Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

30 October, 2007

Rencana Pendidikan Bagi Kota/Propinsi


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ini adalah beberapa ide saya untuk menyusun sebuah Rencana Pendidikan Baru bagi setiap propinsi. Ide-ide seperti ini perlu disampaikan kepada para gubenur, bupati, walikota atau kepala sekolah, dan juga kepada pengurus partai politik yang ingin menunjukkan sikap serius untuk memperbaiki pendidikan di sebuah kota, propinsinya atau di seluruh negara ini. Tentu saja semua ide ini akan perlu dikaji lebih dalam, diperbaiki dan ditambah oleh orang lain yang mempunyai ilmu lebih tinggi, dan lebih mengerti keadaan nyata di lapangan. Ini permulaaan saja. Kalau anda punya jalur untuk menyampaikan usul seperti ini kepada pihak yang berwenang, coba saja ajak mereka diskusi tentang cara memperbaiki sisitem pendidikan dengan tindakan yang konkret.
Sebagai contoh, saya akan membahas DKI saja, dengan catatan bahwa hal-hal ini bisa dilakukan di dalam semua propinsi dan kota oleh gubenur, bupati, atau walikota, dengan dukungan dari partai mana saja. Sebagian dari usul ini juga bisa dipraktekkan langsung oleh seorang kepala sekolah, misalnya nomor 9: Piagam sekolah diganti dengan buku.
Semoga bermanfaat.
1. Direktur Pendidikan

Gubenur perlu membentuk sebuah posisi baru di kantor Gubenur: Direktur Pendidikan (DP) untuk mengurus Pendidikan (sudah ada kantor Dinas Pendidikan Dasar DKI dan juga Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI). Tugas DP adalah memperbaiki semua SD se-DKI dengan cara apapun (asal halal). Orang tersebut akan diberikan autonomi untuk bertindak sendiri dan membuat rencana baru untuk memperbaiki jaringan SD. (SMP dan SMA bisa menyusul nanti atau juga boleh dikerjakan pada saat yang sama). Akan disediakan budget sendiri dan lapor langsung kepada Gubenur. Dana itu akan diaudit setiap sekian bulan oleh Public Accountant dan hasil audit akan disediakan kepada wartawan dan publik. Sepertinya juga bagus kalau Direktur Pendidikan ini adalah orang di luar pemerintahan, atau non-PNS dengan latar belakang managemen atau pendidikan, supaya dia bebas dari masalah2 yang telah menghalangi kemajuan di dalam Departemen Pendidikan selama ini.

Sudah ada Dinas ini di DKI, tetapi barangkali perlu dikembangkan, disemangatkan, dan diberi seorang pemimpin baru, seorang ahli baru (yang bukan “asal PNS senior”) yang bisa mengatur banyak orang untuk mencapai hasil yang optimal. Ada banyak ahli pendidikan di sini (orang Indonesia) yang berpengalaman dan kompeten untuk melakukan tugas ini.

Dinas Pendidikan Dasar DKI


Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI


2. Izin Pembangunan

Setiap proyek yang memajukan izin untuk membangun mal, kompleks perumahan, dsb. akan mendapat satu syarat baru, yaitu wajib membayar sekian persen dari harga proyek untuk memperbaiki sekolah (semacam pajak pendidikan). Misalnya, proyek 1-5 milyar, wajib membayar 0,1% dari harga proyek ke Dinas Pendidikan untuk memperbaiki SD. Proyek 5-10 milyar akan wajib membayar 0,3% dari harga proyek ke Dinas Pendidikan. Proyek 10-30 milyar wajib bayar 0,7%. Dan seterusnya. Bayaran ini dianggap sebuah “pajak” yang harus dibayar oleh pengusaha demi kepentingan masa depan bangsa.

Dana untuk membangun mal tidak merupakan dana pribadi pengusaha, melainkan pinjaman bank, dan sebagian dari biaya tersebut juga dibebankan kepada para penyewa ruang dalam mal, dan juga kepada konsumen. Dengan demikian, orang kaya yang suka belanja di mal secara tidak langsung akan membantu memperbaiki sekolah buat semua anak, bukan saja untuk anak mereka di sekolah swasta. Penyaluran dana ini akan diaudit oleh Public Accountant yang terpisah dari Pemda.

3. Penghargaan Gubenur untuk Pendidikan

Akan ditentukan proses untuk memilih orang atau organisasi yang telah membantu dunia pendidikan dan kelompok tersebut akan masuk seleksi untuk menerima penghargaan. Hal ini akan dikaitkan dengan program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan besar. Misalnya kalau Coca Cola menyumbang puluhan ribu buku cerita pada beberapa SD, maka Coca Cola akan masuk seleksi untuk menerima penghargaan tersebut.

4. Kompetisi Sekolah Terbaik

Semua SD se-DKI (dan mungkin juga SMP dan SMA) akan masuk seleksi untuk menerima penghargaan (berupa uang, buku, komputer atau alat lain). Akan ditentukan kategori misalnya:

· Sekolah Bersih

· Sekolah Indah. Bisa dihias dengan mural – lukisan anak di tembok, bunga, pagar yang berwana, dll.

· Sekolah Membantu Masyarakat. Anak sering membantu orang lain di lingkungan itu

· Sekolah Peduli. Anak sekolah diajak ke sebuah panti asuhan untuk bermain dan bergaul dengan anak panti. Bisa dibatasi pada anak Kelas 5-6 saja, bisa untuk anak SMP-SMA daripada SD.

· Lain-lain

5. Program Sekolah Dermawan

Anak sekolah diajar untuk membantu masyarakat. Pemda akan mengumumkan suatu bulan lewat radio dan televisi, RT/RW, masjid, dsb. bahwa pada bulan ini, semua anak SD yang sukarelawan akan digerakkan (di bawah pengawasan guru dan orang tua) untuk mengumpulkan barang yang bermanfaat untuk masyarakat miskin. Misalnya bulan April, kumpulkan baju bekas. Bulan Augustus kumpulkan sembako, dsb. Yang dikumpulkan akan disortir di sekolah masing2 dan dilaporkan ke Pemda. Jalur untuk menyumbang barang tersebut sudah ditentukan Pemda sebelumnya. Bisa dibagi langsung lewat sekolah, atau dikumpulkan di kantor Pemda dulu.

6. Kompetisi menulis buku cerita untuk anak.

Gubenur akan sediakan 10 x 50 juta (misalnya) sebagai penghargaan untuk penulis cerita anak terbaik. Kerja sama dengan Gramedia (atau yang lain). Kerja sama dengan Aqua (atau yang lain) yang punya program CSR, dan sudah menunjukkan kepedulian pada anak dan pendidikan. Tujuan adalah meningkatkan jumlah penulis buku untuk anak di DKI. Buku terbaik akan dibeli 5,000 – 10,000 eksemplar (atau lebih) dan disumbangkan ke sekolah2. Harapan adalah kompetisi ini akan memberikan semangat kepada para penulis untuk menambahkan jumlah buku anak lokal, yang sangat minum pada saat ini.

7. Program training baru yang diadakan Pusdiklat DKI di bawah DP.

Semua guru se-DKI, secara bertahap, akan diberikan training untuk meningkatkan skilnya. Hal ini dimulai dengan guru SD, dan setiap sekolah wajib mengirim semua guru ke lokasi training. Bisa dilakukan di tempat pusat atau di sekolah sendiri selama satu minggu. Selama guru sedang training, sekolah bisa diliburkan untuk 1 minggu. Atau, guru bisa dikirim secara bergiliran supaya hanya 2 guru dikirim dari setiap sekolah pada saat yang sama. Guru pengganti bisa disediakan untuk masuk sementara, dan menggantikan guru yang sedang training. Training bisa terdiri dari berbagai macam hal yang dibutuhkan para guru, misalnya:

· “Classroom management” (pengaturan kelas)

· “Inquiry Method” (metode bertanya-tanya)

· Membuat pelajaran yang menarik dari bahan yang membosankan

· Skil bernegosiasi dengan murid

· Memahami bedanya PR yang bermanfaat dan tidak bermanfaat

· Psikologi pendidikan

· Motivasi untuk guru

· Cara memberikan motivasi kepada siswa

· Lain-lain

Guru SMP dan SMA akan dilatihkan sesuai dengan spesialisasinya dan juga secara umum dalam satu kelompok.

8. Kumpulkan buku dari orang tua, perusahaan untuk membentuk perpustakaan

Program ini bisa dilakukan bersama dengan LSM 1001 buku (www.1001buku.org) atau dijalankan sendiri. Orang tua dan perusahaan akan diajak untuk menyumbang buku, terutama buku cerita untuk mengembangkan perpustakaan di setiap sekolah. Sekolah yang belum punya perpustakaan akan diutamakan untuk pembangunan ruangan khusus untuk menjadi perpustakaan. Bila lokasi sekolah tidak memadai, akan dicari caranya untuk membangun ruangan di atas gedung atau dengan sewa sebuah rumah kecil di dekat sekolah. Barangkali bisa dibangun ruangan baru dengan harga yang murah (bertanya pada insinyur gedung).

9. Piagam dalam lomba sekolah diganti dengan buku penghargaan (dengan nama pemenang di dalamnya) yang disumbangkan ke perpustakaan sekolah

Setiap sekolah akan dianjurkan untuk menggantikan piagam, yang sering dibagai kepada siswa, dengan buku. Setelah sebuah lomba, anak akan terima sebuah buku cerita. Di dalam setiap buku, ada stiker dengan nama anak dan prestasi yang telah ia capai. Anak boleh bawa pulang buku itu untuk 1 minggu dan sesudahnya akan diminta untuk menyumbang buku itu pada sekolah untuk kepentingan masa depan adik kelas. Anak tidak anak dipaksakan untuk menyumbangkan bukunya, tetapi guru bisa menggunakan trik2 psikologi dan “peer pressure” (pembujukan dari teman sekelas) untuk membujuk anak yang tidak mau bantu. Semua buku akan dikumpulkan dalam perpustakaan sekolah untuk kepentingan bersama, dan ini lebih bermanfaat daripada sekotak piagam yang di simpan di lemari bertahun-tahun sebelum akhirnya dibuang. Secara psikologis, lebih bermanfaat kalau teman sekolah ingat terus pada prestasi seorang anak (setiap pinjam buku tersebut) daripada ada piagam di rumah yang tidak dilihat oleh siapa-siapa.

10. Lampu warna-warni di sekitar DKI adalah pemborosan dan akan dihilangkan.

Uang yang disediakan untuk pemeliharaan lampu warna-warni, perbaikan lampu itu dan juga tagihan listrik akan disalurkan ke Dinas Pendidikan. Tujuan dari ini sudah jelas. Pemda akan mencari semua jalur yang halal untuk menyediakan dana yang lebih besar untuk Dinas Pendidikan. Lampu ini adalah salah satu sumber uang. Lampu yang sudah ada bisa dijual ke kota yang lain, atau ke perusahaan swasta.

11. Semua proyek besar yang dianggap tidak menguntungkan mayoritas dari rakyat (seperti busway, monorail, air mancur, dsb.) akan ditunda dan dananya akan disalurkan ke DP.

Kalau ada program untuk membangun sebuah air mancur atau mengecet batu terotoar, program itu akan ditunda dulu untuk membuat penilaian baru. Apakah benar-benar dibutuhkan dan menguntungkan rakyat? Kalau tidak, dananya akan disalurkan ke Direktur Pendidikan.

12. Program berantas banjir akan dimulai dari SD.

Anak diajarkan untuk tidak membuang sampah sembarangan (terutama ke got dan kali) dan harus berani menegor orang dewasa yang melakukannya. Anak yang kelihatan mengambil dan membuang sampah ke tempat sampah di dalam lingkungan sekolah akan menerima penghargaan di sekolah, misalnya dengan menulis namanya di sebuah papan yang kelihatan semua anak. Ini membentuk pikiran bahwa membuang sampah ke tempat yang benar adalah hal yang baik. Ini suatu ajaran kecil, tetapi dampaknya jangka panjang.

13. Program kesejahteraan guru akan dibentuk.

Dana dari asuransi guru akan menjadi Investment Fund (seperti banyak program asuransi yang ada sekarang). Seorang guru yang isteri/suami/anak membutuhkan dana untuk kepentingan kesehatan akan bisa memajukan permintaan ke Dinas Kesejahteraan Guru dan akan dibayar dari hasil Investment Fund tersebut. Ini bisa diuji coba dengan skala kecil dulu, misalnya untuk satu kecamatan, lalu bisa diperluas kalau sudah terbukti berhasil. Dana dikelolah oleh perusahaan professional di luar Pemda, akan dibuka untuk investasi dari rakyat, dan akan diaudit oleh Public Accountant.

14. Apa Lagi?

Ini hanya sebatas saran-saran yang barangkali bermanfaat bagi seorang gubenur, bupati atau walikota yang ingin melakukan perubahan di dalam bidang pendidikan. Belum tentu semuanya baik dan bermanfaat, dan hanya ide saja, yang perlu dikaji lebih dalam oleh orang lain.

Semoga bermanfaat untuk permulaan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene


29 October, 2007

On Torture and American Values



The New York Times | Editorial

Sunday 07 October 2007

Once upon a time, it was the United States that urged all nations to obey the letter and the spirit of international treaties and protect human rights and liberties. American leaders denounced secret prisons where people were held without charges, tortured and killed. And the people in much of the world, if not their governments, respected the United States for its values.

The Bush administration has dishonored that history and squandered that respect. As an article on this newspaper’s front page last week laid out in disturbing detail, President Bush and his aides have not only condoned torture and abuse at secret prisons, but they have conducted a systematic campaign to mislead Congress, the American people and the world about those policies.

After the attacks of 9/11, Mr. Bush authorized the creation of extralegal detention camps where Central Intelligence Agency operatives were told to extract information from prisoners who were captured and held in secret. Some of their methods — simulated drownings, extreme ranges of heat and cold, prolonged stress positions and isolation — had been classified as torture for decades by civilized nations. The administration clearly knew this; the C.I.A. modeled its techniques on the dungeons of Egypt, Saudi Arabia and the Soviet Union.

The White House could never acknowledge that. So its lawyers concocted documents that redefined “torture” to neatly exclude the things American jailers were doing and hid the papers from Congress and the American people. Under Attorney General Alberto Gonzales, Mr. Bush’s loyal enabler, the Justice Department even declared that those acts did not violate the lower standard of “cruel, inhuman or degrading treatment.”

That allowed the White House to claim that it did not condone torture, and to stampede Congress into passing laws that shielded the interrogators who abused prisoners, and the men who ordered them to do it, from any kind of legal accountability.

Mr. Bush and his aides were still clinging to their rationalizations at the end of last week. The president declared that Americans do not torture prisoners and that Congress had been fully briefed on his detention policies.

Neither statement was true — at least in what the White House once scorned as the “reality-based community” — and Senator John Rockefeller, chairman of the Intelligence Committee, was right to be furious. He demanded all of the “opinions of the Justice Department analyzing the legality” of detention and interrogation policies. Lawmakers, who for too long have been bullied and intimidated by the White House, should rewrite the Detainee Treatment Act and the Military Commissions Act to conform with actual American laws and values.

For the rest of the nation, there is an immediate question: Is this really who we are?

Is this the country whose president declared, “Mr. Gorbachev, tear down this wall,” and then managed the collapse of Communism with minimum bloodshed and maximum dignity in the twilight of the 20th century? Or is this a nation that tortures human beings and then concocts legal sophistries to confuse the world and avoid accountability before American voters?

Truly banning the use of torture would not jeopardize American lives; experts in these matters generally agree that torture produces false confessions. Restoring the rule of law to Guantánamo Bay would not set terrorists free; the truly guilty could be tried for their crimes in a way that does not mock American values.

Clinging to the administration’s policies will only cause further harm to America’s global image and to our legal system. It also will add immeasurably to the risk facing any man or woman captured while wearing America’s uniform or serving in its intelligence forces.

This is an easy choice.

Truthout

Book Cover Design


Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ada yang bisa kasih saran bagi book cover design untuk buku saya, Mencari Tuhan, Menemukan Allah? Kira-kira gambar apa yang cocok di cover?
Di dalam buku, saya membahas agama Kristen dan agama Islam.
Terima kasih kalau ada yang punya saran.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene
 

UPDATE: 1 Feb 2008
Hitam dan putih, yang kelihatan kuning di gambar, akan gunakan warna emas. Jadi emas di atas hitam, mirip kain kiswah di atas kabah.
Dan hitam putihnya karena saya berusaha untuk membuat agama semudah hitam putih: ada yang benar, ada yang salah. Hitam putih. Tidak ada abu-abunya.
Gimana? Suka?


Re: Menjawab Dengan Jujur Atau "Benar" #3


Membalas beberapa komentar yang masuk dari pembaca:
Ada yang tidak suka komentar saya bahwa tidak ada penemuan yang baik di Indonesia. Saya yakin masih ada orang Indonesia yang pintar yang bisa berhasil sebagai penemu. Maksud saya, dari jumlah penduduk yang begitu besar, kenapa tidak ada lebih banyak? Mereka itu bisa berhasil walaupun sistem pendidikan tidak mendukung. Bagaimana nasib mereka kalau memang dibina dengan benar dari SD? Dan bagaimana dengan anak lain yang batal jadi penemu atau ahli karena bakatnya ada, tetapi mulai dari SD, mereka diwajibkan nurut dan bukan menjadi kreatif? Siapa yang mau bertanggung-jawab terhadap calon2 jenius dari Indonesia, seperti Joko Da Vinci dan Ahmad Einstein, yang akhirnya tidak muncul sebagai orang pintar karena semangat mereka untuk menggali ilmu secara independen dipatahkan di dalam sekolah? Siapa yang membela hak anak untuk belajar kalau guru pun menjadi pengganggu dalam proses belajar? 

Komentar dari beberapa pembaca:
Ada yang mengatakan proses itu penting daripada hasilnya.Tapi ada juga yang berpendapat bahwa proses dan hasil yang baik pasti itu yang diharapkan.
Betul. Yang paling dibutuhkan adalah proses dan hasil yang baik. Tetapi seringkali di sini, yang diutamakan hanyalah hasil! Dan hasil tersebut harus sesuai dengan kemauan guru. Jawaban yang lain salah. Ini sikap yang keliru sekali. Seharusnya proses lebih utama daripada hasil dalam pendidikan. Kalau proses 99% benar, hasil akan salah, tetapi murid hampir mengerti dan hampir mendapat jawaban yang benar. Tinggal dibina sedikit lagi dan insya Allah menjadi benar terus pada masa depan. Tetapi kalau hasil 100% benar tanpa peduli pada proses, maka yang jelas hanya satu: pada saat ini, dalam ujian ini, murid benar. Kalau besok? Tahun depan? Tergantung! Tergantung apakah dia mencapai hasil itu dengan proses yang benar (belajar, paham, coba, benar) atau dengan proses yang “asal” (nyontek dari teman, mencuri kunci jawaban, dapat bocoran dari guru). Kalau murid mencuri kunci jawaban, dan membagi-bagi kepada teman, yang pasti adalah jawaban para murid akan benar. Tetapi bagaimana dengan proses? Tidak usah peduli?
Ini masalahnya kalau hasil diutamakan di atas proses. Mau menjadi caleg? Wajib punya sertifikat lulus SMA. Kalau ternyata di masa lalu hanya lulus SMP atau bahkan SD, kemudian menjadi pengusaha yang kaya, kuat, dan sukses, bagaimana? Ohh, yang penting adalah HASIL. Beli saja sertifkat yang palsu. Asal tidak ketahuan, tidak menjadi masalah. Betul?

Saya sendiri bukannya tidak setuju dengan pendapat bahwa anak2 dilarang untuk mempunyai pendapat atau pandangan yang berbeda tapi memberi jawaban yang tepat dan benar adalah wajib.
Jawaban yang tepat yang benar yang mana? Coba anda jawab sekarang: hari ini terasa “panas” atau “dingin”? Lalu saya akan bertanya kepada dua teman dekat saya, 1 orang Eskimo, dan 1 orang Arab. Kalau jawaban anda berbeda dengan salah satu dari mereka, anda akan langsung dipecat dari perusahaan saya karena ternyata anda adalah orang bodoh yang tidak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana. Ayo, jawab sekarang dan siap-siap dipecat kalau salah! Panas atau dingin?
Kita harus membedakan antara ilmu pasti (sains) dan ilmu lain yang subyektif. Kalau pertanyaan adalah 2 + 2 = berapa, maka hanya jawaban 4 yang bisa diterima. Tetapi kalau murid ditanyakan “ini apa”, atau “kamu suka apa” maka jawaban harus boleh beraneka ragam.
Barangkali anda bukan guru sekolah. Ternyata sebagian guru sekolah memang keberatan kalau muridnya punya pendapat yang berbeda. Dan nilai murid dikurangi padahal benar. Ada beberapa soal yang saya lihat dengan mata sendiri di ujian anak SD. Misalnya, burung hantu tinggal di mana? Pohon. Salah, hutan. Burung penguin tinggal di mana? Antartika. Salah, di gunung es. Ini soal nyata yang disalahkan oleh sang guru padahal tidak salah.
Bagaimana kalau anak anda sendiri sering mendapat nilai 6-7 dalam ujian, tetapi kalau diperiksa dengan lebih cermat, nilainya adalah 9-10? Bagaimana perasaan anak itu, ketika dia merasa yakin bahwa dirinya benar tetapi guru mengatakan salah? Guru tidak boleh diperdebat, dan tidak ada orang tua yang ingin telfon sekolah dan bertanya kenapa jawaban anaknya disalahkan. Kalau anak berprotes kepada orang tua, paling orang tua yang sibuk hanya membenarkan guru dan menyuruh anak belajar lebih keras.
Kasihan anak itu. Pedidikan tidak menjadi proses membangkitkan keinginan siswa untuk menuntut ilmu, melainkan menjadi proses memaksakan semua anak nurut dengan kemauan guru. Kenapa semua anak tidak diperbolehkan mendapat nilai tinggi, sehingga harus ada yang disalahkan?

Tapi kalau soal2 yang untuk di ujikan di ujian akhir,misalnya.Saya yakin guru lebih tahu,tidak asal-asalan dan benar2 memikirkan dalam memberikan soal2 beserta pilihan jawaban yang tepat dan benar.
Yakin? Kenapa yakin? Bukti yang saya lihat sebaliknya. Guru sepertinya asal-asalan. Jawaban anak benar, tetapi disalahkan oleh guru. Alasannya apa? Kenapa semua anak wajib memberikan jawaban yang sama dengan guru?

trus menurut pak gene..bagaimana cara penilaian yang benar? kalau ada pertanyaan model pilihan ganda atau model benar salah, berarti kan memang harus ada yang dibenarkan dan disalahkan..
Bukannya pilihan ganda itu salah, tetapi yang salah adalah guru karena memberikan lebih dari satu jawaban yang benar. Kalau gambar seorang perempuan, bisa dianggap siapa saja. Tidak mesti Ibu. Bisa juga anak, sepupu, pembantu, dll. Hal seperti ini sangat subyektif, dan seharusnya seorang guru yang berilmu di bidang pendidikan sudah tahu.
Saya berpengalaman bertahun-tahun membuat ujian bahasa Inggris dan juga kunci jawaban untuk semua tingkat. Proses itu makan waktu berhari-hari sampai berbulan-bulan (tergantung tingkatnya). Itu bukan hal yang gampang yang bisa diselesaikan dalam 1 jam. Harus diperiksa dengan teliti: apakah tingkat ilmunya terlalu sulit, terlalu mudah. Apakah semua pertanyaan punya tingkat yang sama? Ada berapa bagian dalam ujian? Berapa tipe soal? Butuhkan berapa banyak waktu untuk mengerjakannya? Apa hanya satu jawaban yang benar, yang lain pasti salah? Kalau murid boleh tulis jawabannya sendiri, yang mana yang bisa dibenarkan? Dan seterusnya.
Sepertinya, proses ini dilewati secara singkat oleh sebagian guru, dan hasilnya seperti kita telah lihat. Gambar seorang perempuan dianggap Ibu oleh guru, pembantu oleh murid, dan hanya guru yang boleh benar. Seharusnya tidak ada jawaban “pembantu” dalam ujian tersebut. Berarti, guru tidak berfikir bahwa gambar itu bisa merupakan orang selain Ibu, dan kalau ada yang berfikir begitu, cukup disalahkan saja.

kalau saya baca tulisan bapak, tidak ada jawaban yang salah menurut bapak dan semua bisa dibenarkan menurut logika berpikir masing2 anak,
Bukan begitu. Maksud saya adalah dalam hal yang subjektif (di luar ilmu pasti), kita bisa saja menyalahkan jawaban orang lain kalau ingin benar sendiri. Kalau anda bilang panas, saya cukup mengatakan dingin. Teman saya selalu makan yang pedas, tetapi dia orang Padang, jadi yang membuat lidah saya terbakar justru kurang pedas bagi dia. Yang mana yang “benar” dari persepsi itu? Saya atau dia?

kalau begitu tidak akan ada standarisasi dalam sistem pengajaran dan penilaian donk kalau semuanya didasarkan pada jawaban logika berpikir masing2 anak yang pastinya berbeda satu dengan yang lainnya.. jangan cuman kritik aja, kita tunggu solusinya pak...
Solusinya sederhana: memastikan para guru memang mengerti proses pendidikan dan cara membuat, serta memeriksa, ujian. Ini pelajaran standar untuk seorang guru, dan guru yang merasa belum paham, atau terbukti belum paham, seharusnya dilatih lagi sampai dia paham.
Kalau semua pasien yang masuk sebuah rumah sakit di Jakarta dioperasi lalu wafat, apakah anda akan bertanya kepada pengritik “Solusinya apa?” Seharusnya sudah nyata: dokter itu tidak mempunyai ilmu yang semestinya. Sama halnya dalam ujian yang ngawur ini. Yang salah adalah gurunya. Dan gurunya yang harus ditegor. Kalau siswa tidak bisa, orang tua harus berani.

standarisasi sistem pengajaran bukan berarti doktrinasi jawaban, standarisasi pengajaran itu misalnya untuk matematika, dia sudah paham pecahan, persentase, desimal, …untuk bahasa Indonesia, standarisasi bisa berarti bisa menyusun kalimat, terstruktur, bisa berargumentasi dengan baik,kreatif. Jadi kalau ditanya, ikan hidup dimana? ada yang jawab, kolam, akuarium, laut, dll dll, berarti semua dibenarkan,
Betul sekali. Mudah-mudahan anda ini seorang guru. Justru sikap seperti ini yang dibutuhkan. Seringkali anak kecil punya daya pikir sendiri, dan pada awalnya kita sangat mudah menyatakan bahwa dia salah. Tetapi kalau dia diberikan kesempatan untuk mejelaskan jawabannya, bisa jadi kita menjadi paham “kebenaran” di dalamnya. Kalau anak disalahkan terus, belum tentu dia ingin berusaha terus. Tetapi sebaliknya, kalau anak dibenarkan lebih banyak dari disalahkan, dan diberikan rasa sukses sebagai hasil dari usahanya, Insya Allah dia ingin belajar dan berjuang terus.

Bagusnya sih, kl ujian itu bukan pilihan ganda, tapi essay, jd murid punya kesempatan memaparkan hasil pikirannya dan argumentasinya dalam sebuah tulisan.
Semua boleh dalam satu ujian. Justru ujian yang baik itu ada campuran karena anak (dan dewasa) punya cara berfikir yang berbeda. Ada anak yang lebih mudah melihat jawaban yang benar kalau bisa langsung membandingkan dengan jawaban lain yang salah, berarti dia membutuhkan mulitiple choice (pilihan ganda). Ada anak yang lebih mudah menulis pendapat sendiri karena sudah tahu yang benar, dan kalau dia lihat jawaban yang salah (tetapi mirip) dia malah menjadi terlalu bingung, berarti dia harus bisa menulis jawaban singkat sendiri. Ada yang pandai menulis essay yang panjang, ada yang tidak. Dan seterusnya. Jadi, semua soal itu bermanfaat, selama gurunya mengerti, dan juga fleksible.
Guru SD wajib menjadi fleksible dengan jawaban muridnya. Kalau Dosen Kedokteran tidak usah! (Pendapat selain dari itu salah. Hehe).

Coba kalau seandainya essay di gunakan pada waktu ujian akhir...otomatis waktu yang digunakan untuk menjawab soal2 tersebut tidak cukup. Begitupun kalau pemeriksaan hasil2 ujian itu.Berapa banyak waktu yang di butuhkan seorang guru untuk membaca hasil jawaban soal2 essay yang mengakibatkan terhambatnya memberikan hasil penilaian ujian itu sendiri.
Hiks, hiks, hiks. Saya sedih sekali memikirkan guru memikul beban berat berupa "essay muridnya". (Mungkin bisa mencapai satu kilo! Berat sekali!) Emangnya pemulung? Emangnya tukang bangunan? Menjadi guru itu sebuah profesi (…semestinya, tetapi di sini tidak nyata demikian). Mari kita coba mengaplikasikan komentar ini pada profesi yang lain:

Pertanyaan: "Berapa banyak waktu yang di butuhkan seorang dokter kandungan untuk menunggu hasil proses kelahiran yang mengakibatkan terhambatnya membantu Ibu yang lain?"
Jawaban: Waktunya bisa berjam-jam, bahkan sampai setengah hari. 
Berati semua Ibu hamil seharusnya wajib operasi sesar untuk menghemat waktu dokter! Setuju? Tidak setuju? Yang penting bisa menghemat waktu, betul?
Emang ada masalah apa kalau GURU diwajibkan memeriksa essay murid? Bukannya itu bagian dari tugasnya? Tetapi sudah ada sebuah solusi: kalau ada orang yang tidak ingin diberatkan menghabiskan beberapa jam untuk memeriksa ujian murid, jangan menjadi guru! Menjadi dokter kandungan saja (mereka tidak pernah sibuk atau dibebankan oleh pekerjaannya). Dan silahkan coba memberikan argumentasi di atas (wajib operasi sesar) kepada setiap ibu hamil, dengan alasan waktu dokter harus dihemat. 

Kesimpulan
Alangkah baiknya kalau pemerintah cukup peduli untuk melatihkan kembali semua guru di seluruh tanah air. Alangkah baiknya kalau guru itu sendiri menginginkan dan memintanya demi masa depan muridnya. Alangkah baiknya kalau semua orang tua memeriksa sendiri hasil ujian anaknya, dan mencari jawaban yang disalahkan oleh guru. Berfikir sendiri apakah wajar kalau jawaban “Pembantu” disalahkan dan hanya “Ibu” yang boleh benar? Kalau melihat ada beberapa jawaban anak anda yang benar, tetapi disalahkan, coba telfon sekolah dan bicara kepada guru atau kepada kepala sekolah (dengan sikap dan suara yang baik dan sopan, tentu saja). Mengajukan protes atas nama anak. Kalau cukup banyak orang tua menuntut hak untuk anaknya (hak bahwa jawaban yang benar harus diterima dan dibenarkan), Insya Allah setiap guru dan sekolah yang kurang baik akan berusaha untuk menjadi lebih baik.
Selama guru belum minta tolong, dan pemerintah belum peduli, semuanya kembali ke peran orang tua (pemilih Presiden). Anda punya hak, dan anak anda juga punya hak. Guru sekolah itu bukan musuh, tetapi guru yang kurang bijaksana perlu dilawan atau diperbaiki. Kalau dokter salah melakukan pengobatan, anda pasti lebih bersedia untuk menuntut hak anda sebagai pasien untuk mendapatkan pengobatan yang semestinya. Kenapa tidak mau menuntut hak bagi anak anda dan membela anak anda yang benar?

Silahkan baca juga:



Wassalam,
Gene

24 October, 2007

Re: Menjawab Dengan Jujur Atau "Benar"? #2

Komentar dari seorang pembaca:

Assalamu alaikum wrwb
Yah saya sih setuju dan nggak setuju mengenai hal itu. Setuju di sebabkan mungkin ada benarnya bahwa apa yang di katakan si anak adalah jujur dari apa yang di alaminya dan sebagai bukti dari kepolosan seorang anak sehingga dia menjawab demikian tapi perlu di ketahui sekolahpun mempunyai penilaian akan hal tersebut jadi tidak mungkin dapat membenarkan jawaban si anak. Kalaupun toh seperti yang di katakan pak gene harus di teliti mengapa si anak menjawab hal sedemikian,itu sih wajar-wajar saja.Dengan menanyakan alasan kepada si anak tersebut mengapa memilih jawaban tersebut.Yang pada akhirnya memberikan pengertian kepada si anak bahwa "mengapa jawabannya tidak dapat di benarkan.
Yah...saya mengerti maksud pak gene. Tapi perlu di ketahui jawaban tersebut tidak dapat dibenarkan ,apalagi untuk di masukkan ke dalam nilai hasil akhir ujian,misalnya. Coba kalau seandainya jawaban tersebut 100% dibenarkan.Apa kata anak-anak yang lain yang benar2 mengetahui jawaban temannya itu salah dan mengetahui jawaban temannya tersebut dibenarkan oleh gurunya.
Wassalam

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Lebih baik kalau kita bersikap hati-hati terhadap jawaban dari anak sekolah, terutama anak SD. Kalau anak selalu disalahkan, walaupun dari suatu sisi kita bisa melihat bahwa argumentasinya benar, maka ini bisa mematahkan semangat anak untuk berusaha dan belajar dengan baik.
Coba berfikir begini: ilmu pasti seperti matematika berbeda dengan ilmu yang lain. Kalau melihat gambar, kita harus memberikan “interpretasi” kita. Dan kalau yang benar hanyalah pendapat guru, maka anak tidak perlu berfikir sendiri, tidak perlu membentuk opini sendiri, dan tidak perlu mencari data sendiri yang mendukung argumentasinya karena hanya argumentasi si guru yang dibenarkan.
Anak cukup saja menunggu sampai guru memberitahunya jawaban yang “benar” dan anak cukup mengikutinya tanpa dicernakan sama sekali.
Apakah bangsa kita bisa maju kalau anak2 kita dididik dengan cara seperti it uterus-terusan?
Di bawah ini saya membuat contoh2 “soal ujian”, dan juga memberikan jawaban dari “seorang guru” yang selalu paling benar. Semua ini adalah rekayasa saya supaya orang tua bisa berfikir tentang apakah itu “kebenaran”. Di dalam ujian, di mana anak SD ingin sekali mendapat nilai yang baik, sangat disayangkan kalau guru selalu hitam-putih dalam menentukan jawaban mana yang benar. 

Coba kalau anak anda ikuti ujian SD ini dan hasilnya adalah Nilai “0”.

Ikan tinggal di mana?
Anak: Di kolam ikan!
Guru: Salah. Ikan tinggal di laut.

Beruang panda tinggal di mana?
Anak: Di hutan.
Guru: Salah. Di Cina.

Koala tinggal di mana?
Anak: Di Australia.
Guru: Salah. Di pohon.

Lihat gambar kedua orang perempuan ini. Siapa mereka?
Anak: Ibu dan anak!
Guru: Salah. Kakak perempuan dan adik perempuan.

Lihat gambar kedua orang laki-laki ini. Siapa mereka?
Anak: Kakak laki-laki dan adik laki-laki.
Guru: Salah. Bapak dan anak.

Kalau sebuah gelas diisi dengan air hingga 50% apakah gelas setengah penuh atau setengah kosong?
Anak: Setengah penuh.
Guru: Salah. Setengah kosong.

Lihat kedua pengemis ini yang duduk di pinggir jalan. Apakah mereka kaya atau miskin?
Anak: Mereka miskin.
Guru: Salah. Pengemis di Jakarta kaya semua. Itu hanya profesi mereka.

Lihat foto orang ini? Apakah dia orang baik atau orang jahat?
Anak: Dia koruptor. Dia jahat.
Guru: Salah. Dia orang baik. Dia memberikan uang kepada Pak Camat untuk membangun lapangan bulu tangkis dekat rumah saya sebelum pilkada.

Lihat gambar lingkaran ini. Ini gambar apa? “O”
Anak: Lingkaran. Bola. Roda. Jeruk. Uang logam.
Guru: Salah semua. Ini gambar cicin kawin saya.

Kalau kamu dibawa ke kebun binatang, bagaimana perasaan kamu?
Anak: Jenuh. Aku tidak suka binatang. Mau di rumah, main Playstation.
Guru: Salah. Kamu harus bahagia. Semua orang harus suka binatang.

Sebutkan nama satu jenis makanan yang lezat sekali.
Anak: Pizza.
Guru: Salah. Makanan barat tidak ada yang enak. Jawaban yang benar adalah bakso, mie ayam, tempe, tahu, pisang goreng, pecel, rujak, dll. Jawaban selain dari itu salah.

Seorang anak yang membantah dengan orang tua atau guru adalah…?
Anak: Seorang anak yang berbeda pendapat.
Guru: Salah. Dia anak dzholim. Anak yang berdebat dengan orang tua atau guru adalah anak dzholim dan anak durhaka yang akan dilaknat Allah dan akan masuk neraka dan siksa terus sepanjang zaman. Jawaban selain dari itu adalah salah.

****************************
Kita bisa begini terus-terusan tanpa berakhir. Dalam “ujian” ini, anak mendapat nilai “0” karena semua jawabannya adalah “salah” menurut sang guru. Apakah ini pendidikan? Apakah ini hasil yang orang tua harapkan dari sekolah?
Dalam ujian ini, anak tidak bisa berbeda pendapat dengan guru dan hanya bisa mengikuti kemauan guru kalau mau mendapatkan nilai yang baik.
Itu bukan pendidikan, tetapi lebih akurat disebut indoktrinasi. Tujuannya semata-mata untuk membentuk pikiran anak sehingga mereka punya pendapat yang rukun dengan kemauan gurunya.
Saya sebagai seorang guru sangat sedih melihat orang tua dan guru yang mendidik anaknya dengan cara tersebut.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene

Silahkan baca juga:



HOAX: Apple Mecca


Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ada email yang beredar sekarang tentang Apple Mecca. Saya sudah terima 3-4 kali dalam 2 bulan terakhir. Sayangnya, informasi dalam email ini tidak benar.
Posting di website Islam, yang mengutuk pembangungan gedung baru milik Apple adalah benar. Foto yang disebarkan dalam email adalah benar, tetapi tudahan mereka itu yang tidak benar.
Nama toko ini di New York adalah Apple Store Fifth Avenue, bukan Apple Mecca. Perusahaan Apple tidak menyebutkan nama gedung ini sebagai “Mecca”.
Katanya ada “bar” (tempat minum alkohol) di dalam “Apple Mecca” ini. Memang ada “bar” di dalamnya, yaitu sebuah Bar i-Pod. Maksudnya bar i-Pod adalah orang bisa duduk dalam barisan dan download musik Mpeg-3 langsung ke i-Podnya. Istilah “bar” di sini berarti tempat duduk (dalam barisan) untuk mendapatkan sesuatu. Contoh lain yang sering digunakan dalam bahasa Inggris: record bar, oxygen bar, CD bar, sushi bar, dll.. Tidak ada hubungan dengan alkohol, dan di toko komputer Apple ini tidak ada alkohol (karena memang hanya toko komputer).
Toko sebenarnya ada di bawah tanah. Bagian atas, berbentuk kubus, dibuat dari kaca dan hanya merupakan pintu masuk. Kubus digunakan (kata Apple) karena dianggap bentuk yang sempurna (dan barangkali mereka juga mengganggap kualitas komputer mereka sempurna sehingga penggunaan kubus tepat).




Waktu pembangunan, kubus kaca tersebut ditutup dengan lapisan stiker hitam untuk sementara untuk melindungi kacanya. (Sama seperti gedung bertingkat di Jakarta: kaca ditutup dengan lapisan stiker selama pembangunan. Di sini biasannya berwarna biru atau abu-abu).
Dari pernyataan Apple di media massa, mereka sangat sayangkan bahwa ada orang ekstrim yang salah paham niat mereka membangun pintu masuk dari kaca, berbentuk kubus. Dan kita seharusnya paham.



Semua “Kubus” di seluruh dunia bukan menjadi milik Islam. Dan bangunan apapun yang berbentuk kubus tidak ada hubungan dengan Ka’bah di dalam Masjidil-Haram.
Seharusnya, orang Islam yang cerdas memeriksa email sebelum disebarkan.
Toko ini sudah buka dari bulan Oktober 2006, dan tidak ada masalah sampai sekarang.
Baru sekarang ini, orang Indonesia mulai menerima email yang tidak benar dan menyebarkannya.

Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
24 Oktober, 2007

The store is actually called Apple Store Fifth Avenue. And it does house a bar, but it's an iPod bar - for downloading music, not downing bevvies.
Customers enter the underground outlet through a 30-foot-high glass cube directly in front of the General Motors Building.
Representatives at Apple tried to downplay the controversy. "We regret that the comments of these independent bloggers have offended anyone," said Apple spokesman Steve Dowling. "The entrance is not an attempt to resemble the Kaaba."
**********
By K.C. Jones , TechWeb Technology News
The Apple Fifth Avenue Store is shaped like a glass cube. Ka'ba is also a cube, covered in black cloth. The store was covered in black before it opened in May.
MEMRI's statement, titled "Apple Mecca Project Provokes Muslim Reaction," said the store sells alcoholic beverages and is "clearly meant to provoke Muslims." The store does not sell alcohol. Although its cube-shape may resemble the Ka'ba, the dimensions are different.
The statement urges people to spread an alert to "stop the project."
Apple, one of the largest computer companies in the world, responded by saying the company respects all religions, did not set out to build a replica of the Ka'ba and never referred to the store as "Mecca."
**********

23 October, 2007

Lebih Baik Menjawab Dengan Jujur Atau "Benar"? #1


















Assalamu’alaikum wr.wb.,
(Bila gambar tidak kelihatan, isinya adalah ujian anak sekolah dengan pertanyaan: “Gambar di samping mewujudkan kasih sayang seorang: A.Pembantu, B.Ibu, C.Ayah.”
Di gambar tersebut, ada seorang ibu menggendong anak. Jawaban yang dipilih oleh siswa adalah “A.Pembantu”.)
Ada dua hal yang menarik dari gambar ini.
Yang pertama, dan yang paling jelas, adalah pilihan anak bahwa gambar itu mewujudkan kasih sayang seorang pembantu dan bukan kasih sayang dari seorang Ibu. Ternyata bagi anak ini, kasih sayang lebih didapatkan dari pembantu atau babysitter, ketimbang dari Ibu. Mungkin Ibunya kerja, pulang larut malam dalam keadaan capek, dan oleh karena itu, anak lebih terbiasa main dan merasa bahagia dengan pembantu.
Menyedihkan sekali, tetapi barangkali ini merupakan kenyataan bagi banyak anak di bangsa ini, terutama di kota besar seperti Jakarta.
Hal menarik yang kedua, adalah kenyataan bahwa pilihan si anak “A.Pembantu” disalahkan oleh sang guru. Artinya, anak sekolah tidak boleh berbeda pendapat dengan guru. Ternyata anak tidak boleh merasa kasih sayang dari orang tertentu (seperti pembantu) kecuali disetujui terlebih dahulu oleh gurunya. Bila anak merasa lebih disayangi pembantu, kenapa hal itu bisa dinyatakan salah oleh guru?

Saya jadi ingat komentar dari seorang bapak di milis SD Islam, bahwa anaknya bertanya kalau pada saat menjawab pertanyaan di dalam ujian, apakah lebih baik menjawab dengan “jujur” atau memberikan “jawaban yang benar”? Sangat memprihatin bahwa seorang anak SD bisa membedakan dan memisahkan antara jawaban yang “jujur” dan jawaban yang “benar”. Ini memang sesuatu yang nyata dalam sistem pendidikan Indonesia dari zaman dahulu, dan ternyata, belum berubah.
Bila anak SD ditanyakan dalam sebuah ujian “Bagaimana perasaan kita kalau orang tua cerai?” maka anak diwajibkan guru menjawab “Sedih” karena jawaban “Bahagia” akan disalahkan. Tetapi bagi anak tertentu, yang orang tuanya sering ribut dengan KDRT juga, bisa jadi jawaban “bahagia” adalah jawaban yang jujur, tetapi di sekolah menjadi salah. Ini merupakan indoktrinasi kultural yang tidak tepat dan tidak dibutuhkan. 


Tetapi tidak terbatas pada indoktrinasi kultur saja. Jawaban yang lain juga seenaknya disalahkan oleh sang guru. Saya pernah lihat hasil ujian anak SD dengan pertanyaan “Burung hantu tinggal di mana?” Anak menjawab “Pohon”. Ternyata salah. Menurut guru, burung hantu tinggal di HUTAN. Berarti anak SD harus main tebak-tebakan pada saat ujian. Mereka harus berfikir “Hmmmm… menurut guruku, jawaban yang mana yang boleh benar?” Soalnya, kalau anak itu berfikir sendiri dan memberikan jawaban yang dia anggap benar, yang sesuai dengan fakta yang dia miliki, sesuai dengan logika, dan sesuai dengan argumentasi dia, maka dia akan disalahkan oleh si guru dan nilainya akan rendah. Berarti lebih baik kalau anak TIDAK berfikir sendiri dan hanya sebatas nurut dengan kemauan guru kalau mau lulus.
Kita tidak perlu heran bahwa penemuan terbaik di dunia ini tidak pernah muncul dari Indonesia. Yang ada justru tingkat korupsi yang “terbaik” di dunia. Ini semua merupakan hasil dari sistem pendidikan yang rusak berat, dan belum ada usaha dari pemerintah atau dari orang tua untuk melakukan perbaikan nyata.
Sampai kapan sistem pendidikan di Indonesia akan seperti ini terus? 

Silahkan baca juga:



Bagi yang menginginkan perubahan, mohon berusaha secara kecil dengan mememberikan tanda tangan pada petisi pendidikan ini. 
Petisi-Peningkatan-Kualitas-Pendidikan-Nasional

Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...