Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

03 March, 2007

Balasan Email Sebuah Sekolah Swasta

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Terima kasih kepada pihak Sekolah ### yang sempat memberi tanggapan terhadap tulisan saya. Saya akan berusaha untuk menjawab semua keterangannya dengan kata-kata yang baik dan bijaksana. Terserah orang tua menilai perkataan saya sendiri.

Diterima dari:

Public Relation Department
Sekolah ### Indonesia

[ Surat Peringatan ]

Dari Public Relations Department,

Dear ### Parents,
…Gene Netto pernah bekerja sebagai English Subject Coordinator di Sekolah
### Indonesia, sejak Maret 2003 sampai dengan September 2003. Namun karena tidak perform dan bermasalah maka yang bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003.
Berdasarkan data-data kami, pengunduran diri dilakukan setelah yang
bersangkutan menerima warning letter (surat peringatan), tegoran, dan
catatan khusus sehubungan dengan performance, kemampuan teknis dan tingkah laku (attitute) dan ketidakmampuan dari yang bersangkutan untuk mengikuti standard kerja di tempat kami. Selain itu juga, hasil performance
evaluation after probation period yang bersangkutan tidak memuaskan. Oleh
karena itu kami tidak terlalu kaget ketika membaca tulisan diblog tersebut
yang tidak proporsional.

Dari Gene: Betul, saya mendapat dua surat peringatan selama kerja di sekolah ###. Saya kurang ingat surat pertama, tetapi saya sangat ingat surat yang kedua.

Dalam sebuah rapat, Kepala Sekolah menyatakan hari Senin dan Selasa yang pertama setelah liburan sekolah adalah hari libur juga karena murid belum masuk. Sore itu, ada rapat dadakan lagi dan informasi ini berubah: guru kelas diberitahu mereka wajib masuk supaya bisa bertemu dengan orang tua kalau ada yang datang. Saya tidak ikuti rapat kedua itu dan tidak pula diberitahu hasilnya.

Senin dan Selasa pertama setelah liburan, saya tetap libur tetapi ternyata guru yang lain masuk. Pada hari Rabu saya dipanggil pemilik sekolah (atasan saya) dan dimarahi untuk 45 minit, dan diberikan surat peringatan.

Di tengah kemarahan pemilik sekolah yang berlebihan itu, saya sempat bertanya kenapa Manager HRD tidak telfon saya pada Senin pagi dan suruh saya masuk. Misalnya: “Maaf, Pak, mungkin anda belum diberitahu, hari ini harus masuk. Harapa datang dengan segera ya!” Malah Manager HRD dengan sengaja menunggu sampai hari Rabu supaya saya bisa dimarahi dan diberi surat peringatan. Saat saya bertanya kenapa saya tidak ditelfon saja, pemilik sekolah menjawab dengan tegas “Saya tidak mau bicarakan itu!” Dari pandangan saya, Manager HRD harus tanggung jawab juga untuk sikapnya itu. Tetapi pemilik sekolah sudah mempunyai niat untuk hanya menyalahkan saya saja.

Kalau ada Memo sebelum liburan yang jelas tentang masuknya Senin dan Selasa itu, tentu saja saya akan masuk. Kalau ada telfon dari Manger HRD pada hari Senin pagi, tentu saja saya akan masuk. Yang membuat saya bingung adalah kenapa Manager HRD sengaja diam pada Senin pagi, Senin siang, Senin sore, Senin malam, Selasa pagi, dan Selasa sore?

Justru karena sikap seperti ini di pihak managemen sekolah, yang kurang dewasa, tidak bijaksana, dan tidak membentuk suasana kerja yang baik, saya memutuskan untuk mengundurkan diri daripada disalahkan terus. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri terhadap saya.

[ Uang 40 Juta ]

Tentang uang pangkal Rp. 40 Juta adalah non refundable, dan seterusnya:
Ini adalah informasi yang salah total, orang tua tersebut belum pernah
membayar uang enrollment apalagi disuruh membayar uang pangkal lagi.
Kami maklum karena Gene Netto tidak teliti dan akurat sebagai penulis
karena dasarnya hanya pemberitahuan orang.

Dari Gene: Saya mohon maaf dengan sungguh-sungguh bila informasi itu keliru. Saya sudah menghapus bagian itu dari artikel saya. Saat menulis, saya anggap benar dan hanya sekedar menggunakannya sebagai salah satu contoh kepedulian tinggi sebuah sekolah terhadap uang.

Setiap kali saya berbicara dengan orang tua tentang sekolah anaknya (sekolah swasta manapun), mereka selalu laporkan bahwa di sekolah itu uang pangkal adalah non-refundable. Saya belum mendapat kabar dari orang tua tentang sebuah sekolah yang siap mengembalikan uang kepada orang tua dalam keadaan apapun (insya Allah ada, tetapi sekolah mana yang begitu baik?).

Kalau seandainya anak seseorang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil pada minggu pertama sekolah, apakah uang pangkal tetap non-refundable? Karena yang jelas, kursi anak itu tidak akan kosong sepanjang satu tahun. Dan anak baru yang masuk untuk isi kursi tersebut juga membayar sekian puluh juta rupiah untuk kursi yang sama. Jadi kalau memang begitu, pihak sekolah swasta manapun akan mendapatkan 2x uang pangkal untuk mengisi satu kursi. Ini salah satu hasil dari kebijakan non-refundable itu.

Saya sama sekali tidak paham kenapa segala hal yang bekatian dengan uang di sebagian besar sekolah swasta (yang pernah dilaporkan kepada saya) selalu menjadi non-refundable. Apa bedanya sebuah sekolah dengan tempat belanja yang lain? Apakah orang tua dipandang sebagi “orang tua”, dan partner dalam membangun kemampuan anak, atau apakah orang tua dipandang sebagai “customer” yang sudah “membeli” suatu pelayanan dan uang yang sudah masuk tabungan sekolah tidak pernah akan dikembalikan? Kenapa harus begitu? Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Lukisan Anak ]

• Tentang mural anak-anak yang diganti dengan lukisan besar.
Memang benar kami memajang lukisan sebesar 4m x 2m di lobby Gedung I yang dibuat oleh [seorang artis], yang dikenal sebagai ”art’s most playful child” di
Indonesia karena memang proporsional dan edukatif untuk murid-murid kami. Namun yang pasti anak-anak masih punya space yang cukup besar (luas sekolah ± 10.000m2) untuk memajang artworknya (lihat di sekolah kami) dibanding lukisan yang besarnya hanya 8 m2 tersebut. Jadi tidak benar anak [sekolah ini] seperti bertamu di sekolanya.

Dari Gene: Mohon dipahami bahwa saya tidak pernah menyatakan tidak ada lukisan anak di sekolah. Saat saya masih di sana, lukisan anak memang banyak: lukisan di atas kertas yang ditempelkan untuk sementara di tembok. Yang saya bicarakan, dan yang saya usulkan adalah “mural” atau lukisan besar yang langsung dibuat di atas tembok oleh anak2 yang bersifat permanen. Yang saya ingin jelaskan dengan contoh itu adalah sikap pemilik sekolah pada saat mural itu diusulkan: “Jangan, nanti tembok bisa rusak.” Keutuhan tembok menjadi lebih utama dari lukisan yang baik dan bermanfaat untuk anak. Saya mengira akan mendapatkan tanggapan seperti ini: “Oh, itu suatu usul yang baik. Mari kita membahas dengan yang lain untuk mencaritahu kalau itu yang terbaik untuk anak dan sekolah.” Malah saya mendapat tanggapan langsung bahwa tembok lebih utama.

Saya bukan seorang insinyur, tetapi saya masih bingung tentang bagaimana caranya sebuah tembok yang memang sudah dicet, bisa dibuat “rusak” kalau dicet lagi dengan warna yang berbeda dan gambar2 yang dibuat oleh anak-anak? Lukisan yang dibuat oleh seorang pelukis terkenal bukannya tidak boleh, dan saya tidak menyatakan tidak boleh, hanya saja saya tidak mengerti kenapa hal seperti itu diutamakan di atas lukisan yang dibuat oleh anak2 yang ada ikatan yang lebih kuat pada sekolah: anak2 yang masuk sekolah setiap hari, anak2 yang menjaga lingkungan sekolah, anak2 yang mewujudkan prestasi dan nama baik untuk sekolah, tetapi lukisan dari seorang profesional diberi keutamaan di sekolah, dan bukan kesenian dari anak2 sendiri.

Ini hanya sekedar menujukkan bahwa ada perbedaan di antara pikiran guru dan pikiran pengusaha. Guru inginkan yang terbaik untuk anak, dengan anak2 diberi wewenang untuk membantu membangun sekolah. Salah satu contoh adalah lukisan anak yang dibuat di tembok sekolah dan dilihat oleh para orang tua setiap hari. Kalau pengusaha barangkali lebih cendurung memikirkan sisi bisnis. Lukisan anak2 di tembok bisa merusak tembok (??) dan lukisan dari orang terkenal lebih bermanfaat. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Executive Principal Ganti 2x Dalam 2 Tahun ]


• Executive Principal ganti 2x dalam 2 tahun: kami tentu menyayangkan hal
ini terjadi di sekolah kami. Saat itu kami langsung mengevaluasi apakah
memang standardnya terlalu tinggi atau kualifikasinya yang kurang pas.
Hasil dari evaluasi tersebut, kami memutuskan untuk mengubah strategi
organisasi dengan meniadakan Executive principal. Sejak September 2004
sampai saat ini, keputusan tersebut telah berjalan dengan baik

Kualifikasi Masters Degree di bidang School Administration kurang pas? Hmm. Atau standar biasa semua sekolah negeri (dari manca negara) dianggap terlalu tinggi? Hmm. Apakah alasan menghapus posisi ini karena itulah yang terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak dan pengurusan sekolah? Atau yang terbaik meningkatkan kualitas tabungan sekolah? Executive Principal di sekolah swasta manapun, yang berasal dari negara asing, biasanya mendapat gaji puluhan juta rupiah (sering dibayar dengan dolar), fasilitas rumah dan mobil, dan berbagai macam benefit yang lain. Kalau posisi ini tidak ada, berarti sekolah bisa menghemat ratusan juta rupiah setiap tahun.

Dan barangkali, seorang Principal dari negara asing tidak akan takut untuk membela kepentingan anak2 dan para guru, di atas kepentingan si pengusaha (berarti akan bentrok terus!). Kalau kepala sekolah lokal dengan gaji yang jauh lebih rendah, dan keadaan ekonomi yang lemah dibandingkan dengan pemilik sekolah, barangkali akan lebih mudah dipaksakan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk anak, tapi baik untuk perkembangan bisnis. Jadi, apakah posisi ini dihapus untuk kepentingan anak2 atau untuk alasan yang lain?

Juga ada kemungkinan bahwa tidak ada seorangpun yang mau lamar untuk posisi itu karena semuanya sudah mendapatkan informasi tentang masalah managemen sekolah dari teman2 yang lain. Dengan demikian, barangkali akan lebih baik buat sekolah kalau mereka menyatakan posisi ini dihilangkan saja, daripada harus menjelaskan terus kepada orang tua tentang kenapa orang di posisi ini tidak bisa bertahan lama dan selalu mengundurkan diri. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Gene Tidak Mengerti Pendidikan ]

• [Gene] dinyatakan “tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah:
dengan acuan sederhana seperti yang telah disebutkan di atas antara lain
tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar,
warning letter, dll. dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang
bersangkutan memang tidak mengerti pendidikan dan menjadi pendidik yang baik. Selama 7 bulan bekerja di tempat kami, Gene Netto tidak memberikan output yang sesuai dengan perjanjian.

Dari Gene: Sekali lagi saya dinyatakan “tidak mengerti pendidikan”. Alhamdulillah. Mungkin itu disebabkan saya hanya kuliah pendidikan dan bukan bisnis, karena barangkali orang bisnis yang lebih mengerti pendidkan daripada guru. Kuliah 5 tahun, dan pengalaman di kelas selama 10 tahun berarti tidak menguasaikan bidang pendidikan. Tetapi malah orang yang bergelar bisnis yang mengerti. Baiklah. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

Coba berfikir begini. Kita naik pesawat dan pilot menyatakan akan melakukan emergency landing (mendarat darurat). Kita sebagai penumpang memikirkan keselamatan kita sendiri. Pengusaha yang menjadi Pemilik dari perusahaan penerbangan tersebut barangkali lebih memikirkan pesawat dulu: “Kalau pesawat saya rusak, bisnis saya rugi.” Lalu bagaimana kalau jauh hari sebelumnya ada seorang pilot yang mengritik keamanan pesawat tersebut? Dia menyatakan pesawat ini tidak layak terbang. Kemudian pilot dihujat oleh si pengusaha dengan komentar:

“Emang dia siapa? Dia tidak perform melaksanakan tugas, punya attitude problem yang besar, dapat warning letter, dll. Dalam pengertian yang luas kami berpendapat yang bersangkutan memang tidak mengerti ilmu penerbangan. Dia hanya seorang pilot yang bergelar sebagai pilot dan hanya ada berpengalaman terbang 10 tahun saja. Saya seorang pengusaha dan itu pasti membuktikan bahwa saya lebih mengerti ilmu penerbangan daripada dia! Pesawat ini layak untuk terbang. Silahkan naik semua!”

Lalu bagaimana kalau pesawat memang jatuh. Apakah berarti si pilot benar? Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi si pengusaha pasti akan menyuruh Public Relations Departmentnya membuat statement dengan buruh-buruh: “Kecelakaan ini disebabkan ‘human error’ dan bukan gangguan teknis.” Terserah kita yang menjadi penumpang untuk membuat penilaian sendiri. Apakah masih yakin pada perusahaan tersebut?

Saya terima semua komentar negatif ini tentang diri saya bukan dari seorang Kepala Sekolah yang menguasaikan ilmu pendidikan, tetapi dari: “Public Relation Department, Sekolah ### Indonesia”. Kok sekolah membutuhkan Public Relations Department juga? Sama dong dengan perusahaan penerbangan. Tugas utama orang Public Relations kira-kira apa? Menjaga hak dan kepentingan “customer” supaya selamat dan tidak dirugikan oleh perusahaan? Atau menjaga hak dan kepentingan “perusahaan” supaya tidak dirugikan oleh siapapun?

Kalau di bidang pendidikan memang tidak bisa hitam-putih begitu karena tidak ada “kecelakaan akedemis” yang terjadi secara mendadak pada suatu hari pada semua anak dan bisa menujukkan ada masalah. Orang tua harus menunggu bertahun2 untuk melihat “hasil” dari proses pendidikan. Kalau ternyata kurang baik, orang tua bisa berbuat apa? Apakah anak akan disuruh kembali ke Kelas 1 dan mengulangi semua pelajarannya lagi?

Siapa yang mau didengarkan di bidang pendidikan? Para Guru dan para Ahli Pendidikan atau pengusaha? Siapa yang mau didengarkan di bidang penerbangan? Pilot dan Insinyur Pesawat atau pengusaha? Orang tua dan para penumpang dipersilahkan membuat penilaian sendiri.

[ Ibu Dibujuk Keluarkan Anaknya ]

• Statement Gene Netto: “Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat berhati-hati menyekolahkan anaknya kesana”.
Dalam kenyataannya Gene Netto tidak hanya menyarankan tapi sudah
melaksanakan, terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat” kami menerima telepon dari orang tua murid bahwa mereka diprovokasi oleh yang
bersangkutan supaya keluar dari sekolah kami. Untuk kesekian kalinya
Gene Netto membuktikan attitudenya yang sangat tidak pantas ditiru oleh
siapapun, apalagi sebagai seorang yang mengaku sebagai pendidik.

Dari Gene: Saya memang telfon seorang ibu. Setelah saya memberikan tes bahasa inggris kepada anaknya, saya menjadi sadar bahwa dia memang seorang native speaker karena memang dibesarkan di luar negeri. Semua pertanyaan di tesnya dijawab dengan sempurna, berarti dia jauh lebih lancar dari semua guru di sekolah. Saya bicara dengan 3 teman yang juga ahli bahasa untuk mencaritahu apa yang terbaik untuk masa depan anak yang satu ini.

Setelah sudah yakin, saya telfon ibunya dan menjelaskan ada kemungkinan tingkat kelancaran anaknya akan menurun kalau tidak dijaga dengan sengaja. Kalau ibu tidak peduli bahwa bahasa Inggrisnya yang sudah fasih bisa hilang, maka tidak ada masalah. Tetapi kalau ibu juga inginkan supaya tingkat kelancaran ini tidak hilang, saya memberikan pilihan sebagai berikut:

  1. Anak bisa dipindahkan ke sekolah yang lain seperti Tiara Bangsa, Binus, Pelita Harapan atau Cita Buana, atau sekolah internasional seperti JIS, karena di sekolah itu lebih banyak native speaker. Anak ini justru harus bertemu dengan native speaker setiap hari kalau mau lestarikan bahasanya. Ada kemungkinan dia akan tetap lancar tanpa ketemu Native Speaker yang lain, tetapi cara yang lebih aman adalah sering ketemu. Saat itu di sekolah ini hanya ada dua orang native speaker (termasuk saya).
  2. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu harus mendapatkan guru les (native speaker) untuk datang ke rumah.
  3. Anak bisa tetap di sekolah ini dan bisa didaftarkan untuk kursus di TBI, ILP, British Council dsb. pada tingkat advanced. Hanya saja saya ragukan manfaatnya karena umur dia tidak akan sesuai dengan pelajaran. Pada umur 10 tahun, TOEFL pasti sangat membosankan. Dan kursus itu rata2 tidak ada kelas pada tingkat advanced untuk anak kecil, semuanya untuk dewasa: TOEFL, IELTS, FCE dsb.
  4. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu bisa memberikan suasana bahasa Inggris di rumah dengan banyak DVD, cable television, CD Rom, internet, buku dan sebagainya. Ibu juga bisa berusaha untuk menggunakan bahasa Inggris sebanyak mungkin di rumah.
  5. Anak bisa tetap di sekolah ini dan Ibu bisa memohon kepada pihak sekolah untuk menambahkan jumlah native speaker untuk membantu mengingkatkan kemampuan anak dia dan juga sekaligus semua anak yang lain.

Anak ini juga sanggup memberikan “conversation class” kepada para guru untuk meningkatkan kemampuan dan kelancaran mereka, yang berarti dia akan berfokus pada bahasanya kalau harus mengajar orang lain, tetapi saya lupa kalau itu diusulkan atau tidak.

Apakah semua ini berarti saya telah “membujuk” Ibu itu untuk mengeluarkan anaknya? Pada saat saya bicara dengan dia di telfon, saya ingat dengan betul bahwa dia mengucapkan terima kasih sekali kepada saya dan menyatakan sangat kagum dengan saya karena memberitahu dia tentang apa yang terbaik untuk anaknya, daripada hanya berpihak kepada bisnis sekolah.

Apakah besok hari dia telfon sekolah dan menyatakan bahwa saya “membujuk” dia untuk mengeluarkan anaknya? Saya sama sekali tidak tahu karena saya tidak mendengarkan percakapan tersebut. Seingat saya ada satu anak lagi yang juga lancar sekali, dan saya juga telfon ibu dia dengan nasihat yang sama. Berarti jumlah ibu yang ditelfon adalah dua.

Kalau ada orang yang ingin beragumentasi bahwa saya seorang “guru buruk” yang “membenci” sekolah ini, maka saya mohon penjelasan tentang kenapa saya tidak telfon setiap orang tua (ada 200an anak saat itu) dan “membujuk” mereka semua untuk mengeluarkan anaknya? Kenapa saya hanya bicara dengan dua Ibu kalau niat saya memang buruk?

Saya tidak mau berkomentar lagi. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Semua Anak Menang Untuk Team Building ]

• Saat hari olah raga, anak-anak tidak boleh kalah, semua harus menang dan mendapat piagam. Di [sekolah] ada event sports day yang kegiatannya adalah perlombaan berbagai permainan sport. Dalam kegiatan tsb. Kami lebih menitikberatkan kepada aspek sportivitas, partisipasi, dan team building, sehingga pada akhir lomba kami memberikan penghargaan kepada semua anak atas usaha dan kerja kerasnya dengan cara memberi sertifikat/piagam kepada semua peserta; sedangkan untuk pemenang diberikan medali. Jadi semua mendapatkan penghargaan, dan ini bisa disalahartikan sebagai „anak-anak tidak boleh kalah” bagi mereka yang tidak mengerti konsep tsb. Kami sayangkan bisa terjadi salah pengertian.

Dari Gene: Kalau salah satu tujuan hari tersebut adalah team building, apakah ada yang bisa menjelaskan kenapa hari itu penuh dengan lomba? (Kalau sportivitas, oke lomba boleh juga.). Bukannya lomba itu bersifat kompetisi karena kita bersaing dengan orang lain di dalam lomba tersebut? Kalau anak2 disuruh main bola basket untuk team building, maka hal itu hanya bisa berhasil kalau anak2 mau mengoper bola. Kalau ternyata kebanyakan anak egois dan setelah mendapat bola berusaha untuk mendapat basket sendiri, maka tujuan team building akan gagal.

Pada saat anak2 ikuti lomba lari, lalu disuruh ikuti lomba lari lagi atas perintah pemilik sekolah, apakah itu juga termasuk team building? Anak merasa tidak perlu, guru merasa tidak perlu, tetapi kemauan satu Ibu diutamakan diatas kemauan anak2 dan guru. Apakah itu termasuk team building? Apakah itu termasuk sportivitas? (“Kalian wajib menuruti kemauan saya! Saya pemilik sekolah!”) Guru tidak sanggup menolak perintah yang dia anggap tidak bermanfaat. Dia wajib menuruti kemauan orang tua yang akrab dengan pemilik sekolah. Apakah ini team building? Barangkali ini versi team building yang baru karena saya belum menemukan versi team building ini di dunia pendidikan di manca negara. Hanya ada versi team building tersebut di sekolah yang satu ini.

Saat Manager HRD dengan sengaja tidak telfon saya dan suruh saya masuk pada hari Senin dan Selasa yang diceritakan di atas sehingga saya mendapatkan surat peringatan, apakah itu juga termasuk sikap sportivitas dan team building? Kalau sekolah ini sangat peduli dengan sportivitas dan team building, maka seharusnya dicontohkan di dalam perbuatan mereka sendiri. Pada saat saya dimarahi untuk hampir satu jam oleh pemilik sekolah, apakah itu termasuk team building? Team building versi apa ini? Atau team building di sekolah ini diutamakan untuk anak-anak dan Ibu-Ibunya yang akrab dengan pemilik sekolah. Barangkali guru bukan bagian dari team sehingga tidak perlu mewujudkan sikap team building dengan para guru. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Mengundurkan Diri Atau Dipecat? ]

…yang bersangkutan mengajukan “pengunduran” diri pada bulan Agustus 2003…

….terbukti pada saat yang bersangkutan “dipecat”…

Ternyata orang yang berkuasa di sekolah ini juga tidak sanggup mengunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dia bagian atas email dari mereka, mereka sendiri menyatakan bahwa saya mengundurkan diri dan saya ada suratnya kalau ada yang ingin melihatnya. Setelah menyerahkan surat tersebut, saya tetap kerja selama 1 bulan, sesuai dengan kontrak saya. Lalu di bagian bawah dari emailnya, mereka menyatakan bahwa saya “dipecat”. Kok bisa begitu? Kok orang yang dipecat masih kerja untuk 1 bulan lagi? Aneh. Apakah ini menujukkan tingkat kemampuan pengurus sekolah di dalam bahasa Indonesia, sehinga hitam bisa menjadi putih dan putih bisa menjadi hitam? Kasihan anak yang mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah ini. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

[ Tes Untuk Anak ]

• Tentang tes Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu
Pengetahuan: Adalah benar adakalanya memang sekolah melakukan assessment khusus untuk memperoleh feedback tentang seberapa jauh efektivitas suatu pengajaran. Hasilnya pasti ada yang baik dan kurang baik. Justru atas dasar tersebut lalu sekolah melakukan analisa untuk peningkatan dan penyempurnaan program-programnya. Sama seperti statement sebelumnya, di sini yang bersangkutan hanya mendasarkan „katanya” dan tidak ada bukti karena yang bersangkutan sudah mengundurkan diri.

Dari Gene: Saya sendiri yang membuat tes bahasa Inggris, saya sendiri yang berikan dan saya sendiri yang memeriksa. Hasil saat itu: mayoritas dari anak di sekolah tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Saya tidak memegang tes itu sekarang jadi saya tidak ada bukti selain dari file dan document tes di komputer saya dengan tanggal pembuatan file itu yang memang sesuai dengan waktu saya bekerja di sekolah. Orang tua silahkan berfikir sendiri.

Untuk hasil tes Matematika, Ilmu Pengetahuan, dan Bahasa Indonesia, memang bukan saya yang membuat tes dan bukan saya yang memeriksa. Saya hanya ada perkataan dari orang yang membuat tes itu bahwa kebanyakan anak tidak lulus, padahal tes sengaja dibuat dengan tingkat mudah atas permintaan pihak sekolah. Kalau sekolah ingin mengatakan bahwa tes itu tidak pernah diberikan atau anak tidak gagal, maka saya tidak sanggup berkomentar lagi karena hanya ada perkataan orang yang saya kenal sebagai ahli pendikian yang juga memiliki kepedulian tinggi terhadap masa depan anak bangsa ini. Saya tidak akan bicarakan tes itu lagi karena tidak memegang bukti. Orang tua silahkan membuat penilaian sendiri.

Kesimpulan Komentar Saya Tentang Sekolah Ini

Sekian saja. Orang tua dipersilahkan membuat penilaian sendiri. Barangkali saya memang seorang guru yang buruk karena saya hanya bergelar pendidikan dan tidak pernah berfikir untuk mengikuti kuliah bisnis. Insya Allah pada masa depan saya akan sanggup menjadi seorang guru yang baik, yang sanggup mengerti bidang pendidikan, dan untuk mencapai tujuan itu barangkali saya harus mengabaikan kuliah saya selama 5 tahun, mengabaikan pengalaman saya di kelas selama 10 tahun, dan membuang semua buku saya tentang pendidikan (ada 80-100 kali, belum dihitung), dan membuang semua artikel dari internet yang ada di computer, dan saya harus menggantikan semua itu dengan buku-buku bisnis terbaik supaya saya bisa memahami ilmu pendidikan dan kemudian menjadi seorang guru yang dipandang baik.

Saya ingin berterima kasih kepada para orang tua atas perhatian dan waktunya untuk membaca tulisan saya. Supaya jelas, saya ingin menyatakan bahwa saya tetap tidak berniat memfitnah atau menjatuhkan sekolah mana pun. Ada beberapa sisi yang baik di sekolah ini tetapi saya dengan sengaja tidak membicarakannya. Orang tua bisa melihat sendiri bahwa lingkungan sekolah sangat aman dan kebersihan dijaga dengan sangat baik. Di sisi itu saya sangat salut terhadap sekolah ini. Tujuan saya membuat tulisan tentang sekolah swasta hanya karena saya merasa beban moral untuk menyadarkan para orang tua bahwa gedung yang mewah (di sekolah mana pun) tidak secara automatis identik dengan kualitas pendidkan yang tinggi. Orang tua tetap harus memantau apa yang terjadi di sekolah (dan untuk sekolah negeri pun juga perlu begitu) dan berusaha untuk memastikan bahwa ilmu dan kemampuan anaknya memang berkembang dengan baik dan sesuai dengan umurnya.

Mohon Orang Tua Tidak Bertanya Lagi Tentang Sekolah Swasta Yang Satu Ini

Saya sangat mohon kepada para orang tua untuk tidak menanyakan saya lagi tentang sekolah ini. Saya sudah membuang tujuh bulan dari nyawa saya di situ. Saya tidak ingin buang waktu saya lagi untuk membalas email terus-terusan, karena saya anggap hal itu tidak bermanfaat bagi saya. Kalau setelah ini masih ada orang tua yang kirim email untuk bertanya tentang sekolah ini, mohon maaf, saya tidak akan tanggapi. Kalau para orang tua ingin percaya kepada seorang pengusaha di sekolah mana pun untuk mendidik anak anda, silahkan saja. Saya tidak merasa dirugikan kalau ilmu saya dianggap tidak bermanfaat. Silahkan taruh anak di mana saja. Saya rasa pendapat saya mengenai sekolah ini sudah jelas. Kalau orang tua ingin percaya bahwa saya seorang guru yang buruk, yang tidak menguasaikan ilmu pendidikan hanya karena ada pernyataan seperti itu dari seorang pengusaha, silahkan saja. Saya anggap pembahasan tentang sekolah ini sudah selesai, dan saya tidak mau membicarakannya lagi.

Terima kasih atas waktunya membaca komentar saya.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

Jakarta,

3 March, 2007

24 February, 2007

Program gratis untuk blokir situs porno (Free Download)

Site Blocker

Free Download

Home: Ahlul on the Web

Ahlul Fadish Resha, seorang mahasiswa di UGM, Yogya, telah menciptakan sebuah program computer yang bisa memblokir sebagian besar situs porno.

Program ini mengunakan sistem database untuk memblokir situs yang sudah ketahuan sebagai situs porno. Kalau situs porno baru muncul, yang tidak ada di database, program tidak akan berhasil memblokirnya. Untuk mengatasi masalah ini, program harus di-update terus (sama halnya dengan program anti-virus).

Jakarta Post melakukan uji coba dan tidak berhasil masuk situs porno satupun. Selalu mendapat pesan "Mohon Maaf Situs Ini Tidak Bisa Diakses."

Ahlul menyatakan dia sengaja menyebarkan program ini secara cuma-cuma supaya menjadi bermanfaat bagi masyarakat. “Buat apa bikin hak paten kalau ada orang yang dengan mudah bisa membajaknya nanti. Saya lebih mau memberikannya secara cuma-cuma,” katanya.

Ahlul dengan program ini menjadi juara di sebuah kompetisi pemuda berprestasi yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga.


Indo Pos

Jakarta Post

23 February, 2007

Membantu Anak Hafalkan Ayat2 Di Sekolah




Pertanyaan dari seorang guru:

Assalamu’alaikum, Gus Gene. Ente punya ga trik2 yang memudahkan anak untuk menghafal surat-surat pendek dalam juz amma. Thanks

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Supaya anak mudah menghafalkan, harus ada alasan untuk menghafal. Mereka dapat apa kalau bisa menghafalkan? Harus ada yang memberikan mereka semangat karena dari pandangan anak, asal menghafalkan sesuatu di dalam sebuah bahasa asing bukanlah sesuatu yang bermanfaat atau utama bagi dia.

Keponakan saya dulu sering ikut “nyanyi” saat mendengar asmaul husna di kaset. Orang tua senang, tapi dia belum hafal. Suatu hari, dia minta dibelikan sepeda. Orang tua setuju, dengan syarat dia hafalkan asmaul husna dulu. Dua minggu kemudian dia sudah hafal 100% padahal sebelumnya hanya ikut nyanyi.

Guru memang harus mengajarkan, tapi semangat (motivasi intrinsik) muncul kalau anak ada tujuan yang jelas dan juga dinginkan oleh dia. Kalau anak tidak termotivasi sendiri, maka kita bisa berusaha untuk semangatkan dari luar (motivasi ekstrinsik). Coba diskusi dengan kepala sekolah. Misalnya, anak2 akan dibawa ke Taman Mini atau Ragunan kalau semuanya hafalkan surah2 tersebut. Kalau kepala sekolah setuju, diskusi dengan anak2: “Kalau anak berhasil menghafalkan surah2 ini (seluruh juz amma, misalnya) di dalam 6 bulan, ada hadiah: kita bisa ke Ragunan, atau Taman Mini atau Dufan. Anak2 mau yang mana? Kalian diskusi dulu dan pilih sendiri.”

Sekarang anak2 ada tujuan yang jelas. Mereka mau hafalkan supaya bisa ke Dufan (atau yang lain). Ajarkan anak2 bahwa semua harus hafal (padahal nanti kalau ada yang belum hafal, bisa diberikan kelonggaran. Tapi jangan kasihtahu ke anak2 dulu. Target memang hanya untuk mayoritas anak2 bukan 100% karena belum tentu semua anak sanggup secara langsung.)

Ajarkan ke anak2 yang pintar ngaji untuk membantu temannya mengingat. Dia bisa bantu “mengetes” temannya kapan saja di mana saja, karena setahu anak2, mereka semua mendapatkan hadiah hanya pada saat “semua” anak menghafalkan.

Bisa juga membuat sebuah poster di kelas dengan daftar nama anak dan daftar surah yang perlu dihafalkan. Setiap minggu, anak2 bisa diberi tes singkat untuk menentukan apakah dia sudah hafal. Kalau iya, kasih stiker bintang (atau yang serupa). Ini bisa dijadikan sebuah kompetisi berkelompok atau berpasangan di mana anak2 hanya mendapat stiker kalau semua anggota menghafalkan ayat (dan guru boleh memberi kelonggaran sedikit untuk seorang anak yang sulit menghafalkan).

Anak2 biasanya memberi tanggapan yang sangat positif bila ada kemajuan yang konkret yang kelihatan terus di dalam kelas. Seorang anak yang belum berhasil bisa diberi semangat khusus dan teman2 kelas bisa diajak untuk membagi waktunya untuk mengajar teman yang satu itu secara khusus. Dengan demikian, anak2 bantu mengajar dan tidak selalu guru yang harus mengajar. Tetapi perlu dipantau juga. Jangan sampai seorang anak yang ketinggalan sedikit dibuat merasa sebagai orang yang “gagal”, atau lebih buruk “menggagalkan penerimaan hadiah” buat teman sekelas. Guru harus tetap bijaksana dan memastikan bahwa semuanya berjalan dengan sikap yang positif.

Dengan cara seperti ini, anak2 insya Allah bisa menjadi semangat untuk menghafalkan karena mereka ada tujuan yang jelas2 menarik dan diinginkan oleh mereka. Kalau sekedar mengajarkan mereka bahwa “nanti orang tua akan bangga kalau hafal” tidak cukup. Harus ada yang lebih dari itu yang mendorong mereka. Kamu bisa diskusi dengan guru2 yang lain dulu untuk mencari “hadiah” apa yang paling tepat kalau tidak mau pakai kunjungan ke Dufan. Yang lain juga boleh. Tetapi memberikan beberapa pilihan dan biarkan anak2 menentukan sendiri hadiahnya, supaya mereka merasa “memiliki” hadiah itu. (Apakah pernah dapat kado ulang tahun yang tidak diinginkan? Beda rasanya dengan keadaan di mana saudara bertanya ‘mau dibelikan apa’ lalu dia belikan yang kita inginkan.)

Sistem dengan memberikan hadiah tidak boleh dipakai terus2an untuk segala sesuatu di sekolah, karena justru bisa merusak motivasi intrinsik bila digunakan dengan cara yang berlebihan: “tidak ada hadiah, tidak perlu berusaha!”

Tetapi untuk membantu anak2 menghafalkan ayat/teks di dalam sebuah bahasa asing yang tidak dipahami atau digunakan sehari2, maka saya anggap wajar2 saja dan tepat untuk menggunakan sistem hadiah.

Untuk sistem penghafalan sendiri, memang harus diulangi terus2an, tapi bisa dengan cara yang bervariasi. Misalnya, pertama, membaca bahasa Arabnya dan mengulangi sampai ada sebagian anak yang kurang lebih hafal. Dan juga baca terjemahannya. Lalu kamu bikin sendiri bahan yang ada terjemahan dengan kalimat yang diacak/tidak urut. Anak2 harus berlomba2 dalam kelompok untuk kembalikan dengan susunan yang benar. Contoh, Al Ikhlas:

  • dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
  • Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
  • Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
  • Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan

Kalau kamu sudah pintar cut dan paste dari situs di internet, maka hal yang persis sama bisa dilakukan dengan ayat2 dalam bahasa Arab. Misalnya, 4 ayat diacak dan anak2 harus memotong dan lem lagi di atas kertas baru dengan susunan yang tepat. Lalu mereka bisa menulis terjemahan disebelahnya. Hal seperti ini sebaiknya dikerjakan berdua atau di dalam kelompok pada awalnya supaya selalu ada teman yang membantu. Kalau anak2 sudah biasa dengan hal ini, maka boleh juga dikerjakan sendiri.

Juga bisa dibikin game. Setiap ayat dalam bahasa Indonesia dipotong (misalnya ada 12 ayat) dan disembunyikan di sekitar kelas. Anak2 harus mencarikan dulu, lalu menulis ayat di kertasnya sendiri, lalu menyusun supaya benar, lalu ingat dan mengucapkan bahasa Arabnya, dan kelompok yang paling cepat selesai menang. Kelompok dianggap selesai kalau dia sudah mencatat terjemahan yang benar dengan susunan yang benar, dan dia juga bisa mengucapkan bahasa Arabnya dengan benar tanpa membaca dari al Qur'an (boleh melihat sebentar untuk ingat tapi kemudian harus ditutup).

Kalau ada kelompok yang menyatakan diri selesai, lalu ternyata belum benar, game diteruskan lagi dengan guru mengucapakan: “Ayo, cepat, belum ada yang benar.” Dan seterusnya. Tetapi harus bijaksana juga. Kalau ternyata semua mengalami kesulitan, sampai makan waktu terlalu lama karena surahnya belum dihafalkan, maka suruh semuanya berhenti dan guru membantu untuk selesai. Kalau diteruskan tanpa akhir, anak2 hanya akan menjadi jenuh karena merasa tidak sanggup berhasil. Guru harus tahu (dari ekspresi muka dan bahasa tubuh anak2) kapan saatnya untuk memaksa terus, dan kapan sebaiknya berhenti.

Game yang lain: Ayat2 di dalam bahasa Arab dikopi dan dipotong supaya menjadi dua belah. Setiap anak dibagikan sebagian secara acak dengan jumlah potongan yang sama untuk setiap anak. Misalnya ada 12 ayat, maka menjadi 24 potongan dan setiap anak mendapatkan 24 potongan secara acak. Bisa jadi ada anak yang mendapat 5 ayat yang lengkap dan sisanya tidak lengkap. Semua anak harus berputar2 di dalam kelas untuk mencari teman yang ada potongan ayat yang dibutuhkan. Untuk itu, tentu saja dia harus ingat ayatnya secara keseluruhan atau minta tolong sama teman supaya tahu ayat yang lengkap.

Misalnya, saya pegang “Qulhu wallahu” dan saya harus mencari orang yang ada “ahad” dan saya harus minta potongan ayat itu darinya supaya ayat saya menjadi lengkap. Mungkin dia juga ingin minta potongan saya jadi kita harus bernego. [Sebuah variasi: anak2 kerja dalam kelompok (misalnya 4 anak) dan masing2 mendapat hanya 6 potongan (=24 ptongan total dalam kelompok, =12 ayat). Untuk mendapatkan semua ayat yang lengkap kita harus mencari ayat yang dibutukan sendiri dan yang dibutuhkan teman2 juga), lalu kita duduk dan menyusun semuanya sehingga menjadi 12 ayat yang lengkap.]

Kalau anak2 sudah mendapatkan potongan ayat yang dibutuhkan, mereka harus duduk dan susan dengan benar. Yang pertama selesai menang. Anak yang merasa sudah benar akan disuruh membaca bahasa Arabnya, dan guru akan langsung tahu kalau susunan itu benar. Kalau belum benar (masih diacak sedikit) diteruskan saja sampai ada yang mendapat semua ayat dengan susunan benar. Lalu ayat2 itu bisa dilem di kertas baru dan dihias/diwarnai oleh semua, dan juga bisa ditulis terjemahannya. Ilmu agama didapatkan dari bahasa yang dipahami bukan dari bahasa Arabnya, jadi sebanyak mungkin, mencari kesempatan untuk membaca, menulis dan menghafalkan terjemahan juga. Pada saat yang sama, guru bisa mainkan kaset dengan ayat2 tersebut supaya semua mendengarkan sambil kerja.

Game seperti ini bisa dibuat dengan variasi yang lain juga.

Sekian saja dulu. Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene



22 February, 2007

Perbandingan Kematian di RI dan AS



Assalamu'alaikum wr.wb.,

Beberapa waktu yang lalu, saya mengirim email kepada teman2 tentang kematian seorang ibu di AS disebabkan dia minum 5 botol air besar dan menahan kencing dalam sebuah kompetisi yang diadakan oleh sebuah stasiun radio di AS. (Ternyata mimum air dalam jumlah yang besar sekali dan menahan kencing sehingga air yang berlebihan tidak bisa keluar dari badan bisa menyebabkan kematian. Sel tubuh menjadi “bengkak” dan otak ikut menjadi tersumbat, sampai ada risiko bisa mati).

Setelah kematian ibu ini, para karyawan di stasiun radio tersebut dianggap bertanggung jawab, padahal mereka sama sekali tidak menyangka kompetisi ini bisa menyebabkan kematian.

Karena mereka mengadakan kompetisinya yang menyebabkan kematian, akhirnya 10 karyawan dipecat!!

Sebaliknya di Indonesia, sudah ratusan orang meninggal dunia dari berbagai macam musibah, dan anehnya, belum seorang pun yang dipecat.

Ada kapal yang tenggelam (ratusan jiwa wafat – belum ada yang dipecat), ada pesawat Adam Air yang jatuh (120an jiwa wafat – belum ada yang dipecat), ada kamatian dari flu burung (yang bertanggung jawab siapa ya?), dari tanah longsor, lumpur panas (pipa meledak, dan dari korban yang mengungsi mungkin ada yang wafat karena tidak mendapat obat/perawatan), bentrokan antara polisi dan tentara, anak muda dipukuli petugas, tabrakan di jalan tol saat Presiden lewat, dan berapa banyak kejadian yang lain bisa ditemukan kalau kita periksa berita di masa lalu.

Di Amerika, 1 orang wafat = 10 karyawan dipecat.

Di Indonesia ratusan orang wafat = cuek saja. Tidak ada yang perlu bertanggung jawab.

Aneh ya.

Negara mana yang penuh dengan orang Islam yang seharusnya sangat peduli dengan "keadilan"?????

Wassalamu'alaikum wr.wb.,

Gene

US water contest radio sacks 10

A California radio station has dismissed 10 of its employees after a woman who had taken part in a water-drinking contest it held died.

Read the rest of the article here:

Story from BBC NEWS:
http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/2/hi/americas/6270195.stm


Published: 2007/01/17 11:15:16 GMT

© BBC MMVII

$100 laptop project launches 2007



(See picture here)
http://news.bbc.co.uk/2/hi/technology/6224183.stm


The first batch of computers built for the One Laptop Per Child project could reach users by July this year.

The scheme is hoping to put low-cost computers into the hands of people in developing countries.

Ultimately the project's backers hope the machines could sell for as little as $100 (£55).

The first countries to sign up to buying the machine include Brazil, Argentina, Uruguay, Nigeria, Libya, Pakistan and Thailand.

The so-called XO machine is being pioneered by Nicholas Negroponte, who launched the project at the Massachusetts Institute of Technology's Media Lab in 2004.

Test machines are expected to reach children in February as the project builds towards a more formal launch.

Wireless networking

Mr Negroponte told the Associated Press news agency that three more African countries might sign on in the next two weeks.

The laptop is powered by a 366-megahertz processor from Advanced Micro Devices and has built-in wireless networking.

It has no hard disk drive and instead uses 512 MB of flash memory, and has two USB ports to which more storage could be attached.

"I have to laugh when people refer to XO as a weak or crippled machine and how kids should get a "real' one"," Mr Negroponte told AP.

"Trust me, I will give up my real one very soon and use only XO. It will be far better, in many new and important ways."

The computer runs on a cut-down version of the open source Linux operating system and has been designed to work differently to a Microsoft Windows or Apple machine from a usability perspective.

Instead of information being stored along the organising principle of folders and a desktop, users of the XO machine are encouraged to work on an electronic journal, a log of everything the user has done on the laptop.

The machine comes with a web browser, word processor and RSS reader, for accessing the web feeds that so many sites now offer.

"In fact, one of the saddest but most common conditions in elementary school computer labs (when they exist in the developing world), is the children are being trained to use Word, Excel and PowerPoint," Mr Negroponte said.

"I consider that criminal, because children should be making things, communicating, exploring, sharing, not running office automation tools."

The new user interface, known as Sugar, has been praised by some of the observers of the One Laptop Per Child project.

It doesn't feel like Linux. It doesn't feel like Windows. It doesn't feel like Apple," said Wayan Vota, who launched the OLPCNews.com blog and is also director of Geekcorps, an organisation that facilitates technology volunteers in developing countries.

"I'm just impressed they built a new (user interface) that is different and hopefully better than anything we have today," he said.

But he added: "Granted, I'm not a child. I don't know if it's going to be intuitive to children."

Trial versions of the operating system in development can be downloaded to be tested out by technically-minded computer users around the world.

Story from BBC NEWS:
http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/2/hi/technology/6224183.stm

Published: 2007/01/02 08:41:10 GMT

© BBC MMVII

US Data Show One in Eight Americans in Poverty



Hundreds of billions of dollars have been spent on Bush's wars. So, logically you would expect that America is a rich country. The government may have lots of money available, but what about the people?

US Data Show One in Eight Americans in Poverty
By Joanne Morrison
Reuters

Tuesday 29 August 2006

Washington - In the world's biggest economy one in eight Americans and almost one in four blacks lived in poverty last year, the US Census Bureau said on Tuesday, releasing a figure virtually unchanged from 2004.

The survey also showed 15.9 percent of the population, or 46.6 million, had no health insurance, up from 15.6 percent in 2004 and the fifth increase in a row.

It was the first year since President George W. Bush took office in 2001 that the poverty rate did not increase. As in past years, the figures showed poverty especially concentrated among blacks and Hispanics.

In all, some 37 million Americans lived below the poverty line, defined as having an annual income below around $10,000 for an individual or $20,000 for a family of four.

The last decline in poverty was in 2000, the final year of Bill Clinton's presidency, when it fell to 11.3 percent.

"It shows that we are spending more money than ever on anti-poverty programs and we haven't done anything to reduce poverty," said Michael Tanner of CATO Institute, a free market think tank in Washington.

Around a quarter of blacks and 21.8 percent of Hispanics were living in poverty. Among whites, the rate edged down to 8.3 percent from 8.7 percent in 2004.

"Among African Americas the problem correlates primarily to the inner-city and single mothers," said Tanner, adding that blacks also suffer disproportionately from poor education and lower quality jobs.

Black median income, at $30,858, was only 61 percent of the median for whites.

Some 17.6 percent of children under 18 and one in five of those under 6 were in poverty, higher than for any other age group.

Real median household income rose by 1.1 percent between to $46,326 from $45,817 - its first increase since 1999.

The figures contained wide regional variations, ranging from a median household income of $61,672 in New Jersey to $32,938 for Mississippi.

Major cities with the highest proportions of poor people included Cleveland with 32.4 percent and Detroit with 31.4 percent under the poverty line.

http://www.truthout.org/docs_2006/082906T.shtml

Tidur Siang Baik Untuk Jantung


Tidur siang yang singkat (hanya 30 minit x 3 hari dalam satu minggu) dibuktikan bisa mengurangi risiko kematian dari gangguan jantung sebesar 37%!!

Sebuah studi yang dilakukan di Yunani meneleti 23.681 pria dan wanita di antara umur 20 - 86 tahun. Hasilnya, orang yang tidur siang dengan frequensi dan durasi apapun menghasilkan penurunan risiko gangguan jantung yang bisa menyebabkan kematian sebesar 34% dibandingkan dengan orang yang tidak tidur siang.

Di antara para pria yang bekerja dan juga tidur siang, ada penurunan risiko sebesar 64% dibandingkan dengan 36% untuk pria yang tidak bekerja.

Tingkat kematian di kalangan wanita tidak cukup tinggi bagi para peneliti untuk melakukan perbandingan dengan tepat.

Para peneliti menduga bahwa tidur siang bisa menurunkan tingkat stress, dan itulah sebab ada hasil yang lebih menonjol di kalangan pria yang bekerja.

Ketua tim peneliti, Dr Dimitrios Trichopoulos, dari Harvard School of Public Health menyatakan “Di negara-negara yang mempunyai tingkat kematian yang rendah yang disebabkan gangguan jantung, tidur siang adalah kebiasaan yang umum.”

Kesimpulan: kalau anda sudah makan siang di kantor, silahkan mencari tempat untuk bobo siang seperti anak anda di rumah. Kalau bos mengeluh, cukup menjawab “Saya lagi sibuk menjaga kualitas dan kemampuan SDM di kantor!”

Kalau serangan jantung, tidak bisa kerja kan??

Hehehehehe…



Afternoon nap is good for heart

Taking 40 winks in the middle of the day may reduce the risk of death from heart disease, particularly in young healthy men, say researchers.

A six-year Greek study found that those who took a 30-minute siesta at least three times a week had a 37% lower risk of heart-related death.

The researchers took into account ill health, age, and whether people were physically active.

Experts said napping might help people to relax, reducing their stress levels.

It is known that countries where siestas are common tend to have lower levels of heart disease, but studies have shown mixed results.

The researchers in the Greek study looked at 23,681 men and women aged between 20 and 86. The subjects did not have a history of heart disease or any other severe condition.


This study has four advantages - it's large, prospective, limited to healthy people and we have been very careful to control for physical activity
Dr Dimitrios Trichopoulos
Harvard School of Public Health

Participants were also asked if they took midday naps and how often, and were asked about dietary habits and physical activity.

The researchers found those who took naps of any frequency and duration had a 34% lower risk of dying from heart disease than those who did not take midday naps.

Those who took naps of more than 30 minutes three or more times a week had a 37% lower risk.

Working men

Among working men who took midday naps, there was a 64% reduced risk of death compared with a 36% reduced risk among non-working men.

There were not enough female deaths to compare figures.

The researchers said taking a siesta may reduce stress, hence the more notable finding in working men.

Lead researcher Dr Dimitrios Trichopoulos, from the Harvard School of Public Health, said: "In countries where mortality from coronary diseases is low, siesta is quite prevalent.

"There have been other studies but with equivocal results.

"This study has four advantages - it's large, prospective, limited to healthy people and we have been very careful to control for physical activity.

"The thing we can say is that it's worth studying further."

He added that if backed by other trials, taking a siesta would be an interesting way of reducing heart disease as it had no side effects.

The only important factor was that people should not reduce the amount of physical activity they did in the rest of the day.

June Davison, cardiac nurse at the British Heart Foundation, said: "These interesting findings identify that having a siesta is associated with a reduced risk of dying from a heart problem, particularly in working men.

"Having a nap in the middle of the day may help people to unwind and relax - which is important for our overall health.

"However it is important to get a balance between rest and activity, as being regularly active can help reduce the risk of coronary heart disease."

She added that people who felt stressed might be more tempted to have less healthy behaviour, such as smoking, eating a poor diet, drinking too much alcohol and not getting enough exercise. This would add to their risk of suffering a heart-related death.

Story from BBC NEWS:
http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/2/hi/health/6354855.stm


Published: 2007/02/13 00:12:28 GMT

© BBC MMVII

21 February, 2007

Balasan Komentar Milis SD-Islam



Assalamu’alaikum wr.wb.,

Saya dikirim link ke milis ini:

sd-Islam. Bersama memperbaiki pendidikan:

http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/

dari salah satu anggota. Dia ajak saya bergabung.

Saya sudah membaca semua komentar tentang artikel saya yang ada di milis ini. Saya mau membalas sebagian besar, kalau boleh. Sebelumnya, saya mau informasikan bahwa saya sudah terima lebih dari 160 email dari orang tua, sampai ada juga dari manca negara.

Perlu diketahui bahwa hampir semuanya minta informasi tentang sekolah2 SD dan juga TK. Semua email yang telah saya terima itu bersikap positif (sampai saat ini, alhamdulillah) dan sepertinya para orang tua di DKI bingung sekali dan juga takut dengan proses mencari sekolah untuk anaknya.

Semuanya sepakat bahwa sekolah swasta sekarang bersifat bisnis, dan kualitas tidak bisa dijamin, atau mungkin lebih tepat mengatakan tidak sesuai dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Banyak yang menyatakan mendapat pengalaman yang serupa dengan apa yang saya ceritakan mengenai kurikulum, kualitas guru dan managemen sekolah. Ada yang menyatakan anaknya ditolak masuk SD karena tidak bisa membaca (dan tentu saja hal itu membuat orang tuanya stress!). Ada yang menyatakan bahwa mereka takut sekali kalau salah memilih sekolah, tetapi semuanya ingin mendapatkan sekolah dengan kualitas pendidikan yang sebaik mungkin (dengan harga terjangkau) untuk buah hatinya.

Oleh karena itu, saya menjadi semangat untuk meneruskan perjuangan ini, padahal di awalnya saya hanya berniat membuat sebuah artikel saja karena sudah bosan mengulangi cerita2 tersebut setiap kali ceramah.

Misalnya, ada orang tua menyatakan kepada saya setelah ceramah “Pak, saya kecewa dengan Sekolah X, jadi saya mau pindahkan anak ke Bina Nusantara (Binus). Binus bagus kan, Pak? Ada bulenya!” dan seterusnya. Mereka mengharapkan masukkan dari saya karena saya ada kualifikasi sebagai guru.

Saya mesti bagaimana? Berbohong? Jujur? Basa-basi, sehingga mereka tidak jadi tahu apa2? Bagaimana? Saya memutuskan untuk selalu jujur. Kalau saya tahu sesuatu, saya sampaikan. Kalau tidak tahu, saya menyatakan begitu. Orang tua SELALU menjadi kaget pada saat saya ceritakan “informasi dalam” itu.

Begitu saja dulu. Kalau ada banyak yang inginkan saya bergabung di sini, saya akan berusaha untuk membantu dengan sebaik mungkin. Sekarang, balasan komentarnya:

sayang juga ada sosok spt si bule mr gene ini tapi tampaknya tidak banyak yang mau mendapatakan keuntungan dari ilmu yang dia miliki, terutama sekolah2 islam di jabodetabek.

Saya siap dibayar, tapi tidak ada yang menawarkan. Hehehehe…

semoga sumbang saran gene bisa lebih didengar dan dipahami lalu bisa diterapkan.

Saya sedang berusaha untuk membantu jaringan SDIT untuk meningkatkan kualitas dari seluruhnya. Jaringan itu sudah 1200 SD se-Indonesia.

mungkin gene juga bisa lebih bermanfaat sekiranya dia jadi relawan pengembangan pendidikan dasar islam di aceh pasca tsunami ya, kan pasti lebih enak dan nyaman memulai dari 'nol' ...

Tidak. Sudah banyak LSM yang ke sana, dan kemunkginan besar, masa depan bangsa akan ditentukan di sini (DKI). Lulusan sekolah di DKI menjadi prioritas karena kemungkinan besar anak inilah yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Masalah di daerah bisa menyusul nanti kalau sudah ada langkah konkret di sini dulu. Kita terpaksa menentukan prioritas untuk jangka pendek.

Sy jadi penasaran, menurut bapak2 si Gene menyekolahkan anaknya dimana ya? Just curious.

Saya belum menikah, dan belum punya anak. Anak teman (yang dihitung keponakan) sekolah di Al Azhar Ps Minggu. Apa yang terjadi di sekolah dipantau oleh saya terus2an. Ketika Ibunya menjadi stress, saya tenangkan dengan menjelaskan bahwa komentar gurunya kurang tepat, dst. Ketika anak mendapat skil baru (mis. menghitung, di TK) saya pantau untuk memastikan dia diajar dengan benar, dan saya tambahkan dengan trik baru yang tidak didapat di sekolah.

Dan biasanya calon ortu seperti Gene ini dihindari supaya gak daftar....bener ini!! Artinya ada ortu yg memandang anaknya sangat 'perfect' dan mereka juga menuntut sekolah menjadi lingkungan yg 'perfect' juga sesuai standar versi mereka.

Saya paham yang dimaksudkan dengan ini karena pernah berhadapan dengan ortu seperti itu. Saya tidak bemaksud menjadi begitu. Mereka itu tidak pernah akan puas dengan usaha apapun dari pihak sekolah. Sayangnya, ortu itu seringkali kurang kerjaan, jadi mereka mau “mengurus” sekolah sendiri.

Saya ingin bertanya: kalau WC kotor, apa kita harus mensyukuri adanya WC di sekolah, atau bertanya kenapa tidak dibersihkan sehingga higenis? Kalau anak pipis di lantai WC, karena WC terlalu bau sehingga mereka tidak tahan masuk, apakah wajar kalau kita “bersikap positif” dan mensyukuri WCnya? Atau wajarlah kalau kita menjadi marah dan menuntut WC dibersihkan?

Bisa paham kan?

Isi dari artikel saya bertujuan untuk menginformasikan orang tua dengan maksud bertanya “kenapa tidak ditindak/diperbaiki” padahal tidak sulit?

sekedar info, gene ini masih bergelar BA alias bujang 'abadi' krn hingga kini masih single ... mungkin masih terus menimang-nimang mana sekian banyak proposal yang sesuai kriteria dia ... saya kenal dia tidak akrab tapi tahu dia sejak akhir 90an di awal dia masuk islam. semoga dia bukan NATO ya ... amin.

Waduh!... (Saya masuk Islam tahun 1996)

Si Gene ini tipikal bule yang punya wawasan dan pengetahuan yang luas
tentang pendidikan dengan standar internasional. Tentu saja karena ia
hidup dan mengalami sendiri standar pendidikan yang tinggi tersebut.

Betul. Tidak boleh ada orang kerja di sekolah2 saya di luar negeri kalau tidak bergelar di bidang pendikikan. Di sini beda.

Saya rasa ia jujur dengan apa yang dikatakannya

Insya Allah.

Tentu saja akan banyak orang yang 'berang' dengan pernyataannya ini karena
mungkin kita menganggap diri kita sudha bekerja cukup keras untuk
mencapai standari yang ada sekarang ini

Saya sangat bisa menghargai usaha dari guru/pihak sekolah…. Selama mereka berusaha!! Menerima uang dan menyatakan dengan enteng “Kita bilingual, ada bule di sini lho” setara dengan perusahaan penerbangan murah (budget airlines) yang menerima uang dan menyatakan dengan enteng “Pesawat kita ada dua sayap lho, berarti pasti sampai ke tujuan dengan selamat!”

Emang begitu gampang menentukan keberhasilan atau keselamatan?

dan ternyata dengan ringannya
si Gene ini bilang bahwa sekolah yang kita banggakan tersebut belum
masuk 'standar', standarnya Gene yang internasional tersebut tentunya.

Menyatakan hal2 ini terasa sangat berat di hati saya. Saya paling tidak tahan kalau ada yayasan sekolah yang minta saya lakukan evaluasi sekolah, dan sesudahnya seluruh rekomendasi saya diabaikan (“Mohon WC dibersihkan secara rutin karena baunya tercium dair jarak 10m”). Dan inilah sebuah sekolah Islam! Dengan poster di tembok:

“Kebersihan adalah sebagian bagi keimanan…[dan saya ingin tuliskan: untuk orang Kristen saja karena orang Islam tidak sanggup!]”

Tapi saya salut dengan si Gene ini karena ia punya keperdulian yang
tinggi pada standar pendidikan Indonesaia (dan sekolah Islam) dan mau
ambil resiko berhadapan dengan para pelaku pendidikan di Indonesia yang
kebanyakan memang tidak paham dan juga kepala batu. :-)

Terima kasih. Saya terpaksa peduli karena Allah telah memberikan saya ilmu ini. Kalau saya seorang dokter, saya akan komplain tentang rumah sakit barangkali.

Saya berharap akan semakin banyak orang seperti Gene yang tulus mau
memperbaiki kondisi pendidikan (sekolah Islam) dengan kritik-kritiknya.
Ini memang menyentakkan kita yang sudah terlanjur menganggap diri sudah
memiliki standar yang tinggi. :-P

Saya siap di-kloning saja. Biar ada banyak Gene di Indonesia. Hehe. Bercanda.

ada teman kami, mutual friend saya dan Gene, yang jauh lebih 'sadis' … tapi beliau bisa lebih 'fair' (spt diharapakan mas Riza) karena juga memberikan masukan/solusi untuk masalah yang dihadapi,

Apa solusinya??? Jangan dirahasiakan dong. Karena saya sama sekali tidak tahu solusinya selain membangun jaringan sekolah baru (money dari mane?) atau SD Negeri harus ditingkatkan kualitasnya sehingga hanya orang kaya banget yang anaknya sekolah di swasta (di Australia/ NZ memang begitu: hampir semua orang ke SD negeri dan hanya anak dari orang yang paling kaya yang masuk sekolah swasta!).

Selama kita tidak boleh menculik dan menyiksa anggota setiap yayasan sehingga mereka mulai peduli dengan pendidikan yang bermutu, yaa… gimana dong? Tidak bisa kita paksakan mereka memperbaiki diri karena mereka tidak peduli. Tanpa peduli, profit meningkat terus. Dan ada waiting list untuk masuk. Jadi, bagaimana caranya membuat mereka peduli kalau mereka tidak bisa dibujuk untuk peduli???

Please tell me the solution!!!!

ya, semoga Gene tulus ketika mencoba menanggapi gambaran yang ia alami itu, dan bisa lebih action-oriented

HOW? Apakah saya boleh memukul anggota yayasan yang minta saran dari saya dan sesudahnya tidak peduli untuk berubah? Gimana dengan yayasan yang TIDAK minta saran? Lebih sulit lagi. Action oriented maunya apa sih?? Ampun deh!!!

Kalau saya punya anak, saya akan lebih pusing dari orang tua yang tidak punya ilmu saya. Orang tua biasa merasa puas dengan sekolah X, karena dia tidak bisa melihatnya dengan mata saya. Kalau saya lihat “bule” dan setelah bertanya2, saya akan tahu dalam waktu 3 minit kalau dia bergelar pendidikan atau tidak. Orang tua biasa bisa ditipu. Berarti kalau saya punya anak, saya sudah siap putus asa!! (padahal nggak boleh ya.)

Saya justru bisa 'menikmati' kritikan Gene itu karena selama ini tak
ada saya baca kritik semacam ini.

Justru itu tujuan saya.

Fenomena 'sekolah bilingual' yang
ngawur itu memang sudah pada tahap mencemaskan

Karena Diknas tidak peduli. Ada undang2 bahwa bule yang mau kerja di sini harus ada gelar minimal S1. Saya sudah beberapa kali menemukan “guru” yang hanya lulus SMA. Bahkan ada yang mantan “kuli bangunan” dari Australia.

Diknas tanggung jawab bersama dengan sekolah atau kursus bahasa. Tetapi kalau Diknas tegas, bule yang ada sekarang akan hilang/tidak boleh kerja. Terus, orang tua komplain “kok tidak ada native di sini?” Terus, supaya bisnis sekolah tidak rugi, harus mencari bule dari luar negeri. Mereka harus dibiayai untuk datang ke sini. Lalu, biaya pendaftaran di sekolah meningkat drastis karena bule itu mahal selangit. Lalu, orang tua komplain lagi (nggak pernah puas ya!!).

Tetapi, apakah guru bule yang siap datang ke negara “teroris” ini (dari pandangan dia) termasuk guru paling baik se-Australia? Kalau dia termasuk yang terbaik, bukannya tawaran dia sana juga banyak?

Atau dia asal guru, yang tidak ada ikatan (single/cerai), atau dikeluarkan dari sekolah sana karena dia bermasalah (tapi gelar masih ada), atau dia pengen jalan2 karena dia seorang “hippy”, atau dia orang homo yang suka laki2 berkulit coklat (di sini banyak lho), atau dia seorang pedofil dan dia tahu anak2 mudah didapat di sini, atau tawaran gaji begitu gede dia harus terima supaya bisa beli rumah setelah pulang dari Indonesia, dan seterusnya.

Semua itu belum dipikirkan orang tua juga!!!

(supaya maskud saya jelas: dia Indonesia saya pernah bertemu dengan “guru” asing yang homo yang terang2an homo = memberitahu muridnya, pedofil yang akhirnya ditangkap polisi, orang kecanduan narkoba yang juga ditangkap, orang yang hanya mengejar gaji tinggi dan dia tidak begitu peduli pada anak, guru yang senang mengajak murid2 SMPnya yang perempuan ke rumahnya untuk “pesta”, tapi yang laki2 tidak diajak, dan sebagainya. Tetapi sebgaian besar dari mereka itu memang di kursus bahasa Inggris dan bukan di sekolah swasta. Apakah itu lebih baik bahwa kebanyakan dari mereka yang ngawur itu ada di kursus bahasa Inggris? Apakah anak di sekolah swasta tidak pernah ikut kursus bahasa?)

dan sebetulnya sudah
masuk dalam kategori pembodohan dan penipuan 'konsumen'.

“Selamat datang di dunia pendidikan swasta Indonesia

Sayangnya para
orang tua juga tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana sebuah
sekolah yang baik itu sebenarnya dan apa standar-standar yang harus
dimiliki oleh sebuah sekolah dan tidak asal klaim saja.

BETUL!!!

Sekarang ini
para orang tua memang tidak mau tahu seperti apa proses yang terajdi di
sekolah dan hanya melihat dari 'kemasan' sekolah tersebut.

Hanya sebagian orang tua kaya yang begitu. Dari pengalaman saya, justru banyak sekali orang tua sangat peduli. Keasalahan mereka hanya dua:

1. Berasumsi bahwa bangunan mewah = kepedulian dan komitmen yang tinggi. 2. Percaya kepada pemilik sekolah/orang marketingnya yang sudah pintar meyakinkan orang tua/”konsumen”.

Kalau
dilihatnya bahwa di sekolah tersebut ada orang bulenya maka mereka
menganggap bahwa pengajaran bahasa Inggris di sekolah tersebut pastilah
terjamin kualitasnya.

Betul. Kita semua bisa ditipu begitu. Nanti, kalau sempat ke rumah sakit, mencari orang yang pakai jas putih. Berfikir: apakah dia pasti seorang dokter? Pasti? Yakin? Kalau yakin, beli jas putih sendiri dan berdiri di dalam RS. Tunggu saja. Dalam waktu kurang dari 1 jam, saya yakin ada yang mendekati dan menyatakan “Pak Dokter….!”

Nah! si Gene ini kemudian menunjukkan bahwa
ternyata banyak bule yang dihire oleh sekolah-sekolah tersebut
sebenarnya tidak memiliki kualifikasi untuk mengajar, baik bahasa
Inggris maupun bidang studi apapun.

Betul!

Kalau saya yang ngomong begini
bisa-bisa saya dianggap sok pinter. :-) Tapi kalau yang ngomong Gene
kita baru mau percaya. hehehe...

Insya Allah sya bisa dipercayai para orang tua. Tetapi para guru Indonesia harus mulai berani bicara juga. Mereka seringkali yang bocorkan informasi kepada saya. Tetapi mereka sangat takut memberitahu sesuatu langsung kepada orang tua karena takut dipecat kalau ketahuan! Saya tidak takut dipecat. Alhamdulillah, saya selalu mendapat tawaran yang lain dari sekolah/kantor yang lain (karena bule kali ya). Tetapi saya tidak berfikir begitu. Saya selalu merasa yakin bahwa Allah akan memberikan saya kesempatan di lain tempat untuk bekerja dengan keadaan yang lebih baik daripada yang hilang. Saya sangat yakin. Sepertinya, banyak orang lain kurang yakin.

hidup Gene ... !

hehehe ...

Hidup para guru Indonesia yang bekerja dengan baik dan diabaikan oleh pihak yayasan karena selalu inginkan profit yang tinggi di atas kesejahteraan para guru! Hidup pada guru Indonesia yang berusaha dengan sebaik mungkin untuk mendidik Khalifa Allah yang kecil.

tadinya saya berharap pak gene mau ngasih analisis mengenai sekolah yang seimbang.

Mau berapa puluh halaman?

melihat pendidikan dari kacamata sistematika pendidikan bukan yang anekdotal

Kalau itu, sudah ratusan halaman. Anekdot bisa langsung diterima karena bersifat pengalaman pribadi. Anekdot itu hanya untuk memberi sebuah syarat bahwa ada yang ganjil di dalam sekolah. Dan itu sudah cukup untuk membuat orang sadar bahwa ada masalah.

tetapi setelah dibaca baca, lha koq cuma yang sumbang doang yang diliat dan dilaporkan..

Kalau melaporkan bahwa lampu terang, rumput telah dipotong, buku di perpustakaan tidak kena kutu buku, atap tidak ambruk, kantin ada bakso yang enak, dsb. apa manfaatnya? Yang perlu dilaporkan adalah informasi di artikel yang saya buat kemarin supaya mengagetkan para orang tua, karena mereka seringkali melaporkan kepada saya bahwa sekolah anaknya baik karena gedungnya bagus dan ada bule. Rata2 orang tua sudah bisa melihat sisi baik tanpa perlu dikasihtahu.

Kalau saya ke Dokter, saya mau diberitahu tentang kenapa saya batuk selama 2 minggu, dan tidak perlu dikasihtahu bahwa kaki saya oke-oke saja. Saya sudah tahu. Itu sudah jelas. Kalau semua yang oke-oke saja juga disebut satu per satu oleh Pak Dokter, kunjungan saya menjadi 3 jam lamanya.

Dan kalau saya begitu pada saat membahas 10 sekolah, akan menjadi 300 halaman!

Kalau saya membuat laporan resmi atas permintaan yayasan, maka memang seperti itu: pro dan kontra. Kemarin, niat saya membuat artikel tidak seperti itu.

kalo mau fair, mbok ya baik dan buruk itu sama ditimbang, dan berikan analisis secara holistik, tidak komen sana komin sini.

Harap maklum.

kalo sekedar nyari kejelekkan dari sekolah,

I bet I can guarantee, sekolah manapun di dunia bisa kita kasih komentar jelek.

mau yang di New zealand, di Amrik , di Inggris atawa di Singapore sekalipun.

No Body perfects

Hmmm. Nggak juga. Yang seringkali saya melihat di sini (mis.WC yang kotor) tidak akan diterima orang tua di Australia. Kalau berlanjut terus, kepala sekolah bakalan dicopot dan diganti dari Diknas.

Kalau sampai membahayakan anak (kawat tajam di pagar) dan ada anak kena cidera berat seperti menjadi buta, baik kepala sekolah, guru yang seharusnya menjaga, tukang kebun, Dirjen Pendidikan dan seterusnya akan dituntut secara hukum. Mungkin karena mereka takut kalah di pengadilan mereka pakai jalan "damai" ( = settlement out of court) dan orang tua bisa mendapat ratusan ribu sampai jutaan dolar dari Diknas. Setelah itu, kalau dianggap telah terjadi kelalaian pihak sekolah (kenapa kawat tidak dipotong, terutama karena sudah dilaporkan sekian kali?), kepala sekolah akan ditahan polisi dan disidang karena kelalaian kepala sekolah menyebabkan cidera berat. Kalau divonis bersalah, dia pasti dipecat dan dilarang kerja lagi di sekolah seumur hidup dan ada kemungkinan masuk penjara (kalau menyebabkan kematian).

Apakah kepedulian yang begitu tinggi begitu bisa dikatakan “jelek”?

Ada sebuah kasus nyata dari beberapa tahun yang lalu di Australia: seorang anak SD ngambek, ditarik keluar dari kelas, dia membalas dengan menendang si guru di dada, dan guru langsung kena serangan jantung dan wafat (karena memang lemah jantung).

Hasilnya: orang tua ancam akan menuntut sekolah!!! Kok bisa, padahal si guru yang mati!! Sekolah ditanya kenapa anak ditarik keluar dari kelas dengan cara yang begitu kasar sampai dia membalas/membela diri? Guru disalahkan karena terlalu keras dan tidak bijaksana. (Seharusnya pakai psikologi untuk membuat anak tenang dulu, lalu ajak dia keluar dengan berjalan sendiri).

Jelek? Not really.

Terakhir saya ada di sekolah negeri di Australia, lingkungan aman, bersih, tidak ada bayaha sedikitpun, perpustakaan luas, penuh buku, setiap kelas dirawat terus, guru sering tidak pulang sampai larut sore karena kerja ekstra keras siapkan bahan2 untuk anak2 (tanpa disuruh), pihak administrasi selalu mendukung para guru dalam seluruh kegiatannya, orang tua dipersilahkan datang ke sekolah kapan saja dan bertanya2, dan seterusnya.

Jelek? Saya kira, tidak. Hanya saja terlalu banyak sekolah negeri dan swasta di sini begitu jauh di bawah standar ini sehingga kelihatan perbedaan yang begitu besar.

Kita bisa mengubah keadaan ini, kalau ada niat, baik dari Diknas, dari yayasan dan dari orang tua. Itulah yang paling sulit: mengubah persepsi orang bahwa “sekolah memang harus seperti ini di Indonesia dan sulit diperbaiki”.

Sayang!

Sekian saja.

Semoga bermanfaat.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene



18 February, 2007

Koreksi Tentang Sekolah Alam



Assalamu’alaikum wr.wb.,

Di dalam artikel yang saya tulis tentang pendidikan di sekolah swasta, ternyata saya salah menyebut nama sebuah sekolah.

Yang saya sebut sebagai Sekolah Alam yang ada jurang di belakang sekolah, ternyata nama tempat itu bukan Sekolah Alam di Jl. Anda 7X. Maaf bila ada yang menjadi bingung/kuatir karena kesalahan tersebut. Saya sudah membuat perbaikan di artikel saya yang disimpan di blog.

Kedua sekolah tersebut memang terletak di Cianjur. Karena salah satu orang tua mendapat artikel saya dan menyadari kesalahan tersebut, dia mengirim email kepada saya atas nama pengurus sekolah dan mengundang saya untuk mengunjungi Sekolah Alam (yang berbeda dengan sekolah yang saya bicarakan). Insya Allah saya akan bisa melakukan kunjungan nanti untuk menambahkan wawasan saya tentang sekolah ini.

Saya mengunjugi website dari masing-masing sekolah. Secara ringkas, yang saya lihat di website Sekolah Alam jauh lebih lengkap tentang cara kerja sekolah dan penjelasan yang ada cukup baik (untuk ilmu awal). Saya kagum membaca pernyataan ini:

“Untuk keamanan dan kenyamanan, rumah pohon hanya dapat dinaiki siswa dengan pengawasan dan sepengetahuan guru.”

Sumber:

Ini yang saya maksudkan di artikel saya dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan untuk para siswa. Saya jadi teringat jurang di belakang sekolah yang saya bahas dan mencari informasi yang serupa tentang keselamatan di website sekolah itu. Saya tidak menemukan. (Apakah begini kali: “Anak2 hanya diperbolehkan jatuh ke jurang dengan sepengetahuan guru???” Hahaha. Mudah-mudahan tidak begitu.)

Kalau hanya sekedar membandingkan website saja, Sekolah Alam jauh lebih maju sistemnya daripada sekolah yang satu lagi karena informasi yang tersedia di website jauh lebih lengkap. Saya juga ingin tahu tentang nilai akademis yang dicapai oleh siswa di Sekolah Alam ini. Sekolah dengan sistem Open Learning sangat baik tetapi harus dijaga juga nilai akademisnya. Mau tidak mau, anak ini harus berkompetisi dengan orang lain untuk masuk universitas nanti.

Kalau seandainya pengurus sekolah tidak mengerti pendidikan (seperti yang saya alami di sekolah lain) maka nilai akademis anak2 tidak bisa dijamin berkembang dengan semestinya karena anak2 terlalu banyak diberi kebebasan pada saat mereka seharusnya belajar. Sistem tidak terfokus pada perkembangan kognitif anak2. Misalnya, banyak anak yang senang masuk sekolah karena mereka tidak mendapat tes, tidak mendapat PR, dan ada banyak waktu untuk bersantai dan bermain.

Tetapi harus ada keseimbangan antara nilai emosional/spiritual dan perkembangan daya pikir (cognitive development). Untuk sekolah yang sifatnya eksperimental, seharusnya para pengurus sangat hati hati untuk memastikan bahwa sistem baru yang diterapkan itu tidak menghilangkan sistem lama yang terbukti mengajarkan skil kognitif (walaupun masih ada banyak masalah juga dengan sistem yang ada di Indonesia.)

Kalau di luar negeri, (misalnya di Australia) sangat sedikit orang tua yang inginkan anaknya masuk sekolah yang sifatnya eskperimental karena mereka teralu kuatir terhadap nilai akademis yang bisa hilang kalau tidak dijaga dengan baik. Kebanyakan orang tua ingin mengambil sekolah negeri karena sudah terbukti hasilnya.

Barangkali di Indonesia orang tua sudah begitu jenuh dengan sekolah negeri yang tidak pernah diperbaiki/berkembang sehingga mereka siap melakukan apa saja demi mencari jalan alternatif yang baik buat anaknya.

Pasti sangat sulit menjadi orang tua di Indonesia di mana pemerintah tidak peduli pada masa depan anak-anak. Saya sangat prihatin kalau memikirkan masa depan anak bangsa ini. Sayangnya, pemerintah tidak demikian juga karena mereka tidak mau betindak dengan cepat untuk melakukan perbaikan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto




16 February, 2007

Balasan Email Tentang Sekolah 2

Assalamu’alaikum wr.wb.,

{deleted}

{>>Kalau gaji guru rendah, kualitas guru juga bakalan rendah. Guru asing mungkin ditampilkan sewaktu-waktu saja supaya orang tua mau bayar mahal.}

Saya kurang faham, mengapa gaji guru bisa rendah ya Pak? Bukankah kami orang tua membayar mahal? Apa karena sekolah didirikan berorientasi profit itu ya Pak?

Sebenarnya bagaimana di luar negeri? Yang namanya menjalankan bisnis, tentunya harus ada profit.. Kalau tidak, bagaimana bisa berjalan?

Ya, karena hampir semua sekolah ini mengejar profit. Orang tua bayar mahal dan anggota yayasan mengucapkan terimakasih, dan beli Mercedes baru. Di Australia, gaji guru di sekolah swasta sangat tinggi. Dan ada saingan besar untuk masuk karena gaji, fasilitas dan benefit lain untuk guru sangat banyak. Di sekolah negeri pun tidak terlalu buruk, dan gaji guru tetap bagus. Guru dihitung sebagai professional, sama dengan dokter, pengacara dsb.

Lembaganya bukan Lembaga itu, Pak Gene, tetapi (*nama lembaga dihapus atas permintaan pengirim*) Saya lupa persisnya.. Kalau nggak salah dia ada latar belakang linguistik, tetapi saya lupa juga persisnya.. Sebenarnya yang saya sasar adalah anak saya berinteraksi langsung dengan native speaker.. Apa tetap penting bahwa native speaker tersebut seorang guru ya Pak?

Ilmu linguistic dan ilmu pendidikan berbeda. Ahli lingistik belajar bahasa dan bagaimana bahasa itu terbentuk dan berkembang, dsb. Guru bahasa belajar bagaimana caranya mengajarkan bahasa asing kepada anak kecil dengan hasil yang baik.

Anak kecil (dan orang dewasa yang awam) TIDAK membutuhkan native speaker. Ini hanya trik marketing sekolah supaya mereka bisa pasang biaya yang tinggi (“Kita ada bule, lho! Kita sekolah bilingual!”) Bukannya tidak boleh, hanya saja tidak dibutuhkan. Kalau anak/dewasa belum sampai ke tahap yang mahir, native speaker untuk bahasa apa pun tidak perlu. Cukup guru lokal dengan bahasa Inggris yang cukup bagus (dan ada banyak guru seperti itu).

Coba berfikir begini: ada sekolah minta biaya tinggi dan menyatakan “Guru Iqro kita Dr.Quraisy Shihab. Dia mengajar Iqra 1 di TK!” Apakah kira kira anak Iqra 1 membutuhkan Quraisy Shihab? Apakah anak SMA pun bisa mengikuti dan memahami ilmu tafsir Pak Quraisy? Kalau sekolah memang mendapat seorang ahli untuk mengajar anak, rata-rata bukan karena perlu tetapi supaya sekolah bisa bergengsi dan pamer, dan supaya mereka menuntut biaya yang tinggi.

Hasil tes IQ (entah ini valid atau tidak) memang menunjukkan bahwa anak saya memiliki kecerdasarn di atas rata-rata. Saya diskusi dengan gurunya di (Sekolah), menurut gurunya sepertinya anak saya memang sangat cerdas, terutama untuk Matematika dan Sains..

Kecerdasan di atas rata2 pada umur 5 tahun tidak begitu menunjukkan apa apa. Dan tidak berarti dia bisa bertahan kalau umurnya 10 tahun dan dia telah diejek selama 4 tahun karena berbadan kecil. Dampak psikologis masa depan tidak bisa ditentukan.

Dia bisa masuk SD sekarang dan menjadi anak biasa, atau bisa masuk SD tahun depan dan menjadi anak paling pintar di kelas. Bagusan yang mana?

Dan sejauh ini dia bisa bergaul dengan baik dengan teman-temannya, meskipun secara fisik dia lebih kecil.. Ada juga teman2nya yang seumur dia (sama-sama masuk SD lebih cepat). Dia tipenya senang memimpin, suka mengatur, perfeksionis.. Mudah-mudahan sikap2 ini bisa membantu dia survive..

Sikap keras anak terhadap anak lain yang umur lebih mudah hanya muncul pada umur sekitar 8-12 tahun. Untuk anak anda pada saat ini, umur belum mengganggu. Di sekolah, semua orang dianggap teman main. Nanti pada umur 9 tahun, teman yang berumur 10 tahun itu bisa berubah sikapnya.

Untuk PR, memang di (Sekolah ***) tidak ada PR. Tapi tes.. Ya, benar, ini kadang-kadang membuat dia sedikit tertekan..

Baru umur 6 tahun, sudah tertekan di sekolah. Apalagi nanti di SMP dan SMA.

Kasihan.

Ada titipan pertanyaan dari teman-teman..

Bagaimana dengan sekolah swasta non Islam [Nama sekolah dihapus], dll?

Apakah sistem pendidikan di sana cukup baik?

Menurut saya, tidak. Kedua sekolah swasta ini punya masalah yang sama dengan sekolah swasta yang lain. Saya sempat kerja di sekolah pertama selama 7 bulan dan di sekolah kedua selama 3 bulan.

Cerita di artikel pertama saya tentang sekolah di mana guru yang menyusun program bahasa Inggris tetapi dia adalah mantan DJ dari Inggris, itu dari sekolah kedua. Dan “program” bahasa Inggris yang mereka gunakan (bernama “Spalding”) diciptakan di Amerika mulai pada tahun 1950an. Program ini hanya sebuah program “phonics” yang sekarang sudah tua dan bukan sebuah program untuk membentuk kelas bilingual. Program ini terlalu terfokus pada memaksakan anak menulis dengan rapi, padahal seharusnya hal itu tidak menjadi fokus di kelas bahasa. Program ini juga sangat terfokus pada guru dan bukan “student-centered”. Pada saat saya menyaksikan pelaksanaannya, saya menjadi heran bahwa anak2 yang belum bisa menulis di dalam bahasa Indonesia, justru dipaksakan untuk belajar menulis di dalam bahasa Inggris. Tentu saja hal ini membingungkan karena ucapan “Ca” di dalam bahasa Inggris berbeda dengan “Ca” di dalam bahasa Indonesia. Kenapa anak2 tidak diajar untuk menulis dulu di dalam bahasa yang sudah mereka pahami (Indonesia), dan sesudahnya akan menjadi mudah mengajarkan mereka menulis dengan ejaan bahasa asing, karena mereka sudah bisa menulis.

Di kelas2 yang saya saksikan, anak2 dipaksakan mempelajari dua hal yang sangat rumit pada saat yang sama: belajar menulis, dan belajar bahasa Inggris (pada saat menulis). Bukannya ini mempersulit tugas mereka?

Di sekolah kedua saya diminta langsung mengajar di kelas padahal kurikulum untuk kelas bilingual tidak ada. Saya tidak menemukan pengurus sekolah satupun yang mengerti sistem bilingual seharusnya seperti apa. Sikap mereka sepertinya: bule masuk kelas = anak menjadi bilingual. Padahal sama sekali tidak semudah itu. Kalau memang semudah itu, waktu saya sia-sia mempelajari pendidikan bahasa selama 15 tahun. Cukup ada Native masuk kelas, problem selesai. Masa begitu?

Di sekolah pertama, managemen sekolah termasuk yang paling buruk yang pernah saya temukan. Saya dinyatakan “tidak mengerti pendidikan” oleh pemilik sekolah. Dia ikut mengatur segala sesuatu di dalam sekolah dan hal itu membuat guru pusing dan sulit bekerja dengan baik. Saat saya ada di sekolah itu, Executive Principal ganti 2 kali dalam 2 tahun karena tidak ada yang tahan kerja di sana. (Principal kedua sampai masuk rumah sakit karena kena stress!)

Saya sungguh sangat kecewa dengan sebuah sekolah yang dibuat begitu kacau oleh seorang pengusaha yang mengejar profit di atas segala-segala, dan mengatur sekolah sendiri seakan-akan dia memliki gelar PhD di bidang pendidikan, padahal gelar dia MBA (Business).

Pada saat saya kerja di sana, saya pernah membuat tes bahasa Inggris untuk para murid untuk mengukur kemajuannya. Ada seorang ahli kurikulum yang membuat tes Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan (dengan tingkatnya: mudah). Hasil tes adalah: mayoritas dari anak2 di sekolah gagal dengan nilai yang rendah sekali di empat mata pelajaran itu. Saya diberitahu bahwa hasil tes itu dirahasiakan supaya orang tua tidak bisa tahu. Berarti saya tidak ada bukti sama sekali bahwa tes tersebut pernah diberikan kepada anak-anak karena saya tidak mendapatkan hasilnya (saya sudah mengundurkan diri), dan orang tua tentu saja tidak pernah melihatnya. Hanya ada perkatan dari orang itu yang membuat tesnya bahwa anak2 gagal.

Pada saat saya mengusulkan anak2 membuat “mural” (lukisan besar yang mengisi tembok) yang sering sekali ada di sekolah di manca negara, sikap managemen sekolah adalah: jangan, nanti tembok bisa rusak. Setahu saya cet tembok tidak bisa merusak tembok (??). Lalu pemilik sekolah mendapat seorang pelukis/seniman untuk membuat lukisan besar dengan harga mahal sekali. Lukisan itu masih tergantung di lobi sekolah. Kesenian dari anak tidak perlu, lebih baik ada lukisan professional yang membuat pemilik sekolah merasa bangga dan bergensi. Justru di luar negeri, “mural” itu dibuat oleh anak2 supaya mereka ada rasa “kepemilikan” di sekolah. Tetapi di sekolah itu, anak2 diberi rasa “bertamu” di sekolah milik seorang pengusaha. (Jangan menyentuh luksian mahal ini ya!)

Satu contoh lagi: pada saat Hari Olahraga, pemilik sekolah memberitahu guru bahwa anak2 tidak boleh kalah: semua harus menang dan mendapat piagam. Guru berprotes karena ini tidak duniawi. Anak harus belajar untuk menerima kekalahan dengan lapang dada. Dan tempat yang benar untuk belajar hal itu adalah di sekolah. (Untuk anak TK boleh kalau semua menang untuk menjaga perasaan mereka. Untuk anak SD sudah tidak cocok lagi.) Lomba lari diadakan. Semua dinyatakan menang sebelum ikut lomba. Ternyata anak2 tidak begitu semangat lari karena apapun yang terjadi, mereka semua dinyatakan menang.

Setelah selesai, ada seorang ibu datang:

“Anak saya lupa daftar untuk lomba lari. Ulangi lagi dong”

“Tidak bisa Bu, sudah selesai,” kata guru.

“Awas, pemilik sekolah teman saya! Saya telfon dia ya!”

“Telfon saja.”

Dia telfon, dan pemilik sekolah datang dan menyuruh guru mengulangi lomba lari untuk anak temannya itu. (Seharusnya pemilik sekolah membela guru yang benar, bukan teman gaulnya). Anak2 yang lain dibujuk untuk lari lagi dan mereka berprotes “Buat apa??” Diadakan lagi lomba lari, dan anak baru itu dinyatakan “menang” sama dengan semua anak yang lain, yang sekarang sudah jenuh.

Untuk urusan lomba lari saja, pemilik sekolah yang tidak mengerti pendidikan ikut campur dan memaksa semua orang menuruti kehendak dia.

Apalagi di dalam urusan pendidikan!!

Selama 7 bulan di sekolah itu, hampir setiap minggu ada kasus yang membuat saya gelengkan kepala. Saya sarankan kepada semua orang tua untuk sangat berhati-hati kalau ingin memasukkan anaknya ke sana. Saya sangat kuatir terhadap masa depan anak yang menjadi lulusan sekolah itu. Kalau orang tua merasa yakin dengan sistem sekolah dan komentar dari pengusaha yang menjadi pemilik sekolah, silahkan saja. Saya sebagai seorang guru tidak pernah ingin sekolahkan anak saya di sana.

Apakah lebih baik menyekolahkan anak ke sekolah swasta non Islam?

Sebenarnya pertimbangan saya, mengingat pergaulan sekarang sangat jauh dari nilai-nilai Islam, lebih baik anak-anak sekolah di sekolah Islam sehingga mereka mantap dengan nilai-nilai Islam, aspek pendidikan lain Insya Allah juga tidak terlalu buruk..

Setuju.

Akan tetapi jika aspek pendidikan keilmuannya justru yang penting, apa malah sebaiknya nilai-nilai Islam dicoba ditanamkan di rumah saja?

Sekolah Islam saja. Masih ada sebagian (besar/kecil?) dari guru di sekolah Islam yang sangat bagus, cuma orang tua harus waspada saja terhadap managemen sekolah.

Jika saya tetap menyekolahkan anak saya di [Sekolah Islam ***] (terlepas dari masalah dia terlalu cepat masuk SD), hal-hal apa yang harus saya lakukan untuk "mengisi kekurangan" akibat ketidaksempurnaan sistem pendidikan di [Sekolah Islam ***]?

Memantau saja dan mengulangi sebagian pelajaran di rumah untuk memastikan anak benar-benar paham. Tetapi jangan terlalu banyak karena nanti anak menjadi jenuh.

Demikian pertanyaan lanjutan dari saya Pak Gene..

Semoga Bapak masih bersedia menjawab.. :-)

Masih.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr wb.,

Gene



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...