Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

07 April, 2006

Bab 1 - Tentang Saya: Bagaimana Saya Bisa Menjadi Muslim Dan Kenapa Saya Menulis Buku Ini

Assalamu’alaikum wr.wb.Ini Bab Pertama dari buku saya Mencari Tuhan, Menemukan Allah.(Baru terbit dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia belum keluar.)
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
-Gene Netto

MENCARI TUHAN, MENEMUKAN ALLAH

DAFTAR ISI

1.         Tentang Saya: Bagaimana Saya Bisa Menjadi Muslim Dan Kenapa Saya Menulis Buku Ini
2.         Rangkaian Pengutusan Para Nabi
3.         Tanda dari Tuhan
4.         Para Pengikut Yesus
5.         Pengikut Yesus Dan Pengikut Muhammad Saw
6.         Kebenaran Islam
7.         Ini Yang Allah Katakan Mengenai Al Qur'an
8.         Sebuah Agama yang Logis
9.         Alasan Logis Kenapa Kita Tidak Bisa Melihat Tuhan
10.       Kebutuhan Spiritual Kita Dan Solusi Dari Allah
11.       Ini Pilihan Anda

*******

1.         TENTANG SAYA: BAGAIMANA SAYA BISA MENJADI MUSLIM

Saya mulai menulis bab ini karena saya sering kali harus mengulang cerita yang sama kepada orang-orang di Indonesia yang ingin tahu mengapa saya menjadi seorang Muslim. Setiap kali saya mengeluh karena harus selalu mengulang sejarah pribadi saya kepada setiap kenalan baru, teman-teman seraya bercanda menyarankan agar saya menulis saja sebuah buku tentang diri saya. Di saat yang sama, setiap kali murid-murid saya bertanya tentang pekerjaan apa yang saya inginkan selain menjadi guru Bahasa Inggris, maka saya selalu menjawab ingin menjadi seorang penulis karena saya memang senang membaca dan menulis sejak kecil.

Setiap orang yang bertemu dengan saya di Indonesia ingin mengetahui hal yang sama: bagaimana saya bisa masuk Islam? Saya telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1995, dan karenanya sebagian besar perbincangan dilakukan dalam Bahasa Indonesia dan kadang dalam Bahasa Inggris dengan orang asing. Lalu, saya juga harus menjawab sederet pertanyaan lain tentang bagaimana saya belajar Bahasa Indonesia dan bisa tinggal di Indonesia.

Ada banyak masalah di Indonesia, seperti halnya di semua negara berkembang lainnya, dan banyak orang Indonesia tampak bingung ketika bertemu saya karena mereka tidak mengerti bagaimana saya bisa memilih untuk menjadi seorang Muslim dan kemudian juga memilih untuk tinggal di sini. Sebagian orang Indonesia mengatakan mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk berusaha pindah keluar dari Indonesia agar dapat hidup nyaman di negara barat dengan standar hidup yang tinggi. Jadi, mengapa saya malah memilih untuk meninggalkan kehidupan yang nyaman di sana dan tinggal di Jakarta?

Alasannya sederhana. Sebagian kawan saya yang Muslim sering berkomentar bahwa cara saya memahami dan menjelaskan Islam sangat berbeda dengan apa yang pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka lahir sudah dalam keadaan beragama Islam, sedangkan saya harus menghabiskan waktu 5 tahun untuk meneliti ajaran Islam supaya bisa memastikan bahwa Islam memang benar. Mereka hanya menerima apa yang dikatakan oleh orang tua mereka, sedangkan saya harus benar-benar mempertanyakan semuanya, menganalisis Islam dengan logika, dan selalu bertanya "Mengapa?" Namun, banyak Muslim Indonesia jujur mengakui bahwa mereka shalat hanya karena orang tuanya menyuruh mereka melakukannya. Mereka juga percaya bahwa Islam itu benar, tetapi mereka tidak pernah menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis apa yang mereka lakukan atau mengapa mereka melakukan itu. Mereka hanya melakukannya. Jadi perbedaan cara pendekatan kami terhadap Islam membuat pemahaman saya tentang Islam jadi tampak sangat unik bagi mereka.

Pengalaman itu membuat saya merasa bahwa mungkin ada sebuah tugas penting yang perlu saya lakukan di Indonesia. Saya bisa berbahasa Indonesia dengan baik, mampu menyampaikan ide-ide saya, dan penjelasan saya tentang Islam tampaknya memiliki dampak yang kuat pada banyak orang yang lahir sebagai Muslim. Misalnya, seorang Muslim yang tidak melakukan shalat selama 30 tahun tiba-tiba mulai shalat lagi setelah satu kali bercakap-cakap dengan saya. Jadi saya memutuskan bahwa saya harus tinggal di sini, berusaha untuk mengembangkan komunitas Muslim yang ada di sini, dan bukan mencari kehidupan yang nyaman untuk diri saya sendiri di negara maju.

Dalam bab ini, saya akan menjelaskan bagaimana saya melalui sebuah proses untuk menjadi seorang Muslim. Namun, bab ini hanyalah untuk memenuhi keingintahuan mereka yang ingin tahu tentang latar belakang saya. Selanjutnya, sisa buku ini bukanlah tentang saya, melainkan tentang bagaimana saya menganalisis Islam dan Kristen hingga mencapai kesimpulan bahwa agama Kristen harus ditolak dan agama Islam harus diterima. Dalam buku ini, saya ingin menjelaskan mengapa saya menganggap agama Kristen tidak dapat diterima dari perspektif logis dan bagaimana saya belajar bahwa ternyata Islam adalah sebuah agama yang pada dasarnya bersifat logis dan seharusnya dapat membuat seseorang berpikiran terbuka serta menggunakan logika dan kecerdasannya untuk sampai pada kesimpulan bahwa Islam itu benar.

1.1.      Pada Awalnya

Saya lahir di kota Nelson, sebuah kota kecil di Pulau Selatan di Selandia Baru (dekat Australia). Pada waktu kecil, saya merasa kurang betah tinggal di Selandia Baru. Bapak saya lahir di Myanmar (Birma), keluarga saya beragama Katolik, dan ibu saya yang lahir di Selandia Baru berkulit putih. Jadi, ras saya campuran. Saya merasa saya ini “sama” seperti orang lain.Tapi saya juga ingat orang-orang sering kali bertanya tentang asal saya. Kakak dan adik saya bermata biru. Sedangkan mata dan rambut saya lebih gelap. Ini membuat saya tampak berbeda dari mereka. Saya selalu merasa bahwa saya bukan benar-benar orang kulit putih, tetapi juga bukan orang Asia. Mungkin karena saya berpikir tentang hal itu, saya jadi ingin belajar lebih banyak tentang dunia, bangsa, budaya dan agama yang berbeda-beda. Ini semua mungkin karena saya merasa bukanlah bagian dari itu semua.

Seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai ingin mempelajari topik-topik yang serius: piramida, dinosaurus, peradaban kuno, politik global, perang, agama, bintang-bintang, dan juga alam semesta. Terkadang, saya memandang bintang-bintang dalam kesunyian malam dan memikirkan dari mana mereka berasal. Saat itu umur saya sekitar 10 atau 11 tahun dan sudah mulai ingin mengetahui segala sesuatu. Pada saat itu, saya adalah satu-satunya murid di kelas yang tertarik pada dinosaurus. Saya tidak mengerti mengapa teman-teman tidak tertarik, padahal dinosaurus itu asyik! Saya ingin tahu mengapa mereka menghilang. Pada dasarnya, saya adalah seorang anak kecil yang selalu penasaran terhadap segala sesuatu yang misterius dan rahasia yang belum terungkap.

Seperti anak kecil lainnya, saya juga diajarkan tentang agama Kristen di Sekolah Minggu meskipun dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Ketika itu saya harus menghafal seluruh cerita standar dalam Alkitab; tentang Nabi Abraham, Nabi Musa, Nabi Nuh, dan Yesus. Saya selalu bingung bagaimana mungkin Nabi Nuh bisa memasukkan begitu banyak binatang ke dalam sebuah kapal. (Apakah semua binatang di seluruh dunia?). Ada banyak hal dalam agama Kristen yang membuat saya bingung. Tapi, kisah Nabi Nuh bukanlah teka-teki terbesar bagi saya. Ada hal lain yang lebih besar yang saya pikirkan.

Saya belajar tentang konsep Trinitas, yaitu konsep yang mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah Yesus dan juga Roh Kudus. Tiga-tiganya terpisah, tetapi tiga-tiganya juga satu. Tiga tapi satu. Ketiganya adalah Tuhan, tapi hanya ada satu Tuhan. Tuhan menjadi seorang manusia yang bernama Yesus, dan manusia ini adalah anak Tuhan. Manusia ini wafat, tetapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia ini adalah Tuhan. Dia wafat. Tapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia ini adalah Tuhan. Berarti manusia ini wafat walaupun dia tidak bisa wafat. Dia hidup kekal, dan sekaligus tidak hidup kekal pada saat yang sama. Bagi saya, ini sangat membingungkan.

Saya juga bingung dengan peran pastor yang dengan mudahnya mengampuni dosa setiap orang tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Tuhan. Bagaimana kalau pastor itu salah dan dosa saya belum diampuni? Apakah saya bisa mendapatkan bukti tertulis dari Tuhan yang menyatakan bahwa saya sudah terbebas dari dosa? Bagaimana kalau saya bertemu dengan Tuhan di Hari Akhir dan Dia menyatakan bahwa dosa saya belum diampuni? Kalau saya protes dan menyalahkan pastor yang meyakinkan bahwa saya tidak punya dosa lagi, mungkin Tuhan hanya akan bertanya satu hal saja, “Siapa yang menyuruh kamu percaya pada perkataan dia?” Siapa yang sanggup menyelamatkan saya kalau pastor itu ternyata keliru dan dosa saya tetap ada dan malah dihitung secara terperinci oleh Tuhan?

Saya mulai berpikir bagaimana cara mendapatkan sebuah jawaban yang gamblang atas semua pertanyaan mengenai agama yang mengganggu pikiran saya. Akhirnya, saya memutuskan bahwa saya harus berbicara empat mata dengan Tuhan! Hanya Tuhan yang bisa menjawab semua pertanyaan saya. Jadi, saya berdoa kepada Tuhan dan meminta-Nya untuk datang dan menampakkan Diri di kamar tidur saya, agar saya bisa melihat-Nya dengan mata kepala sendiri. Tapi tentu saja Dia tidak datang. Pada saat itu, saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tidak datang karena Tuhan memang tidak ada! Oleh karena itu, hanya ada satu pilihan yang tersisa: saya harus menyatakan diri saya “ateis” dan tidak percaya pada Tuhan mana pun.

Saya terus melanjutkan sekolah dan menyembunyikan kenyataan bahwa saya tidak lagi percaya kepada Tuhan. Kalau ada yang bertanya apa agama saya, maka saya cukup menjawab “Katolik” supaya tidak perlu menjelaskan bahwa saya ateis. Selama masa SD, SMP, dan SMA, saya tidak menghabiskan banyak waktu mempelajari agama Kristen atau agama lain. Saya menganggap mempelajari agama hanya membuang-buang waktu saja karena Tuhan tidak nyata. Setelah lulus SMA, orang tua saya memutuskan untuk pindah ke Brisbane, Australia. Saya pun akhirnya memutuskan ikut bersama mereka.

1.2.      Belajar Islam

Di Brisbane, saya tiba-tiba memutuskan untuk masuk jurusan Psikologi di universitas, namun saya tidak diterima di jurusan itu. Sebagai pilihan kedua, saya ditawari untuk masuk ke Fakultas Kajian Asia dan Internasional (Faculty of Asian and International Studies). Saya diberi tahu bahwa saya dapat mengambil jurusan Kajian Asia selama 1 tahun, meningkatkan nilai saya, lalu mendaftar lagi ke jurusan Psikologi. Rencana ini tampaknya cukup bagus sehingga saya pun menerima tawaran itu.

Pada tahun pertama kuliah di Fakultas Kajian Asia, saya memilih Bahasa Indonesia dan saya mendapatkan nilai yang sangat baik dan termasuk yang paling tinggi. Saat kami diberi tahu bahwa ada 3 beasiswa untuk belajar di Indonesia, saya tidak mengikuti seleksi karena masih berniat pindah ke Fakultas Psikologi di akhir tahun. Tiga teman saya kemudian terpilih, tetapi salah satunya tiba-tiba menyatakan ada halangan dan mengundurkan diri. Proses seleksi dibuka lagi, tetapi sekarang hanya untuk satu orang. Ada seorang dosen yang memanggil saya ke kantornya dan bertanya kenapa saya tidak mengikuti seleksi beasiswa itu. Setelah saya jelaskan niat saya untuk pindah fakultas di akhir tahun pertama, dosen itu menyarankan agar saya melanjutkan kuliah Kajian Asia Modern dan mata kuliah Bahasa Indonesia karena menurutnya saya memiliki bakat di bidang itu. Berdasarkan sarannya, saya memutuskan untuk meneruskan kuliah di Fakultas Kajian Asia dan juga mengikuti proses seleksi untuk beasiswa belajar di Indonesia. Setelah proses seleksi selesai, saya dinyatakan lulus dan akan diberangkatkan ke Indonesia pada tahun berikutnya (1991). Sejak saat itu, saya pun menjadi lebih fokus dalam belajar karena telah mempunyai tujuan yang berbeda.

Pada suatu hari, Klub Indonesia di kampus mengundang seluruh mahasiswa Australia yang belajar tentang Indonesia, dan juga seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di kampus untuk datang ke sebuah acara barbeque. Ada seorang mahasiswa dari Indonesia yang mengajak saya ngobrol. Dia bertanya apakah saya belajar tentang Indonesia dan saya jawab ya. Kemudian, tiba-tiba saja dia bertanya apakah saya juga belajar tentang agama Islam. Saya menjawab, tentu saja, kami harus mempelajari dasar-dasar semua agama di Asia termasuk agama Islam dalam salah satu mata kuliah kami.

Lalu dia benar-benar membuat saya terkejut dengan bertanya, “Apakah kamu sudah tahu bahwa di dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni dosa? Tidak ada pendeta atau pastor yang bisa mengampuni dosa manusia!” Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya masih ingat, saya duduk di situ, seketika terpaku seperti sebuah patung dengan hotdog yang baru saja saya gigit, tertahan di bibir. Saya begitu terkesima. Waktu seolah terhenti untuk beberapa saat. Kemudian saya menyadari bahwa inilah jawaban yang saya cari selama 10 tahun. Di dalam Islam, hanya Tuhan yang berhak mengampuni dosa. Saya mulai berpikir: apakah mungkin ada suatu agama yang didasarkan pada logika? Adakah Islam mengandung ajaran-ajaran yang dapat dianalisis secara kritis tanpa menimbulkan kebingungan, dan dapat menjawab sejumlah pertanyaan saya selama ini? Apakah mungkin sebuah agama yang pernah saya tolak sebenarnya mengandung kebenaran yang mutlak? Apakah mungkin ada satu agama yang benar di dunia ini?

Sejak saat itu, saya mulai mempelajari dan menganalisa agama Islam secara mendalam. Saya mulai membaca buku dan mencari teman dari Indonesia yang beragama Islam. Secara perlahan, saya mulai memperluas pengetahuan saya tentang Islam dengan bertanya, berpikir, membaca, dan terus mencari jawaban. Tujuan utama saya adalah untuk mencari tahu apakah Islam benar-benar masuk akal atau tidak.

Pada tahun 1991, saya berangkat ke Indonesia untuk mengikuti program beasiswa. Saya belajar di sebuah universitas Katolik swasta di pusat kota Jakarta. Selama 6 bulan di sana, semua teman saya adalah orang Islam. Saya melihat mereka melakukan shalat, dan saya mulai bertanya lebih jauh mengenai agama Islam. Saya ingin tahu apa yang mereka lakukan, mengapa, dan apa yang mereka yakini sebagai orang Islam.

Setelah 6 bulan tinggal di Jakarta dan kembali ke Brisbane, ternyata saya menjadi salah satu mahasiswa yang paling lancar berbahasa Indonesia di kampus. Oleh karena itu, saya sering kali bergaul dengan orang-orang Muslim dari Indonesia. Saya tidak aktif mempelajari Islam secara rutin, namun saat itu saya sudah mulai merasa tertarik. Kapan pun kami harus menulis makalah, saya selalu mencari topik yang ada hubungannya dengan Islam. Biasanya ada satu topik pilihan tentang Islam dalam daftar yang diberikan. Untuk menulis makalah tersebut, saya harus membaca belasan buku dan artikel tentang aspek-aspek Islam di Indonesia. Semakin sering saya baca, semakin mampu saya berpikir secara mendalam tentang Islam.

Meskipun saya dapat melihat banyak aspek positif dalam Islam, diam-diam saya juga mencari titik kelemahannya yang fatal dan jelas. Saya yakin, cepat atau lambat saya akan menemukan sesuatu yang dapat meyakinkan saya bahwa Islam itu tidak benar. Saya merasa yakin bahwa pasti ada sesuatu yang salah dengan Islam, dan saya ingin menemukannya.

Setelah menyelesaikan kuliah Bachelor of Arts (BA) pada tahun 1993, saya mengambil kuliah tambahan Graduate Diploma of Education (GDipEd) pada tahun 1994 di Fakultas Pendidikan karena saya bermaksud menjadi seorang guru bahasa dan sejarah. Pada saat yang sama, saya juga mengikuti seleksi untuk mendapatkan beasiswa baru. Beasiswa ini hanya akan diberikan untuk satu orang selama satu tahun penuh di Indonesia. Saya memenangkan beasiswa itu, dan saya kembali kuliah di Jakarta pada tahun 1995. Kali ini di Universitas Indonesia. Sekali lagi, saya menghabiskan waktu saya di Indonesia dengan teman-teman Muslim dan memperhatikan apa yang mereka lakukan.

Malam hari pada bulan Februari tahun 1995, saya duduk seorang diri di lantai menonton shalat Tarawih yang ditayangkan TV secara langsung dari Makkah. (Shalat Tarawih adalah shalat tidak wajib yang dilakukan pada malam hari selama bulan puasa Ramadan, dan dapat berlangsung selama 2 jam). Saya mendengarkan pembawa acara yang berbicara dalam Bahasa Indonesia. Dia menyatakan bahwa pada tahun itu diperkirakan ada sekitar 3 juta orang di Masjidil-Haram dan wilayah sekitarnya (yang terdiri dari lapangan yang ada di luar masjid, jalan-jalan, dan bahkan lobi-lobi hotel). Semua orang itu sedang melakukan shalat bersama. Sekitar 3 juta orang melakukan gerakan yang sama, menghadap ke arah yang sama, mengikuti pemimpin yang sama, berdoa dalam bahasa yang sama, dengan ucapan yang sama, pada saat yang sama, dan berdoa kepada Tuhan yang sama. Saya berpikir: mana ada hal seperti ini di negara Barat? Jumlah orang yang berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola yang paling hebat sekalipun di dunia ini paling-paling hanya sekitar seratus ribuan. Tapi sekarang saya melihat tiga juta orang yang berkumpul di dalam dan di sekitar sebuah bangunan, melakukan hal yang sama, pada waktu yang sama, dan semuanya melakukan gerakan-gerakan secara bersamaan. Ini sungguh sebuah pemandangan yang tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, saya masih belum menemukan kejadian serupa itu di dunia Barat.

Saya mulai berpikir tentang berapa banyak orang yang bisa berkumpul di satu bangunan untuk mendengarkan Paus bicara. Saya mulai bayangkan apakah mungkin semuanya bisa memahami kata-kata yang diucapkan Paus karena tidak ada satu bahasa pun yang mempersatukan orang Kristen dari seluruh dunia. Tidak ada satu kejadian pun di dalam agama Kristen yang dapat menandingi kejadian yang saya saksikan di Makkah.

1.3.      Menjadi Seorang Muslim

Selama satu tahun itu saya tinggal di Jakarta dan terus mempelajari agama Islam dengan pelan dan tidak secara formal, melainkan dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekitar saya. Kalau ada ceramah agama di TV, maka saya akan mendengarkan dan memikirkan apa yang disampaikan penceramahnya. Tidak ada satu pun hal pokok dalam isi ceramah-ceramah itu yang dapat saya anggap keliru, sehingga pada akhir tahun 1995, saya sudah merasa semakin sulit untuk menolak agama Islam. Saya sudah terus-menerus mencari kelemahan dalam ajaran dasar Islam dari sudut pandang logika, namun, saya tidak dapat menemukan titik kelemahan itu. Semua yang ada di dalam Islam tampaknya begitu jelas, logis, dan tak pelak lagi memang didasarkan pada kecerdasan manusia.

Akhirnya saya merasa tidak bisa terus menyangkal apa yang telah saya pelajari tentang Islam sehingga saya tidak lagi mempunyai pilihan lain: saya harus menjadi seorang Muslim. Akan tetapi, bagaimana dengan masa depan saya? Kuliah saya di Universitas Indonesia hampir usai. Saya harus kembali ke Australia dan mengajar di sekolah di sana. Bagaimana saya bisa mempelajari agama Islam jika tinggal di sana? Dari mana saya bisa mendapatkan guru agama? Di mana saya bisa shalat? Ada berapa masjid di Brisbane? Sepertinya saya akan sulit hidup sebagai orang Islam kalau harus tinggal di sana. Semakin saya berpikir, semakin jelas bahwa tinggal di Indonesia akan menjadi pilihan yang lebih baik supaya saya bisa berada di antara orang-orang Islam. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk masuk Islam dan menetap di Indonesia untuk sementara agar saya lebih mudah belajar tentang Islam.

Pada bulan Februari tahun 1996, saya mengucapkan syahadat dan menjadi seorang Muslim secara resmi. Keluarga saya sudah pasti menganggap saya “sudah gila” tetapi mereka tetap bersikap baik kepada saya dan tidak pernah memberikan komentar buruk tentang Islam di depan saya. Saya masih diterima secara baik oleh keluarga saya, dan ini sangat berbeda dengan cerita yang sering kali saya dengar di Indonesia tentang sebagian orang Kristen yang masuk Islam. Mereka dipukuli, diusir dari rumah dan tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka lagi.

Meskipun keluarga saya tetap ramah pada saya, dan saya bisa dengan mudah pindah kembali ke Australia, saya masih merasa lebih nyaman tinggal di antara umat Islam lainnya dan mendapat kesempatan untuk belajar pada guru saya setiap minggu. Jadi, saya memutuskan untuk tinggal di Indonesia dan sampai sekarang pun, saya masih tinggal dan bekerja di sini sejak tahun 1995. Pernah beberapa kali saya mempertimbangkan untuk pindah ke negara lain. Tetapi setiap kali saya memutuskan untuk pindah negara, selalu terjadi sesuatu yang mengubah pikiran saya, yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini saja.

1.4.      Apa Tujuan Saya Menulis Buku Ini?

            Mungkin alasan paling kuat mengapa saya terdorong menulis buku ini adalah karena saya ingin menjelaskan beberapa unsur dalam agama Kristen dan Islam yang telah saya coba pahami selama bertahun-tahun ini, dan saya berharap bahwa informasi ini dapat berguna untuk berbagai kalangan. Saat masih kecil, saya merasa sulit percaya pada ajaran Kristen, karena menurut saya ajarannya sangat tidak logis. Karena alasan itulah, saya kemudian tidak bisa lagi mempercayai agama apa pun dan juga tidak percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Saya sering berjumpa dengan orang yang mengalami masalah serupa, dan tampak jelas bahwa mereka pernah atau bahkan masih mengalami proses pemikiran seperti yang dulu pernah saya alami. Karena itulah, saya berharap buku ini dapat membantu mereka menemukan jawaban-jawaban yang mereka cari selama hidupnya. Saya yakin bahwa mereka akan dapat menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan itu dalam agama Islam.

Saya berharap buku ini akan berguna untuk berbagai kalangan. Pertama, bagi orang-orang yang lahir sebagai Muslim dan tidak tahu banyak tentang agama Kristen. Sebagian Muslim mengalami kesulitan untuk menjelaskan mengapa ajaran Kristen ditolak dalam Islam, jadi saya ingin memberikan penjelasan tentang hal ini. Kedua, bagi orang Muslim yang tidak taat dan mungkin sedang berpikir untuk pindah agama menjadi orang Kristen. Semoga penjelasan yang diberikan di sini dapat menjelaskan mengapa mereka harus mempelajari Islam lebih dalam, dan bukan mencari agama lain. Ketiga, untuk mantan pemeluk Kristen yang sedang mempertimbangkan untuk masuk Islam tapi masih tidak yakin dengan persamaan dan perbedaan antara kedua agama ini. Keempat, untuk mantan pemeluk Kristen yang telah meninggalkan Gereja, tidak mengikuti agama apa pun, tapi masih ingin memiliki hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa orang Muslim menerima agama Islam sebagai kelanjutan dari agama Kristen dan Yahudi, dan bahwa Muhammad SAW adalah Nabi yang menggantikan Yesus, Nabi yang melanjutkan ajaran Nabi-Nabi sebelumnya, dan Nabi Terakhir yang diutus oleh Tuhan.

Saya pernah bertemu beberapa Muslim yang merasa ragu akan agama mereka sendiri, sebagai akibat dari kurangnya pendidikan agama di masa kecil. Sebagian dari mereka mungkin mengerjakan shalat hanya ketika merasa ingin saja (meskipun wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk mengerjakan shalat lima waktu). Sebagian lagi mungkin tidak mengerjakan shalat sama sekali. Yang lainnya mungkin merasa dirinya adalah ateis yang tidak lagi percaya pada Tuhan, meskipun masih mengaku sebagai Muslim di depan orang lain. Dan sebagian yang lain lagi, boleh jadi justru tertarik untuk mempelajari agama Kristen. Saya pikir penyebab utama mengapa ada orang-orang yang hidup dalam kondisi seperti ini pada dasarnya sama: mereka tidak begitu memahami Islam karena tidak memperoleh pendidikan agama yang baik, atau mungkin orang tua mereka kurang taat dalam menjalankan ajaran agama, sehingga mereka tidak pernah mendapatkan pemahaman yang baik tentang Islam.

Saat saya berjumpa dengan Muslim seperti itu, tampak jelaslah bahwa mereka memang tidak begitu mengenal Islam atau Kristen, dan karenanya mereka tertarik untuk mengetahui analisis saya mengenai kedua agama ini. Saya berharap, setelah membaca buku ini mereka akan merasa lebih percaya diri untuk tetap memeluk agama Islam, dan akan mulai mencari pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai Islam dari sumber-sumber lainnya.

Saya berharap bahwa mantan pemeluk Kristen yang telah meninggalkan Gereja namun masih percaya pada Tuhan akan menemukan beberapa pemikiran baru di buku ini, yang dapat mendorong mereka untuk mempelajari Islam dengan pikiran terbuka. Begitu mereka belajar lebih banyak tentang Islam, dan memahami bahwa Islam adalah versi terbaru dari agama yang sama yang diturunkan kepada Yesus, Musa, Abraham (dan semua Nabi Allah lainnya) maka saya berharap mereka bisa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang cara orang Islam berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa. Jika seorang mantan pemeluk Kristen membaca buku ini dan menjadi lebih tertarik pada Islam, maka saya berharap bahwa ia akan menindaklanjuti dengan membaca lebih banyak buku lain yang menjelaskan Islam secara rinci. Karena ajaran dasar Islam sudah banyak tersedia dari sumber lain, maka saya sengaja tidak memasukkan informasi mendasar tentang Islam dalam buku ini.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa buku ini tidak dimaksudkan untuk menghina umat Kristen atau agama Kristen. Meskipun umat Kristen mungkin akan tidak suka dengan apa pun yang saya katakan tentang agama mereka, saya sudah berusaha untuk memberikan pendapat akademis dan bukan pendapat emosional. Sebagai seorang Muslim, saya yakin tidak ada manfaat yang bisa diperoleh dari menghina agama orang lain, dan Allah juga melarang kita untuk melakukan hal itu sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:

108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
(QS. Al-An’am 6:108)

            Mohoni dipahami bahwa bukanlah tujuan saya untuk menjelaskan segala sesuatunya mengenai Kristen ataupun Islam di dalam buku ini. Selama bertahun-tahun membaca dan melakukan penelitian, saya memikirkan cara membuat perbandingan yang jelas antara kedua agama ini agar dapat dipahami oleh orang awam. Dan sebagai hasilnya, pada halaman-halaman berikut, saya telah menyusun beberapa elemen yang saya pikir dapat bermanfaat bagi mereka yang sedang mencoba memahami kedua agama ini dengan cara yang logis. Karena niat saya adalah untuk fokus hanya pada dua agama, dan menjelaskan mengapa orang Muslim tidak menerima agama Kristen, maka ada topik-topik tertentu yang saya putuskan untuk tidak dibahas sama sekali (agar buku ini tidak menjadi terlalu tebal). Sebagai contoh, tidak ada bab yang menjelaskan keberadaan Tuhan, karena saya berasumsi bahwa seluruh pembaca telah mengenal konsep dasar monoteisme, seperti Tuhan Yang Maha Kuasa, Nabi-Nabi, Kitab-Kitab Suci, para malaikat, Surga, Neraka, Hari Akhir, dan sebagainya.

1.5.      Semua Manusia Punya Potensi Berperilaku Baik ataupun Buruk

            Setelah menjadi Muslim selama bertahun-tahun, dengan jujur saya katakan bahwa ini adalah pengalaman menarik yang memiliki berbagai sisi baik dan buruk. Saya telah melihat orang-orang yang berperilaku dengan cara mulia, karena mereka adalah Muslim. Tapi saya juga melihat Muslim lain yang tidak peduli jika perilaku negatif mereka bertentangan dengan ajaran Islam. Saya telah melihat Muslim yang baik, peduli, jujur, tulus, murah hati dan penuh kasih, dan juga Muslim yang sebaliknya (orang yang berperilaku sangat buruk). Kita bisa menemukan kondisi ini dalam setiap komunitas umat beragama karena setiap manusia dapat memilih untuk berperilaku dengan cara apa pun yang mereka sukai, terlepas dari apa ajaran agama mereka. Tapi dalam kasus Islam, tampaknya peran media modern menjadikan sulit bagi semua orang untuk melihat sisi positif Islam karena hanya kebencian, kematian, dan kehancuran disajikan kepada publik ketika media membahas perilaku sebagian orang Muslim. Tentu saja, memang ada orang Muslim yang melakukan tindakan kekerasan, tapi kekerasan tidak hanya dilakukan oleh orang Muslim, dan kebaikan yang dilakukan orang Muslim yang baik biasanya tidak menjadi berita karena berita tidaklah menjadi sensasional jika tidak ada yang meninggal atau meledak! Jadi, tindakan negatif sebagian Muslim yang muncul di berita tidaklah mewakili mayoritas Muslim yang menjalani kehidupan yang damai dalam keseharian mereka, dengan pergi ke sekolah, bekerja, menikah, membesarkan anak-anak, dan menyembah Tuhan dengan cara yang mereka yakini.

Akan tetapi, jika orang Muslim menganggap dirinya sebagai “penjual” dan produk yang mereka “jual” adalah Islam, maka akan tampak bahwa banyak orang lain tidak ingin “membeli” apa yang “dijual” oleh Muslim tersebut. Dengan kata lain, orang Muslim sering kali gagal “memasarkan” Islam agar agama ini dapat diterima dengan mudah oleh orang lain. Kalau ada orang Barat yang ingin berdebat dengan saya tentang kebenaran Islam, maka dia hanya perlu menuding berbagai masalah di Indonesia (seperti korupsi) dan berkata, “Bukankah hal itu membuktikan bahwa agama anda tidak baik?” Tentu saja yang dia komentari itu adalah perbuatan manusia, dan bukan ajaran Islam. Tetapi untuk meyakinkannya tidaklah mudah karena pertanyaan berikutnya adalah: "Jika perilaku itu memang dilarang dalam agama Anda, maka mengapa hal itu begitu umum dilakukan?"

Jawabannya adalah bahwa apa pun yang diperintahkan oleh Tuhan, tidak akan dipatuhi oleh kebanyakan manusia. Contoh terbaik adalah Nabi Adam, yang hanya dilarang melakukan satu hal saja: makan buah terlarang. Tapi coba tebak apa yang Adam lakukan? Ya, benar! Meski diberi satu larangan saja, Adam, seorang Nabi Allah, toh melanggarnya! Kita tidak berbeda dengan Adam. Tapi banyak orang di era modern ini cepat menghakimi Islam berdasarkan perilaku sebagian pengikutnya, sehingga "Islam" mendapatkan reputasi buruk, karena banyak Muslim yang berperilaku buruk. Padahal banyak juga orang Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, dan pengikut agama-agama lain yang juga berperilaku buruk dan tidak mengikuti ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada dasarnya, setiap orang dengan agama apa pun mungkin saja berperilaku dengan cara yang negatif. Tetapi media modern tampaknya lebih senang menyoroti contoh-contoh negatif dari orang Muslim, tanpa memperhatikan bahwa pengikut agama-agama lain mungkin berperilaku sama buruknya atau bahkan lebih buruk.

Jadi menurut saya, sebagai orang Muslim kita memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan Islam dengan cara terbaik agar dapat lebih mudah dipahami oleh orang yang ingin tahu tentang Islam. Cara termudah bagi kita untuk melakukan tugas itu adalah dengan menunjukkan Islam melalui perilaku kita. Jika kita dapat melakukan strategi ini, maka orang lain mungkin akan mulai memandang Islam dengan cara yang lebih baik karena mereka melihat kebenaran Islam melalui tindakan-tindakan kita. Setelah itu, kita perlu menjelaskan dengan gamblang mengapa kita meyakini Islam, dan bagaimana Islam memandang agama lain, khususnya agama Kristen sebagai agama monoteisme terdekat dengan Islam. Agar dapat melakukan tugas itu, seorang Muslim harus memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan agama Kristen dari sudut pandang agama Islam sehingga sanggup berbincang dengan cara yang konstruktif tentang kedua agama itu. Jika kita berhasil dalam “memasarkan” agama Islam dengan cara ini, maka mudah-mudahan jumlah musuh Islam akan berkurang dan jumlah penganut Islam akan bertambah.

Dalam bab-bab berikut ini saya akan berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya tentang bagaimana agama Islam memandang agama Kristen dan kemudian menjelaskan mengapa orang Muslim meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Tuhan. Saya harap Anda dapat ikut merasakan perjalanan yang mencerahkan ini! Mari kita mulai.


Alasan Logis Kenapa Kita Tidak Bisa Melihat Tuhan

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ini satu bab dari buku saya "Mencari Tuhan, Menemukan Allah" (Searching for God and Finding Allah). Awalnya bab dua, tapi dipindah menjadi bab sembilan. Saya berusaha jelaskan sebuah alasan logis kenapa manusia tidak bisa melihat Tuhan di dunia ini. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

MENCARI TUHAN, MENEMUKAN ALLAH

[Perjalanan Spiritual Seorang Mualaf yang Membandingkan Agama Kristen dan Islam Dalam Mencari Kebenaran]

DAFTAR ISI

1. TENTANG SAYA: BAGAIMANA SAYA BISA MENJADI MUSLIM
2. RANGKAIAN PENGUTUSAN PARA NABI
3. TANDA DARI TUHAN
4. PARA PENGIKUT YESUS
5. PENGIKUT YESUS DAN PENGIKUT MUHAMMAD
6. KEBENARAN ISLAM
7. INILAH YANG ALLAH KATAKAN TENTANG AL-QUR’AN
8. SEBUAH AGAMA YANG LOGIS
9. ALASAN LOGIS KENAPA KITA TIDAK BISA MELIHAT TUHAN
10. KEBUTUHAN SPIRITUAL KITA DAN SOLUSI DARI ALLAH
11. INI PILIHAN ANDA

********

9. ALASAN LOGIS KENAPA KITA TIDAK BISA MELIHAT TUHAN

Ketika saya kecil, saya dibuat bingung oleh kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat Tuhan. Jika Dia ada, maka dalam pikiran logis saya, seharusnya kita bisa melihat-Nya dan fakta bahwa Dia tidak terlihat membuat saya lebih mudah menjadi seorang ateis. Namun, pada saat yang sama, saya juga tidak ingin benar-benar menolak kemungkinan adanya Tuhan, dan saya juga merasa bahwa saya harus tetap berpikiran terbuka kalau seandainya nanti ada orang yang bisa menunjukkan bukti Tuhan itu memang ada.

Sebagai usaha untuk memahami Tuhan, agama, alam semesta, dan arti dari kehidupan, saya banyak bertanya tentang agama Kristen karena saat itu satu-satunya agama yang saya ketahui adalah agama Kristen. Sayangnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab dengan baik dan justru membuat saya lebih bingung daripada sebelumnya. Karena tidak ada bukti yang memuaskan, maka saya merasa terpaksa tidak percaya kepada Tuhan.

Saya sering memperhatikan bagaimana orang-orang dewasa menghadapi suatu kejadian yang menyedihkan, misalnya saja saat seorang anak meninggal atau saat seseorang divonis menderita kanker. Orang dewasa seringkali menyatakan bahwa semua itu harus diterima dengan pasrah. Caranya dengan mengucapkan “God works in mysterious ways” (Tuhan bertindak dengan cara yang misterius), yang artinya kita tidak mungkin bisa memahami apa yang dilakukan oleh Tuhan, dan bertanya-tanya tentang hal itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Tuhan itu misterius dan kita tidak dapat memahami-Nya.

Tapi kalau Tuhan memang misterius, kenapa Dia memberikan akal pikiran kepada kita? Dengan kecerdasan dan kemampuan untuk berpikir logis, tentunya akan sangat masuk akal jika kita menggunakan kelebihan itu untuk memikirkan Tuhan. Fakta bahwa kita pasti mampu menggunakan logika untuk berpikir tentang Tuhan pastinya karena Tuhan (jika Dia memang ada) telah menciptakan kita dengan kemampuan ini, dan karena itu Dia juga tahu bahwa cepat atau lambat kita akan menggunakan otak kita yang kompleks untuk berusaha memahami-Nya dengan sikap yang logis dan cerdas. Jadi, di dalam agama, seharusnya ada ajaran-ajaran dasar yang bisa ditelaah dan masuk akal dalam agama mana saja yang dibenarkan oleh Tuhan. Kalau Tuhan memang ada, mengapa Dia memberi ajaran-ajaran agama kepada manusia tapi membuat agama tersebut membingungkan bagi banyak orang?

Hal itu membuat saya memikirkan sebuah pertanyaan baru: Apakah Tuhan harus “misterius” jika Dia tidak menghendaki demikian? Dalam hal agama, bukankah Tuhan seharusnya mampu menerima dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ciptaaan-Nya sendiri jika Dia berkehendak? Bagaimana jika sebenarnya Tuhan ingin agar kita mengenal-Nya (dalam batasan pemahaman kita tentunya) sehingga kita dapat menjadi lebih dekat dengan-Nya? Bagaimana jika ternyata Dia tidak menginginkan kita menganggap-Nya “misterius”?

Setelah menjadi seorang Muslim, saya merenungkan kembali keinginan di masa kecil, yaitu ingin melihat Tuhan dengan mata saya sendiri. Saya mulai berpikir apakah mungkin ada alasan logis mengapa Tuhan tidak ingin menampakkan Diri di depan kita pada saat ini? Apakah mungkin semata-mata karena Dia ingin menjadi “misterius”? Saya kemudian berusaha mempertimbangkan kemungkinan lain bahwa memang ada sebuah alasan logis untuk perkara ini. Jika alasan itu memang ada dan kita mampu menerimanya, maka mungkin kita juga akan mampu memahami bahwa semua itu adalah untuk kebaikan kita sendiri dan bukan karena alasan-alasan “misterius”.

Dalam bab ini, saya ingin memberikan satu penjelasan yang logis mengapa Tuhan tidak ingin terlihat oleh kita, dan bagaimana hal itu merupakan rahmat bagi kita. Untuk membahas ini, kita harus mencermati kisah Nabi Adam, manusia pertama yang diciptakan Allah, dan juga kisah Iblis. Lalu dibandingkan dengan kisah seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Tapi sebelumnya, ada baiknya kita terlebih dahulu membaca kisah Nabi Musa yang juga ingin melihat Allah.


9.1.Nabi Musa Juga Ingin Melihat Tuhan

Saya sering mendengarkan penceramah Muslim di Indonesia bercerita tentang Nabi Musa yang memohon untuk dapat melihat Allah. Telah dijelaskan oleh Allah kepada Nabi Musa bahwa dia tidak akan sanggup melihat Tuhannya. Tentu saja, Allah dapat berhenti sampai pada pernyataan itu, namun ternyata Allah berkehendak lain dan Dia memilih untuk memberikan “bukti” nyata kepada Nabi Musa bahwa dia tidak bisa melihat Tuhannya. Allah kemudian menampakkan Diri di belakang sebuah gunung. Saat cahaya Allah mulai terlihat, gunung itu hancur luluh karena tidak sanggup menahan cahaya-Nya. Begitupun halnya dengan Nabi Musa yang jatuh pingsan karena tidak sanggup melihat cahaya-Nya, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:

143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.
(QS. Al-A’raf 7:143)


Ayat ini memberikan kita suatu pemahaman bahwa manusia, termasuk para Nabi, tidak sanggup (atau tidak boleh) melihat Tuhan ketika kita masih berada di bumi ini. Jika seorang Nabi Allah seperti Nabi Musa tidak sanggup melihat Allah, maka manusia biasa seperti kita lebih tidak mungkin lagi berharap dapat melihat-Nya. Terlepas dari ketidaksanggupan Nabi Musa melihat Allah, kita mengetahui bahwa dia sanggup berdialog dengan-Nya. Selain Nabi Musa, makhluk lain yang juga pernah berdialog dengan Allah adalah Iblis.


9.2.Kutukan Allah Atas Iblis (Setan)

11. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.
12. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab Iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.
13. Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”.
(QS. Al-A’raf 7:11-13)


Dalam ayat-ayat ini kita diperkenalkan dengan suatu makhluk yang menolak untuk bersujud dan menunjukkan rasa hormat kepada Nabi Adam. Makhluk ini dinamakan Iblis atau Shaitan di dalam Al-Qur’an. Dalam Bahasa Inggris, makhluk ini dikenal dengan sebutan Satan, the Devil, Lucifer, dan lain-lain. Dalam ayat-ayat di atas, kita dapat melihat sebuah situasi bagaimana Iblis membantah Allah dan menolak Perintah Langsung-Nya untuk bersujud kepada Nabi Adam. Penolakan atas perintah Tuhan yang dilakukan Iblis merupakan tindakan kesombongan yang sangat terhadap Allah SWT, dan inilah alasannya mengapa Iblis mendapat hukuman.

34. Allah berfirman: “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk,
35. dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”.
(QS. Al-Hijr 15:34-35)


Dengan menolak perintah-Nya, maka Iblis menjadi makhluk pertama yang dikutuk oleh Allah sampai Hari Pengadilan. Kejadian ini sangat istimewa karena ini merupakan pertama dan terakhir kalinya (sepanjang pengetahuan kita) ada makhluk yang dikutuk untuk selama-lamanya. Al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa ada makluk selain Iblis yang dikutuk oleh Allah untuk selama-lamanya. Pertanyaan yang relevan adalah: kenapa Iblis langsung mendapatkan kutukan yang begitu keras dari Allah. Adalah sesuatu yang menarik, bahwa pada saat dinyatakan sebagai makhluk yang terkutuk, Iblis tidak protes. Dia tidak menuduh Tuhan tidak adil. Iblis tidak membantah dengan mengatakan bahwa dia tidak bersalah dan tidak pantas mendapat hukuman yang begitu berat. Kalau saja seorang manusia mendapat hukuman yang sama, saya pikir siapapun pasti akan protes dan mencari jalan keluar dan mohon ampunan dari hukuman tersebut. Sebaliknya, Iblis ternyata langsung menerima hukumannya, tetapi dengan meminta agar hukuman itu ditangguhkan sampai hari kiamat supaya ada waktu baginya untuk menyesatkan manusia dan membuktikan bahwa ia lebih baik daripada manusia.

14. Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”.
15. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.”
16. Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
17. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).
18. Allah berfirman: “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya”.
(QS. Al-A’raf 7:14-18)


Yang jelas, sekarang Iblis mempunyai keinginan untuk berusaha dengan cara apapun agar bani Adam mengikutinya ke dalam neraka, supaya dia bisa membuktikan kepada Allah SWT bahwa dia memang lebih baik daripada Adam. Sekarang, ada suatu keadaan yang menarik. Allah telah mengutuk Iblis, tetapi daripada langsung melemparkannya ke dalam neraka, Allah malah memberikan waktu kepadanya untuk menyesatkan semua manusia yang mau mengikutinya.

Jika kita meyakini bahwa Allah selalu mengetahui semua hal yang akan terjadi, berarti Allah juga pasti mengetahui bahwa Iblis akan menunjukkan kesombongannya, menjadi makhluk terkutuk, dan kemudian akan diberi waktu untuk menyesatkan manusia yang mau mengikutinya. Jika hal itu memang benar, berarti kita harus menerima kenyataan bahwa keberadaan Iblis beserta para pengikutnya, dan pengaruh mereka terhadap manusia, adalah suatu hal yang telah diketahui Allah sebelumnya, dan Allah membiarkan hal itu terjadi atas kehendak-Nya. (Allah tidak menyebabkan Iblis membangkang, tetapi hanya membiarkan hal itu terjadi). Kita harus meyakini bahwa semua kejadian hanya dapat berlangsung sesuai dengan Izin Allah. Jika Allah tidak berkehendak, maka bagaimana mungkin suatu hal dapat terjadi? Jika sesuatu bisa terjadi tanpa Izin Allah, berarti Allah bukan Yang Maha Kuasa.

29. Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Ali Imran 3:29)


Jadi, di dalam surga ada Nabi Adam bersama Hawa, dan juga Iblis! Iblis (yang setelah dikutuk disebut sebagai Shaitan dalam Al-Qur’an) tidak memiliki tujuan hidup kecuali menyesatkan sebanyak mungkin keturunan bani Adam agar menemaninya masuk neraka. Dengan Izin Allah (karena tidak mungkin terjadi tanpa Izin Allah) Iblis bisa masuk surga untuk mengganggu Adam dan Hawa, dan dia berhasil. Dia meyakinkan mereka untuk makan buah yang terlarang, yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari surga dan ditempatkan di bumi.

35. Dan Kami berfirman:”Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
36. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:”Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”.
(QS. Al-Baqarah 2:35-36)


Dalam kasus ini, Iblis hanya melakukan satu kesalahan saja dan sebagai akibatnya, dia dikutuk sepanjang masa. Kesalahan Nabi Adam dan isterinya Hawa (disebut “Eve” dalam bahasa Inggris) juga hanya satu, dan sebagai akibatnya mereka dikeluarkan dari surga tapi tidak dikutuk sepanjang masa. Kenapa ada perbedaan seperti itu di dalam kedua kasus ini?

Mungkin satu hal yang mempengaruhi perbedaan hukuman dari Allah ini adalah kenyataan bahwa hanya Iblis yang membantah Allah. Pada saat Adam dan Hawa diberitahu kalau mereka telah berbuat salah, mereka langsung bertaubat dan mohon ampunan. Sebaliknya, Iblis tidak mau bertaubat dan tidak juga meminta ampunan.

37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Baqarah 2:37)


Maka sekarang kita dapat melihat dua kasus di mana Adam dan Iblis masing-masing membuat satu kesalahan dan mereka dihukum karena kesalahan itu; tapi Iblis dihukum lebih berat. Untuk dapat memahami bagaimana hal ini berkaitan dengan topik yang tengah dibahas, yaitu mengapa Tuhan tidak nampak bagi kita untuk suatu alasan logis, maka kita juga perlu menguji satu kasus lagi; kasus pembunuh 100 orang yang mendapatkan ampunan atas segala dosa-dosanya.


9.3.Iblis, Nabi Adam, dan Pembunuh 100 Orang

Ada sebuah hadits (riwayat) yang menceritakan riwayat seorang pembunuh dari Bani Israel yang telah membunuh 100 orang, akan tetapi pada saat dia meninggal, dia sudah terlebih dahulu berniat untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, dosanya diampuni.

Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri: Nabi bersabda, “Di antara kaum lelaki Bani Israel ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Lalu dia berjalan dan bertanya kepada orang yang dijumpai (apakah taubatnya bisa diterima atau tidak). Dia menemukan seorang biarawan dan bertanya kepadanya apakah taubatnya bisa diterima. Si biarawan memberikan jawaban yang negatif, jadi pria itu membunuhnya. Dia bertanya terus sampai ada seseorang yang menasehatinya untuk pergi ke sebuah desa. (Lalu dia berangkat ke arah desa tersebut) tetapi kematian menjumpainya dalam perjalanan itu. Pada saat akan meninggal dunia, dia menghadapkan dadanya ke arah desa tersebut (di mana dia berharap taubatnya akan diterima), maka malaikat pencatat kebaikan dan malaikat pencatat keburukan bertengkar tentang si pembunuh. Allah kemudian memerintahkan desa (yang dia tuju itu) untuk mendekatkan diri kepadanya, dan memerintahkan desa (yang dia tinggalkan) untuk menjauhinya. Lalu Allah memerintahkan para malaikat untuk mengukur jarak antara badan orang itu dan kedua desa tersebut. Apakah lebih dekat ke desa pertama ataukah lebih dekat ke desa kedua. Diketahui bahwa dia sedikit lebih dekat ke desa (yang dia tuju). Jadi dia diampuni. (HR. Bukhari)

Sebuah pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah mengapa seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya dengan cara yang begitu mudah? Diampuni oleh Tuhan berarti bahwa pertaubatan seseorang telah diterima dan bahwa ia tidak akan dihukum karena dosa-dosanya. Jelas bahwa si pembunuh ini belum bertaubat secara resmi (dengan berdoa atau melakukan tindakan ibadah lainnya). Ia tampaknya masih dalam proses mencari tempat di mana ia akan belajar bagaimana bisa bertaubat secara formal dan menjadi orang beriman yang akan beribadah dan menyembah Tuhan dengan cara yang benar. Namun demikian, ia masih menerima pengampunan dari Tuhan sehingga tidak akan dihukum atas semua dosanya yang sangat serius.

Di sisi lain, Nabi Adam yang “hanya makan sepotong buah” memang bertaubat secara resmi (dengan mengucapkan doa yang diajarkan kepadanya oleh Tuhan) dan taubatnya diterima, sehingga ia diampuni, tapi dia masih dihukum dengan dikeluarkan dari surga. Dan kemudian Iblis, yang “hanya berdebat dengan Allah”, tidak bertaubat dan tidak mau bertaubat, dan tidak diampuni sama sekali. Iblis menerima hukuman paling keras dari ketiga kasus yang disebutkan karena dia menjadi yang pertama dan satu-satunya makhluk yang dikutuk oleh Allah untuk selama-lamanya.

Ketiga kasus terpisah ini, sekarang dibagi menjadi dua kategori yang berbeda. Di satu sisi, ada seorang pembunuh yang dosa-dosanya diampuni dan tidak menerima hukuman apa pun. Di sisi yang lain, ada Nabi Adam dan Iblis yang masing-masing menerima hukuman atas satu perbuatan dosa yang mereka lakukan, meskipun dosa mereka itu sepertinya tidak seberat dosa membunuh manusia yang lain.

Jika kita ingin mencari satu alasan logis mengapa kita tidak bisa melihat Allah di bumi ini, maka saya pikir alasan itu dapat ditemukan dengan membandingkan kedua kategori ini. Kita perlu menemukan satu alasan mengapa seorang pembunuh dapat terbebas dari hukuman setelah membunuh 100 orang, sementara Nabi Adam dan Iblis yang masing-masing hanya melakukan satu perbuatan dosa tetap mendapatkan hukuman dari Allah.


9.4.Hikmah Bagi Kita Bila Tuhan Tidak Nampak

Saya ingin bertanya: kenapa Nabi Adam dihukum, Iblis dihukum, tetapi seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang tidak dihukum? Perbedaannya hanya satu; si pembunuh itu tidak memiliki bukti bahwa Tuhan benar-benar ada! Dia tidak pernah melihat Allah atau berbicara dengan-Nya. Sebaliknya, Nabi Adam dan Iblis memang berbicara dengan Allah. Pembunuh itu percaya kepada Tuhan hanya berdasarkan pada keimanan, yang berarti dia percaya ada Tuhan Yang Maha Esa yang mau mengampuni semua dosanya, walaupun tidak melihat (dan tentu saja tidak bicara dengan Tuhan).

Apakah Adam dan Iblis percaya kepada Allah karena mereka melihatnya? Secara teoritis, kita bisa berargumentasi bahwa ada kemungkinan Adam dan Iblis melihat Allah dengan matanya dan oleh karena itu mereka tahu Tuhan itu ada. Tapi kita tidak menemukan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang secara jelas menyatakan bahwa Adam atau Iblis bisa melihat Allah. Mungkin mereka bisa melihat-Nya, mungkin juga tidak. Kita tidak tahu. Tapi yang kita tahu secara pasti adalah bahwa mereka berbicara dengan Tuhan, sehingga mereka tahu bahwa Dia benar-benar ada dan memiliki kekuasaan mutlak atas mereka.

Seperti Musa, Nabi Muhammad S.A.W. tidak melihat Allah dengan matanya (di dunia ini) karena ada hadits (riwayat) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad S.A.W. juga tidak pernah melihat Allah:

Diriwayatkan oleh Abu Dhar: Aku bertanya kepada Rasulullah S.A.W., “Apakah engkau melihat Rabb-mu?” Beliau S.A.W. menjawab, “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?” (HR. Muslim)

Diriwayatkan oleh Masruq: Saya sedang istirahat di rumah A’ishah ketika dia mengatakan: “Wahai Abu A’ishah [nama kehormatan untuk Masruq], ada tiga perkara yang, bilamana ada seseorang yang membenarkannya, maka dia telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah.” Saya bertanya apakah tiga perkara itu. Dia menyatakan: “Dia yang menganggap bahwa Muhammad S.A.W. melihat Tuhannya (dengan penglihatan matanya) telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah…” (HR. Muslim)


Jika Nabi Musa dan Nabi Muhammad S.A.W. tidak pernah melihat Tuhan di bumi ini, maka mungkin Adam dan Iblis juga tidak mampu atau tidak diizinkan untuk melihat Allah pada saat mereka berada di surga dulu. Namun sangat jelas bahwa Adam dan Iblis (serta Musa dan Muhammad S.A.W.) melakukan dialog langsung dengan Tuhan. Dalam QS. Al-A’raf 7:22-23, Nabi Adam berbicara langsung dengan Allah untuk mohon ampun kepada-Nya atas kesalahannya memakan buah terlarang. Di dalam QS. Al-A’raf 7:11-16 juga terdapat dialog antara Allah SWT dan Iblis.

Oleh karena Nabi Adam dan Iblis pernah berdialog secara langsung dengan Allah, maka jelaslah bahwa mereka tidak ragu Tuhan itu ada. Mereka percaya kepada Allah bukan berdasarkan keyakinan atau keimanan saja; mereka percaya kepada Allah karena mereka telah mendapatkan bukti bahwa Allah Yang Maha Esa memang ada. Pengetahuan ini menempatkan mereka pada posisi yang sangat istimewa dan mungkin bisa membuat kita iri. Tetapi, kita juga harus melihat konsekuensi yang timbul dari keistimewaan ini. Nabi Adam dan Iblis menyadari Allah memang adalah Pencipta mereka karena mereka berdialog dengan Dia, dan tetap saja keduanya tidak patuh pada-Nya. Nabi Adam mengakui kesalahannya dan dikeluarkan dari surga sebagai hukumannya. Sementara Iblis memilih untuk tidak mengakui kesalahannya dan tidak meminta ampun sehingga ia dikutuk sampai akhir zaman.

Sebagai perbandingan, si pembunuh 100 orang berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal ampunan. Dia percaya kepada ampunan Allah berdasarkan keimanan semata, bukan karena ada bukti nyata di depan mata bahwa Allah memang ada. Hal ini membuka kemungkinan dan kesempatan yang lebih besar bagi dia untuk mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang diperbuatnya. Sepanjang hidupnya, si pembunuh tidak mengenal Tuhan dan juga mungkin dia tidak percaya pada Tuhan. Dia melakukan kejahatan karena dia tidak menyadari keberadaan Tuhan atau tidak tahu apa yang Sang Pencipta inginkan darinya. Ketika akhirnya dia menjadi percaya (semata-mata berdasarkan keimanannya) dia meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan menerima taubatnya dan mengampuni segala dosanya. Dia tidak melihat Tuhan atau pun berbicara dengan-Nya. Mungkin sebagai hasil dari “keimanannya” itu, dia menemukan Allah sebagai Sang Maha Pengampun.

Tidak ada jaminan bila kita dapat melihat Allah, maka kita akan setuju untuk menyembah-Nya. Belum tentu kita akan serta-merta setia pada-Nya hanya karena melihat-Nya dan mengetahui bahwa Tuhan memang ada. Sebagai contoh, Iblis juga mengetahui bahwa Allah ada, tetapi dia tidak setia dan tidak mau beribadah kepada-Nya. Jika kita bisa melihat Allah, ada kemungkinan kita akan seperti Iblis (membantah Allah), dan akibatnya, kesempatan untuk mendapat pengampunan atas dosa-dosa kita akan menjadi kecil sekali.

Jika analisis ini benar, maka melihat Allah dengan mata kita, atau bahkan hanya berbicara dengan-Nya, nampaknya menjadi sesuatu yang terlalu sulit untuk dihadapi oleh manusia biasa di dunia ini. Jika seandainya kita bisa melihat-Nya, mungkin kita akan menghadapi masalah yang sangat besar sebagai akibat dari satu dosa saja, atau hanya satu kali berdebat dengan Tuhan, dan mungkin kita akan berharap tidak pernah bisa melihat Allah dari awalnya.

Saat masih kecil, saya ingin sekali melihat Tuhan sebagai bukti bahwa Tuhan itu nyata, dan tampaknya saya bukanlah satu-satunya orang yang ingin melihat Tuhan secara langsung. Orang-orang yang tidak beriman yang menolak Nabi Muhammad S.A.W. juga menuntut hal yang sama:

90. Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami,
91. atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya,
92. atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami.
93. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
(QS. Al-Isra 17:90-93)


Seandainya keinginan saya sewaktu kecil terwujud, dan saya sudah pernah melihat Allah (setelah Dia menampakkan Diri), atau setidaknya saya telah mendengar Suara-Nya, maka barangkali saya sudah menjadi seorang manusia yang masuk ke dalam kategori yang sama dengan Nabi Adam dan Iblis. Masuk ke dalam kategori itu mengandung konsekuensi yang sangat jelas: sekali berbuat salah, langsung kena hukuman berat. Sebagai seorang manusia biasa, saya melakukan dosa terus-menerus, dan dosa saya bertambah setiap saat, tanpa terasa. Kalau saya masuk kategori Nabi Adam, tampaknya belum tentu saya masih bisa hidup sampai sekarang ini tanpa menghadapi masalah besar; sudah pasti saya telah dijatuhi hukuman berat disebabkan dosa-dosa yang telah saya perbuat.

Masalah lainnya adalah jika saya masuk ke dalam kategori Nabi Adam dan Iblis, lalu Allah menjadi marah kepada saya disebabkan dosa pertama saya (atau pada pertama kali saya tidak menuruti perintah-Nya), apakah saya akan berbuat sama seperti Nabi Adam yang langsung bertaubat dan mohon ampunan? Atau apakah saya akan lebih mirip dengan Iblis dan melakukan protes? Kalau saya mengikuti sikap sombong Iblis, akankah hukuman yang saya terima sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Iblis? Dilaknat sampai hari kiamat?

Kita semua sibuk mengumpulkan dosa setiap hari, tetapi berapa banyak dari kita yang bertaubat setiap hari? Bayangkan: sekali berbohong, sekali mengingkari janji, sekali mengambil sesuatu tanpa hak, sekali memfitnah orang, atau sekali melakukan sesuatu yang tidak diridhoi Allah. Bukankah itu sudah cukup untuk membuat kita terkena masalah? Jika kita bisa melihat Allah dan mendengar Suara-Nya setiap waktu, kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa Allah memang ada. Apakah kita masih ingin melihat Allah di muka bumi ini (pada waktu keimanan kita masih diuji) jika hal itu berarti kita akan segera mendapatkan hukuman yang keras atas satu dosa saja yang kita perbuat?

Kalau kita membandingkan kasus Nabi Adam, Iblis, dan si pembunuh, nampaknya jika kita tidak bisa melihat Allah dan tidak dapat berbicara secara langsung dengan-Nya, maka kita ada di posisi yang lebih baik dibandingkan mereka yang diizinkan berbicara dengan-Nya. Sepertinya, Allah lebih mengampuni orang yang hanya sebatas percaya kepada-Nya daripada orang yang mengetahui bahwa Allah benar-benar ada (karena pernah mendapatkan bukti nyata). Kalau ada seseorang yang pernah berbicara dengan Allah, berarti orang itu sudah mengetahui Kebesaran dan Keesaan Allah. Orang itu sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menuruti Perintah Allah. Dan selanjutnya, orang itu juga akan mendapatkan kemurkaan yang lebih besar ketika melakukan satu dosa, dibanding mereka yang hanya percaya pada Allah karena keimanannya.

Jika kita beriman walaupun belum pernah melihat Allah atau mendengarkan suara-Nya, maka kita masih bisa membuat alasan atas perbuatan-perbuatan kita yang kurang baik: saya lupa, saya sibuk, saya bingung, terlalu sulit bagi saya, sedang hujan, nanti saja, dan seterusnya. Dan kita tetap mendapatkan pengampunan yang tidak terbatas di sisi Tuhan kita, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, asalkan kita percaya hanya kepada-Nya.

53. Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Az-Zumar 39:53)


Tapi meskipun kita tidak diizinkan melihat Allah di saat kita berada di bumi, tidak ada keraguan bahwa kita akan diizinkan untuk melihat-Nya nanti di Hari Kebangkitan. Bagi orang-orang yang telah menghabiskan hidup mereka dengan percaya kepada-Nya, ini akan menjadi pertemuan yang indah. Ketika kita melihat Allah SWT, kita akan melihat Tuhan Yang Maha Esa yang telah kita imani sepanjang hidup kita. Tetapi bagi mereka yang telah menghabiskan kehidupan mereka sebagai orang-orang yang tidak beriman, ini akan menjadi awal dari waktu penyesalan yang sangat panjang, yang akan berlangsung selama-lamanya.

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri: Pada masa Rasulullah, beberapa orang berkata: “Wahai Rasulullah (Muhammad S.A.W.)! Apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” “Nabi berkata, “Ya; apakah kamu memiliki kesulitan dalam melihat matahari di tengah hari yang cerah dan tidak ada awan di langit?” Mereka menjawab, “Tidak.” Rasululah berkata, “Apakah kamu memiliki kesulitan dalam melihat bulan pada malam bulan purnama ketika cerah dan tidak ada awan di langit?” Mereka menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “(Begitu juga) kamu tidak akan memiliki kesulitan dalam melihat Allah pada Hari Kebangkitan seperti halnya kamu tidak memiliki kesulitan dalam melihat keduanya [matahari dan bulan]. [...]” (HR. Bukhari)

Setelah membandingkan kasus Nabi Adam, Iblis dan manusia yang membunuh 100 orang, menjadi jelas sekali bahwa kenyataan kita tidak bisa melihat Allah merupakan suatu nikmat dan rahmat besar bagi kita sebagai manusia biasa yang banyak berbuat dosa setiap hari. Sebab, kalau kita bisa melihat Allah, ada kemungkinan bahwa sanksinya akan sangat berat. Barangkali kesempatan kita untuk berbuat dosa hanya satu kali saja, dan setelah itu kita akan dihukum dengan hukuman yang terasa sangat berat bagi kita. Justru karena Allah menyayangi kita, maka Dia tidak menampakkan Diri kepada kita dan tidak pernah berbicara langsung kepada kita. Ini adalah tempat di mana iman kita kepada-Nya sedang diuji, dan untuk membuatnya lebih mudah bagi kita untuk lulus tes ini, maka Dia tidak akan menunjukkan diri-Nya kepada kita untuk saat ini. Dan karena kita tidak dapat melihat-Nya atau mendengar suara-Nya, maka kita tidak punya pilihan selain untuk percaya kepada-Nya berdasarkan keimanan kita. Dengan demikian, dosa kita yang sungguh banyak bisa terus diampuni dan Dia selalu memberikan kita sebuah kesempatan baru untuk memperbaiki diri. Selama kita masih percaya kepada-Nya!

21. Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan (nya) dengan Kami: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.
(QS. Al-Furqan 25:21)


***************


Dua Bab Dari Buku Saya

Dua bab dari buku saya ada di Blog dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Insya Allah buku pertama ini akan disebarkan ke seluruh dunia dalam berbagai bahasa. Semoga bermanfaat.

Mencari Tuhan, Menemukan Allah

Bab 1: Tentang Saya
http://genenetto.blogspot.com/2006/04/saya.html

Bab 2: Ingin Melihat Tuhan
http://genenetto.blogspot.com/2006/04/ingin-melihat-tuhan.html

Searching For God and Finding Allah
 

Chapter 1: About Me
http://genenetto.blogspot.com/2007/07/about-me.html

Chapter 2: Wanting To See God
http://genenetto.blogspot.com/2007/07/wanting-to-see-god.html

The Prophet of Islam - His Biography

Source:


I found this on a website. It's short, clear and accurate. It gives a brief history of the Prophet Muhammad and the early development of Islam.

I just wanted to show that Muhammad and Islam are not quite as portrayed in the western media.

I was surprised to read that during all of the Islamic "wars" that only a few hundred non-Muslims were killed.

The Prophet of Islam - His Biography


[Taken from Introduction to Islam by Muhammad Hamidullah (Centre Culturel Islamique, Paris, 1969), with some changes to make it more readable. The changes are marked by pairs of brackets like around this paragraph. Dr. Hamidullah's present address is: 10 E. South Street, Apt 130, Wilkes Barre PA, 18701, USA.]

IN the annals of men, individuals have not been lacking who conspicuously devoted their lives to the socio-religious reform of their connected peoples. We find them in every epoch and in all lands. In India, there lived those who transmitted to the world the Vedas, and there was also the great Gautama Buddha; China had its Confucius; the Avesta was produced in Iran. Babylonia gave to the world one of the greatest reformers, the Prophet Abraham (not to speak of such of his ancestors as Enoch and Noah about whom we have very scanty information). The Jewish people may rightly be proud of a long series of reformers: Moses, Samuel, David, Solomon, and Jesus among others.

2. Two points are to note: Firstly these reformers claimed in general to be the bearers each of a Divine mission, and they left behind them sacred books incorporating codes of life for the guidance of their peoples. Secondly there followed fratricidal wars, and massacres and genocides became the order of the day, causing more or less a complete loss of these Divine messages. As to the books of Abraham, we know them only by the name; and as for the books of Moses, records tell us how they were repeatedly destroyed and only partly restored.

Concept of God

3. If one should judge from the relics of the past already brought to light of the homo sapiens, one finds that man has always been conscious of the existence of a Supreme Being, the Master and Creator of all. Methods and approaches may have differed, but the people of every epoch have left proofs of their attempts to obey God. Communication with the Omnipresent yet invisible God has also been recognised as possible in connection with a small fraction of men with noble and exalted spirits. Whether this communication assumed the nature of an incarnation of the Divinity or simply resolved itself into a medium of reception of Divine messages (through inspiration or revelation), the purpose in each case was the guidance of the people. It was but natural that the interpretations and explanations of certain systems should have proved more vital and convincing than others.

3/a. Every system of metaphysical thought develops its own terminology. In the course of time terms acquire a significance hardly contained in the word and translations fall short of their purpose. Yet there is no other method to make people of one group understand the thoughts of another. Non-Muslim readers in particular are requested to bear in mind this aspect which is a real yet unavoidable handicap.

4. By the end of the 6th century, after the birth of Jesus Christ, men had already made great progress in diverse walks of life. At that time there were some religions which openly proclaimed that they were reserved for definite races and groups of men only, of course they bore no remedy for the ills of humanity at large. There were also a few which claimed universality, but declared that the salvation of man lay in the renunciation of the world. These were the religions for the elite, and catered for an extremely limited number of men. We need not speak of regions where there existed no religion at all, where atheism and materialism reigned supreme, where the thought was solely of occupying one self with one's own pleasures, without any regard or consideration for the rights of others.

Arabia

5. A perusal of the map of the major hemisphere (from the point of view of the proportion of land to sea), shows the Arabian Peninsula lying at the confluence of the three great continents of Asia, Africa and Europe. At the time in question, this extensive Arabian subcontinent composed mostly of desert areas was inhabited by people of settled habitations as well as nomads. Often it was found that members of the same tribe were divided into these two groups, and that they preserved a relationship although following different modes of life. The means of subsistence in Arabia were meagre. The desert had its handicaps, and trade caravans were features of greater importance than either agriculture or industry. This entailed much travel, and men had to proceed beyond the peninsula to Syria, Egypt, Abyssinia, Iraq, Sind, India and other lands.

6. We do not know much about the Libyanites of Central Arabia, but Yemen was rightly called Arabia Felix. Having once been the seat of the flourishing civilizations of Sheba and Ma'in even before the foundation of the city of Rome had been laid, and having later snatched from the Byzantians and Persians several provinces, greater Yemen which had passed through the hey-day of its existence, was however at this time broken up into innumerable principalities, and even occupied in part by foreign invaders. The Sassanians of Iran, who had penetrated into Yemen had already obtained possession of Eastern Arabia. There was politico-social chaos at the capital (Mada'in = Ctesiphon), and this found reflection in all her territories. Northern Arabia had succumbed to Byzantine influences, and was faced with its own particular problems. Only Central Arabia remained immune from the demoralising effects of foreign occupation.

7. In this limited area of Central Arabia, the existence of the triangle of Mecca-Ta'if-Madinah seemed something providential. Mecca, desertic, deprived of water and the amenities of agriculture in physical features represented Africa and the burning Sahara. Scarcely fifty miles from there, Ta'if presented a picture of Europe and its frost. Madinah in the North was not less fertile than even the most temperate of Asiatic countries like Syria. If climate has any influence on human character, this triangle standing in the middle of the major hemisphere was, more than any other region of the earth, a miniature reproduction of the entire world. And here was born a descendant of the Babylonian Abraham, and the Egyptian Hagar, Muhammad the Prophet of Islam, a Meccan by origin and yet with stock related, both to Madinah and Ta'if.

Religion

8. From the point of view of religion, Arabia was idolatrous; only a few individuals had embraced religions like Christianity, Mazdaism, etc. The Meccans did possess the notion of the One God, but they believed also that idols had the power to intercede with Him. Curiously enough, they did not believe in the Resurrection and Afterlife. They had preserved the rite of the pilgrimage to the House of the One God, the Ka'bah, an institution set up under divine inspiration by their ancestor Abraham, yet the two thousand years that separated them from Abraham had caused to degenerate this pilgrimage into the spectacle of a commercial fair and an occasion of senseless idolatry which far from producing any good, only served to ruin their individual behaviour, both social and spiritual.

Society

9. In spite of the comparative poverty in natural resources, Mecca was the most developed of the three points of the triangle. Of the three, Mecca alone had a city-state, governed by a council of ten hereditary chiefs who enjoyed a clear division of power. (There was a minister of foreign relations, a minister guardian of the temple, a minister of oracles, a minister guardian of offerings to the temple, one to determine the torts and the damages payable, another in charge of the municipal council or parliament to enforce the decisions of the ministries. There were also ministers in charge of military affairs like custodianship of the flag, leadership of the cavalry etc.). As well reputed caravan-leaders, the Meccans were able to obtain permission from neighbouring empires like Iran, Byzantium and Abyssinia - and to enter into agreements with the tribes that lined the routes traversed by the caravans - to visit their countries and transact import and export business. They also provided escorts to foreigners when they passed through their country as well as the territory of allied tribes, in Arabia (cf. Ibn Habib, Muhabbar). Although not interested much in the preservation of ideas and records in writing, they passionately cultivated arts and letters like poetry, oratory discourses and folk tales. Women were generally well treated, they enjoyed the privilege of possessing property in their own right, they gave their consent to marriage contracts, in which they could even add the condition of reserving their right to divorce their husbands. They could remarry when widowed or divorced. Burying girls alive did exist in certain classes, but that was rare.

Birth of the Prophet

10. It was in the midst of such conditions and environments that Muhammad was born in 569 after Christ. His father, 'Abdullah had died some weeks earlier, and it was his grandfather who took him in charge. According to the prevailing custom, the child was entrusted to a Bedouin foster-mother, with whom he passed several years in the desert. All biographers state that the infant prophet sucked only one breast of his foster-mother, leaving the other for the sustenance of his foster-brother. When the child was brought back home, his mother, Aminah, took him to his maternal uncles at Madinah to visit the tomb of 'Abdullah. During the return journey, he lost his mother who died a sudden death. At Mecca, another bereavement awaited him, in the death of his affectionate grandfather. Subjected to such privations, he was at the age of eight, consigned at last to the care of his uncle, Abu-Talib, a man who was generous of nature but always short of resources and hardly able to provide for his family.

11. Young Muhammad had therefore to start immediately to earn his livelihood; he served as a shepherd boy to some neighbours. At the age of ten he accompanied his uncle to Syria when he was leading a caravan there. No other travels of Abu-Talib are mentioned, but there are references to his having set up a shop in Mecca. (Ibn Qutaibah, Ma'arif). It is possible that Muhammad helped him in this enterprise also.

12. By the time he was twenty-five, Muhammad had become well known in the city for the integrity of his disposition and the honesty of his character. A rich widow, Khadijah, took him in her employ and consigned to him her goods to be taken for sale to Syria. Delighted with the unusual profits she obtained as also by the personal charms of her agent, she offered him her hand. According to divergent reports, she was either 28 or 40 years of age at that time, (medical reasons prefer the age of 28 since she gave birth to five more children). The union proved happy. Later, we see him sometimes in the fair of Hubashah (Yemen), and at least once in the country of the 'Abd al-Qais (Bahrain-Oman), as mentioned by Ibn Hanbal. There is every reason to believe that this refers to the great fair of Daba (Oman), where, according to Ibn al-Kalbi (cf. Ibn Habib, Muhabbar), the traders of China, of Hind and Sind (India, Pakistan), of Persia, of the East and the West assembled every year, travelling both by land and sea. There is also mention of a commercial partner of Muhammad at Mecca. This person, Sa'ib by name reports: "We relayed each other; if Muhammad led the caravan, he did not enter his house on his return to Mecca without clearing accounts with me; and if I led the caravan, he would on my return enquire about my welfare and speak nothing about his own capital entrusted to me."

An Order of Chivalry

13. Foreign traders often brought their goods to Mecca for sale. One day a certain Yemenite (of the tribe of Zubaid) improvised a satirical poem against some Meccans who had refused to pay him the price of what he had sold, and others who had not supported his claim or had failed to come to his help when he was victimised. Zuhair, uncle and chief of the tribe of the Prophet, felt great remorse on hearing this just satire. He called for a meeting of certain chieftains in the city, and organized an order of chivalry, called Hilf al-fudul, with the aim and object of aiding the oppressed in Mecca, irrespective of their being dwellers of the city or aliens. Young Muhammad became an enthusiastic member of the organisation. Later in life he used to say: "I have participated in it, and I am not prepared to give up that privilege even against a herd of camels; if somebody should appeal to me even today, by virtue of that pledge, I shall hurry to his help."

Beginning of Religious Consciousness

14. Not much is known about the religious practices of Muhammad until he was thirty-five years old, except that he had never worshipped idols. This is substantiated by all his biographers. It may be stated that there were a few others in Mecca, who had likewise revolted against the senseless practice of paganism, although conserving their fidelity to the Ka'bah as the house dedicated to the One God by its builder Abraham.

15. About the year 605 of the Christian era, the draperies on the outer wall of the Ka'bah took fire. The building was affected and could not bear the brunt of the torrential rains that followed. The reconstruction of the Ka'bah was thereupon undertaken. Each citizen contributed according to his means; and only the gifts of honest gains were accepted. Everybody participated in the work of construction, and Muhammad's shoulders were injured in the course of transporting stones. To identify the place whence the ritual of circumambulation began, there had been set a black stone in the wall of the Ka'bah. dating probably from the time of Abraham himself. There was rivalry among the citizens for obtaining the honour of transposing this stone in its place. When there was danger of blood being shed, somebody suggested leaving the matter to Providence, and accepting the arbitration of him who should happen to arrive there first. It chanced that Muhammad just then turned up there for work as usual. He was popularly known by the appellation of al-Amin (the honest), and everyone accepted his arbitration without hesitation. Muhammad placed a sheet of cloth on the ground, put the stone on it and asked the chiefs of all the tribes in the city to lift together the cloth. Then he himself placed the stone in its proper place, in one of the angles of the building, and everybody was satisfied.

16. It is from this moment that we find Muhammad becoming more and more absorbed in spiritual meditations. Like his grandfather, he used to retire during the whole month of Ramadan to a cave in Jabal-an-Nur (mountain of light). The cave is called `Ghar-i-Hira' or the cave of research. There he prayed, meditated, and shared his meagre provisions with the travellers who happened to pass by.

Revelation

17. He was forty years old, and it was the fifth consecutive year since his annual retreats, when one night towards the end of the month of Ramadan, an angel came to visit him, and announced that God had chosen him as His messenger to all mankind. The angel taught him the mode of ablutions, the way of worshipping God and the conduct of prayer. He communicated to him the following Divine message:

With the name of God, the Most Merciful, the All-Merciful.
Read: with the name of thy Lord Who created,
Created man from what clings,
Read: and thy Lord is the Most Bounteous,
Who taught by the pen,
Taught man what he knew not. (Quran 96:1-5)

18. Deeply affected, he returned home and related to his wife what had happened, expressing his fears that it might have been something diabolic or the action of evil spirits. She consoled him, saying that he had always been a man of charity and generosity, helping the poor, the orphans, the widows and the needy, and assured him that God would protect him against all evil.

19. Then came a pause in revelation, extending over three years. The Prophet must have felt at first a shock, then a calm, an ardent desire, and after a period of waiting, a growing impatience or nostalgia. The news of the first vision had spread and at the pause the sceptics in the city had begun to mock at him and cut bitter jokes. They went so far as to say that God had forsaken him.

20. During the three years of waiting. the Prophet had given himself up more and more to prayers and to spiritual practices. The revelations were then resumed and God assured him that He had not at all forsaken him: on the contrary it was He Who had guided him to the right path: therefore he should take care of the orphans and the destitute, and proclaim the bounty of God on him (cf. Q. 93:3-11). This was in reality an order to preach. Another revelation directed him to warn people against evil practices, to exhort them to worship none but the One God, and to abandon everything that would displease God (Q. 74:2-7). Yet another revelation commanded him to warn his own near relatives (Q. 26:214); and: "Proclaim openly that which thou art commanded, and withdraw from the Associators (idolaters). Lo! we defend thee from the scoffers" (15:94-5). According to Ibn Ishaq, the first revelation (n. 17) had come to the Prophet during his sleep, evidently to reduce the shock. Later revelations came in full wakefulness.

The Mission

21. The Prophet began by preaching his mission secretly first among his intimate friends, then among the members of his own tribe and thereafter publicly in the city and suburbs. He insisted on the belief in One Transcendent God, in Resurrection and the Last Judgement. He invited men to charity and beneficence. He took necessary steps to preserve through writing the revelations he was receiving, and ordered his adherents also to learn them by heart. This continued all through his life, since the Quran was not revealed all at once, but in fragments as occasions arose.

22. The number of his adherents increased gradually, but with the denunciation of paganism, the opposition also grew intenser on the part of those who were firmly attached to their ancestral beliefs. This opposition degenerated in the course of time into physical torture of the Prophet and of those who had embraced his religion. These were stretched on burning sands, cauterized with red hot iron and imprisoned with chains on their feet. Some of them died of the effects of torture, but none would renounce his religion. In despair, the Prophet Muhammad advised his companions to quit their native town and take refuge abroad, in Abyssinia, "where governs a just ruler, in whose realm nobody is oppressed" (Ibn Hisham). Dozens of Muslims profited by his advice, though not all. These secret flights led to further persecution of those who remained behind.

23. The Prophet Muhammad [was instructed to call this] religion "Islam," i.e. submission to the will of God. Its distinctive features are two:

bullet

A harmonius equilibrium between the temporal and the spiritual (the body and the soul), permitting a full enjoyment of all the good that God has created, (Quran 7:32), enjoining at the same time on everybody duties towards God, such as worship, fasting, charity, etc. Islam was to be the religion of the masses and not merely of the elect.

bullet

A universality of the call - all the believers becoming brothers and equals without any distinction of class or race or tongue. The only superiority which it recognizes is a personal one, based on the greater fear of God and greater piety (Quran 49:13).

Social Boycott

24. When a large number of the Meccan Muslims migrated to Abyssinia, the leaders of paganism sent an ultimatum to the tribe of the Prophet, demanding that he should be excommunicated and outlawed and delivered to the pagans for being put to death. Every member of the tribe, Muslim and non-Muslim rejected the demand. (cf. Ibn Hisham). Thereupon the city decided on a complete boycott of the tribe: Nobody was to talk to them or have commercial or matrimonial relations with them. The group of Arab tribes called Ahabish, inhabiting the suburbs, who were allies of the Meccans, also joined in the boycott, causing stark misery among the innocent victims consisting of children, men and women, the old and the sick and the feeble. Some of them succumbed yet nobody would hand over the Prophet to his persecutors. An uncle of the Prophet, Abu Lahab, however left his tribesmen and participated in the boycott along with the pagans. After three dire years, during which the victims were obliged to devour even crushed hides, four or five non-Muslims, more humane than the rest and belonging to different clans proclaimed publicly their denunciation of the unjust boycott. At the same time, the document promulgating the pact of boycott which had been hung in the temple, was found, as Muhammad had predicted, eaten by white ants, that spared nothing but the words God and Muhammad. The boycott was lifted, yet owing to the privations that were undergone the wife and Abu Talib, the chief of the tribe and uncle of the Prophet died soon after. Another uncle of the Prophet, Abu-Lahab, who was an inveterate enemy of Islam, now succeeded to the headship of the tribe. (cf. lbn Hisham, Sirah).

The Ascension

25. It was at thIs time that the Prophet Muhammad was granted the mi'raj (ascension): He saw in a vision that he was received on heaven by God, and was witness of the marvels of the celestial regions. Returning, he brought for his community, as a Divine gift, the [ritual prayer of Islam, the salaat], which constitutes a sort of communion between man and God. It may be recalled that in the last part of Muslim service of worship, the faithful employ as a symbol of their being in the very presence of God, not concrete objects as others do at the time of communion, but the very words of greeting exchanged between the Prophet Muhammad and God on the occasion of the former's mi'raj: "The blessed and pure greetings for God! - Peace be with thee, O Prophet, as well as the mercy and blessing of God! - Peace be with us and with all the [righteous] servants of God!" The Christian term "communion" implies participation in the Divinity. Finding it pretentious, Muslims use the term "ascension" towards God and reception in His presence, God remaining God and man remaining man and no confusion between the twain.

26. The news of this celestial meeting led to an increase in the hostility of the pagans of Mecca; and the Prophet was obliged to quit his native town in search of an asylum elsewhere. He went to his maternal uncles in Ta'if, but returned immediately to Mecca, as the wicked people of that town chased the Prophet out of their city by pelting stones on him and wounding him.

Migration to Madinah

27. The annual pilgrimage of the Ka'bah brought to Mecca people from all parts of Arabia. The Prophet Muhammad tried to persuade one tribe after another to afford him shelter and allow him to carry on his mission of reform. The contingents of fifteen tribes, whom he approached in succession, refused to do so more or less brutally, but he did not despair. Finally he met half a dozen inhabitants of Madinah who being neighbour of the Jews and the Christians, had some notion of prophets and Divine messages. They knew also that these "people of the Books" were awaiting the arrival of a prophet - a last comforter. So these Madinans decided not to lose the opportunity of obtaining an advance over others, and forthwith embraced Islam, promising further to provide additional adherents and necessary help from Madinah. The following year a dozen new Madinans took the oath of allegiance to him and requested him to provide with a missionary teacher. The work of the missionary, Mus'ab, proved very successful and he led a contingent of seventy-three new converts to Mecca, at the time of the pilgrimage. These invited the Prophet and his Meccan companions to migrate to their town, and promised to shelter the Prophet and to treat him and his companions as their own kith and kin. Secretly and in small groups, the greater part of the Muslims emigrated to Madinah. Upon this the pagans of Mecca not only confiscated the property of the evacuees, but devised a plot to assassinate the Prophet. It became now impossible for him to remain at home. It is worthy of mention, that in spite of their hostility to his mission, the pagans had unbounded confidence in his probity, so much so that many of them used to deposit their savings with him. The Prophet Muhammad now entrusted all these deposits to 'Ali, a cousin of his, with instructions to return in due course to the rightful owners. He then left the town secretly in the company of his faithful friend, Abu-Bakr. After several adventures, they succeeded in reaching Madinah in safety. This happened in 622, whence starts the Hijrah calendar.

Reorganization of the Community

28. For the better rehabilitation of the displaced immigrants, the Prophet created a fraternization between them and an equal number of well-to-do Madinans. The families of each pair of the contractual brothers worked together to earn their livelihood, and aided one another in the business of life.

29. Further he thought that the development of the man as a whole would be better achieved if he co-ordinated religion and politics as two constituent parts of one whole. To this end he invited the representatives of the Muslims as well as the non-Muslim inhabitants of the region: Arabs, Jews, Christians and others, and suggested the establishment of a City-State in Madinah. With their assent, he endowed the city with a written constitution - the first of its kind in the world - in which he defined the duties and rights both of the citizens and the head of the State - the Prophet Muhammad was unanimously hailed as such - and abolished the customary private justice. The administration of justice became henceforward the concern of the central organisation of the community of the citizens. The document laid down principles of defence and foreign policy: it organized a system of social insurance, called ma'aqil, in cases of too heavy obligations. It recognized that the Prophet Muhammad would have the final word in all differences, and that there was no limit to his power of legislation. It recognized also explicitly liberty of religion, particularly for the Jews, to whom the constitutional act afforded equality with Muslims in all that concerned life in this world (cf. infra n. 303).

30. Muhammad journeyed several times with a view to win the neighbouring tribes and to conclude with them treaties of alliance and mutual help. With their help, he decided to bring to bear economic pressure on the Meccan pagans, who had confiscated the property of the Muslim evacuees and also caused innumerable damage. Obstruction in the way of the Meccan caravans and their passage through the Madinan region exasperated the pagans, and a bloody struggle ensued.

31. In the concern for the material interests of the community, the spiritual aspect was never neglected. Hardly a year had passed after the migration to Madinah, when the most rigorous of spiritual disciplines, the fasting for the whole month of Ramadan every year, was imposed on every adult Muslim, man and woman.

Struggle Against Intolerance and Unbelief

32. Not content with the expulsion of the Muslim compatriots, the Meccans sent an ultimatum to the Madinans, demanding the surrender or at least the expulsion of Muhammad and his companions but evidently all such efforts proved in vain. A few months later, in the year 2 H., they sent a powerful army against the Prophet, who opposed them at Badr; and the pagans thrice as numerous as the Muslims, were routed. After a year of preparation, the Meccans again invaded Madinah to avenge the defeat of Badr. They were now four times as numerous as the Muslims. After a bloody encounter at Uhud, the enemy retired, the issue being indecisive. The mercenaries in the Meccan army did not want to take too much risk, or endanger their safety.

33. In the meanwhile the Jewish citizens of Madinah began to foment trouble. About the time of the victory of Badr, one of their leaders, Ka'b ibn al-Ashraf, proceeded to Mecca to give assurance of his alliance with the pagans, and to incite them to a war of revenge. After the battle of Uhud, the tribe of the same chieftain plotted to assassinate the Prophet by throwing on him a mill-stone from above a tower, when he had gone to visit their locality. In spite of all this, the only demand the Prophet made of the men of this tribe was to quit the Madinan region, taking with them all their properties, after selling their immovables and recovering their debts from the Muslims. The clemency thus extended had an effect contrary to what was hoped. The exiled not only contacted the Meccans, but also the tribes of the North, South and East of Madinah, mobilized military aid, and planned from Khaibar an invasion of Madinah, with forces four times more numerous than those employed at Uhud. The Muslims prepared for a siege, and dug a ditch to defend themselves against this hardest of all trials. Although the defection of the Jews still remaining inside Madinah at a later stage upset all strategy, yet with a sagacious diplomacy, the Prophet succeeded in breaking up the alliance, and the different enemy groups retired one after the other.

34. Alcoholic drinks, gambling and games of chance were at this time declared forbidden for the Muslims.

The Reconciliation

35. The Prophet tried once more to reconcile the Meccans and proceeded to Mecca. The barring of the route of their Northern caravans had ruined their economy. The Prophet promised them transit security, extradition of their fugitives and the fulfillment of every condition they desired, agreeing even to return to Madinah without accomplishing the pilgrimage of the Ka'bah. Thereupon the two contracting parties promised at Hudaibiyah in the suburbs of Mecca, not only the maintenance of peace, but also the observance of neutrality in their conflicts with third parties.

36. Profiting by the peace, the Prophet launched an intensive programme for the propagation of his religion. He addressed missionary letters to the foreign rulers of Byzantium, Iran, Abyssinia and other lands. The Byzantine autocrat priest - Dughatur of the Arabs - embraced Islam, but for this, was lynched by the Christian mob; the prefect of Ma'an (Palestine) suffered the same fate, and was decapitated and crucified by order of the emperor. A Muslim ambassador was assassinated in Syria-Palestine; and instead of punishing the culprit, the emperor Heraclius rushed with his armies to protect him against the punitive expedition sent by the Prophet (battle of Mu'tah).

37. The pagans of Mecca hoping to profit by the Muslim difficulties, violated the terms of their treaty. Upon this, the Prophet himself led an army, ten thousand strong, and surprised Mecca which he occupied in a bloodless manner. As a benevolent conqueror, he caused the vanquished people to assemble, reminded them of their ill deeds, their religious persecution, unjust confiscation of the evacuee property, ceaseless invasions and senseless hostilities for twenty years continuously. He asked them: "Now what do you expect of me?" When everybody lowered his head with shame, the Prophet proclaimed: "May God pardon you; go in peace; there shall be no responsibility on you today; you are free!" He even renounced the claim for the Muslim property confiscated by the pagans. This produced a great psychological change of hearts instantaneously. When a Meccan chief advanced with a fulsome heart towards the Prophet, after hearing this general amnesty, in order to declare his acceptance of Islam, the Prophet told him: "And in my turn, I appoint you the governor of Mecca!" Without leaving a single soldier in the conquered city, the Prophet retired to Madinah. The Islamization of Mecca, which was accomplished in a few hours, was complete.

38. Immediately after the occupation of Mecca, the city of Ta'if mobilized to fight against the Prophet. With some difficulty the enemy was dispersed in the valley of Hunain, but the Muslims preferred to raise the siege of nearby Ta'if and use pacific means to break the resistance of this region. Less than a year later, a delegation from Ta'if came to Madinah offering submission. But it requested exemption from prayer, taxes and military service, and the continuance of the liberty to adultery and fornication and alcoholic drinks. It demanded even the conservation of the temple of the idol al-Lat at Ta'if. But Islam was not a materialist immoral movement; and soon the delegation itself felt ashamed of its demands regarding prayer, adultery and wine. The Prophet consented to concede exemption from payment of taxes and rendering of military service; and added: You need not demolish the temple with your own hands: we shall send agents from here to do the job, and if there should be any consequences, which you are afraid of on account of your superstitions, it will be they who would suffer. This act of the Prophet shows what concessions could be given to new converts. The conversion of the Ta'ifites was so whole hearted that in a short while, they themselves renounced the contracted exemptions, and we find the Prophet nominating a tax collector in their locality as in other Islamic regions.

39. In all these "wars," extending over a period of ten years, the non-Muslims lost on the battlefield only about 250 persons killed, and the Muslim losses were even less. With these few incisions, the whole continent of Arabia, with its million and more of square miles, was cured of the abscess of anarchy and immorality. During these ten years of disinterested struggle, all the peoples of the Arabian Peninsula and the southern regions of Iraq and Palestine had voluntarily embraced Islam. Some Christian, Jewish and Parsi groups remained attached to their creeds, and they were granted liberty of conscience as well as judicial and juridical autonomy.

40. In the year 10 H., when the Prophet went to Mecca for Hajj (pilgrimage), he met 140,000 Muslims there, who had come from different parts of Arabia to fulfil their religious obligation. He addressed to them his celebrated sermon, in which he gave a resume of his teachings: "Belief in One God without images or symbols, equality of all the Believers without distinction of race or class, the superiority of individuals being based solely on piety; sanctity of life, property and honour; abolition of interest, and of vendettas and private justice; better treatment of women; obligatory inheritance and distribution of the property of deceased persons among near relatives of both sexes, and removal of the possibility of the cumulation of wealth in the hands of the few." The Quran and the conduct of the Prophet were to serve as the bases of law and a healthy criterion in every aspect of human life.

41. On his return to Madinah, he fell ill; and a few weeks later, when he breathed his last, he had the satisfaction that he had well accomplished the task which he had undertaken - to preach to the world the Divine message.

42. He bequeathed to posterity, a religion of pure monotheism; he created a well-disciplined State out of the existent chaos and gave peace in place of the war of everybody against everybody else; he established a harmonious equilibrium between the spiritual and the temporal, between the mosque and the citadel; he left a new system of law, which dispensed impartial justice, in which even the head of the State was as much a subject to it as any commoner, and in which religious tolerance was so great that non-Muslim inhabitants of Muslim countries equally enjoyed complete juridical, judicial and cultural autonomy. In the matter of the revenues of the State, the Quran fixed the principles of budgeting, and paid more thought to the poor than to anybody else. The revenues were declared to be in no wise the private property of the head of the State. Above all, the Prophet Muhammad set a noble example and fully practised all that he taught to others.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...