Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (556) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (178) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

28 September, 2007

Mengenai Ustadz Komersial

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Kemarin ada email yang beredar tentang Ustadz Komersial. Menurut saya, alangkah baiknya kalau ini menjadi kesempatan untuk membahas masalah ini secara serius, karena pada saat saya diundang ceramah, ada banyak sekali cerita dari panita2 masjid tentang orang lain yang diundang, dan mereka itu memang memasang tarif tinggi. Setiap kali saya diundang, selalu ada bagian dari pembicaraan yang tidak menyenangkan bagi orang yang telfon saya itu. Dia terpaksa bertanya “tarif” saya berapa. Pada saat saya menyatakan tidak pernah memasang tarif apapun, biasannya orang itu menyatakan merasa lega sekali, karena mereka sudah kuatir harus bayar mahal untuk mendapat seorang bule sebagai penceramah. Untuk mendapat ustadz-ustadz tertentu, katanya harus bayar jutaan sampai puluhan juta rupiah.

Seringkali, orang dari panitia masjid itu bercerita tentang ustadz-ustadz lain yang memang memasang tarif yang sangat berat bagi si penyelenggara. Jumlah uang yang diminta disebutkan kepada saya, dengan juga menyebutkan nama dari si penceramah tersebut. Jadi, walaupun penulis dari artikel Ustadz Komersial salah alamat, barangkali, masalah ini tetap sebagai masalah besar yang perlu kita komentari. Seharusnya ini peran wartawan (yang memang kurang berperan di negara ini). Kita perlu tahu berapa banyak ustadz yang pasang tarif yang tinggi dan seharusnya wartawan berani bertanya kepada mereka kenapa mereka lakukan hal itu?

Kalau Allah menghendaki, ilmu mereka itu bisa hilang dalam sekejap. Tapi mereka berani menyombongkan diri dengan memberikan nilai dan harga terhadap ilmu tersebut. Ini sungguh-sungguh menyedihkan. (Ini beda dengan menulis buku dsb., di mana ada harga produk dan biaya production yang perlu dibayar).

Berceramah tidak berbeda dengan memberikan nasehat kepada seorang teman. Orang yang lebih tua, biasannya lebih bijaksana karena ilmunya lebih luas dan juga pengalamannya. Nah, kalau kita minta nasehat kepada kakek kandung, bagaimana kalau dia menyuruh kita bayar 2 juta terlebih dahulu sebelum menjawab karena dia inginkan kita menghargai “ilmu”nya dan juga waktunya? Kalau begitu terus, kita menjadi “terpaksa” minta saran dari teman yang sama begonya dengan kita. Hasilnya: kita yang rugi. Kalau ada ustadz yang mahal, maka ummat Islam akan mulai bertanya dan berkonsultasi dengan orang yang ilmunya lebih sedikit (karena “tarif”nya akan lebih murah). Hasilnya: Islam yang menjadi rusak.

Kenapa ummat Islam menerima keadaan ini? Kenapa ustadz-ustadz ini tidak merasa malu menjual ilmu agama Allah dengan nilai yang tinggi, seperti artis sinetron atau penyanyi terkenal? Kenapa hal ini bisa berlangsung terus?

Seharusnya, orang yang ilmunya lebih tinggi lebih paham bahwa ilmu dia itu adalah milik Allah. Dan kalau tidak dimanfaatkan dengan baik atas nama Allah, maka Allah berhak dan tidak keberatan untuk mencabut ilmu itu daripadanya dan memberikannya kepada orang yang lain.

Saya mendapat ajaran dari guru saya KH Mashyuri Syahid (dari MUI) untuk tidak pernah memasang tarif, karena Pak Kyai juga tidak pernah begitu. Katanya, kalau mau menerima undangan ceramah, maka datang dengan ikhlas dan niat mengajar, dan menyebarkan Ilmu Allah dengan baik. Kalau tidak mau begitu, tidak usah menerima undangan ceramah agama: ceramah tentang bulu tangkis saja.

Sayangnya, sudah menjadi praktek yang standar untuk sebagian penceramah terkenal untuk memasang tarif tinggi (tapi belum tentu semuanya begitu). Sepertinya ini lebih mudah terjadi dengan penceramah yang sering masuk tivi. Soalnya, kalau dia datang ke stasiun televisi dan tidak bernego tentang tarifnya, maka stasiun televisi yang untung karena bisa bayar dengan harga yang sedikit. Sedangkan, mereka menerima puluhan sampai ratusan juta dari iklan. Jadi, dalam kondisi itu, sebagai praktek bisnis, sepertinya wajar kalau si penceramah pasang tarif di situ.

Masalahnya adalah besok hari dia memperhitungkan “opportunity cost” atau biaya yang bisa dia dapat kalau masuk tivi daripada berceramah di masjid anda. Kalau anda undang dia berceramah di masjid, dan ada stasiun televisi undang juga, kira-kira mana yang siap bayar paling mahal? Jadi, kalau anda mau dapat jatah waktu dia, harus bayar sesuai dengan tarif yang didapat dari stasiun televisi.

Sepertinya ini suatu efek samping dari berceramah di televisi. Dan hanya bisa dilawan oleh si penceramah sendiri. Waktu masuk tivi, pasang tarif untuk tivi. Waktu masuk Masjid Allah atau rumah hamba-Nya, tidak ada tarif.

Minggu ini saya mendapatkan undangan untuk masuk acara di Anteve, tetapi saya tidak menerima. Pertama, saya agak malas masuk tivi dan menjadi “artis”. Kedua, mereka ingin berbincang tentang latar belakang saya sebagai muallaf, dan buat saya, itu adalah topik yang membosankan. (Enakan bicara tentang Islam secara umum atau pendidikan). Sudah beberapa kali saya diundang masuk acara televisi, tetapi saya kurang tertarik karena melihat sebagian ustadz yang menjadi tokoh di televisi, yang memasang tarif tinggi, yang ada managemen dan adjudan, yang lebih mirip dengan artis daripada ulama, dan saya tidak mau menjadi seperti mereka.

Enakan menjadi orang biasa dan berceramah seperti orang biasa di dalam masjid biasa bersama hamba Allah yang biasa. Ilmu saya juga sangat terbatas, jadi justru tidak wajar kalau saya sering diundang masuk televisi, sedangkan banyak ustadz yang hafiz Qur'an dan punya ilmu yang luas tidak pernah diundang.

Semoga masalah dengan “ustadz komersial” ini segera ditanggapi dan dilawan oleh masyarakat (walaupun bukan perkara baru) dan semoga kaum ini yang memasang tarif tinggi bisa ingat kepada Allah. Sesungguhnya mereka hanya mendapatkan kesempatan berceramah karena Allah menghendaki begitu. Dan “hak” itu bisa juga dicabut dari mereka. Kalau mereka sudah menjadi terkenal dan kaya karena sering masuk tivi, saya yakin masyarakat dan panitia akan sadar sendiri dan menawarkan honor yang baik, sesuai dengan kemampuannya.

Tolong menceritakan pengalaman anda:

Apakah anda punya pengalaman dengan ustadz yang memasang tarif tinggi? Silahkan memberikan komentar di bawah, tetapi tolong jangan menyebutkan nama orangnya, dan jangan memberikan nama masjid dsb. Sebutkan saja jumlah yang diminta, dan apa yang terjadi sesudahnya: apakah dibayar, atau apakah ustadz itu diganti dengan yang lebih murah? Dan bagaimana perasaan anda terhadap masalah ini?

Terima kasih,

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

26 September, 2007

Undang ustadz untuk ceramah

Ustadz Ahmad Luthfi Ramli, Lc.

Rumah di: Menteng Dalam (Tebet), Jakarta Selatan

Handphone: 08179159897

Telfon rumah: 021-8316757

Email: -

Latar Belakang: Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Guru di Pesantren Al-Awwabin Depok. Pengajar tetap di beberapa masjid dan kantor-kantor di Jakarta.

Tarif: Tidak Memasang Tarif

Almarhum (Petisi Pendidikan)


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Saya kecewa sekali dengan orang Indonesia, khususnya teman2 saya. Diminta memberikan tanda tangan untuk petisi pendidikan, baru 240 orang yang mau dalam 2 minggu (sampai tanggal ini, 26 September,2007). Padahal saya yakin bahwa jumlah orang yang telah menerima petisi ini sudah lebih dari 10.000.

Dari jaringan teman2 saya, dan juga murid2 saya yang bantu membuat teksnya, baru sedikit sekali dari nama mereka yang muncul di petisi. (Dan saya tahu nama mereka jadi sangat mudah dilihat bahwa mereka tidak memberikan dukungan pada petisi ini).

Harapan saya adalah 10.000 tanda tangan online. Ini hanya untuk melihat keseriusan masyarakat untuk mendukung ide “petisi” daripada demo. Lalu, Insya Allah akan disusul dengan hard copy (paper) sampai puluhan ribu tanda tangan dari seluruh Indonesia. Lalu Press Conference, dengan memberitahu kepada pemerintah dan para politikus bahwa ada puluhan ribu (atau ratusan ribu) pemilih yang inginkan perubahan pada sistem pendidikan. Sejauh ini, baru 240 orang yang peduli, kelihatannya. Padahal untuk memberikan tanda tangan online paling mudah. Tinggal ketik saja untuk beberapa detik. Sedangkan untuk mengumpulkan tanda tangan langsung dari orang di jalan jauh lebih sulit karena ada biaya, serta masalah koordinasi. Nah, untuk yang gampang saja, orang Indonesia tidak peduli. Bagaimana dengan yang lebih sulit?

Sedih sekali hati saya.

Apa teman2 menyaksikan apa yang sedang terjadi di Birma (Myanmar) di mana para biksu dengan dukungan penuh dari masyarakat melawan kebijakan pemerintah yang buruk? Kenapa tidak ada gerakan “People Power” seperti itu di Indonesia, khusus untuk pendidikan? Bukan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi untuk menujukkan kepedulian dan kekuatan.

Para biksu dan rakyat Birma hidup tanpa hak sama sekali, di bawah sekelompok diktator militer. Rakyat Indonesia hidup dalam kebebasan, tetapi masih tidak mau berjuang untuk kepentingan sesama. Rakyat Indonesia hidup seakan-akan masih dijajah oleh Belanda, atau masih hidup di bawah Soeharto. Orang yang tidak merdeka di Birma siap berjuang. Orang yang sudah merdeka di Indonesia tidak peduli pada perjuangan lagi. Apakah ini hasilnya dari kemerdekaan? Saling tidak peduli pada sesama warga bangsa?

Para biksu dan rakyat biasa di Birma siap dihajar oleh polisi untuk menjadi merdeka. Seharusnya kita memberitahu mereka bahwa itu adalah peruangan yang sia-sia. Soalnya, nanti setelah menjadi merdeka, rakyat akan lupa pada perjuangan bersama dan menjadi sibuk nonton sinetron, dan belanja di Carrefour. Mereka tidak akan peduli kalau anak tentangga hidup dalam kesusahan, karena di Indonesia memang begitu. Di Birma, rakyat yang tidak berdosa siap dihajar polisi demi kemerdekaan. Di Indonesia, memberikan tanda tangan pada petisi online dianggap berat, atau dianggap tidak bermanfaat (jadi tidak usah coba dulu: langsung abaikan saja).

Sedih lagi. Di sini sepertinya tidak ada yang peduli pada orang lain karena sibuk dengan urusan diri sendiri dan tidak punya waktu atau kemauan untuk memikirkan tentangganya.

(“Eh, Soleha udah mulai ya? Ayo nonton! Nanti ke Carrefour ya. Belanja.”)

Tidak ada lagi yang penting di dunia orang ini. Tidak ada niat berjuang. Tidak ada kepedulian pada sesama. Yang ada, kepedulian pada diri sendiri saja.

Gotong royong hanya ada di kamus. Di tengah-tengah masyarakat, gotong royong sudah menjadi almarhum. Yang penting, bisa maju sendiri, anak tetangga biarkan saja menderita dan putus sekolah.

Yang jelas, tidak ada anggota pemerintah yang peduli. Gubenur baru di DKI bukannya langsung menyekolahkan semua anak yatim dan anak miskin yang telah putus sekolah. Malah memperluas jaringan busway, yang menambahkan kemacetan lebih dari sebelumnya, dan membuat warga ibu kota pusing.

Gubernur baru di Banten ingin membangun jembatan antara Jawa dan Sumatera dengan nilai 13 TRILLION rupiah. Anak yatim yang putus sekolah? Peduli amat! Berapa banyak lagi proyek besar yang ingin dibangun di berbagai propinsi?

Wahai para pejabat: KENAPA TIDAK MEMBANGUN SEKOLAH DAN RUMAH SAKIT YANG GRATIS DAN BERKUALITAS BAGI MASYARAKAT??

Oh, maaf, itu hanya akan dilakukan kalau pemerintah memang peduli pada rakyat. Dan hanya kalau rakyat memang peduli pada tentangganya. Itulah makna demokrasi yang sesungguhnya: Kita sama sama maju, atau kita sama sama mundur. Berarti kita harus berjuang bersama untuk kepentingan bersama.

Rakyatlah yang punya hak untuk mempengaruhi pemerintah (lewat pemilu dan pilkada), bukan pemerintah yang punya hak untuk merugikan masyarakat. (Dari mana mereka bisa mendapatkan hak itu?) Kalau orang Indonesia tidak bangkit dan menuntut haknya di bidang pendidikan, kesehatan, hukum, dan lain sebagainya, negara ini tidak pernah akan maju.

Di Inggris, sekolah gratis dan biaya kesehatan (dokter dan rumah sakit) gratis. Di Perancis, sekolah gratis dan biaya kesehatan gratis. Di Kanada, sekolah gratis dan biaya kesehatan gratis. Di Australia, sekolah gratis dan biaya kesehatan sangat murah. (Untuk kunjungan dokter gratis, obat-obatan murah, ada banyak subsidi, dan biaya operasi walaupun tidak gratis tetap murah). [Jangan bertanya tentang AS karena di sana pengusaha dan bisnis berkuasa di atas segala-galanya, dengan izin dari rakyat. Sepertinya, pemerintah Indonesia ingin meniru negara yang rusak ini daripada meniru negara yang lebih baik seperti Inggris atau Kanada].

Di Indonesia, semuanya harus dibayar sendiri dan harus mencari asuransi sendiri. Kalau tidak bisa, jangan harapkan pemerintah akan peduli karena mereka sibuk merencanakan mega proyek lagi buat kepentingan teman2nya (wajarlah kalau sama sama pengusaha).

Kalau rakyat tidak bangkit dan melawan sikap pemerintah ini, negara ini tidak akan pernah menjadi makmur. Memberikan tanda tangan online adalah langkah awal yang sederhana. Maukah anda berusaha?

Sedih hati saya.

Kapan orang Indonesia akan bangkit dan mulai peduli pada sesama?

Kapan?

(Psssst. Jangan berisik. Lagi nonton Soleha).

Pendidikan gratis dan berkualitas buat semua sudah menjadi almarhum juga. Hiduplah komersialisasi pendidikan (yaitu pendidikan yang layak buat yang bayar mahal), dengan doa restu dari pemerintah (yang penuh dengan pengusaha).

Pada ke mana ummat Islam dan para ustadz dan ustadzah yang mengerti agama? Bukannya Islam menganjurkan kita untuk membantu dan melindungi yang lemah? Kok di sini pada sibuk membeli mobil baru semua, padahal anak tentangga tidak bisa sekolah? Kenapa ummat Nabi Muhammad SAW menjadi begini? Kenapa kita berani menyatakan diri pengikut Muhammad SAW tetapi kita hidup dalam keadaan “tidak peduli pada orang lain”, dengan bimbingan penuh dari pemerintah dan pejabat (yang sudah kaya sendiri)?

Tetapi masih ada juga alasan untuk bersyukur.

Saya bersyukur bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah datang ke Indonesia dan melihat ummatnya menjadi ummat yang egois, rakus, dan sibuk dengan kepentingan diri sendiri.

Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Alhamdulillah Nabi Muhammad SAW belum pernah melihat kita di Indonesia yang mengaku sebagai pengikutnya!

(Psssst. Diam! Lagi nonton Soleha tahu!)

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Klik di sini untuk memberikan tanda tangan online di situs Care2 Petition Site

(Almarhum) Petisi Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional

24 September, 2007

Tolong memberikan tanda tangan pada petisi pendidikan

Tolonglah. Hanya beberapa detik saja. Dari ratusan sampai ribuan orang yang telah menerima link ke petisi ini, baru sedikit saja yang memberikan suaranya. Ada orang asing yang memberikan tanda tangan dengan niat mendukung. Kenapa justru mayoritas dari orang Indonesia yang tidak peduli.

Ayo. Jangan abaikan kebutuhan anak bangsa. Jangan menyatakan “Tidak akan berkmanfaat” sebelum anda berusaha.

Tolong memberikan tanda tangan dan sebarkan petisi ini kepada semua teman.

Ikuti link ini untuk membaca petisi:

Terima kasih.

Gene Netto


23 September, 2007

Mengapa Fatimah Tidak Pernah Meriwayatkan Hadits?


Jumat, 21 Sep 07 10:29 WIB

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pak Ustadz, saya mau bertanya mengenai masalah hadits. Sepengetahuan saya jarang sekali malah belum pernah saya menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah atau Ali bin Abi Tholib, kenapa ini bisa terjadi?

Padahal keduanya adalah orang yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Hal ini menjadi pertanyaan saya karena banyak dari golongan syiah yang menuduh bahwa muslim suni menghormati ahlul bait sebatas di bibir saja padahal sebenarnya mengingkarinya.

Terima Kasih atas jawaban Ustadz.

Wasalam

Echa

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Fatimah radhiyallahu 'anhamemang nyaris tidak pernah kita dapati riwayatnya, meski belum tentu benar. Namun Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuadalah orang yang cukup banyak meriwayatkan hadits.

Tapi yang pasti, kedekatan seseorang dengan diri Rasulullah SAW tidak ada kaitannya dengan jumlah hadits yang mereka riwayatkan kepada kita. Bukankah kita pun jarang mendengar hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallau 'anhu? Demikian juga dengan riwayat Umar dan Utsman bin Affan radhiyallau 'anhum ajma'in?

Dan dengan alasan yang nyaris mirip, kira-kira hal yang sama juga terjadi pada diri puteri tercinta beliau, Fatimah radhiyallahu 'anha. Meski sangat dekat, tidak lantas punya banyak hadits yang diriwayatkan.

Hakikat Meriwayatkan Hadits

Hal itu karena yang namanya meriwayatkan hadits sangat berbeda dengan kedekatan kepada nabi. Meriwayatkan hadits kira-kira sama dengan mengajar hadits. Tidak semua orang punya kesempatan mengajar hadits.

Padahal yang namanya mengajarkan hadits itu baru terjadi manakala nabi SAW sudah wafat. Kalau nabi masih hidup, maka yang mengajar tentu saja langsung Rasulullah SAW.

Penyebab adanya sebagian shahabat yang tidak terlalu banyak mengajarkan haditsbisa karena memang dibebani kesibukan yang lain yang menjadi tanggung-jawabnya.

Ataukarena usianya tidak panjang. Beberapa shahabat nabi ada yang meninggal sesaat nabi SAW meninggal. Salah satunya Fatimah puteri beliau, yang meninggal hanya berselang 5 bulan setelah meninggalnya nabi. Maka tentu saja beliau tidak sempat banyak meriwayatkan hadits.

Persahabatan Nabi dengan Abu Bakar

Al-Quran menyebutkan secara tegas persahabatan di antara Abu Bakar dengan diri Rasulullah SAW. Bahkan yang jadi khalifah setelah Rasulullah SAW adalah beliau. Boleh dibilang, Abu Bakar ra adalah manusia yang paling mengerti tentang diri Rasululllah SAW, dibandingkan dengan semua orang.

Lalu mengapa Abu Bakar ra jarang meriwayatkan hadits?

Jawabannya sederhana saja, karena urusan jarak kematian antara keduanya. Abu Bakar ra meninggal hanya sekitar 2 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Sementara dalam waktu dua tahun itu, beliau amat disibukkan dengan berbagai macam pe-er di internal umat Islam. Maka nyaris jarang sekali kita menerima hadits yang beliau riwayatkan.

Hari-hari di mana Abu Bakar hidup pasca wafatnya Rasulullah SAW adalah hari-hari tersibuk. Beliau adalah khalifah, di mana beliau punya kewajiban meneruskan memimpin dunia Islam, yang sedang mengalami berbagai tekanan dari internal atau pun eksternal.

Di kalangan sebagian bangsa arab, muncul gerakan riddah (murtad) yang harus dihadapi dengan menghabiskan waktu. Bersama dengan itu, beliau pun harus meneruskan peperangan yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah SAW di mana Usamah bin Zaid menjadi panglimanya. Di wilayah keilmuwan, beliau juga disibukkan dengan maha proyek pengumpulan tulisan Al-Quran, sesuai proposal dari Umar bin Al-Khattab ra.

Jadi, nyaris tidak ada lagi kesempatan beliau untuk meriwayatkan hadits. Meski beliau boleh dibilang orang yang tahu tentang diri Rasulullah SAW.

Fatimah binti Muhammad radhiyallahu 'anha

Maka kasus yang sama juga terjadi pada diri Fatimah ra. Beliau hidup tidak lama setelah nabi wafat. Para sejarawan mengatakan bahwa puteri nabi ini wafat hanya berselang 5 bulan setelah kematian ayahandanya. Jadi mudah sekali menjawab masalah ini, yaitu mana sempat beliau meriwayatkan banyak hadits?

Pantas saja kita jarang menerima hadits yang beliau riwayatkan, rupanya beliau wafat tidak lama setelah ayahndanya wafat.

Keadaan Fatimah ra sangat berbeda dengan keadaan isteri Rasulullah SAW, Aisyah radhiyallahu 'anha. Beliau hidup hingga tahun 57, atau 58 atau 59 hijriyah. Bahkan sempat ikut berbagai macam even. Beliau pun menjadi rujukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan rumah tangga nabi. Dan beliau juga banyak meriwayatkan hadits yang bersifat agak teknis sebagaimana Abu Hurairah ra berikut ini.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu

Sebaliknya kita kenal Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu sebagai orang yang baru masuk Islam di masa-masa terakhir menjelang kematian Rasulullah SAW. Hanya beberapa saat saja beliau sempat bertemu dengan diri nabi SAW.

Namun sebagaimana kita tahu, shahabat yang satu ini termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadits nabawi.

Lalu bagaimana penjelasannya?

Begini, meski pun Abu Hurairah ra hanya sebentar bertemu dengan nabi SAW. Diriwayatkan beliau baru bertemu nabi pada perang Khaibar tahun ke-7 hijriyah. Tiga tahun kemudian Rasulullah SAW wafat untuk selamanya.

Namun masa yang sebentar itu sangat efektif. Di masa yang sebentar itu, nyaris tiap saat beliau selalu mendampingi Rasulullah SAW.

Dan kalau kita perhatikan tipe hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, kebanyakan adalah hadits-hadits yang bersifat laporan pandangan mata serta umumnya hal-hal yang teramat teknis yang terjadi seputar diri Rasulullah SAW.

Bagaimana Rasulullah SAW berjalan, berdiri, makan, minum, bergerak-gerik, berbicara, tersenyum, tertawa, mengenakan baju corak dan warna apa dan seterusnya. Begitu banyak hal-hal kecil dan sederhana yang dilaporkan oleh Abu Hurairah.

Sehingga kalau dihitung, jumlahnya memang bisa menjadi sangat besar, jauh melebihi riwayat-riwayat para shahabat lainnya. Disebutkan bahwa beliau telah meriwayatkan tidak kurang dari 5374 hadits, 446 hadits di antaranya ditakhrij oleh Al-Bukhari.

Dan ini yang menarik, ternyata Abu Hurairah punya waktu yang sangat panjang untuk mengajarkan hadits-hadits sepeninggal Rasulullah SAW, karena beliau baru wafat 47 tahun kemudian setelah Rasulullah SAW meninggal. Beliau wafat tahun ke-57 hijriyah dalam usia cukup lanjut, 78 tahun.

Pantas saja beliau adalah orang nomor satu dalam jumlah kuantitas periwayatan hadits.

Ilustrasi

Sebagai ilustrasi sederhana, mari kita perhatikan dua situs berita di negeri kita. Yang satu detik.com dan yang satu eramuslim.com.

Kalau anda hitung berapa jumlah berita yang ada di detik.com, pasti anda akan kagum, karena jumlahnya sangat banyak. Namun kalau anda perhatikan lebih seksama, rupanya berita di detik.com itu pendek-pendek, meski memang cepat. Untuk satu kejadian, judul beritanya bisa mencapai belasan. Setiap ada perkembangan baru, pasti ada judul baru meski untuk satu kasus yang sama.

Padahal untuk kejadian yang sama, barangkali eramuslim.com hanya membuat satu judul saja. Sehingga eramuslim terkesan punya berita yang sedikit.

Nah, kira-kira Abu Hurairah itu melakukan apa yang dilakukan oleh detik.com, banyak haditsnya namun isinya simple, sederhana bahkan banyak yang pendek.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Era Muslim

Suntik dan Obat Tetes Mata Saat Puasa


Jumat, 21 Sep 07 08:39 WIB

Assalamualaikum wr. Wb.,

Pak ustadz Yth., melalui rubrik ini saya hendak mengajukan pertanyaan yaitu bahwa bolehkan kita melakukan suntik atau memberi/memasukkan obat tetes pada mata kita, karena saya pernah diskusi dengan teman bahwa ke-2 perbuatan tersebut tidak membatalkan puasa dan boleh dilakukan, namun di sisi lain saya bingung dg makna hal-hal yang membatalkan puasa antara lain memasukkan sesuatu benda ke dalam rongga tubuh.

Apakah suntik & obat tetes dimasukkan ke dalam tubuh termasuk di dalam persyaratan tersebut?Mohon penjelasannya dan terima kasih.

Wassalamualaikum wr. Wb.

Didik

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang dimaksud dengan rongga tubuh sebenarnya adalah bagian dalam tubuh, seperti perut dan tenggorokan. Sedangkan mulut dan isinya, bila kemasukan atau dimasukkan ke dalamnya sesuatu, belum termasuk kategori membatalkan puasa.

Suntik Obat

Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa suntikan obat yang dimasukkan ke dalam tubuh seseorang yang sedang berpuasa tidak membatalkan puasa. Selama suntikan itu berupa obat, tidak berupa makanan.

Lain halnya bila yang disuntikkan merupakan glukosa, atau yang sering kita kenal dengan infus. Para ulama mengatakan bahwa infusan makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh orang yang sedang sakit akan membatalkan puasanya.

Alasan lain karena suntikan obat itu memang tidak masuk ke dalam rongga perut, hanya masuk bercampur dengan darah untuk membutuh penyakit yang ada di dalam tubuh.

Obat Tetes Mata

Para ulama sepakat bahwa obat tetes mata dan sejenisnya, yang digunakan oleh seseorang yang sedang berpuasa, bukan termasuk hal yang membatalkan puasa.

Karena meski masuk ke dalam mata, cairan itu sebenarnya tidak sampai masuk ke dalam rongga tubuh yang dimaksud, sebagaimana ketika kita berkumur, meski kelihatannya ada air masuk ke dalam mulut, tetap saja belum bisa dibilang membatalkan.

Lalu apa landasan dari pernyataan ini?

Para ulama mengatakan bahwa sama kasusnya dengan orang yang berwudhu atau mencuci muka, pastilah ada tetes air yang mengenai mata. Tetapi tidak pernah ada yang mengatakan bahwa mencuci muka termasuk membatalkan puasa.

Hal yang sama juga terjadi manakala seseorang kemasukan air di dalam kupingnya, misalnya karena mandi atau berenang, semua itu oleh para ulama belum dimasukkan ke dalam kategori yang membatalkan puasa.

Selain itu para ulama mengatakan bahwa masuknya obat tetes tersebut ke dalam perut bukan melalui saluran normal atau biasa. Padahal biasanya melalui mulut. Apalagi benda yang masuk bukan berupa makanan dan minuman. Dansetelah benda itu dimasukkan tidak membuat orang yang bersangkutan merasa segar dan bugar.Jadi akhirnya, para ulama mengatakan bahwa memakai obat tetes mata jauh dari kategori makan atau hal yang membatalkan puasa.

Memang ada hadits yang yang mengatakan bahwa memakai celak membatalkan puasa, sehingga sebagian orang mengaitkan obat tetes mata sebagai pembatal puasa. Namun menurut para ahli hadis, ternyata hadits-hadits ituadalah hadis mungkar.

Di antara para ulama yang mengatakan bahwa hal-hal di atas tidak membatalkan puasa adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Hazam. Ibn Hazam bahkan berpendapat, ”Yang dilarang Allah saat kita berpuasa adalah makan, minum, dan bersetubuh, muntah dengan sengaja dan berbuat maksiat. Allah tidak mengajar kita makan dan minum dari dubur, saluran kencing, mata, telinga, hidung, atau dari pembedahan bagian perut dan kepala.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Era Muslim

22 September, 2007

Indonesia Menunggu Datangnya Gempa Dahsyat Lebih Dari 9 SR

KLIK WEBSITE CNN DI BAWAH INI, BACA YA...

Diberitakan oleh TV CNN pada tanggal 17 September 2007 tentang Datangnya Gempa Dahsyat yang lebih atau sekitar 9 SR disekitar Sumatra Barat.

CNN melakukan peninjauan khusus bersama pemburu Gempa dari California Technology Institute. Pemburu gempa ini adalah geoloog dari CalTech yang meneliti semua gempa2 yang muncul di Indonesia terutama yang terakhir ini yang katanya mengakibatkan kerak bumi melipat sehingga menimbulkan gempa sekitar 7 SR lebih baru2 ini.

Akibat dari kerak bumi yang melipat sehingga overlap satu dengan lainnya yang terjadi diwilayah sekitar SumBar, akan memaksa efek balik seperti pegas, karena lipatan ini akan berusaha mengembalikan atau meratakan kerak bumi yang melipat ini seperti ibaratnya pegas yang apabila kita tekuk akan menimbulkan kekuatan yang arahnya sebaliknya dari arah tenaga yang menekuknya untuk kembali ke bentuk semula.

Reaksi balik pegas akan terjadi terhadap kerak bumi yang melipat akibat gempa baru2 ini yang besarnya sekitar 7 SR itu, namun reaksi balik pegas ini akan berakibat gempa yang besarnya lebih dari 7 SR yang diperkirakan sebesar 9 SR atau lebih.

Menurut ahli geologi pemburu gempa ini, gempa yang ditunggu itu akan muncul dalam waktu dekat. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengumumkannya kepada masyarakat luas diwilayah SumBar untuk ber-jaga2 datangnya gempa ini yang kemungkinan akan disertai Tsunami. Persiapan mental dibutuhkan masyarakat agar dengan persiapan yang baik maka datangnya gempa tidak akan menimbulkan kepanikan sehingga jatuh korban yang jauh lebih besar.

Kapan tepatnya kedatangan gempa dahsyat ini, sang pemburu gempa sendiri tidak bisa memastikan. Namun sang pemburu gempa ini menyatakan akan tetap mengejar gempa dahsyat ini untuk menyaksikannya sendiri bersama masyarakat.

Kalo benar gempa dahsyat ini benar akan muncul, maka gempa ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah bumi ini, karena gempa yang terjadi dalam cerita Sodom dan Gomorah saja hanya berkisar kurang dari 8 SR. Dengan pemberitahuan ini sang pemburu gempa mengharapkan agar berita ini disebar luaskan sementara katanya pemerintah justru menutupi berita ini untuk mencegah kepanikan. Padahal menurut pemburu gempa ini, berita ini justru harus disebar luaskan sehingga masyarakat bisa mengadakan persiapan yang tidak akan menimbulkan kepanikan.

Semoga rekan2 di Indonesia bisa menyebar luaskan berita ini sehingga persiapan2 yang diperlukan bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk2 para ahli2 gempa dunia.

Sumber dari:CNN

**********

Tanggapan dari BMG

BMG MEMBANTAH ISU GEMPA 9 SR

Metrotvnews.com, Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
membantah adanya isu akan terjadi gempa berkekuatan 9 pada skala Richter
sebagai akumulasi sejumlah gempa akhir-akhir ini. Hal tersebut disampaikan
Sekretaris Utama BMG Andi Eka Saktia saat menjawab pertanyaan sejumlah
anggota Komisi V DPR dalam rapat dengar pendapat, Selasa (18/9).

Menurut Andi, hingga kini, belum ada satu pun teknologi yang dapat memprediksi terjadinya gempa. Ia menambahkan, sejumlah gempa yang terjadi di Bengkulu dan Sumatra Barat tidak akan membuat gempa susulan terjadi dalam skala besar dari gempa awal. Namun Andi tidak membantah, jika gempa
berkekuatan 9 skala Richter itu terjadi dan menimbulkan tsunami, maka
daratan-daratan landai Indonesia seperti wilayah selatan dan barat
berpotensi tenggelam.(NTF).

**********

Mari kita tunggu dan lihat siapa yang benar.

Gene


50 Permasalahan Tentang Puasa Dan Ibadah Di Bulan Ramadhan

Tarhib Ramadhan

Jumat, 16 November 2001

PKPU Online

Sumber : DR. Salim Segaff Al Jufri, MA
Dewan Syari'ah PKPU

50 Permasalahan Tentang Puasa Dan Ibadah Di Bulan Ramadhan

  1. Awal Puasa dan Pelaksanaan Shalat 'Iedul Fithri
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, setiap memulai puasa, umat Islam selalu dihadapkan pada perbedaan awal dan akhir puasa serta pelaksanaan 'Iedul Fithri. Bagaimana cara memulai puasa Ramadhan dan penyelenggaraan Shalat 'Iedul Fithri bagi umat Islam. Apakah tidak mungkin disamakan waktunya ?
    Sugianto - Jakarta

Jawaban:
Dalam mengawali bulan Ramadhan dan pelaksanaan shalat 'Iedul Fithri, sebenarnya Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk secara sangat jelas. Beliau bersabda:

Artinya:" Puasalah kamu jika melihat bulan, dan berbukalah kamu jika melihat bulan. Jika terhalang (mendung) maka sempurnakan bilangannya " (muttafaqun 'alaihi).

Dari hadits tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penetapan awal dan akhir bulan Puasa dilakukan dengan ru'yah (melihat bulan). Bahkan ulama Al-Azhar sepakat bahwa ru'yah yang paling kuat adalah ru'yah alamiyah (ru'yah yang bersifat internasional) bukan ru'yah lokal. Artinya jika ada seorang muslim melihat bulan di suatu tempat (misalnya di Moroko), maka ru'yah ini berlaku bagi seluruh umat Islam yang malamnya sama.

Namun ru'yah alamiyah nampaknya belum dapat dilaksanakan oleh seluruh dunia Islam, karena berbagai masalah politik dan lainnya. Setiap negara masih menggunakan ru'yah lokal negaranya masing-masing. Oleh karenannya masih terdapat perbedaan puasa dari satu negara ke negara lain, walaupun terkadang negara tersebut berdekatan.

Masalah yang lain, adalah masih banyak negeri Islam yang menggunakan hisab dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Maka perbedaan awal Puasa tidak dapat dihindari. Sebagaimana halnya di Indonesia, penetapan awal dan akhir Ramadhan masih menggunakan hasil hisab. Sedangkan jika ada seorang muslim atau lebih mengaku melihat bulan dan tidak sesuai dengan hisab pemerintah, maka pemerintah tidak menerimanya. Inilah yang terjadi bertahun-tahun tidak ada perubahan waktu mulai puasa dari yang sudah ditetapkan di kalender. Dan dengan sendirinya ada pihak yang berbeda dalam mengawali puasa dengan keputusan pemerintah. Padahal jika hasil hisab hanya digunakan sebagai alat bantu untuk menguatkan ru'yah, dan jika ada seseorang atau lebih melihat bulan kemudian diakui pemerintah maka tidak ada perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa. Maka kuncinya adalah pada amanah ilmiyah orang yang mengaku melihat bulan dan amanah ilmiyah dari pihak pemerintah untuk menerima pengakuan orang yang mengaku melihat bulan tersebut.

Sehingga untuk memulai shaum Ramadhan dan mengakhirinya yang berarti penetapan hari raya Iedul Fithri umat Islam sebaiknya mengikuti ru'yah lokal (Indonesia) agar memiliki kesamaan dengan yang lain.

  1. Hilal Ramadhan Sudah Tampak di Saudi Arabia, Tetapi di Indonesia Belum
    Pertanyaan:
    Ustadz, kami mendengar dari media masa berita tentang mulai puasa di Saudi Arabia, dimana di Indonesia belum ada yang melihat hilal. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat di antara kami di Indonesia. Diantara kami ada yang puasa dengan mengikuti informasi dari Saudi dan ini sedikit jumlahnya. Sedangkan sebagian besar umat Islam puasa berdasarkan ru'yah lokal di Indonesia atau yang diputuskan Departemen Agama. Kedua pendapat tersebut menggunakan dalil yang sama yaitu dari Al-Qur'an:

"Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" (QS Al-Baqarah 185)

Hadits Rasul saw.: " Puasalah kamu jika melihat bulan, dan berbukalah kamu jika melihat bulan".

Dan diantara kami terjadi debat yang cukup keras. Maka bagaimana sikap yang benar?
Ahmad Ma'ruf - Ciputat

Jawaban:
Sebagaimana diungkapkan diatas bahwa ru'yah hilal, terdapat dua pendapat yaitu, ru'yah 'alamiyah (internasional) dan ru'yah mahaliyah (lokal). Jika kita mengikuti pendapat yang kuat dan ideal adalah ru'yah alamiyah. Sehingga umat Islam di seluruh dunia yang malamnya bersamaan, maka puasanya pada hari yang sama. Tetapi jika mengikuti ru'yah lokal, maka setiap negara akan melakukan ru'yah tersendiri dan kemungkinan waktu mulai dan mengakhiri puasa akan berbeda.

Namun demikian, karena penyatuan ru'yah dalam skala internasional belum dapat direalisasikan karena berbagai macam sebab, maka sah saja umat Islam mengikuti ru'yah lokal di negaranya. Berpuasa bersama umat Islam secara mayoritas yang ada di wilayahnya. Walaupun begitu umat Islam yang mengikuti ru'yah alamiyah puasanya tidak batal. Sehingga ijtihad keduanya dapat dibenarkan. Tetapi yang lebih baik adalah puasa bersama umat Islam di negaranya dengan mengikuti ru'yah lokal, sehingga tidak ada peselisihan di antara umat Islam di negaranya, karena sama-sama menggunakan ru'yah lokal. Hal ini sesuai dengan hadits:

"Puasa adalah di hari kalain berpuasa, berbuka adalah di hari kalian berbuka dan 'Iedul Adha adalah di hari kalian berkurban" (HR At-Tirmidzi)

  1. Muslim yang Tidak Puasa Tanpa Udzur Syar'i
    Pertanyaan:
    Ustadz yang saya hormati, bagaimana hukumnya seorang muslim yang meninggalkan puasa tanpa alasan syar'i, tidak sakit dan juga musafir ? Bagaimana konsekwensinya ?
    Sofyan -Jakarta

Jawaban:
Seorang muslim yang tidak berpuasa dengan tanpa alasan syar'i, adalah melakukan dosa besar karena meninggalkan salah satu rukun Islam dan dia harus segera bertobat. Kemudian mengqodho jumlah puasa yang ditinggalkannya.

  1. Makan dan Minum Secara Sengaja di Siang Hari Ramadhan
    Pertanyaan :Ustadz, pada saat bulan Ramadhan, masih banyak umat Islam yang makan dan minum secara terang-terangan di siang hari. Apa hukumnya seorang yang tidak puasa secara sengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan Syari'ah ? apakah dia menjadi kafir atau bagaimana ?
    Slamet Riyadi - Depok Jawa Barat

Jawaban:
Seorang yang mengaku muslim kemudian tidak berpuasa karena mengingkarinya maka dia telah kufur. Sedangkan orang yang tidak berpuasa karena malas, atau lalai maka dia berada dalam bahaya yang besar karena tidak melaksanakan salah satu rukun Islam dan kewajiban yang penting. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (QS Al-Baqarah 183).

Rasulullah saw. bersabda:

"Islam dibangun atas lima rukun: Sahadat, laa Ilaha Illallah dan muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan"(HR Bukahri dan Muslim)

Sehingga seorang muslim yang meninggalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan Syari'ah, maka dia harus bertaubat. Kemudian mengqodho puasa sebanyak yang ditinggalkannya.

  1. Waktu Niat dan Melafadzkannya
    Pertanyaan:
    Ustadz, kapan niat puasa dilakukan, bolehkah niat dilakukan pada saat sesudah shubuh, dan apakah harus dilafadzkan ?
    Ahmad Mufarrehan - Semarang

Jawaban:
Niat puasa harus dilakukan malam hari sebelum subuh. Jika seorang muslim berpuasa tidak disertai dengan niat, atau niatnya di pagi hari setelah subuh maka puasanya tidak sah. Sehingga harus mengqodho puasanya dihari lain. Tetapi dia harus tetap menahan makan dan minum sampai maghrib. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Ibnu Umar dari Hafshoh dari Nabi saw:

"Siapa yang tidak niat puasa sebelum Shubuh, maka ia tidak puasa" (HR Ahmad)

Niat puasa ini berlaku untuk puasa wajib. Adapun puasa sunnah tidak harus meniatkan di malam hari sebagaimana diriwayatkan oleh 'Aisyah ra., bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. mendatanginya di waktu Dhuha, beliau bertanya:

"Wahai 'Aisyah apakah ada sesuatu (untuk dimakan) ?".'Aisyah berkata:" Wahai Rasulullah saw. tidak ada sesuatu pada kami". Rasul berkata:"Kalau begitu saya berpuasa" (HR Muslim)

Niat harus dilakukan setiap malam di bulan Ramadhan dengan berazam akan melakukan puasa. Dan niat letaknya di hati jika dibantu dengan dilafadzkan maka boleh saja.

  1. Mendengar Awal Ramadhan Setelah Shubuh
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, saya termasuk sebagian umat Islam yang tidak memiliki radio dan televisi, sehingga tidak mengetahui awal Ramadhan. Tetapi paginya saya berpuasa setelah mendengar bahwa hari itu mulai bulan Ramadhan. Apakah puasa saya sah?
    Sarijan - Solo Jawa Tengah

Jawaban:
Jika saudara mendengar bahwa mulai puasa sebelum Shubuh dan berniat puasa, maka puasa saudara sah. Tetapi jika mendengarnya setelah Shubuh sehingga belum niat, maka apa yang saudara lakukan adalah benar, yaitu menahan makan. Tetapi karena belum niat, maka saudara harus mengqodho di hari lain. Oleh karena itu ketika tanggal 29 Sya'ban dan malam penentuan tanggal 1 Ramadhan atau masih 30 Sya'ban, umat Islam harus mencari tahu apakah sudah ada yang melihat bulan dan besok mulai puasa atau belum. Jika sudah masuk 1 Ramadhan, maka umat Islam harus berniat untuk puasa Ramadhan.

  1. Minum Tablet yang Menahan Haidh
    Pertanyaan:
    Ustadz, bolehkah seorang wanita menggunakan obat untuk menolak haidh atau memperlambat haidh pada saat bulan Ramadhan agar dapat berpuasa ?
    Nafisah -Surabaya

Jawaban:
Seorang muslimah dibolehkan minum obat menolak haidh jika tidak membahayakan dirinya secara kesehatan dan ini harus dibuktikan dengan pernyataan dokter muslim yang terpercaya. Dan yang lebih utama adalah tidak melakukan itu dan menerima rukhsoh haidh . Kemudian mengqodho puasa di luar Ramadhan.

  1. Keluar Darah Setelah Suci
    Pertanyaan:
    Ustadz, jika seorang muslimah haidh selama 7 hari, kemudian tidak keluar lagi. Maka ia mandi shalat dan puasa. Tapi tiba-tiba setelah dua hari keluar darah lagi selama sehari kemudian bersih lagi. Tapi setelah itu keluar lagi selama sehari juga. Apa yang harus dilakukan?
    Maemunah- Tangerang Jawa Barat

Jawaban:
Pada saat haidh, seorang muslimah tidak boleh shalat dan tidak puasa. Kemudian dia mengqodho puasanya selama waktu haidh. Sedangkan shalatnya tidak di qodho. Sebagaimana hadits Rasul saw.:

Dari Muadzah berkata, saya bertanya pada 'Aisyah:"Bagaimana kondisi orang yang haidh, mengqodho puasa dan tidak mengqodho shalat? 'Aisyah berkata:"Apakah anda dari Haruriyah?". Saya berkata :"Saya bukan dari Haruriyah , tetapi saya bertanya. Berkata 'Aisyah: "Itu yang menimpa kami di bulan Ramadhan, maka kami diperintahkan untuk mengqodho puasa, dan tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat" (HR Muslim)

Jika setelah bersih, seorang muslimah melihat kuning atau keruh. Maka ia tetap puasa, dan berwudhu setiap masuk shalat, karena itu adalah darah kotor (istihadhoh). Jika khawatir darah keluar, sebaiknya ditutup. Hal ini sebagaimana riwayat Umu 'Atihiyah:

"Kami tidak menganggap sedekitpun, kuning atau keruh (setelah suci)" (HR Ibnu Majah dan An-Nasa'i).

  1. Keluar Darah Haidh Saat Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, yang saya hormati, jika seorang muslimah yang sedang puasa kemudian keluar darah pada waktunya (waktu haidh), tetapi hanya beberapa tetes, kemudian setelah itu berhenti lagi. Apakah melanjutkan puasanya?
    Siti Hafshoh -Bogor

Jawaban:
Puasanya batal dan harus mengqodho di hari lain, karena darah itu adalah darah haidh. Hadits Rasul saw. terkait dengan masalah haidh, sebagaimana diungkapkan 'Aisyah ra.:

Berkata 'Aisyah ra.: "Itu yang menimpa kami di bulan Ramadhan, maka kami diperintahkan untuk mengqodho puasa, dan tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat" (HR Muslim)

  1. Keluar Darah Haidh Sebelum Maghrib
    Pertanyaan:
    Seorang muslimah berpuasa, tiba-tiba beberapa detik sebelum maghrib keluar darah haidh. Apakah puasanya batal atau tidak?
    Jamilah- Bandar Lampung

Jawaban:
Jika keluarnya sebelum maghrib walaupun beberapa detik saja, maka puasanya batal dan ia harus mengqodhonya di luar Ramadhan.

  1. Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, bagaimana tinjauan syar'i tentang kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui ? Apakah ada rukhsoh (keringanan), kapan dan bagaimana bisa digunakan? Kemudian tentang kewajiban mengqodho, apakah boleh dicicil ? Dengan fidyah atau tanpa fidyah? Bagaimana dengan alternatif yang diberikan seorang ibu yang hamil (lemah) dan ibu menyusui yang bayinya masih kecil atau bahkan belum dapat makan tambahan ? Bolehkah ia sehari puasa sehari tidak agar tidak berat mengqodlonya kelak. Bagaimana klasifikasinya ? Dan atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
    Munawarroh -Bandung

Jawaban:
Pada dasarnya shaum Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap mukalaf. Sesuai firman Allah SWT:

Artinya:" Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa "(QS Al Baqarah 183)

Seorang ibu yang hamil termasuk dalam cakupan ayat diatas yang berarti wajib melaksanakan shaum Ramadhan. Apabila ia tidak sanggup berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, berarti statusnya seperti orang yang sakit. Maka ia mendapat rukhsoh untuk ifthor (berbuka) dengan kewajiban mengqodlo di hari-hari lain selain bulan Ramadhan tanpa membayar fidyah. Allah SWT berfirman:

Artinya:"Maka barangsiapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain"(QS Al Baqarah 184)

Adapun jika ia sanggup melaksanakan shaum, akan tetapi khawatir berbahaya bagi kandungannya, maka ia mendapatkan rukhsoh untuk ifthor, dengan kewajiban qodho dan membayar fidyah. (qodho sebagai ganti puasa yang ditinggalkan, sedangkan fidyah karena keduanya termasuk dalam ayat:"Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah… "(al- Baqarah 184). Ibnu Abbas Berkata:"Ayat ini adalah rukhsoh bagi orang yang lanjut usia lelaki dan perempuan, wanita hamil dan menyusui jika khawatir terhadap anak-anaknya maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah) "(HR Abu Daud)

Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Umar ra, dan tak seorangpun dari sahabat yang menyalahinya (Al-Mughni :Ibnu Qudamah 3/80).

Kewajiban membayar fidyah tanpa qodho hanya berlaku baginya bila tidak bisa diharapkan punya kesanggupan untuk mengqodho di hari-hari lain sampai pada masa- masa berikutnya berdasarkan dua dokter muslim yang terpercaya. Sehingga hukumnya disamakan seperti orang yang lanjut usia

Artinya: Dari Atha mendengar Ibnu Abbas membaca (ayat yang artinya):"Wajib bagi orng-orang yang berat menjalankannya, membayar fidyah , yaitu memberi makan orang miskin". Ibnu Abbas berkata:"Ayat ini tidak dinasakh, ia untuk orang lanjut usia baik lelaki maupun perempuan yang tidak sanggup berpuasa"(HR Bukhari)

Artinya:" Dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Muadz bin Jabal diriwayatkan semisal hadits Salamah. Disebutkan : Kemudian Allah menurunkan (ayat yang artinya):" Barangsiapa diantara kamu hadir di bulan Ramadhan, maka hendaklah ia puasa pada bulan itu". Maka Allah menetapkanpuasa Ramadhan bagi orang yang mukim dan sehat dan memberikan rukhsoh bagi orang yang sakit dan musafir. Sedangkan memberikan makan (fidyah) ditetapkan bagi orang lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa"(Mukhtashor riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Qodho dapat dilakukan sesuai kesanggupan seseorang. Bila seorang ibu tidak berpuasa karena khawatir kondisi fisiknya sendiri, maka ia wajib qodho. Dan jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kandungannya, maka wajib qodho dan fidyah.

  1. Puasa Anak Balita
    Pertanyaan:
    Bagaimana dengan puasa untuk anak menurut tinjauan syariah ?Baikkah anak balita sudah didisiplinkan puasa penuh, padahal perkembangan sel-sel otak sebagian (lebih dari 80%) terjadi pada fase sejak dalam kandungan sampai 4 tahun dan sulit terkejar diusia-usia sesudahnya? Usia berapakah saat yang ideal untuk membiasakan puasa setengah hari kemudian sehari penuh bagi anak-anak ?
    Ummu Muhammad - Padang

Jawaban:
Latihan puasa bagi anak-anak adalah sesuai dengan ajaran Islam. Imam Al Bukhari dalam shahihnya telah membuat bab khusus tentang puasa bagi anak-anak, dan para sahabat Rasulullah saw juga melatih anak-anak kecil mereka untuk berpuasa.

Berkata Umar ra kepada seorang yang mabuk (tidak berpuasa) di bulan ramadhan:" Celakalah kamu, padahal anak-anak kecil kami berpuasa. Maka beliaupun menghukumnya dengan pukulan (hukum cambuk)" (HR Bukhari)

Dari Rubayyi binti Muawidz berkata:" Rasulullah saw. mengirim utusan di pagi Asyura' ke kampung-kampung Anshar :" Siapa yang masuk waktu pagi dalam keadaan puasa maka sempurnakanlah puasanya, dan barangsiapa yang masuk waktu pgi dalam keadaan berbuka (tidak berbuka) maka berpuasalah pada sisa hari itu. Maka kamipun melakukan puasa Asyura'. Kami puasakan pula anak-anak kecil kami dan kami berangkat ke masjid dengan menjadikan mainan dari kapas buat mereka, jika ada salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya sampai masuk waktu berbuka" (HR Bukhari dan Muslim)

Tentang mulai umur berapa mereka mulai dilatih, tidak ada keterangan yang tegas, yang ada adalah bila mereka menangis, maka diberi makan. Usia yang ideal untuk melatih anak-anak berpuasa yaitu mulai umur tujuh tahun sebagaimana anjuran dalam latihan shalat Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: "Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat pada saat umur tujuh tahun, dan pukulah mereka pada saat umur sepuluh tahun (jika tidak shalat), dan pisahkan tempat tidurnya" (HR Abu Dawud )

Jika sebelum umur tersebut sudah mampu maka boleh mulai dilatih dengan tetap memperhatikan kondisi si anak dan tidak memaksanya, tidak pula mencela pihak lain yang tidak mengambil sikap terakhir ini. Kewajiban puasa sama dengan shalat. Sedang anak-anak mulai diperintahkan shalat sejak umur tujuh tahun sesuai dengan hadits Nabi saw diatas.

  1. Utang Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz yang saya hormati, istri saya selama tiga Ramadhan berturut-turut punya hutang mengqodho puasa. Dan tidak mampu puasa disebabkan hamil dan menyusui berturut-turut. Bolehkah dia membayar fidyah saja?
    Faisal -Semarang

Jawaban:
Tidak apa-apa mengakhirkan qodho, jika sebabnya adalah karena hamil atau menyusui berturut-turut. Tetapi jika suatu waktu mampu, maka segera membayarnya. Karena hukumnya seperti hukum orang yang sakit. Firman Allah SWT:

"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah 184).

  1. Keguguran Saat Berpuasa
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya muliakan, pada saat saya puasa Ramadhan dan saya hamil. Tiba-tiba keguguran, tetapi saya tetap meneruskan puasa tersebut. Apakah sah puasa saya atau bagaimana ?
    Faridah- Bogor

Jawaban:
Darah yang keluar dari rahim wanita, dalam Islam cuma ada tiga jenis, yaitu darah haidh, darah nifas dan darah kotor. Jika janin yang keluar sudah berbentuk, ada tangan, kaki dll. Maka hukumnya hukum melahirkan (nifas). Sehingga menunggu sampai bersih dari nifasnya atau sampai genap 40 hari. Kemudian bersuci, shalat dan mengqodho puasa yang ditinggalkannya. Tetapi jika darah yang keluar belum berbentuk, maka dianggap darah kotor dan puasa yang dilakukan tidak batal dan dapat dilanjutkan. Rasulullah saw. bersabda:

"Pada masa Rasulullah saw., para wanita yang sedang menjalani nifas menahan diri selama empat puluh hari atau malam" (HR At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

  1. Puasa Bagi Manula
    Pertanyaan:
    Ustadz bagaimana hukumnya, seorang yang sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, apa yang harus dilakukan ?
    Khodijah - Palembang

Jawaban:
Seorang yang lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa maka dia harus membayar fidyah yaitu memberi makan kepada fakir miskin sejumlah hari tidak puasa. Adapaun besarnya makan adalah ½ sha, atau 2 mud atau sekitar 1,1 kg beras. Dan dapat juga berupa makanan matang atau senilai harganya.

  1. Orang Tua yang Sakit-Sakitan
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, bapak saya sakit-sakitan sehingga, jika datang bulan Ramadhan, bapak saya tidak berpuasa. Apa yang harus saya lakukan ?
    Muhammad Umar - Cirebon

Jawaban:
Bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka Islam tidak memaksakannya untuk berpuasa. Allah SWT berfirman:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS Al Baqarah 286)

Jika bapak anda masih relatif muda dan ada kemungkinan sembuh dari penyakitnya, maka dia wajib qodho ketika sembuh . Tetapi kalau bapak anda sudah tua dan penyakitnya sulit disembuhkan, maka dia dikenakan fidyah memberi makan kepada fakir miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya, sesuai ayat:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin" (QS Al-Baqarah 184).

  1. Seseorang yang Sakit Magh
    Pertanyaan:
    Ustadz, istri saya sakit magh, dan dokter menyarankan agar makan rutin dan teratur selama kurang lebih 5 tahun. Dia sudah berusaha untuk puasa tetapi tidak kuat. Apakah yang harus dia lakukan, bolehkah membayar fidyah saja ?
    Abdul Halim - Pamulang Banten

Jawaban:
Jika kondisinya seperti itu dan sudah ditanyaan kepada dokter muslim yang terpercaya, dan juga sudah mencoba puasa tetapi tidak kuat. Maka tidak apa-apa dia tidak puasa, sampai menunggu dia mampu berpuasa. Kemudian membayar hutang puasa yang ditinggalkannya. Adapun fidyah dilakukan jika memang tidak mampu sama sekali berpuasa selamanya, sedangkan sakitnya tidak bisa diharapkan sembuh. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin" (QS Al-Baqarah 184).

  1. Puasa dan Shalat Bagi Musafir
    Pertanyaan:
    Ustadz, bagaimana hukum shalat dan puasa bagi musafir, apakah menyempurnakan shalat dan puasa lebih utama atau mengambil rukhsoh. Karena saat ini masalah jauh dan dekatnya tempat sangat relatif.
    Agung - Yogyakarta

Jawaban:
Dia boleh memilih diantara dua pilihan tadi. Namun bagi orang yang musafir mendapat rukhsoh (keringanan) untuk mengqoshor dan menjama' shalatnya serta tidak berpuasa. Rasulullah saw. bersabda:

" Sesungguhnya Allah Ta'ala suka jika rukhsohnya diambil, sebagaimana juga suka jika kewajibannya dilaksanakan" (HR At-Tabrani dan Al-Bazaar).

Tetapi kalau dia merasa, bahwa puasa adalah lebih ringan bagi dirinya, maka sebaiknya dia berpuasa. Sebagaimana Rasulullah saw. dalam beberapa perjalanannya berpuasa. Disebutkan dalam hadits:

"Kami berperang bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadhan. Diantara kami ada yang puasa dan berbuka. Maka yang berpuasa tidak menghina kepada yang tidak puasa.Dan begitu juga bagi yang tidakberpuasa kepada yang puasa. Dan memerintahkan sahabatnya untuk berbuka. Bagi mereka yang melihat bahwa mereka kuat berpuasa, maka itu baik. Dan jika mereka melihat ada kelemahan, kemudian berbuka, maka itu juga baik" (HR Muslim).

Dalam hadits lain, Rasul saw. berkata:

" Engkau akan bertemu musuh, maka kuatkanlah. Dikatakan oleh sahabat:" Wahai Rasulullah saw. sebagian manusia berpuasa karena melihat engkau berpuasa, tetapi ketika sampai Al-Kadid, mereka berbuka. Berkata orang yang berbicara padaku:"Saya telah melihat Rasulullah saw. mengusap air di atas kepalanya karena panas, dan beliau berpuasa" (HR Ahmad)

  1. Berhubungan Intim dengan Istri di Siang Hari Ramadhan Saat Musafir
    Pertanyaan:
    Ustadz, apa hukumnya seorang yang musafir dan tidak berpuasa Ramadhan. Kemudian dia melakukan hubungan dengan istrinya di siang hari dengan alasan safar. Bagaimana hukumnya?
    Rahmat - Indramayu

Jawaban:
Seorang musafir boleh berbuka puasa Ramadhan. Oleh karena itu ia boleh makan, minum dan juga berhubungan dengan istrinya. Kemudian ia wajib mengqodhonya di hari lain tanpa harus membayar kafarah.

  1. Jarak Perjalanan yang Membolehkan Buka Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, saya ingin penjelasan, perjalanan berapa kilometer seorang musafir boleh berbuka puasa ?
    Rudi - Bandung

Jawaban:
Perjalanan yang dibolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang dibolehkannya mengqoshor sholat empat rakaat, yaitu 4 burd. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda:" Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan" (HR at-Tabrani dan ad-Daruqutni )

"Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh".

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 M sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi'i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Dan perlu diketahui, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan takaran, timbangan dan jarak serta hitungan adalah bersifak tauqifiyah (menerima langsung dari Rasul saw.). Sahabat tidak mungkin berijtihad dalam masalah ini. Dan para sahabat yakin bahwa Rasulullah saw. tidak melakukan (shalat qashar, jama' dan buka puasa) dibawah jarak tersebut.

Dan perjalanan yang mendapatkan rukhsoh, adalah perjalanan yang bukan untuk maksiat, ulama kita menyebutkan:

Rukhsoh (keringanan) tidak diperoleh jika bermaksiat.

Dan hal ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

"Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah 173).

  1. Tempat Bekerja di Luar Kota
    Pertanyaan:
    Ustadz, saya eorang yang bekerja di luar kota dan melampaui jarak dibolehkannya qashar shalat. Apakah saya boleh berbuka puasa di bulan Ramadhan?
    Ismet - Bandung

Jawaban:
Saudara berhak mendapat rukhsoh untuk tidak puasa. Dan wajib mengqodhonya di luar bulan Ramadhan. Namun, antara bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan saudara tetap bekeja di luar kota. Sehingga lebih baik tetap puasa di bulan Ramadhan jika tidak terlalu memberatkan diri saudara.

  1. Di Darat Sudah Berbuka di Udara Matahari Belum Terbenam
    Pertanyaan:
    Ustadz, apabila seorang yang berpuasa dan menjelang maghrib naik pesawat udara dari Jakarta ke Medan. Di perjalanan ketika pesawat berada di atas kota Palembang dia mendengar masyarakat muslim disana sudah berbuka karena sudah adzan. Padahal dia masih melihat matahari. Apakah dia sudah boleh berbuka ?
    Anis - Jakarta

Jawaban:
Hukum waktu shalat atau puasa yang diikuti oleh penumpang pesawat adalah mengikuti tempat dibawah kota yang ia naiki. Maka Jika di Pesawat telah sampai di atas kota Palembang, misalnya. Dan disana sudah maghrib. Maka selayaknya penumpang pesawat boleh berbuka dan shalat maghrib. Tetapi karena dia melihat matahari belum tenggelam, maka dia harus menunggu sampai matahari tenggelam, setelah itu baru boleh berbuka. Hal ini sebagaimana ayat:

"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS (Al-Baqarah 187)

  1. Apakah Ada Keringanan bagi Tukang Becak
    Pertanyaan:
    Ustadz, saya seorang tukang becak. Pada saat bulan Ramadhan saya ingin puasa, tapi rasanya tidak kuat. Apakah ada keringanan bagi saya ustadz ?
    Sugimin -Yogyakarta

Jawaban:
Bulan Ramadhan adalah bulan diwajibkannya puasa sebagaimana firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (QS Al-Baqarah 183)

Jika bapak tidak puasa di bulan Ramadhan, kapan bapak berpuasa. Karena diluar Ramadhan juga kondisi bapak sama seperti di bulan Ramadhan. Oleh karena itu saya sarankan agar bapak dapat mengatur waktu. Bapak niat karena Allah SWT, makan sahur yang cukup. Kemudian siangnya bapak berpuasa. Tenaga jangan diforsir. Bila perlu jadwal membawa becaknya dirubah sebagian dilakukan di malam hari dan sebagian kecil waktunya di siang hari. Apabila suatu saat bapak mengalami keadaan yang sangat berat, kalau tidak berbuka, akan berbahaya, maka pada saat itu dibolehkan berbuka dengan mengqodhonya pada hari yang lain.

  1. Pekerja Keras di Bulan Ramadhan
    Pertanyaan:
    Ustadz, saya seorang petani yang bekerja dengan keras di sawah bolehkah tidak berpuasa di bulan Ramadhan ?
    Nanang - Krawang

Jawaban:
Puasa adalah rukun iman yang harus dijaga bagi setiap muslim. Oleh karenanya, setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh harus berpuasa, kecuali ada sebab syar'i yang membolehkannya tidak berpuasa. Sedang para petani atau pekerja keras lainnya juga harus menghormati bulan Ramadhan dan berupaya untuk berpuasa. Mereka harus bekerja dan menyesuaikan dengan ibadah puasa. Para pekerja boleh tidak berpuasa jika benar-benar tidak mampu sama sekali untuk berpuasa. Pada saat terlalu payah dan tidak kuat, dia boleh berbuka. Kondisinya dianalogikan seperti orang yang sakit, maka boleh berbuka. Kemudian harus menggantinya di hari yang lain.

  1. Suntik dan Infus Bagi Orang Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, seorang yang sakit kemudian disuntik, baik suntik pengobatan maupun suntik infus, apakah membatalkan puasa?
    Hasyim -Bekasi

Jawaban:
Suntik dengan jarum tidak membatalkan puasa. Namun infus yang berarti mengisi zat makanan ke dalam tubuh, maka membatalkan puasa. Dan biasanya orang yang diinfus, adalah orang yang mengalami sakit cukup berat sehingga dia mendapatkan keringananan untuk berbuka.

  1. Hukum Muntah Bagi Orang yang Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, saya pernah muntah di siang hari Ramadhan, apakah puasa saya batal?
    Sholihin - Cianjur Jawa Barat

Jawaban:
Jika muntah tersebut disengaja, maka puasa saudara batal. Tetapi jika tidak sengaja maka puasa saudara tidak batal, sesuai dengan hadits Nabi saw. :

"Siapa yang tidak sengaja muntah saat puasa maka tidak ada kewajiban qodho, tetapi bsiapa yang sengaja muntah maka baginya wajib qodho" (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Hakim)

  1. Melakukan Onani di Siang Hari Ramadhan
    Pertanyaan:
    Ustadz, seorang yang syahwatnya memuncak di bulan Ramadhan bolehkan dia melakukan onani. Dan apakah puasanya sah ?
    Sudono - Cilacap Jateng

Jawaban:
Onani atau dalam bahasa Arabnya istimna, diharamkan dalam Islam baik di dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat:

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas"(QS Al-Mu'minuun 5-7).

Bagi yang melakukannnya dia harus bertaubat. Sedangkan bagi yang sedang berpuasa, maka puasanya batal dan harus menggantinya di luar bulan Ramadhan, qodho saja tanpa kafarat, karena kafarat hanya untuk yang melakukan senggama.

  1. Keluar Darah dari Hidung atau Gusi dan Menelan Air Liur
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, pada saat saya puasa, keluar darah dari hidung atau dari gusi, apakah puasa saya batal? Dan begitu juga pada saat puasa air liur saya sering keluar, terutama ketika sedang shalat. Dan saya menelan air liur tersebut. Apakah puasa saya batal ustadz ?
    Nuaim- Bogor

Jawaban:
Keluar darah dari hidung atau gusi tidak membatalkan puasa. Begitu juga menelan air liur walaupun banyak, tidak membatalkan puasa. Tetapi jika berbentuk dahak sebaiknya di buang.

  1. Mencium Istri Saat Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, bolehkah mencium istri atau bersenda gurau dengannya pada saat puasa Ramadhan?
    Rizal - Padang

Jawaban:
Mencium istri atau bersenda gurau dengannya masih dapat dibolehkan jika merasa aman dari keluarnya mani. Dan makruh jika tidak merasa aman. Sehingga sebaiknya harus dijaga. Dan jika mencium istri lalu keluar mani maka puasanya batal dan harus membayar atau mengqodhonya.

  1. Keluar Mani Karena Mimpi
    Pertanyaan:
    Ustadz, jika di siang hari bulan Ramadhan keluar mani karena mimpi, apakah membatalkan puasa?
    Rofi - Jakarta

Jawaban:
Keluar mani di siang hari Ramadhan, karena mimpi tidak membatalkan puasa. Rasulullah saw. bersabda:

"Amal tidak dicatat dari tiga hal, orang yang tidur sampai bangun, orang gila sampai sadar dan anak-anak sampai dewasa (baligh)" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasaa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim)

  1. Mencicipi Hidangan di Bulan Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, bolehkah seorang wanita yang berpuasa Ramadhan mencicipi hidangan, tetapi tidak sampai ditelan.
    Halimah - Bogor

Jawaban:
Dibolehkan bagi wanita muslimah yang memasak dan mencicipi masakan di siang hari Ramadhan, asalkan tidak sampai ditelan.

  1. Berhubungan Intim Dengan Istri di Siang Hari Ramadhan
    Pertanyaan:
    Ustadz, saya khilaf, pada saat puasa Ramadhan setelah shalat Subuh, saya memuncak berhubungan intim dengan istri. Apa yang harus saya lakukan?
    Nurdin - Tegal

Jawaban:
Saudara harus bertobat kepada Allah SWT karena melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, kemudian mengqodho puasa saudara. Dan membayar kafarah yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. Sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah ra :

"Pada saat kami duduk bersama Rasul saw., tiba-tiba datang seorang lelaki dan berkata:" Ya Rasulullah celaka aku !. Rasul saw. berkata :"Kenapa?". Lelaki berkata:" Saya berhubungan dengan istriku saat saya saum (Ramadhan)". Maka Rasulullah saw berkata:" Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan ?" Berkata:"Tidak". Rasul saw berkata.:" Apakah kamu mampu puasa dua bulan berturut-turut". Berkata:"Tidak". Rasul saw. berkata:"Apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin?". Berkata:"Tidak". Berkata Abu Hurairah:" Maka Nabi saw. pergi, dan pada saat kami masih duduk-duduk, Nabi saw datang membawa sekarung kurma. Rasul saw. berkata:"Mana penanya itu?". Berkata:"Saya". Rasul saw. berkata:" Ambillah ini dan sedekahkan". Lelaki berkata:" Apakah kepada orang yang paling faqir diantara kami wahai Rasulullah? Demi Allah diantara wilayah Madinah tidak ada keluarga yang lebih faqir dariku". Maka Rasulullah saw. tertawa sampai terlihat gerahamnya dan berkata:" Berilah kepada keluargamu"(HR Bukhari dan Muslim).

Dan bagi istri saudara jika melakukannya dengan pro aktif, maka terkena sangsi sama seperti saudara. Tetapi jika terpaksa, maka cukup mengqodho saja.

  1. Cara Membayar Kafarah
    Pertanyaan:
    Ustadz, apakah aturan membayar kafarah itu harus secara berurut- turut sesuai hadits atau boleh memilih ?
    Zaki - Sukabumi

Jawaban:
Seorang yang bersenggama dengan istrinya di siang di bulan Ramdhan harus membayar kafarah. Dan aturannya harus secara berurut (tertib), sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Memerdekakan budak, jika tidak ada puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin setiap kali makan ½ sha (sekitar 1, 1 kg), dengan jenis makanan yang biasa dimakan oleh yang membayar kafarah.

  1. Hukum Musafir yang Tiba ke Rumah Sebelum Maghrib
    Pertanyaan:
    Ustadz, seorang yang pulang dari musafir tengah hari di bulan Ramadhan sedang dia tidak berpuasa. Dan istrinya baru saja bersuci dari haidh. Apakah boleh berhubungan dengan istri di siang hari Ramadhan?
    Ramlan - Tangerang

Jawaban:
Jika seorang pulang dari musafir dan sampai ke rumahnya siang hari maka dia harus menahan (makan, minum dll) sampai matahari tenggelam. Dan tidak boleh berhubungan dengan istrinya pada saat sampainya, menghormati bulan Ramadhan yang dimuliakan Allah.

  1. Berhubungan Intim dengan Istri Saat Mengqodho Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, apa hukumnya seorang yang sedang mengqodho puasa Ramadhan, namun dia tidak tahan dan berhubungan dengan istrinya, apakah dia harus membayar kafarah ?
    Syuaib - Depok

Jawaban:
Dia harus bertaubat atas kekhilafan tersebut dan mengqodho di hari yang lain. Namun dia tidak membayar kafarah karena dilakukan di luar bulan Ramadhan.

  1. Mandi Junub Setelah Shubuh
    Pertanyaan:
    Ustadz, apa hukumnya bagi suami istri yang malamnya berhubungan sampai setelah shubuh belum mandi junub. Apakah sah puasa keduanya?
    Imran - Malang

Jawaban:
Puasa keduanya sah. Begitu juga jika keduanya mimpi malam atau siang hari, maka puasanya sah. Karena yang membatalkan puasa adalah jika berhubungan suami istri siang hari atau karena keluarnya mani secara disengaja di siang hari. Disebutkan dalam hadits:

"Adalah Rasulullah saw. mendapatkan waktu fajar, padahal masih junub dari berhubungan dengan istrinya, kemudian mandi dan puasa" (Muttafaqun 'alaihi)

  1. Bersih dari Haidh Sebelum Subuh
    Pertanyaan:
    Ustadz, bagaimana jika seorang wanita yang bersih dari haidh sebelum subuh, apakah dia wajib berpuasa?
    Wati- Cilegon

Jawaban:
Dia harus berpuasa, walaupun belum mandi, karena mandi junub dapat diakhirkan dan tidak mempengaruhi puasanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Adalah Rasulullah saw. mendapatkan waktu fajar, padahal masih junub dari berhubungan dengan istrinya, kemudian mandi dan puasa" (Muttafaqun 'alaihi)

  1. Meninggal dan Belum Bayar Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, apa hukumnya jika seorang muslim sakit di bulan Ramadhan lalu meninggal dunia dan belum sempat puasa. Apakah yang harus dilakukan oleh keluarganya.
    Ismail -Solo

Jawaban:
Jika dia sakit dan kemudian sembuh tetapi tidak sempat puasa maka ahlinya atau kerabatnya membayar dengan puasa. Sebagaimana hadits Nabi saw:

"Siapa yang meninggal, dan punya hutang puasa maka walinya membayar puasa" (Muttafaqun 'alaihi).

Tetapi jika dia sakit sampai meninggal maka keluarganya harus membayar fidyah dengan memberi makan kepada faqir miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya, sebagaimana disebutkan oleh hadits riwayat Ibnu Umar:

"Siapa yang meninggal dan punya hutang puasa maka hendaknya memberi makan setiap sekali puasa seorang miskin" (HR At-Tirmidzi, hadits mauquf)

  1. Menggabungkan Niat
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, bolehkan seseorang yang berpuasa menggabung niatnya, yaitu niat puasa qodho dan sunnah ?
    Ilham - Garut

Jawaban:
Tidak boleh seseorang menggabung niat. Niat mengqodho puasa di tambah niat puasa sunnah. Tetapi jika puasa kedua-duanya sunnah, maka tidak apa-apa digabungkan niatnya.

  1. Hari-Hari Disunnahkan Puasa
    Pertanyaan:
    Ustadz, hari-hari apa sajakah yang di sunnahkan seseorang untuk berpuasa ?
    Ihsan - Jakarta

Jawaban:
Hari-hari yang di sunnahkan puasa adalah: Hari Senin dan Kamis, sebagaimana disebutkan oleh At-Tirmidzi dari 'Aisyah ra. Puasa Ayamul Bidh (hari putih), yaitu tanggal 13,14 dan 15 setiap bulan Hijriyah, disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. 6 hari di bulan Syawwal, diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Ayyub Al-Anshari ra. Puasa di hari Arafah sebagaimana disebutkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Abu Qatadah. Dan puasa tanggal 10 di bulan Muharram di sertai sehari sebelum atau sesudahnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim dari 'Aisyah ra.

  1. Ketentuan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
    Pertanyaan:
    Ustadz, apakah ketika puasa sunnah 6 hari Syawal harus dilakukan langsung setelah 'iedul Fithri? Dan apakah harus berturut turut atau boleh tidak berturut-turut ?
    Mohammad Firdaus - Banjarmasin

Jawaban:
Puasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal tidak harus langsung setelah 'Ied dan tidak harus berturut-turut. Karena dalam hadits Rasulullah saw. bersabda:

"Siapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti puasa 6 hari di bulan Syawwal, maka seperti puasa 1 tahun (HR Muslim).

Dalam hadits ini tidak disebutkan berturut-turut dan tidak juga mesti langsung setelah 'Iedul Fithri.

  1. Membatalkan Puasa Sunnah
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya harmati, bagaimana hukumnya jika seseorang sedang menjalankan puasa sunnah, kemudian membatalkannya karena tidak kuat. Apakah harus mengqodhonya?
    Musthofa - Tasikmalaya

Jawaban:
Membatalkan puasa sunnah tidak wajib mengqodhonya sebagaimana hukum puasanya. Tetapi sebaiknya jangan dibatalkan, kecuali ada alasan yang kuat. Firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu" (QS Muhammad 33).

  1. Puasa 9 Hari Sebelum 'Iedul Adha
    Pertanyaan:
    Ustadz, apakah ada dalilnya puasa sembilan hari sebelum 'Idul Adha ?
    H. Sarbini - Jakarta

Jawaban:
Dalil puasa secara khusus tidak ada, tetapi dalil amal shalih secara umum ada. Rasulullah saw. bersabda:

"Tidak ada hari-hari dimana amal shalih lebih dicintai Allah Ta'ala dari hari yang sepuluh ini (sepuluh hari di awal Dzul Hijjah). Sahabat berkata:" Tidak juga dengan jihad di jalan Allah ?". Rasulullah saw. bersabda:" Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang keluar dengan dirinya dan hartanya dan tidak kembali lagi " (HR Bukhari )

  1. Keutamaan Shalat Tarawih dan Tata Caranya
    Pertanyaan:
    Ustadz tolong terangkan kepada kami keutamaan Shalat Tarawih dan tata cara shalatnya di Bulan Ramadhan ? Apakah ada perbedaan shalat Tarawih bagi kalangan muslimah ?
    Nur Jannah - Cirebon

Jawaban:
Qiyam Ramadhan dan shalat Tarawih adalah salah satu ibadah yang dianjurkan Rasulullah SAW, tetapi terkadang pelaksanaannya dapat mengganggu Ukhuwah Islamiyah, karena terdapat perbedaan pada beberapa hal. Oleh karena itu kami membuat jawaban secara rinci ini agar umat Islam dapat memahami berbagai perbedaan tersebut dan tidak terjadi perselisihan yang dapat merusak Ukhuwah Islamiyah.

    1. Anjuran Melaksanakan Qiyam dan Tarawih di Bulan Ramadhan
      Merupakan anjuran Nabi saw menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak shalat. Sebagaimana hal itu juga dapat terpenuhi dengan mendirikan Tarawih disepanjang malamnya. Fakta adanya pemberlakukan shalat Tarawih secara turun temurun sejak Nabi saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah akan masyru'iyahnya. Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Dari Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi saw sangat menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw bersabda:"Siapa saja yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau"(Muttafaq 'alaihi, lafazh imam Muslim dalam shahihnya: 6/40)

    1. Pemberlakuan Jamaah Shalat Tarawih
      Pada awalnya shalat Tarawih dilaksanakan Nabi saw dengan sebagian sahabat secara berjamaah di masjid Nabawi, namun setelah berjalan tiga malam, Nabi saw membiarkan para sahabat melakukan Tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat Tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklan shalat Tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Kaab. Sebagaimana terekam dalam hadits muttafaq alaihi riwayat 'Aisyah ( al-Lu'lu' wal Marjan: 436).

Dari sini mayoritas ulama menetapkan sunnahnya pemberlakukan shalat Tarawih secara berjamaah ( lihat syarh Muslim oleh Nawawi : 6/39)

    1. Wanita Melaksanakan Tarawih
      Pada dasarnya keutamaan wanita dalam menjalankan shalat, termasuk shalat Tarawih lebih baik dalam rumahnya. Namun jika tidak ke masjid dia tidak berkesempatan atau tidak melaksanakannya maka kepergiannya ke masjid untuk hal tersebut akan memperoleh kebaikan yang sangat banyak. Pelaksanaannya tetap memperhatikan etika wanita ketika berada diluar rumah.
    2. Jumlah Rakaat Tarawih
      Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan Tarawih. Demikian juga riwayat 'Aisyah- yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi saw mendirikan Tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat 'Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi saw tentang jumlah rakaat shalat malam baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Namun riwayat ini nampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum, misalnya imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, imam Malik dalam Muwatha' pada bab shalat Witir Nabi saw ( lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha' dalam Tanwir Hawalaik: 141). Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.

Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat sbb:

    1. Hadits Aisyah : Artinya: "Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan" ( al-Fath : ibid).
    2. Imam Malik dalam Muwatha'-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk melaksanakan shalat Tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat ( al-Muwatha' dalam Tanwirul Hawalaik; 138)
    3. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat Tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi'i (Lihat Fiqhu Sunnah:1/195)
    4. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat Tarawih hingga 36 rakaat ditambah Witir tiga rakaat. Hal ini dikomentari imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
    5. Imam asy-Syafi'i dari riwayat az-Za'farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan Tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, dan di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid)

Dari riwayat diatas jelas akar persoalan dalam jumlah rakaat Tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. Ibnu Hajar berpendapat: "Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat Tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya". Hal senada juga diungkapkan oleh Imam asy-Syafi'i: "Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama". Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa orang yang menjalankan Tarawih 8 rakaat dengan Witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi saw dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar ra, sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh salafu saleh dari generasi sahabat dan tabiin. Bahkan menurut imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.

Hal yang sama juga diungkapka imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat Tarawih melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dst ) Imam az-Zarkani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa Tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang namun bergeser menjadi 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan umat Islam dalam mendirikannya. Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama. (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah :1/195)

Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling mendebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah rakaat shalat Tarawih apalagi menjadi sebab perpecahan umat yang bersatunya adalah sesuatu yang wajib. Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi konsens dalam shalat Tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya dimanapun berada.

Cara Melaksanakan Shalat Tarawih

    1. Dalam hadits Bukhari riwayat 'Aisyah menjelaskan bahwa cara Nabi saw dalam menjalankan shalat malam adalah dengan melakukan tiga kali salam masing-masing terdiri 4 rakaat yang sangat panjang ditambah 4 rakaat yang panjang pula ditambah 3 rakaat sebagai penutup (Lihat Fathul Bari : Ibid)
    2. Bentuk lain yang mendapatkan penegasan secara qauli dan fi'li juga menunjukkan bahwa shalat malam dapat pula dilakukan dua rakaat-dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ibnu Umar ra menceritakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw tentang cara Rasulullah saw mendirikan shalat malam beliau menjawab:" Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat jika ia khawatir akan tibanya waktu Shubuh maka hendaknya menutup dengan satu rakaat (Mutaffaq alaihi al-Lu'lu' wal Marjan : 432). Hal ini ditegaskan fi'liyah Nabi saw dalam hadits Muslim dan Malik ra (lihat Syarh Shaih Muslim 6/ 46-47; Muwatha' dalam Tanwir: 143-144)
    3. Dari sini Ibnu Hajar menegaskan bahwa Nabi saw terkadang melakukan Witir/ menutup shalatnya dengan satu rakaat dan terkadang menutupnya dengan tiga rakaat.
    4. Khusus untuk shalat witir dapat dilakukan sekaligus tiga rakaat dan dapat juga dilakukan dua rakaat kemudian satu rakaat.

Dengan demikian shalat malam termasuk Tarawih dapat didirikan dengan dua rakaat dua rakaat dan ditutup dengan satu rakaat atau ditutup dengan 3 rakaat dua kali salam ataupun empat rakaat empat rakaat dan ditutup dengan tiga rakaat.

Demikian penjelasan seputar shalat Tarawih dalam perspektif Islam semoga Allah SWT memberkahi dan selalu mengkaruniakan kesatuan dan persatuan umat melalui ibadah yang mulia ini.

  1. Awal dan Akhir I'tikaf
    Pertanyaan:
    Jika seseorang ingin i'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan kapan waktu mulai dan mengakhirinya ?
    Thamrin - Ternate

Jawaban:
Mulai i'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah setelah shalat Shubuh. Sebagaimana diriwayatkan 'Aisyah ra. berkata:

"Bahwa Rasulullah saw. jika hendak i'tikaf, shalat Fajar kemudian masuk ke tempat i'tikafnya" (HR Bukhari dan Muslim).

Mulai i'tikaf dapat juga di awali pada malam ke 21 bulan Ramadhan sebelum tenggelam matahari. Adapun berakhirnya pada saat matahari tenggelam di hari terakhir Ramadhan.

  1. Hal-Hal yang Disunnahkan Bagi Orang yang I'tikaf
    Pertanyaan:
    Ustadz, apa saja yang disunnahkan bagi orang yang beri'tikaf?
    Hasanuddin - Makasar

Jawaban:
Bagi orang yang beri'tikaf, maka dia disunnahkan melakukan hal-hal sbb:

    1. Berusungguh-sungguh untuk mengisi waktunya dengan menghidupkan malam dan memperbanyak ibadah seperti tilawah Al-Qur'an, dzikir dll. sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

" Rasulullah saw. ketika memasuki sepuluh hari terakhir menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya" (HR Bukhari dan Muslim).

Dan diriwayatkan oleh Muslim: "Rasulullah saw. bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir, sesuatu yang tidak dilakukan di waktu lainnya".

    1. Rasulullah saw. menganjurkan mengisi waktu i'tikaf dengan qiyamul lail, seperti disebutkan dalam hadits:

"Siapa yang bangun di Lailatul Qadr penuh keimanan dan perhitungan, maka diampuni dosa yang telah dilakukannya" (HR Bukhari dan Muslim).

    1. Do'a yang paling utama dibacakan adalah sebagaimana diajarkan Rasulullah saw. kepada 'Aisyah ra. :

"Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, dan mencintai pengampunan, maka ampunilah aku" (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i).

  1. Syarat Tempat I'tikaf
    Pertanyaan:
    Ustadz, adakah persyaratan masjid tempat i'tikaf ? Dan apakah jika hendak i'tikaf harus di dahului dengan puasa ?
    Nur Sadat Nasution - Medan

Jawaban:
Masjid tempat i'tikaf adalah masjid yang digunakan untuk shalat jama'ah. Tetapi lebih utama adalah masjid jami' yang digunakan untuk shalat Jum'at. Bagi orang yang ber'tikaf tidak diwajibkan terlebih dahulu puasa.

  1. Ruangan Masjid Untuk I'tikaf
    Pertanyaan:
    Ustadz, apakah ruangan masjid semuanya dapat menjadi tempat i'tikaf, seperti ruangan untuk pegawai dll.
    Salman -Tebet Jakarta

Jawaban:
Ruangan yang menyatu dengan masjid (dalam satu lantai), termasuk masjid. Sedangkan yang terpisah dengan masjid, misalnya lantai bawah, maka bukan termasuk masjid.

  1. I'tikaf Hanya Malamnya Saja
    Pertanyaan:
    Ustadz Salim yang saya hormati, Apakah boleh ber'tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan malamnya saja, atau terkadang keluar untuk keperluan kerja atau lainnya atau tidak genap sepuluh hari.
    Abdullah Muslim - Pekan Baru Riau

Jawaban:
Bagi seorang muslim yang ber'itikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hendaknya berniat dan berupaya melaksanakan secara sempurna sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Dan yang disunnahkan dalam i'tikaf adalah sebagaimana hadits Rasul saw:

"Sunnah bagi yang i'tikaf ialah: tidak menengok orang sakit, tidak mengantarkan jenazah, tidak menyentuh wanita dan tidak berhubungan dengannya, tidak keluar untuk suatu keperluan kecuali yang tidak bisa ditinggalkan, tidak i'tikaf kecuali dengan puasa dan tidak i'tikaf kecuali di masjid jami'"(HR Abu Dawud, Ad-Daruqutni dan Al-Baihaqi)

Namun bagi yang tidak dapat menyempurnakan sepuluh hari, atau melaksanakan malamnya saja, maka harus melaksanakan semampunya sebagaimana qaidah:

"Sesuatu yang tidak dapat diambil semuanya maka jangan ditinggal semuannya".

  1. I'tikaf Bagi Muslimah
    Pertanyaan:
    Ustadz, bagaimana hukumnya i'tikaf bagi muslimah
    Hamidah - Jakarta

Jawaban:
I'tikaf disunnahkan bagi muslim maupun muslimah. Namun bagi muslimah jika hendak beri'tikaf di masjid hendaknya dilakukan bersama suaminya atau mendapat izin darinya. Jika belum punya suami, maka harus mendapat izin dari orang tua atau mahramnya. Dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan fitnah.

Sumber: PKPU Online

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...