Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)
Showing posts with label bilingual. Show all posts
Showing posts with label bilingual. Show all posts

31 October, 2019

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Ini sebuah artikel panjang yang saya tulis pada tahun 2007. Dibagikan menjadi 5 artikel dan Appendix (appendix dalam bahasa Inggris). Saya menulis artikel ini karena melihat sedang muncul banyak sekolah sekolah swasta yang jual diri sebagai sekolah bilingual, tapi mereka sama sekali tidak memahami artinya "bilingual" itu atau cara mencapainya.

Saya saring banyak hasil riset dari seluruh dunia, dan menulis artikel ini sebagai ringkasan, penuh penjelasan dan pertanyaan. Insya Allah artikel ini paling bermanfaat untuk pendidik dan pengurus sekolah, tapi juga untuk orang tua. Kalau mau memahami apa yang penting untuk dipikirkan dalam menciptakan sistem sekolah "bilingual" di Indonesia, coba baca ini. Semoga bermanfaat.
-Gene Netto

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

26 December, 2009

Hati-Hati Terhadap Sekolah Swasta Bilingual

Assalamu'alaikum wr.wb.,

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang kerja di sebuah kursus bahasa Inggris. Dia ceritakan kepada saya bahwa ada rekan kerja yang membuat sebuah program bahasa Inggris yang sangat sederhana. Tujuan dari program itu adalah untuk memberi petunjuk kepada para guru SD Negeri (yang tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali) tentang bahasa yang bisa mereka gunakan di dalam kelas saat memberikan perintah kepada siswa.

Tingkat bahasa sangat sederhana dan hanya merupakan perintah baku yang kemungkinan besar bisa digunakan oleh para guru SD. Misalnya, “Stand up”, “Sit down”, “Stop talking”, “Open your books”, dan sebagainya. Mungkin program seperti ini yang mengajarkan frase-frase baku bisa sangat bermanfaat untuk guru SD Negeri yang tidak bisa berbahasa Inggris. Kalimat yang sangat sederhana seperti itu hanya perlu dihafalkan saja dan diucapkan di kelas. Tetapi mereka tidak akan bisa mengajar dalam bahasa Inggris, dan kemampuan mereka hanya sebatas perintahkan anak begitu saja.

23 November, 2009

Siswa Stress Di Kelas SBI

Assalamu'alaikum wr.wb.,

Email ini masuk ke milis pendidikan. Saya sebarkan supaya orang tua bisa sadar bahwa tidak segampang itu lemparkan anak ke kelas bilingual, lalu mereka akan langsung paham semua dan berkembang sesuai harapan. Di dalam kondisi sempurna pasti akan ada sekian persen anak yang mengalami kesulitan.

Tetapi dalam kondisi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) ini, yang sangat jauh dari sempurna, lebih besar lagi kemungkinan ada anak (mungkin saja mayoritas) yang mengalami kesulitan. Guru mereka tidak lancar dalam bahasa Inggris. Anak2 tidak disiapkan bahasanya sebelum masuk kelas. Di dalam kelas, hanya ada guru yang bisa berbahasa Inggris (secara Tarzan), tetapi tidak ada ahli bahasa (ahli teori mengajarkan bahasa asing, dan membuat anak bilingual) yang bisa tangani anak2 dan jaga perkembangan mereka secara profesional.

12 July, 2009

Malaysia Berhenti Mengajar Matematika Dan Sains Dalam Bahasa Inggris. Indonesia Baru Mulai.

Assalamu'alaikum wr.wb.,
Di bawah ini ada email yang masuk ke milis pendidikan dari Sekjen Klub Guru Indonesia. Dia jelaskan bahwa Malaysia akan berhenti mengajar Matematika dan Sains dalam bahasa Inggris dan menggantikannya dengan bahasa Melayu. Setelah beberapa tahun mengajar Matematika dan Sains dalam bahasa Inggris, ternyata hasilnya kurang baik. Jadi, diambil keputusan untuk kembali mengajar kedua mata pelajaran itu dalam bahasa Melayu, atau bahasa Ibu anak2 di sana.

Sebaliknya, Indonesia lewat program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) baru saja mulai mengajakarkan Matematika dan Sains dalam bahasa Inggris. Dan sekarang, program ini sedang dikembangkan dan disebarkan. Hasil dari negara lain membuktikan bahwa ini tidak baik untuk murid, tetapi Indonesia malah mulai dengan program yang sama.

Apakah orang tua di sini harus menunggu bertahun-tahun juga, dan melihat sendiri hasil yang buruk dari anak2 mereka, sebelum Diknas mau mengubah progam SBI dan mengajarkan anak Indonesia dalam bahasa Ibunya?

Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene

********

Dear all, berita Jawa Pos ini cukup menarik untuk dicermati:

Ganti Bahasa Inggris dengan Melayu, Untuk Matematika dan Sains di Malaysia

Saat sekolah berlabel SBI di Indonesia, justru getol ingin "menginternasional" dengan memilih penggunaan bahasa Inggris untuk pembelajaran di kelas, termasuk mapel sains dan matematika, di Malaysia, yang terjadi justru sebaliknya. Kini Menteri Pendidikan Malaysia memutuskan melarang penggunaan bahasa Inggris untuk pengajaran sains dan matematika, lalu beralih ke bahasa Melayu sebagai bahasa ibu.

Alasan yang mengemuka, antara lain:
(1) setelah pakai bahasa Inggris, hasil akademis pelajar Malaysia di kedua mata pelajaran itu cenderung menurun.
(2) meski tidak gamblang diakui, ini juga karena ada tekanan publik, di mana dari demonstrasi politikus dan ahli bahasa -khususnya mayoritas etnis Melayu- terungkap bahwa kebijakan pemerintah tentang penggunaan bahasa Inggris yang sudah berlaku enam tahun tersebut menghambat upaya memodernkan bahasa ibu mereka (Melayu).

Di Malaysia, keputusan menggunakan bahasa Inggris untuk sains dan matematika diawali era Mahathir setelah menyadari kemampuan berbahasa Inggris lulusan sekolah menengah rendah -kalah bersaing oleh lulusan dari Singapura. Sepertinya ini juga idem dengan alasan penggunaan bahasa Inggris di sekolah SBI kita di Indonesia.

Jika di Malaysia "kebijakan" tersebut membuat nilai sains dan matematika justru jeblok, apakah hal sama akan terjadi di Indonesia? Bukan rahasia, bahwa guru-guru sains dan matematika di Indonesia juga kebanyakan bahasa Inggrisnya nggak fasih-fasih amat, malah muridnya mungkin lebih jago. Belum lagi ada istilah-istilah sains atau matematika yang kemungkinan guru kesulitan mencarikan padanannya dalam bahasa Inggris. Walhasil, tingkat kesulitan siswa justru double. Sudah susah memahami konsep dan materi pelajaran, ditambah lagi kesulitan menangkap apa yang dimaksud guru karena bahasa Inggris yang pas-pasan tadi.

Apakah kita mau belajar dari (kesalahan) Malaysia, dengan kembali menggunakan bahasa ibu (bahasa Indonesia) dalam sains dan matematika? Atau kita tunggu dulu nilai siswa jeblok dulu, baru kita insyaf?

Para guru sains dan matematika di milis ini, bersuaralah...
Jujurlah pada kami, Anda lebih senang pakai bahasa pengantar apa?
Lakukan evaluasi bila perlu, bagaimana kemampuan dan daya serap siswa Anda di kelas!
Agar pembaca berita ini juga tahu komentar Anda, saya berharap Anda berkenan memberikan komentar di situs Klub Guru:

Salam hormat,
Mohammad Ihsan,
Sekjen Klub Guru Indonesia

********
[Komentar dari seorang pelatih guru yang berpengalaman]:

Saya setuju untuk mempertimbangkan lagi pemakaian bahasa Inggris sebagai pengantar di RSBI. Seharusnya juga status RSBI/SBI ini juga dipertimbangkan ulang. Mumpung belum terlalu kronis penyakitnya.

1. Karena gurunya juga tidak fasih berbahasa Inggris, bagaimana bisa mengajar kalau terbata-bata?
2. Siswa akan lebih mudah paham terhadap konsep yang dipelajarinya jika memakai bahasa yang dia pahami. Jika memakai bahasa asing maka kesulitannya berlipat ganda, harus berpikir mengenai konsep pelajarannya juga mengenai bahasa asing itu sendiri.

Biarkan saja sekolah internasional, sekolah nasional plus berkembang dengan bahasa Inggrisnya. Pemerintah (sekolah negeri) tidak perlu ikut-ikutan. Seharusnya yang perlu dijadikan benchmark itu metode mengajarnya, administrasinya, dan kurikulumnya bukan soal bahasanya!

Agung

********
[Komentar Gene]:

Assalamu'alaikum wr.wb.,

Saya setuju sekali dengan semua komentar Agung. Menggunakan bahasa asing untuk belajar ilmu2 yang cukup berat adalah suatu tindakan yang sangat bodoh.

Seharusnya Diknas (kalau peduli pada pendidikan) membaca hasil riset dari manca negara, khususnya riset tentang program bilingual, di mana anak terpaksa belajar beberapa mata pelajaran dalam bahasa asing (atau hampir semua pelajaran, kalau pakai sistem “immersion”). Hasilnya sudah banyak, data sangat banyak yang bisa dipelajari. Seringkali, walaupun menggunakan sistem immersion, ada sekolah yang tidak memberikan pelajaran matematika dalam bahasa asing dan tetap dalam bahasa ibu karena dinilai akan terlalu berat untuk mempelajari 2 skil pada saat yang sama (bahasa asing dan matematika).

Kebanyakan murid yang belajar dalam bahasa asing mengalami berbagai macam kesulitan. Ada sebagian yang bisa berhasil. Tetapi cukup banyak perlu kelas2 khusus untuk memperkuat bahasanya yang kurang, dan tingkat drop-out bisa cukup tinggi, dengan berbagai macam alasan.

Dan itu yang terjadi di negara barat, di mana tingkat pendidikan gurunya jauh lebih baik dari sini, dan setiap sekolah punya guru yang ahli dalam pendidikan bahasa, dan juga punya guru yang sanggup mengajar dalam bahasa asing. Bagaimana kalau dilakukan di sini (di SBI), dengan kualitas guru yang cukup rendah, guru yang juga tidak lancar dalam bahasa asing yang digunakan, tanpa menghadirkan ahli bahasa, tanpa kelas khusus atau dukungan yang dibutuhkan dari sekolah untuk membantu anak2 yang mengalami kesulitan?

Bisa dijamin hasilnya akan sangat kacau. Dan walaupun Malaysia berstatus negara maju, mereka sudah mengakui bahwa ini memang menjadi suatu masalah, dan mereka sudah bertindak untuk melakukan perubahan.

Bagaimana dengan Indonesia? Jangan berharap! Masa ada Menteri Pendidikan dan petugas tinggi di Diknas yang mau mengaku bersalah, dan mengubah struktur dan cara mengajar dalam Sekolah Bertaraf Internasional?
Mereka pasti akan merasa malu dong, kalau terpaksa mengaku bersalah. Lebih baik membiarkan anak gagal dalam pelajaran matematika dan sains, biar nanti anak bisa disalahkan (bukan sistemnya). Dan kegagalan anak itu yang bakalan muncul nanti juga akan membuka peluang untuk menciptakan berbagai macam kesempatan emas bagi petugas Diknas untuk membentuk program2 pelatihan baru untuk guru, untuk anak, untuk kepsek, program bahasa, program matematika dan sains, program peningkatan kualitas pengajaran, dan sebagainya.

Semua program itu akan makan uang dari pemerintah (uang pajak dari orang tua, dan juga biaya masuk yang harus dibayar), dan tentu saja, akan ada peluang korupsi yang sangat baik bagi semua. Korupsi bisa dilakukan dengan cara menambahkan jumlah program yang diadakan (tambahan fiktif) sehingga anggaran juga harus naik, dengan potong biaya secara tidak benar sehingga program dibuat secara murah tetapi pemerintah bayar untuk program mahal, dan sebagainya. Dan program2 itu akan dibentuk setelah jelas ada nilai2 yang rendah dalam pelajaran matematika dan sains. Dan hal itu bakalan teerjadi bila kelas itu diajarkan oleh guru yang tidak lancar dalam bahasa asing, ada pelajaran yang tidak dipahami oleh murid, dan yang juga murid yang tidak lancar dalam bahasa asing sehingga sulit mengikuti tesnya.

Tetapi bisa dijamin semuanya akan berjalan terus. Kesempatan untuk korupsi dan usaha menjaga diri dari pengakuan yang memalukan akan selalu diutamakan di atas kebutuhan anak bangsa untuk mendapatkan sistem pendidikan yang berkualitas.

Kapan negara ini akan mendapatkan pemerintah yang benar-benar peduli pada pendidikan?

Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto

04 August, 2008

Pengakuan Guru 4: Kelas Bilingual Lagi (SBI)

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ini ditinggalkan sebagai komentar di post Saya Lebih Mau Kelaparan Daripada Kirim Anak Saya Ke SD Negeri.

Perlu dikumpulkan berapa banayk pengakuan seperti ini sebelum orang tua merasa dorongan untuk bertindak?

Di sini kelihatan lagi bahwa program SBI ini masih kacau sekali. Guru yang tidak layak masuk kelas, diprotes oleh muridnya, dan hanya bisa minta maaf dan mengaku tidak sanggup. Dana 300 juta dihabiskan untuk kirim guru ke kursus bahasa Inggris di EF, malah oleh guru dikatakan tidak efektif. Dana 400 juta dihabiskan untuk beli buku Cambridge, ternyata guru tidak mau membacanya.

Ini jelas-jelas merupakan penipuan terhadap orang tua yang sudah bayar mahal dengan harapan anak mereka bisa mendapat pendidikan yang lebih layak dan sekaligus menjadi lancar dalam bahasa Inggris. Ternyata, siswa tetap lebih lancar daripada gurunya, dan kualitas pendidikan malah jadi terganggu karena guru tidak sanggup menjelaskan semua soal dalam bahasa Inggris. Kemungkinan besar, siswa tetap bingung kecuali hal yang sama dijelaskan dalam bahasa Indonesia.

Jadi, program SBI ini untuk apa???

Selama orang tua diam terus, dan tidak menuntut hak pendidikan yang layak bagi semua anak bangsa, situasi ini tidak akan berubah.

Solusi masalah pendidikan nasional ada di tangan orang tua.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

##########

Tolong, kalau Anda menyekolahkan anak di program R/SBI dan [anda] berpenyakit jantung, [lebih baik] JANGAN BACA dialog di bawah ini.

Mau berbagi cerita lagi, boleh ya?

Begini, barusan saya chatting dengan teman saya sesama pendamping kelas bilingual di sekolah lain. Dia bercerita ttg pengalaman rapat pertamanya dengan team kelas bilingual di sekolahnya hari itu. Ini laporannya.

Hari ini kami mengadakan rapat koordinasi tentang pelaksanaan program SBI. Masalah utama yang dibahas adalah keluhan murid dan ortunya ttg minimnya penggunaan bhs inggris di kelas. Murid-murid kelas 1 (SMA) komplain dan sering menegur guru karena tidak berbahasa Inggris di kelas, padahal mereka (murid2) kalau menggunakan Bhs Indonesia kena penalti (skor kelakuannya dikurangi)

Sekedar info, kami baru punya 1 kelas bilingual dg jumlah murid 25. Tetapi pejabat yang mengerumuni program ini buanyak sekali. Ada direktur RSBI, manager (RSBI), koordinator, wali kelas (2 org), team konsultan mata pelajaran science dan bhs Inggris (dari universitas , 3 professor, 3 master, 1 bule) yang nongol 1 kali dalam 6 bulan, bahkan 2 diantaranya belum pernah nongol sampai setahun. 1 assistent bahasa [teman saya] yang kudu stanby di kelas, babysitting the kids. Dan 16 guru mata pelajaran.

Hari ini semuanya hadir di rapat, kecuali manager kurikulum dan kepsek.

Guru A: Kami diprotes murid karena tidak menggunakan Bhs Inggris di kelas.

Sebentar-sebentar murid X meneriakkan saya, ”English please.” Ihh, sebel. Saya kan nggak kepengen ngajar di kelas bilingual ini karena inggris saya jelek. Katanya saya bakal didampingi oleh guru bahasa Inggris, kok sampe saat ini mana tuh orangnya?

Guru B: Betul. Saya juga diprotes murid karena sering salah pengucapannya. Kayaknya malu deh ditegur siswa.

Guru C: Ah, masak sih? Saya kok nggak mengalami masalah itu. Pada saat pertama kali masuk kelas, saya sudah kasih tahu kondisi bhs Inggris saya yang belepotan jadi belum berani berbahasa Inggris di kelas. Mohon maklum. Gitu.

Direktur: Lha, ibu nggak bisa gitu dong. Kan kita semua pengajar kelas bilingual. Sekolah sudah menghabiskan dana 300 jutaan lebih setahun ini untuk mengirim kita ke kursus paling hebat. Kita ini guru-guru pilihan untuk mengajar murid-murid pilihan. Semua guru bilingual wajib pakai Bahasa Inggris, terutama pengajar science dan matematika. Ingat loh murid sdh bayar spp jauh lebih mahal dg harapan gurunya speaking English.

Guru C: Setahun mah memang belum apa-apa. Katanya guru RSBI dikasih waktu 3 tahun untuk belajar Bhs Inggris di EF. Ini kan baru setahun, belum bisa diharapkan banyak dong. Apalagi yang dipelajari di kursus tuh nggak nyambung dengan kebutuhan saya ngajar. Saya perlu pake terminology matematika dan percakapan antara murid-guru. Itu yang ingin saya pelajari. Bukannya percakapan membooking hotel kayak di EF.

Manager: Bahasa Inggris jangan dianggap beban dong. Sekolah- sekolah bertaraf internasional itu kan nggak cuma ditandai dengan penggunaan Bhs Inggris. Kalau ibu dan bapak datang tidak telat, dan mengajar dengan perhatian penuh, ini kan juga salah satu indikator pendidikan bertaraf internasional. Coba teman-teman pakai tuh buku2 Cambride yang disediakan sekolah. Oh ya, kita sudah habiskan dana 400 jutaan untuk beli buku Cambridge segitu banyak. Tolong dong dibaca-baca. Dari catatan sekertaris kelas, hampir semua anak di kelas ini meminjam dan tentunya membaca buku-buku itu di rumah. Tak satupun nama guru tercatat dalam buku peminjaman. Lha, gimana toh? Malu kan sama murid kalau mereka bertanya soal yang ada di buku Cambridge, terus kita bilang, ”Maaf ibu belum baca,nak.”

Direktur: Begini ya, saya jadi inget dulu waktu dipaksa kawin sama pacar saya. Katanya kalo mau kawin jangan tunggu kaya, tunggu punya kerjaan dulu, rumah dulu, mobil dulu, dst. Yang penting kawin aja dulu, ntar rejeki juga datang, yang penting kerja keras dan berdoa. Bener kan, setelah saya menikah rasanya rejeki ngejar-ngejar saya tuh. Begitu juga dg RSBI ini, kita jalan dulu deh dengan modal apa adanya. Terus belajar mumpung pemerintah masih mau bayarin.

Guru D: Di rapat komite kemarin ada ortu yang menawarkan jasa mengajar kimia di kelas bilingual. Kebetulan dia S2 nya di Inggris. Beliau pensiunan dari lembaga penelitian punya pemerintah, jadi bisa membantu di kelas ini. Eh, sebenarnya sudah ada 3 ortu yang menawarkan diri.

Manager: Ah, bayarannya pasti mahal! Kita nggak mampu.

Guru D: Nggak kok. Mereka bilang mau kerja sukarela, kalo hanya seminggu sekali.

Direktur: Maaf bapak2 dan ibu2. Asal tahu saja tujuan program ini adalah untuk meningkatkan profesional kita, bukan orang tua. Dengan adanya program ini kita dipaksa untuk belajar [TERNYATA TIDAK – Gene]. Lagi pula saya nggak percaya penawaran mereka bener-bener gratis.

Manager: Setuju. Lagipula kalau mereka ikut mengajar nanti murid-murid akan membanding-bandingkan kita dengan mereka. Lama-lama mereka protes, yang ngajar ortu kami aja deh, bapak dan ibu dipensiundinikan karena dianggap kurang pinter. Gimana coba?

Guru E: Wah, jangan sampe deh kita diganti. Saya udah keburu nyicil motor nih [Cicilannya dibayar dari insentif ngajar kelas bilingual]

27 July, 2008

Pengakuan Guru 3: Kualitas Sekolah Negeri Rendah

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ini adalah pengakuan dari seorang guru yang ditinggalkan sebagai komentar di post "Saya Lebih Mau Kelaparan Daripada Kirim Anak Saya Ke Sekolah Negeri".

Orang tua harus mulai peduli dan menjadi siap bertindak terhadap situasi dan kondisi ini. Orang tua harus mulai peduli dan siap menuntut pendidikan yang layak untuk semua anak bangsa. Orang tua yang lebih mampu pasti bersyukur bisa mendapat pilihan untuk memasukkan anaknya ke sekolah swasta tetapi seharusnya tidak perlu.

Di Australia, sebagai contoh, jumlah sekolah swasta sangat sedikit karena sekolah negeri sudah berkualitas dan gurunya juga. Tetapi di sini, jumlah sekolah swasta meningkat terus karena orang tua belum mau menuntut pendidikan yang layak untuk semua anak bangsa. Kalau sekolah negeri sudah berkualitas, sekolah swasta tidak diperlukan, kecuali untuk golongan yang paling kaya atau buat orang yang inginkan pendidikan khusus (berbasis agama, dll.).

Orang tua harus mulai peduli. Orang tua harus bertindak. Kalau tidak, pemerintah bisa mengabaikan aspirasi anak bangsa dengan mudah, karena tidak ada yang mau membela hak pendidikan buat anak-anak ini.

Semoga situasi ini bisa segera berubah.
Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai renungan untuk para orang tua.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

#######

Pengakuan dari guru sekolah negeri

Saya tidak terlalu terkejut mendengar kisah-kisah buruk anak yang bersekolah di sekolah negeri. Dari hasil observasi lapangan dengan mendampingi guru di sekolah negeri, saya sependapat dengan Anda. Di sekolah negeri satu kelas 30 -45 anak berjejalan. Dengan jumlah anak sebegitu banyak, sukar bagi guru untuk mengharapkan anak-anak (apalagi SD) duduk diam dan mendengrakan guru berbicara. Di mata para guru, proses belajar adalah menjadi copy cat gurunya, berbicara dan berfikir sperti mereka.

Sekolah yang saya dampingi termasuk (konon menurut diknas) adalah sekolah-sekolah unggulan. Tetapi dari 1 hari jam belajar kurang dari 60%nya dihadiri oleh guru pengajar dikelas. Selebihnya anak-anak dibiarkan 'belajar sendiri' dengan berbagai alasan, mulai dari guru yang harus rapat, ada tamu, pelatihan, mengunjungi teman sejawat sakit (mengapa dilakukan di jam kerja ya?) serta ber-MLM di ruang guru. Ketika guru hadir di kelas pun, pembelajaran sangat tidak efektif. Misalnya dalam pembelajaran Bahasa Inggris, murid-murid diminta presentasi tentang pet berkelompok 5 orang. Ketika presentasi hanya satu anak (dan biasanya yang paling pintar)saja yang berbicara dan 4 lainnya seperti boneka pajangan berdiri di depan kelas. Tidak ada feeback yang diberikan guru meskipun saya melihat ada beberapa kesalahan bahasa yang umum dilakukan murid dan cukup mengganggu pemahaman yang sangat bermanfaat jika dibahas.

Saya sungguh tidak heran kalau setelah 3+3+3= 9 tahun belajar Bahasa Inggris dari kelas 4 SD -3 SMA kemampuan berbahasa Inggris mereka tidak lebih dari yes/no/I don't know and I love you. Kalaupun ada anak yang kemampuannya lebih dari itu mungkin mereka les di luar atau mendapatkan cukup exposure berbahsa Inggris dari TV, lagu,bacaan, maupun internet.

Guru-guru di sekolah negeri umumnya memiliki kemampuan akademis dan metode pengajaran yang tidak memadai untuk layak disebut guru. Saya mengerti mengapa seseorang lulusan SPGA bisa menjadi guru bahasa Inggris dimana bahasa Inggrisnya sukar dipahami dan bagaimana seseorang lulusan IKIP jurusan Bahasa Inggris dan telah mengajar di SMA 20 tahun tidak bisa membedakan dan membandingkan fungsi simple present and present perfect tense. Beliau hanya tahu formulasi tense nya saja tanpa memahami dengan benar penggunaanya dari sisi makna. Bahkan ketika berbicara, bahasa Inggrisnya sangat kaku. Alasannya:

1. Guru sekolah negeri tidak direkrut dengan melewati ujian kemampuan bidanganya. Dahulu, ketika melamar jadi PNS tesnya adalah psikotes, pengetahuan umum dan pengetahuan Pancasila. Saya tidak tahu bagaimana dengan seleksi calon guru negeri sekarang.

2. Guru bahasa Inggris di sekolah negeri tidak dijaga mutu akademisnya. Ketika saya mengajar di satu kursus Bhs Inggris yang paling populer di Indonesia, setiap tahun para pengajar wajib mengikuti proficiency test. Berdasarkan hasil prof test ini ditentukan tingkat kenaikan hourly rate-nya. Guru yang kemampuan proficiency-nya jalan di tempat penghasilannya juga jalan di tempat dan jumlah jam mengajarnya lebih sedikit dibandingkan yang profieciency-nya meningkat.

3. Di tingkat wilayah, ada banyak supervisor mata pelajaran yang mestinya berkeliling memantau dan menjadi tempat konsultasi para pengajar. Akan tetapi yang saya lihat di lapangan, ketika berkunjung ke sekolah mereka tidak masuk ke kelas-kelas dan mengamati guru mengajar. Mereka biasanya akan menghabiskan lebih banyak waktu ngobrol dengan kepsek dan pulang setelah mendapatkan salam tempel dari beliau. Sesi konsultasi lebih ditekankan pada ada atau tidak adanya lesson plan buatan guru yang akan dijadikan bukti laporan kunjungan kepada atasanyya dikantor.

4. Ada MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) lintas sekolah yang sedikitnya melakukan pertemuan 1 bulan sekali. Tetapi di lapangan fasilitas ini nyaris tidak berfungsi. Presentasi yang dilakukan dalam pertemuan MGMP lebih banyak dihabiskan dengan perdebatan seputar kapan tunjangan ini itu bisa mereka terima, bagaimana mengisi berkas-berkas administrasi sekolah, dan sejenisnya. Kalaupun ada presentasi dari sesama guru, seringkali presentasinya tidak menjawab kebutuhan guru yang paling mendesak, misalnya bagaimana meningkatkan motivasi siswa belajar di kelas, bagaimana meng-handle kelas besar untuk kegiatan speaking. Seringkali juga presentasi dilakukan dalam Bahasa Indonesia (padahal semua yang hadir adalah guru Bhs. Inggris) dengan alasan agar pesan tersampaikan secara utuh dan menghindari kesalahpahaman. Atau yang mempresentasikan sama bloonnya dengan yang mendengarkan. Guru-guru swasta sering menganggap menghadiri MGMP sebagai sebuah beban. Mereka benar, nyaris tidak ada pembelajaran dari MGMP ini. Tambahan lagi acara sering molor dan agenda pertemuan tidak jelas. Sekolah-sekolah swasta yang cukup bermodal memilih untuk memanggil pelatih dari universitas atau mengirimkan para guru pada sesi-sesi pelatihan di Sampoerna Teacher Training atau di UI. Guru-guru sekolah negeri umumnya harus berjuang sendiri untuk memintarkan dirinya.

5. Guru sekolah negeri tidak dapat dipecat meskipun profesional mengajarnya sangat rendah. Hanya menteri pendidikan yang dapat memecat mereka. Ada juga sekolah negeri dengan komite sekolah yang sangat berdaya sehingga dapat mendesak kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas guru dengan berusaha mencari guru pendamping yang lebih berkwalitas. Guru pendamping ini diseleksi oleh komite sekolah dan dibayar dengan dana komite sekolah.

6. Kepala sekolah banyak yang tidak punya cukup waktu untuk menggiring para guru untuk lebih profesional. Kepala sekolah sibuk ’mengemis’ ke pemerintah tentang betapa butuhnya bangunan fisik sekolah sehingga murid-murid harus belajar dengan atap yang bocor di sana-sini. Kemudian pemerintah merenovasi sekolah mereka menjadi mentereng. Rengekan mereka tidak berhenti, selanjutnya mereka mendesak pemerintah dan komite sekolah untuk membelikan peralatan belajar canggih seperti laptop, in-focus, CCTV, class (home) theater dengan TV seukuran gajah. Bahkan yang lagi trend sekarang adalah meminta dirinya dan kroninya di sekolah dibiayai studi banding ke Australia dan Inggris seperti bapak-bapak di DPR itu dengan alasan mempersiapkan SBI (Sekolah Berstandard Internasional).

Kesimpulan saya, murid-murid di sekolah negeri nyaris tidak mendapatkan apa-apa dari sekolah. Kalau anak ibu pintar di sekolah, mungkin karena sudah in-born. Kalau dia disekolahkan ditempat yang baik, saya percaya kualitas anak ibu bakal lebih melesat. Hanya anak-anak yang cerdas dan independent learner saja yang bisa survive belajar di sekolah negeri. Jika anak ibu termasuk yang biasa-biasa saja, sukar untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya. Apalagi anak-anak yang kemampuannya di bawah rata-rata, mereka akan tergerus oleh keliaran suasana sekolah negeri.

Hasil keberadaan mereka di sekolah-sekolah negeri seperti di atas adalah anak-anak yang tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang berkepala dan berhati kosong. Mereka yang bekerja tanpa melibatkan otak dan hatinya, persis seperti sekawanan zombie. Merekalah yang kita lihat sehari-hari; para guru yang mengajarkan anak kita di sekolah, para pegawai negeri lainnya, para pejabat, para anggota DPR, dll. Mungkin dulu mereka pernah melewati masa-masa pembentukan di sekolah-sekolh negeri semacam ini sehingga mereka menjadi orang yang tegaan, tega menipu rakyat dan mencuri dana BOS anak-anak miskin. Sungguh, saya menjadi sangat emosional ketika harus menceritakan kebobrokan di sekolah negeri.

Sebagai orang tua dan guru, setiap kali saya melihat proses pembodohan anak-anak di kelas-kelas, hati saya rasanya teriris-iris dan marah sekali. Saya sangat beruntung punya pilihan untuk tidak mengirim anak-anak saya ke sekolah sampah semacam ini. Beberapa teman saya berusaha untuk memasukkan anaknya ke sekolah ungulan di tempat saya bekerja dengan cara menyogok jutaan rupiah, meskipun saya sudah menceritakan kondisi sekolah sejujurnya, tentang kualitas guru dan system pembelajaran di kelas. Anehnya, mereka tetap lebih percaya pada nama besar sekolah ini. Dengan alasan, jika anaknya bersekolah di sekolah negeri, mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk masuk UI dan ITB. Benarkah?

Orang tua yang sebenarnya mengetahui dan memiliki kebebasan finansial untuk memilihkan sekolah bagi anak-anaknya, tetapi memilih untuk menutup mata demi gengsi anaknya diterima di sekolah negeri unggulan, wajib merasa bersalah kalau kelak anak-anak ibu juga berkualitas sampah. Saya sangat setuju dengan ibu yang memilih untuk kelaparan daripada membiarkan anaknya diproses menjadi zombie di sekolah-sekolah negeri berkualitas sampah.

Semua yang saya ceritakan ini bukanlah lagu baru. Kalau pendidikan di sekolah memang bermutu dan dapat diandalkan, kursus-kursus bahasa Inggris, bimbel, dan les-les pelajaran di rumah-rumah tidak akan tumbuh menjadi bisnis yang subur. Mengapa anak-anak kita tidak bisa pe-de hanya dengan mengandalkan pengajaran di sekolah untuk menghadapi UAN dan test masuk sekolah? Mengapa mereka baru merasa pede setelah mengikuti bimbel luar sekolah dengan membayar jutaan rupiah untuk mendapatkan kesempatan digeber 1-2 bulan penuh dari pagi hingga sore mengunyah soal-soal test masuk universitas?

Selama 3 tahun belajar di sekolah, apa yang dilakukan/ dipelajari anak-anak kita? Kalau punya waktu silahkan hitung berapa banyak uang dan waktu yang telah dihabiskan untuk mengirimkan anak-anak kita ke sekolah, lantas hitung bagaimana output yang didapatkan mereka. Mahal dan murah tidak bisa dihitung dari berapa yang Anda bayarkan tetapi diperbandingkan dengan apa yang kita dapatkan dari pembayaran tsb. Mengirimkan anak ke sekolah negeri, meskipun yang katanya unggulan sekalipun, bisa lebih mahal daripada di sekolah swasta yang bermutu. Sudah waktunya kita berhenti menilai kualitas sekolah dari segi kemasan sekolah unggulan, sekolah negeri berstandard internasional, sekolah negeri kategori mandiri, bla..bla..bla....

JANGAN MAU DITIPU LABEL SEKOLAH YANG DIBERIKAN DIKNAS. JANGAN PERCAYA DENGAN HASIL EVALUASI SEKOLAH YANG DILAKUKAN DIKNAS. JANGAN PERCAYA DENGAN HASIL UJIAN NASIONAL. JANGAN PERCAYA DENGAN PIALA SELEMARI YANG DIPAJANG DI LOBY SEKOLAH. INI BUKAN INDIKATOR SEKOLAH BERKUALITAS

Sekolah-sekolah negeri menjadi unggul bukan karena sistem dan guru-gurunya berkualitas unggulan (jauh panggang dari api), tapi karena mereka berkesempatan memilih input yang berkualitas dibandingkan sekolah lain. Jadi sekolah itu unggul karena memang anak bapak dan ibu sudah unggul ketika memasuki sekolah tersebut, bukan karena dijadikan unggul oleh sistem sekolah. Jangan tergiur dengan jumlah siswa yang memenangkan segala macam lomba dari lomba makan kerupuk tingkat sekolah hingga olimpiade fisika tingkat dunia. Sekolah nyaris tidak melakukan apa-apa terhadap anak-anak yang memang dari rumah sudah unggul. Tidak selayaknya sekolah menjual prestasi mereka untuk menipu orang tua murid seolah-olah merekalah yang telah bekerja keras mengantarkan anak-anak kita menjadi unggulan. Kalau anak Anda bodoh, jangan berharap untuk jadi pintar, meskipun kemungkinan ini ada (dengan cara sekolah berkolaborasi untuk memanipulasi nilai raport dan ujian nasional sehingga anak ibu berkesan ’pintar’ di atas kertas). Tulisan saya ini pasti akan sangat menyakitkan bagi teman-teman saya sesama guru. Tetapi begitulah yang saya lihat di sekolah negeri di mana saya bekerja sampai detik ini.

Kalau Anda termasuk orang tua yang tidak punya pilihan selain menyekolahkan anak di sekolah negeri, masih ada harapan untuk menghindari anak-anak Anda terperangkap dalam zombinisasi. Ayolah, bapak dan ibu...jadilah orang tua yang kritis. Kritiklah kami para guru dan kepala sekolah sepedas-pedasnya. Jangan hanya manggut-manggut di rapat komite. Kalau teman-teman saya memble dan kepala sekolah cuex terhadap kualitas pengajaran sekolah, mungkin karena Anda juga memble, tidak mau peduli pada pendidikan anak-anak sendiri dan percaya seratus persen pada pembodohan yang dilakukan sekolah yang konon berlabel ’unggulan’. Anda menuntut guru bekerja keras, bagaiman kalau dimulai dengan Anda menunjukkan kepedulian pada kualitas dengan mengeritik kami di rapat komite. Dengan adanya undang-undang sisdiknas, bapak dan ibu punya power dan berhak untuk ikut campur merubah sekolah ke arah yang lebih bermutu. Kami para guru perlu disentil dan dibangunkan dari ketidakpedulian kami. Oh ya, kalau mengkritik jangan cuma berani di milis. Bicaralah di rapat komite, galang dukungan dari sesama ortu. Atau kalau sekolah tetap tidak peduli, tulis saja di koran ternama. Karena bagi sekolah, nama baik lebih penting dari realitas. Biasanya mempan. Jadilah ortu yang kritis, kalau memang Anda mencintai putra-putri Anda dan ingin melihat mereka tumbuh menjadi yang terbaik dari diri mereka masing-masing.

Ayo lah...jangan memble dan cuex. Jangan beraninya ngedumel di belakang. Ayo ngomong di rapat komite, tulis di koran, atau lapor DPRD komisi pendidikan dan KPK!

#######

Baca Juga:

Saya Lebih Mau Kelaparan Daripada Kirim Anak Saya Ke SD Negeri

Pengakuan Guru 2: Kelas “Bilingual” Kacau

Pengakuan Guru: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Kacau!

Solusi Masalah Pendidikan ada di Tangan Orang Tua

19 July, 2008

Pengakuan Guru 2: Kelas “Bilingual” Kacau


Dalam pertemuan dengan seluruh orangtua murid calon kelas bilingual di satu SMP, saya berusaha untuk menyamakan ekspektasi mereka pada realitas yang kami miliki di sekolah. Lebih tepatnya lagi, saya berusaha untuk menurunkan ekspektasi mereka yang terlalu tinggi terhadap Bahasa Inggris para pengajar. Ada tiga kondisi dimana Bahasa Inggris akan digunakan. Garis besarnya, penggunaan Bahasa Inggris sbb:

Pertama, Bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar untuk membuka dan menutup kelas. Membuka kelas termasuk greeting, conducting an opening prayer, dan light talk [= pembicaraan ringan].

Kedua, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa untuk memberikan perintah sehari-hari dari guru ke murid-murid. Misalnya please open your book [at] page bla..bla..bla, come forward, work in pairs, put away your books, prepare a piece of paper, don’t cheat, and so on. Semua guru yang mengajar di kelas bilingual, kecuali guru Bhs Indonesia, wajib menggunakan Bahasa Inggris dalam dua kondisi di atas. Mereka telah dilatih berkali-kali untuk memastikan pronunciation-nya minimal comprehensible enough [dapat dipahami saja] bagi murid-murid. Kami tidak dapat berharap native-like language production [= tidak berharap penggunaan bahasa Inggris seperti native-speaker]. It’s simply far-fetched [= sangat tidak mungkin].

Ketiga, khusus untuk pengajar science, math, dan IT, mereka wajib menggunakan bahasa Inggris untuk penyebutan istilah-istilah khusus dalam pelajarannya. Prosedurnya begini, pertama-tama materi disampaikan sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia. Jika murid-murid telah memahami konsep dasar yang diajarkan, guru akan menjelaskan ulang konsep tersebut dalam Bahasa Indonesia tetapi menggunakan term-term khusus dalam Bahasa Inggris. Misalnya untuk mathematical operator symbols dibaca dalam Bahasa Inggris, luas bidang (area), keliling (perimeter, circumference) and so on. Untuk biologi, penyebutan bagian tanaman dalam bahasa Inggris, misalnya root, stem, leaf, branch, twigs… Tetapi susunan kalimat bahasa pengantar ketika guru menjelasakan baik dalam penjelasan pertama maupun berikutnya tetap dalam Bahasa Indonesia. Maka Bhs Inggris digunakan dalam menjelaskan pelajaran sebatas penggunaan istilah-istilah ilmiah. Saya punya alasan logis yang kalau dijelaskan disini bisa panjang. Yang pasti, hal ini akan mengurangi beban content teachers.

Penjelasan ini tidak memuaskan kepala sekolah, karena tidak ‘menjual’ sekolah. Salah satu ortu secara pribadi mengatakan pada saya bahwa beliau membatalkan anaknya masuk kelas ini karena berharap anaknya mendapatkan eksposure bahasa Inggris seketika dia menginjakkan kaki di gerbang sekolah. Ibu ini mengharapkan para guru bercasi-cis-cus dalam Bahasa Inggris di sekolah sebagaimana yang dilihatnya disekolah-sekolah berbahasa Inggris dengan immersion program. Again, it’s simply far-fetched [sangat tidak mungkin].

Saya jelaskan beberapa type dan kondisi program bilingual yang dikenal dalam literatur pengajaran Bahsa asing, mulai dari immersion program (mis di JIS, BIS), transitional, maintenance, dst. Guru-guru yang ada di sekolah kami tidak direkrut dengan kemampuan Bahsa Inggris yang memadai untuk mampu mengajar dalam immersion program. Lantas ibu ini bertanya, mengapa diberi label ‘bilingual’ kalau bahasa Inggris digunakan dalam kondisi yang amat sangat terbatas? Dan mengapa orangtua harus membayar jauh lebih banyak SPP dibanding kelas reguler sementara perbedaannya hanya sebatas fasilitas fisik saja. Saya tidak bisa menjawab. The principal was not happy, neither was the mother. But I’m glad to bring them back to reality. I’m not a good salesperson, indeed. Saya harus siap-siap cari kerjaan lain, mungkin semester depan she would kick me out [diusir kepala sekolah].

[Komentar dari Pak Satria Dharma]

Bravo untuk Anda! Jelas sekali bahwa motivasi para kepala sekolah RSBI ini adalah hendak MENIPU para orang tua dengan segala kamuflase yang bisa ia lakukan agar orang tua mau masuk ke program RSBI. Motifnya jelas sekali adalah UANG. Jadi sama sekali tidak ada idealisme disitu. Saya bersyukur bahwa Anda memutuskan untuk memenangkan hati nurani Anda dan bukannya ikut terseret permainan gila para kepala sekolah.

Saya benar-benar gregetan dengan situasi ini dan ingin mengajak Anda dan teman-teman lain untuk membongkar kebohongan program RSBI ini. Kalau tidak maka kita ikut berdosa membiarkan kebohongan ini berkelanjutan tanpa kita berusaha untuk mencegah.

Salam,

Satria

Sumber: (dari Pak Satria Dharma)

[Komentar dari Gene Netto]

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Sekali lagi ada pengakuan dari seorang guru yang berani, yang jujur dalam menceritakan kondisi nyata dan kualitas sekolah yang sangat jauh dari harapan orang tua. Perlu dikumpulkan berapa banyak pengakuan seperti ini sebelum orang tua menyadari penipuan yang dilakukan terhadap mereka, baik dari sekolah atau kelas SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), maupun dari kelas bilingual di sekolah swasta?

Semua kelas ini punya landasan yang sama: UANG.

Ilmu yang diharapakan orang tua untuk anaknya adalah suatu hal yang belum tentu muncul, dan kalau memang ada sebagian anak yang mendapatkan ilmu bahasa Inggris yang diinginkan orang tua, belum tentu didapatkan dari sekolah. Justru sangat mungkin dia dapatkan dari internet, dari tivi kabel, dari dvd dan vcd, dari buku, dari kakaknya, dan seterusnya. Sekolah swasta dan kelas bilingualnya yang mahal itu belum tentu menjadi sumber utama dalam perkembangan bahasa anak-anak ini, terutama bila di dalam sekolah/kelas tersebut, tidak ada ahli pengajaran bahasa asing yang sudah tahu caranya mengajarkan bahasa asing dengan baik kepada anak kecil. Ada banyak sekali efek samping yang bisa muncul kalau bahasa asing diberikan dengan cara yang kurang baik. Tetapi jarang harapkan sekolah akan memberitahu orang tua/kustomer.

Kapan orang tua di Indonesia akan menjadi kompak dan menuntut sistem pendidikan yang berkualitas buat semua anak bangsa?

Orang tua mengharapkan dengan bayar mahal di sekolah swasta, minimal anak mereka menjadi lebih pintar daripada anak tetangga, dan dengan itu mendapatkan kesempatan yang lebih luas di dunia ini. Tetapi semua orang tua di seluruh nusantara mengharapkan hal yang sama buat anak mereka, baik orang tua itu direktur bank maupun supir taksi. Kapan orang tua di Indonesia akan bersatu dan dengan kepedulian pada SEMUA anak bangsa, bersuara keras dan menuntut hak pendidikan yang layak buat semua anak bangsa, tanpa lihat siapa bapaknya, atau berapa banyak uangnya?

Bangsa ini bisa maju kalau mayoritas dari penduduk mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu yang baik di dalam sekolah yang baik. Kapan para orang tua akan mulai peduli pada anak tetangga dan bergabung untuk menuntut perhatian yang wajar dari pemerintah negara ini untuk semua anak bangsa?

Semuanya ada di tangan orang tua.

Sekarang, yang kaya ditipu dengan sekolah SBI dan bilingual. Yang miskin diabaikan saja dan aspirasi mereka untuk anak mereka (yang persis sama dengan aspirasi orang kaya untuk anak mereka) sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Situasi dan kondisi ini tidak akan berubah sampai orang tua bergabung, dan mulai peduli pada anak tentangga dan pendidikan yang layak buat semua anak bangsa.

Bukannya itu hak mereka?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

10 July, 2008

Pengakuan Guru: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Kacau!


Dear all,

Berikut ini saya sampaikan sebuah pengakuan dari seorang pendamping sekolah rintisan SBI [Sekolah bertaraf Internasional] di Jakarta yang mengeluhkan betapa kacaunya suasana pembelajaran di kelas rintisan SBI tersebut. Saya berharap agar surat ini dibaca oleh para petinggi Depdiknas agar mereka segera mengevaluasi program yang salah konsep ini.

Salam, Satria Dharma

#####

Pak Satria, saya salut berat dengan Anda. Andaikan saja ada orang yang berani menyampaikan semua ini ketelinga mentri pendidikan, semoga masih bisa mendengar kami yang di lapangan.

Saya guru pendamping sekolah rintisan SBI di Jakarta. Mau nangis darah rasanya menyaksikan pembodohan murid-murid saya yang tercinta ini oleh ambisi nggak jelas decision maker pendidikan kita. Pengajaran dilakukan oleh satu guru bidang dan satu guru pendamping bahasa Inggris. PAda hari-hari pertama saya masuk di kelas ini, murid-murid dengan antusiasnya berbahasa inggris dengan sesamanya dan dengan para guru. Tetapi lama-kelamaan antusiasme mereka meredup manakala guru-guru bidang (fis, kimi, mat, dan bio) ini tidak dapat merespon dalam Bahasa Inggris yang baik. Kalau murid bertanya dalam Bahasa Inggris, maka saya harus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian guru menjawab dalam Bahasa Indonesia yang kemudian saya terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Saya merasa ini semua knonyol sekali. Kami tidak sedang berada di kelas bilingual di Canada tapi di Indonesia yang semua pihak mengerti bahasa Indonesia. Lama-kelamaan anak-anak malas bertanya dalam Bahasa Inggris. Saya harus seringkali mengingatkan mereka, tapi saya paham betul mengapa mereka jadi enggan berbahasa Inggris. Tambahan lagi, sukar bagi para guru senior ini untuk berbahasa Inggris yang baik karena faktor usia. Ketika mereka berbahasa Inggris sepatah dua patah kata, murid-murid tersenyum-senyum dan melirik saya. Bahkan salah satu murid mendekati saya usai pelajaran dan berkata, “Bapak dan ibu guru itu sudah deh berbahasa Indoneisa saja, bahasa Inggrisnya nggak becus…kacau…membingungkan…!” Para guru ini bukannya tidak menyadari hal ini. Mereka seringkali mengeluhkan perasaan ketersinggungan mereka ditertawakan murid. Para guru yang sejatinya digugu dan ditiru malah jadi bahan olok-olokan murid. Dan saya di tengah menyaksikan dagelan yang sama sekali nggak lucu ini setiap hari, para guru dan murid yang sama-sama frustasi korban ambisi yang nggak jelas.

Selain mendampingi murid di kelas, saya sempat juga mentraining mereka dengan ‘English for teaching survival’ misalnya percakapan membuka dan menutup kelas, kalimat-kalimat perintah di kelas, hingga masuk ke istilah-istilah khusus untuk 4 mata pelajaran IPA. Wuih, saya merasa ‘hebat’ sekali (hebat dalam tanda kutip loh)mempelajari lagi persamaan reaksi kimia, logaritma, tatanama makhluk hidup, dll. Saya merasa perlu belajar dulu materi yang akan diajarakan para guru di kelas nanti supaya saya bisa membantu mereka menerjemahkan ke Bahasa Inggris. Tapi jujur aja pak, saya mabok! Tambahan lagi susah sekali mengajak para bapak dan ibu guru untuk duduk dulu bersama saya merencanakan materi pengajaran. Idealnya, sebelum mengajar, saya dan guru bidang duduk bersama mendiskusikan materi ajaran dan cara penyampaiannya dalam Bahasa Inggris,sehingga ketika berada di kelas mereka sudah bisa menggunakan sendiri istilah-istilah khusus mata pelajaran yang diajarkan. Tapi ini jarang sekali terjadi. Para guru yang terhormat ini justru sibuk bermain game komputer di sela-sela waktu senggang mereka di ruang guru.

Ketika akan ujian, mereka meminta saya menerjemahkan soal-soal ke dalam Bahasa Inggris. Dan ketika mengoreksi, saya harus mendampingi mereka. Hal ini harus saya lakukan karena beberapa kali murid-murid saya komplain gurunya menyalahkan jawaban esai berbahasa inggris mereka karena faktor keterbatasan para guru dalam memahami tulisan berbasa Inggris. Asal tahu saja, hasil test TOEFL rata-rata murid jauh lebih tinggi dari para guru bidang ini.

Saya ingin sekali berhenti jadi pendamping kelas kelinci percobaan ini. Tapi saya sangat menyukai mengajar dan berada diantara murid-murid saya. I love these young energetic people so much.

You can see all comments on this post here:

Sumber: SatriaDharma.com

#####

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Pengakuan ini sesuai dengan apa yang sudah dikuatirkan oleh kami sebelum program ini dimulai. Kritikan terhadap program SBI sudah ditulis oleh saya dan pakar pendidikan seperti Pak Satria Dharma dari tahun 2007. Karena Diknas tetap menjalankan program ini tanpa persiapan yang dibutuhkan, sekarang terbukti (lewat pengakuan seorang guru) sebagai progam yang kacau, tidak bertanggung jawab, dan habiskan uang yang cukup banyak (dari pajak anda dan iuran sekolah yang anda bayar) tanpa memberi hasil yang dijanjikan.

Kapan negara ini akan mendapatkan pemerintah yang peduli pada pendidikan?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

Beberapa tulisan tentang SBI:

- Komentar Rencana Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

- Sekolah Bertaraf Internasional tidak berjalan dengan baik

- Membahas Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di milis SD Islam

- Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz?

03 April, 2008

Masalah sekolah swasta


Mohon dipahami bahwa saya tidak menulis artikel ini dengan niat “menyerang” sekolah swasta. Niat saya sebatas memberikan tambahan wawasan kepada para orang tua supaya mereka lebih waspada terhadap sekolah anaknya. Saya juga yakin ada sebagian sekolah swasta yang baik, yang tidak seperti yang digambarkan di bawah. Tetapi ada pula yang kurang baik. Jangan sampai ada anak yang komplain kepada orang tua tentang masalah di sekolah dan orang tua tidak percaya karena menganggap sekolah swasta yang mahal itu pasti “bagus”.

Saya mendapat email ini dari seorang teman. Katanya masuk Koran Tempo kemarin. Saya tidak tahu kalau isinya benar atau salah, tetapi saya memberikan tanggapan pribadi di bawah. Semoga bermanfaat untuk renungan saja. Nama sekolah yang dibahas sudah saya hapus dengan sengaja. Gene.

*********************

Perlakuan salah sekolah

Rabu, 02 April 2008

Opini

Saya merasa sangat kecewa atas perlakuan yang terjadi pada putri saya dan merasa tertipu telah memasukkan anak saya di Sekolah Dasar Islam [nama sekolah dihapus] di [Jakarta Selatan-Tangerang]. Anak saya yang baru kelas I SD ini telah mengalami depresi dan tekanan yang cukup berat akibat intimidasi oleh guru kelasnya sendiri, tanpa berani menceritakannya kepada kami orang tuanya. Untungnya, kami sebagai orang tua akhirnya mendeteksi ada hal yang tidak wajar yang terjadi pada putri kecil kami dengan memperhatikannya sering terbangun dan menangis sendiri di malam hari. Juga, bila ia mewarnai gambar, ia hanya menggunakan warna hitam untuk keseluruhan gambar tersebut.

Tekanan yang diterimanya dimulai dari larangan ke toilet untuk buang air kecil, sehingga anak kami menjadi takut untuk minum air, dan urinenya sempat menjadi sangat keruh dan suhu tubuhnya selalu tinggi. Lalu, setiap akan pulang ke rumah, dia selalu diberi giliran yang paling belakang, padahal ia telah menyelesaikan tugas lebih dulu dari teman-temannya.

Belum terhitung kecaman yang kerap diterimanya tanpa alasan yang kuat, termasuk dipermalukan di hadapan teman-temannya hanya karena tidak ingat salah satu ayat dari hafalan surat pendek (Juz Amma).

Setelah kami mengetahui perlakuan yang diterimanya tersebut, kami mencoba beberapa kali mengkomunikasikan hal ini dengan guru kelasnya. Namun, kami tidak digubris, malahan anak kami diberi hukuman-hukuman karena mengadu. Kami mulai mencoba menjelaskannya ke kepala sekolah. Sayangnya, cerita kami kurang dipercayai, karena guru kelas tersebut terhitung orang lama di sekolah tersebut.

Dari itu semua, yang paling membuat hancur hati saya sebagai orang tua ialah, setelah kami membawa masalah ini ke kepala sekolah, putri kami yang masih kelas I SD tersebut malah dituduh mencuri uang teman-temannya dan dihakimi tanpa menginformasikan kepada kami sebagai orang tuanya terlebih dulu. Putri saya telah dua kali diinterogasi di ruang UKS oleh guru tersebut dengan menghadirkan temannya satu per satu layaknya seorang penjahat besar saja. Saya mungkin tidak akan sekecewa ini andai saja putri kami tersebut sudah berada di kelas III atau IV SD, dan tidak lagi takut untuk pergi ke sekolah yang masih agak asing baginya tersebut.

Saya sungguh heran, di sekolah yang mendidik anak usia sekolah dasar, penghukuman dan ancaman dianggap sebagai pendisiplinan. Sementara itu, mempermalukan seorang anak kecil di depan teman-temannya dianggap sebagai tindakan yang memotivasi agar lebih giat belajar. Saat ini saya benar-benar merasa putus asa karena putri saya sedang belajar di pertengahan tahun akademis sehingga tidak mungkin untuk pindah ke sekolah lain, atau ia akan ketinggalan satu tahun dari teman-teman seusianya. Sementara itu, tekanan dari guru kelasnya tersebut belum juga berakhir hingga saat ini.

Bila ada di antara pembaca yang dapat memberikan solusi kepada kami, kami akan sangat berterima kasih.

D.H. Widayatmoko

*********************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ada teman yang bilang dia meragukan isi surat ini. Mohon maaf, saya malah percaya dengan berita seperti ini. Saya dulu kerja di dua sekolah swasta di DKI, yang pertama selama 7 bulan, dan yang kedua selama 3 bulan. (Dengan sengaja saya tidak menyebutkan nama sekolah2 tersebut).

Dari apa yang saya saksikan sendiri dan banyak sekali cerita yang saya dengar dari teman2 di sekolah2 swasta yang lain, cerita seperti ini bukan hal yang asing lagi. Dan juga karena pengalaman itu, saya sekarang tidak bersedia untuk kerja lagi di sekolah swasta di Jakarta.

Sudah ada ratusan orang tua yang bermohon kepada saya lewat email dan secara langsung dengan minta saya menyebutkan nama sekolah yang paling berkualitas supaya mereka bisa pindahkan anaknya ke sana. Saya tidak bisa memberikan referensi karena belum berani menjamin sekolah mana pun (dari sekolah yang saya tahu, atau yang pernah diceritakan kepada saya.)

Dulu saya pernah terima surat yang setara dengan yang di atas (lewat email), yang juga diterbitkan di Kompas, dari orang tua yang anaknya masuk sebuah sekolah swasta di Jakarta Timur. Saya tempatkan di blog dengan niat informasikan orang tua yang lain. Lewat beberapa hari, saya dihubungi sekolah tersebut, dan diancam dengan tindakan hukum bila surat itu tidak dihilangkan dari blog. (Saya tidak menambahkan atau mengurangi isinya dari si penulis, seorang ibu yang merasa kecewa dan ditipu).

Yang membuat saya heran, sekolah itu sama sekali tidak peduli untuk menjawab atau menyangkal komplain dari orang tua itu dan hanya sebatas mengancam saya. Kesannya, yang terpenting adalah jangan sampai banyak orang tua tahu tentang masalah ini. Jangan sampai surat itu yang menjelekkan nama sekolah bisa disebarkan secara luas di internet.

Jadi, kalau ada orang yang mau menulis surat seperti ini tentang sekolah manapun, saya malah anggap Ibu itu sangat berani, karena sekolah swasta cenderung menjaga bisnisnya (citra buruk = bisnis bisa turun) daripada menjawab surat itu, lalu mohon maaf bila memang bersalah, dan berusaha untuk memperbaiki sekolahnya.

Kesannya: pengritik terhadap sekolah = musuh sekolah; kesalahan dan kekurangan sekolah = rahasia bisnis yang tidak boleh dibocorkan.

(Ada cerita tentang sekolah swasta di mana hampir seluruh anak di sekolah itu gagal dalam ujian internal, dan hasilnya dirahasiakan biar orang tua tidak tahu. Coba berfikir, kalau ada sekolah yang menjual “produk” seperti “program bilingual” karena orang tua sangat ingin “beli”, lalu karena program tersebut kurang bagus, hampir semua anak gagal dalam tes bahasa. Apakah pihak sekolah ingin memberitahu orang tua atau tidak? Berfikir seperti pengusaha yang mengejar profit, dan jawab sendiri.)

Selama saya kerja di sebuah sekolah swasta (nama sekolah tidak perlu disebut), saya berusaha untuk memberikan pengarahan kepada pengurus karena ada banyak hal yang saya anggap kurang dari sisi pendidikan, tetapi mungkin bagi mereka no problem karena uang tetap masuk! Saya selalu dapat kesan bahwa semua pengurus, baik dari pemilik sampai ke kepala sekolah, dan juga sebagian guru, sangat tidak mengerti pendidikan. Tetapi hal itu tidak berarti mereka tidak sanggup menampung anak di kelas dan memberikan pelajaran kepadanya. Ada pula guru yang baik yang bisa mengajar sendiri dan tidak perlu bimbingan, jadi sekolah bisa berfungsi (dan uang tetap masuk).

Waktu saya kerja di sana, kebanyakan guru bukan sarjana pendidikan. Sangat jelas bahwa guru bisa dapat pekerjaan karena bisa berbahasa Inggris sebagai salah satu kemampuan utama yang dicari pihak sekolah. Sekolah selalu dijual ke publik sebagai sekolah “bilingual” tetapi “program bahasa”nya sangat tidak tepat, menurut saya.

Yang menjalankan program bahasa Inggris adalah orang bule yang mantan Disk Jockey (DJ) dari Inggris, yang drop out dari kuliah di semesta pertama karena ingin menjadi DJ saja. (Dia sendiri yang memberitahu saya dan dia merasa senang di Indonesia karena tanpa gelar ataupun ilmu bisa mendapat gaji sekitar 15 juta rupiah, net.)

Di kelas ada banyak hal yang menggangu saya sebagai guru. Misalnya, ketika si guru bule itu tinggalkan seorang anak menangis di kelas setelah dia diejek dengan kasar oleh beberapa anak yang lain. Dia tidak bisa menulis dengan rapi, lalu diejek, kemudian menangis sendiri di kursi, dan ditinggalkan begitu saja sampai saya tidak tahan melihatnya lagi dan gendong dia keluar (dia anak kelas 1).

Kesalahan utama adalah di pihak guru (dan juga sekolah) karena fokus utama dari hampir semua kelas bahasa Inggris yang saya saksikan adalah “menulis huruf dengan rapi”, bukan belajar bahasa, dan saya anggap itu sangat tidak tepat untuk anak TK dan Kelas 1. Bahkan si “guru” suka mengucapkan komentar yang sangat tidak pantas seperti: kamu salah, kamu tidak bisa, kamu bodoh, tulisan kamu jelek, kamu tidak bisa mengeja dengan benar, dan seterusnya.

Beberapa kali saya memantau dia dari belakang kelas, mencatat semua hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki, lalu membuat laporan untuk pengurus sekolah.

Tanggapan terhadap kasus itu? Anak yang menangis itu disalahkan dan dibilang cengeng. Katanya, lebih baik bila saya biarkan dia menangis saja. (Dan saya memang biarkan dia selama 20 minit, karena menunggu guru bertindak, tetapi setelah itu saya tidak bisa tahan lagi dan intervensi.)

Mereka minta saya masuk kelas dan “mengajar” begitu saja, tetapi saya menolak karena tidak ada kurikulum yang jelas untuk mengajarkan bahasa asing. Dan saya juga disuruh “belajar” dari si DJ (guru bahasa Inggris) supaya bisa gunakan “program” yang dia pakai (pihak sekolah merasa puas dengan “program” itu karena memaksakan anak menulis huruf yang rapi). Karena itu, selama 3 bulan saya jarang mengajar dan lebih banyak melakukan observasi, menulis rekomendasi, melakukan riset untuk mencaritahu program bilingual seperti apa yang paling tepat di situ, dan mulai menyusun kurikulum untuk semua tingkat.

Saya juga sering komentari hal2 yang saya anggap sangat berbahaya, seperti anak TK bermain dengan gunting yang sangat tajam dan selalu terbuka. Gunting itu dibeli karena, kata pengurus, bagus untuk anak. Ada per kecil di antara dua pegangan, sehingga gunting selalu dalam keadaan terbuka dan tidak bisa ditutup.

Setelah lihat anak TK “main pedang” dan jalan2 di kelas, dengan gunting itu dipegang di depannya atau setinggi mata/muka anak yang sedang duduk di kursi, saya jadi takut sekali dan teriak di kelas, memerintahkan semua anak untuk segera duduk di kursi. Habis itu, saya membuat peraturan baru: gunting hanya boleh dipakai bila sedang duduk di meja, dan tidak boleh dibawa. (Sebelumnya, tidak ada peraturan). Saya periksa gunting itu, ujungnya sangat tajam, bisa memotong kulit, dan menurut saya tidak layak untuk anak di bawah 8-10 tahun.

Besok hari, saya pergi belanja, beli gunting khusus untuk anak kecil yang dilapisi karet dan bagian tajamnya bisa digosokkan ke tangan tanpa kena luka, tapi masih cukup tajam untuk potong kertas dan kardus. Dan bisa ditutup.

Saya bawa ke sekolah dan menulis memo kepada pengurus, dan saya minta demi keselamatan mata anak agar semua gunting yang berbahaya itu diambil dari TK dan Kelas 1-2, diganti dengan contoh yang saya berikan, dan gunting yang tajam/berbahaya itu disimpan untuk kelas 4 ke atas.

Hasilnya: tidak ada yang berubah. (Kalau sekarang saya tidak tahu).

Ini hanya 2 dari puluhan cerita, dari hanya satu sekolah, dalam waktu hanya 3 bulan saja. Artinya, kalau semua orang tua, semua anak dan semua guru se-DKI disurvei dengan benar, saya yakin 100% akan ditemukan ribuan kasus yang setara, di mana terjadi hal-hal yang sangat tidak baik atau bisa dikatakan sangat buruk untuk perkembangan mental, sosial, dan pendidikan anak. (Dan ini hanya di sekolah swasta yang mahal. Bagaimana di sekolah negeri yang jumlahnya lebih banyak?)

Kita tidak pernah tahu karena orang tua tidak punya tempat untuk mengadu dan sangat jarang ada orang tua yang berani menulis surat di koran.

Apalagi kalau anak-anak itu sendiri mau bercerita dan komplain tentang sekolah ataupun gurunya.

Dan mungkin para guru takut dipecat kalau bicara/komplain kepada orang tua langsung (kalau managemen sekolah itu buruk), jadi mungkin kita harus tunggu sampai mereka pindah sekolah dan setelah itu baru kita bisa tanyakan mereka tentang sekolah tersebut. Kalau sudah keluar, biasanya mereka baru berani untuk membocorkan “rahasia sekolah”.

Pesan saya ke teman2 yang peduli pada anak dan peduli pada pendidikan:

(mohon jangan tersinggung bila anda sedang kerja di sebuah sekolah swasta, ini hanya kesimpulan secara global saja dan tentu saja tidak benar untuk setiap guru, pengurus, atau sekolah)

1. Sekolah swasta di sini adalah bisnis yang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan karena pemantauan dari pemerintah atau organisasi lain sangat minim/tidak ada.

2. Bila ada orang tua yang komplain tentang sekolah anaknya ataupun tentang guru, lebih baik percaya dulu. Kalau salah, mohon maaf kepada pihak sekolah yang disalahkan. Bila benar, anaknya perlu dilindungi. Perlu diingatkan bahwa pemilik/pengurus sekolah swasta ada di sisi bisnis sekolah, bukan pada sisi “melakukan yang terbaik bagi anak, walaupun bisa merugikan bisnis sekolah”. Orang tua yang komplain sebaiknya didengarkan dan dipercayai saja dulu daripada diragukan.

3. Jangan terlalu percaya pada penjelasan kepala sekolah, pengurus atau pemilik sekolah tentang apa yang terjadi di sekolah. Umumnya, kepala sekolah bisa tetap sebagai kepala sekolah karena dia mewakili kemauan pemilik sekolah dengan baik. (Kalau dia sering berprotes demi anak, demi guru, atau demi pendidikan, hampir dijamin bahwa dia akan digantikan dengan orang yang lebih “nurut”.) Pemilik sekolah ingin menjaga bisnisnya karena masa depan franchise sudah jelas sangat besar. Mereka berdua (pemilik dan kepsek) tidak berada di sisi guru (dengan asumsi guru adalah orang baik) ataupun pada sisi anak (dengan asumsi anak adalah orang baik dan tidak bermasalah). Mereka berada di sisi bisnis pendidikan, dan anak anda adalah komoditas yang dijual-belikan.

4. Juga jangan automatis percaya pada guru kalau belum kenal. Ada sebagian guru yang kurang baik, dan tidak layak menjadi guru (dan mungkin dia komplain tentang sekolah padahal dia sendiri yang bermasalah, dan sekolahnya bagus). Ada juga guru yang sangat, sangat baik, tetapi dia takut bicara karena takut dipecat. Jadi kalau dia bilang sekolah oke-oke saja, bisa jadi dia tidak berani jawab dengan jujur karena takut bahwa komentar dari dirinya akan disampaikan kepada pemilik sekolah lewat orang tua. Kalau sudah kenal dengan seorang guru, dan percaya kepadanya, baru bisa percaya pada apa yang dia katakan tentang sekolah tersebut.

5. Tidak ada solusi yang jelas untuk semua masalah yang saya ceritakan di atas, karena ini merupakan masalah sistemik. Dengan sistem yang rusak, sangat sulit untuk diperbaiki dari dalam ataupun dari luar. Dan selama sekolah swasta menjadi bisnis tanpa pantauan yang serius dari pemerintah atau pihak lain (seperti komisi anak atau komisi pendidikan), jangan harap mereka ingin berjuang untuk membela hak setiap anak. Yang mereka perjuangkan adalah profit. Dan apapun yang meningkatkan profit adalah pikiran utama mereka. Pendidikan yang layak adalah nomor dua.

6. Mungkin kita berfikir bahwa sekolah bisa kena masalah besar kalau ada orang tua yang komplain di koran atau menyebarkan informasi yang menjelekkan nama sekolah. Ternyata tidak. Mereka cukup menjaga supaya ratusan ribu orang tua yang lain tidak tahu, atau tidak percaya, karena jumlah orang tua yang mampu, yang sedang mencari sekolah swasta, jauh lebih besar dari jumlah kursi yang tersedia. Ada istilah dalam bahasa Inggris: “It’s a sellers market” (Ini pasar yang menguntungkan si penjual, bukan si pembeli.) Jadi kalau orang tua sanggup memasukkan anak ke sekolah yang dianggap sedikit “bermasalah” oleh sebagian orang lain, mereka tetap bersyukur karena sudah tahu sulitnya mencari sekolah swasta. Dan mereka sudah tahu bahwa kebanyakan sekolah sudah punya waiting list sepanjang Kali Ciliwung. Kalau sebuah sekolah ditinggalkan sebagian anak dan orang tua yang kecewa, pihak sekolah cukup pasang iklan dan spanduk. Bulan depan sudah bakalan penuh lagi dengan anak baru karena orang tuanya belum tahu apa-apa tentang sekolah itu, tetapi mereka bisa lihat sendiri fasilitas yang lebih moderen, dan dengan itu melakukan asumsi bahwa sekolah pasti bagus.

7. (Dan jangan lupa bahwa uang pangkal puluhan juta adalah non-refundable, sekalipun anak anda terpaksa pindah kota, sakit, ataupun wafat. Dan setelah anak anda keluar, uang pangkal itu dikantongi sekolah, dan kursinya dijual lagi. Berarti, sekolah malah bisa dapat untung ratusan juta kalau ada sekian orang tua yang mencabut anaknya setiap tahun. Untuk mengisi kursi, tinggal telfon orang tua yang anaknya masih di wating list…)

Kesimpulan:

Sistem pendidikan swasta ini sudah cukup bermasalah dan tidak ada pihak satupun (setahu saya) yang sedang berusaha untuk memperbaikinya atau memantaunya. (Hiduplah Homeschooling! Hehe.)

Yang bisa melakukan perbaikan mungkin hanya sekolah itu masing2, kalau berminat, dan walaupun kesan dari tulisan di atas cukup buruk, saya tetap yakin ada sebagian sekolah yang ingin melakukan yang terbaik bagi anak2nya dan berminat untuk meningkatkan kualitas sekolahnya, selama tidak mengganggu profit margin, tentu saja.

Masalahnya adalah, apakah sekolah anak anda termasuk di dalam sekolah yang “berniat baik” ini, yang selalu menjaga anak dengan sebaik-baiknya, yang mencari guru yang terbaik, dan selalu siap menerima kritikan karena hal itu bantu sekolah berkembang dan menjadi lebih baik lagi? Dan anda bisa tahu dari mana? Dari penjelasan pemilik sekolah sendiri yang sangat meyakinkan itu? Hmmm… Yakin?

Sekali lagi, mohon dipahami bahwa saya tidak menulis artikel ini dengan niat “menyerang” sekolah swasta. Niat saya sebatas memberikan tambahan wawasan kepada para orang tua supaya mereka lebih waspada terhadap sekolah anaknya. Saya juga yakin ada sebagian sekolah swasta yang baik, yang tidak seperti yang digambarkan di atas. Tetapi ada pula yang kurang baik. Jangan sampai ada anak yang komplain kepada orang tua tentang masalah di sekolah dan orang tua tidak percaya karena menganggap sekolah swasta yang mahal itu pasti “bagus”.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

15 September, 2007

Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua


Assalamu'alaikum wr.wb.,

Ini artikel yang masuk Majalah Intisari, Bulan Juli 2007, halaman 160-166. Saya carikan di Intisari online, tapi tidak ketemu. Saya tidak tahu kenapa, tapi ada di situs Simpatizone.Telkomsel.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua

Sudah lama Rusdi (34) - identitas disamarkan - merasa gerah. Guru matematika kelas reguler ini geleng kepala menyaksikan perilaku guru ekspat yang mengajar di kelas internasional sekolahnya. "Ekspat yang mengajar di kelas dwibahasa tidak kapabel. Masak bukan lulusan biologi mengajar biologi?" keluh alumnus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini. Yang bikin geram Rusdi, "Gaji kami hanya sepersepuluh mereka," kesal ayah seorang anak ini.

Hal ini lantaran sekolah mengejar komposisi 60% pengajar ekspat dan 40% guru lokal. Nah, berhubung menggaji guru ekspat yang benar muaahalll, sekolah Rusdi - dan juga beberapa sekolah internasional lainnya di Jakarta - asal saja merekrut orang bule. Asal mau dibayar murah, meski masih jauh di atas guru lokal.

Masih kata Rusdi, tak jarang mereka ambil turis yang kebetulan sedang melancong ke Indonesia dan kehabisan uang. Atau juga dicomot dari kursus-kursus bahasa Inggris. Bahkan, "Ada juga yang diambil dari Jalan Jaksa." Jalan Jaksa merupakan kawasan penginapan murah bagi bule di Jakarta.

Pengajar kurang kompeten

Gene Netto (37) manggut-manggut. Pria kelahiran Nelson, Selandia Baru, ini mengiyakan Rusdi. Ditemui terpisah, alumnus Graduate Diploma of Education Griffith University, Brisbane, Australia, yang berpengalaman sepuluh tahun mengajar di sekolah swasta, les privat, kursus bahasa Inggris, dan pelatihan karyawan ini ikut prihatin.

Ia mengakui, menjamurnya kelas dwibahasa di sini semata karena banyaknya peminat. Alhasil, kepentingan bisnis lebih mengemuka. Pihak sekolah berupaya keras menghadirkan tenaga pengajar ekspat, agar orangtua teryakini bahwa anaknya memasuki sekolah internasional. Gene menantang, "Jika diteliti CV-nya, dari seratus guru bule, mungkin hanya seorang yang punya kualifikasi sebagai guru bahasa asing."

Dengan gemas pemilik gelar Bachelor of Arts untuk Language and History (guru bahasa dan sejarah) ini berkisah pernah bertemu seorang guru ekspat yang tidak lulus kuliah dan profesinya di AS adalah disc-jockey di diskotik. Bahkan, seorang yang hanya lulusan SMA di Amrik, di sini jadi guru TOEFL.

Awalnya, sekolah dwibahasa memberi kemampuan kepada anak berbahasa dalam dua bahasa sambil memahami dua budaya. Gene memberi contoh Kanada yang memiliki puluhan ribu sekolah dwibahasa karena di sana ada dua budaya, yakni Inggris dan Prancis. Ada dua sistem yang dipakai, full immersion yang menenggelamkan siswa ke dalam bahasa asing sepanjang hari dan semi-immersion yang lebih banyak menggunakan bahasa ibu. Untuk yang semi ada tiga variasi, early immersion, middle immersion, dan late immersion, dengan perbandingan antara bahasa ibu dan bahasa asing masing-masing 20 : 80, 50 : 50, dan 80 : 20.

Di kelas early immersion, mulai kelas 2 ke atas, disiapkan program language arts untuk bahasa ibu. Anak mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa asing, sebelum kemudian bahasa ibu. Walau kemampuan akademisnya lambat, namun kelak akan setara dengan anak reguler.

Di kelas 5 dan 6, kemungkinan kelas yang menggunakan bahasa asing tinggal 50%, terus sampai SMA pelajaran dalam bahasa asing tinggal 20%. Jadi, anak yang memakai bahasa asing sejak TK, akan berubah menggunakan bahasa ibu untuk sebagian besar pelajaran di SMP dan SMA.

Pada kelas late immersion sebaliknya, anak berbahasa ibu sampai kelas 6 - 8 dengan bahasa asing hanya 20%, dan di tahun terakhir SMA penggunaan bahasanya 50 : 50, atau bisa 80% bahasa asing dan 20% bahasa ibu. Jika siswa mengalami kesulitan belajar bahasa asing, maka ia mendapat bantuan khusus atau pindah kelas. Cuma, kalau diterapkan di sini, Gene khawatir, orangtuanya protes. Sebab, mereka sudah membayar uang pangkal sekolah puluhan juta rupiah dan tak bisa dikembalikan.

Penyiksaan mental

Di mata Gene, sistem di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Misalnya, di TK bahasa asing digunakan sebanyak mungkin tapi bahasa ibu digunakan juga, berarti semi immersion. Masuk SD, bahasa asing jadi bahasa utama, tapi tak ditentukan untuk pelajaran mana sehingga penggunaannya diacak. Naik ke SMP dan SMA, mungkin semua pelajaran dalam bahasa asing minus pelajaran bahasa Indonesia, mendekati model Sekolah Internasional. "Katakanlah ini model sekolah dwibahasa baru, tapi tak ada riset yang membuktikan dampak baik atau buruknya," cetus anggota perguruan silat Bunga Karang ini.

Bagaimana nasib bahasa ibu pada siswa dwibahasa? Gene menengarai, pasti ada kesenjangan sosialisasi dengan keluarga besarnya. Bisa jadi ia menganggap rendah bahasa dan budaya orangtuanya, karena sedari TK dicekoki bahasa asing.

Apa yang terjadi di kelas, tak semua orangtua mengetahuinya. Tak sedikit anak yang stres karena dipaksa mengerti bahasa asing. Ia selalu lambat dalam mengerjakan tugas, sehingga guru ekspat memberinya cap pemalas. Rupanya, ia kurang paham apa yang dijelaskan guru dalam bahasa asing. Ia merasa tertekan.

Untuk bisa berkomunikasi di kelas, si anak harus berusaha mengerti "peraturan bahasa" untuk bisa membentuk kalimat sendiri dan memahami kalimat orang lain. Jika ia belum berhasil pada proses ini, sementara bahasa ibu tak boleh digunakan, dampaknya cukup negatif bagi si anak.

Yang menyedihkan, jika si native speaker bukan orang dari dunia pendidikan dan asal bule. Alhasil, ia menggunakan bahasa yang terlalu rumit bagi anak, tidak disesuaikan dengan kemampuan anak memahaminya. Maka yang didengar anak adalah serangkaian suara berisik yang di tengah-tengahnya ada beberapa kosa kata yang bisa ditangkap. "Berarti sebagian besar yang diucapkan guru adalah sia-sia, tidak membangun kemampuan si anak, apalagi mengembangkan ilmu akademisnya dan cara berpikir yang makin dewasa," tuding Gene.

Bila siswa tak mengerti apa yang diucapkan gurunya, bagaimana ia bisa memahami ilmu matematika yang tengah diajarkan gurunya? "Bukankah itu bentuk penyiksaan mental dan emosional terhadap anak?" ujar lajang bershio anjing ini.

Nasib murid bilingual

Di kemudian hari, andai murid sekolah dwibahasa tidak kuliah di luar negeri, melainkan kuliah di dalam negeri, sanggupkah ia mengikuti perkuliahan dalam bahasa ibu? Sanggupkah ia bersaing dengan mereka yang dari SMA reguler? Sebab, mengerti sebagian dari bahasa Inggris sangat berbeda dengan sanggup menguasai ilmu akademis dalam bahasa Inggris, seperti yang dialami siswa dwibahasa.

Gene memberi misal, kemampuan bahasa Inggris seorang siswa 70%, diberi buku teks ekonomi dalam bahasa Inggris maka ia hanya memahami 70% dari isi buku, lalu menulis paper dengan kebenaran juga cuma 70%. Berbeda dengan siswa yang belajar ekonomi dalam bahasa ibu, setidaknya ia mampu menguasai 98% ilmu ekonomi.

Pria berbintang Taurus ini mengingatkan agar berhati-hati jika ingin menerapkan program baru untuk siswa. Lebih baik hati-hati daripada ambil risiko. Pertimbangkan 10 kali akan hasilnya, pikirkan pula hasil buruknya, konsultasi pada ahlinya, buat desain kurikulum, lakukan berkali-kali. Jika program kurang berhasil, hentikan dulu, dianalisis lagi, tanyakan lagi ahlinya, mungkin programnya bagus tapi penerapannya salah atau murid belum siap. "Bila kita melakukan kesalahan dalam pendidikan, kita tak bisa melihat langsung hasilnya, butuh waktu bertahun-tahun, dan kita tak bisa memundurkan waktu untuk memperbaikinya."

Dari seorang teman, Gene mendapat informasi, dalam suatu pertemuan antar-pengusaha terlontar bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah bisnis pendidikan, termasuk franchise sekolah. Tak pernah merugi, pasti untung, cepat mencapai break event point, titik impas. Masalah kualitas pendidikan? Gene angkat bahu.

Jika di kemudian hari terjadi kegagalan pendidikan, tak pernah ada sekolah yang minta maaf pada orangtua karena kesalahan guru dalam mengajar, atau kurikulum yang tidak stabil, atau guru kurang profesional. "Yang disalahkan pasti orangtua karena suasana rumah dituduh kurang kondusif, atau malah si anak disarankan diperiksa kemungkinan menderita autis, dan sebagainya." Kesalahkaprahan ini harus dihentikan. "Hanya pemerintah yang bisa melakukan, karena pemerintahlah yang memberi izin," tutup Gene geram.

(Dharnoto)

Teliti Membeli Pendidikan

Gene mengajak orangtua bersikap kritis:

1. Pelajarilah program dwibahasa, standarnya seperti apa. Informasi itu bisa dicari di internet.

2. Ajak beberapa orangtua lain untuk minta melihat kurikulum sekolah itu.

3. Jangan malu minta diperlihatkan CV semua guru, baik lokal maupun ekspat, terutama yang mengajar di kelas anak Anda.

4. Pantau dan analisis keadaan di kelas anak Anda. Jika terlihat penurunan nilai di suatu pelajaran, minta penjelasan pada guru, dan apa yang bisa dilakukan orangtua di rumah.

5. Perhatikan, apakah sang guru bersikap terbuka, mau menerima keluhan dan saran orangtua serta mau diajak berdiskusi.

6. Bila ada kegiatan sekolah yang meminta donasi orangtua, mintalah budget-nya untuk dipelajari.

7. Ajak orangtua lain membahas keadaan sekolah. Boleh juga membentuk asosiasi sendiri di luar Komite Sekolah. Keluhan bisa disampaikan langsung ke kepala sekolah, lisan atau tertulis.

8. Jika memungkinkan, dorong terbentuknya serikat guru di sekolah yang bisa memberi masukan terhadap kebijakan sekolah yang merugikan anak didik.

Terkendali Tapi Aktif

Elham Golfam sudah 15 tahun tinggal di Indonesia. Ibu guru lulusan Washington International University, AS, jurusan Education (Pendidikan) ini baru tiga tahun mengajar di Sekolah Mentari, Jakarta Selatan. Didirikan delapan tahun lalu, sekolah ini terdiri atas SD dan SMP, dengan dua pilihan, yakni kelas reguler dengan bahasa Indonesia lebih intensif, dan kelas internasional dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Bersama ibu tiga anak ini, ada sekitar 15 orang ekspat mengajar di sini. Pihak sekolah melakukan tes terhadap calon pengajar, antara lain observasi cara mengajar di kelas dengan materi yang dipilih sekolah. Adapun kurikulum yang dipakai, "Kombinasi antara kurikulum nasional dan kurikulum internasional dari Inggris, yang dimodifikasi atau dikembangkan tim pengajar," tambah Ny. Trianto ini.

Elham sendiri mengajar di kelas 3 SD, dengan 24 murid di kelasnya. Ia memberi semua pelajaran, kecuali olahraga, kesenian, musik, komputer, dan bahasa Indonesia, yang ditangani guru khusus. Dikatakan, semua guru ekspat menyampaikan pelajaran dalam bahasa Inggris, dan di dalam kelas siswa berinteraksi juga dalam bahasa Inggris. Secara umum, siswa tak menemui kesulitan dalam menyerap materi pelajaran, kecuali beberapa orang yang perlu bantuan lebih. Sedangkan suasana dalam kelas, "Terkendali tapi aktif," tutup wanita berusia 39 tahun ini.

Sumber: Simpatizone.Telkomsel

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...