resmi di luar, para guru dan ustadz selalu berkata: “Ini musibah! Ini takdir Allah! Kami tidak menyangka!” Ketika ada korban bullying sampai terluka atau tewas, atau korban pencabulan, komentar yang sama muncul juga. Orang dewasa yang menjaga anak perlu memikirkan bahaya terhadap anak, sebelum anak menjadi korban.

Para guru dan ustadz harus menggunakan akalnya, untuk memikirkan perlindungan dan keselamatan anak sebagai prioritas utama. Mungkin mereka anggap cukup kalau mengucapkan “Bismillah, insya Allah aman”, dan tidak perlu berpikir lagi. Jadi, untuk apa Allah berikan akal kepada manusia? Apakah ada banyak ayat di dalam Al Qur’an yang berbunyi, “Maka, janganlah berpikir”, atau “Akal tidak penting”? Setahu saya, tidak ada. Jadi kenapa banyak guru dan ustadz bisa bersikap seperti itu?

Di dalam Al Qur’an, ada sekitar 130 ayat yang menyuruh kita berpikir, menggunakan akal, mengambil pelajaran, merenung, mengingat, ambil peringatan, memahami, dan memperhatikan. Contohnya: 

Terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS. 3:190)
Apakah kamu tidak memikirkan(nya)? (QS. 6:50)
Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (darinya)? (QS. 6:80)
Terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. 12:111)

Ketika Rasulullah SAW diberitahu bahwa umat Islam akan diserang, apa yang terjadi? Para sahabat sudah menunggu perintah untuk mengumpulkan pasukan, siapkan kuda, pedang, busur dan anak panah, dsb. Apa Rasulullah SAW pernah berkata, “KITA BISMILLAH SAJA, DAN TIDAK USAH BERPIKIR LAGI! Kita tidak perlu pasukan, pedang, posisi strategis, dan lain-lain. Cukup Bismillah saja, dan apa yang terjadi sesudahnya adalah MUSIBAH DAN TAKDIR ALLAH. Buanglah akal. Jangan berpikir. Kita sudah Bismillah!”

Apakah begitu sikap Rasulullah SAW? Cukup Bismillah saja? Atau apakah Nabi SAW selalu menggunakan AKAL dan membuat persiapan yang matang? Kalau Nabi Muhammad SAW selalu memberikan contoh menggunakan akal dan bersiap-siap secara baik, kenapa banyak guru, ustadz, dan orang tua merasa puas dengan persiapan “Bismillah saja, insya Allah aman”? Dari mana pemikiran itu? Sangat jelas bukan dari Rasulullah SAW, berarti juga bukan dari Allah! 

Anak perlu diselamatkan dari bahaya sebelum menjadi korban. Menjadi seorang guru atau ustadz adalah amanah dari Allah, dan amanah dari orang tuanya semua anak. Jangan diremehkan amanah itu dengan abaikan bahaya yang jelas. Justru Allah berikan akal kepada manusia agar kita memakainya untuk berpikir dan mencari jalan yang terbaik!

Kalau anda diberikan amanah dari Allah dengan ditugaskan mengurus anak, tetapi anda merasa tidak perlu berpikir dengan akal yang sehat, maka ada kesimpulan yang jelas: Mohon maaf, tetapi terbukti anda tidak pantas mendapat posisi dan pekerjaan tersebut. Kalau anda tidak mau memikirkan hal-hal yang bisa membahayakan anak, maka anda sudah gagal menjaga amanah! Dan apa saja yang menimpa anak-anak tersebut adalah kesalahan dan tanggung jawab anda 100%.

Allah sudah berikan amanah dalam bentuk 80 juta anak. Kita harus jaga amanah itu dan gunakan akal yang sehat untuk memikirkan apa yang berbahaya bagi mereka, dan bertindak untuk MELINDUNGINYA sebelum ada yang menjadi korban. Kita harus bangun dari dunia mimpi dan mulai berpikir secara bijaksana tentang apa yang dibutuhkan oleh mereka. Kita harus serius dalam menjaga mereka, atas nama Allah, atas nama orang tuanya, atas nama masa depan bangsa, agar semua anak Indonesia bisa tumbuh dalam kondisi yang baik dan aman, dan bisa menjadi kebanggaan kita di masa depan.

Mohon maaf apabila ada kekurangan. 
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wa billahi taufiq wal hidayah, 
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto 

07 August, 2025

Anak Tenggelam Terus, Kenapa Dalam Beritanya Tidak Ada Pihak Yang Lalai?

Assalamu’alaikum wr.wb. Untuk mencegah anak tenggelam di negara ini, mungkin dibutuhkan 2 perubahan. Pertama, wartawan harus menulis berita dengan gaya lebih tegas. Kedua, harus ada orang dewasa terkait yang kena sanksi hukum. Yang paling mudah adalah yang pertama. Dalam kebanyakan artikel berita, ditulis bahwa anak yang tenggelam dibawa ke puskesmas, dan korban dinyatakan “tewas”. 

Tetapi sudah tewas pada saat dibawa pergi. Seharusnya korban dibantu langsung di tempat dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP, atau CPR). Tetapi sangat jarang terjadi. Biasanya dibawa ke puskesmas saja, dalam kondisi tidak bernafas. Kenapa? Karena banyak pengelola kolam renang, petugas, guru, ustadz, dan orang dewasa yang lain adalah orang yang bodoh dan lalai yang menolak belajar. Jadi mungkin artikel berita perlu tegaskan bahwa ada pihak yang bersalah. Misalnya:

SALAH SATU BERITA TERBARU: 
“Anak berusia 11 tahun tenggelam di kolam renang. Lalu petugas yang bodoh ambil jenazah anak yang tidak bernafas itu di membawanya jalan-jalan keliling kota. Setelah akhirnya tiba di puskesmas, dokter menyatakan bahwa anak yang sudah mati sejak 20 menit sebelumnya tetap saja mati. Artinya, petugas kolam renang membawa mayat jalan-jalan tanpa manfaat. Kenapa terjadi terus? Karena pemilik kolam renang yang bodoh dan lalai tidak mewajibkan semua petugas belajar Resusitasi Jantung Paru (RJP, atau CPR), dan pemerintah dan pemda yang bodoh dan lalai juga tidak mewajibkan pemilik usaha, guru, dan ustadz belajar RJP. Anak dibiarkan mati terus disebabkan kebodohan dan kelalaian dari pemerintah, pemda, pemilik usaha, petugas, guru, ustadz, dan orang dewasa lain yang seharusnya DILATIH untuk selamatkan anak.” [AKHIR]

Itu contoh artikel berita yang lebih tegas, yang jelaskan ada kelalaian. Tetapi saya tidak yakin banyak wartawan akan siap membuat berita yang tegas. Anak Indonesia harus dibiarkan mati terus, disebabkan kebodohan dan kelalaian dari orang dewasa yang punya kemampuan belajar, tetapi menolak, dan punya kemampuan untuk “menyangka”, tetapi malah selalu “tidak menyangka”. 

Sebagai perumpamaan, ketika terjadi kebakaran rumah, bagaimana kalau petugas damkar datang dan hanya tiup-tiup apinya tanpa hasil? Tidak membawa truk dan selang, dan tidak siram apinya dengan air. Lalu mereka berkomentar, “Kami tidak dilatih untuk memadamkan api! Tidak tahu caranya. Kami juga tidak menyangka rumah bisa kebakaran!” Apa kita akan terima, dan anggap tidak ada yang lalai? Atau apa kita akan marah, dan bertanya kenapa mereka tidak diwajibkan dapat pelatihan yang tepat? Lalu, apa bedanya dengan petugas di kolam renang? Kenapa tidak mereka diwajibkan dapat pelatihan RJP? Kenapa petugas damkar bisa “menyangka” rumah akan kebakaran dan siap bertindak, tetapi pengelola kolam renang, guru, ustadz, dan orang dewasa lain selalu “tidak menyangka” anak bisa tenggelam dan tidak siap bertindak?  

Kalau pelatihan RJP diwajibkan di SMP dan SMA, berapa ribu anak yang bisa diselamatkan dalam 1 tahun? Dan dalam beberapa tahun saja, 30-40% dari seluruh penduduk akan mengerti caranya setelah lulus sekolah (ada 80 juta anak di Indonesia). Jadi kenapa tidak wajib? Dan anak siapa yang harus tewas sebelum ada kepedulian?

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32)

Selama para korbannya hanya anaknya orang miskin, dan bukan anaknya orang elite, sepertinya tidak akan terjadi perubahan. Tetapi para wartawan bisa mulai membangun gerakan dulu, dengan SELALU BERTANYA kenapa petugas kolam renang tidak mengerti RJP, dan kenapa tidak ada pihak yang kena sanksi hukum disebabkan kelalaian tersebut.
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto 

Pelajar 11 Tahun Meninggal Tenggelam di Kolam Muara Louser Abdya 
Saat itu, korban sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kemudian, korban dilarikan ke Puskesmas Manggeng menggunakan sepeda motor.
https://prohaba.tribunnews.com

30 June, 2025

Anak Sering Tenggelam, Orang Dewasa Tidak Bisa Bantu, Kenapa Pemerintah Tidak Bertindak?

Assalamu’alaikum wr.wb. Ada video berita tentang seorang anak yang tenggelam di lokasi Pemandian Air Hangat. Sudah sering muncul video serupa, atau ada artikel berita yang jelaskan kejadiannya. Sama seperti ribuan kasus sebelumnya, seorang anak tenggelam, dan dikeluarkan dari air dalam keadaan tidak sadar. Lalu...?

Terlihat dalam videonya. Beberapa orang dewasa pegang anak itu dalam kondisi terbalik, dan goyangkan badannya. Kompresi jantung? Tidak ada. Nafas buatan? Tidak ada. Dari 100 orang dewasa yang berkumpul, tidak ada satupun yang mengerti apa yang perlu dilakukan. Jadi mereka lakukan apa yang “sekiranya bermanfaat”. Air masuk paru-paru, jadi anak dipegang terbalik agar air keluar. Kalau jantungnya sudah berhenti, keluarkan air dari paru-paru saja tidak ada manfaatnya.

Dengan sangat mudah pemerintah bisa membuat video singkat sebagai iklan masyarakat di TV. Ditayangkan terus sampai 60 juta anak dan 100 juta orang tua mengerti tata cara melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP, juga disebut CPR). Video yang sama bisa disebarkan lewat medsos, dan juga diajarkan di sekolah, berkali-kali, tanpa batas waktu, sampai terasa mayoritas dari rakyat mengerti cara menolong anak yang tenggelam. Bisa diwajibkan bagi semua PNS, polisi, guru, ustadz, satpam, dll. untuk belajar RJP dan P3K dan dapat sertifikasi. 

Begitu sederhana solusinya. Tetapi solusi seperti itu hanya akan muncul kalau ada kepedulian. Dan selama ini, belum terlihat ada kepedulian, mungkin karena yang tenggelam setiap hari hanya anaknya orang miskin. Kalau anaknya orang elite yang tenggelam terus di kolam renang, sungai, waduk, saluran irigasi, bekas galian, pantai, tempat pemandian umum, dll. bisa dijamin akan ada tindakan cepat untuk selamatkan anak-anak elite itu. Coba bayangkan reaksi pemerintah kalau 7 anak atau cucu dari anggota DPR, menteri, dll. tenggelam dalam sebulan? Seluruh negara akan kaget, dan berita akan penuh dengan info “kondisi darurat”. Sayangnya, hanya anak dari keluarga miskin yang tewas terus setiap hari. Dan kesannya mereka tidak begitu penting. 

Kenapa nyawa anak Indonesia harus bisa begitu murah, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdorong untuk menyelamatkan mereka? Kenapa anak harus dibiarkan tenggelam terus tanpa kepedulian dari pemda atau pemerintah? Solusinya jelas dan sederhana. Rakyat butuh bantuan dan pelatihan tersebut. Tetapi para pemimpin tidak akan mulai peduli sebelum rakyat juga peduli. Kalau anda ketemu pejabat, daripada senyum lebar dan minta selfie dan kaos saja, coba bertanya kenapa anak Indonesia harus dibiarkan tewas terus, dan apa yang bisa dilakukan oleh pejabat itu untuk melindungi 80 juta anak bangsa!? Mungkin kalau rakyat sering bertanya seperti itu, beberapa pejabat akan mulai peduli (sedikit). 
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto 



18 June, 2025

WASPADA! BANYAK ANAK TENGGELAM DALAM ACARA SEKOLAH

Assalamu’alaikum wr.wb. Banyak sekolah membuat acara wisata, study tour, perpisahan, atau yang lain, dengan membawa puluhan anak, atau seratus anak lebih, ke suatu lokasi seperti pantai, water park, tempat perkemahan dekat sungai, dll. Kalau sekolah anak anda membuat rencana seperti itu, dengan jumlah anak yang banyak, dan diragukan semua anak bisa dijaga secara baik, mungkin anda bisa berikan daftar kasus anak tenggelam ini kepada kepala sekolah dan minta mereka cari lokasi yang lain. Tidak ada berita anak tenggelam saat study tour ke museum, atau dalam acara perpisahan di kebun.

Seharusnya perlindungan dan keselamatan anak merupakan prioritas tertinggi bagi semua guru sekolah dan ustadz di pesantren. Tetapi tidak selalu begitu. Kita harus aktif menjaga nyawa anak dengan minta sekolah atau pesantren hindari kegiatan di dekat air, terutama kalau jumlah anak banyak, dan sebagian di antaranya tidak bisa berenang. Apalagi kalau gurunya juga tidak bisa berenang. Kalau anak alami kesulitan, dibutuhkan guru yang bisa berenang dan mengerti P3K dan Resusitasi Jantung Paru (RJP) untuk selamatkan anak tersebut. 

Di bawah ini ada beberapa judul berita asli dari arsip saya. Kalau mau cari lagi di internet, bisa dapat lebih banyak. Dan ini hanya berita tentang kegiatan sekolah formal yang direncanakan jauh hari sebelumnya. Kalau mau tambahkan berita anak tenggelam yang lain, totalnya berkali lipat ganda dari ini. 

Semoga Allah SWT melindungi semua anak Indonesia dari kelalaian orang dewasa di sekitarnya. Kalau anda tidak mau ambil peran proaktif dan menolak kegiatan anak di lokasi-lokasi tersebut, nanti kalau memang ada anak yang tenggelam, saya jamin 100% para guru dan ustadz akan mengatakan secara enteng: “Kami Tidak Menyangka! Ini Musibah! Ini Takdir!” Dan nyawa anak itu hilang untuk selama-lamanya, karena para guru dan ustadz abaikan risiko saat membuat rencana. Orang tua harap waspada terus. 
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb. 
-Gene Netto

JUDUL BERITA ASLI

* 11 Siswa MTs Harapan Baru Ciamis Tewas Saat Susur Sungai Kegiatan Pramuka
* 5 Pelajar SD di Dharmasraya Tewas Tenggelam saat Bermain di Sungai, Saat Acara Perpisahan Kelas
* 5 Siswa SMP Jakarta Tewas Tenggelam di Sungai Terlarang Baduy Saat Study Tour
* 4 Siswa SMPN 7 Mojokerto Tewas Tenggelam, Pj Gubernur Jatim Bakal Evaluasi Studi Tur
* 3 Siswi SD di Indramayu Tenggelam di Sungai saat Kegiatan Pramuka, Begini Kronologinya
* 3 Santri Ponpes Imam Asy-Syafii Tewas Tenggelam di Pantai Lowita Pinrang, Saat Acara Pesantren
* Bermain dan Kejar Bola Hingga ke Tengah Pantai Saat Acara Liburan Pesantren, 18 Siswi Tenggelam Tetapi Diselamatkan
* Saat Perpisahan Siswa SD Tanah Laut, Kalsel, di Wahana Pemandian Berujung Tragis, Seorang Anak Tewas Tenggelam
* Bocah SD di Sukabumi Tewas Tenggelam Saat Hendak Praktik Renang
* Dua Pelajar SMK di Mamasa Tewas Tenggelam Usai Ikut Kegiatan PMR 
* Pelajar SD Asal Kalikotes Klaten Tewas Tenggelam saat Ikut Tracking dari Sekolah'
* 2 Murid TK Tewas Tenggelam di Kolam Renang Wisata Jatiwangi Tuban
* Liburan Bareng Sekolah, Murid TK di Musi Rawas Tewas Tenggelam di Kolam Renang
* 2 Santri Klaten Terseret Arus Usai Rafting di Kali Elo Magelang, 1 di Antaranya Tewas Tenggelam
* Siswa SMP Tewas Tenggelam Saat Kegiatan MPLS, Disdik Bantah Keterangan Polisi, Tiga Guru Diperiksa
* Hendak Membersihkan Badan Usai Kegiatan Ekstrakurikuler, Dua Santri Tewas Tenggelam di Embung
* Siswi SMA di Kupang Tewas Tenggelam Saat Ikut Ujian Praktik Renang 
* Santri Ponpes Al-Mukmin yang Hanyut di Pantai Seruni Ditemukan Tewas, Saat Acara Pesantren
* Santri Tewas Akibat Dihukum Masuk Kolam, Polisi Sebut Korban Tenggelam karena Masuk ke Kolong 
* Murid TK Tewas Tenggelam di Kolam Renang Bengkulu, Saat Acara Sekolah
* Murid Madrasah Tewas Tenggelam Saat Outbond
* Bocah Kelas V SD Asal Reubee Meninggal Saat Mandi di Kolam Renang Sigli, Saat Acara Sekolah
* Siswa SD di Pelalawan Tewas Tenggelam di Kolam Saat Perkemahan 
* Siswi MTS Tewas Tenggelam di Objek Wisata Saat Acara Sekolah
* Hiking Ekstrakurikuler, Dua Siswi Madrasah Tewas Tenggelam
* Pelajar MAN 5 Garut yang Tenggelam di Pangandaran Ternyata Sempat Ikuti Kegiatan Kemah
* Siswa Peserta Jambore di Sikucing Moga Tewas Tenggelam di Sungai
* Saat Acara Sekolah, 3 Siswa SMP Parepare Tenggelam di Sungai Kunyi Polman, 1 Orang Tewas 
* Pelajar SMK Tewas Tenggelam Saat Acara Sekolah di Air Terjun Sarambu Loleang Mamasa Jadi 2 Orang 
* Ikuti Kegiatan Sekolah, Pelajar SD Madiun Tewas di Kolam Renang 
* Perpisahan di Pantai Gedambaan, Dua Siswa SD Tenggelam
* Siswa SD Pangenjurutengah Purworejo Tenggelam di Bantul saat Ikuti Pembelajaran Luar Sekolah
* Tragis! Pelajar SD Asal Bati-Bati Tewas Tenggelam Saat Wisata Kelulusan di Banjarbaru
[AKHIR]

14 April, 2025

Kenapa Info Anak Tenggelam Harus Menjadi Berita Harian?

Assalamu’alaikum wr.wb. Saya punya harapan bahwa pada suatu hari, saya bisa buka berita dan tidak ada informasi tentang santri atau pelajar yang tenggelam. Saya tidak tahu harus menunggu berapa ribu tahun sebelum hari itu datang. Yang jelas, tidak akan datang dalam waktu dekat. Setiap hari ada anak yang tenggelam, tetapi tidak ada kesan bahwa banyak orang peduli pada kondisi ini. Banyak santri dan pelajar tenggelam saat “mandi” di sungai karena tidak bisa berenang. Bisa saja dilarang, tetapi tidak ada yang melarang. Banyak juga yang tenggelam di pantai ketika berwisata. Bisa dididik bahwa laut sangat berbahaya, dan dilarang berenang, tetapi tidak ada yang melarang.

Ini masalah pendidikan. Semua anak ini tidak perlu tewas. Lihat contoh lain. Banyak anak kena demam berdarah, lalu pemerintah, pemda dan semua sekolah MENDIDIK anak tentang bahayanya nyamuk Aedes aegypti. Dipasang poster di sekolah, ada iklan di TV, ada program pemerintah, jadi hasilnya adalah semua orang termasuk anak balita juga tahu. Tetapi ketika ada arus berbahaya di sungai atau laut, kenapa tidak ada pendidikan bagi semua anak untuk hindari tempat tersebut, dan selalu waspada?

Anak yang tidak bisa berenang seharusnya dididik terus tentang risiko tenggelam kalau main di sungai, pantai, waduk dll. Dan kenapa anak yang tidak bisa berenang tidak diajarkan berenang saja? Setiap kecamatan bisa bangun kolam renang umum kalau pemerintah dan pemda punya niat. Kenapa tidak ada niat? Berapa banyak anak yang harus mati secara sia-sia tanpa ada tindakan untuk mencegah kematian itu?
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

[Judul berita dari beberapa hari terakhir saja]:

- 3 Santri Tenggelam di Pantai Balekambang Malang Ditemukan
- Dua Santri Pondok Pesantren Darul Jalal Lampung Timur Tenggelam
- Santri Terseret Ombak Diselamatkan Pemancing Pakai Drone dan Kail
- Kronologi Lengkap Dua Pelajar Asal Boyolali Tewas Tenggelam di Pantai Klayar Pacitan
- 2 Orang Pelajar Terseret Arus Sungai Bengawan Madiun, 1 Hilang
- 3 Pelajar Tewas Terseret Ombak di Pantai Agam Sumbar
- Dua Pelajar SMP Dilaporkan Tenggelam di Sungai Kapuas
- Hilang Tiba-tiba saat Berenang di Sungai, Bocah 15 Tahun di Aceh Timur Ditemukan Meninggal
- Keasyikan Berenang, Pelajar kelas 6 SD di Pangkep Tenggelam di Sungai
- Pelajar di Kaur Tenggelam di Sungai, Pencarian Masih Dilakukan
- Hilang 3 Hari, Remaja Terseret Ombak di Pantai Cilacap Ditemukan Tewas

29 January, 2025

Kenapa Saya Menulis Terus Tentang Pencabulan Anak?

Assalamu’alaikum wr.wb. Fenomena pencabulan dan sodomi terhadap anak bukannya “tidak bisa dicegah”. Tetapi malah, “tidak ada yang mau berusaha mencegahnya”! Kenapa kita harus pakai helm naik motor, pakai safety belt di mobil, dan kecepatan di tol dibatasi 100 km/jam? Karena pemerintah ingin mencegah kecelakaan, demi keselamatan warga, dan kebanyakan orang dewasa setuju. Kita juga tidak ingin menjadi korban. Pencabulan terhadap anak? Tidak ada pencegahan. Padahal sederhana sekali:

•    Pelatihan 1-2 jam yang wajib, di semua sekolah dan pesantren dan tempat serupa (klub bola, dll.), setiap tahun.
•    Poster yang wajib dipasang di semua sekolah dan pesantren. Memberikan info dasar (jelaskan artinya pencabulan), menyuruh anak waspada dan cepat lapor, dan memberikan nama dan nomor HP untuk orang di dalam dan di luar lokasi itu yang siap bantu. (Pak RT, Kepala Desa, tetangga, polsek, dsb.)
•    Iklan masyarakat di TV. Wajib ditayangkan sekali setiap bulan, semua saluran, selama 1 tahun dulu. Isinya, penjelasan definisi pencabulan, didikan bagi anak agar orang lain tidak boleh sentuh kemaluan mereka (selain dokter, orang tua), yang dilakukan secara paksa dengan mengancam dan membuat mereka takut. Kalau terjadi, mereka harus berani lapor walaupun diancam.
•    Diskusi dan pelatihan ringan di banyak komunitas (wali anak di sekolah, pengajian, perkantoran, dll.), agar semua orang tua paham, dan mulai waspada.
•    Kewajiban bagi guru dan ustadz untuk laporkan rekan kerja apabila merasa “curiga” (diberikan tanda-tandanya seorang dewasa cabuli anak)
•    Dan sebagainya.

Kalau ada kepedulian dari 100 juta orang tua, dan 3 juta guru, dan ratusan ribu ustadz dan kyai, dan seratus ribu pejabat, jumlah kasus pencabulan mungkin bisa diberantas 90% dalam 1 tahun. Tetapi harus ada kepedulian dulu. Di saat ini, tidak ada. Semua orang dewasa anggap bukan urusan mereka, karena bukan anak mereka yang menjadi korban.

Saya kenal beberapa anak laki-laki. Ada yang lapor langsung ke saya. Ada yang lapor ke teman saya. Mereka dicabuli, disodomi, atau kemaluannya diisap. Oleh ustadz, oleh guru, oleh pelatih olahraga. Mereka rahasiakan. Orang tua dan keluarganya TIDAK TAHU. Dianggap anaknya “nakal” oleh orang tuanya karena sering ribut, emosi, banyak membantah, di kamar terus, dll. Mereka sudah pernah dicabuli. Mereka malu. Merasa tidak ada yang bisa menolong mereka. Jadi mereka rahasiakan. (Hampir semuanya juga diancam.)

Jadi dalam 100% dari kasus pencabulan, semua orang tua selalu mengatakan, “Kami tidak menyangka.” Coba kondisi ini dibawa ke ranah lain. Anak berenang di sungai, digigit buaya. Ada yang terluka, ada yang mati. Besoknya, anak lain digigit. Besoknya, anak lain. Besoknya, anak lain. Setiap kali seorang anak jadi korban, semua orang tua kaget dan bilang tidak menyangka. Apakah ada pencegahan? Tidak ada. Semua orang dewasa yang tahu ada buaya di sungai diam saja. Pemerintah dan pemda diam saja. Tidak ada pagar. Tidak ada papan. Tidak ada pengumuman. Dibiarkan anak baru datang terus dan berenang di sungai setiap hari. Kebanyakan anak aman. Misalnya, 50 anak berenang tanpa masalah. Lalu 1 anak digigit. Besoknya, 50 anak yang lain datang dan berenang, dan 1 digigit. Dan begitu seterusnya. Tidak ada pencegahan sama sekali dari siapapun.

Kalau kondisinya seperti itu, apakah lebih baik kita yang paham diam saja? Atau kasih peringatan terus: “ADA BUAYA DI SUNGAI, DILARANG BERENANG DI SITU!” Dalam kasus pencabulan, tidak ada yang mau melakukan pencegahan. Semua anak dibiarkan pergi ke tempat bahaya, lalu 1 anak jadi korban. Tapi kebanyakan orang tua berpikir, “Bukan anak saya, jadi bukan urusan saya.” Mohon maaf, tetapi sikap itu yang membuat negara ini rusak. Melihat anaknya orang lain menderita, lalu kita diam saja karena tidak penting bagi kita.

Saya tidak mau diam. Saya tidak bisa memaksa pemerintah atau pesantren atau sekolah BERUBAH. Yang bisa saya lakukan hanyalah memberikan informasi dan peringatan terus, dan berharap sebagian dari orang tua yang baca akan mulai waspada. Dan semoga beberapa anak bisa selamat dan tidak menjadi korban, karena orang tuanya sudah belajar dari saya. Sekian. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

16 January, 2025

Cerita Pilu Santri Tewas Peluk Alquran Dalam Tragedi Kebakaran Ponpes di Pinrang


Assalamu’alaikum wr.wb. Seorang santri berusia 14 tahun tewas karena masuk ke kamarnya di lantai dua yang sedang kebakaran, untuk mengambil Al Quran. Mayatnya ditemukan dalam posisi sedang peluk Al Quran. Semoga almarhum masuk surga. Tetapi apakah cukup kalau kejadian ini hanya dicap “takdir Allah” lalu dilupakan saja?

Saya pernah menjadi kaget setelah melihat beberapa artikel berita tentang pesantren yang kebakaran. Setelah cari di Google, saya dapat 35 kasus pesantren yang kebakaran dalam 6 bulan sebelumnya (link di bawah). Kurang lebih terjadi satu kali setiap minggu, jadi saya menulis post di Facebook tentang perkara itu. Sepertinya, tidak ada pelatihan atau persiapan menghadapi kebakaran di kebanyakan pesantren. Tidak ada APAR di semua lantai, tidak ada selang panjang yang bisa menjangkau semua kamar, dan tidak ada pelatihan rutin bagi semua santri. (Mungkin banyak sekolah juga sama!)

Setelah melihat betapa seringnya terjadi kebakaran di pesantren, saya menjadi yakin, cepat atau lama akan ada korban jiwa, dan sayangnya, sekarang sudah terjadi. Saya baca kembali artikel saya dari 2023. Tulisan itu masih berlaku karena belum ada perubahan sama sekali. Nyawa anak dan santri begitu tidak penting di Indonesia, sehingga nyaris tidak ada orang dewasa, guru, ustadz, atau pejabat yang merasa anak dan santri perlu disiapkan menghadapi kebakaran. Lebih penting lagi bagi santri karena mereka tinggal di tempat belajarnya. Tetapi daripada pemerintah menciptakan program yang WAJIB, ditunggu kebakaran terjadi dulu, ditunggu anak mati secara sia-sia dulu, lalu hanya dikatakan, "Ini musibah dan ujian dari Allah. Kami tidak menyangka!!”

Saya tidak setuju dengan judul berita di atas. Ini BUKAN tragedi kebakaran yang tewaskan seorang anak. Tetapi ini adalah HASIL dari ketidakpedulian banyak orang dewasa yang tidak menyiapkan santri menghadapi kondisi berbahaya. Anak ini tidak tewas “karena ada kebakaran”, tetapi dia tewas karena guru agama dan orang dewasa di sekitarnya tidak menghargai nyawa dia, sehingga merasa terdorong untuk melindunginya lewat program pelatihan.

Betapa ruginya menjadi anak dan santri di Indonesia, yang nyawanya tidak punya nilai tinggi di mata banyak orang dewasa dan guru agama. Kasihan Rasulullah SAW dapat umat seperti kita. Kenapa kita tidak bisa lebih baik dari ini? Kenapa kita tidak bisa bersatu dan mengutamakan keselamatan anak dan santri sebagai prioritas yang tinggi? Pemerintah sedang membuat program yang utamakan makanan bergizi bagi santri dan anak sekolah. Sayangnya, nyawa seorang santri kalah penting dengan sepotong tempe! Program makanan bergizi menjadi prioritas tinggi, tetapi program pelatihan hadapi kebakaran agar nyawa santri bisa diselamatkan sama sekali tidak penting!
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Cerita Pilu Santri Tewas Peluk Alquran Dalam Tragedi Kebakaran Ponpes di Pinrang, Terungkap Sosoknya
https://www.tribunnews.com

Daftar 35 Pesantren Yang Terbakar Dalam 6 Bulan Terakhir
https://genenetto.blogspot.com

09 January, 2025

Santri 12 Tahun Alami Pendarahan Otak Usai Dianiaya Teman Sekamar di Pondok Pesantren Nganjuk

Seorang anak berusia 12 tahun dihajar di pesantren, sampai alami perdarahan otak dan badannya lumpuh di sebelah kiri. Awalnya dia tidak berani mengaku ke orang tuanya, sehingga habis waktu berhari-hari di rumah sampai kondisinya menjadi buruk sekali. Semoga berita ini menjadi peringatan bagi orang tua yang anaknya masuk pesantren. Kalau anak minta izin pulang, karena sakit kepala atau sakit perut, sebaiknya dibuka bajunya dan mencari memar dan tanda-tanda kekerasan dulu. Bertanya secara mendalam tentang apa yang dia alami.

Kalau anak mengaku sakit kepala setelah “jatuh”, jangan percaya dulu. Bertanya terus, dan minta dia jujur. Bertanya apakah dipukul, dan tekankan orang tua tidak akan menjadi marah terhadap dia. Jangan biarkan anak beristirahat saja di rumah, dengan harapan “akan membaik sendiri”. Justru kalau habis dihajar di pesantren, istirahat di rumah malah berbahaya, karena kondisinya bisa menjadi lebih buruk. Kalau sudah alami perdarahan otak untuk beberapa hari, sampai koma, lebih sulit dibantu oleh dokter. Jadi orang tua harus segera dapat kebenaran, supaya bisa diobati lebih cepat.

Banyak anak yang alami kekerasan di pesantren dan sekolah TIDAK BERANI memberi tahu orang tuanya. Mereka takut akan dimarahi, atau malu, atau takut akan menimbulkan keributan. Jadi mereka akan berbohong, dan bilang tidak ada masalah. Orang tua harus selalu waspada.   
-Gene Netto

Santri 12 Tahun Alami Pendarahan Otak Usai Dianiaya Teman Sekamar di Pondok Pesantren Nganjuk
11 Desember 2024 NGANJUK - Seorang santri, MKM (12) bernasib malang. Ia menjadi korban perundungan di Prambon, Nganjuk. Korban sempat tak berani berterus terang kepada keluarga atas kejadian yang menimpanya. Ia hanya mengeluh pusing saja dan sempat didiagnosis sakit tipes. Namun, berselang waktu, kondisinya makin memburuk. Akhirnya, korban mengaku kepada keluarga bahwa ia menjadi korban kekerasan fisik oleh rekan sesama santri. Korban sudah menjalani operasi kepala, tetapi tubuh bagian kirinya dilaporkan terasa seperti mengalami kelumpuhan.
https://mataraman.tribunnews.com

06 November, 2024

Diskusi Tentang Pencabulan Anak Di Berbagai Pesantren

Assalamu’alaikum wr.wb. Saya tidak bisa berikan perincian, karena perlu menjaga rahasia para korban. Info ini valid dan nyata, tanpa rekayasa. Intinya begini: Ada puluhan anak yang curhat (satu per satu, secara terpisah) dan menceritakan rahasia bahwa mereka pernah dicabuli di pesantren dulu, oleh ustadz atau santri senior, bertahun-tahun, sampai menjadi “terbiasa”. Ada yang kabur dari pesantren dan ada juga yang tahan sampai lulus.

Ketika ditanya apakah mereka mau lapor ke polisi, semuanya menolak. Alasannya ada beberapa.
1) Mereka dididik bahwa hukumnya haram kalau membuka aib ustadz.
2) Mereka dipaksa bersumpah akan jaga rahasia. Ingkari sumpah adalah dosa besar.
3) Mereka diancam. Kalau lapor akan dibunuh. Atau ibunya dibunuh. Juga ada pencabulan yang direkam. Kalau lapor, rekamannya akan disebarkan.
4) Setelah dialami beberapa tahun, ada yang merasa “senang” disodomi. Takutnya polisi anggap suka sama suka dan bukan tindakan kriminal.
5) Kalau lapor, orang tua akan diberi tahu bahwa anaknya homoseks.
6) Kalau lapor, nama baik pesantren jadi rusak, ditutup, semua ustadz dan santri dikeluarkan, uangnya hangus. Merugikan banyak orang.
7) Khusus perempuan, takutnya tidak bisa menikah nanti kalau ketahuan bukan perawan lagi.

Jumlah anak yang curhat seperti ini sudah ada puluhan, dari pesantren yang berbeda-beda. Mungkin ada lebih banyak korban, tetapi mereka masih takut bicara. Para orang tua tidak tahu anaknya pernah disodomi atau diperkosa bertahun-tahun, sampai akhirnya “menikmatinya”. Nama pelaku dan nama pesantren ketahuan dan bisa dilaporkan oleh para korban. Mungkin pencabulan masih berlangsung sekarang dengan santri baru. Tetapi semuanya masih rahasia.

Kalau semua santri dan mantan santri di seluruh Indonesia disurvei, kira-kira ada berapa puluh ribu (atau ratus ribu) anak yang pernah, atau masih, menjadi korban pencabulan? Dan siapa yang mau lakukan survei seperti itu, di saat banyak orang dewasa tidak mau hadapi masalah ini?

Jadi semua anak ini yang pernah curhat tidak mau lapor ke polisi, tidak mau dapat terapi dari psikolog, tidak mau keluarganya tahu, dan ingin lanjutkan kehidupan sampai menjadi dewasa dan menikah. Orang lain tidak boleh tahu bahwa mereka pernah disodomi atau diperkosa selama beberapa tahun (dan anak laki-laki diajarkan menjadi pelaku sodomi juga). Bantuan terapi trauma bagi mereka nol. Bagaimana kalau nanti yang laki-laki menjadi ustadz atau guru sekolah atau bapak tiri...?

Sepertinya akan sangat bermanfaat kalau semua santri dan mantan santri di seluruh Indonesia harus diminta mengisi formulir online dan jelaskan pengalaman mereka. Harus disebutkan nama pesantren, nama pelaku, apa yang dialami, dan tahun kejadiannya. Setelah datanya dikumpulkan, baru akan ketahuan masalah ini sebesar apa.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan.

1. HARUS ADA ATURAN BARU. Mungkin UU atau peraturan menteri atau presiden. Pihak ketiga BOLEH laporkan dugaan kasus pencabulan anak, tanpa korban harus hadir. Asal ada nama pelaku dan pesantren, lalu diserahkan ke polisi untuk menyelidiki sendiri.

2. HARUS ADA SURVEI NASIONAL. Mungkin dilakukan oleh KPAI atau KemenPPPA. Bebas, online, bisa dikerjakan dari HP atau komputer. Para korban isi formulir, laporkan kasus pencabulan yang lalu atau yang masih berlangsung.

3. PELATIHAN WAJIB SETIAP TAHUN. Di semua sekolah dan pesantren harus ada pelatihan anti-pencabulan di minggu pertama setiap tahun. Anak diajarkan tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap badan mereka, dan wajib segera lapor kalau dialami.

4. POSTER YANG WAJIB DIPASANG. Poster di semua sekolah dan pesantren, yang jelaskan bahaya pencabulan, berikan nama orang dan nomor yang bisa dihubungi. Termasuk nama orang di luar lingkungan pesantren.

5. ORANG TUA HARUS BERSATU. Mungkin hanya akan terjadi perubahan kalau 100 juta orang tua bersatu dan menuntut semua hal ini dilakukan, demi keselamatan semua anak bangsa. Terutama pelatihan dan poster. Orang tua bisa bicara langsung dengan kepala sekolah atau pengurus pesantren dan minta diperhatikan. Kalau semua orang tua bertanya setiap tahun, sepertinya para pengurus akan mendengar.

Ada yang punya saran lain? Sudah jelas ada banyak korban pencabulan yang tidak berani bicara di depan umum. Mereka merasa sendirian, jadi anggap lebih baik diam saja. Semua orang tidak tahu masalah ini seluas apa. Rasanya tidak cukup kalau kita yang dewasa diam semua, dan menunggu anak curhat satu per satu, dan abaikan puluhan ribu anak lain yang masih menderita. Apa yang bisa dilakukan? Dan siapa yang mau bertindak?
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

23 July, 2024

Kisah Nyata LGBT Dari Pesantren

[Kisah dari teman]: Kemarin di rumah ustadz ana yang punya ponpes. Katanya belum lama mengeluarkan belasan santri yang terlibat dalam kegiatan LGBT di asrama. Bukan bullying atau pemaksaan katanya, ada oknum yang menyebarkan. Jadi takut menyebar ke yang lain jadi semuanya diusut, ada belasan santri. Ada 2 ustadz dikeluarkan juga tapi entah kasus apa.

[Gene]: Assalamu’alaikum wr.wb. BELASAN?? Yakin tidak ada anak yang dipaksa? Jarang terjadi banyak anak bisa dibujuk untuk menjadi homoseks tanpa pemaksaan. Tapi yang melakukan pemeriksaan dari internal saja dan itu kurang tepat. KALAU ada ustadz yang terlibat, dan ancam santri, mungkin mereka akan rahasiakan nama ustadz itu karena takut. Butuh keahlian untuk memeriksa hal seperti itu. Makanya polisi pakai psikolog anak.

Tapi yang terpenting bagi pesantren adalah usaha "menjaga nama baik", bukan melindungi anak. Jadi sikap mereka, "Cukup kita saja yang tahu, cukup kita saja yang periksa". Dan itu keliru sekali. Kalau memang ada ustadz yang terlibat, sekarang orang itu bebas masuk pesantren lain dan mulai lagi. Dan pola seperti itu sudah berulang ribuan kali. Banyak ustadz dan kyai sangat minim ilmunya dalam persoalan pendidikan, psikologi, dan perlindungan anak, dan mereka tidak mau cari bantuan.

Yang periksa adalah ahli agama, bukan ahlinya psikologi anak atau ahli kriminal. Dikatakan “ada santri yang menularkan” merupakan pendapat ustadz saja. Psikolog dari polisi mungkin akan berikan pendapat lain setelah melakukan pemeriksaan. Jadi sebagian dari anak yang dikeluarkan itu mungkin merupakan korban sodomi. Jadi sangat mungkin pesantren menghukum anak yang tidak berdosa dan perlu bantuan sebagai korban. Beban trauma di dalam hatinya seperti apa? Dan para korban tidak dapat bantuan dari psikolog sekarang (karena dikeluarkan saja), jadi nanti mereka juga bisa menjadi pelaku. Jadi dengan cara mengeluarkan semua anak dan ustadz, tanpa investigasi yang benar, malah bisa dikatakan kyai itu “mencetak pedofil baru” di masa depan.

Seharusnya wajib laporkan kasus dan konsultasi dengan polisi, daripada periksa sendiri. Tapi urusan perlindungan anak tidak penting di Indonesia. Jadi tidak ada orang dewasa yang takut salah, dan mencari bantuan untuk menolong para korban (kalau ada). Dikatakan suka sama suka, kyai terima saja karena lebih mudah bagi pihak pesantren. Keluarkan semuanya, dan simsalabim, publik tidak tahu, nama baik pesantren dilindungi, kasus selesai.

Mungkin sekarang ada anak yang menangis di rumah karena sebenarnya dia korban yang disodomi, lalu dibuang oleh kyai yang dia hormati, dan dianggap anak busuk. Lalu dia jadi depresi sendiri di rumah, tanpa bantuan atau perlindungan dari siapapun. Padahal dia korban yang tidak dibantu oleh para ahli agama yang lebih semangat melindungi nama baik bisnis pesantren mereka, daripada melindungi anak Muslim. Kasus seperti itu wajib ditangani oleh orang yang punya keahlian, yaitu psikolog dan polisi. Buang anak yang merupakan korban adalah kejahatan terhadap anak tersebut dan dosa bagi kyai yang melakukannya.
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

04 March, 2024

Kematian Santri Di Kediri Masih Menjadi Berita Terus

Assalamu’alaikum wr.wb. Kematian seorang santri dalam pesantren (yang tidak terdaftar) di Kediri masih menjadi berita, beberapa hari setelah kejadiannya. Jenazah anak berusia 14 tahun dikembalikan kepada orang tuanya, dan setelah mereka melihat darah, memaksa untuk dibuka kain kafannya. Ternyata ada banyak luka lebam, sundutan rokok, bekas jeratan di leher, dan luka seperti tusukan. Empat anak lain menjadi tersangka, dan salah satunya adalah sepupu korban. Ada beberapa hal yang perlu dibahas.

1) Sangat disayangkan bahwa setelah korban hubungi ibunya dan minta dijemput secepatnya karena "ketakutan", sang ibu malah balas dengan pesan motivasi dan janjikan beli motor kalau dia "bertahan" sampai Lebaran. Terlalu banyak orang tua anggap apapun yang terjadi, anak harus dibujuk untuk bertahan di pesantren terus. Setelah terima jenazah, baru menyesal.

2) Seorang santri seharusnya punya beberapa jalur untuk minta pertolongan. Dibutuhkan orang dewasa dengan latar belakang psikologi atau pendidikan, baik di dalam maupun di luar pesantren, yang bisa terima laporan dan membantunya. Tugasnya sebagai "Advokat Anak" yang utamakan keselamatan dan kesejahteraan anak, bukan "nama baik pesantren".

3) Ketika santri tewas atau terluka berat, harus ada kewajiban lapor ke polisi, untuk dapat kepastian atas penyebab kematian atau luka tersebut. Seorang pengurus pesantren dilarang terima penjelasan dari anak lain bahwa "korbannya jatuh saja", dan wajib menunggu hasil dari investigasi polisi.

4) Dibutuhkan standarisasi untuk semua pesantren dalam hal "keselamatan anak". Semua orang dewasa harus diwajibkan dapat sertifikat setelah belajar mengutamakan keselamatan anak. Untuk bawa motor saja, wajib punya SIM. Untuk mengurus ratusan anak, seharusnya ada izin yang setara dan dilarang mengajar sebagai ustadz atau guru tanpa izin tersebut.

5) Harus ada kewajiban mendaftarkan pesantren dan rumah tahfidz, dan sanksi hukum kalau buka tanpa izin. Bis antar kota wajib punya izin, sopir wajib punya SIM khusus, walaupun penumpang hanya puluhan orang. Untuk mengurus ratusan atau ribuan anak, seharusnya diwajibkan punya izin juga.

Tanpa standarisasi sistem dengan fokus utama pada keselamatan anak, kematian santri akan terjadi terus. Dan pengurus pesantren akan bela diri dengan mengatakan, "Kami tidak tahu" dan "Kami tidak menyangka". Setiap santri yang tewas BUKAN takdir dalam artinya "Allah menghendaki". Seperti halnya anak yang tidak bisa berenang lalu tenggelam dalam acara sekolah juga bukan "takdir". Tetapi kematian itu adalah hasil dari KELALAIAN. Ada orang dewasa yang seharusnya lebih cerdas dan waspada tetapi bersikap santai saja.

Hal yang sama terulang terus karena banyak orang dewasa menjadi pendidik tanpa memiliki ilmu perlindungan anak sebagai fondasi dari tugasnya. Untuk menghentikan kematian anak, harus ada standarisasi sistem dari pemerintah. Orang tua harus menuntut terus sampai berhasil. Kirim anak ke pesantren dan berharap tidak kembali sebagai jenazah bukan solusi.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Santri asal Banyuwangi yang Tewas di Kediri Sempat Minta Tolong ke Ibunya: "Tolong Aku Takut Ma"
https://surabaya.kompas.com

Fakta-Fakta Santri Tewas di Kediri: 4 Senior Jadi Tersangka hingga Pesan Terakhir Minta Dijemput
https://www.kompas.tv

14 January, 2024

Santri Korban Pengeroyokan Belasan Temannya di Blitar Meninggal Dunia

Assalamu’alaikum wr.wb. Satu lagi santri Indonesia mati secara sia-sia. Dan kita hanya tahu apa yang terjadi karena sekarang orang tua lebih bebas laporkan perkara ke polisi. Hanya ada dua kemungkinan. 1) Banyak santri juga tewas di masa lalu, tapi berhasil ditutupi oleh pihak pesantren demi menjaga nama baik pesantren, jadi tidak dilaporkan ke polisi sehingga tidak ada data. 2) Santri di zaman ini jauh lebih sadis daripada santri di zaman dulu. Lebih suka pilihan yang mana? Setelah Penjajah Belanda dan Jepang berhasil diusir, siapa yang bisa melindungi anak Indonesia dari sebagian anak Indonesia yang lain, yang ternyata lebih sadis daripada prajurit Belanda dan Jepang? Berapa banyak anak harus tewas secara sia-sia sebagai korban kekerasan (atau anak SIAPA yang harus tewas?) sebelum terjadi perubahan dalam sistem pendidikan nasional?

Ada fokus yang berlebihan pada urusan administratif dan usaha "kontrol siswa" seperti: rambut laki-laki harus pendek, PR harus diselesaikan, jawaban siswa harus setara dengan pendapat guru, biaya ujian harus dibayar sebelum terima rapor, sepatu tidak boleh ada garis putih, seragam harus lengkap, harus diam dan taat pada guru, banyak hafalan di pesantren sebagai fokus utama, dan lain-lain. Yang dibutuhkan adalah fokus pada tanggung jawab pribadi untuk menjadi manusia mandiri, kemampuan berpikir secara logis, kemauan untuk utamakan diskusi di atas kekerasan, berakhlak tinggi, bermoral, dan siap membela kebenaran dan melawan ketidakadilan. Tetapi semua hal tersebut harus diajarkan secara aktif oleh para guru dan ustadz. Tanpa proses pendidikan, 80 juta anak Indonesia tidak akan bisa menemukan semua kemampuan itu sendiri. Jadi siapa yang mau mendidik anak Indonesia untuk menjadi manusia yang mulia?
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Santri Korban Pengeroyokan Belasan Temannya di Blitar Meninggal Dunia
https://surabaya.kompas.com

09 January, 2024

Saran Untuk Mengatasi Masalah Pencabulan Terhadap Anak

Assalamu’alaikum wr.wb. Walaupun para orang tua dikasih tahu berkali-kali, hasilnya percuma. Info dari saya, dan sewaktu-waktu lihat berita, tidak membuat kebanyakan orang tua takut atau waspada. Selalu berprasangka baik, dan yakin anak mereka tidak mungkin menjadi korban. Tidak mungkin suami mereka, ipar mereka, bapak mereka, tetangga mereka, guru sekolah anak, guru ngaji anak, dll. akan melakukan kejahatan terhadap anak. Lalu ketika terjadi, semua orang tua mengatakan, "Kami tidak menyangka!"

Perlu dipahami juga, dari pengamatan saya terhadap puluhan ribu kasus pencabulan terhadap anak (saya ada link ke semua artikel beritanya), ketika seorang remaja atau pemuda laki-laki diajak ikut melakukan pemerkosaan bergilir terhadap seorang anak SMP atau SMA, jawaban mereka selalu IYA. Nol persen dari pelaku menolak dan berusaha selamatkan korban atau telfon polisi. Pelaku yang berusia 12-25 tahun menjadi mayoritas. Selalu setuju, dan menunggu kesempatan perkosa anak itu, setelah 5-8 teman mereka sudah selesai.

Jadi ini jelas sebuah masalah pendidikan dan budaya. Tetapi ketika saya berusaha bahas topik ini dalam sebuah grup guru online dengan 150 ribu anggota, saya dimarahi dan disuruh diam. Mereka tidak mau tahu, dan tidak mau cari korban di kelas masing-masing. Ketika saya bertemu Ketua KPAI untuk diskusi, dia mengaku kaget karena data saya (yang dikumpulkan dari berita saja) lebih lengkap dari berita mereka. Lalu dia jelaskan, semua polsek di seluruh Indonesia tidak wajib laporkan data kasus pencabulan ke pusat atau ke KPAI atau ke tempat lain. Jadi tidak ada yang punya data akurat dari seluruh negara, karena tidak ada UU yang wajibkan. Data saya pernah dipakai oleh Mendikbud dalam sebuah presentasi kepada kepala dinas pendidikan se-Indonesia. Hasilnya juga nol. Hanya diberitahu ada masalah. Tanpa ada tindakan nyata yang bisa menjadi solusi.

Menurut pendapat saya, perkara ini bisa mulai diatasi dari 4 tindakan saja.

1)    Pelatihan dan pendidikan anti-pencabulan di sekolah sejak SD. Wajib. Anak diberi tahu bahwa orang lain dilarang menyentuh kemaluan mereka, dan siapapun yang memaksa dan menakuti mereka, wajib langsung dilaporkan ke orang tua atau guru. Belum pernah ada pelatihan nasional seperti ini.
Anak perempuan harus diajarkan untuk tidak percaya pada "kenalan baru" dari Facebook atau TikTok yang ajak mereka jalan-jalan.
Anak laki-laki harus diajarkan bahwa perempuan adalah manusia yang wajib disayangi dan dilindungi, dan bukan alat untuk "dipakai" oleh mereka.

2)    Wajib dipasang poster di semua sekolah dan pesantren yang ingatkan anak tentang bahaya pencabulan, dan berikan nama orang dan nomor telfon yang bisa dihubungi untuk laporkan perkara. Dengan teks yang jelaskan mereka akan dilindungi dan dibantu.

3)    Iklan TV yang ditayangkan secara rutin untuk ingatkan orang tua dan anak agar waspada dan tidak mudah percaya pada orang yang lain.

4)    Latihan bela diri anti-pencabulan di sekolah, sejak SD kelas 5-6 sampai SMA, khusus untuk perempuan, dan laki-laki juga boleh ikut. Diajarkan pukul dan tendang saja (ilmu bela diri standar), dan khusus bagi perempuan, diajarkan untuk selalu tendang pria di kemaluan, mata, dsb. lalu melarikan diri apabila diserang. Banyak perempuan diam saja ketika mau diperkosa, karena tidak pernah diajarkan untuk bela diri.

Dan jangan bertanya kepada saya kenapa hal-hal seperti ini tidak disampaikan kepada pihak yang punya wewenang untuk bertindak. Saya sudah berusaha berkali-kali. Hasilnya selalu nol. Kebanyakan orang yang punya kemampuan bertindak sibuk dengan banyak urusan lain, dan keselamatan bagi 80 juta anak Indonesia tidak dianggap sebagai prioritas. Sekian dulu. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

19 December, 2023

Santri di Jambi Disiksa Senior: Dipegangi, Dibekap, Perut-Kemaluan Diinjak Sampai Bengkak

Berita seperti ini makin sering muncul. Kita hanya tahu sebagian kecil dari kasus bullying yang terjadi di pesantren dan sekolah setelah menjadi berita. Yang tidak menjadi berita, berapa ribu kasus per bulan? Berapa banyak anak menderita tanpa sepengetahuan orang tuanya, tanpa kepedulian ustadz dan gurunya?
Yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal yang penting:

1. Banyak anak tidak berani ceritakan kejadian kepada orang tua dan guru karena sudah diancam duluan. Kalau bicara, akan kena hukuman yang lebih keras.

2. Ada pesantren yang berpesan ke anak agar selalu "ceritakan yang baik" kepada orang tua, dan sembunyikan pengalaman buruk. Jadi pendidikan dari para ustadz itu membuat banyak santri makin menderita.

3. Dalam kebanyakan kasus, ada pelaku utama (bisa 1 anak atau beberapa) lalu ada anak-anak yang lain yang NONTON dan tidak bergerak untuk melindungi korban. Artinya, mereka tidak pernah diajarkan oleh ustadz dan guru untuk memiliki rasa kasih sayang terhadap manusia yang berada dalam kondisi lemah. Melihat korban disiksa, mereka tonton saja. Tidak berusaha menolong korban, tidak panggil ustadz, hanya diam saja. Anak-anak itu akan menjadi dewasa dan anggota masyarakat dan pemimpin di masa depan. Kualitas HATI NURANINYA bagaimana? Kenapa hanya "hafalan" dan "nilai ujian" yang penting, dan bukan akhlak yang mulia?

4. Terlalu banyak pesantren dan sekolah punya misi utama yang salah: Melindungi nama baik pesantren/sekolah. BUKAN mengutamakan kesejahteraan, keselamatan, kesehatan jasmani dan rohani, dan pendidikan akhlak yang mulia bagi para santri dan siswa. Nama baik dan kehormatan yang menjadi prioritas tertinggi.

Pesantren, sekolah, ustadz dan guru seperti itu boleh saja dicap "Gila Hormat". Para ustadz dan guru memaksa agar anak harus dihormati mereka. Apapun yang terjadi, seburuk apapun perilakunya, ustadz dan guru tetap wajib dihormati. Jadi pesantren dan sekolah juga wajib dihormati, karena nama baik ustadz dan guru berasal dari pekerjaan mereka di sana. Keselamatan anak? Tidak penting amat. Kalau anak alami bullying atau bahkan disiksa, cukup bilang takdir saja, minta maaf, dan minta perkara itu diselesaikan secara kekeluargaan, demi nama baik pesantren/sekolah! Demi kehormatan ustadz dan pesantren. Tidak perlu memikirkan penderitaan anak. Sudah menjadi "takdir" mereka.  

Banyak pesantren dan sekolah sibuk menunjuk pada anak yang "berhasil" dan "sukses" dan menjadi orang besar. Kenapa? Karena mengangkat nama baik pesantren/sekolah yang merupakan tujuan utama para ustadz/guru (walaupun tidak diakui). Mereka tidak pernah mau tunjuk kepada anak yang "gagal" atau DO disebabkan mereka tidak tahan bullying yang terjadi di lingkungan itu. Kalau ada sebagian dari santri dan siswa yang gugur, cuek saja. Nama baik pesantren, ustadz, sekolah, dan guru yang merupakan prioritas tertinggi. Bukan keselamatan dan perlindungan bagi semua anak. Bukan masa depan yang baik dan mulai bagi semua anak. Cukup utamakan yang "berhasil" saja, dan abaikan yang menderita dan tidak berhasil. Sistem pendidikan ini tidak akan berubah kalau 100 juta orang tua diam terus. Harus ada persatuan dan kepedulian terhadap semua anak di pesantren dan sekolah.
Semoga bermanfaat bagi orang tua yang siap merenung.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Santri di Jambi Disiksa Senior: Dipegangi, Dibekap, Perut-Kemaluan Diinjak
https://kumparan.com

18 December, 2023

Kenapa Banyak Guru Mau Atur Ukuran Rambut Anak Laki-laki?

Assalamu’alaikum wr.wb. Saya pernah diskusi dengan banyak guru tentang persoalan memotong rambut anak laki-laki secara paksa dengan cara jelek agar menimbulkan efek jera. Saya bertanya kenapa rambut anak laki-laki perlu dipotong oleh gurunya (tapi rambut perempuan tidak), lalu mereka menjawab. Setelah jawaban pertama itu dibuktikan salah, jawaban mereka berubah. Jawaban itu juga saya buktikan salah, jadi jawaban mereka berubah lagi. Dan hal yang sama terulang berkali-kali sampai saya mencatat semua jawaban mereka. Ini sebagian dari contohnya.

Rambut anak laki-laki harus dipotong secara paksa oleh gurunya, karena rambutnya harus pendek sejak usia 7 tahun dengan alasan:

•    Tidak sopan kalau panjang
•    Diminta oleh masyarakat
•    Diminta oleh orang tua
•    Ini masalah pendidikan (hanya untuk laki-laki)
•    Ini masalah kerapian (hanya untuk laki-laki)
•    Ini masalah kesehatan (hanya untuk laki-laki)
•    Rambut panjang akan membuat kepala terasa berat dan panas (hanya untuk laki-laki)
•    Harus mematuhi norma hukum masyarakat
•    Ada aturan tidak tertulis di masyarakat
•    Ada aturan tertulis di sekolah
•    Harus belajar mematuhi aturan
•    Guru terpaksa mengikuti aturan sekolah
•    Aturan sekolah tidak boleh diubah atau dihapus
•    Harus membentuk sikap dan perilaku
•    Harus menjadi suatu pembiasaan
•    Tidak bisa dapat pekerjaan kalau rambutnya panjang
•    Mulai potong rambut di usia 18 tahun tidak bisa (harus sejak dini)
•    Bahaya kalau bekerja di pabrik nanti
•    Harus disiapkan kerja di pabrik atau perusahaan sejak usia 7 tahun
•    Masyarakat menilai kompetensi seseorang dari ukuran rambutnya
•    Dan seterusnya

Memaksa anak patuh pada "aturan" rambut tersebut memberikan rasa "berkuasa" kepada banyak guru, dan membuat mereka merasa "ditakuti dan dihormati" walaupun didapatkan secara terpaksa. Jadi mereka teruskan sistem itu karena inginkan siswa takut dan patuh terhadap guru dalam segala hal. Ini hanya salah satu caranya guru memaksakan kehendaknya terhadap anak, agar guru-guru itu merasa puas secara batin. Banyak sekali guru Indonesia "gila hormat". Kalau mengajar anak dengan sikap baik hati dan ramah, dan menjadi sahabat dan mitra bagi semua anak, sangat jelas para guru itu akan dihormati oleh hampir semua muridnya, tanpa perlu dipaksa. Tapi bagi banyak guru, "kemungkinan besar akan dihormati" nanti tidak cukup. Harus dipaksakan sejak awal!

Tidak ada hubungan antara ukuran rambut dan pendidikan. Kalau ada, perempuan akan bodoh semua (karena rambutnya panjang). Ini hanya kebiasaan nasional yang dilestarikan sejak keadaan Petrus (Pembunuhan Misterius) pada tahun 80-90an. (Sebelumnya, banyak siswa laki-laki punya rambut panjang, dan ada bukti dari foto-foto lama.) Tetapi banyak guru merasa urusan rambut siswa itu berikan mereka kesempatan untuk menunjukkan kekuasaannya, dan memaksa semua siswa taati dan hormati mereka.

Fungsi seorang guru BUKAN untuk abaikan pendapat orang tua dan anak, dan memaksa semua anak siap kerja di pabrik setelah usia SD. Kalau ada guru yang berpikir begitu, maka mereka sudah gagal memahami fungsinya menjadi guru. Para guru tidak tahu setiap anak akan kerja di mana pada masa depan. Saya sudah bicara langsung dengan banyak manajer, direktur, pemilik perusahaan, orang HRD, anggota DPR, Menteri, ribuan orang tua, dll. Ketika mereka komplain tentang kualitas SDM di Indonesia, tidak ada satupun yang menyatakan "banyak anak punya ukuran rambut 6cm jadi mustahil dapat pekerjaan." Tidak ada yang mengeluh bahwa rambut anak perlu dipotong secara paksa agar anak itu bisa menjadi karyawan berkualitas di kemudian hari.  

Tetapi yang dijelaskan adalah begitu banyak anak yang tidak bisa menulis dengan baik, tidak bisa baca, tidak bisa memahami perintah dan petunjuk, tidak bisa kerja secara mandiri, malas, curang, tidak jujur, mencuri, dll. Sama sekali tidak ada yang membahas kesulitan mengatur ukuran rambut karyawan. Jadi kenapa begitu banyak guru sekolah merasa ada kewajiban besar memotong rambut anak secara paksa dengan cara jelek agar anak "siap kerja" dan menjadi bagian dari masyarakat? Para orang tua dan pemimpin di bidang pendidikan perlu bersatu untuk mengakhiri kebiasaan buruk ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto


17 December, 2023

Anak Tidak Betah Di Pesantren, Apa Solusinya?

[Pertanyaan]: Assalamualaikum Pak. Minta masukannya. Anak saya sekarang kelas 2 tingkat SMA dipesantren. Dia dipesantren dari kelas 1 tingkat SMP. Awal kelas 2 dia kabur dari pesantren karena tidak betah. Tapi akhirnya mau balik setelah kita nasehati. Tapi kemarin, dia mengungkapkan ingin keluar lagi. Bagaimana saya menyikapinya? Soalnya saya merasa tanggung hanya 1,5 THN dia kelar. Terimakasih.

[Gene]: Wa alaikum salam wr.wb. Ada dua hal yang perlu dipikirkan.
Pertama, apa dia hanya tidak betah saja, atau apa ada perkara lain?
Kedua, kalau memang tidak betah, apa motivasi dari orang tua akan cukup?

Pertama. Mungkin dia alami bullying dari siswa lain? Atau apa ada perkara lain seperti (maaf) pencabulan? Sering terjadi ada anak yang alami bullying, penyiksaan, penindasan, sampai pencabulan, dan mereka takut jelaskan masalah itu kepada orang tuanya. Biasanya, anak sudah diancam agar tidak bercerita. Mungkin juga malu. Jadi anda perlu diskusi empat mata dengan dia dan bertanya secara langsung apa ada hal seperti bullying atau pencabulan. Minta dia bicara dengan jujur, janji tidak akan marah, tetapi akan bantu dia cari solusi dan dapat perlindungan.

Kedua. Kalau hanya tidak betah saja, karena ingin lebih banyak bermain, maka orang tua sudah coba nasihati dan kurang berhasil. Mungkin ada pihak lain seperti guru sekolah yang lama, atau sepupu yang lebih tua, paman, saudara yang lulus pesantren, dsb. yang bisa berikan masukan dan motivasi kepadanya.

Perlu ditekankan bahwa rasa kurang senang di saat ini akan dapat balasan puluhan tahun ketika nanti dia memiliki ilmu agama yang luas. Banyak orang akan bangga sekali terhadap dia, dan banyak hal yang terasa sulit bagi orang lain (seperti ngaji, shalat tahajjud, puasa sunnah, umrah, memahami fiqih dan tafsir, dll.) akan terasa mudah bagi dia karena sudah pernah belajar di pesantren. Jadi manfaatnya dan hikmahnya sangat luas dan belum bisa dia sadari di saat ini.

Jelaskan bahwa banyak hal dalam kehidupan kita ini butuh perjuangan, dan seringkali proses perjuangan itu kurang enak atau tidak mudah, tapi hasilnya sangat penting. Mau jadi dokter, pengacara, ilmuwan, dosen, guru, dll. tidak mudah juga dan butuh perjuangan bertahun-tahun. Selain itu, dia bisa dikasih contoh perang yang dialami oleh Rasulullah SAW, yang membawa banyak kesulitan. Atau perang kemerdekaan Indonesia. Atau usaha orang naik haji di zaman dulu, naik kapal dan onta berbulan-bulan. Atau saudara yang kuliah di luar negeri, jauh dari keluarga. Atau pemain bola yang latihan setiap hari selama 10 tahun untuk masuk tim profesional. Dan ada banyak contoh lain.

Jadi kalau nasehat dari orang tua tidak cukup, coba cari pihak lain yang mungkin akan didengarkan oleh anak itu. Tapi sebelumnya, pastikan dulu tidak ada kasus bullying atau pencabulan yang mengganggu hatinya. Perlu mencari alasan yang benar tentang kenapa dia tidak betah di pesantren, lalu berusaha mencari orang yang bisa berikan motivasi, dan juga perlu mencari caranya untuk mengurangi beban yang dia rasakan di saat ini, sehingga bisa fokus pada masa depan. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...