Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

07 April, 2006

Bab 1 - Tentang Saya: Bagaimana Saya Bisa Menjadi Muslim Dan Kenapa Saya Menulis Buku Ini

Assalamu’alaikum wr.wb.Ini Bab Pertama dari buku saya Mencari Tuhan, Menemukan Allah.(Baru terbit dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia belum keluar.)
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
-Gene Netto

MENCARI TUHAN, MENEMUKAN ALLAH

DAFTAR ISI

1.         Tentang Saya: Bagaimana Saya Bisa Menjadi Muslim Dan Kenapa Saya Menulis Buku Ini
2.         Rangkaian Pengutusan Para Nabi
3.         Tanda dari Tuhan
4.         Para Pengikut Yesus
5.         Pengikut Yesus Dan Pengikut Muhammad Saw
6.         Kebenaran Islam
7.         Ini Yang Allah Katakan Mengenai Al Qur'an
8.         Sebuah Agama yang Logis
9.         Alasan Logis Kenapa Kita Tidak Bisa Melihat Tuhan
10.       Kebutuhan Spiritual Kita Dan Solusi Dari Allah
11.       Ini Pilihan Anda

*******

1.         TENTANG SAYA: BAGAIMANA SAYA BISA MENJADI MUSLIM

Saya mulai menulis bab ini karena saya sering kali harus mengulang cerita yang sama kepada orang-orang di Indonesia yang ingin tahu mengapa saya menjadi seorang Muslim. Setiap kali saya mengeluh karena harus selalu mengulang sejarah pribadi saya kepada setiap kenalan baru, teman-teman seraya bercanda menyarankan agar saya menulis saja sebuah buku tentang diri saya. Di saat yang sama, setiap kali murid-murid saya bertanya tentang pekerjaan apa yang saya inginkan selain menjadi guru Bahasa Inggris, maka saya selalu menjawab ingin menjadi seorang penulis karena saya memang senang membaca dan menulis sejak kecil.

Setiap orang yang bertemu dengan saya di Indonesia ingin mengetahui hal yang sama: bagaimana saya bisa masuk Islam? Saya telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1995, dan karenanya sebagian besar perbincangan dilakukan dalam Bahasa Indonesia dan kadang dalam Bahasa Inggris dengan orang asing. Lalu, saya juga harus menjawab sederet pertanyaan lain tentang bagaimana saya belajar Bahasa Indonesia dan bisa tinggal di Indonesia.

Ada banyak masalah di Indonesia, seperti halnya di semua negara berkembang lainnya, dan banyak orang Indonesia tampak bingung ketika bertemu saya karena mereka tidak mengerti bagaimana saya bisa memilih untuk menjadi seorang Muslim dan kemudian juga memilih untuk tinggal di sini. Sebagian orang Indonesia mengatakan mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk berusaha pindah keluar dari Indonesia agar dapat hidup nyaman di negara barat dengan standar hidup yang tinggi. Jadi, mengapa saya malah memilih untuk meninggalkan kehidupan yang nyaman di sana dan tinggal di Jakarta?

Alasannya sederhana. Sebagian kawan saya yang Muslim sering berkomentar bahwa cara saya memahami dan menjelaskan Islam sangat berbeda dengan apa yang pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka lahir sudah dalam keadaan beragama Islam, sedangkan saya harus menghabiskan waktu 5 tahun untuk meneliti ajaran Islam supaya bisa memastikan bahwa Islam memang benar. Mereka hanya menerima apa yang dikatakan oleh orang tua mereka, sedangkan saya harus benar-benar mempertanyakan semuanya, menganalisis Islam dengan logika, dan selalu bertanya "Mengapa?" Namun, banyak Muslim Indonesia jujur mengakui bahwa mereka shalat hanya karena orang tuanya menyuruh mereka melakukannya. Mereka juga percaya bahwa Islam itu benar, tetapi mereka tidak pernah menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis apa yang mereka lakukan atau mengapa mereka melakukan itu. Mereka hanya melakukannya. Jadi perbedaan cara pendekatan kami terhadap Islam membuat pemahaman saya tentang Islam jadi tampak sangat unik bagi mereka.

Pengalaman itu membuat saya merasa bahwa mungkin ada sebuah tugas penting yang perlu saya lakukan di Indonesia. Saya bisa berbahasa Indonesia dengan baik, mampu menyampaikan ide-ide saya, dan penjelasan saya tentang Islam tampaknya memiliki dampak yang kuat pada banyak orang yang lahir sebagai Muslim. Misalnya, seorang Muslim yang tidak melakukan shalat selama 30 tahun tiba-tiba mulai shalat lagi setelah satu kali bercakap-cakap dengan saya. Jadi saya memutuskan bahwa saya harus tinggal di sini, berusaha untuk mengembangkan komunitas Muslim yang ada di sini, dan bukan mencari kehidupan yang nyaman untuk diri saya sendiri di negara maju.

Dalam bab ini, saya akan menjelaskan bagaimana saya melalui sebuah proses untuk menjadi seorang Muslim. Namun, bab ini hanyalah untuk memenuhi keingintahuan mereka yang ingin tahu tentang latar belakang saya. Selanjutnya, sisa buku ini bukanlah tentang saya, melainkan tentang bagaimana saya menganalisis Islam dan Kristen hingga mencapai kesimpulan bahwa agama Kristen harus ditolak dan agama Islam harus diterima. Dalam buku ini, saya ingin menjelaskan mengapa saya menganggap agama Kristen tidak dapat diterima dari perspektif logis dan bagaimana saya belajar bahwa ternyata Islam adalah sebuah agama yang pada dasarnya bersifat logis dan seharusnya dapat membuat seseorang berpikiran terbuka serta menggunakan logika dan kecerdasannya untuk sampai pada kesimpulan bahwa Islam itu benar.

1.1.      Pada Awalnya

Saya lahir di kota Nelson, sebuah kota kecil di Pulau Selatan di Selandia Baru (dekat Australia). Pada waktu kecil, saya merasa kurang betah tinggal di Selandia Baru. Bapak saya lahir di Myanmar (Birma), keluarga saya beragama Katolik, dan ibu saya yang lahir di Selandia Baru berkulit putih. Jadi, ras saya campuran. Saya merasa saya ini “sama” seperti orang lain.Tapi saya juga ingat orang-orang sering kali bertanya tentang asal saya. Kakak dan adik saya bermata biru. Sedangkan mata dan rambut saya lebih gelap. Ini membuat saya tampak berbeda dari mereka. Saya selalu merasa bahwa saya bukan benar-benar orang kulit putih, tetapi juga bukan orang Asia. Mungkin karena saya berpikir tentang hal itu, saya jadi ingin belajar lebih banyak tentang dunia, bangsa, budaya dan agama yang berbeda-beda. Ini semua mungkin karena saya merasa bukanlah bagian dari itu semua.

Seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai ingin mempelajari topik-topik yang serius: piramida, dinosaurus, peradaban kuno, politik global, perang, agama, bintang-bintang, dan juga alam semesta. Terkadang, saya memandang bintang-bintang dalam kesunyian malam dan memikirkan dari mana mereka berasal. Saat itu umur saya sekitar 10 atau 11 tahun dan sudah mulai ingin mengetahui segala sesuatu. Pada saat itu, saya adalah satu-satunya murid di kelas yang tertarik pada dinosaurus. Saya tidak mengerti mengapa teman-teman tidak tertarik, padahal dinosaurus itu asyik! Saya ingin tahu mengapa mereka menghilang. Pada dasarnya, saya adalah seorang anak kecil yang selalu penasaran terhadap segala sesuatu yang misterius dan rahasia yang belum terungkap.

Seperti anak kecil lainnya, saya juga diajarkan tentang agama Kristen di Sekolah Minggu meskipun dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Ketika itu saya harus menghafal seluruh cerita standar dalam Alkitab; tentang Nabi Abraham, Nabi Musa, Nabi Nuh, dan Yesus. Saya selalu bingung bagaimana mungkin Nabi Nuh bisa memasukkan begitu banyak binatang ke dalam sebuah kapal. (Apakah semua binatang di seluruh dunia?). Ada banyak hal dalam agama Kristen yang membuat saya bingung. Tapi, kisah Nabi Nuh bukanlah teka-teki terbesar bagi saya. Ada hal lain yang lebih besar yang saya pikirkan.

Saya belajar tentang konsep Trinitas, yaitu konsep yang mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah Yesus dan juga Roh Kudus. Tiga-tiganya terpisah, tetapi tiga-tiganya juga satu. Tiga tapi satu. Ketiganya adalah Tuhan, tapi hanya ada satu Tuhan. Tuhan menjadi seorang manusia yang bernama Yesus, dan manusia ini adalah anak Tuhan. Manusia ini wafat, tetapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia ini adalah Tuhan. Dia wafat. Tapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia ini adalah Tuhan. Berarti manusia ini wafat walaupun dia tidak bisa wafat. Dia hidup kekal, dan sekaligus tidak hidup kekal pada saat yang sama. Bagi saya, ini sangat membingungkan.

Saya juga bingung dengan peran pastor yang dengan mudahnya mengampuni dosa setiap orang tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Tuhan. Bagaimana kalau pastor itu salah dan dosa saya belum diampuni? Apakah saya bisa mendapatkan bukti tertulis dari Tuhan yang menyatakan bahwa saya sudah terbebas dari dosa? Bagaimana kalau saya bertemu dengan Tuhan di Hari Akhir dan Dia menyatakan bahwa dosa saya belum diampuni? Kalau saya protes dan menyalahkan pastor yang meyakinkan bahwa saya tidak punya dosa lagi, mungkin Tuhan hanya akan bertanya satu hal saja, “Siapa yang menyuruh kamu percaya pada perkataan dia?” Siapa yang sanggup menyelamatkan saya kalau pastor itu ternyata keliru dan dosa saya tetap ada dan malah dihitung secara terperinci oleh Tuhan?

Saya mulai berpikir bagaimana cara mendapatkan sebuah jawaban yang gamblang atas semua pertanyaan mengenai agama yang mengganggu pikiran saya. Akhirnya, saya memutuskan bahwa saya harus berbicara empat mata dengan Tuhan! Hanya Tuhan yang bisa menjawab semua pertanyaan saya. Jadi, saya berdoa kepada Tuhan dan meminta-Nya untuk datang dan menampakkan Diri di kamar tidur saya, agar saya bisa melihat-Nya dengan mata kepala sendiri. Tapi tentu saja Dia tidak datang. Pada saat itu, saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tidak datang karena Tuhan memang tidak ada! Oleh karena itu, hanya ada satu pilihan yang tersisa: saya harus menyatakan diri saya “ateis” dan tidak percaya pada Tuhan mana pun.

Saya terus melanjutkan sekolah dan menyembunyikan kenyataan bahwa saya tidak lagi percaya kepada Tuhan. Kalau ada yang bertanya apa agama saya, maka saya cukup menjawab “Katolik” supaya tidak perlu menjelaskan bahwa saya ateis. Selama masa SD, SMP, dan SMA, saya tidak menghabiskan banyak waktu mempelajari agama Kristen atau agama lain. Saya menganggap mempelajari agama hanya membuang-buang waktu saja karena Tuhan tidak nyata. Setelah lulus SMA, orang tua saya memutuskan untuk pindah ke Brisbane, Australia. Saya pun akhirnya memutuskan ikut bersama mereka.

1.2.      Belajar Islam

Di Brisbane, saya tiba-tiba memutuskan untuk masuk jurusan Psikologi di universitas, namun saya tidak diterima di jurusan itu. Sebagai pilihan kedua, saya ditawari untuk masuk ke Fakultas Kajian Asia dan Internasional (Faculty of Asian and International Studies). Saya diberi tahu bahwa saya dapat mengambil jurusan Kajian Asia selama 1 tahun, meningkatkan nilai saya, lalu mendaftar lagi ke jurusan Psikologi. Rencana ini tampaknya cukup bagus sehingga saya pun menerima tawaran itu.

Pada tahun pertama kuliah di Fakultas Kajian Asia, saya memilih Bahasa Indonesia dan saya mendapatkan nilai yang sangat baik dan termasuk yang paling tinggi. Saat kami diberi tahu bahwa ada 3 beasiswa untuk belajar di Indonesia, saya tidak mengikuti seleksi karena masih berniat pindah ke Fakultas Psikologi di akhir tahun. Tiga teman saya kemudian terpilih, tetapi salah satunya tiba-tiba menyatakan ada halangan dan mengundurkan diri. Proses seleksi dibuka lagi, tetapi sekarang hanya untuk satu orang. Ada seorang dosen yang memanggil saya ke kantornya dan bertanya kenapa saya tidak mengikuti seleksi beasiswa itu. Setelah saya jelaskan niat saya untuk pindah fakultas di akhir tahun pertama, dosen itu menyarankan agar saya melanjutkan kuliah Kajian Asia Modern dan mata kuliah Bahasa Indonesia karena menurutnya saya memiliki bakat di bidang itu. Berdasarkan sarannya, saya memutuskan untuk meneruskan kuliah di Fakultas Kajian Asia dan juga mengikuti proses seleksi untuk beasiswa belajar di Indonesia. Setelah proses seleksi selesai, saya dinyatakan lulus dan akan diberangkatkan ke Indonesia pada tahun berikutnya (1991). Sejak saat itu, saya pun menjadi lebih fokus dalam belajar karena telah mempunyai tujuan yang berbeda.

Pada suatu hari, Klub Indonesia di kampus mengundang seluruh mahasiswa Australia yang belajar tentang Indonesia, dan juga seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di kampus untuk datang ke sebuah acara barbeque. Ada seorang mahasiswa dari Indonesia yang mengajak saya ngobrol. Dia bertanya apakah saya belajar tentang Indonesia dan saya jawab ya. Kemudian, tiba-tiba saja dia bertanya apakah saya juga belajar tentang agama Islam. Saya menjawab, tentu saja, kami harus mempelajari dasar-dasar semua agama di Asia termasuk agama Islam dalam salah satu mata kuliah kami.

Lalu dia benar-benar membuat saya terkejut dengan bertanya, “Apakah kamu sudah tahu bahwa di dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni dosa? Tidak ada pendeta atau pastor yang bisa mengampuni dosa manusia!” Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya masih ingat, saya duduk di situ, seketika terpaku seperti sebuah patung dengan hotdog yang baru saja saya gigit, tertahan di bibir. Saya begitu terkesima. Waktu seolah terhenti untuk beberapa saat. Kemudian saya menyadari bahwa inilah jawaban yang saya cari selama 10 tahun. Di dalam Islam, hanya Tuhan yang berhak mengampuni dosa. Saya mulai berpikir: apakah mungkin ada suatu agama yang didasarkan pada logika? Adakah Islam mengandung ajaran-ajaran yang dapat dianalisis secara kritis tanpa menimbulkan kebingungan, dan dapat menjawab sejumlah pertanyaan saya selama ini? Apakah mungkin sebuah agama yang pernah saya tolak sebenarnya mengandung kebenaran yang mutlak? Apakah mungkin ada satu agama yang benar di dunia ini?

Sejak saat itu, saya mulai mempelajari dan menganalisa agama Islam secara mendalam. Saya mulai membaca buku dan mencari teman dari Indonesia yang beragama Islam. Secara perlahan, saya mulai memperluas pengetahuan saya tentang Islam dengan bertanya, berpikir, membaca, dan terus mencari jawaban. Tujuan utama saya adalah untuk mencari tahu apakah Islam benar-benar masuk akal atau tidak.

Pada tahun 1991, saya berangkat ke Indonesia untuk mengikuti program beasiswa. Saya belajar di sebuah universitas Katolik swasta di pusat kota Jakarta. Selama 6 bulan di sana, semua teman saya adalah orang Islam. Saya melihat mereka melakukan shalat, dan saya mulai bertanya lebih jauh mengenai agama Islam. Saya ingin tahu apa yang mereka lakukan, mengapa, dan apa yang mereka yakini sebagai orang Islam.

Setelah 6 bulan tinggal di Jakarta dan kembali ke Brisbane, ternyata saya menjadi salah satu mahasiswa yang paling lancar berbahasa Indonesia di kampus. Oleh karena itu, saya sering kali bergaul dengan orang-orang Muslim dari Indonesia. Saya tidak aktif mempelajari Islam secara rutin, namun saat itu saya sudah mulai merasa tertarik. Kapan pun kami harus menulis makalah, saya selalu mencari topik yang ada hubungannya dengan Islam. Biasanya ada satu topik pilihan tentang Islam dalam daftar yang diberikan. Untuk menulis makalah tersebut, saya harus membaca belasan buku dan artikel tentang aspek-aspek Islam di Indonesia. Semakin sering saya baca, semakin mampu saya berpikir secara mendalam tentang Islam.

Meskipun saya dapat melihat banyak aspek positif dalam Islam, diam-diam saya juga mencari titik kelemahannya yang fatal dan jelas. Saya yakin, cepat atau lambat saya akan menemukan sesuatu yang dapat meyakinkan saya bahwa Islam itu tidak benar. Saya merasa yakin bahwa pasti ada sesuatu yang salah dengan Islam, dan saya ingin menemukannya.

Setelah menyelesaikan kuliah Bachelor of Arts (BA) pada tahun 1993, saya mengambil kuliah tambahan Graduate Diploma of Education (GDipEd) pada tahun 1994 di Fakultas Pendidikan karena saya bermaksud menjadi seorang guru bahasa dan sejarah. Pada saat yang sama, saya juga mengikuti seleksi untuk mendapatkan beasiswa baru. Beasiswa ini hanya akan diberikan untuk satu orang selama satu tahun penuh di Indonesia. Saya memenangkan beasiswa itu, dan saya kembali kuliah di Jakarta pada tahun 1995. Kali ini di Universitas Indonesia. Sekali lagi, saya menghabiskan waktu saya di Indonesia dengan teman-teman Muslim dan memperhatikan apa yang mereka lakukan.

Malam hari pada bulan Februari tahun 1995, saya duduk seorang diri di lantai menonton shalat Tarawih yang ditayangkan TV secara langsung dari Makkah. (Shalat Tarawih adalah shalat tidak wajib yang dilakukan pada malam hari selama bulan puasa Ramadan, dan dapat berlangsung selama 2 jam). Saya mendengarkan pembawa acara yang berbicara dalam Bahasa Indonesia. Dia menyatakan bahwa pada tahun itu diperkirakan ada sekitar 3 juta orang di Masjidil-Haram dan wilayah sekitarnya (yang terdiri dari lapangan yang ada di luar masjid, jalan-jalan, dan bahkan lobi-lobi hotel). Semua orang itu sedang melakukan shalat bersama. Sekitar 3 juta orang melakukan gerakan yang sama, menghadap ke arah yang sama, mengikuti pemimpin yang sama, berdoa dalam bahasa yang sama, dengan ucapan yang sama, pada saat yang sama, dan berdoa kepada Tuhan yang sama. Saya berpikir: mana ada hal seperti ini di negara Barat? Jumlah orang yang berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola yang paling hebat sekalipun di dunia ini paling-paling hanya sekitar seratus ribuan. Tapi sekarang saya melihat tiga juta orang yang berkumpul di dalam dan di sekitar sebuah bangunan, melakukan hal yang sama, pada waktu yang sama, dan semuanya melakukan gerakan-gerakan secara bersamaan. Ini sungguh sebuah pemandangan yang tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, saya masih belum menemukan kejadian serupa itu di dunia Barat.

Saya mulai berpikir tentang berapa banyak orang yang bisa berkumpul di satu bangunan untuk mendengarkan Paus bicara. Saya mulai bayangkan apakah mungkin semuanya bisa memahami kata-kata yang diucapkan Paus karena tidak ada satu bahasa pun yang mempersatukan orang Kristen dari seluruh dunia. Tidak ada satu kejadian pun di dalam agama Kristen yang dapat menandingi kejadian yang saya saksikan di Makkah.

1.3.      Menjadi Seorang Muslim

Selama satu tahun itu saya tinggal di Jakarta dan terus mempelajari agama Islam dengan pelan dan tidak secara formal, melainkan dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekitar saya. Kalau ada ceramah agama di TV, maka saya akan mendengarkan dan memikirkan apa yang disampaikan penceramahnya. Tidak ada satu pun hal pokok dalam isi ceramah-ceramah itu yang dapat saya anggap keliru, sehingga pada akhir tahun 1995, saya sudah merasa semakin sulit untuk menolak agama Islam. Saya sudah terus-menerus mencari kelemahan dalam ajaran dasar Islam dari sudut pandang logika, namun, saya tidak dapat menemukan titik kelemahan itu. Semua yang ada di dalam Islam tampaknya begitu jelas, logis, dan tak pelak lagi memang didasarkan pada kecerdasan manusia.

Akhirnya saya merasa tidak bisa terus menyangkal apa yang telah saya pelajari tentang Islam sehingga saya tidak lagi mempunyai pilihan lain: saya harus menjadi seorang Muslim. Akan tetapi, bagaimana dengan masa depan saya? Kuliah saya di Universitas Indonesia hampir usai. Saya harus kembali ke Australia dan mengajar di sekolah di sana. Bagaimana saya bisa mempelajari agama Islam jika tinggal di sana? Dari mana saya bisa mendapatkan guru agama? Di mana saya bisa shalat? Ada berapa masjid di Brisbane? Sepertinya saya akan sulit hidup sebagai orang Islam kalau harus tinggal di sana. Semakin saya berpikir, semakin jelas bahwa tinggal di Indonesia akan menjadi pilihan yang lebih baik supaya saya bisa berada di antara orang-orang Islam. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk masuk Islam dan menetap di Indonesia untuk sementara agar saya lebih mudah belajar tentang Islam.

Pada bulan Februari tahun 1996, saya mengucapkan syahadat dan menjadi seorang Muslim secara resmi. Keluarga saya sudah pasti menganggap saya “sudah gila” tetapi mereka tetap bersikap baik kepada saya dan tidak pernah memberikan komentar buruk tentang Islam di depan saya. Saya masih diterima secara baik oleh keluarga saya, dan ini sangat berbeda dengan cerita yang sering kali saya dengar di Indonesia tentang sebagian orang Kristen yang masuk Islam. Mereka dipukuli, diusir dari rumah dan tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka lagi.

Meskipun keluarga saya tetap ramah pada saya, dan saya bisa dengan mudah pindah kembali ke Australia, saya masih merasa lebih nyaman tinggal di antara umat Islam lainnya dan mendapat kesempatan untuk belajar pada guru saya setiap minggu. Jadi, saya memutuskan untuk tinggal di Indonesia dan sampai sekarang pun, saya masih tinggal dan bekerja di sini sejak tahun 1995. Pernah beberapa kali saya mempertimbangkan untuk pindah ke negara lain. Tetapi setiap kali saya memutuskan untuk pindah negara, selalu terjadi sesuatu yang mengubah pikiran saya, yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini saja.

1.4.      Apa Tujuan Saya Menulis Buku Ini?

            Mungkin alasan paling kuat mengapa saya terdorong menulis buku ini adalah karena saya ingin menjelaskan beberapa unsur dalam agama Kristen dan Islam yang telah saya coba pahami selama bertahun-tahun ini, dan saya berharap bahwa informasi ini dapat berguna untuk berbagai kalangan. Saat masih kecil, saya merasa sulit percaya pada ajaran Kristen, karena menurut saya ajarannya sangat tidak logis. Karena alasan itulah, saya kemudian tidak bisa lagi mempercayai agama apa pun dan juga tidak percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Saya sering berjumpa dengan orang yang mengalami masalah serupa, dan tampak jelas bahwa mereka pernah atau bahkan masih mengalami proses pemikiran seperti yang dulu pernah saya alami. Karena itulah, saya berharap buku ini dapat membantu mereka menemukan jawaban-jawaban yang mereka cari selama hidupnya. Saya yakin bahwa mereka akan dapat menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan itu dalam agama Islam.

Saya berharap buku ini akan berguna untuk berbagai kalangan. Pertama, bagi orang-orang yang lahir sebagai Muslim dan tidak tahu banyak tentang agama Kristen. Sebagian Muslim mengalami kesulitan untuk menjelaskan mengapa ajaran Kristen ditolak dalam Islam, jadi saya ingin memberikan penjelasan tentang hal ini. Kedua, bagi orang Muslim yang tidak taat dan mungkin sedang berpikir untuk pindah agama menjadi orang Kristen. Semoga penjelasan yang diberikan di sini dapat menjelaskan mengapa mereka harus mempelajari Islam lebih dalam, dan bukan mencari agama lain. Ketiga, untuk mantan pemeluk Kristen yang sedang mempertimbangkan untuk masuk Islam tapi masih tidak yakin dengan persamaan dan perbedaan antara kedua agama ini. Keempat, untuk mantan pemeluk Kristen yang telah meninggalkan Gereja, tidak mengikuti agama apa pun, tapi masih ingin memiliki hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa orang Muslim menerima agama Islam sebagai kelanjutan dari agama Kristen dan Yahudi, dan bahwa Muhammad SAW adalah Nabi yang menggantikan Yesus, Nabi yang melanjutkan ajaran Nabi-Nabi sebelumnya, dan Nabi Terakhir yang diutus oleh Tuhan.

Saya pernah bertemu beberapa Muslim yang merasa ragu akan agama mereka sendiri, sebagai akibat dari kurangnya pendidikan agama di masa kecil. Sebagian dari mereka mungkin mengerjakan shalat hanya ketika merasa ingin saja (meskipun wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk mengerjakan shalat lima waktu). Sebagian lagi mungkin tidak mengerjakan shalat sama sekali. Yang lainnya mungkin merasa dirinya adalah ateis yang tidak lagi percaya pada Tuhan, meskipun masih mengaku sebagai Muslim di depan orang lain. Dan sebagian yang lain lagi, boleh jadi justru tertarik untuk mempelajari agama Kristen. Saya pikir penyebab utama mengapa ada orang-orang yang hidup dalam kondisi seperti ini pada dasarnya sama: mereka tidak begitu memahami Islam karena tidak memperoleh pendidikan agama yang baik, atau mungkin orang tua mereka kurang taat dalam menjalankan ajaran agama, sehingga mereka tidak pernah mendapatkan pemahaman yang baik tentang Islam.

Saat saya berjumpa dengan Muslim seperti itu, tampak jelaslah bahwa mereka memang tidak begitu mengenal Islam atau Kristen, dan karenanya mereka tertarik untuk mengetahui analisis saya mengenai kedua agama ini. Saya berharap, setelah membaca buku ini mereka akan merasa lebih percaya diri untuk tetap memeluk agama Islam, dan akan mulai mencari pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai Islam dari sumber-sumber lainnya.

Saya berharap bahwa mantan pemeluk Kristen yang telah meninggalkan Gereja namun masih percaya pada Tuhan akan menemukan beberapa pemikiran baru di buku ini, yang dapat mendorong mereka untuk mempelajari Islam dengan pikiran terbuka. Begitu mereka belajar lebih banyak tentang Islam, dan memahami bahwa Islam adalah versi terbaru dari agama yang sama yang diturunkan kepada Yesus, Musa, Abraham (dan semua Nabi Allah lainnya) maka saya berharap mereka bisa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang cara orang Islam berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa. Jika seorang mantan pemeluk Kristen membaca buku ini dan menjadi lebih tertarik pada Islam, maka saya berharap bahwa ia akan menindaklanjuti dengan membaca lebih banyak buku lain yang menjelaskan Islam secara rinci. Karena ajaran dasar Islam sudah banyak tersedia dari sumber lain, maka saya sengaja tidak memasukkan informasi mendasar tentang Islam dalam buku ini.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa buku ini tidak dimaksudkan untuk menghina umat Kristen atau agama Kristen. Meskipun umat Kristen mungkin akan tidak suka dengan apa pun yang saya katakan tentang agama mereka, saya sudah berusaha untuk memberikan pendapat akademis dan bukan pendapat emosional. Sebagai seorang Muslim, saya yakin tidak ada manfaat yang bisa diperoleh dari menghina agama orang lain, dan Allah juga melarang kita untuk melakukan hal itu sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:

108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
(QS. Al-An’am 6:108)

            Mohoni dipahami bahwa bukanlah tujuan saya untuk menjelaskan segala sesuatunya mengenai Kristen ataupun Islam di dalam buku ini. Selama bertahun-tahun membaca dan melakukan penelitian, saya memikirkan cara membuat perbandingan yang jelas antara kedua agama ini agar dapat dipahami oleh orang awam. Dan sebagai hasilnya, pada halaman-halaman berikut, saya telah menyusun beberapa elemen yang saya pikir dapat bermanfaat bagi mereka yang sedang mencoba memahami kedua agama ini dengan cara yang logis. Karena niat saya adalah untuk fokus hanya pada dua agama, dan menjelaskan mengapa orang Muslim tidak menerima agama Kristen, maka ada topik-topik tertentu yang saya putuskan untuk tidak dibahas sama sekali (agar buku ini tidak menjadi terlalu tebal). Sebagai contoh, tidak ada bab yang menjelaskan keberadaan Tuhan, karena saya berasumsi bahwa seluruh pembaca telah mengenal konsep dasar monoteisme, seperti Tuhan Yang Maha Kuasa, Nabi-Nabi, Kitab-Kitab Suci, para malaikat, Surga, Neraka, Hari Akhir, dan sebagainya.

1.5.      Semua Manusia Punya Potensi Berperilaku Baik ataupun Buruk

            Setelah menjadi Muslim selama bertahun-tahun, dengan jujur saya katakan bahwa ini adalah pengalaman menarik yang memiliki berbagai sisi baik dan buruk. Saya telah melihat orang-orang yang berperilaku dengan cara mulia, karena mereka adalah Muslim. Tapi saya juga melihat Muslim lain yang tidak peduli jika perilaku negatif mereka bertentangan dengan ajaran Islam. Saya telah melihat Muslim yang baik, peduli, jujur, tulus, murah hati dan penuh kasih, dan juga Muslim yang sebaliknya (orang yang berperilaku sangat buruk). Kita bisa menemukan kondisi ini dalam setiap komunitas umat beragama karena setiap manusia dapat memilih untuk berperilaku dengan cara apa pun yang mereka sukai, terlepas dari apa ajaran agama mereka. Tapi dalam kasus Islam, tampaknya peran media modern menjadikan sulit bagi semua orang untuk melihat sisi positif Islam karena hanya kebencian, kematian, dan kehancuran disajikan kepada publik ketika media membahas perilaku sebagian orang Muslim. Tentu saja, memang ada orang Muslim yang melakukan tindakan kekerasan, tapi kekerasan tidak hanya dilakukan oleh orang Muslim, dan kebaikan yang dilakukan orang Muslim yang baik biasanya tidak menjadi berita karena berita tidaklah menjadi sensasional jika tidak ada yang meninggal atau meledak! Jadi, tindakan negatif sebagian Muslim yang muncul di berita tidaklah mewakili mayoritas Muslim yang menjalani kehidupan yang damai dalam keseharian mereka, dengan pergi ke sekolah, bekerja, menikah, membesarkan anak-anak, dan menyembah Tuhan dengan cara yang mereka yakini.

Akan tetapi, jika orang Muslim menganggap dirinya sebagai “penjual” dan produk yang mereka “jual” adalah Islam, maka akan tampak bahwa banyak orang lain tidak ingin “membeli” apa yang “dijual” oleh Muslim tersebut. Dengan kata lain, orang Muslim sering kali gagal “memasarkan” Islam agar agama ini dapat diterima dengan mudah oleh orang lain. Kalau ada orang Barat yang ingin berdebat dengan saya tentang kebenaran Islam, maka dia hanya perlu menuding berbagai masalah di Indonesia (seperti korupsi) dan berkata, “Bukankah hal itu membuktikan bahwa agama anda tidak baik?” Tentu saja yang dia komentari itu adalah perbuatan manusia, dan bukan ajaran Islam. Tetapi untuk meyakinkannya tidaklah mudah karena pertanyaan berikutnya adalah: "Jika perilaku itu memang dilarang dalam agama Anda, maka mengapa hal itu begitu umum dilakukan?"

Jawabannya adalah bahwa apa pun yang diperintahkan oleh Tuhan, tidak akan dipatuhi oleh kebanyakan manusia. Contoh terbaik adalah Nabi Adam, yang hanya dilarang melakukan satu hal saja: makan buah terlarang. Tapi coba tebak apa yang Adam lakukan? Ya, benar! Meski diberi satu larangan saja, Adam, seorang Nabi Allah, toh melanggarnya! Kita tidak berbeda dengan Adam. Tapi banyak orang di era modern ini cepat menghakimi Islam berdasarkan perilaku sebagian pengikutnya, sehingga "Islam" mendapatkan reputasi buruk, karena banyak Muslim yang berperilaku buruk. Padahal banyak juga orang Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, dan pengikut agama-agama lain yang juga berperilaku buruk dan tidak mengikuti ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada dasarnya, setiap orang dengan agama apa pun mungkin saja berperilaku dengan cara yang negatif. Tetapi media modern tampaknya lebih senang menyoroti contoh-contoh negatif dari orang Muslim, tanpa memperhatikan bahwa pengikut agama-agama lain mungkin berperilaku sama buruknya atau bahkan lebih buruk.

Jadi menurut saya, sebagai orang Muslim kita memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan Islam dengan cara terbaik agar dapat lebih mudah dipahami oleh orang yang ingin tahu tentang Islam. Cara termudah bagi kita untuk melakukan tugas itu adalah dengan menunjukkan Islam melalui perilaku kita. Jika kita dapat melakukan strategi ini, maka orang lain mungkin akan mulai memandang Islam dengan cara yang lebih baik karena mereka melihat kebenaran Islam melalui tindakan-tindakan kita. Setelah itu, kita perlu menjelaskan dengan gamblang mengapa kita meyakini Islam, dan bagaimana Islam memandang agama lain, khususnya agama Kristen sebagai agama monoteisme terdekat dengan Islam. Agar dapat melakukan tugas itu, seorang Muslim harus memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan agama Kristen dari sudut pandang agama Islam sehingga sanggup berbincang dengan cara yang konstruktif tentang kedua agama itu. Jika kita berhasil dalam “memasarkan” agama Islam dengan cara ini, maka mudah-mudahan jumlah musuh Islam akan berkurang dan jumlah penganut Islam akan bertambah.

Dalam bab-bab berikut ini saya akan berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya tentang bagaimana agama Islam memandang agama Kristen dan kemudian menjelaskan mengapa orang Muslim meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Tuhan. Saya harap Anda dapat ikut merasakan perjalanan yang mencerahkan ini! Mari kita mulai.


Alasan Logis Kenapa Kita Tidak Bisa Melihat Tuhan

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ini satu bab dari buku saya "Mencari Tuhan, Menemukan Allah" (Searching for God and Finding Allah). Awalnya bab dua, tapi dipindah menjadi bab sembilan. Saya berusaha jelaskan sebuah alasan logis kenapa manusia tidak bisa melihat Tuhan di dunia ini. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

MENCARI TUHAN, MENEMUKAN ALLAH

[Perjalanan Spiritual Seorang Mualaf yang Membandingkan Agama Kristen dan Islam Dalam Mencari Kebenaran]

DAFTAR ISI

1. TENTANG SAYA: BAGAIMANA SAYA BISA MENJADI MUSLIM
2. RANGKAIAN PENGUTUSAN PARA NABI
3. TANDA DARI TUHAN
4. PARA PENGIKUT YESUS
5. PENGIKUT YESUS DAN PENGIKUT MUHAMMAD
6. KEBENARAN ISLAM
7. INILAH YANG ALLAH KATAKAN TENTANG AL-QUR’AN
8. SEBUAH AGAMA YANG LOGIS
9. ALASAN LOGIS KENAPA KITA TIDAK BISA MELIHAT TUHAN
10. KEBUTUHAN SPIRITUAL KITA DAN SOLUSI DARI ALLAH
11. INI PILIHAN ANDA

********

9. ALASAN LOGIS KENAPA KITA TIDAK BISA MELIHAT TUHAN

Ketika saya kecil, saya dibuat bingung oleh kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat Tuhan. Jika Dia ada, maka dalam pikiran logis saya, seharusnya kita bisa melihat-Nya dan fakta bahwa Dia tidak terlihat membuat saya lebih mudah menjadi seorang ateis. Namun, pada saat yang sama, saya juga tidak ingin benar-benar menolak kemungkinan adanya Tuhan, dan saya juga merasa bahwa saya harus tetap berpikiran terbuka kalau seandainya nanti ada orang yang bisa menunjukkan bukti Tuhan itu memang ada.

Sebagai usaha untuk memahami Tuhan, agama, alam semesta, dan arti dari kehidupan, saya banyak bertanya tentang agama Kristen karena saat itu satu-satunya agama yang saya ketahui adalah agama Kristen. Sayangnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab dengan baik dan justru membuat saya lebih bingung daripada sebelumnya. Karena tidak ada bukti yang memuaskan, maka saya merasa terpaksa tidak percaya kepada Tuhan.

Saya sering memperhatikan bagaimana orang-orang dewasa menghadapi suatu kejadian yang menyedihkan, misalnya saja saat seorang anak meninggal atau saat seseorang divonis menderita kanker. Orang dewasa seringkali menyatakan bahwa semua itu harus diterima dengan pasrah. Caranya dengan mengucapkan “God works in mysterious ways” (Tuhan bertindak dengan cara yang misterius), yang artinya kita tidak mungkin bisa memahami apa yang dilakukan oleh Tuhan, dan bertanya-tanya tentang hal itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Tuhan itu misterius dan kita tidak dapat memahami-Nya.

Tapi kalau Tuhan memang misterius, kenapa Dia memberikan akal pikiran kepada kita? Dengan kecerdasan dan kemampuan untuk berpikir logis, tentunya akan sangat masuk akal jika kita menggunakan kelebihan itu untuk memikirkan Tuhan. Fakta bahwa kita pasti mampu menggunakan logika untuk berpikir tentang Tuhan pastinya karena Tuhan (jika Dia memang ada) telah menciptakan kita dengan kemampuan ini, dan karena itu Dia juga tahu bahwa cepat atau lambat kita akan menggunakan otak kita yang kompleks untuk berusaha memahami-Nya dengan sikap yang logis dan cerdas. Jadi, di dalam agama, seharusnya ada ajaran-ajaran dasar yang bisa ditelaah dan masuk akal dalam agama mana saja yang dibenarkan oleh Tuhan. Kalau Tuhan memang ada, mengapa Dia memberi ajaran-ajaran agama kepada manusia tapi membuat agama tersebut membingungkan bagi banyak orang?

Hal itu membuat saya memikirkan sebuah pertanyaan baru: Apakah Tuhan harus “misterius” jika Dia tidak menghendaki demikian? Dalam hal agama, bukankah Tuhan seharusnya mampu menerima dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ciptaaan-Nya sendiri jika Dia berkehendak? Bagaimana jika sebenarnya Tuhan ingin agar kita mengenal-Nya (dalam batasan pemahaman kita tentunya) sehingga kita dapat menjadi lebih dekat dengan-Nya? Bagaimana jika ternyata Dia tidak menginginkan kita menganggap-Nya “misterius”?

Setelah menjadi seorang Muslim, saya merenungkan kembali keinginan di masa kecil, yaitu ingin melihat Tuhan dengan mata saya sendiri. Saya mulai berpikir apakah mungkin ada alasan logis mengapa Tuhan tidak ingin menampakkan Diri di depan kita pada saat ini? Apakah mungkin semata-mata karena Dia ingin menjadi “misterius”? Saya kemudian berusaha mempertimbangkan kemungkinan lain bahwa memang ada sebuah alasan logis untuk perkara ini. Jika alasan itu memang ada dan kita mampu menerimanya, maka mungkin kita juga akan mampu memahami bahwa semua itu adalah untuk kebaikan kita sendiri dan bukan karena alasan-alasan “misterius”.

Dalam bab ini, saya ingin memberikan satu penjelasan yang logis mengapa Tuhan tidak ingin terlihat oleh kita, dan bagaimana hal itu merupakan rahmat bagi kita. Untuk membahas ini, kita harus mencermati kisah Nabi Adam, manusia pertama yang diciptakan Allah, dan juga kisah Iblis. Lalu dibandingkan dengan kisah seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Tapi sebelumnya, ada baiknya kita terlebih dahulu membaca kisah Nabi Musa yang juga ingin melihat Allah.


9.1.Nabi Musa Juga Ingin Melihat Tuhan

Saya sering mendengarkan penceramah Muslim di Indonesia bercerita tentang Nabi Musa yang memohon untuk dapat melihat Allah. Telah dijelaskan oleh Allah kepada Nabi Musa bahwa dia tidak akan sanggup melihat Tuhannya. Tentu saja, Allah dapat berhenti sampai pada pernyataan itu, namun ternyata Allah berkehendak lain dan Dia memilih untuk memberikan “bukti” nyata kepada Nabi Musa bahwa dia tidak bisa melihat Tuhannya. Allah kemudian menampakkan Diri di belakang sebuah gunung. Saat cahaya Allah mulai terlihat, gunung itu hancur luluh karena tidak sanggup menahan cahaya-Nya. Begitupun halnya dengan Nabi Musa yang jatuh pingsan karena tidak sanggup melihat cahaya-Nya, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:

143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.
(QS. Al-A’raf 7:143)


Ayat ini memberikan kita suatu pemahaman bahwa manusia, termasuk para Nabi, tidak sanggup (atau tidak boleh) melihat Tuhan ketika kita masih berada di bumi ini. Jika seorang Nabi Allah seperti Nabi Musa tidak sanggup melihat Allah, maka manusia biasa seperti kita lebih tidak mungkin lagi berharap dapat melihat-Nya. Terlepas dari ketidaksanggupan Nabi Musa melihat Allah, kita mengetahui bahwa dia sanggup berdialog dengan-Nya. Selain Nabi Musa, makhluk lain yang juga pernah berdialog dengan Allah adalah Iblis.


9.2.Kutukan Allah Atas Iblis (Setan)

11. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.
12. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab Iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.
13. Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”.
(QS. Al-A’raf 7:11-13)


Dalam ayat-ayat ini kita diperkenalkan dengan suatu makhluk yang menolak untuk bersujud dan menunjukkan rasa hormat kepada Nabi Adam. Makhluk ini dinamakan Iblis atau Shaitan di dalam Al-Qur’an. Dalam Bahasa Inggris, makhluk ini dikenal dengan sebutan Satan, the Devil, Lucifer, dan lain-lain. Dalam ayat-ayat di atas, kita dapat melihat sebuah situasi bagaimana Iblis membantah Allah dan menolak Perintah Langsung-Nya untuk bersujud kepada Nabi Adam. Penolakan atas perintah Tuhan yang dilakukan Iblis merupakan tindakan kesombongan yang sangat terhadap Allah SWT, dan inilah alasannya mengapa Iblis mendapat hukuman.

34. Allah berfirman: “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk,
35. dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”.
(QS. Al-Hijr 15:34-35)


Dengan menolak perintah-Nya, maka Iblis menjadi makhluk pertama yang dikutuk oleh Allah sampai Hari Pengadilan. Kejadian ini sangat istimewa karena ini merupakan pertama dan terakhir kalinya (sepanjang pengetahuan kita) ada makhluk yang dikutuk untuk selama-lamanya. Al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa ada makluk selain Iblis yang dikutuk oleh Allah untuk selama-lamanya. Pertanyaan yang relevan adalah: kenapa Iblis langsung mendapatkan kutukan yang begitu keras dari Allah. Adalah sesuatu yang menarik, bahwa pada saat dinyatakan sebagai makhluk yang terkutuk, Iblis tidak protes. Dia tidak menuduh Tuhan tidak adil. Iblis tidak membantah dengan mengatakan bahwa dia tidak bersalah dan tidak pantas mendapat hukuman yang begitu berat. Kalau saja seorang manusia mendapat hukuman yang sama, saya pikir siapapun pasti akan protes dan mencari jalan keluar dan mohon ampunan dari hukuman tersebut. Sebaliknya, Iblis ternyata langsung menerima hukumannya, tetapi dengan meminta agar hukuman itu ditangguhkan sampai hari kiamat supaya ada waktu baginya untuk menyesatkan manusia dan membuktikan bahwa ia lebih baik daripada manusia.

14. Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”.
15. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.”
16. Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
17. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).
18. Allah berfirman: “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya”.
(QS. Al-A’raf 7:14-18)


Yang jelas, sekarang Iblis mempunyai keinginan untuk berusaha dengan cara apapun agar bani Adam mengikutinya ke dalam neraka, supaya dia bisa membuktikan kepada Allah SWT bahwa dia memang lebih baik daripada Adam. Sekarang, ada suatu keadaan yang menarik. Allah telah mengutuk Iblis, tetapi daripada langsung melemparkannya ke dalam neraka, Allah malah memberikan waktu kepadanya untuk menyesatkan semua manusia yang mau mengikutinya.

Jika kita meyakini bahwa Allah selalu mengetahui semua hal yang akan terjadi, berarti Allah juga pasti mengetahui bahwa Iblis akan menunjukkan kesombongannya, menjadi makhluk terkutuk, dan kemudian akan diberi waktu untuk menyesatkan manusia yang mau mengikutinya. Jika hal itu memang benar, berarti kita harus menerima kenyataan bahwa keberadaan Iblis beserta para pengikutnya, dan pengaruh mereka terhadap manusia, adalah suatu hal yang telah diketahui Allah sebelumnya, dan Allah membiarkan hal itu terjadi atas kehendak-Nya. (Allah tidak menyebabkan Iblis membangkang, tetapi hanya membiarkan hal itu terjadi). Kita harus meyakini bahwa semua kejadian hanya dapat berlangsung sesuai dengan Izin Allah. Jika Allah tidak berkehendak, maka bagaimana mungkin suatu hal dapat terjadi? Jika sesuatu bisa terjadi tanpa Izin Allah, berarti Allah bukan Yang Maha Kuasa.

29. Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Ali Imran 3:29)


Jadi, di dalam surga ada Nabi Adam bersama Hawa, dan juga Iblis! Iblis (yang setelah dikutuk disebut sebagai Shaitan dalam Al-Qur’an) tidak memiliki tujuan hidup kecuali menyesatkan sebanyak mungkin keturunan bani Adam agar menemaninya masuk neraka. Dengan Izin Allah (karena tidak mungkin terjadi tanpa Izin Allah) Iblis bisa masuk surga untuk mengganggu Adam dan Hawa, dan dia berhasil. Dia meyakinkan mereka untuk makan buah yang terlarang, yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari surga dan ditempatkan di bumi.

35. Dan Kami berfirman:”Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
36. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:”Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”.
(QS. Al-Baqarah 2:35-36)


Dalam kasus ini, Iblis hanya melakukan satu kesalahan saja dan sebagai akibatnya, dia dikutuk sepanjang masa. Kesalahan Nabi Adam dan isterinya Hawa (disebut “Eve” dalam bahasa Inggris) juga hanya satu, dan sebagai akibatnya mereka dikeluarkan dari surga tapi tidak dikutuk sepanjang masa. Kenapa ada perbedaan seperti itu di dalam kedua kasus ini?

Mungkin satu hal yang mempengaruhi perbedaan hukuman dari Allah ini adalah kenyataan bahwa hanya Iblis yang membantah Allah. Pada saat Adam dan Hawa diberitahu kalau mereka telah berbuat salah, mereka langsung bertaubat dan mohon ampunan. Sebaliknya, Iblis tidak mau bertaubat dan tidak juga meminta ampunan.

37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Baqarah 2:37)


Maka sekarang kita dapat melihat dua kasus di mana Adam dan Iblis masing-masing membuat satu kesalahan dan mereka dihukum karena kesalahan itu; tapi Iblis dihukum lebih berat. Untuk dapat memahami bagaimana hal ini berkaitan dengan topik yang tengah dibahas, yaitu mengapa Tuhan tidak nampak bagi kita untuk suatu alasan logis, maka kita juga perlu menguji satu kasus lagi; kasus pembunuh 100 orang yang mendapatkan ampunan atas segala dosa-dosanya.


9.3.Iblis, Nabi Adam, dan Pembunuh 100 Orang

Ada sebuah hadits (riwayat) yang menceritakan riwayat seorang pembunuh dari Bani Israel yang telah membunuh 100 orang, akan tetapi pada saat dia meninggal, dia sudah terlebih dahulu berniat untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, dosanya diampuni.

Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri: Nabi bersabda, “Di antara kaum lelaki Bani Israel ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Lalu dia berjalan dan bertanya kepada orang yang dijumpai (apakah taubatnya bisa diterima atau tidak). Dia menemukan seorang biarawan dan bertanya kepadanya apakah taubatnya bisa diterima. Si biarawan memberikan jawaban yang negatif, jadi pria itu membunuhnya. Dia bertanya terus sampai ada seseorang yang menasehatinya untuk pergi ke sebuah desa. (Lalu dia berangkat ke arah desa tersebut) tetapi kematian menjumpainya dalam perjalanan itu. Pada saat akan meninggal dunia, dia menghadapkan dadanya ke arah desa tersebut (di mana dia berharap taubatnya akan diterima), maka malaikat pencatat kebaikan dan malaikat pencatat keburukan bertengkar tentang si pembunuh. Allah kemudian memerintahkan desa (yang dia tuju itu) untuk mendekatkan diri kepadanya, dan memerintahkan desa (yang dia tinggalkan) untuk menjauhinya. Lalu Allah memerintahkan para malaikat untuk mengukur jarak antara badan orang itu dan kedua desa tersebut. Apakah lebih dekat ke desa pertama ataukah lebih dekat ke desa kedua. Diketahui bahwa dia sedikit lebih dekat ke desa (yang dia tuju). Jadi dia diampuni. (HR. Bukhari)

Sebuah pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah mengapa seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya dengan cara yang begitu mudah? Diampuni oleh Tuhan berarti bahwa pertaubatan seseorang telah diterima dan bahwa ia tidak akan dihukum karena dosa-dosanya. Jelas bahwa si pembunuh ini belum bertaubat secara resmi (dengan berdoa atau melakukan tindakan ibadah lainnya). Ia tampaknya masih dalam proses mencari tempat di mana ia akan belajar bagaimana bisa bertaubat secara formal dan menjadi orang beriman yang akan beribadah dan menyembah Tuhan dengan cara yang benar. Namun demikian, ia masih menerima pengampunan dari Tuhan sehingga tidak akan dihukum atas semua dosanya yang sangat serius.

Di sisi lain, Nabi Adam yang “hanya makan sepotong buah” memang bertaubat secara resmi (dengan mengucapkan doa yang diajarkan kepadanya oleh Tuhan) dan taubatnya diterima, sehingga ia diampuni, tapi dia masih dihukum dengan dikeluarkan dari surga. Dan kemudian Iblis, yang “hanya berdebat dengan Allah”, tidak bertaubat dan tidak mau bertaubat, dan tidak diampuni sama sekali. Iblis menerima hukuman paling keras dari ketiga kasus yang disebutkan karena dia menjadi yang pertama dan satu-satunya makhluk yang dikutuk oleh Allah untuk selama-lamanya.

Ketiga kasus terpisah ini, sekarang dibagi menjadi dua kategori yang berbeda. Di satu sisi, ada seorang pembunuh yang dosa-dosanya diampuni dan tidak menerima hukuman apa pun. Di sisi yang lain, ada Nabi Adam dan Iblis yang masing-masing menerima hukuman atas satu perbuatan dosa yang mereka lakukan, meskipun dosa mereka itu sepertinya tidak seberat dosa membunuh manusia yang lain.

Jika kita ingin mencari satu alasan logis mengapa kita tidak bisa melihat Allah di bumi ini, maka saya pikir alasan itu dapat ditemukan dengan membandingkan kedua kategori ini. Kita perlu menemukan satu alasan mengapa seorang pembunuh dapat terbebas dari hukuman setelah membunuh 100 orang, sementara Nabi Adam dan Iblis yang masing-masing hanya melakukan satu perbuatan dosa tetap mendapatkan hukuman dari Allah.


9.4.Hikmah Bagi Kita Bila Tuhan Tidak Nampak

Saya ingin bertanya: kenapa Nabi Adam dihukum, Iblis dihukum, tetapi seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang tidak dihukum? Perbedaannya hanya satu; si pembunuh itu tidak memiliki bukti bahwa Tuhan benar-benar ada! Dia tidak pernah melihat Allah atau berbicara dengan-Nya. Sebaliknya, Nabi Adam dan Iblis memang berbicara dengan Allah. Pembunuh itu percaya kepada Tuhan hanya berdasarkan pada keimanan, yang berarti dia percaya ada Tuhan Yang Maha Esa yang mau mengampuni semua dosanya, walaupun tidak melihat (dan tentu saja tidak bicara dengan Tuhan).

Apakah Adam dan Iblis percaya kepada Allah karena mereka melihatnya? Secara teoritis, kita bisa berargumentasi bahwa ada kemungkinan Adam dan Iblis melihat Allah dengan matanya dan oleh karena itu mereka tahu Tuhan itu ada. Tapi kita tidak menemukan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang secara jelas menyatakan bahwa Adam atau Iblis bisa melihat Allah. Mungkin mereka bisa melihat-Nya, mungkin juga tidak. Kita tidak tahu. Tapi yang kita tahu secara pasti adalah bahwa mereka berbicara dengan Tuhan, sehingga mereka tahu bahwa Dia benar-benar ada dan memiliki kekuasaan mutlak atas mereka.

Seperti Musa, Nabi Muhammad S.A.W. tidak melihat Allah dengan matanya (di dunia ini) karena ada hadits (riwayat) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad S.A.W. juga tidak pernah melihat Allah:

Diriwayatkan oleh Abu Dhar: Aku bertanya kepada Rasulullah S.A.W., “Apakah engkau melihat Rabb-mu?” Beliau S.A.W. menjawab, “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?” (HR. Muslim)

Diriwayatkan oleh Masruq: Saya sedang istirahat di rumah A’ishah ketika dia mengatakan: “Wahai Abu A’ishah [nama kehormatan untuk Masruq], ada tiga perkara yang, bilamana ada seseorang yang membenarkannya, maka dia telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah.” Saya bertanya apakah tiga perkara itu. Dia menyatakan: “Dia yang menganggap bahwa Muhammad S.A.W. melihat Tuhannya (dengan penglihatan matanya) telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah…” (HR. Muslim)


Jika Nabi Musa dan Nabi Muhammad S.A.W. tidak pernah melihat Tuhan di bumi ini, maka mungkin Adam dan Iblis juga tidak mampu atau tidak diizinkan untuk melihat Allah pada saat mereka berada di surga dulu. Namun sangat jelas bahwa Adam dan Iblis (serta Musa dan Muhammad S.A.W.) melakukan dialog langsung dengan Tuhan. Dalam QS. Al-A’raf 7:22-23, Nabi Adam berbicara langsung dengan Allah untuk mohon ampun kepada-Nya atas kesalahannya memakan buah terlarang. Di dalam QS. Al-A’raf 7:11-16 juga terdapat dialog antara Allah SWT dan Iblis.

Oleh karena Nabi Adam dan Iblis pernah berdialog secara langsung dengan Allah, maka jelaslah bahwa mereka tidak ragu Tuhan itu ada. Mereka percaya kepada Allah bukan berdasarkan keyakinan atau keimanan saja; mereka percaya kepada Allah karena mereka telah mendapatkan bukti bahwa Allah Yang Maha Esa memang ada. Pengetahuan ini menempatkan mereka pada posisi yang sangat istimewa dan mungkin bisa membuat kita iri. Tetapi, kita juga harus melihat konsekuensi yang timbul dari keistimewaan ini. Nabi Adam dan Iblis menyadari Allah memang adalah Pencipta mereka karena mereka berdialog dengan Dia, dan tetap saja keduanya tidak patuh pada-Nya. Nabi Adam mengakui kesalahannya dan dikeluarkan dari surga sebagai hukumannya. Sementara Iblis memilih untuk tidak mengakui kesalahannya dan tidak meminta ampun sehingga ia dikutuk sampai akhir zaman.

Sebagai perbandingan, si pembunuh 100 orang berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal ampunan. Dia percaya kepada ampunan Allah berdasarkan keimanan semata, bukan karena ada bukti nyata di depan mata bahwa Allah memang ada. Hal ini membuka kemungkinan dan kesempatan yang lebih besar bagi dia untuk mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang diperbuatnya. Sepanjang hidupnya, si pembunuh tidak mengenal Tuhan dan juga mungkin dia tidak percaya pada Tuhan. Dia melakukan kejahatan karena dia tidak menyadari keberadaan Tuhan atau tidak tahu apa yang Sang Pencipta inginkan darinya. Ketika akhirnya dia menjadi percaya (semata-mata berdasarkan keimanannya) dia meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan menerima taubatnya dan mengampuni segala dosanya. Dia tidak melihat Tuhan atau pun berbicara dengan-Nya. Mungkin sebagai hasil dari “keimanannya” itu, dia menemukan Allah sebagai Sang Maha Pengampun.

Tidak ada jaminan bila kita dapat melihat Allah, maka kita akan setuju untuk menyembah-Nya. Belum tentu kita akan serta-merta setia pada-Nya hanya karena melihat-Nya dan mengetahui bahwa Tuhan memang ada. Sebagai contoh, Iblis juga mengetahui bahwa Allah ada, tetapi dia tidak setia dan tidak mau beribadah kepada-Nya. Jika kita bisa melihat Allah, ada kemungkinan kita akan seperti Iblis (membantah Allah), dan akibatnya, kesempatan untuk mendapat pengampunan atas dosa-dosa kita akan menjadi kecil sekali.

Jika analisis ini benar, maka melihat Allah dengan mata kita, atau bahkan hanya berbicara dengan-Nya, nampaknya menjadi sesuatu yang terlalu sulit untuk dihadapi oleh manusia biasa di dunia ini. Jika seandainya kita bisa melihat-Nya, mungkin kita akan menghadapi masalah yang sangat besar sebagai akibat dari satu dosa saja, atau hanya satu kali berdebat dengan Tuhan, dan mungkin kita akan berharap tidak pernah bisa melihat Allah dari awalnya.

Saat masih kecil, saya ingin sekali melihat Tuhan sebagai bukti bahwa Tuhan itu nyata, dan tampaknya saya bukanlah satu-satunya orang yang ingin melihat Tuhan secara langsung. Orang-orang yang tidak beriman yang menolak Nabi Muhammad S.A.W. juga menuntut hal yang sama:

90. Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami,
91. atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya,
92. atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami.
93. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
(QS. Al-Isra 17:90-93)


Seandainya keinginan saya sewaktu kecil terwujud, dan saya sudah pernah melihat Allah (setelah Dia menampakkan Diri), atau setidaknya saya telah mendengar Suara-Nya, maka barangkali saya sudah menjadi seorang manusia yang masuk ke dalam kategori yang sama dengan Nabi Adam dan Iblis. Masuk ke dalam kategori itu mengandung konsekuensi yang sangat jelas: sekali berbuat salah, langsung kena hukuman berat. Sebagai seorang manusia biasa, saya melakukan dosa terus-menerus, dan dosa saya bertambah setiap saat, tanpa terasa. Kalau saya masuk kategori Nabi Adam, tampaknya belum tentu saya masih bisa hidup sampai sekarang ini tanpa menghadapi masalah besar; sudah pasti saya telah dijatuhi hukuman berat disebabkan dosa-dosa yang telah saya perbuat.

Masalah lainnya adalah jika saya masuk ke dalam kategori Nabi Adam dan Iblis, lalu Allah menjadi marah kepada saya disebabkan dosa pertama saya (atau pada pertama kali saya tidak menuruti perintah-Nya), apakah saya akan berbuat sama seperti Nabi Adam yang langsung bertaubat dan mohon ampunan? Atau apakah saya akan lebih mirip dengan Iblis dan melakukan protes? Kalau saya mengikuti sikap sombong Iblis, akankah hukuman yang saya terima sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Iblis? Dilaknat sampai hari kiamat?

Kita semua sibuk mengumpulkan dosa setiap hari, tetapi berapa banyak dari kita yang bertaubat setiap hari? Bayangkan: sekali berbohong, sekali mengingkari janji, sekali mengambil sesuatu tanpa hak, sekali memfitnah orang, atau sekali melakukan sesuatu yang tidak diridhoi Allah. Bukankah itu sudah cukup untuk membuat kita terkena masalah? Jika kita bisa melihat Allah dan mendengar Suara-Nya setiap waktu, kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa Allah memang ada. Apakah kita masih ingin melihat Allah di muka bumi ini (pada waktu keimanan kita masih diuji) jika hal itu berarti kita akan segera mendapatkan hukuman yang keras atas satu dosa saja yang kita perbuat?

Kalau kita membandingkan kasus Nabi Adam, Iblis, dan si pembunuh, nampaknya jika kita tidak bisa melihat Allah dan tidak dapat berbicara secara langsung dengan-Nya, maka kita ada di posisi yang lebih baik dibandingkan mereka yang diizinkan berbicara dengan-Nya. Sepertinya, Allah lebih mengampuni orang yang hanya sebatas percaya kepada-Nya daripada orang yang mengetahui bahwa Allah benar-benar ada (karena pernah mendapatkan bukti nyata). Kalau ada seseorang yang pernah berbicara dengan Allah, berarti orang itu sudah mengetahui Kebesaran dan Keesaan Allah. Orang itu sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menuruti Perintah Allah. Dan selanjutnya, orang itu juga akan mendapatkan kemurkaan yang lebih besar ketika melakukan satu dosa, dibanding mereka yang hanya percaya pada Allah karena keimanannya.

Jika kita beriman walaupun belum pernah melihat Allah atau mendengarkan suara-Nya, maka kita masih bisa membuat alasan atas perbuatan-perbuatan kita yang kurang baik: saya lupa, saya sibuk, saya bingung, terlalu sulit bagi saya, sedang hujan, nanti saja, dan seterusnya. Dan kita tetap mendapatkan pengampunan yang tidak terbatas di sisi Tuhan kita, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, asalkan kita percaya hanya kepada-Nya.

53. Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Az-Zumar 39:53)


Tapi meskipun kita tidak diizinkan melihat Allah di saat kita berada di bumi, tidak ada keraguan bahwa kita akan diizinkan untuk melihat-Nya nanti di Hari Kebangkitan. Bagi orang-orang yang telah menghabiskan hidup mereka dengan percaya kepada-Nya, ini akan menjadi pertemuan yang indah. Ketika kita melihat Allah SWT, kita akan melihat Tuhan Yang Maha Esa yang telah kita imani sepanjang hidup kita. Tetapi bagi mereka yang telah menghabiskan kehidupan mereka sebagai orang-orang yang tidak beriman, ini akan menjadi awal dari waktu penyesalan yang sangat panjang, yang akan berlangsung selama-lamanya.

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri: Pada masa Rasulullah, beberapa orang berkata: “Wahai Rasulullah (Muhammad S.A.W.)! Apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” “Nabi berkata, “Ya; apakah kamu memiliki kesulitan dalam melihat matahari di tengah hari yang cerah dan tidak ada awan di langit?” Mereka menjawab, “Tidak.” Rasululah berkata, “Apakah kamu memiliki kesulitan dalam melihat bulan pada malam bulan purnama ketika cerah dan tidak ada awan di langit?” Mereka menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “(Begitu juga) kamu tidak akan memiliki kesulitan dalam melihat Allah pada Hari Kebangkitan seperti halnya kamu tidak memiliki kesulitan dalam melihat keduanya [matahari dan bulan]. [...]” (HR. Bukhari)

Setelah membandingkan kasus Nabi Adam, Iblis dan manusia yang membunuh 100 orang, menjadi jelas sekali bahwa kenyataan kita tidak bisa melihat Allah merupakan suatu nikmat dan rahmat besar bagi kita sebagai manusia biasa yang banyak berbuat dosa setiap hari. Sebab, kalau kita bisa melihat Allah, ada kemungkinan bahwa sanksinya akan sangat berat. Barangkali kesempatan kita untuk berbuat dosa hanya satu kali saja, dan setelah itu kita akan dihukum dengan hukuman yang terasa sangat berat bagi kita. Justru karena Allah menyayangi kita, maka Dia tidak menampakkan Diri kepada kita dan tidak pernah berbicara langsung kepada kita. Ini adalah tempat di mana iman kita kepada-Nya sedang diuji, dan untuk membuatnya lebih mudah bagi kita untuk lulus tes ini, maka Dia tidak akan menunjukkan diri-Nya kepada kita untuk saat ini. Dan karena kita tidak dapat melihat-Nya atau mendengar suara-Nya, maka kita tidak punya pilihan selain untuk percaya kepada-Nya berdasarkan keimanan kita. Dengan demikian, dosa kita yang sungguh banyak bisa terus diampuni dan Dia selalu memberikan kita sebuah kesempatan baru untuk memperbaiki diri. Selama kita masih percaya kepada-Nya!

21. Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan (nya) dengan Kami: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.
(QS. Al-Furqan 25:21)


***************


Dua Bab Dari Buku Saya

Dua bab dari buku saya ada di Blog dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Insya Allah buku pertama ini akan disebarkan ke seluruh dunia dalam berbagai bahasa. Semoga bermanfaat.

Mencari Tuhan, Menemukan Allah

Bab 1: Tentang Saya
http://genenetto.blogspot.com/2006/04/saya.html

Bab 2: Ingin Melihat Tuhan
http://genenetto.blogspot.com/2006/04/ingin-melihat-tuhan.html

Searching For God and Finding Allah
 

Chapter 1: About Me
http://genenetto.blogspot.com/2007/07/about-me.html

Chapter 2: Wanting To See God
http://genenetto.blogspot.com/2007/07/wanting-to-see-god.html

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...