Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

14 August, 2007

Hukum nasyid dan musik


Pertanyaan:

apa hukumnya nasyid

abu abdillah

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahiem. Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. Wash-shalatu Was-Salamu `alaa Sayyidil Mursalin. Wa ba`d,

Pada dasarnya hukum lagu itu mubah, namun bisa menjadi makruh atau haram bila diperlakukan dengan cara tertentu.

Misalnya, bila lagu itu bisa melalaikan seseorang dari shalat dan zikir kepada Allah, maka para ulama sepakat untuk mengharamkannya.

Begitu juga bila naskah lagu itu berisi hal-hal yang munkar, ma`shiat, syirik dan keterlaluan dalam memuja manusia, kekasih atau benda, maka jelas diharamkan.

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:

1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.

2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.

3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.

Madzhab Maliki, asy-Syafi'i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru'ah. Adapun menurut asy-Syafi'i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya: "Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati".

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu'bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:

"Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR Bukhari)

Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:"Wahai Nafi, apakah engkau dengar?. Saya menjawab: "Ya". Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata : "Tidak". Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini? (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Artinya: Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini: "Gerhana, gempa dan fitnah." Berkata seseorang dari kaum muslimin: "Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?" Rasul menjawab: "Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan" (HR At-Tirmidzi).

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya.

Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.

Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama?ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola." Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi?i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja'far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya'bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:? Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:"Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam". Berkata Ibnu Zubair: "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang".

Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta'akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabiin menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur?an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara', maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara', maka dilarang.

Kedua: Alat Musik yang Digunakan.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

Ketiga: Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan) .

Kelima: Aspek Tasyabuh.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: "Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka" (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Keenam: Orang yang menyanyikan.

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

Artinya:"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik"(QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.

Wallahu A`lam Bish-Showab,

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Sumber: Syariah Online

12 August, 2007

Membahas Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di milis SD Islam

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Seperti biasa, saya setuju dengan komentar Pak Satria.

Kayanya saya sudah pernah jelaskan di sini tentang Toefl.

Tes Toefl ada dua macam sekarang: Paper Based Test - PBT (yang lama), terdiri dari mulitiple choice saja; dan NGT – New Generation Toefl (yang baru), yang juga menggunakan writing dan speaking, semuanya dikerjakan di computer dan diperiksa di Amerika lewat internet.

Kalau mau tes semua guru di sini untuk masuk SBI, maka harus ditentukan dulu tes yang mana yang dimaksudkan.

Kalau untuk NGT, saya yakin mayoritas dari guru dan juga warga Indonesia tidak bisa lulus dengan mudah, karena NGT ini adalah tes Toefl yang sangat sulit, di mana kita perlu kemampuan tinggi (mendekati Native Speaker) untuk lulus. Untuk persiapan, butuh waktu 1-2 tahun. Untuk tesnya, harus daftar di testing center dan bayar dalam bentuk dolar. Apakah Diknas siap lakukan itu?

Pilihan yang lebih cepat dan murah adalah paper-based test yang lama. Diperiksa langsung, mulitiple choice saja, lebih mudah untuk disebarkan ke kota2 lain.

Untuk PBT, orang yang tidak sanggup mengunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi bisa mendapatkan 550.

Fungsi saya sebagai guru Toefl dulu, bukan untuk mengajar bahasa Inggris, tapi malah untuk mengajar trik-trik yang menunjukkan dua jawaban yang pasti salah (dari ABCD). Dengan demikian, siswa bisa menebak karena hanya ada dua pilihan lagi. Ada banyak sekali murid saya dulu, yang tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, tapi setelah belajar bersama saya untuk 2 bulan, mendapat nilai 500, 550, dan bahkan 600 di PBT.

Tapi kalau saya bertanya “Hi budi, what did you do last weekend? Did you go anywhere special?”… dia tidak sanggup menjawab!

Saat dites untuk masuk General English (bukan Toefl) di ILP, ada yang hanya sebatas Basic 2, Basic 3 atau Intermediate 1, alias, mereka sangat TIDAK mahir. Tapi nilai Toeflnya 550 di paper based test!

Kalau mau mengajar anak science atau matematika, lebih baik pakai bahasa Ibunya. Kecuali program bahasanya mahir, gurunya native speaker, ada pembimbing dan bantuan untuk anak yang tidak cukup lancar, dsb.

Tapi saya tidak yakin bahwa semua itu bisa diadakan secara massal di sini.

**Karena kita ingin go international, mengajarkan science in english, maka mana lebih mudah mengkursuskan guru sains bahasa inggris atau menyekolahkan guru bahasa Inggris ke uni untuk pembekalan sains.

Dua-duanya kurang bagus. Yang paling bagus, guru sains yang lancar dalam bahasa Inggis.

**Bang satria dan anybody yang dapat membantu saya dalam penelitian yang berjudul: International Schools in Indonesia: Moderzining or Imperializing.***

Dua-duanya tepat. Seharusnya bukan memilih salah satu, tetapi menentukan berapa persen Modernizing dan berapa persen Imperializing.

**secara cultural mungkin kita akan kehilangan sebagian dari keindonesiaan ketika mulai menerapkan bahasa lain dalam sendi kehidupan kita. tetapi secara pengembangan kedepan, memahami bahasa inggris berarti memungkinkan anak anak kita untuk berbicara dengan jumlah manusia yang jauh lebih besar ketimbang "hanya" dengan bahasa indonesia.***

Pasti ada yang hilang dari budaya. Tapi bisa diatasi kalau guru dan orang tua tidak melihat bahwa bahasa Inggris adalah yang terpenting dari proses ini. Yang terpenting adalah anak menjadi pintar, bukan menjadi sanggup menggunakan bahasa Inggris, punya tindik dan tato, tapi agak bodoh. Ada banyak ilmu yang tersimpan dalam bentuk bahasa Inggris. Tetapi mengajarkan bahasa Inggris kepada anak tidak menjamin bahwa mereka mau atau akan mengakses ilmu itu. Adik kandung saya lancar dalam bahasa Inggris, sekolah di Selandia Baru dan Australia, tapi tidak menggunakan internet untuk melakukan riset. Kakak juga nggak. Bapak ibu juga nggak. Mayoritas dari sepupu juga nggak. So? Tidak ada jaminan bahwa orang yang bisa berbahasa Inggris akan pintar dan akan menuntut ilmu.

**One world country, dengan one single world community.***

This will never happen in our lifetime. Ada terlalu banyak halangan. Ini hanya sebuah mimpi.

**pada skala lebih kecil, apakah menggunakan bahasa indonesia pada oang orang kalimantan sebagai wujud dari imperialiasi terhadap suku suku lain dengan bahasa yang berbeda, atau sebuah modernisasi kesatuan negara indonesia.***

Dua-duanya benar.

**Decades? Uangnya siapa yang mau dihambur-hambur untuk percobaan
dan eksperimen awur-awuran macam begini in decades? Not our tax
payment of course.***

Dan setelah minimal 10% dicuri oleh anggota Diknas dan orang lain dalam pemerintahan kita, yang menggunakan uang korupsinya (pajak kita) untuk menyekolahkan anaknya di Australia dan Amerika.

**Makanya saya bilang bahwa sejak awal program ini sudah salah
konsep. …Pertanyaannya adalah, kenapa tidak bikin sekolah baru dengan guru-
guru yang memang pilihan dan dirancang untuk menuju standar
internasional? Jawabnya : Karena ini sulit. Apakah program SBI
dengan existing school lebih mudah? Tidak. Bahkan tidak mungkin
berhasil. Lho? Lantas...? Tapi kan ini cuma rintisan... cuma
experimen.... cuma coba-coba.... . Kalau berhasil ya Alhamdulillah!
kalau tidak ya, "Ups! We make a mistake!" :-)***

Setuju. Kalau ada yang tidak setuju, tolong lihat daftar pertanyaan saya di bahwa dan menjawab semuanya!

**so bottom line do not underestimate dulu lah.***

Justru wajar kalau kita sangat underestimate, karena kita punya bukti nyata dalam bentuk UN yang sangat rusak dan laporan Komisi X DPR yang menyatakan 4.6 TRILLION dicuri oleh orang Diknas pada tahun 2006. Kalau kita mentah2 percaya sama mereka, berarti kita orang bodoh!

**( TKI aja go international, mosok siswa kita kalah sih :-) )***

TKI bukan go internasional, tapi terpaksa tinggalkan anaknya di kampung, berangkat ke negara lain seperti Saudi, di mana dia bisa disiksa dan diperkosa, tanpa mendapat perlindungan hukum dan sosial, hanya karena dia sangat “desperate” dan tidak punya pilihan yang lain. Dia keluar karena pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja di sini, disebabkan mereka terlalu sibuk menghitung uang korupsinya, dan mengurus parpolnya. Ini sama sekali tidak bisa dianggap “go international”.

**kriteria go internasional adalah, bisa dan mampu go internasional***

Mampu artinya pandai.

Barangkali anak tertentu dinilai “kurang pandai” karena dia harus menjual majalah di warung sampai jam 10 malam. Dia tidak punya uang untuk belajar dengan tenang. Teman sekolahnya yang lebih kaya, dianggap lebih pintar (padahal tidak) dan mendapat kesempatan masuk SBI. Ini jelas tidak adil, dan dikerjakan dengan uang pajak kita semua.

**Btw, saya mo tanya, kriteria pemilihan anak untuk berhak masuk ke kelas internasional ini apa sih:??***

Punya koneksi. Bapaknya harus pejabat, orang kaya, pengusaha, komisaris, atau artis.

**kalau saya berani menduga, bahwa anak anak yang pandai dan bright yang ditawarkan ke kelas internasional.***

Pandai karena gurunya memberikan jawaban untuk tesnya, supaya banyak anak dari sekolah dia diterima di SBI. Berarti sekolah asalnya menjadi sekolah unggulan juga.

**Buat yang ndak masuk kelas internasional, tidak perlu kecil hati. Its time to see that many success are not always depend only on high achievement at school.***

Tapi pada saat mereka berusaha masuk Telkomsel dan bersaing langsung dengan anak yang lulus dari SBI, lalu anak biasa ditolak karena tidak bisa bahasa Inggris, dan tidak lulus GCSE, maka sangat dianjurkan untuk merasa sakit hati pada saat itu!!!

CONCLUSION:

Kalau ada yang ingin mendukung SBI, mohon baca pertanyaan2 ini dari saya dan menyediakan jawaban buat kita semua, didasari riset nyata, bukan sekedar berpendapat saja.

Di bawah ini saya kutip pertanyaan2 saya. Kalau mau baca artikel seluruhnya, silahkan ke sini:

“Sekolah Swasta & Bilingual Bag. 3/5”


MANA RISET/BUKTI ILMIAH TENTANG LULUSAN SEKOLAH SWASTA BILINGUAL INI?

Barangkali orang tua sudah tahu bahwa ada beberapa sekolah yang sudah lama menjalankan program Immersion/Bilingual di sini dengan tujuan membuat anak lancar dalam bahasa Inggris. Karena sekolah2 ini sudah lama berjalan, berarti jumlah lulusan mereka sudah banyak. Di mana mantan murid itu sekarang dan bagaimana keadaan mereka? Seorang ahli pendidikan akan mau tahu tentang hal ini, tetapi barangkali seorang ahli bisnis tidak akan peduli. Sebagai contoh tentang hal yang perlu kita ketahui adalah:

· Apakah lulusan ini (yang sudah dewasa) masih ada di Jakarta?

· Apakah mereka dikirim keluar negeri untuk kuliah?

· Apakah mereka sanggup kuliah di sini (karena keadaan pendidikan di universitas lokal barangkali sangat berbeda dengan pengalaman baik mereka waktu di sekolah swasta, sehingga mereka tidak tahan dan minta kuliah ke luar negeri)?

· Kalau kuliah di luar negeri sudah selesai, apakah semuanya atau mayoritas kembali ke Indonesia atau tetap di luar negeri karena sudah merasa lebih betah di sana?

· Bagaimana dengan kemampuan bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesianya sekarang?

· Apakah bahasa Inggrisnya lebih lancar, atau bahasa Indonesianya?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, bagaimana dampaknya terhadap orang yang harus bekerja di sini?

· Kalau bahasa Inggrisnya lebih lancar, apakah karena mereka sudah merasa lebih “normal” menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka memandang orang yang tidak bisa berbahasa Inggris sebagai orang “rendah” atau orang “biasa” dan bukan elit seperti mereka?

· Bagaimana pergaulan mereka dengan keluarga besar (kakek, nenek dsb.) yang tidak bisa menggunakan bahasa Inggris sama sekali?

· Apakah mereka merasa bangga dengan bahasa dan budaya Indonesia?

· Atau apakah bahasa dan budaya orang tuanya membuat mereka merasa malu?

· Kalau mereka kuliah di sini dengan menggunakan bahasa Indonesia apakah kemampuan bahasa Inggrisnya berkurang? Kalau iya, berapa jauh?

· Dan penurunan kualitas bahasa itu, bila ada, terjadi dalam jangka waktu berapa tahun?

· Kalau kemampuan bahasa Inggrisnya ternyata sudah turun secara drastis, apakah hal itu berarti sia-sia ribuan jam di SD-SMA hanya untuk belajar bahasa Inggris yang kemudian menjadi hilang?

· Bagaimana nilainya orang yang kuliah di sini dalam bahasa Inggris di universitas swasta?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di sini tetapi menggunakan bahasa Indonesia?

· Bagaimana nilainya dari yang kuliah di luar negeri dalam bahasa Inggris dan bersaing langsung dengan Native Speaker?

· Bagaimana nilainya tiga kelompok ini dibandingkan dengan nilai sebuah kelompok “kontrol” yang tidak pernah masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Nilai lebih tinggi di kelompok yang mana?

· Bagaimana keadaan psikologis semua lulusan ini?

· Apakah ada sebagian dari mereka yang mengalami perasaan tertekan, stres, depresi, dan gangguan emosional/psikologis yang lain disebabkan mereka merasa kehilangan citra diri (karena tidak suka budaya dan bahasa lokal, tetapi masih merasa sebagai orang Indonesia)?

· Kalau ada yang mengalami perasaan stres dan berbagai gangguan yang lain, berapa persen, untuk berapa lama, mulai berapa tahun setelah keluar dari sekolah?

· Apakah gangguan ini mempengaruhi hubungannya dengan suami atau isteri yang tidak bisa berbahasa Inggris karena dia lulus dari sekolah biasa?

· Kalau semua lulusan sekolah2 ini merasa ‘bahagia’, apakah mereka bisa dikatakan kurang, sama, atau lebih bahagia dari anak yang tidak masuk sekolah swasta yang menggunakan bahasa Inggris?

· Apakah mereka hanya bisa bahagia selama mendapatkan pekerjaan di luar negeri, atau di perusahaan asing di Indonesia, sehingga skil mereka dengan bahasa Inggris sangat dihargai?

· Kalau mereka terpaksa pindah ke perusahaan lokal yang tidak membutuhkan bahasa inggris, apakah mereka masih ‘bahagia’?

· Apakah mereka dipandang ‘elit’ oleh karyawan yang lain karena sering menjawab pertanyaan biasa dengan bahasa Inggris (karena sudah terbiasa begitu), sehingga mereka menjadi susah bergaul di kantor?

· Dan seterusnya!

“Sekolah Swasta & Bilingual Bag. 3/5”


Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

09 August, 2007

Allah Akan Memudahkan Urusan Orang Yang Membantu Saudaranya

Dari Abu Hurairah RA., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa yang meringankan penderitaan seorang Mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan penderitaan (kesulitan)nya kelak di hari Kiamat dan barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aib) nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama si hamba tersebut menolong saudaranya. Siapa saja yang menempuh suatu jalan guna mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tidaklah suatu kaum (kelompok) berkumpul di salah satu rumah Allah sembari membaca Kitabullah dan mengkajinya di antara sesama mereka melainkan ketenangan akan turun di tengah mereka, rahmat meliputi mereka dan malaikat mengelilingi mereka serta Allah akan menyebut mereka di sisi para malaikat. Siapa saja yang menjadi lamban karena amalnya (sehingga amal shalihnya menjadi kurang), maka tidak cukup baginya hanya (bermodalkan) nasab.”

(HR.Muslim)

Hati-hatilah Membaca ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar!”

[Kiriman dari seorang teman]

Hati-hatilah Membaca ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar!”

April 11th, 2007

Sebelum meninggalnya, Prof. Dr. Nurcholish Madjid tercatat sebagai pemimpin redaksi buku ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Redaktur Pelaksananya adalah Budhy Munawar Rachman dan Ihsan Ali Fauzi. Di dalam jajaran penulisnya, ada sejumlah nama yang cukup dikenal, seperti Kautsar Azhari Noer, Luthfie Assyaukanie, dan Nasaruddin Umar. Kamis (5/4/2007), tanpa sengaja, saya menemukan Ensiklopedi ini di rumah seorang teman di kawasan Cinere. Dia mengaku membeli buku itu untuk menyediakan informasi yang mudah seputar Islam buat putri-putrinya.

Karena penampilannya yang menarik, Ensiklopedi ini segera tidak saya lewatkan untuk menelaahnya. Ternyata, disamping memuat informasi yang bagus dan penting, ada banyak hal yang perlu dikritisi dari Ensiklopedi ini.Misalnya, dalam pembahasan tentang agama (Jilid I, hal.23), dikatakan bahwa ada teori lain tentang agama yang menyatakan, bahwa agama asli dan tertua adalah monoteisme, yang berasal dari wahyu Tuhan. Sejak zaman Nabi Adam as., manusia telah menganut monoteisme. Dinamisme, animisme, totemisme, politeisme, dan bentuk lainnya adalah penyelewengan dari monoteisme. Teori monoteisme ini dianut oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.

Jadi, dalam ketegorisasi tersebut, agama Yahudi, Kristen dan Islam dimasukkan dalam ketogori agama monoteis. Pada halaman yang sama juga ditulis: ”Sikh bisa disebut agama sinkretik karena didirikan untuk memadukan ajaan Hindu dan Islam.” Tetapi pada Jilid V hal. 93 ditulis: ”Salah satu agama monoteisme yang menggabungkan unsur-unsur Hindu dan Islam adalah Sikh.” Jadi, di sini pun, agama Sikh disebut agama monoteis.

Pada Jilid I hal. 22, diuraikan teori yang membagi agama ke dalam dua kelompok, yaitu agama samawi (agama langit) dan agama ardi (agama bumi). Agama samawi adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan, sedangkan agama ardi adalah agama hasil pemikiran manusia. Agama samawi disebut pula ”agama wahyu” dan agama ardi disebut pula ”agama alamiah”. Umumnya kaum muslim memandang bahwa agama samawi adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Adapun agama ardi meliputi antara lain Hindu, Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme.

Lalu, pada Jilid I hal. 25 diuraikan lagi tentang makna ’agama langit’, bahwa: ”Setiap agama yang memiliki kitab dapat dianggap sebagai ”agama langit” (samawi), dan penganutnya adalah ahlulkitab. Islam juga memiliki kitab (Al-Qur’an), namun tidak termasuk ahlulkitab dalam pengertian itu. Menurut para mufassir, ahlul kitab meliputi kaum Yahudi, Nasrani, Majusi (Zoroaster), dan Sabi’in (pengikut mistik Plato). Kini sebutan ahlulkitab diperluas hingga mencakup Hindu, Budha, Taoisme, dan Kong Hu Cu. Ini mendasari pemikiran Islam tentang kebebasan beragama, sekaligus dukungan atas pluralisme agama. Dari segi akidah, penganut agama selain ahlulkitab adalah musyrik.”

Jika kita telaah penjelasan-penjelasan itu, betapa rancunya penjelasan tentang makna dan kategorisasi ”agama samawi”, ”agama ardi” dan ”ahlulkitab” tersebut. Sebelumnya disebut, bahwa agama ardi meliputi Hindu, Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme. Lalu, dikatakan bahwa penganut agama samawi disebut sebagai ahlul kitab. Kemudian, dijelaskan bahwa ahlulkitab mencakup Hindu, Buddha, Taoisme, dan Kong Hu Cu. Jadi, yang mana yang benar? Tampak bahwa penulis ensiklopedi ini tidak punya konsep yang jelas tentang agama-agama dan main comot pendapat sana-sini tanpa pemikiran yang mendalam.

Ensiklopedi ini tidak menjelaskan ayat Al-Quran yang menyatakan: ”Sesungguhnya agama dalam pandangan Allah adalah Islam”. (QS 3:19). Juga, ”Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah, dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS 3:85). Juga, dilewatkan penjelasan Rasulullah saw bahwa makna ”al-maghdhub” dalam surat al-Fatihah adalah al-Yahuud dan ”al-dhaallin” adalah an-Nashara. Dalam pandangan Islam,”agama samawi” (agama wahyu), hanyalah Islam. Judaisme dan Kristen sekarang bukanlah agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa as.

Disamping itu, ada unsur manipulasi yang sangat tidak etis dengan menyebut, bahwa menurut para mufassir, ahlul kitab meliputi kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Sabi’in. Dan kini, sebutan itu diperluas hingga mencakup agama Buddha, Hindu, Taoisme, dan Kong Hu Cu. Penulis Ensiklopedi ini tidak menyebut, mufassir mana yang memiliki pendapat seperti itu. Padahal, pendapat yang melebarkan makna ahlulkitab selain untuk Yahudi dan Kristen adalah pendapat yang lemah, dan hanya sebagian kecil mufassir yang berpendapat seperti itu. Pendapat ini sudah begitu banyak dikritik oleh para ulama.

Kajian yang serius tentang Ahl Kitab telah dilakukan, misalnya, oleh Quraish Shihab dalam bukunya ”Wawasan Al-Quran” (1996:368) dan Dr. Muhammad Galib dalam bukunya ”Ahl Kitab Makna dan Cakupannya” (1998:36-37), yang juga diterbitkan oleh Paramadina. Buku Dr. M. Galib ini adalah disertasi doktornya di IAIN Ciputat. Setelah mengkaji berbagai ayat Al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama tentang masalah ini, mereka menyimpulkan bahwa istilah ”Ahl Kitab” memang lebih tepat hanya ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Semasa hidupnya, Nurcholish Madjid belum pernah menulis karya yang serius tentang masalah ini.

Tetapi, penulis Ensiklopedi ini berfantasi lebih jauh tentang ahlulkitab. Pada jilid III hal. 38 yang membahas tentang Islam dan agama lain, ditulis: ”Dalam Al-Qur’an, orang Yahudi dan Kristen disebut dengan ahlulkitab. Konsep ahlulkitab ini memberi petunjuk bahwa Islam tidak serta merta mengelompokkan orang-orang non-muslim sebagai kafir.” Pada jilid III hal. 70, yang membahas tentang makna KAFIR, lagi-lagi dibahas tentang ahlulkitab. Di sini dikatakan: ”Kaum ahlulkitab Yahudi dan Nasrani tidak termasuk dalam kelompok kafir walaupun mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam teologi Islam, mereka dimasukkan ke dalam golongan ahlulkitab yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang yang beriman.”

Kita tentu patut tercengang dengan penjelasan Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya tersebut, bahwa walaupun kaum Yahudi dan Kristen mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw, mereka tidak bisa disebut sebagai kafir, tetapi disebut sebagai ahlulkitab. Padahal, Al-Quran surat al-Bayyinah ayat 6 menjelaskan, ”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu seburuk-buruk makhluk.” (Terjemahan versi Departemen Agama RI).

Prof. Hamka menjelaskan ayat ini dalam Tafsir Al-Azhar: ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir (pangkal ayat 6). Yaitu orang-orang yang sengaja menolak, membohongkan dan memalsukan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. itu, padahal kalau mereka pakai akal yang sehat, tidak ada satu juapun yang dapat dibantah, sehingga mereka menolak itu hanya semata-mata karena dipengaruhi oleh hawa nafsu belaka; ” Dari ahlil kitab dan musyrikin itu. “Yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan musyrikin penyembah berhala.”

Lagipula begitu banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kekafiran kaum yang mengangkat Nabi Isa as. sebagai tuhan. QS al-Maidah ayat 72 menegaskan: “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan bahwa Allah ialah al-Masih Ibnu Maryam, padahal al-Masih sendiri berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.” Nabi Muhammad saw juga bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim).

Cara pandang pluralisme agama tampak cukup dominan dalam menjelaskan tentang agama-agama dalam Ensiklopedi ini. Itu, misalnya, bisa dilihat dalam penjelasan tentang ’pahala’. Pada Jilid IV hal. 117 ditulis: ”Pahala bersifat universal, dalam arti berlaku untuk semua umat beragama, tidak hanya umat Islam. Selama orang tersebut beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian, lalu mau berbuat kebaikan serta beramal saleh, maka dia akan menerima balasan atau ganjaran dari Allah SWT….(QS 2:62).”

Kita sudah paham, bahwa ayat tersebut sering disalahgunakan oleh kaum pluralis agama untuk menjustifikasi pandangan mereka. Padahal, manusia mana pun yang mau beriman kepada Allah SWT dan beribadah kepada-Nya dengan benar, pasti harus menerima dan mengimani kerasulan Muhammad saw. Bahkan, Rasyid Ridha menjelaskan, bagi kaum Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), maka ada lima syarat keselamatan, diantaranya (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Siapa pun yang beriman kepada Allah dengan benar dan beriman kepada Al-Qur'an maka dia sudah menjadi Muslim dan bagian dari umat Islam. Seyogyanya, Ensiklopedi ini tidak mengaburkan ajaran Islam yang sangat mendasar ini.

Dalam hal-hal yang mengarah kepada Pluralisme Agama, Ensiklopedi bersifat sangat jelas keberpihakannya. Tetapi, dalam berbagai hal lain, bersikap seolah-olah netral. Misalnya, ketika membahas tentang sekularisasi Kemal Ataturk di Turki. Pada Jilid I hal. 83 ditulis:

“Ataturk “menasionalisasikan” kandungan Al-Qur’an dan ibadah keagamaan dari bahasa Arab ke bahasa Turki. Kebijakan ini dianggap sebagian orang sebagai pencerahan keagamaan.” Juga ditulis: ”Setelah menjadi presiden Turki, Ataturk mengubah Turki menjadi negara sekuler dan menutup semua lembaga keagamaan Islam, termasuk sistem pendidikan agama tradisional. Selain itu, dalam upayanya untuk menyejajarkan budaya Turki dengan budaya Barat, ia menganjurkan agar rakyat Turki mengenakan pakaian Barat dan mencantumkan nama keluarga sebagaimana berlaku di Barat. Meskipun begitu, umat Islam tetap bebas melaksanakan ajaran agamanya.”

Tentu saja, penjelasan Ensiklopedi tentang sekularisasi Kemal Ataturk tersebut sangat tidak benar. Adalah dusta belaka jika penulis Ensiklopedi ini menyatakan, umat Islam bebas menjalankan agamanya di masa Kemal Ataturk. Kita bisa melihat kembali sejarah Turki. Untuk pertama kalinya secara resmi azan wajib dikumandangkan dalam bahasa Turki pada Januari 1932. Semula shalat juga diwajibkan dalam bahasa Turki, tetapi gagal dilaksanakan karena ditentang keras masyarakat Turki. Tahun 1933, pemerintah menyatakan, azan dalam bahasa Arab adalah pelanggaran. Tahun 1937, prinsip sekularisme dimasukkan ke dalam Kosntitusi Turki, sehingga resmilah Turki menjadi negara Republik sekular. Tahun 1930, pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah perkotaan, dan di sekolah-sekolah perdesaan pada tahun 1933. Pelajaran Bahasa Arab dan Persia dihapuskan pada tahun 1928. Pada tahun ini juga tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin.

Attaturk menjalankan pemerintahannya secara diktator. Ia tak segan-segan menghukum mati orang-orang yang enggan kepada pemerintahan Kemalis. Pada tanggal 13 Juli 1926, 15 orang digantung dimuka umum. Tahun 1930, 800 orang anti-Kemalis ditangkap dan dihukum mati. Tahun 1931, keluar peraturan yang melarang media massa mengeluarkan propaganda yang dianggap membahayakan pemerintahan Kemalis. Hingga kini, jilbab masih dilarang dikenakan di kantor-kantor pemerintah.

Jadi, apakah umat Islam bebas menjalankan agamanya di masa Kemal Ataturk, sebagaimana ditulis oleh Ensiklopedi ini? Jelas itu pernyataan bohong!!!

Demikianlah telaah kita tentang isi ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya. Sangat disayangkan, buku yang mengandung banyak informasi bagus seputar Islam dan peradaban Islam ini dicemari dengan sejumlah paham dan pemikiran yang keliru dan mengelirukan tentang Islam. Karena sudah menggunakan nama Islam, maka seyogyanya dilakukan klarifikasi serius oleh para pakar Islam dalam berbagai bidang sebelum Ensiklopedi ini diterbitkan.

Sayangnya, tahun 2001, Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar pun memberikan rekomendasinya. Begitu pula dengan Mendiknas A. Malik Fadjar. Mungkin mereka tidak membaca isinya dengan cermat. Karena Ensiklopedi ini sudah tersebar luas di tengah keluarga Muslim, kita hanya bisa berharap, agar para orang tua berhati-hati dalam menyuguhkan bacaan bagi putra-putrinya. Kita mengimbau, penerbit buku ini bisa merevisi sejumlah kekeliruan. Kasihan penerbitnya, karena mereka nanti harus bertanggung jawab di hadapan Allah. Tetapi, lebih baik lagi, jika para ulama dan cendekiawan Muslim segera menulis Ensiklopedi yang lebih baik daripada karya Nurcholish Madjid dan kawan-kawan tersebut.

[Depok, 6 April 2007/ www.hidayatullah.com ]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio

Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

28 July, 2007

Education budget

It's really great news that the education budget will be increased by 20 percent (The Jakarta Post, July 10). But on April 19, the Post reported that Rp 4.6 trillion (US$516.85 million) disappeared from the 2006 education budget.

So, will the extra funds be allocated for the improvement of severely under funded schools or will it go to corrupt government officials?

There are two things that I would be very interested in seeing. First is a comprehensive audit of all bank accounts owned by officials of the National Education Ministry and those owned by their family members. Second is an audit of where every child of every ministry employee goes (or went) to school or university.

I would be very interested to know just how many of these officials have large sums of money in their bank accounts, even though their salaries are quite low.

How many of them send their children to study at private schools or universities or even at overseas universities (after stealing taxpayer money), while they complain that the budget is too limited to make substantial reforms in the education system here?

If the President issued a decree ruling that all government officials, including ministers, have to send their children and grandchildren to state schools, we perhaps would see immediate and radical improvements in the quality and standards of national education.

GENE NETTO
Jakarta

Published in Jakarta Post on July 27, 2007

Keturunan Rasulullah dan Habaib

Assalamu'alaikum wr. Wb

Ustadz yang insya Alloh senantiasa diridhoi Alloh, saya mau tanya tentang keturunan rasululloh. Dalam bukuThe true love Muhammad "Khadijah" ada ungkapan bahwa keturunan rasululloh dapat ditemukan dengan mudah saat ini.

Dansejak dulu khususnya dikalangan betawi bahwa para habaib diyakini sebagai keturunan rasululloh, sementara saya pernah mendengar bahwa keturunan rasululloh telah berakhir sampai dengan cucu-cucu beliau yaitu Hasan dan Husein. Mohon penjelasan ustadz untuk masalah ini.

Terima kasih.

Abu Hanif

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Keturunan Rasulullah SAW bisa berarti sangat luas, termasuk para habaib juga termasuk di dalamnya. Sebenarnya mereka berasal dari Yaman, bukan dari Makkah atau Madinah.

Bahkan para pemeluk syiah di Iran, Lebanon dan lainnya pun termasuk keturunan beliau SAW.

Klaim-klaim seperti itu boleh boleh saja, tidak ada yang melarangnya. Asalkan masing-masing bisa mempertanggung-jawabkannya, baik kepada sesama manusia, apalagi kepada Allah.

Kita tidak perlu menghujat atau melecehkan mereka yang mengaku sebagai keturunan Nabi, sebab siapa tahu memang benar. Dan kalau ternyata salah, tentu saja mereka harus mempertanggung-jawabkannya.

Yang lebih penting untuk diingat, meski punya derajat tersendiri dan status sosial yang khusus di tengah masyarakat Islam, namun dalam pandangan hukum dan syariah, tidak ada bedanya antara keturunan nabi atau bukan.

Tidak pernah ada misalnya, kalau keturunan nabi lantas punya fasilitas untuk boleh tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, boleh tidak bayar zakat atau tidak wajib mengerjakan haji. Itu tidak berlaku.

Seorang anak habib juga tetap terkena larangan-larangan yang berlaku buat anak Paijo dan Paimin yang orang Jawa koek. Anak habib tetap diharamkan membuka aurat, mencuri, menipu, berzina, membunuh, berbohong, minum khamar dan semua larangan yang berlaku untuk semua muslim.

Kalau ada anak habib mengaku keturunan nabi Muhammad SAW yang ke-100 misalnya, tetapi kelakuannya lebih mirip keturunan Abu Jahal, maka selain berdosa, dia juga telah mempermalukan diri Rasulullah SAW secara pribadi dan langsung.

Kalau ada tokoh yang disegani mengaku keturunan nabi, tetapi doyan menjalankan hal-hal syirik, berpraktek seperti dukun, menggunakan jin dan segala hal yang berbau syirik, maka dia bukan keturunan nabi lagi. Orang seperti ini tidak perlu dihormati, sebab dia telah menipu orang lain.

Kalau ada orang yang mengaku sebagai keturunan arab, hidung mancung, rambut keriting, lengkap dengan nama keluarganya yang nasabnya bersambung kepada nabi Muhammad SAW, tetapi pekerjaannya mencela orang, mencari-cari kesalahan orang, memaki, menghujat, menuduh kafir atau ahli bid'ah, maka orang seperti ini telah mencaci maki diri sendiri.

Kalau ada kelompok mengaku sebagai ahli bait Rasulullah SAW, tetapi ingkar kepada hadits-hadits nabawi, mencaci maki para shahabat nabi, wabil khusus Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu 'anhum, maka mereka bukan ahlul bait. Sebab belum pernah ada ahlul bait di zaman ketiga khalifah ini hidup yang mencaci maki para shahabat nabi yang mulia.

Yang kerjanya mencaci maki para shahabat yang mulia adalah kalangan zindiq yang berasal dari keturunan Persia, mereka terpaksa masuk ISlam setelah kerajaan mereka ditumbangkan oleh para pahlawan Islam. Di dalam keIslamanan mereka yang pura-pura itulah mereka memainkan peran busuk dan kotor, yaitu menghasud umat Islam sambil mengobarkan api kebencian. Sehingga terjadilah perang Jamal dan Shiffin serta fitnah kubro yang sempat mencoreng sejarah.

Lalu muncul kalangan yang menyimpang dari manhaj yang lurus, kerjanya memaki-maki para shahabat nabi serta memuja-muja ahlul bait. Kemudian berkembang membuat aliran aqidah sendiri yang menyimpang jauh dari apa yang diajarkan oleh Rasululah SAW. Mereka ingkar kepada Al-Quran dan membuat mushaf sendiri. Sampai mereka mengklaim bahwa Jibril salah menurunkan wahyu, seharusnya kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan kepada Muhammad, nauzdu billahi min zalik.

Wallahi, mereka bukan keturunan nabi SAW. Mereka adalah para zindiq yang menyamar menjadi muslim. Siapa pun yang berkelakuan seperti ini, mereka pasti bukan keturunan nabi Muhammad SAW.

Bahkan meski anak kandung seorang nabi langsung, namun bila kelakuannya justru bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh sang nabi, maka dia dianggap bukan keturunan nabi. Persis seperti pernyataan Allah SWT kepada anak kandung nabi Nuh alaihissalam yang durhaka.

Allah berfirman, "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya nya perbuatan yang tidak baik."(QS. Huud: 47)

Tetapi kalau ada seorang alim yang ilmunya mendalam dan luas, kemampuannya dalam ilmu syariah, tafsir, hadits dan lainnya diakui dunia international, kebetulan secara nasab beliau dinisbahkan kepada sulalah (keturunan) nabi Muhammad SAW, maka wajiblah kita menghormatinya. Pertama, kita menghormati ilmunya. Kedua, kita menghormati keturunannya.

Ulama betawi di zaman dahulu berguru dan mengaji kepada para ulama besar yang kebetulan memang keturunan nabi. Bukan semata-mata keturunannya, tetapi karena ilmunya. Habib-habib di Kwitang adalah salah satu yang bisa kita sebut sebagai soko guru, sumber pertama, sanad awal dari ajaran-ajaran agama Islam yang berkembang di Jakarta dan sekitarnya.

Saat itu, habib di Kwitang bukan sekedar orang yang mengaku anak keturunan nabi, tetapi beliau punya ilmu yang dalam dan luas. Kepada beliau, para kiyai dan ulama se Jakarta belajar. Ilmunya berkah dan kemudian berkembang menjadi ribuan majelis taklim, madrasah, pesantren serta ribuan masjid se Jakarta. Itulah tipologi keturunan nabi yang lurus, berkah dan benar.

Tetapi keturunan arab yang jadi bandarjudi, preman pasar, jagoan alkohol, tukang palak, tukang tipu, makelar tanah dan sebagainya juga banyak. Mereka seharusnya malu kalau mengaku-ngaku sebagai anak keturunan nabi.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: Eramuslim

22 July, 2007

Dua Bab Pertama (Indonesia dan Inggris)


Assalamu'alaikum wr.wb.,

Sekarang, dua bab pertama dari buku saya sudah ada di Blog dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kedua Bab ini sudah direvisi juga dan ada banyak paragraf baru di Bab 2.

Insya Allah buku pertama ini akan diselesaikan dalam 2 bulan lagi.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Mencari Tuhan, Menemukan Allah (belum terbit)

Bab 1: Saya

http://genenetto.blogspot.com/2006/04/saya.html

Bab 2: Ingin Melihat Tuhan

http://genenetto.blogspot.com/2006/04/ingin-melihat-tuhan.html

Searching For God and Finding Allah (unpublished)

Chapter 1: About Me

http://genenetto.blogspot.com/2007/07/about-me.html

Chapter 2: Wanting To See God

http://genenetto.blogspot.com/2007/07/wanting-to-see-god.html

18 July, 2007

How I Became A Muslim And Why I Wrote This Book

Assalamu’alaikum wr.wb. This is the First Chapter of my book “Searching for God and Finding Allah”. I hope you find it useful. Wassalamu’alaikum wr.wb.
- Gene Netto

[October 2019 – Latest Draft]

SEARCHING FOR GOD AND FINDING ALLAH

CONTENTS
1. HOW I BECAME A MUSLIM AND WHY I WROTE THIS BOOK
2. A SUCCESSION OF PROPHETS
3. A SIGN FROM GOD
4. FOLLOWERS OF JESUS
5. FOLLOWERS OF JESUS AND FOLLOWERS OF MUHAMMAD
6. THE TRUTH OF ISLAM
7. THIS IS WHAT ALMIGHTY GOD SAYS ABOUT THE HOLY QUR'AN
8. A LOGICAL RELIGION
9. A LOGICAL REASON WHY WE CANNOT SEE GOD
10. OUR SPIRITUAL NEEDS AND GOD'S SOLUTION
11. IT IS YOUR CHOICE: YOU CAN ACCEPT GOD OR REJECT HIM
12. CONCLUSION: THIS IS THE END. OR THE BEGINNING.

******************

1. How I Became A Muslim And Why I Wrote This Book

I began writing this chapter because I was always telling the same stories to people in Indonesia who were curious about how I became a Muslim. Whenever I complained about repeating the same story, my friends jokingly said that I should write a book. At the same time, whenever my students asked what I would like to do if I was not an English teacher, then I usually said that I would like to be a writer because I have always enjoyed reading and writing.

I have been living in Jakarta continuously since 1995, so most of my conversations are in Indonesian language, and I always get asked the same questions: How did I become a Muslim? How did I learn to speak Indonesian so well? And why do I live in Indonesia? Like all developing countries, there are many problems in Indonesia, and so some people are confused about why a westerner would choose to live here.

The reason is simple. Other Muslims often comment that my way of explaining Islam is very different to what they usually hear. They were born as Muslims whereas I spent 5 years examining the teachings of Islam in order to make sure that Islam was correct and logical. They just accepted what their parents told them, but I questioned absolutely everything, continuously analyzing Islam with logic, and always asking, "Why?" Many Muslims only pray because their parents told them to do it, and so they believe that Islam is correct, but they did not analyze what they were doing or why. That difference in our approaches to religion made my understanding of Islam seem very unique to them.

Because I explained Islam in a different way, I often felt that perhaps I had an important job to do in Indonesia. I could speak the language and express my ideas clearly, and my explanations about Islam often had a strong impact on many people. For example, one Muslim man who had not prayed for 30 years suddenly started performing the five daily prayers again after only one conversation with me. And that is what normally happens every time I have that same conversation with each new person. So, I decided that I should stay in Indonesia and try to develop and improve the Muslim community rather than seek a comfortable life for myself in a developed country.

In this chapter, I will explain how I went through the slow process of becoming a Muslim, but this is only for the benefit of readers who are curious about my background. After this chapter, the remainder of the book is not about me, but rather it is focused on my analysis of Christianity and Islam. I explain why I consider Christianity unacceptable from a logical perspective and explain that Islam is a religion based on clear, logical, and intelligent teachings. This means that Islam should appeal to everyone who is trying to understand the meaning of life, as long as logic and intelligence are used to search for an Absolute Truth that could only come from Almighty God.


1.1. In the Beginning

I was born in a small city in New Zealand (which is a small country near Australia). As a child, I was very curious and wanted to learn about a lot of serious topics: the pyramids, dinosaurs, ancient civilizations, world history, global politics, wars, religion, and the whole universe. I remember staring at the stars in the sky one night and thinking about where they came from and how long they had been there. So, I was generally interested in topics that were complicated and mysterious.

Like most kids, I had to learn about Christianity in Sunday School, and I was taught all of the standard Bible stories about Adam, Noah, Abraham, Moses, Jesus, and so on. However, I found a lot of things in Christianity very confusing. I was taught about the Trinity, which says that Almighty God is also Jesus, and also the Holy Spirit. All three of them are God, but there is only one God, not three gods, because they are "one", but also separate. God created Himself as a human being named Jesus, and that man was the Son of God, and also God, at the same time. Then Jesus died, but God is immortal, so God should not be able to die, but that man who was also God did in fact die, even though he could not die, because he was also God. So, were God and Jesus separated at that time so that Jesus could die without God dying as well? Or did God also die when Jesus died because they are "one" and cannot be separated? And if God was also dead, then who brought Jesus back to life? Trying to understand all of that using simple logic made me feel that Christianity was extremely confusing.

I also had difficulty understanding the role of a Catholic Priest in forgiving people for their sins, without first discussing that matter with God. What if the priest got it wrong and my sins were not erased? Could I get some written proof from God that my sins had been forgiven? What if I met God on Judgment Day and found out that the priest had made a mistake, and all of my sins still existed? If I protested, and pointed to the priest who had convinced me that all of my sins were forgiven, then God could simply ask me, "Who told you to believe him?" So, who would save me from God's Wrath if the priest was wrong and my sins were still counted by God?

Because Christianity seemed so illogical, I began to think about how I could get clear answers to all of the religious questions that were bothering me, and so I decided that I would have to speak directly to God. I prayed to God, and I asked Him to appear in my bedroom so that I could see Him with my own eyes. Of course, nothing happened, and God did not appear. I concluded that the reason He did not appear was that He did not really exist, and so I decided to become an atheist and not believe in any gods at all.
After that, I did not talk much about the fact that I was an atheist. If anyone asked me what religion I was, then I just said "Catholic" so that I did not have to explain anything. During the rest of elementary school, junior high school, and high school, I ignored Christianity and all other religions. I was certain that studying religion was a waste of time because God was not real, and all religions were illogical. After I finished high school, my parents decided to move to Australia, and so I went with them.


1.2. Learning About Islam and Becoming a Muslim

In Australia, I went to university and started learning Indonesian language in the Faculty of Asian and International Studies. One day, at a social event, a Muslim man from Indonesia started chatting with me about religion, and then he really shocked me when he said, "In Islam, only God can forgive you for your sins!" I did not know what to say. I just froze, and time seemed to stand still for several seconds. Then, I suddenly realized that he had given me a logical answer to a question that I had been thinking about for more than ten years. In Islam, only Almighty God could forgive us for our sins, without the involvement of any priests. That seemed completely logical, but it also had to be impossible because I had already studied every religion in the world when I was in elementary school, and so I was certain that there was no such thing as a "logical religion".

I started to think more deeply. Could Islam be a logical religion, with clear, logical teachings that I could analyze critically, without getting confused? Could Islam give me real answers to my questions about religion? Could there be Absolute Truth in Islam? This is how I started studying Islam, after one comment from a stranger. I began to read books about Islam and started talking with Indonesian Muslims. Slowly, I built up more and more knowledge by asking questions, thinking, and reading. I wanted to find out if Islam was really a logical religion, and if it was, then what would that mean about the possible existence of Almighty God?

When I finished my Bachelor of Arts degree, I studied for an extra year to get a Graduate Diploma of Education, which made me a foreign language and history teacher. Then, I received a scholarship to study for one year at the University of Indonesia in Jakarta, in 1995. Soon after I arrived, the fasting month of Ramadan started. One night, I stayed up late to watch the Tarawih prayers live on television, as they were being performed in Mecca. (Tarawih prayers are special optional prayers that are only performed in the evenings during Ramadan.) The Indonesian commentators said that approximately 3 million Muslims were performing the prayers in the mosque and surrounding areas, which included the outdoor courtyard, nearby streets, and even hotel lobbies.

Three million people, in the same location, doing the same prayer, facing the same direction, following the same leader, praying in the same language, with the same words, at the same time, and praying to the same God. I thought to myself, "Where is there anything like this in a western country?" Only about one hundred thousand people would fit into a stadium to watch a football match. But now, I was looking at three million people in and around one building, all moving in unison. It was a truly amazing sight to see for a non-Muslim atheist. I wondered about how many people could gather in one building to hear the Pope speak, and if everyone would be able to understand him because there is no unifying language for Christians. It seemed that there was no comparison in Christianity with what I saw those Muslims doing in Mecca.

While living in Jakarta in 1995, I continued to learn slowly about Islam, not in a formal way, but just by paying attention to what I saw around me. I watched speeches on television and thought about what those Muslim scholars were saying. I bought some books about Islam and read them carefully with a critical mind. I watched people praying and thought about what they were doing and why. From the basic knowledge of Islam that I had developed, I could not see any significant problems with the teachings of Islam, and by the end of 1995, I was finding it harder and harder to refuse what I had learned. I was constantly searching for large, serious, logical flaws in the basic teachings of Islam, but I could not find any. Islam seemed to be a simple, clear, logical, and law-based religion that I thought would appeal to any intelligent mind.

Everything that I had read about Islam was too logical. Islam could not have been created by human beings, so therefore it must have come from God, so therefore God must exist. But I was still an atheist and not sure if I could ever believe in God. Then, a friend suggested that I should just try praying to God and ask Him to help me believe in Him and believe in Islam. So, I tried praying to God, not expecting anything to happen, but then a few days later, I suddenly started to believe. I did not really want to become a Muslim, but I could not deny what I had learned about Islam, and so I felt that I had no choice: I had to become a Muslim because my logical brain was forcing me to accept Islam.

Then I started to think about my future. My time at the University of Indonesia was almost over, and I would have to go back to Australia. But how could I learn about Islam there? It seemed that staying in Indonesia was a better choice, and so I decided to become a Muslim and live in Indonesia for a while in order to learn about Islam more easily.

In February 1996, I said the shahada (the Islamic Declaration of Faith) and formally became a Muslim. I could have easily gone back to my life in Australia, but I felt more comfortable staying in Indonesia so that I could study Islam in a Muslim community. So, I have been living and working continuously in Jakarta from 1995 until now. I have thought about moving to other countries several times, but every time I decide to leave, something always happens to make me change my mind, and I end up staying here.


1.3. What Is the Purpose of This Book?

I wrote this book because I wanted to explain some elements of Christianity and Islam that I have spent many years analyzing and trying to understand, and I hope that this information will be useful for others. As a child, I gave up on Christianity because I found it too illogical, and I could not find any books that presented an alternative religion with logical teachings as a fundamental basis of the religion. So, I gave up on all religions and gave up on Almighty God as well, and I have met many people who experienced the same problem. I hope that this book will help those people find the answers that they have been looking for all of their lives because I believe that logical answers to all of our important questions can be found within Islam.

This book was designed to be useful for various groups of people. First, for those people who were born as Muslims and do not know much about Christianity. Some Muslims find it hard to explain to their non-Muslim friends why Christian teachings are rejected in Islam, so I would like to make it clear for them. Second, for Muslims who are not devout or might be considering converting to Christianity (or have already done so). Hopefully, the explanations provided here will make it clear why they should study Islam more deeply rather than look for another religion. Third, for ex-Christians who are thinking about converting to Islam but are still unsure about the similarities and differences between both religions. And fourth, for non-devout Christians and ex-Christians who do not have a relationship with the Church. Those people probably still believe in Almighty God but do not understand the connection between Christianity and Islam. Most people probably do not know that, according to Islamic teachings, the religion of Islam is simply the continuation of Christianity and Judaism in a new format, that Muhammad PBUH is simply the replacement for Jesus, Moses, and Abraham, and that Muhammad PBUH is the Final Messenger from Almighty God to all of mankind.

I have met some Muslims who are uncertain about their religion, and this was usually the result of a poor religious education in their childhood. Some of them might only pray whenever they feel like it (instead of five times a day), some might not pray at all, some might essentially feel like atheists or agnostics but will still call themselves Muslims for social reasons, and some of them might have become interested in Christianity. For all of those Muslims, the underlying cause of their problem is essentially the same: they do not really understand Islam because it was never explained to them very well.

Whenever I meet Muslims like that, it is obvious that they do not understand much about Islam or Christianity, and so they are usually interested in my analysis of both religions. I hope that after reading this book those Muslims will feel more confident in remaining with Islam and will begin to seek more in-depth knowledge about Islam from numerous sources. I also hope that ex-Christians who have left the Church, but still believe in God, will find ideas here that will encourage them to seriously investigate Islam with an open mind. Once they have learned more about Islam and understand that Islam is just an updated version of the same religion that was given to Jesus, Moses, Abraham, and all of the other prophets of God, then I hope that they will be in a better position to understand how Islam relates to the Almighty God that they already believe in. If any non-devout Christians or ex-Christians read this book and become interested in Islam, then I hope that they will continue to look for more information about the basic teachings of Islam from other sources.

46. And do not argue with the People of the Scripture [Jews and Christians] except in a way that is best, except for those who commit injustice among them, and say, "We believe in that which has been revealed to us and revealed to you. And our God and your God is one; and we are Muslims [in submission] to Him."
- (Al-Qur'an, Al-Ankabut 29:46)

I would like to make it clear that this book was not written with the intention of insulting Christians or Christianity. Although Christians may not like what I have said about their religion, I have tried to give thoughtful, academic arguments and not emotional ones. Islam teaches Muslims to avoid insulting other religions because the followers of those religions might respond by insulting Almighty God (Allah).

108. And do not insult those they invoke other than Allah, lest they insult Allah in enmity without knowledge. Thus, We have made pleasing to every community their deeds. Then to their Lord is their return, and He will inform them about what they used to do.
- (Al-Qur'an, Al-An'am 6:108)

Please note that this book does not explain everything about Christianity or Islam. After many years of studying both religions, I have thought very carefully about how to explain the differences between Christianity and Islam, and so I have presented some ideas here that may help people who are trying to understand both religions in a logical way. Because my intention is to focus only on what is wrong with Christianity, and what is right with Islam, there are certain topics that I do not discuss at all. For example, there is no chapter that discusses the existence of Almighty God, and I just assume that the reader is already familiar with basic monotheistic concepts, such as the existence of God, prophets, holy books, angels, the Devil, Heaven, Hell, and so on.


1.4. All Human Beings Can Be Good or Bad

After being a Muslim for many years, I can honestly say that it has been an interesting experience with many good and bad points. I have seen wonderful human beings who behave in a noble way because they are Muslims, as well as Muslims who do not care about their religion and do not care if their negative behavior is against the teachings of Islam and hurts other people. I have seen Muslims who are kind, caring, honest, sincere, thoughtful, intelligent, generous, and loving, as well as Muslims who are the exact opposite, and this is true in every religion because human beings can choose to behave in any way they like, regardless of what religion they follow.

Unfortunately, the modern media seems to make it hard for non-Muslims to see anything except hatred, death, and destruction when information about Muslims and Islam is presented to the public. Of course, there are Muslims who carry out acts of violence, but violence is not exclusive to Muslims, and the kindness of good Muslims usually does not become a news story because no one dies, and nothing explodes! So, the small number of Muslims who appear in the news because of their negative actions do not represent the majority of good Muslims who lead an ordinary, peaceful life, go to school, go to work, get married, raise their children, and worship God in the way that they believe is correct.

But there is also another perspective to consider. If Muslims were to think of themselves as "salespeople", and the product that they are "selling" is "Islam", then it is very obvious that most people in the world are not interested in "buying" what Muslims are "selling". In other words, a lot of Muslims are not very good at "marketing Islam" so that it can be easily accepted by others. If someone from a developed country wants to debate with me about the Truth of Islam, then he only has to point out the numerous problems (such as corruption) in Indonesia and other countries with a Muslim-majority population and say, "Doesn't this prove that your religion is no good?" Of course, what he is pointing at is human behavior and not part of Islam, but convincing him of that is quite difficult because his next question will be, "If that behavior is forbidden in your religion, then why is it so common in those countries?"

The answer is that no matter what God tells us to do, many human beings will not obey Him. The best example is the Prophet Adam, who was only forbidden to do one thing: eat the forbidden fruit. So, guess what Adam did? Yes, that is correct! With only one rule to break, Adam, a prophet of Almighty God, managed to disobey Him! We are no different to Adam. But many people in this modern era will quickly judge Islam based on the behavior of some violent and aggressive Muslims that are presented negatively in the media, and so it is easy for "Islam" to get a bad reputation because some Muslims do in fact behave quite badly. And there are some Christians, Buddhists, Hindus, and followers of every other religion who behave badly as well.

So, I think that those of us who are Muslims have an obligation to explain Islam in the best way possible to others who want to understand it, and the easiest way for us to do that is to demonstrate the Truth of Islam through our own good behavior. If we can do that, then other people may begin to think more favorably about Islam because they will see the correctness of Islam portrayed through our own actions. In addition to that, we need to explain very clearly why we believe in Islam and explain what Islam teaches about other religions, especially Christianity, which is the closest monotheistic religion to Islam. In order to do that, Muslims must understand the problems with Christianity from an Islamic perspective so that they can have a constructive discussion about both religions, which does not involve negative emotions or hatred. If we can succeed in "marketing Islam" in this way, then Islam may end up with fewer enemies and a lot more friends.

In the following chapters, I will try to explain clearly what Islam teaches about the problems with Christianity and then explain why Muslims consider Islam to be the only correct religion available from Almighty God. I hope you will find the journey enlightening!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...