Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

24 March, 2007

INDONESIA: BENCANA ALAM ATAU PEMBUNUHAN MASSAL?


Oleh: Andre Vitchek, January 11, 2007

Lain hari, terjadi lagi kehilangan nyawa yang sesungguhnya tidak perlu: 16 orang terbunuh dan 16 orang masih hilang pada saat banjir dan longsor di Tahuna, sebuah pulau kecil dekat Sulawesi.Dengan kecepatan yang mengerikan, Indonesia telah menggantikan Bangla Desh dan India sebagai bangsa yang paling rentan bencana di dunia. Jika namaIndonesia muncul pada daftar judul utama di berita Yahoo, besar kemungkinan telah terjadi lagi suatu tragedi besar yang sesungguhnya tidak perlu terjadi di salah satu pulau dari kepulauan yang tersebar luas ini.Pesawat terbang hilang atau tergelincir di landasan pacu, kapal-kapal ferry tenggelam atau rontok di lautan bebas, kereta api bertabrakan atau tergelincir satu kali seminggu, penumpang yang tak berkarcis berjatuhan dari atap yang berkarat. Tumpukan sampah yang berbau busuk dan tidak memperoleh izin telah mengubur kelompok pemulung yang tak berdaya, tanah longsor telah menghanyutkan rumah-rumah kardus ke anak-anak sungai, gempa bumi serta gelombang pasang telah menghancurkan kota-kota serta desa-desa pantai.Kebakaran hutan di Sumatra telah menyesakkan nafas penduduk di daerah yang luas di Asia Tenggara.

Ruang lingkup bencana sebesar ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan sungguh aneh jika kita menyepelekannya sekedarsebagai nasib jelek bangsa atau amarah Tuhan ataupun karena keganasan alam belaka. Sebagian besar faktor penyebab bencana ini harus dipersalahkan pada korupsi, inkompetensi atau sekedar ketidakacuhan dari kelompok elite yang sedang berkuasa dan para pejabat peemrintah. Adalah kemiskinan, minimnya proyek untuk kepentingan umum, dan kegemaran [para pejabat untuk ] mencuri yang membunuh ratusan ribu pria, wanita serta anak-anak Indonesia yang tidak berdaya.

Sejak kudeta militer dalam tahun 1965 yang disponsori Amerika Serikat yang menjatuhkan Sukarno, dan menaikkan rezim militer yang sangat anti komunis, korup, dan pro pasar dari diktator Suharto, Indonesia terhindar dari pengawasan yang sungguh-sungguh dari media dan pemerintahan negara-negara Barat. Setelah jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, Indonesia dipuji oleh media massa sebagai suatu demokrasi yang sedang tumbuh dan semakin toleran.

Sebagian dari bencana ini adalah buatan manusia; [dan] hampir semuanya malah bisa dicegah. Dalam penelusuran yang lebih cermat semakin jelas terlihat bahwa orang-orang mati karena hampir tidak ada upaya pencegahan, kurangnya pendidikan (Indonesia merupakan negara yang ketiga paling rendah prosentase GDP anggaran pendidikannya sesudah Equatorial Guinea dan Ecuador) dan suatu sistem ekonomi pro pasar yang buas yang membiarkan sekelompok kecil orang kaya untuk memperkaya dirinya sendiri di atas penderitaan orang banyak yang hidup d engan biaya kurang dari dua dollar sehari.

Kesimpulan yang dapat ditarik terhadap bagaimana berfungsinya masyarakat Indonesia bisa sangat mengerikan. Namun, menghindari pengungkapan hal ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan jatuhnya korban nyawa yang berharga dari ratusan ribu manusia.

[Kehidupan bernegara di] Indonesia dewasa ini didorong oleh semangat mencari untung dalam bentuknya yang paling ekstrim. Ia juga merupakan salah satu dari bangsa yang paling korup di muka bumi. Dan kelihatannya tidak ada keuntungan cepat yang dapat diperoleh dari mengambil langkah-langkah preventif [terhadap bencana alam ini].

Dimanapun dunia, bendungan dan dinding anti-tsunami dipandang sebagai pekerjaan umum dan justru perkataan -umum- yang telah hampir lenyap dari kamus mereka yang membuat keputusan di Indonesia.Keuntunga n berjangka pendek bagi sekelompok khusus orang diberikan prioritas yang lebih tinggi dari kemanfaatan berjangka panjang bagi seluruh bangsa. Keruntuhan moral dari bangsa ini terbayang dalam skala nilai, yaitu: orang korup tapi kaya memperoleh penghormatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang jujur tapi miskin.

Tenggelamnya kapal-kapal ferry bukanlah "karena angin kencang dan ombak"; kapal-kapal itu tenggelam karena penuh sesak oleh penumpang dan karena perawatan yang buruk. Semuanya bisa dijadikan uang, bahkan keselamatan ribuan penumpang. Perusahaan-perusahaan hanya ingat terhadap keuntungannya sendiri, sedangkan para pengawas dari pemerintah hanya memperhatikan uang suap belaka. Tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dengan ratusan kurban dan disiarkan secara luas itu hanyalah salah satu dari ratusan kecelakaan laut yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Walaupun tidak bisa diperoleh angka statistik yang pasti (dengan alasan yang dapat diduga, yaitu karena pemerintah Indonesia berusaha sekeras-kerasnya untuk mencegah dipublikasikannya statistik komparatif secara lengkap), beberapa rute pelayaran kehilangan lebih dari tiga kapal setiap tahun.

Catatan keamanan dari industri penerbangan Indonesia merupakan salah satu yang paling buruk di dunia. Sejak tahun 1997, sekurang-kurangnya 666 orang telah meninggal dalam delapan kecelakaan pesawat di Indonesia. Latihan terhadap beberapa orang pilot sedemikian buruknya sehingga pesawat sering tergelincir di landasan pacu atau sama sekali tidak bisa menemukan landasan, atau [malah] mendarat di bagian tengah landasan. Pemeliharaan pesawat adalah masalah lainnya: flaps sering tidak berfungsi sama sekali; roda tidak dapat dimasukkan setelah take-off, ban yang jarang diganti cenderung meletus pada saat mendarat. Sungguh merupakan suatu keajaiban bagaimana beberapa pesawat - khususnya pesawat tua Boeing 737 yang diterbangkan oleh hampir semua perusahaan penerbangan Indonesia - bisa lolos dari inspeksi.

Setelah mewawancarai pejabat penerbangan sipil lokal (nama yang bersangkutan jelas tidak mau disebutkan) wartawan Anda mengetahui bahwa sistem navigasi dari beberapa bandar udara Indonesia berada dalam keadaan yang amburadul, terutama bandar udara Makasar di Sulawesi dan Medan di Sumatra.Rata- rata, telah terjadi satu kecelakaan kereta api setiap enam hari di Indonesia, umumnya disebabkan karena kurangnya penjagaan pada 8000 lintasan kereta api. Sebagai perbandingan, kereta api Malaysia tidak pernah mengalami kecelakaan fatal selama 13 tahun sampai tahun 2005 (satu kecelakaan terjadi tahun 2006, yang statistiknya bisa diperoleh)

Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia secara relatif mempunyai jumlah mobil per kapita yang kecil, namun jalan-jalannya merupakan jaringan jalan yang "paling banyak digunakan" di dunia (hanya nomor dua setelah Hongkong yang justru bukan merupakan negara): 5.7 juta kend eraan-km per tahun dari jaringan jalan. (2003, The Economist World in Figures, 2007 Edition).

Menurut The Financial Times, walaupun kepadatan yang luar biasa serta lalu lintas yang bagaikan merangkak ini, lebih dari 80 orang tewas setiap hari di jalan-jalan Indonesia, umumnya disebabkan oleh karena amat buruknya infrastruktur dan amat lemahnya penegakan hukum. Gempa bumi belaka tidaklah membunuh manusia. Faktor penyebab banyaknya jatuh korban adalah buruknya konstruksi rumah serta bangunan, bersamaan dengan kurangnya upaya preventif dan pendidikan preventif.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia rentan terhadap bencana; bahwa ia berada di kawasan yang disebut sebagai 'lingkaran api' (ring of fire). Namun kaum miskin tidak bisa mengharapkan adanya proyek perumahan umum yang mampu menahan gempa (seperti yang dibangun di negara tetangga, Malaysia). Hampir setiap keluarga harus mengurus nasibnya sendiri: merekaharus merancang dan mendirikan tempat tinggalnya sendiri. Gempa besar membunuh ratusan orang, kadang-kadang ribuan orang, dan menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan rumah mereka. Sekurang-kurangnya 5.800 orang meninggal dan 36.000 luka-luka pada tanggal 27 Mei 2006 sewaktu gempa berkekuatan 6.2 skala Richter menghantam daerah Jawa Tengah dekat kota bersejarah Yogyakarta. Infrastruktur yang primitif, fasilitas media yang tidak memadai, dan korupsi yang terjadi pada saat pendistribusian bantuan merupakan faktor yang menyebabkan tingginya jumlah korban pada saat terjadinya goncangan.

Pembabatan hutan secara tidak sah (illegal logging) dan penggundulan hutan merupakan alasan utama terjadinya tanah longsor. Semua orang tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan di Sumatera dan di tempat-tempat lain, tetapi para pejabat pemerintah enggan sekali melakukan penangkapan, oleh karena mereka yang bertanggung jawab terhadap penggundulan hutan tersebut biasanya kaya raya dan mempunyai koneksi dengan [pejabat] negara dimana bahkan keadilan bisa dijual.

Demikian banyak bentuk penyelesaian terhadap masalah-masalah ini, termasuk penegakan hukum, inspeksi dan upaya untuk mencari nafkah alternatif bagi masyarakat yang sedemikian putus asanya, sehingga mereka secara harfiah terpaksa ikut serta menggali lubang kuburnya sendiri dengan menghancurkan lingkungan, yang selanjutnya menghancurkan seluruh masyarakat itu sendiri.Namun hampir tidak ada yang dilakukan sama sekali, oleh karena pembabatan hutan secara tidak sah merupakan bisnis raksasa dan sangat menguntungkan, yang dapat mengisi demikian banyak telapak tangan yang menunggunya dengan sukacita.

Bulan lalu, beberapa puluh orang terbunuh kaena tanah longsor dan banjir bandang di bagian utara pulau Sumatra, yang memaksa 400.000 oang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Pada bulan Juni 2006, banjir dan tanah longsor yang disebabkan oleh hutan lebat telah menewaskan lebih dari 200 orang di provinsi Sulawesi Selatan.

Gelombang raksasa, yang terkenal sebagai tsunami, telah menewaskan lebih dari 126.000 orang di provinsi Aceh pada bulan Desember 2004. Bukan saja reaksi dari pemerintah Indonesia dan militernya amat lamban, sebagian besar dari bantuan luar negeri yang amat banyak itu lenyap karena korupsi. Jangankan membantu korban, banyak anggota tentara Indonesia memeras sogokan dari lembaga-lembaga bantuan dan merusak perbekalan atau air minum yang berharga jik a sogokan tidak dibayar.

Dalam suatu kasus menyolok tentang perampasan tanah oleh pemerintah, banyak korban dihambat pulang ke tanahnya sendiri, sedangkan anak-anak dipisahkan secara paksa dari orang tuanya (karena kehilangan sertifikat kelahiran) dan'diadopsi' oleh organisasi-organisa si keagamaan; beberapa di antaranya menjadi korban perdagangan manusia (human traficking). Lebih dari dua tahun setelah terjadinya tragedi yang menghancur-luluhkan Aceh ini, ratusan ribu orang masih tinggal di rumah-rumah darurat. Masih banyak korban tsunami lainnya, yang menghantam pantai Jawa selatan pada tanggal 17 Juli 2006 yang masih menunggu bantuan yang berarti. Menurut angka-angka resmi, sebanyak 600 orang tewas, namun angka yang sebenarnya hampir pasti jauh lebih tinggi.

Pejabat-pejabat Indonesi telah menerima peringatan dini dari Jepang namun tidak mau bertindak, kemudian mengatakan bahwa tidak banyak yang dapat diperbuat karena daerah tersebut tidak dilengkapi dengan sirene atau pengeras suara.

Indonesia sering menderita berbagai jenis bencana buatan manusia yang sungguh sukar untuk dimengerti dan diperbandingkan dengan apapun juga. "Banjir lumpur" baru-baru ini telah menenggelamkan demikian banyak desa di luar Surabaya. Bencana itu terjadi karena tidak dipatuhinya prosedur secara wajar oleh suatu perusahaan eksplorasi gas(yang sebagian sahamnya dimiliki oleh salah seorangmenteri kabinet)."Kecelakaan" ini telah menyebabkan lebih dari 10.000orang menjadi pengungsi, dan merendam lebih dari 1.000 are tanah dengan lumpur panas, menghancurkan satu-satunya jalan raya dari Surabaya serta jalan kereta api utama. Sampah telah menguburkan suatu desa pemulung miskin pada sebuah penimbunan sampah tanpa izin di luar kota Bandung.

Banyak lagi kejadian seperti itu, tapi daftar lengkap akan memenerlukan banyak sekali halaman surat kabar, bahkan mungkin suatu buku yang khusus ditulis tentang hal itu. Masalahnya adalah: kapankah rakyat Indonesia akan berkata bahwa sudah cukup apa yang terjadi itu dan kapankah mereka akan menuntut pertanggungjawaban dan keadilan, angka-angka statistik yang benar, dan 'cetak biru' yang konkrit untuk menyelesaikannya?

Hampir di semua negara, dua bencana yang terjadi baru-baru ini - peristiwa tenggelam yang mengerikan dari kapan 'Satria Nusantara" dan 'hilang'-nya pesawat Boeing 737 Adam Air dengan 102 penumpang - sudah lebih dari cukup untuk memaksa menteri kabinet untuk mengundurkan diri. Di Indonesia, kedua tragedi ini dipandang (atau ditampilkan) hanya sebagai suatu nasib buruk lainnya belaka tanpa meminta pertanggungjawaban atau akuntabiltas siapa pun juga.

Pers dan media massa Indonesia telah melaporkan secara detail masing-masing dan setiap bencana itu. Tetapi mereka gagal untuk menegaskan bahwa apa yang terjadi itu adalah suatu keadaan luar biasa dan tidak dapat ditoleransi, bahwa mungkin tidak ada negara besar lainnya di dunia yang mengalami demikian banyak korban manusia yang tidak semestinya terjadi karena bencana buatan manusia atau bencana yang sesungguhnya bisa dicegah. Upaya mengaitkan demikian banyak bencana dengan korupsi dan sistem sosial ekonomi telah ditolak sama sekali. Surat kabar Indonesia terkemuka Jakarta Post, baru-baru ini memberangus komentar ini, dan menolak menerbitkannya di halaman-halamannya.

Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam berbagai bencana, tidak termasuk kecelakaan kenderaan bermotor di jalan raya dan konflik bersenjata yang terjadi di seluruh kepulauan Indonesia. Jumlah itu lebih besar dari jumlah korban di Irak pada saat yang sama, juga lebih besar dari korban yang jatuh di Sri Langka atau di Peru selama perang saudara yang demikian lama.

Sungguh, banyak orang Indonesia yang hidup dalam keadaan berbahaya dan penuh risiko seperti mereka yang hidup di daerah yang tercabik-cabik oleh perang. Sebagian besar mereka tidak menyadarinya, oleh karena statistik komparatif atau tidak tersedia atau telah ditekan. Indonesia adalah miskin, tetapi masih berada dalam posisi untuk melindungi sebagian dari warganya yang rentan. Masalah utama adalah tidak adanya kehendak politik (political will). Cukup banyak semen dan batu bata untuk membuat bendungan dan dinding untuk menghambat tsunami, untuk memperkuat bukit-bukit di sekitar kota-kota, yang terancam akan dikuburkan oleh tanah longsor.

Suatu penglihatan sekilas di sekitar Jakarta berlusin-lusin shopping malls baru dibangun di beberapa tempat, dimana istana-istana mewah dari pejabat-pejabat yang korup telah memakan berhektar-hektar tanah. Keengganan untuk menyelesaikan masalah mempunyai akarnya pada korupsi. Badan-badan usaha serta pejabat-pejabat lokal telah mengemban gkan kemampuan khusus untuk mengeruk keuntungan dari apa pun juga, bahkan dari bencana dan dari penderitaan berjuta-juta rakyatnya sendiri.

Dalam kalimat sederhana, korupsi adalah pencurian dari publik. Tetapi jika korban yang harus dibayar harus dihitung dengan hilangnya ratusan ribu nyawa, ia menjadi pembunuhan massa.

Andre Vitchek adalah Novelis, jurnalis, produser film, salah seorang pendiri dari Mainstay Press (www.mainstaypress . org), Senior Fellow pada Oakland Institute (www.oaklandinstitute.org < http://te.org/>). Saat ini ia tinggal dan bekerja di Asia Tenggara dan bisa dihubungi pada alamat email andre-wcn@usa.net. Naskah aslinya berjudul "Indonesia: Natural Disasters or Mass Murder?", dimuat dalam International Herald Tribune dan The Financial Times, 12 Februari 2007, dikirimkan via e-mail oleh Duta Besar RI di Ceko,

(Dari Prof Dr Salim Said, MA,MAIA, dan diterjemahkan oleh Dr. Saafroedin Bahar, Komnas HAM.)

Baca Versi Bahasa Inggris (Original) di sini:

18 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: APPENDIX

Sebagi sedikit informasi tambahan buat para orang tua mengenai program bilingual, saya tampilkan hasil riset ini. Data ini hanya sebagai contoh saja. Saya berikan ini dalam bahasa Inggris (teks asli). Buat orang tua, cukup memahami yang Bold saja. Kalau tidak sangup memahaminya, coba saja diartikan kata per kata, secara pelan-pelan, dan rasakan sendiri apa yang anda lakukan terhadap anak anda setiap hari di sekolah bilingual dia.

RESEARCH ON BILINGUAL EDUCATION

Some highlights:

During the first five years, children are learning their primary language at a rapid pace. Because language and thought are interdependent, a firm command of the native language is vital for conceptual development (Cummins, 1989; Wolfe, 1992; Wong-Fillmore, 1991).

Children under the age of five have not reached a stable enough command of their native language not to be affected by the immersion in English-only classrooms [ = mereka pasti terpengaruh secara negatif kalau masuk kelas immersion di bawah umur 5 tahun, karena L1nya belum stabil] that they typically encounter (Wong-Fillmore, 1991). Thus, acquisition of English as a second language by young children may result not in bilingualism, but in the erosion or loss of their primary language, dubbed "subtractive bilingualism" by Lambert (cited in Wong-Fillmore, 1991).

Conversely, when children are able to learn their primary language with all its richness and complexity, they are able to transfer these skills to a new language. (Wolfe, 1992).

Young children who are forced to give up their primary language and adjust to an English-only environment may not only lose their first language, but may not learn the second language well (Wong-Fillmore, 1991).

When children have only a partial command of two languages, they may mix both languages in what Selenker (1972) called "fossilized versions of inter-languages," rather than using fully formed versions of the target languages (Wong-Fillmore, 1991). This inability to speak any language with proficiency puts children at high risk for school failure.

The loss of the heritage language [bahasa ibunya] can seriously jeopardize children's relationships with their families, who may not be fluent in English. The inability to communicate with family members has serious consequences for the emotional, social, and cognitive development of linguistically diverse children (Cummins, 1989; Wolfe, 1992; Wong-Fillmore, 1991).

Creating a classroom environment that values and accepts children's home culture and language is the first step in helping children feel proud, not ashamed, of their "mother tongues, their origins, their group, and their culture" (Skutnabb-Kangas & Cummins, 1988). Bilingual education, in which children are encouraged to use their first languages while supporting their acquisition of English, is optimal.

Many researchers and educators, however, contend that constant correction can have a damaging effect on children's self-esteem, attitude toward school, and ability and motivation to learn to read and speak standard English (Delpit, 1995; Cummins, 1988).

[Seorang “Guru” yang tidak mengerti pendidikan bahasa barangkali akan selalu mengoreksi bahasa Inggris yang salah di kelas. Ini tidak perlu dilakukan. Dampak emosionalnya negatif sekali. Guru bahasa harus tahu kapan perlu dikoreksi dan kapan boleh dibiarkan saja.]

ACQUIRING A SECOND LANGUAGE FOR SCHOOL

Language Development

Linguistic processes, a second component of the model, consist of the subconscious aspects of language development (an innate ability all humans possess for acquisition of oral language), as well as the metalinguistic, conscious, formal teaching of language in school, and acquisition of the written system of language.

This includes the acquisition of the oral and written systems of the student's first and second languages across all language domains, such as phonology (the pronunciation system), vocabulary, morphology and syntax (the grammar system), semantics (meaning), pragmatics (the context of language use), paralinguistics (nonverbal and other extralinguistic features), and discourse (formal thought patterns). To assure cognitive and academic success in a second language, a student's first language system, oral and written, must be developed to a high cognitive level at least through the elementary-school years.

Academic Development

third component of the model, academic development, includes all school work in language arts, mathematics, the sciences, and social studies for each grade level, Grades K-12 and beyond. With each succeeding grade, academic work dramatically expands the vocabulary, sociolinguistic, and discourse dimensions of language to higher cognitive levels.

Academic knowledge and conceptual development transfer from the first language to the second language; thus it is most efficient to develop academic work through students' first language, while teaching the second language during other periods of the school day through meaningful academic content. In earlier decades in the United States, we emphasized teaching the second language as the first step, and postponed the teaching of academics. Research has shown us that postponing or interrupting academic development is likely to promote academic failure. In an information driven society that demands more knowledge processing with each succeeding year, students cannot afford the lost time.

Cognitive Development

The fourth component of this model, the cognitive dimension, has been mostly neglected by second language educators in the U.S. until the past decade. In language teaching, we simplified, structured, and sequenced language curricula during the 1970s, and when we added academic content into our language lessons in the 1980s, we watered down academics into cognitively simple tasks [tugas2 sengaja dibuat lebih mudah supaya bisa dipelajari di L2]. We also too often neglected the crucial role of cognitive development in the first language. Now we know from our growing research base that we must address all of these components equally if we are to succeed in developing deep academic proficiency in a second language.

First And Second Language Acquisition: A Lifelong Process

To understand the processes occurring in language acquisition during the school years, it is important to recognize the complex, lifelong process that we go through in acquiring our first language and the parallel processes that occur in second language acquisition. Development of a complex oral language system from birth to age five is universal, given no physical disabilities and no isolation from humans. But the most gifted five-year-old entering kindergarten is not yet half-way through the process of first language development.

Children from ages 6 to 12 continue to acquire subtle phonological distinctions, vocabulary, semantics, syntax, formal discourse patterns, and complex aspects of pragmatics in the oral system of their first language (Berko Gleason, 1993). In addition, children being formally schooled during these years add reading and writing to the language skills of listening and speaking, across all the domains of language, with each age and grade level increasing the cognitive level of language use within each academic subject. An adolescent entering college must acquire enormous amounts of vocabulary in every discipline of study and continue the acquisition of complex writing skills, processes that continue through our adult life as we add new contexts of language use to our life experience.

As adults we acquire new subtleties in pragmatics, as well as the constantly changing patterns in language use that affect our everyday oral and written communication with others. Thus first language acquisition is an unending process throughout our lifetime (Berko Gleason, 1993; Collier, 1992a). Second language acquisition is an equally complex phenomenon.

We use some of the same innate processes that are used to acquire our first language, going through developmental stages and relying on native speakers to provide modified speech that we can at least partially comprehend (Ellis, 1985; Hakuta, 1986). However, second language acquisition is more subject to influence from other factors than was oral development in our first language. When the context of second language use is school, a very deep level of proficiency is required.

Dan banyak sekali informasi yang lain bisa dicari sendiri di Internet, dengan kata kunci seperti "Second language acquisition".

Semoga bermanfaat.
-Gene Netto

[Semua Artikel]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html


Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 5/5

MOHON ANAK YATIM DIPIKIRKAN JUGA

Dengan penuh kehormatan, saya sangat bermohon kepada para orang tua untuk memikirkan anak orang lain juga, dan bukan hanya anak anda sendiri di sekolah swasta yang cukup mahal. Barangkali sebagian besar dari orang tua yang membaca tulisan saya ini tergolong “orang mampu”. Tetapi ada banyak orang lain di negara ini yang sangat tidak mampu: anak yatim dan anak miskin. Kita bisa mengubah dunia mereka dengan pemberian kecil.

Saya mohon setiap orang tua mencari satu anak yatim atau anak miskin yang tinggal di dekat rumah anda dan berikan dia Rp. 500.000 per bulan. Boleh lebih, dan boleh ditambah dengan membiayai sekolahnya juga. Sebenarnya uang itu bukan untuk bayar uang sekolah, tetapi untuk si anak secara pribadi supaya dia bisa beli buku, komik, pencil, kertas, kreyon, lem, seragam (kalau sudah rusak), kaos kaki, sepatu, baju atau mainan. Kalau seorang anak yatim atau anak miskin diberikan uang berapa saja, dunia dia bisa berubah total. Mungkin dia menjadi lebih semangat belajar dan tidak putus asa seperti sebelumnya. Mungkin dia bisa berhenti jualan di pinggir jalan. Mungkin dia bisa beli mainan yang sebelumnya tidak pernah ada, dan sebagainya. Setiap bulan anda bisa bertanya tentang apa yang dia beli dengan uang anda pada bulan sebelumnya.

Cukup dimulai dengan satu anak saja supaya tidak terasa berat. Misalnya anak dari si Ibu yang punya warung rokok di depan rumah. Mulai dengan jumlah uang yang sekecil 200,000 yang insya Allah untuk kita yang tergolong mampu tidak akan terasa. Kalau mau memberikan lebih banyak uang, silahkan. Kalau mau memberikan kepada 10 anak sekaligus, silahkan. Yang penting adalah niat untuk membantu anak orang lain, terutama anak yatim. Satu anak cukup untuk permulaan.

Utamakan anak yang dekat rumah dulu. Bayangkan kalau seorang anak yatim di dekat rumah anda mendengar komentar dari orang lain bahwa anda sering pergi ke Tangerang dan Bogor untuk memberikan sumbangan berupa uang dan barang kepada anak yatim yang lain, tetapi anak itu dekat rumah anda tidak pernah mendapat apa-apa. Bukannya dia akan langsung sakit hati? Dia lebih berhak menerima duluan karena Allah telah menempatkan dia di sebelah anda supaya anda memperhatikannya. Anda malah ke tempat yang jauh untuk mencari orang yang “menderita”. Bantulah yang di depan mata dulu, yang lain bisa menyusul nanti, insya Allah.

Lihat baju di kamar anak anda. Kalau anak anda memiliki 30 kaos, berarti dia sanggup sumbangan 3-5 kepada anak yang lain. Anak anda harus disuruh memilih dan memisahkan baju sendiri untuk disumbangkan dan anak anda yang serahkan. (Biarkan dia pilih sendiri supaya anda tidak menyumbang salah satu baju favorit dia). Sesudahnya, ajak dia diskusi tentang keadaan dia sebagai anak yang mampu dan ajak dia mensyukuri semua nikmat yang Allah berikan. Apakah anda pernah melakukan sujud syukur bersama dengan anak anda di kamarnya setelah dia dibelikan mainan baru? Kalau tidak pernah, apakah dia akan menjadi terbiasa bersyukur kepada Allah atau menjadi biasa dimanjakan dan dibelikan segala sesuatu yang dia inginkan?

Lihat koleksi buku di kamar anak anda. Kalau dia sudah memiliki puluhan sampai ratusan buku, yang jarang/tidak pernah dibaca (karena selalu sibuk main Play Station II) maka buku yang sudah tidak disenangi lagi bisa dia pilih dan memisahkan untuk disumbangkan. Bisa dikasih kepada anak yatim yang anda sponsori, bisa disumbangkan ke sebuah SD Negeri dekat rumah (cek dulu dengan Kepala Sekolah kalau buku itu cocok/dibutuhkan), dan juga bisa disumbangkan kepada yayasan sosial seperti Komunitas 1001 Buku.

Saya punya beberapa teman di organisasi ini dan saya yakin pada niat mereka yang sangat tulus untuk mengajak semua anak belajar membaca, termasuk anak yatim, anak miskin dan anak jalanan. Kalau anak anda sudah masuk SMP atau SMA, ataupun sudah lulus sekolah, diskusi dengan dia dan kalau dia setuju, serahkan semua buku anaknya kepada salah satu kelompok di atas. Yang jelas anak anda tidak membutuhkan lagi, dan buku itu hanya didiamkan saja di rak buku. Buku2 ini bisa mengubah dunia untuk anak kecil yang lain.

Jangan pikir dua kali, laksanakan saja. Silahkan coba yang sedikit dulu, dan kalau senang, tambahkan lagi.

Dan mungkin anda bisa bertanya kepada sekolah swasta anak anda tentang kenapa tidak ada beasiswa satupun untuk anak yatim masuk sekolah itu? Kata seperti “Social Responsibilty” ditempelkan di tembok dengan arti orang miskin akan diperhatikan, asal mereka tetap di luar saja. (“Kalau isi satu kursi di kelas dengan anak yatim yang pintar tapi tidak sangup bayar, sekolah akan rugi dong!”) Yang utama “social responsibility” duluan atau bisnis duluan? Kenapa tidak bisa sekaligus? Sebuah sekolah swasta bisa membuat suatu kebijakan: batas maksimum murid di setiap kelas di SD adalah 24 anak… dan yang ke 25 selalu disediakan untuk seorang anak yatim! Apa susahnya?

KENAPA GENE NETTO MEMBUAT ARTIKEL PENDIDIKAN?

Setiap bertemu dengan orang tua, dan orang tua itu tahu bahwa saya seorang guru, mereka bertanya terus2an tentang sekolah swasta ini dan itu, dan bertanya tentang sistem pendidikan, terutama program bilingual. Daripada saya harus menjelaskan terus, saya rasa menulis artikel lebih bermanfaat. Sekarang saya cukup minta orang tua membaca tulisan saya.

Insya Allah niat saya membuat artikel tentang pendidikan semata-mata karena Allah dan untuk kepentingan anak2, orang tuanya dan masa depan bangsa. Saya tidak dibayar oleh siapa pun untuk membuat artikel saya dan saya tidak mendapat untung apa pun dari siapa pun (saya malah dihujat oleh salah satu sekolah). Kalau seandainya ada orang tua yang berfikir bahwa saya ada tujuan spesifik untuk menjatuhkan atau mempromosikan sekolah2 tertentu, maka perlu dijelaskan bahwa saya tidak ada ikatan dengan sekolah manapun dan juga tidak “membenci” sekolah manapun. Saya independen dari semua sekolah dan hanya ingin menulis tentang pendidikan supaya orang tua bisa mendapatkan wawasan yang seluas mungkin, dan mendapat pandangan baru yang barangkali sebelumnya tidak pernah didapatkan dari pihak yang lain.

GURU INDONESIA MANA?

Saya justru merasa sangat sedih bahwa saya harus melakukan ini sendiri tanpa bantuan dari para guru Indonesia. Mereka mempunyai banyak sekali informasi tentang kualitas sekolah yang rendah atau tinggi, dan juga tentang masalah2 lain yang terjadi di sekolah, tetapi mereka rata2 tidak berani bicara langsung kepada orang tua. Mereka takut kalau seandainya mereka memberitahu informasi ini kepada orang tua, walaupun untuk kepentingan anak, si orang tua akan langsung telfon sekolah dan menyatakan “Guru anak saya mengatakan ABCD!!! Jelaskan kenapa bisa begitu!!” Kalau seandainya hal itu terjadi, guru sangat takut akan dipecat.

Semoga para guru Indonesia bisa mendapatkan keberanian untuk membantu saya menyadarkan para orang tua bahwa sekolah swasta yang mahal dengan gedung yang mewah belum tentu mewujudkan ilmu akademis pada anak dengan cara yang terbaik. Bisa jadi sekolah swasta tersebut memang luar biasa bagusnya dan sangat menjamin kualitas ilmu yang didapatkan anak2. Tetapi sekarang, insya Allah, para orang tua akan makin sadar bahwa sebuah yayasan yang hanya sekedar membangun gedung yang mewah, tidak secara automatis berarti bahwa mereka mengerti caranya mengelola proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Kalau orang tua sudah menyadari hal itu, dan matanya sudah terbuka, berarti tujuan saya sudah tercapai dan sekarang saya bisa mencari tugas lain yang lebih bermanfaat bagi orang tua dan anak yang beriman kepada Allah.

KESIMPULAN

Insya Allah orang tua sudah pahami semua yang saya jelaskan tentang sekolah swasta dan program bilingual sehingga tidak ada pertanyaan lagi. Mungkin pertanyaan dari orang tua tinggal satu saja: “Apakah Gene bisa memberikan kita daftar semua sekolah swasta dengan rangkin paling bagus sampai paling buruk?” Maaf, saya tidak punya daftar itu dan kalau saya berusaha untuk membuatnya, akan makan waktu yang lama sekali dan biaya yang besar untuk melakukan survei ke mana2. Dan hasilnya akan tetap subyektif sekali dan bukan obyektif. Di Jakarta Post saya baca bahwa ada 3.023 SD di Jakarta dan dari jumlah itu 762 adalah sekolah swasta, berarti 25% dari jumlah total. Apakah semuanya perlu diperiksa untuk menentukan sekolah mana yang terbaik?

Saya tetap tidak bisa memberikan referensi terhadap suatu sekolah tertentu kepada para orang tua. Padahal pasti ini yang paling diinginkan orang tua, dan saya memang mendapatkan banyak email seperti itu. Orang tua ingin “diberitahu” saja sekolah mana (Sekolah X) yang paling baik dari semua supaya mereka bisa berlomba2 masukkan anak mereka sebelum orang lain mengisi kursi.

Apakah itu saja yang perlu dilakukan? Memberitahu saja sekolah mana yang paling baik? Kalau saya menyebutkan sebuah nama, dan tiba2 Sekolah X itu “diserang” oleh dua ribu orang tua baru, sehingga pemilik sekolah melihat kesempatan buka cabang/franchise, apakah ada jaminan bahwa Sekolah X itu akan tetap bagus? Atau apakah juga sangat mungkin bahwa seorang pengusaha akan melihat kesempatan bisnis baru? Secara automatis sebagai sekolah terbaik se-DKI (menurut si Gene), biaya masuk akan naik tinggi. Dan pengurus sekolah akan berfikir “Hei, kita butuh lebih banyak guru Bule, dan kurikulum IB, dan Program Bilingual, dan gedung baru yang lebih mewah dari ini, dan Multiple Intelligences, dan, dan, dan…” karena inilah yang dikejar orang tua. Berarti sekolah akan berubah menjadi siap menyediakan apa saja yang ingin “dibeli” oleh dua ribu “customer” baru. Sebuah peluang bisnis baru yang baik sekali. (“Did I hear someone say Franchise?”).

Saya tidak yakin bahwa semua masalah di sekolah swasta ini akan diselesaikan, dan beban yang dirasakan orang tua akan hilang, hanya dengan menyebutkan nama sebuah sekolah yang (pada saat ini) tergolong baik. Justru dengan menyebut nama sekolah itu, kinerja sekolah bisa berubah total pada saat mereka melihat berapa banyak orang tua yang tiba2 hubungi sekolah karena mereka merasa “desperate” dan siap bayar mahal untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Dan harus diingat bahwa jumlah kursi di Sekolah X akan tetap sama dengan kemarin, dan barangkali sudah ada “waiting list”. Jadi kalau tiba-tiba ada 2 ribu (atau lebih?) orang tua yang ingin daftarkan anaknya karena mendapat referensi dari Gene, kira2 sekolah bisa melakukan apa? (“Did I hear someone say Franchise?”).

KESIMPULAN: PROGRAM BILINGUAL?

Apakah anak anda membutuhkan program bilingual di sekolah? Menurut saya, program bilingual ini tidak begitu utama.

Dari semua yang saya bahas di dalam artikel ini, insya Allah sudah jelas bagi orang tua bahwa terlalu banyak sekolah swasta (bukan semuanya) menyediakan program bilingual melalui proses “asal”! Mereka tidak memiliki kurikulum yang terbentuk untuk mewujudkan anak bilingual dengan cara terbaik, guru mereka tidak terlatih (terutama yang Bule), bantuan seperti Pull Out Program tidak ada karena sekolah tidak mengerti betapa pentingnya program itu untuk membantu anak baru, dan seterusnya. Sekolah ini hanya buru-buru menyediakan “barang” yang ingin dibeli oleh “customer” mereka.

Sekarang saya ingin memberikan dua pilihan kepada orang tua:

1. Utamakan ilmu akademis dan perkembangan kognitif (daya pikir) anak yang tinggi di dalam bahasa Ibunya, atau,
2. Utamakan bahasa Inggris.

Saya dengan sengaja tidak memberikan pilihan ketiga yaitu ilmu akademis yang tinggi dan sekaligus mendapat bahasa Inggris. Kenapa? Karena dari semua yang telah saya jelaskan di atas, saya sangat meragukan kemampuan dari sebgaian besar sekolah swasta baru di sini untuk mewujudkan kedua skil tersebut pada saat yang sama. Karena program bilingual dibentuk dengan cara “asal bikin” supaya mendapat customer, maka secara automatis ada dampak negatif terhadap ilmu akademisnya. Kalau bahasa anak tidak baik, bagaimana mungkin dia bisa memahami konsep yang rumit, yang di dalam bahasa Ibunya sudah cukup berat?

Karena sistem sekolah swasta di sini sudah sedemikian rusak (karena terpusat pada bisnis dan profit), maka saya hanya melihat dua pilihan nyata bagi orang tua: bahasa Inggris, atau ilmu akademis! Bahasa asing bisa didapatkan nanti di SMP dan SMA, dan walaupun ada kemungkinan anak tidak akan menjadi selancar Native Speaker, sebagai imbalan, dia bisa menjadi pintar sekali di dalam bahasa Ibunya.

Terus-terang saja, saya lebih ingin bertukar pikiran dengan seseorang yang kurang lancar dalam bahasa Inggris dan memiliki logat tebal, tetapi dari apa yang dia bicarakan langsung jelas bahwa dia adalah orang yang sangat pintar, daripada saya harus berbicara dengan seseorang yang sangat lancar, tetapi mohon maaf, dia agak bodoh dan pikiran dia terlalu sederhana!

Anda ingin mendapat anak seperti apa? Lancar dengan risiko kurang pintar, atau pintar dengan risiko kurang lancar dalam sebuah bahasa asing?? Silahkan berfikir sendiri.

Kalau seandainya kita berada di negara lain, seperti Kanada, dan sekolah yang kita bicarakan adalah sekolah negeri dan bukan swasta, dan ada ahli dari Diknas dan universitas yang terus2an memantau perkembangan program bilingual ini, maka saya akan hapus 90% dari artikel ini karena sudah tidak tepat lagi. Tetapi kita tidak berada di Kanada. Dan anak anda bukan dijaga dan diajar dengan sebaik mungkin, melainkan dijadikan sebuah kelinci percobaan di dalam sebuah program bahasa asing yang diadakan oleh sekelompok pengusaha.

Untuk kepentingan masa depan anak anda, saya mohon orang tua berfikir lagi tentang keutamaan program bilingual di sekolah swasta anak anda. Kalau anda merasa sangat yakin bahwa anak anda memang membutuhkan bahasa asing itu, silahkan saja daftarkan di sekolah bilingual, tetapi saya mohon agar anak dipantau terus untuk tanda2 stres, ganguan terhadap perkembangan daya pikir dan perkembangan ilmu akademisnya. Ini harus dilakukan oleh orang tua (walaupun barangkali tidak merasa sanggup) karena anda tidak bisa percaya kepada pihak sekolah untuk melakukannya dengan benar.

Kalau anda merasa ragu2 dan tidak bisa memutsukan antara Bilingual atau tidak, saya sarankan lebih baik untuk ditinggalkan saja untuk saat ini. Bahasa bisa didapatkan nanti (saya dapat bahasa Indonesia dari umur 20 tahun ke atas), tetapi gangguan terhadap emosi anak, rasa percaya diri, citra diri, daya pikir, dan ilmu akademisnya akan jauh lebih sulit untuk diperbaiki nanti kalau memang ada masalah yang muncul. Apalagi kalau baik sekolah maupun orang tua tidak menyadari ada masalah.

SELESAI

Tujuan saya membuat artikel tentang pendidikan hanya untuk membuka mata orang tua. Saya merasa sedih ketika ada orang tua bertemu dengan saya dan menyatakan ada niat mencabut anak dari Al Azhar (padahal tidak ada masalah) dan memindahkannya ke sebuah sekolah swasta yang baru yang memiliki gedung mewah, Bilingual, Multiple Intelligences, guru Bule, sangat mahal, dsb. Kalau saya bertanya kepada orang tua, Multiple Intelligences itu apa, atau program Bilingual disusun seperti apa, rata2 mereka tidak bisa menjawab. Karena sering mendengar istilah tersebut, mereka membuat asumsi bahwa sekolah yang mengadakan “barang” ini adalah sebuah sekolah yang jauh lebih maju daripada yang lain. Sayangnya, persepsi itu tidak benar. Dan menurut saya anak itu akan lebih baik kalau tetap pada Al Azhar saja, karena walaupun tidak sempurna, sudah jelas ada banyak lulusan yang berkualitas dan pihak sekolah itu tidak terbiasa melakukan “eksperimen” terhadap program pendidikan anak. (Sebuah sekolah swasta yang bilingual, tetapi tidak memiliki program yang benar, guru yang terlatih, dsb., justru sedang melakukan eksperimen pendidikan terhadap anak2 itu karena hasil yang diharapkan merupakan sebuah “tebakan”).

Bisa jadi ada sebuah sekolah swasta baru yang memang bagus sekali dan semua anak menjadi bilingual tanpa masalah. Pertanyaan saya adalah: apakah hal itu terjadi karena rencana sekolah memang terbentuk untuk mewujudkan hasil seperti itu? Atau apakah hal itu terjadi secara kebetulan saja? Dan apakah ada data yang menjelaskan nasib anak yang tidak berhasil? Orang tua harus waspada karena dalam hal ini, pemilik sekolah adalah pengusaha di atas segala2nya dan dia akan siap mengatakan apa saja yang ingin didengarkan orang tua supaya orang tua menjadi siap bayar! Pemilik sekolah belum tentu merupakan “teman” anda. Bisa jadi dia tergolong orang yang tidak jujur dan licik. Masalahnya adalah kita sulit untuk membedakan antara pemilik sekolah yang sungguh2 ingin mendidik anak anda dengan sebaik mungkin dan pemilik yang siap berbohong asal terima uang.

Apakah anda masih ingat kasus tukang ikan di Jakarta yang mengoleskan ikannya dengan “formalin”? Yang penting bagi dia adalah menjual ikan. (Tempo: Formalin di Makanan). Dia sama sekali tidak peduli pada kesehatan kita. Bisa jadi pemilik sekolah anak anda menyediakan Multiple Intelligences, Bilingual, guru Bule, Kurikulum IB dsb. dengan niat yang sama: yang penting hanya “menjual kursi” di dalam kelas! Barangkali dia tidak peduli pada apa yang terjadi pada anak anda pada 10-20 tahun mendatang! Tetapi kalau dia ditanyakan, dia pasti mengatakan “peduli”. Dan kalau si tukang ikan ditanyakan, dia pasti mengatakan bahwa ikannya “segar”. Orang tua harus tetap bertindak dengan waspada dan bijaksana, dan harus selalu siap menganalisa dan mengritik apa yang terjadi di sekolah.

Kalau saya mendapat informasi tentang satu atau beberapa sekolah swasta yang saya yakini bagus, saya akan membuat laporan di Blog/email dan membagi informasi itu dengan orang tua. Tetapi kalau sekolah itu benar2 “diserang” oleh orang tua yang ingin daftarkan anaknya, maka saya tidak tahu apa yang akan terjadi sesudahnya.

Terima kasih kepada semua orang tua atas waktunya untuk membaca tulisan saya, dan semua email positif yang telah dikirim kepada saya. Semuanya langsung dibaca, tetapi saya mohon waktu untuk membalas semuaya satu per satu. Semoga anak anda mendapatkan pendidikan yang baik dan bermutu di salah satu sekolah swasta, dengan pemantauan secukupnya dari anda. Amin amin ya robbal alamin.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Mr. Gene Netto

Jakarta, March 18, 2007


[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

15 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual Bagian 4/5

SEBENARNYA ORANG TUA YANG SALAH! (“KOK KITA DISALAHKAN?”)

Terus terang saja, sebagian besar dari semua permasalahan ini yang berkaitan dengan sekolah swasta, program immersion atau bilingual, kualitas pendidikan dan kualitas guru adalah disebabkan kesalahan orang tua, yang tidak sengaja tentu saja. (Dan ini juga terlepas dari persoalan Diknas yang tidak melakukan kontrol terhadap sekolah2 ini). Seorang pengusaha bisa melihat bahwa bisnis pendidikan cukup menguntungkan karena contoh sudah banyak. Jadi, karena dia memang ahli bisnis, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan: bersaing!

Untuk bangun sebuah sekolah baru tidak perlu latar belakang pendidikan sama sekali. Juga tidak perlu mencari ahli pendidikan dan memberikannya wewenang penuh untuk mengatur sekolah sesuai dengan ilmunya. Cukup mencaritahu orang tua inginkan apa, atau lebih tepat mengatakan orang tua “siap bayar mahal untuk apa”? Kalau sudah ada daftar, tinggal menyediakan “barang” tersebut. Dengan contoh toko swalayan, pemilik menaruh barang yang kira2 akan dibeli oleh customer = orang tua. Makin laris “barang” itu, makin kaya si pemilik. Kalau laris sekali, bisa di-franchise.

“Ibu menuntut sekolah harus bilingual? Kita siap! Ibu minta Multiple Intelligences? Siap! Mau setiap guru diambil dari lulusan psikologi supaya lebih ‘mengerti’ anak? Siap! Mau Kurikulum IB? Siap! Mau kita mengimpor guru dari Arab Saudi, Cina atau Inggris? Siap! Mau anak belajar 5 bahasa sekaligus di sekolah? Siap! Mau anak diwajibkan hafal seluruh isi/separuh dari Al Qur'an sebelum boleh lulus SD? Siap! Mau diadakan 50 macam kegiatan ekskul? Siap! Mau anak tidak pernah mendapatkan PR selama di SD? Siap! Mau anak tidak pernah diberikan tes selama di SD? Siap! Mau anak sekaligus belajar menjadi atlit Olimpik? Siap! Mau anak diajar menyanyi oleh penyanyi terkenal supaya bisa menjadi kontestan di Indonesian Idol, dan kemudian kita membuat Production House di sekolah supaya anak bisa menjadi bintang sinetron? Siap! Siap! Siap!” (…Asal Ibu bayar ya!” )

Kalau orang tua tidak tahu apakah ini benar atau tidak, coba melakukan sebuah eksperimen dengan teman2 anda. Dari mulut ke mulut, lewat email, mailing list, dsb., coba menyebarkan sebuah ide baru dan melihat kalau ada sebagian sekolah yang mulai bersaing untuk menyediakan “barang” baru itu.

Sebagai contoh: mengatakan kepada teman bawah menurut anda, banyak orang tua akan sangat senang kalau ada salon rambut di sekolah. Anak bisa potong rambutnya dan dapat creambath di waktu istirahat dan juga sesudah sekolah. Menjelaskan kepada semua teman anda bahwa pasti ada banyak orang tua yang menginginkan salon di sekolah karena selalu sulit mencari waktu untuk membawa anak ke pemangkas rambut. Kalau ide ini sudah disebarkan ke mana2, tunggu saja dan mengecek kalau tiba-tiba sebuah sekolah mengadakan salon.

Anda juga bisa membantu memberikan semangat pada sekolah dengan cara telfon beberapa sekolah dan sekedar bertanya kalau ada salon di sekolah: “Selamat siang, saya mau bertanya kalau ada salon rambut di sekolah anda? Ohh, belum ada salon ya? Bukannya banyak sekolah swasta ada salon sekarang? Baiklah, saya akan cari sekolah yang lain saja. Terima kasih.”

Setelah mendengar ini 100 kali dari “calon customer” alias orang tua murid baru, apakah sekolah akan berfikir dua kali untuk mengadakan salon? Cari sesuatu seperti contoh ini dan bereksperimen dengan sekolah untuk mencaritahu apakah mereka benar2 siap menyediakan sesuatu yang diinginkan “customer”. (“Ohh, belum ada gajah di sekolah ini ya? Tahun depan ada nggak?”)

Dan barangkali anda sudah pernah melakukan hal seperti ini dengan telfon sekolah2 saat mau daftarkan anak, dan menanyakan hal seperti Bilingual, IB, guru Bule, Multiple Intelligences, dsb. Pada saat sebuah sekolah menyatakan tidak ada salah satunya, anda mencari sekolah yang lain! Padahal bisa jadi sekolah yang ditinggal itu bagus dari sisi ilmu akademis/pendidikan. Dan setelah anda sekedar mendengarkan istilah “bule”, atau “IB”, atau “Multiple Intelligences”, anda menjadi yakin untuk memasukkan anak tanpa berfikir untuk memeriksa lebih dalam. (Misalnya dengan minta melihat CV dari si Bule).

Apakah mungkin anda akan datang ke sebuah kantor perusahaan penerbangan dan bertanya seperti ini:

“Maaf Pak, ini perusahaan penerbangan ya?” (Ya.) “Ada pesawat?” (Ada.) “Pesawat itu punya sayap?” (Sayap ada Bu.) “Ada pilot Bule?” (Ya, ada!) “Oh, kalau begitu, perusahaan anda sudah terbukti sebagai perusahaan penerbangan terkemuka di Indonesia, dan pesawat anda sudah pasti merupakan pesawat yang terbaik yang diterbangkan oleh seorang pilot yang paling berilmu dan berpengalaman dan sangat tidak mungkin pesawat anda akan mengalami kecelakaan. Inilah anak saya. Tolong terbangkan dia ke Australia!!”

Apakah begitu mudah menentukan kualitas dari sebuah perusahaan penerbangan hanya dengan bertanya seperti itu? Tetapi untuk urusan sekolah, barangkali sebagian orang tua persis seperti itu. Asal mendengarkan kata kunci yang diinginkan, orang tua jadi percaya 100% dan anak langsung didaftarkan.

Karena orang tua siap bayar, sekolah siap menyediakan. Dan ini mencerminkan salah satu sisi dari bisnis murni: berikan apa yang diinginkan oleh pasar! Sebagai contoh, kalau pengusaha ingin membuka café baru, apakah mungkin dia buka café yang tidak menyediakan Cappucino dan Café Latte? Apakah dia bisa laris kalau tidak menyediakan minuman ini yang merupakan dua minuman standar di semua café yang lain? Kalau tidak ada, customer akan berfikir: “Ini café macam apa ya? Café ini tidak bermutu”. Dan dia akan mencari yang lain. Sama seperti café, orang tua atau “customer” datang ke sekolah dan bertanya “Ada bilingual di sini? Ada Bule di sini? Ada Kurikulum IB di sini? Apakah ada 50 macam ekskul?” Dan seterusnya.

Sekarang, orang tua menjadi seperti customer yang masuk café mencari Cappucino. Yang dia inginkan memang disediakan oleh café/ tempat usaha/ sekolah.

Kesalahan orang tua ini sebenarnya dilakukan dengan niat yang sangat mulia: orang tua ingat pengalaman sekolah mereka di masa lalu yang dipandang buruk dan menyatakan “Anak saya harus mendapatkan yang lebih baik!” Ini adalah suatu sikap yang sangat baik dan mulia. Sayangnya, orang tua mencaritahu apa yang “terbaik” untuk anak dengan cara bertanya kepada teman2 yang juga bukan ahli pendidikan. Kata teman2nya:

· “Bagusan sekolah bilingual. Nanti anak bisa bahasa Inggris. Kita tidak bisa. Seharusnya dimulai di usia lebih muda. Harus dari Playgroup, bukan di SMP seperti kita dulu.”

· “Bagusan sekolah IB. Kurikulum baru bagus kalau IB. Lihat saja sudah banyak orang yang bikin sekolah IB. Berarti IB bagus kan? IB. IB. IB!”

· “Saya dulu tidak belajar agama dengan baik waktu di sekolah. Sampai sekarang masih tidak bisa ngaji dengan baik. Seharusnya anak hafalkan seluruh Al Qur'an di masa SD. Anak kecil sangat mudah menghafalkan segala sesuatu dibandingkan orang dewasa, iya kan? Dan di negara2 Arab pasti semua anak hafalkan Al Qur'an di TK, iya kan? Bukannya begitu?”

· Dan seterusnya.

Setiap teman yang memberikan komentar ini berniat sangat baik karena ingin membagi informasi yang dipandang bermanfaat. Setelah orang tua mendengar nasihat yang sama dari 10 teman, dia menjadi yakin dan anak dimasukkan ke sekolah tersebut; sekolah yang seusai dengan apa yang dicarikan orang tua. Hal ini biasanya terjadi karena orang tua tidak mengenal seorang guru atau ahli pendidikan satu pun. Tetapi kalau seandainya orang tua mempunyai masalah kesehatan, dia akan berkonsultasi dengan dokter (ahli pengobatan). Teman boleh2 saja menambahkan komentar tentang apa yang baik. Tetapi sebagaian besar orang tua akan lebih beratkan informasi dan komentar dari si dokter. Untuk masalah pendidikan, tenyata tidak demikian. Hanya ada teman2 biasa. Saya tidak berniat menghinakan teman2 anda karena insya Allah mereka juga termasuk orang yang baik hati, pintar dan bijaksana, dan nasehat dari mereka insya Allah juga bermanfaat untuk didengarkan. Hanya saja, keahlian mereka di bidang pendidikan tidak ada, dan hal itu mempengarui “wawasan” mereka sehingga nasehat itu diberikan dari satu sisi saja, tanpa bisa melihat segala macam kemungkinan yang lain, termasuk hal-hal yang kurang baik.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah semua “barang” yang disediakan oleh sekolah swasta ini memang yang terbaik untuk anak2? Kalau kurikulum IB memang baik, misalnya, tetapi apakah sekolah menyediakan karena alasan itu atau karena ada “customer” yang ingin “membeli”nya?

MESTI BAGAIMANA SEKARANG: SOLUSI BIASA

Ini yang paling berat. Saya juga tidak bisa memberikan sebuah solusi yang dijamin lebih baik dari keadaan anda sekarang. Anak anda harus sekolah. Anda sudah bayar untuk masuk sebuah sekolah swasta. Yang bisa saya sarankan adalah mulai saat ini, orang tua membuat janji pada diri sendiri untuk melakukan dua hal:

1.) Belajar sedikit tentang pendidikan. Anda bisa mencari sumber informasi di internet, misalnya kalau mau tahu sekolah bilingual mesti seperti apa, ketik “bilingual” atau “bilingual program” dan membuka beberapa situs. Baca sebagaian kecil dan berusaha untuk memahaminya. Mungkin dari yang dibaca itu, akan muncul pertanyaan: “Kok sekolah anak saya tidak seperti itu? Mana “Pull Out Program”nya?” Dan sayangnya ini hanya bisa dilakukan oleh orang tua yang bisa bahasa Inggris. Barangkali ada situs2 di Malaysia yang menggunakan bahasa Melayu dan bukan bahasa Inggris. Carikan. Kalau baca bahasa Melayunya insya Allah anda bisa menangkap intinya. Coba pahami sedikit teori saja. Ini penting kalau anda sangat inginkan menyekolahkan anak di sekolah bilingual. Anda harus tahu program bilingual yang standar seperti apa, karena, sayangnya, anda tidak bisa asal percaya bahwa semua sekolah swasta akan melakukan yang terbaik. (Itu sebabnya saya memberikan sedikit teori standar di Bagian Pertama artikel ini untuk membantu orang tua yang belum pernah berfikir tentang bentuk program bilingual)

2.) Menjadi lebih kritis terhadap ada yang terjadi di sekolah anak anda. Barangkali ini sulit kalau baik bapak maupun ibu bekerja. Sudah pulang malam, capai, belum makan, masa harus bertanya2 tentang segala sesuatu yang terjadi di sekolah? Mohon maaf, tetapi memang harus begitu. Karena sistem yang sudah ada di sini sekarang, anda tidak bisa asal titipkan anak di sekolah dan menerima seorang remaja yang sudah dibentuk dengan baik pada akhir SMA nanti. Memantau dan menganalisa apa yang terjadi di sekolah. Dengan logika biasa, barangkali sesuatu akan terasa sedikit “ganjil” dan hal itu harus dipertanyakan ke pihak sekolah. Minta melihat budget untuk sebuah kegiatan yang mewajibkan suatu bayaran. Minta melihat hasil dari semua ujian yang diikuti oleh anak anda. Minta melihat print out dari semua ujian dari tahun2 kemarin untuk menjadi perbandingan. Kalau kelihatan ada penurunan nilai di satu pelajaran, hubungi sekolah/guru dan minta penjelasan. Cari tahu apa yang bisa dilakukan orang tua di rumah untuk membantu. Kalau sekolah mengumumkan anak akan disiapkan untuk mengikuti sebuah lomba di luar kota, cari tahu lomba itu seperti apa. Apakah benar2 bermanfaat untuk anak atau hanya diikuti untuk meningkatkan “gengsi” sekolah karena selalu berpartisipasi dalam semua lomba yang ada? Dan seterusnya.

MESTI BAGAIMANA SEKARANG: SOLUSI LAIN

Kalau orang tua tidak puas dengan memantau anak dan sekolah saja, berarti barangkali orang tua harus mulai menjadi lebih tegas dengan sekolah yang tidak jelas. Kebanyakan masalah yang telah dibahas di dalam artikel ini ada di pihak sekolah. Anda sudah bayar mahal dan anda harus menunjukkan bahwa anda tidak puas dengan pelayanan yang mereka berikan. Kalau seandainya sekolah ini adalah perusahaan penerbangan, anda bisa berhenti saja membeli tiket mereka. Dengan sekolah tidak bisa begitu. Berarti orang tua harus berusaha untuk mengubah sikap kurang baik dari sekolah ini.

Orang tua bisa datang ke sekolah dalam sebuah rombongan, misalnya 20-30 orang. Kalau datang sendiri2, sekolah bisa mengabaikan keinginan anda dan komentar anda dengan sangat mudah. Kelompok menunjukkan kekuatan dan kekompakan.

Kurikulum: minta melihat kurikulum dari sekolah. Kalau “masih ditulis” bertanya kenapa bisa begitu padahal sekolah sudah beroperasi beberapa tahun. Minta diberikan kopian dari kurikulum. Saya diberitahu dari seorang teman bahwa Sekolah SD Lazuardi di Cinere tidak takut melakukannya dan malah memberikan kepada orang tua tanpa ada yang minta. Luar biasa. Kenapa sekolah anak anda tidak mau? Apa yang mereka sembunyikan?

CV: minta melihat CV dari semua “guru” di sekolah, terutama guru kelas anak anda. Setiap sekolah pasti menyimpan CV gurunya di file karyawan. Kalau sekolah menyatakan itu data pribadi, suruh mereka panggil guru dan langsung minta izin di depan mukanya. Kalau dia tidak izinkan, tanya kenapa. Apakah dia ada gelar atau latar belakang dan pengalaman pendidikan? Apakah dia pernah bekerja di sebuah sekolah sebelum masuk sekolah ini? Ini juga penting dilakukan untuk guru bule. Mungkin guru bahasa Inggris anak anda adalah mantan kuli bangunan dari Australia. Dan mungkin orang dengan gelar atau pengalaman pendidikan merupakan hanya 40-60% dari guru di sekolah anak anda (karena masih baru). Jadi kalau orang yang insya Allah “mengerti pendidikan” hanya 40%, kira-kira siapa yang menjaga perkembangan ilmu akademis dan “cognitive development” (daya pikir) dari anak anda? Si pengusaha yang menjadi pemilik sekolah?

Budget: minta melihat budget sekolah. Hampir pasti mereka tidak mau menunjukkannya. Berfikir tentang apa isinya yang membuat mereka takut kalau orang tua tahu? Apakah ada hal yang ganjil? Apakah misalnya ada pengeluaran ratusan juta untuk pemilik sekolah dan keluarganya yang sering pergi ke Bali, ke Singapore dan lain negara, dengan munggunakan uang sekolah, tanpa jelas tujuannya apa? Sedangkan jumlah uang untuk beli buku buat perpustakaan hanya mencapai 10 juta per tahun. Kalau sekolah tidak mau terbuka dan jujur tentang uang sekolah dipakai untuk apa, maka anda bisa berfikir sendiri tentang kenapa mereka lebih senang kalau anda tidak tahu tentang persoalan itu. (Sekolah yang licik tinggal membuat Budget palsu khusus untuk diperlihatkan kepada para orang tua.)

Daftar asset: Minta lihat daftar aset milik sekolah. Hampir pasti mereka tidak mau menunjukkannya. Berfikir tentang apa isinya yang membuat mereka takut kalau orang tua tahu? Mungkin di dalamnya anda akan menemukan banyak aset seperti mobil mewah dan rumah mewah. Bertanya siapa yang memakai fasilitas ini? Barangkali pemilik sekolah merasa dirinya adalah Fund Manager. Setelah dia kumpulkan milyaran rupiah dari anda semua, apakah digunakan untuk kepentingan anak dan sekolah? Bagaimana kalau dia membeli perkebunan kelapa sawit, atau saham hotel, atau uang dimasukkan deposito saja. Untung dari usaha itu untuk siapa? Kembali lagi ke sekolah untuk kepentingan anak, atau masuk tabungan pemilik sekolah? Sebenarnya dia tidak melanggar hukum kalau melakukan hal seperti ini. Anda yang memberikan milyaran rupiah kepadanya tanpa pernah bertanya uang itu digunakan untuk apa. Berarti dia bebas menggunakan bunga deposito untuk kepentingan diri sendiri. Kalau memang begitu, apakah niat dia bangun sekolah karena mau memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak anda, atau sekolah itu hanya sebuah “alat” yang membuka jalur supaya dia bisa menjadi Fund Manager dengan uang anda untuk kepentingan diri sendiri. (Sekolah yang licik tinggal membuat Daftar Aset yang palsu khusus untuk diperlihatkan kepada para orang tua.)

Membentuk asosiasi orang tua: ajak orang tua yang lain kumpul di sebuah rumah untuk membahas keadaan sekolah. Lebih baik anda membentuk asosiasi sendiri. Kalau sekolah sudah membentuknya, dan anda hanya diajak masuk, bisa jadi sekolah membentuk duluan dengan niat melakukan “control” terhadap para orang tua. Barangkali orang yang membangunnya dan sangat aktif di organisasi pertama itu adalah teman2 pemilik sekolah dan para pendukung “fanatis” yang tidak siap mendengarkan sisi buruk dari sekolah mereka. Barangkali mereka selalu mendukung 100 persen semua ucapan pemilik sekolah. Mereka ingin sekolah ini berlangsung terus di bawah kepemimpinan teman mereka (pemilik sekolah) dan siapa pun yang terlalu banyak bertanya2 tentang kualitas pendidikan, kualitas bahasa, atau hal yang lain akan dipandang sebagai “pengganggu” saja. Mereka lebih utamakan “status quo” daripada kebenaran. Bentuk asosiasi sendiri supaya anda bisa bicara bebas. Kalau semua orang tua sepakat ada masalah tertentu, hal itu bisa disampaikan ke pemilik sekolah lewat surat, misalnya, dengan tanda tangan 100 orang tua, dsb.

Membantu guru membentuk sebuah Serikat Guru: saya belum pernah mendengar tentang sebuah sekolah swasta yang langsung membentuk serikat guru sendiri untuk menjaga kepentingan para guru. Manfaat dari serikat guru adalah memberikan kekuatan kepada para guru untuk mencegah kebijakan yang tidak baik atau tidak adil dari pemilik sekolah (pengusaha). Dengan asumsi bahwa sebagian besar dari guru di sekolah adalah guru yang baik, yang berniat mengajar dengan sebaik mungkin (tanpa melihat gelarnya), maka mereka pasti tidak bisa melakukan protes apapun kalau tiba2 pemilik sekolah mewajibkan mereka melakukan sesuatu yang mereka anggap tidak baik untuk anak, atau sangat mengganggu kenyamanan mereka sebagai guru. Guru harus menuruti semua kebijakan pemilik sekolah. Kalau ada serikat guru, dan semua guru merasa suatu kebijakan tidak bermanfaat, tidak adil, dsb. maka mereka bisa menghadapi pemilik sekolah secara kolektif. Kalau tidak ada serikat, tidak ada yang bisa membeka anak2 dari kemauan aneh pemilik sekolah, atau membela guru yang merasa ditindas.

Apakah ini suatu jalan yang baik? Kalau seandainya orang tua mengambil salah satu dari jalan ini, kemungkinan besar akan menimbukan masalah baru dengan pihak sekolah. Di atas semua masalah yang sudah ada, orang tua akan dipandang sebagai “pengganggu” dan bukan “partner”. Kalau hal ini terjadi, hanya ada tiga kemungkinan:

1. Sekolah mulai mendengarkan orang tua dan berubah supaya selalu melakukan yang terbaik untuk anak, bukan terbaik untuk bisnis.

2. Sekolah cuek saja pada keluhan orang tua dan tidak berubah. Kalau orang tua tidak suka, silahkan keluar saja (uang pangkal puluhan juta non-refundable, tentu saja).

3. Sekolah akan menjadi marah besar karena merasa dilawan oleh customer yang seharusnya terima saja “barang-barang” yang disediakan perusahaan tanpa komplain. Orang tua dipandang sebagai lawanan dan kinerja sekolah menjadi rusak.

Oleh karena itu, saya sarankan agar orang tua berfikir kembali sepuluh kali sebelum mengambil suatu tindakan untuk “melawan” pemilik sekolah (walaupun tujuannya adalah untuk mendapatkan yang terbaik bagi anak) karena ada kemungkinan tidak akan berhasil dan malah akan menimbulkan masalah baru!

MESTI BAGAIMANA SEKARANG: SOLUSI IMPIAN

Pemerintah akan mulai peduli dengan pendidikan, baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Dan semua SD Negeri akan menjadi begitu baik dan bermutu sehingga tidak akan ada orang tua yang inginkan anaknya masuk sekolah swasta!

Bukannya 20% dari APBN seharusnya untuk pendidikan, tetapi sampai sekarang belum mencapai target terus? Anggaran untuk sekian banyak proyek dan perjalanan pejabat ke luar negeri selalu ada. Untuk tangani lumpur panas di Sidoarjo disediakan trillunan rupiah (secara tiba-tiba). Tetapi untuk pendidikan selalu tidak cukup. Kalau mau melihat hasilnya kalau sebuah negara menjadi serius dengan mengembangkan sistem pendidikannya, lihat saja Malaysia dan hasil yang tercapai di dalam 30 tahun terakhir ini. Kira-kira berapa banyak atap kelas yang ambruk di Malaysia setiap tahun? Di sini hampir setiap minggu ada kasus.

Kalau seandainya Diknas melakukan kontrol yang ketat terhadap sekolah swasta, mungkin sebagian dari guru kelas akan dipecat karena tidak mencapai standar tertentu (terutama yang “asal bule” saja). Bagaimana kalau sekolah tidak boleh dibuka kalau kurikulum belum ada? Sekolah swasta akan menjadi sedikit saja. Untuk menghindari masalah ini, banyak sekolah cukup menyatakan “Kita menggunakan kurikulum Diknas” tetapi setelah 4 tahun mereka masih sibuk “menulisnya kembali” berarti kurikulum tidak stabil untuk bertahun2.

Apakah petugas dari Diknas akan peduli pada sekolah swasta anak anda, padahal ada sekian banyak masalah dengan Sekolah Negeri yang belum bisa ditangani juga. Dengan gaji yang masih tergolong rendah, kenapa seorang petugas dari Diknas akan peduli kalau anak anda di sekolah swasta sedang diajar (atau “disiksa secara emosional”?) oleh seorang mantan kuli bangunan dari Australia?

APAKAH GURU YANG BAIK PASTI BERGELAR PENDIDIKAN?

Perlu saya jelaskan bahwa seseorang tanpa gelar pendidikan bisa saja menjadi guru yang hebat. Tergantung niatnya dan usahanya. Dan seseorang dengan gelar pendidikan bisa saja menjadi guru yang buruk. Tergantung niatnya dan usahanya. Saya tidak mau menjelekan nama semua guru sekolah yang tidak lulus dari Fakultas Pendidikan karena saya ada banyak teman dengan gelar yang lain dan mereka telah menjadi guru dengan kualitas terbaik sehingga saya akan memilih mereka untuk menjadi guru daripada orang yang baru lulus dari IKIP/UNJ dan belum berpengalaman.

Tetapi yang bisa membedakan antara guru yang baik dan buruk adalah orang yang mengerti pendidikan dan fungsi guru. Orang tua belum tentu bisa menentukan bedanya. Kalau orang tua ingin coba, mulai dengan mengikuti perasaan saja. Melihat kepedulian guru terhadap semua anak. Apakah kelihatan sayang sama anak? Kalau anda komplain tentang sesuatu, apakah dia tanggapi dengan cara yang baik, dsb.? Apakah dia selalu mencari solusi yang baik bila terjadi sebuah masalah? Apakah dia terbuka untuk diskusi dan menerima saran? Apakah dia bisa menjelaskan kenapa sebuah saran dari orang tua itu tidak baik bagi perkembangan anak? (Misalnya, orang tua minta anak Playgroup harus diwajibkan membaca dan menulis, lalu guru menolak dan sanggup menjelaskan kenapa saran itu tidak baik untuk semua anak!). Kalau anda mendapat perasaan baik tentang guru itu, berarti itu adalah suatu permulaan yang baik. Tetapi sikap baiknya itu tidak secara automatis berarti dia bisa mengajar dengan benar.

Yang saya maksudkan di dalam artikel ini dengan selalu memberikan komentar buruk mengenai si “lulusan ekonomi” adalah begini: kalau ada seorang guru yang lamar untuk masuk sekolah anak anda, dan ternyata dia lulusan IKIP dengan pengalaman 8 tahun di kelas, dia termasuk guru terbaik di SD Negerinya, tetapi dia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, kemungkinan besar dia akan ditolak, tetapi si lulusan ekonomi akan diterima dengan alasan bahwa dialah yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan hanya itulah yang dipertanyakan orang tua.

Berfikir: Orang yang mana yang paling baik untuk mendidik anak anda? Kalau dari sisi pendidikan, guru yang pertama adalah yang terbaik. Kalau yang diinginkan adalah “asal guru bisa berbahasa Inggris” karena itu yang mau “dibeli” oleh orang tua, maka guru yang kedua lebih cocok.

Orang tua harus mulai berfikir dengan bijaksana tentang mana yang lebih utama bagi masa depan anak anda.

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html

13 March, 2007

Sekolah Swasta dan Bilingual: Bagian 3/5

MANA RISET/BUKTI ILMIAH TENTANG LULUSAN SEKOLAH SWASTA BILINGUAL INI?

Barangkali orang tua sudah tahu bahwa ada beberapa sekolah yang sudah lama menjalankan program Immersion/Bilingual di sini dengan tujuan membuat anak lancar dalam bahasa Inggris. Karena sekolah2 ini sudah lama berjalan, berarti jumlah lulusan mereka sudah banyak. Di mana mantan murid itu sekarang dan bagaimana keadaan mereka? Seorang ahli pendidikan akan mau tahu tentang hal ini, tetapi barangkali seorang ahli bisnis tidak akan peduli. Sebagai contoh tentang hal yang perlu kita pahami adalah:

· Apakah lulusan ini (yang sudah dewasa) masih ada di Jakarta?

· Apakah mereka dikirim keluar negeri untuk kuliah?

· Apakah mereka sanggup kuliah di sini (karena keadaan pendidikan di universitas lokal barangkali sangat berbeda dengan pengalaman baik mereka waktu di sekolah swasta, sehingga mereka tidak tahan dan minta kuliah ke luar negeri)?

· Kalau kuliah di luar negeri sudah selesai, apakah semuanya atau mayoritas kembali ke Indonesia atau tetap di luar negeri karena sudah merasa lebih betah di sana?

· Bagaimana dengan kemampuan bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesianya sekarang?

· Apakah bahasa Inggrisnya lebih lancar, atau bahasa Indonesianya?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, bagaimana dampaknya terhadap orang yang harus bekerja di sini?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, apakah karena mereka sudah merasa lebih "normal" menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka memandang orang yang tidak bisa berbahasa Inggris sebagai orang "rendah" atau orang "biasa" dan bukan elite seperti mereka?

· Bagaimana pergaulan mereka dengan keluarga besar (kakek, nenek dsb.) yang tidak bisa menggunakan bahasa Inggris sama sekali?

· Apakah mereka merasa bangga dengan bahasa dan budaya Indonesia?

· Atau apakah bahasa dan budaya orang tuanya membuat mereka merasa malu?

· Kalau mereka kuliah di sini dengan menggunakan bahasa Indonesia apakah kemampuan bahasa Inggrisnya berkurang? Kalau iya, berapa jauh?

· Dan penurunan kualitas bahasa itu, bila ada, terjadi dalam jangka waktu berapa tahun?

· Kalau kemampuan bahasa Inggrisnya ternyata sudah turun secara drastis, apakah hal itu berarti sia-sia ribuan jam di SD-SMA hanya untuk belajar bahasa Inggris yang kemudian menjadi hilang?

· Bagaimana nilainya orang yang kuliah di sini dalam bahasa Inggris di universitas swasta?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di sini tetapi menggunakan bahasa Indonesia?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di luar negeri dalam bahasa Inggris dan bersaing langsung dengan Native Speaker?

· Bagaimana nilainya tiga kelompok ini dibandingkan dengan nilai sebuah kelompok "kontrol" yang tidak pernah masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Nilai lebih tinggi di kelompok yang mana?

· Bagaimana keadaan psikologis semua lulusan ini?

· Apakah ada sebagian dari mereka yang mengalami perasaan tertekan, stres, depresi, dan gangguan emosional/psikologis yang lain disebabkan mereka merasa kehilangan citra diri (karena tidak suka budaya dan bahasa lokal, tetapi masih merasa sebagai orang Indonesia)?

· Kalau ada yang mengalami perasaan stres dan berbagai gangguan yang lain, berapa persen, untuk berapa lama, mulai berapa tahun setelah keluar dari sekolah?

· Apakah gangguan ini mempengaruhi hubungannya dengan suami atau isteri yang tidak bisa berbahasa Inggris karena dia lulus dari sekolah biasa?

· Kalau semua lulusan sekolah2 ini merasa 'bahagia', apakah mereka bisa dikatakan kurang, sama, atau lebih bahagia dari anak yang tidak masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka hanya bisa bahagia selama mendapatkan pekerjaan di luar negeri, atau di perusahaan asing di Indonesia, sehingga skil mereka dengan bahasa Inggris sangat dihargai?

· Kalau mereka terpaksa pindah ke perusahaan lokal yang tidak membutuhkan bahasa inggris, apakah mereka masih 'bahagia'?

· Apakah mereka dipandang 'elite' oleh karyawan yang lain karena sering menjawab pertanyaan biasa dengan bahasa Inggris (karena sudah terbiasa begitu), sehingga mereka menjadi susah bergaul di kantor?

· Dan seterusnya!

Inilah termasuk hal2 yang akan dipikirkan ahli pendidikan pada saat membicarakan dampak secara luas dari sebuah program bahasa asing yang akan diwajibkan untuk semua anak di sebuah sekolah. Bukan hanya apa yang terjadi kepada mereka selama di sekolah tetapi bagaimana kehidupan mereka setelah keluar dari sekolah. Kebutuhan bahasa di sekolah akan mempengaruhi persentase L1 (bahasa Ibu) dan L2 (bahasa asing) yang digunakan. Misalnya, penggunaan 50%-50% sangat berbeda dengan 10%-90%. Dan tingkat penggunaan ini juga mempengaruhi hal yang lain seperti "cognitve development" (perkembangan daya pikir), "acquisition of academic content" (pengertian terhadap ilmu pelajaran), dan "socio-cultural development" (rasa bangga dengan bahasa/ budaya orang tuanya).

Seorang ahli pendidikan akan bertanya: Apa dampaknya program bahasa tersebut di masa depan semua anak ini? Yang baik apa? Yang buruk apa? Bagaimana caranya mencegah yang buruk dan memperkuat hasil yang baik? Ini cara berpikir guru dan ahli pendidikan yang profesional. (Barangkali seorang pengusaha hanya akan bertanya: Apa dampaknya program ini pada masa depan deposito saya?)

Apakah anda pernah mendengarkan pemilik sekolah anak anda membicarakan hal seperti ini? Kemungkinan besar tidak.

Alasannya dua:

1.) Setahu saya, hasil riset seperti ini yang berkaitan dengan konteks kita di Indonesia tidak ada. Kalau riset untuk orang di luar negeri, misalnya di Kanada, saya yakin ada. Tetapi konteksnya berbeda. Di Kanada, semua atau mayoritas dari para guru bisa diyakini profesional, dan program Immersion itu dipantau terus oleh Diknas dan bukan dikerjakan secara acak oleh sekolah swasta yang asal mendapatkan staf yang bisa berbahasa Inggris. Di Kanada barangkali hanya hanya satu kelas yang melakukan program Immersion dan bukan seluruh sekolah. Kurikulum sudah terbentuk oleh sebuah tim ahli dan digunakan oleh semua sekolah. Beda halnya dengan Indonesia di mana saya sering menemukan "guru" (baca: lulusan ekonomi dsb.) yang dipaksakan sekolah membuat Kurikulum untuk menghemat pengeluaran. (Kalau harus mencari seorang ahli untuk membuat kurikulum, berarti bayar lagi. Guru saja deh!)

Setahu saya, tidak ada orang di sini yang melakukan penganalisan secara intensif dan ekstensif terhadap apa yang sebenarnya terjadi kepada anak yang telah lulus dari sekolah swasta bilingual di sini. Paling ada informasi yang bisa didapatkan dari salah satu sekolah yang menyatakan lulusannya pergi ke mana (seperti asosiasi alumni). Informasi selain lokasi dan pekerjaannya barangkali tidak ada.

2.) Pemilik sekolah anak anda barangkali tidak akan peduli. Apakah menguntungkan tabungan dia kalau dia sungguh2 mempelajari apa yang terjadi kepada lulusan dari sekolah dia? Kalau seandainya ada 12% yang mengalami berbagai bentuk stres atau depresi setelah 10 tahun keluar dari sekolah, disebabkan mereka merasa "asing" di negara sendiri, apakah pemilik sekolah mau memberitahu kepada orang tua (kalau dia tahu)? Barangkali tidak.

Tetapi kalau dia tahu 12% dari lulusan sekolah masuk perusahaan multinasional dengan jabatan dan gaji yang tinggi, pasti itulah yang akan diberitahu kepada orang tua. Kata pemilik sekolah: "Kalau anda mau [memberikan kita puluhan juta rupiah sekarang juga, non-refundable tentu saja, dan] daftarkan anak anda di sekolah kita, maka dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik seperti ini. Kita sekolah bilingual lho! (Kali 1000)." Dan tentu saja orang tua dari seorang anak berumur enam tahun akan kagum dan bahagia kalau diyakinkan masa depannya begitu bagus. Tinggal bayar saja, dan dia akan lulus SMA dalam keadaan bilingual dan langsung mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji besar. Semuanya beres!

Barangkali anda ingin mengatakan bahwa setahu anda, anak yang tertekan dan depresi ini tidak ada di Jakarta. Sudah ada banyak lulusan dari sekolah bilingual yang menggunakan Immersion Program dan sepertinya mereka semua baik-baik saja. Apakah benar? Apakah 100% dari mereka "baik-baik saja"? Atau kurang dari 100%?

Barangkali ada 80% yang bahagia dan telah menjadi bilingual tanpa masalah. Taruhlah ada 10% lagi yang bisa berhasil juga walaupun tidak begitu mudah bagi mereka. Dan bagaimana kalau seandainya masih ada sisa 10% yang mengalami berbagai macam gangguan seperti stres, depresi, kehilangan citra diri, merasa lebih elite daripada orang tua sendiri, merasa asing dengan orang tua, lebih senang tinggal di luar negeri, susah bergaul dengan teman kantor, dsb.

Saya ingin bertanya kepada para orang tua: Siapa yang akan membela sisa 10% anak ini (kalau memang ada) yang mengalami kesulitan belajar di dalam sekolah bilingual, dan barangkali juga akan menghadapi berbagai macam masalah setelah lulus? Fungsi seorang guru bukan untuk mengajar 90% dari muridnya yang sanggup mengikuti pelajaran dalam sebuah bahasa asing dan abaikan saja 10% tersisa yang mengalami masalah (baik di dalam maupun di luar sekolah). Fungsi seorang guru adalah untuk berusaha sebaik mungkin bahwa semua muridnya akan berhasil di dalam semua aspek kehidupan, bukan nilai akademisnya saja.

Kalau guru kelas merasa bahwa anak anda telah masuk 10% yang akan "gagal" dengan arti dia masih bisa lulus tetapi dengan nilai yang sangat rendah, dan barangkali akan mengalami masalah psikologis nanti, apakah anda siap menerima kenyataan ini begitu saja? Apakah cukup baik bagi anda bahwa 90% dari lulusan sekolah itu berhasil dan menjadi orang bilingual yang bahagia, walaupun anak anda tidak termasuk kelompok itu?

Dan barangkali alasannya kenapa anda belum pernah melihat seorang lulusan sekolah swasta yang mengalami masalah adalah disebabkan kebanyakan dari mereka berada di luar negeri sekarang karena tidak senang tinggal di Indonesia lagi. Atau juga bisa jadi alasannya adalah karena anak yang anda kenal pernah masuk sebuah sekolah swasta yang sangat mahal, yang penuh dengan guru profesional, lengkap dengan kurikulum yang benar, dengan Pull Out Program (untuk meningkatkan bahasanya), dengan guru ESL yang berpengalaman, dsb. Barangkali itulah sebabnya 99% dari lulusan sekolah itu yang anda kenal telah berhasil.

Tetapi bagaimana dengan sekolah anak anda yang baru berdiri 5 tahun, yang gurunya dan kepala sekolah berganti-ganti setiap tahun, yang kurikulumnya "masih ditulis" oleh para guru, yang biayanya meningkat setiap tahun tanpa perubahan fasilitas, dsb.? Apakah komitmen mereka terhadap masa depan anak anda begitu serius?

SEKOLAH SWASTA LEBIH PEDULI PADA UANG?

Kita bisa bertanya sekarang: apakah begitu banyak anak diwajibkan dan dipaksakan belajar bahasa Inggris di sekolah karena memang itu yang terbaik untuk dirinya? Atau apakah hal ini dilakukan karena sekolah tahu orang tua akan siap bayar lebih mahal untuk sekolah bilingual dan tujuan sekolah semata-mata sebagai sebuah bisnis yang harus menghasilkan profit sebanyak mungkin? (Dan bisa jadi dua-duanya benar).

Sebagai sebuah contoh apakah sebuah sekolah swasta mana pun lebih peduli pada uang daripada pendidikan, orang tua bisa bertanya kalau gaji guru sama semua atau apakah kontrak kerja mereka harus dinegosiasi sendiri-sendiri. Kalau sama semua, berarti sekolah ingin adil terhadap guru, misalnya dengan gaji standar Rp 2 juta. (Ya, anda tidak salah baca, itu angka DUA. Gaji guru untuk orang lokal di sekolah swasta anak anda bisa sekecil itu, mungkin 1,5-4 juta. Tetapi untuk orang bule yang menjadi idaman anda, bisa mencapai 15-30 juta ++).

Kalau seandainya ada sebuah sekolah yang siap memberikan gaji standar kepada semua guru lokal, tetapi ada seorang guru dengan sebuah gelar, keahlian atau pengalaman khusus (misalnya dia sudah mencapai Masters Degree/S2), maka dia bisa diberikan bonus, dan hal itu bisa dijelaskan kepada guru yang lain supaya mereka semua paham bahwa orang ini memang ada skil khusus. Dengan demikian insya Allah mereka akan terima dengan lapang dada dan tidak akan iri karena semuanya terbuka dan jujur: gaji dia sedikit lebih besar karena skil dia lebih besar.

Sebaliknya, kalau gaji semua guru berbeda-beda, maka hal itu dilakukan untuk kepentingan bisnis. Dua guru di kelas yang sama dengan gelar yang sama dan latar belakang yang kurang lebih sama bisa menerima gaji yang berbeda. Kalau perbedaan itu mencapai 1-2 juta, apakah guru yang gajinya rendah bisa menerima kalau dia tidak bisa melihat alasan untuk perbedaan tersebut? Sebenarnya ini terjadi karena pada saat masuk, satu guru negosiasi terus sampai mendapat gaji yang tinggi, dan guru yang lain takut tidak akan mendapatkan pekerjaan jadi dia tidak berani negosiasi dengan keras.

Kenyataan gaji yang berbeda ini bisa menimbulkan suasana yang negatif di kalangan guru. Misalnya, guru yang gajinya rendah bikin "flashcard" untuk suatu pelajaran Matematika. Guru yang gajinya besar minta pinjam. Guru pertama (karena jenuh) membuat alasan supaya tidak dipinjamkan. ("Emang gue pikirin? Biarkan dia bikin sendiri!") Kalau ini terjadi di dalam sebuah sekolah, yang jelas adalah sebagian dari para guru akan dirugikan. Anak juga dirugikan karena para guru tidak mau saling bantu-membantu untuk memberikan kelas yang terbaik bagi anak. (Buat orang tua yang belum tahu, guru yang saling bantu-membantu merupakan bagian yang sangat vital dan utama di dalam sebuah sekolah).

Dan yang jelas diuntungkan adalah tabungan sekolah! Tetapi masalah ini tidak hanya terjadi pada guru: kalau seandainya seorang kepala sekolah menyadari bawah gaji dia 2x lebih kecil dari sebagian guru, bagaimana dia mau kerja dengan semangat? (Sebenarnya, dia salah sendiri karena menerima gaji yang dia anggap cukup baik, dibandingkan dengan gaji di SD Negeri, tetapi sudah ada guru yang mendapat lebih dari dia.)

Silahkan bertanya kepada para guru di sekolah anak anda kalau gaji guru ada standarnya atau apakah setiap kontrak dinegosiasi sendiri, dan bertanya ke pihak sekolah kenapa harus begitu? Sekaligus, silahkan bertanya kalau ada asuransi untuk anak guru? (Asuransi guru pasti ada, walaupun hanya dengan nilai nominal yang sangat minim.) Kalau anak seorang guru menjadi sakit keras, dan ibunya harus mengeluarkan beberapa juta rupiah, dengan sekaligus cuti dari sekolah, apakah pihak sekolah akan peduli? Baca di tembok sekolah anak anda tentang semua sikap yang mereka ingin ajarkan seperti "Caring", "Respect", "Social Awareness", "Empathy", "Leadership" dan sebagainya. Barangkali anda pernah melihat kata2 ini ditempelkan di tembok sekolah. Kalau memang ada, bertanya ke pihak sekolah tentang kenapa mereka tidak mulai dengan mencontohkan sikap2 mulia ini terhadap para guru dan anaknya sebelum mencari orang lain di pinggir kali?

"KENAPA SAYA TIDAK BISA BERBAHASA INGGRIS PADAHAL MULAI DARI SMP?"

Kalau orang tua mengatakan "Saya belajar bahasa Inggris dulu di SMP tetapi masih nggak bisa sampai sekarang!" berarti anda mengalami masalah, dan masalah itu tidak ada hubungan sama sekali dengan umur anda pada waktu mulai belajar. Yang menimbulkan masalah buat anda adalah sistem pengajaran yang tidak bagus, yang sangat baku, terfokus pada penghafalan kalimat dan frase baku, dan tidak memberikan kebebasan kepada anda untuk menguasai bahasa itu supaya bisa membentuk "communicative competence" (kemampuan berkomunikasi sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari guru).

Kalau seandainya anda pernah mendapatkan sistem pendidikan bahasa yang berbeda di masa SMP dulu, saya sangat yakin bahwa (insya Allah) anda sudah menjadi lancar sekarang. Justru karena anda tidak menjadi lancar, anda membuat kesimpulan bahwa hal itu disebabkan anda mulai pada usia yang terlalu tua. Dan persepsi itu 100% keliru. Oleh karena persepsi itu, anda ingin mewajibkan anak anda menjadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris mulai dari Playgroup!

Saya dan teman2 kelas dulu di SMP-SMA belajar bahasa Jerman atau bahasa Perancis. Hampir semua menjadi cukup lancar dalam 3 tahun, sehingga menjadi sanggup berbincang dan menulis di dalam bahasa itu. Ini disebabkan metode pengajaran bahasa yang berbeda dengan yang anda alami di sini.

BELAJAR BAHASA DI USIA TUA

Kalau orang tua sangat takut bahwa anak tidak akan bisa belajar bahasa Inggris pada usia yang lebih dewasa, saya ingin menjelaskan bahwa saya mulai belajar bahasa Indonesia dari "nol" pada umur 20 tahun. Anda bisa menilai sendiri kemampuan saya menggunakan bahasa Indonesia sekarang. Saat saya tiba di Indonesia pada tahun 2005 karena ada beasiswa untuk kuliah di Universitas Indonesia untuk satu tahun, umur saya sudah mencapai 24 tahun dan kemampuan bahasa saya kurang lebih sama dengan sekarang karena sudah belajar di Australia. (Mungkin saya sedikit lebih lancar sekarang karena sudah tinggal di Jakarta untuk 11 tahun). Beberapa tahun yang lalu, saya malah sering diberitahu ada logat Jawa karena orang yang berbicara dengan saya di telfon tidak percaya bahwa saya adalah orang asing - dianggap orang Jawa. (Sekarang logat itu sudah hilang).

Dia kampus saya di Australia dulu, ada seorang bapak yang sudah pensiunan, dan dia masuk kuliah supaya ada kegiatan. Dia mempelajari bahasa Indonesia di kelas bersama saya, dan saat mulai, umurnya adalah 60 tahun. Umurnya yang begitu lanjut memang sedikit mengganggu dia (cepat lupa kosa kata) tetapi tidak menjadi halangan besar. Hanya saja, dia tidak bisa hilangkan logat Skotlandia yang sangat tebal.

Orang remaja dan dewasa memang sanggup mempelajari bahasa dan menjadi lancar sekali. Anak berumur 12 tahun yang tidak pernah mempelajari bahasa Inggris (secara formal di kelas) insya Allah bisa menguasainya. Orang tua tidak perlu kuatir. Tidak perlu membuat anak stres dengan terlalu banyak memaksa dia menjadi 100% lancar sebelum tamat SD. Kecuali seluruh pelajaran di sekolah SMP-SMA nanti menggunakan bahasa Inggris sehingga anak yang tidak lancar saat tamat SD akan kena masalah. Kalau sekolah yang dituju memang seperti itu, maka mau tidak mau, anak harus dipaksakan lancar supaya bisa bertahan di SMP-SMA. Apakah anak akan senang dan bahagia dengan pilihan/paksaan orang tua ini?

Kalau anak anda belajar selama di SD dengan menggunakan L1 (bahasa Ibu) untuk mayoritas dari kelasnya, dengan L2 (bahasa asing) mendapat status "English For Fun" dan bukan "English for Understanding Maths and Science" dan baru mulai menambahkan lebih banyak L2 di Kelas 4, 5, 6, SMP dan SMA, insya Allah tidak akan menjadi halangan baginya untuk menjadi lancar dalam Bahasa Inggris dan juga Bahasa Indonesia karena justru itu yang terbukti dari riset. Yang penting adalah sistem pengajaran dan bukan umurnya (setelah dia menjadi lancar di L1, tentu saja).

Orang tua harus berpikir tentang apa yang lebih utama: bahasa Inggris atau ilmu akademisnya? Kalau bisa, orang tua pasti inginkan dua-duanya. Tetapi kalau salah satu harus "dikorbankan" untuk memastikan bahwa yang lain tidak terganggu, apakah lebih baik membela ilmu akademisnya atau kelancaran bahasa Inggrisnya?

[Bersambung]:

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 1/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 2/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/komentar-sekolah-swasta-bilingual-bag_10.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 3/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-35.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 4/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-45.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian 5/5
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-bag-55.html

Komentar Sekolah Swasta dan Bilingual - Bagian Appendix 
https://genenetto.blogspot.com/2007/03/sekolah-swasta-bilingual-appendix.html
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...