Assalamu’alaikum wr.wb.,Bismillah
hirrahman nirrahim.
Di sering menyatakan bahwa saya belum menemukan sekolah Islam
yang bagus di Indonesia. Seorang ibu kirim email kepada saya dan menyatakan
kaget. Dia minta saya menjelaskan kenapa pendapat saya seperti itu.
Artikel ini saya buat untuk menjelaskan pandangan saya
terhadap sekolah swasta di Jakarta, Islam dan sekular, yang didasarkan
pengalaman pribadi saya. Maaf, artikel ini agak panjang, tetapi saya sengaja
membuatnya begitu supaya menjadi referensi yang lebih jelas dan akurat bagi
para orang tua.
Kualifikasi saya
Supaya percaya dengan apa yang saya katakan, saya mau
jelaskan kualifikasi saya dulu:
Saya seorang guru bahasa dan sejarah (Language and History
teacher) dengan gelar Bachelor of Arts dan Graduate Diploma of Education dari
Universitas Griffith di Brisbane, Australia. Sekarang saya sudah berpengalaman
10 tahun mengajar di kelas, baik di kursus bahasa Inggris maupun di sekolah
swasta, juga les privat dan bentuk training yang lain. Sebagai pengamat
pendidikan (hobi saya), saya sering membaca artikel dan berita tentang
pendikikan, baik dari Indonesia maupun dari manca negara. Sudah beberapa kali
saya melakukan kunjungan sekolah di DKI untuk menganalisa sekolah tersebut,
baik karena ada permintaan dari orang tua atau teman, atau karena ada
permintaan dari yayasan, atau karena saya sendiri ingin melihat sekolah itu.
Hasilnya (laporan) biasanya diberikan secara lisan, tapi juga ada yang secara
tertulis untuk anggota yayasan. Saya sudah melakukan Teacher Training untuk
beberapa sekolah, dan juga untuk Pusdiklat DKI (melatihkan guru-guru SD).
Yang pernah saya lakukan sebagai seorang guru:
Mengajar bahasa Inggris di semua tingkat dari TK sampai
dewasa, dari Foundation sampai TOEFL dan FCE.; melakukan Teacher Training;
membimbing guru junior; menasihati kepala sekolah tentang masalah pendidikan
dan masalah karyawan; membuat kurikulum bahasa Inggris untuk kursus bahasa
Inggris dan sekolah swasta; membuat bahan dan ujian untuk murid di kursus dan
sekolah swasta; melakukan Motivational Training untuk guru dan murid; membuat
program Academic Writing untuk beberapa universitas di Indonesia dengan funding
dari Ford Foundation; dan memeriksa dan menganalisa sekolah untuk menilai
kualitasnya, termasuk “interview” para guru.
Saya pernah ditawarkan posisi sebagai: guru bahasa Inggris di
beberapa sekolah swasta dan kursus; Kepala Sekolah di beberapa lokasi; Head of
English Department (Binus High School, Simprug); Manager of English Services
(Bina Nusantara University); dosen bahasa Inggris (Swiss German University,
Serpong).
Sebagian besar dari tawaran ini tidak diterima karena
beberapa alasan (gaji, lokasi, masalah dengan managemen, atau masalah dengan
“job description”).
Insya Allah, semua pengalaman ini menjadi landasan yang cukup
baik bagi saya untuk menganalisa sebuah sekolah dengan cara profesional.
Masalah Dengan Sekolah Di
Indonesia
Masalah utama dengan sekolah swasta adalah tujuannya.
Kebanyakan adalah bisnis yang dibangun oleh pengusaha yang tidak memiliki latar
belakang pendikikan. Pada saat mereka mendirikan sekolah, mereka melihat bahwa
orang lain sudah mendirikan sekolah dan menghasilkan profit besar, sampai ada
yang membuat franchise sekolah (bukan cabang). Dengan demikian, sekolah menjadi
sama dengan Starbucks atau Breadtalk: hanya sebuah bisnis yang menghasilkan
profit bagi pemiliknya. Saya pernah mendengar seorang pemilik sekolah menyatakan
dengan senyuman lebar dan dengan rasa bangga bahwa dia sudah break even (balik
modal) dalam 4 tahun saja! Saya tidak paham kenapa hal itu membuatnya bangga.
Saya
tidak berniat menjelekkan nama semua sekolah swasta atau semua guru yang kerja
di sekolah itu. Ada masalah yang prinsip, dan ada masalah biasa. Semuanya
memberi tanda bahwa sekolah tersebut tidak terfokus pada pendidikan seperti
semestinya, dan bisa diperbaiki lagi, akan tetapi hal itu jarang terjadi,
karena si pengusaha sebagai pemilik tidak melihat ada masalah sama sekali
(“Profit tetap tinggi kok! Berarti orang tua puas! Kenapa harus diubah?”)
Sekolah Islam
Sekolah Islam tidak lepas dari masalah binis ini. Seringkali,
yang diutamakan adalah profit untuk yayasan dan bukan kualitas guru atau
kualitas pendidikan. Karena stok murid besar, sekolah bisa cuek pada kualitas
sekolah dan tetap ada orang tua baru yang mau bayar mahal untuk daftarkan
anaknya pada tahun berikut.
Yang
sering terjadi, orang dewasa yang menjadi guru bukan orang yang kuliah
pendidikan (lulusan IKIP, misalnya) tetapi orang mana saja yang bisa berbahasa
Inggris karena ini yang dijual kepada orang tua: “Kita sekolah bilingual lho!”
Saya pernah menemukan orang dengan gelar ekonomi, akutansi, finance, psikologi,
hukum, sastra, linguistik, dan lain lain yang bekerja sebagai guru di sekolah
swasta di Jakarta. Bahkan ada seorang apoteker. Saya bertanya kenapa dia bisa
masuk sekolah, dia menjawab karena tidak ada pekerjaan lain, dan karena dia
bisa berbahasa Inggris. Ini merupakan kegagalan sekolah untuk mendapatkan ahli
pendidikan yang profesional.
Mungkin
semua orang senang dengan [nama sekolah dihapus], salah satu sekolah Islam
terkemuka di Indonesia. Sekarang, ada anak teman yang masuk TK sekolah
tersebut. Guru anak itu membuat ibunya stres karena selalu mengeluh bahwa si
anak “tidak bisa menulis dengan rapi”.
Pada umur 5,5 tahun tidak ada
kewajiban untuk menulis dengan rapi! Seharusnya guru senang bahwa seorang anak laki-laki mau
menulis daripada lari-lari terus. Ini sangat aneh. Pada umur ini, kemampuan
motorik halus sedang berkembang. Seharusnya tidak ada orang (baik orang tua
maupun guru) yang mewajibkan anak menulis dengan rapi pada umur ini. Dan
seharusnya hal ini tidak menjadi salah satu hal yang dicermati guru, apalagi
mengeluh kepada orang tua. Pada umur 7-9 ke atas, baru perlu dicermati.
Dan
kalau kita jujur, apakah tulisan tangan yang rapi pernah ada pengaruh besar di
dunia? Contoh: “Maaf, Mr. Einstein, Piagam Nobel anda harus dikembalikan karena
anda menulis E = MC2 dengan tulisan yang tidak rapi. Maaf ya!” Para dokter di
dunia terkenal dengan tulisan tangan yang tidak rapi. Apakah seharusnya tidak
boleh menjadi dokter sampai bisa menulis dengan rapi?
Anak
di sekolah itu lapor kepada saya bahwa di sekolah dia main dengan Lego juga
(karena saya belikan dia Lego) tapi Legonya besar, bukan dengan batu-batu kecil
seperti yang saya belikan. Tanpa melihatnya, saya tahu Lego yang dia maksudkan:
Lego besar untuk anak berumur 2-4 tahun. Baca saja di kotaknya (ada batas
umur). Berarti, Lego yang dia dapat di sekolah adalah mainan untuk balita
berumur 2-4 tahun, padahal umur dia 5,5 tahun. Berarti yang membeli mainan
untuk anak di sekolah itu tidak mengerti mainan yang mana yang cocok dengan
umur anak, dan dia tidak mengerti kenapa Lego kecil lebih bermanfaat dari Lego
besar pada umur ini: untuk melatihkan skil motorik halus yang juga digunakan
untuk menulis! Kalau sekolah menuntut tulisan yang rapi, coba berikan mainan
yang cocok dulu!
Saya juga dengar bahwa untuk masuk SD sekolah tersebut ada
tes membaca dan menulis. Kalau tidak bisa membaca dan menulis, maka tidak bisa
atau susah masuk (harus bayar lebih mahal kali?). Bukannya sekolah itu tempat
belajar? Buat apa kita kirim anak ke SD kalau SD menuntut anak2 mendapatkan
skil membaca dan menulis di luar sekolah? Kalau memang diajarkan di sekolah,
kenapa harus dites untuk masuk? Kalau tidak diajarkan, emang siapa yang
bertanggung jawab untuk mengajarkannya?
Bagaimana kalau rumah sakit ikut-ikutan menerapkan teori
seperti ini: mau masuk rumah sakit, tes kesehatan dulu. Kalau ternyata tidak
sehat, disuruh pulang dulu dan kembali kalau sudah sehat. Ampun!!
Bukannya
masuk RS untuk menjadi sehat? Dan bukannya kita kirim anak ke SD untuk belajar
membaca dan menulis? Kok sekolah bisa mewajibkan anak mendapat skil itu di lain
tempat sebelum masuk?? Sungguh tidak masuk akal!
Pada saat saya diundang untuk menjadi juri di sebuah Lomba
Bahasa Inggris di sekolah Islam tersebut, untuk anak2 dari jaringan sekolah itu
se-DKI, saya kaget pada saat setiap anak dari sekolah yang sama membaca teks
yang sama. Ini bukan lomba “membaca”, tapi lomba bahasa (bicara). Dari kosa
kata yang digunakan, saya tahu bahwa orang dewasa yang menulisnya (gurunya barangkali?)
dan bukan anak itu. Jadi piagam seharusnya dikasih kepada gurunya, bukan anak
itu. Ini kegagalan dari pengurus lomba (para guru) untuk membuat peraturan yang
jelas dan saya merasa bahwa seluruh hari itu sia-sia untuk anak2 dari sisi
pendidikan.
Tapi saya tidak heran bahwa lomba menjadi kacau. Seseorang
melaporkan kepada saya bahwa pada tahap “planning” para guru itu menghabiskan 2
jam untuk membahas seragam apa yang akan dipakai pada hari lomba. Setelah itu,
mereka membahas lomba untuk sebentar sebelum bubar. Kalau bukan kenalan saya
yang lapor begitu, saya tidak akan percaya. Guru itu sibuk memikirkan diri
sendiri dan bukan lomba untuk kepentingan pendidikan anak.
Saat saya kunjungi sebuah sekolah Islam di Jakarta Selatan,
saya kaget melihat bahwa papan putih ditempatkan di atas jendela. Kalau tutup
pintu, kelas menjadi seperti gua, dan harus nyalakan lampu. Saya bertanya
kenapa: katanya karena setiap kali ada orang yang lewat, anak tengok ke
belakang. Jadi jendela harus ditutup. Ini kegagalan guru untuk mengendalikan
anak (classroom management). Seharusnya, seorang guru profesional sudah tahu
trik untuk membujuk anak fokus ke depan, dan tidak lihat ke belakang. Saya
telah diberitahu bahwa sekolah ini sudah diperbaiki dan tidak seperti ini lagi.
Pertanyaan saya adalah kenapa bisa seperti itu pada awalnya sehingga harus ada
yang memperbaikinya? Kalau pengurus sekolah memang mengerti pendidikan dari
awalnya, mereka tidak akan memberikan izin untuk jendela ditutup, dan guru yang
ingin melakukannya akan diberi pengarahan atau training supaya mengerti caranya
mengendalikan anak di kelas.
Sebagai
Contoh: “PR malam ini tidak ada anak-anak, tapi kalau ada yang melihat ke
belakang pada saat orang lewat, PR menjadi 1 halaman. Kalau terjadi lagi, 2
halaman, dan seterusnya. Tapi kalau kalian baik selama 30 minit, dan
konsentrasi, 1 halaman dihapus, dan dihapus lagi sampai menjadi nol. Kalau kamu
mau kerjakan PR, silahkan lihat ke belakang terus. Kalau tidak mau PR, lihat ke
depan. Silahkan pilih sendiri.” Dan seorang guru juga harus fleksibel karena
yang namanya “anak” ada batas waktu untuk berkonsentrasi yang sangat singkat.
Kalau “melihat ke belakang” tidak merupakan sesuatu yang menimbulkan bahaya
atau membuat kelas kacau untuk berjam2, kenapa harus dikhawatirkan oleh guru?
Selain
dari masalah itu (kegagalan managemen kelas), juga makan biaya untuk listrik.
Dan juga, cahaya matahari adalah suatu zat yang penting untuk perkembangan dan
kesehatan anak. Juga ada pengaruh psikologis bagi anak yg bisa merasa “terkurung” di dalam sebuah kelas yang gelap.
Cahaya alamiah adalah hal yang baik yang seharusnya ditambahkan bukan
dikurangi.
Saat
kunjungi [nama sekolah Islam ini dihapus] di daerah Jakarta Timur saya kaget
melihat batang2 kayu di belakang sekolah dengan paku bangunan berdiri di
tengahnya, seperti kayunya berduri. (Barangkali sudah tidak ada lagi sekarang).
Ada tumpukan kayu (mungkin 70-100 batang) semuanya dengan paku yang berkaratan.
Di depannya, 8 anak lari-lari main bulu tangkis tanpa memakai sepatu. Kalau ada
yang injak ke samping, kaki akan kena
paku. Kalau
ada yang terdorong ke samping, kaki, paha, perut, dada, tangan dan mata bisa
kena paku sekaligus. Saya panggil seorang pengurus karena melihat itu sebagai
sesuatu yang berbahaya sekali. Seharusnya kayu itu tidak ada di sekolah.
Komentar dia: “Wah, anak2 seharusnya tidak berada di situ. Kok pintu tidak
dikunci.” Itu saja. Seharusnya kayu itu disingkirkan, atau ditutup, dan pintu
ke belakang harus dikunci dan dicek terus, dan seharusnya ada pengumuman di
pintu yang melarang anak2 ke belakang dengan menyebutkan sanksi bila melanggar.
Di
kantin, anak anak berjalan tanpa sepatu (karena semua anak lepaskan sepatu di
pintu masuk sekolah – lebih Islami kali?) dan menginjak tomat, daging, nasi,
tulang ayam, sosis, saus tomat dan yang lain yang ada di lantai. Saya lewat
kantin untuk mencapai ruangan kepala sekolah dan mencermati lantainya yang
kotor karena anak2 baru selesai makan siang. Jadi, lepas sepatu lebih Islami,
dan ... menginjak sosis adalah hal yang Islami juga? Dengan melihat kondisi
sekolah, lebih baik anak2 pakai sepatu terus. Setelah melihat kayu yang penuh
paku, saya sangat meragukan kemampuan dari pengurus sekolah untuk menjaga
kualitas pendidikan, karena sudah jelas mereka tidak bisa menjaga ruang fisik dari
acaman dan bahaya terhadap anak (padahal itu jauh lebih utama).
Saya kunjungi sebuah sekolah SD di sebelah sebuah masjid
(saya lupa namanya). Kata salah satu orang tua saat bicara dengan saya, sekolah
ini sangat bagus. Masa? Saya minta melihat kurikulum. Kepala sekolah mencari
tapi tidak menemukan. Saya melihat daftar kelas2. Kurang lebih, yang saya ingat
begini:
Menghafal al Qur’an.
Bahasa Arab
Bahasa Arab 2
Membaca Al Qur’an
Sejarah Islam
Bahasa Inggris
Matematika
IPA
(ada dua atau tiga lagi tapi saya lupa)
Tidak
ada Kesenian. Tidak ada Olahraga. Tidak ada musik. Tidak ada Ekskul. Saya
bertanya kenapa? Katanya: 1) tidak ada waktu lagi. 2) Musik tidak boleh dalam
Islam, katanya. 3) Kesenian tidak perlu. 4) Olahraga: mereka bisa main bola
dengan teman2 setelah sekolah. Luar biasa.
Kesenian: melatih motorik halus
dengan menggambar, melukis, dsb. Melatih koordinasi tangan dan mata.
Mempelajari warna dan campuran warna. Tidak semua orang menjadi ustadz: ada yang menjadi designer, berarti warna dan skil untuk
membuat kombinasi warna perlu. Dari kebiasaan menggambar, ada yang menjadi
artis, arsitek, designer, dan bahkan insinyur: rata-rata, insinyur membuat
gambar mobil dulu dan sesudah itu baru membuat design, lalu
membuatnya secara nyata. Kalau anak2 main dengan warna, ketahuan kalau ada anak
yang sering bermasalah dengan warna: salah pilih atau salah menyebutkan. Bisa
jadi ada masalah dengan matanya, atau dia buta warna. Lebih cepat terdeteksi,
lebih baik.
Olahraga: dengan lari-lari dan
bermain, kelihatan perkembangan motorik kasar, dan koordinasi tangan dan mata.
Anak yang sering jatuh bisa ada masalah dengan telinga (keseimbangan), atau
dengan matanya (minus, silinder). Masalah dengan mata penting untuk terdeteksi
dengan cepat karena bisa menggangu pelajarannya. Anak tidak tahu bahwa matanya
bermasalah. Dia menanggap semua orang “melihat” seperti itu, jadi dia tidak
akan komplain bahwa tulisan guru samar-samar. Dengan main game di luar, anak
belajar untuk membagi, berkompetisi, berlomba, menerima kekalahan dengan lapang
dada, menang tanpa menjadi sombong, bekerja di dalam tim, bernegosiasi, bekerja
cepat, berfikir cepat, ambil keputusan dengan cepat, dsb.
Musik: memainkan alat musik merupakan
skil yang sulit. Mengembangkan motorik halus, gerakkan jari dengan cepat
(seperti ketik), belajar mengikuti irama, menari, dan belajar puisi (lirik lagu
sama dengan puisi) yang membantu perkembangan bahasanya dan kosa kata. Anak
yang sulit mengikuti irama bisa ada masalah dengan pendengaran, bisa jadi dia
kurang percaya diri, atau ada gangguan dengan koordinasi kakinya. Kalau dia
tidak bisa menari, bisa ada gangguan telinga, atau gangguan syaraf sehingga
kakinya tidak bertindak sesuai dengan keinginannya.
Pemantauan seperti ini termasuk apa yang dikerjakan guru
profesional, beda halnya dengan seorang lulusan ekonomi yang bisa bahasa
Inggris dan menjadi “guru”.
Saya pernah memberi tes bahasa Inggris kepada 100 anak SD dan
dari 100 anak itu, saya menemukan satu anak yang bermasalah: dia tidak mau
memandang mata saya. Mungkin orang lain (seperti si lulusan ekonomi) hanya akan
mengatakan bahwa anak itu seorang pemalu dan
melupakannya. Tetapi saya langsung telfon bapaknya. Dia menyatakan bahwa
setelah saya berkomentar, dia baru sadar bahwa anaknya memang suka begitu
dengan orang lain (selain orang tua). Berarti bukan karena diri saya (sebagai bule) yang membuat dia takut/malu. Dia
memang tidak suka memandang mata orang dewasa. Saya hubungi seorang psikolog
dan minta anak ini diobservasi.
Tidak memandang mata orang lain bisa berarti dia malu sekali,
dan juga merupakan salah satu gejala Autis dan Asperger Syndrome (tipe Autis
juga). Dari melihat anak itu dan setelah bertanya2 kepada bapaknya, saya
menduga bahwa anak itu menderita dari Asperger Syndrome yang sangat ringan
sehingga hanya ada satu gejala yang tampak: tidak suka memandang mata orang
yang tidak dikenal! Untuk mengetahui kalau ada gejala yang lain, perlu
dianalisa secara lengkap oleh seorang ahli. Saya serahkan kepada psikolog untuk
melakukan diagnosis secara profesional.
Kalau
saya bukan seorang guru, dan kalau saya tidak belajar tentang gejala penyakit
yang diderita anak, dan kalau saya tidak memilih untuk melakukan investigasi (padahal
tidak ada yang mewajibkan bagi saya utk
cari informasi lebih dalam), maka anak itu belum tentu terdeteksi sebagai penderita Asperger sampai umurnya sudah terlalu tua. Untuk masalah seperti
itu, lebih cepat ditangani, lebih baik hasilnya, terutama dari sisi pendidikan.
Seringkali, anak sudah besar, dan nilai sekolah makin buruk terus, baru
ketahuan ada masalah yang sudah lama mengganggu proses
belajarnya.
Ada
seorang teman yang memberitahu saya bahwa di sekolah dia ada guru yang menutup
mulut anak TK dengan lakban (duct tape) karena... anak itu “bicara terlalu banyak”! Masa? Anak TK suka
bicara? Dari kapan anak TK menjadi senang “bicara” di kelas? Bukannya semua
duduk diam dan selalu nurut dengan gurunya seperti ROBOT? Setelah diperiksa, inilah salah
satu guru yang bukan guru, tapi orang yang bisa berbahasa
Inggris, karena itu sekolah “Bilingual”. Selamat
kepada pemilik sekolahnya.
Saat
saya periksa sebuah sekolah Islam di Jakarta Timur (saya lupa namanya) saya cek perpustakaan. Buku tidak banyak tapi cukuplah. Saya
mengambil satu: ternyata buku teks matematika. Yang lain juga buku teks.
Setelah saya bertanya pada Librarian (penjaga perpustakaan), dia memberitahu
saya bahwa hanya ada buku teks di perpustakaan. Tidak ada buku cerita. Ada
sedikit di dalam kelas saja. Seharusnya, setiap minggu setiap kelas dapat waktu
di perpustakaan. Selain dari mendengar guru baca buku, anak2 harus diberi
kebebasan (bahkan kewajiban) untuk memilih dan
membaca buku sendiri. Bagaimana anak2 bisa mencintai buku kalau tidak ada
pengalaman baca buku selain buku teks di sekolah?
Selandia
Baru (New Zealand) adalah salah satu negara dengan tingkat kemampuan baca tulis
(literacy rate) yang paling tinggi di dunia – sekitar 99% dari penduduk bisa
membaca dan menulis dengan baik. Perpustakaan di SMP
saya di Selandia Baru sebesar dua lantai dengan jumlah buku mencapai puluhan
ribu. Waktu di SD, perpustakaan lebih besar dari satu kelas, dan penuh juga
dengan buku. Kalau anda menyatakan bahwa buku mahal sehingga tidak bisa begitu
di Indonesia, saya menyatakan bahwa ada cara untuk mendapatkan buku. Kita yang harus
kreatif untuk mememukan caranya.
Satu
contoh: daripada memberikan piagam setelah setiap lomba, beli satu buku dan
pasang stiker di halaman depan dengan tulisan “Buku ini diberikan kepada Budi sebagai
Pemenang Pertama pada lomba... dst.” Dan semua buku itu menjadi sumbangan buat
perpustakaan sekolah. Setiap kali ada yang pinjam buku itu, kelihatan nama si
Budi di depan. Bukan saja dia menjadi pemenang lomba, tapi juga dermawan yang
membantu membangun sekolah dan masa depan adik kelas!! Bukanlah itu lebih baik
dan lebih bermanfaat daripada setiap anak yang lulus SD mendapat sekotak piagam
murahan?
Saat
saya kunjungi sebuah sekolah di jakarta selatan [nama dihapus] saya menjadi kaget melihat tempat yang begitu berbahaya, saya heran ada
orang tua yang mau masukkan anaknya ke sana. Di belakang sekolah ada jurang
tanpa pagar di atas. Pada saat saya ada di sana untuk Open Day, seorang anak
mengejar bola dan berhenti sekitar 2 meter dari pinggir jurang itu.
Perlu
dipahami bahwa anak kecil tidak bisa mengukur jarak karena matanya dan persepsi
jaraknya masih berkembang. Oleh karena itu, anak sering jedot kepala di meja
makan karena dia tidak bisa melihat ujung meja yang menonjol itu. Menurut mata,
masih jauh. Lalu jedot. Kalau ada jurang tanpa pagar, dan dia sedang lari
mengejar bola, mata dia menyatakan jurang masih jauh maka dia kejar bola terus.
Lalu tergelincir. Juga benar bahwa anak belum pintar mempertimbangkan risiko
seperti orang dewasa. Orang dewasa melihat jalan yang ramai dan menyeberang
dengan hati-hati. Anak melihat jalan dan melintas saja karena bahayanya tidak
langsung masuk pikirannya.
Jalan
masuk sekolah itu dibuat dari batu kali yang bulat dengan ukuran 5-15cm. Jalan tidak datar dan kita harus berjalan dengan pelan dan
hati-hati. Saya yang dewasa hampir kena kaki keseleoh karena kaki saya injak
sebuah batu besar dan tergelincir ke samping. Buat apa batu itu? Pagar di sebelah jalan itu dibuat dari kayu bambu yang
bagian atasnya ditajamkan, seperti bambu
runcing. (Apa ditakuti serang pasukan Belanda lagi?) Buat apa
bambu di pagar sekolah ditajamkan begitu? Tingginya sekitar 50-60 senti.
Saya bisa bayangkan seorang anak mendorong temannya, dan pada saat dia jatuh ke
atas pagar itu, dadanya ketusuk bambu.
Ada
seekor rusa di dalam kandang. Tembok kandang dibuat dari kawat ayam. Karena
mengunakan kawat ayam yang kurang panjang, dua lapis diikat sehingga ada bagian
atas dan bagian bawah dengan ikatan di tengah. Ikatan juga menggunakan kawat
yang kuat, tetapi tidak diikat dengan rapi. Ada banyak bagian yang menonjol
keluar sekitar 10-15cm. Artinya, tembok kandang itu menjadi “berduri” karena ujung2 kawat yang menonjol.
Kalau ada anak lari ke sana, dan mendorong temannya, pada saat anak itu hajar
kawat ayam, dia bisa ditusuk oleh kawat yang menonjol. Tingginya duri kawat itu
sekitar 1 meter dari tanah, atau setinggi mata anak. Kalau mata seorang anak ketusuk, orang tua tidak bisa beli mata yang baru di toko
swalayan.
Artinya
semua ini, sekolah ini penuh dengan hal-hal yang berbahaya untuk anak (pada
saat saya ke sana). Di Australia, tempat seperti itu
tidak akan mendapat izin menjadi sekolah. Untuk membangun sekolah, keamanan dan
keselamatan adalah nomor satu. Selalu. Bayangkan kalau anda terima telfon
seperti ini: “Maaf, Ibu. Anak anda menjadi buta karena matanya ketusuk kawat
saat dia main di samping pagar... tapi nilai bahasa Inggrisnya tinggi. Bagus
kan?”
Pada saat ada informasi (iklan 1 halaman) tentang sekolah ini
di sebuah koran, saya membaca suatu pernyataan yang paling aneh yang pernah
saya baca berkaitan dengan pendidikan. Kata Pengurus “Kalau anak mau belajar
tentang daun, maka dia harus memegang daun. Berarti harus ada hutan di depan
sekolah.” Masa? Kalau teori pendidikan ini
benar, coba kalau kita kembangkan: Kalau
anak mau belajar tentang buaya, mereka harus memegang buaya. “Nah, Budi, yang
sendang gigit kaki kamu itu, namanya buaya! Lihat giginya yang besar. Jangan
teriak. Kamu masih punya kaki satu lagi.” Apakah
begitu pendidikan? Kalau anak mau belajar tentang sesuatu, mereka harus
mengalaminya secara langsung? Kalau belajar tentang alam semesta bagaimana?
Atom? Pesawat? Piramida? Virus? Peredaran darah? Ledakan bom?
Berapa banyak hal selain daun dan bunga yang bisa dihadirkan
di sekolah? Kalau seandainya dia membicarakan “Hands on Learning” atau
“Experimental Learning”, maka saya tidak ada komentar karena itu memang bagus.
Tetapi penjelasan dia tidak seperti itu, dal hal itu membuat saya meragukan
pengertiannya tentang pendidikan.
Dan pada saat saya melihat jendela kelas tidak ada kacanya
(supaya dekat dengan alam) saya memikirkan
kemungkinan anak bisa kena Demam Berdarah. Nyamuk diberi akses penuh terhadap anak.
Saya mencari alat pemadam kebakaran (karena gedung dibuat dari kayu) tapi tidak
menemukannya (mungkin ada, tapi disimpan supaya tidak kelihatan). Tapi karena
tidak ada kaca di jendela, anak bisa loncat keluar dari kelas dengan mudah
kalau terjadi kebakaran.
Intinya,
orang yang membangun sekolah ini seakan-akan inginkan anak kembali hidup di
tengah hutan seperti orang Rimba. Saya bingung tentang
kenapa ini menjadi idaman orang tua dan pemilik sekolah.
Sudah
berkali-kali saya mengunjungi sebuah sekolah di DKI dan minta melihat kurikulum.
Sering kali, kepala sekolah sulit menemukannya karena tidak tahu ada di mana.
Lebih parah, sering ada yang menyatakan “Kita sedang menulisnya”. Dan “Kita” di
sini adalah kepala sekolah dan para guru yang tidak mempunyai latar belakang
pendidikan. Pernah ada kepala sekolah menyatakan kepada saya dengan bangga: “Kita sudah membuat kurikulum untuk 6 bulan ke depan.”
Coba kita aplikasikan logika ini pada tempat yang lain: Kita
naik bis dan pengemudi menyatakan “Saya ada peta untuk 6 kilo ke depan. Sisanya
akan saya tulis dalam perjalanan kita ke Bali.” Apakah anda mau naik bis itu?
Yakin bisa sampai ke tujuan?
Kalau kurikulum tidak dibuat dari K-6 dari awal sekolah, dan
hanya 6 bulan di depan murid, bagaimana kalau sampai ke Kelas 6 dan para guru
baru sadar ada banyak yang belum sempat diajarkan? Dari ilmu 100%, baru 60%
yang diajarkan dari K-5. Apakah 40% yang tersisa bisa diberikan dalam 1 tahun
terakhir? Seperti apa kelasnya nanti?
Kayanya ada banyak sekolah seperti ini, dan mayoritas dari
orang tua tidak sadar bahwa sekolah tanpa kurikulum adalah masalah besar.
Ada
sebuah sekolah yang mendapat “guru bahasa” dari negara Inggris untuk menyusun
program bahasanya. Masalahnya adalah di Inggris dia bekerja sebagai DJ (Disc
Jockey) di sebuah klub malam, tidak ada latar belakang pendidikan, dan juga
tidak lulus kuliah. Program bahasa yang dia gunakan di sekolah itu diambil dari
Amerika. Setelah diselidiki, ternyata program itu adalah sebuah program Phonics
yang diciptakan pada tahun 1950an, dan sekarang sudah diganti di manca negara
dengan program Phonemic Awareness (yang sifatnya berbeda).
Tetapi
orang tua datang ke sekolah (“Kita sekolah bilingual lho!”) dan melihat bule,
jadi mereka tidak bertanya tentang latar belakangnya. Yang penting bule.
Kalau
mau tahu kalau sebuah sekolah bermasalah, coba cek kalau para guru sering
diganti. Kalau setiap tahun ada banyak yang mengundurkan diri dan guru baru
masuk, biasanya berarti ada masalah dengan managemen sekolah. Kalau gurunya
bagus, dan kurikulum oke, tapi managemen sekolah tidak baik, maka guru akan
keluar mencari kesempatan di lain tempat. Biasanya guru yang baik menjadi jenuh
kalau kerjanya diganggu dan di otak-atik oleh pengusaha yang ingin mengatur
sekolah sesuai dengan kemauan sendiri. Kalau guru sering diganti, dan kurikulum
“sedang ditulis” maka hati-hati kalau mau masukkan anak anda ke sekolah itu.
Semua
masalah yang disampaikan di atas bisa diatasi. Tapi karena pemilik sekolah
tidak mengerti pendidikan, hal seperti ini dianggap masalah kecil dan bukan
utama. Dan sayangnya, orang tua tidak sadar bahwa sekolah anak mereka adalah
tempat yang tidak ideal.
Mohon
diingat bahwa saya tidak membuat artikel ini dengan niat menjelekkan nama semua
sekolah Islam yang ada di DKI. Walaupun tidak enak di hati, saya sengaja merasa
kewajiban untuk membicarakan masalah ini supaya orang tua bisa menjadi sadar.
Sebagai
seorang guru, saya merasa ada tanggung jawab untuk menyampaikan kritikan
sekolah kepada para orang tua secara jujur. Kalau guru dari salah satu sekolah
tersebut membaca artikel ini, mungkin dia tersinggung karena merasa sekolah dia
oke-oke saja. Dan perlu dipahami, bahwa saya membandingkan sekolah di atas
dengan sekolah ideal yang teratur secara baik.
Insya
Allah pada suatu saat semua Sekolah Negeri di Indonesia bisa berubah menjadi
sekolah ideal, dan sekolah swasta tidak akan diperlukan lagi, atau bisa dijaga
secara ketat supaya tidak bisa menyimpang.
Masih ada banyak hal lain yang bisa saya sampaikan, tapi saya
rasa sudah cukup untuk saat ini. Bisa jadi ada sekolah swasta yang bermutu di DKI, cuma saya belum mendengar tentang
sekolah itu dan belum mengunjunginya.
Semoga bermanfaat,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto