Assalamu'alaikum wr.wb.,
Ini artikel yang masuk Majalah Intisari, Bulan Juli 2007, halaman 160-166. Saya carikan di Intisari online, tapi tidak ketemu. Saya tidak tahu kenapa, tapi ada di situs Simpatizone.Telkomsel.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua
Sudah lama Rusdi (34) - identitas disamarkan - merasa gerah. Guru matematika kelas reguler ini geleng kepala menyaksikan perilaku guru ekspat yang mengajar di kelas internasional sekolahnya. "Ekspat yang mengajar di kelas dwibahasa tidak kapabel. Masak bukan lulusan biologi mengajar biologi?" keluh alumnus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini. Yang bikin geram Rusdi, "Gaji kami hanya sepersepuluh mereka," kesal ayah seorang anak ini.
Hal ini lantaran sekolah mengejar komposisi 60% pengajar ekspat dan 40% guru lokal. Nah, berhubung menggaji guru ekspat yang benar muaahalll, sekolah Rusdi - dan juga beberapa sekolah internasional lainnya di Jakarta - asal saja merekrut orang bule. Asal mau dibayar murah, meski masih jauh di atas guru lokal.
Masih kata Rusdi, tak jarang mereka ambil turis yang kebetulan sedang melancong ke Indonesia dan kehabisan uang. Atau juga dicomot dari kursus-kursus bahasa Inggris. Bahkan, "Ada juga yang diambil dari Jalan Jaksa." Jalan Jaksa merupakan kawasan penginapan murah bagi bule di Jakarta.
Pengajar kurang kompeten
Gene Netto (37) manggut-manggut. Pria kelahiran Nelson, Selandia Baru, ini mengiyakan Rusdi. Ditemui terpisah, alumnus Graduate Diploma of Education Griffith University, Brisbane, Australia, yang berpengalaman sepuluh tahun mengajar di sekolah swasta, les privat, kursus bahasa Inggris, dan pelatihan karyawan ini ikut prihatin.
Ia mengakui, menjamurnya kelas dwibahasa di sini semata karena banyaknya peminat. Alhasil, kepentingan bisnis lebih mengemuka. Pihak sekolah berupaya keras menghadirkan tenaga pengajar ekspat, agar orangtua teryakini bahwa anaknya memasuki sekolah internasional. Gene menantang, "Jika diteliti CV-nya, dari seratus guru bule, mungkin hanya seorang yang punya kualifikasi sebagai guru bahasa asing."
Dengan gemas pemilik gelar Bachelor of Arts untuk Language and History (guru bahasa dan sejarah) ini berkisah pernah bertemu seorang guru ekspat yang tidak lulus kuliah dan profesinya di AS adalah disc-jockey di diskotik. Bahkan, seorang yang hanya lulusan SMA di Amrik, di sini jadi guru TOEFL.
Awalnya, sekolah dwibahasa memberi kemampuan kepada anak berbahasa dalam dua bahasa sambil memahami dua budaya. Gene memberi contoh Kanada yang memiliki puluhan ribu sekolah dwibahasa karena di sana ada dua budaya, yakni Inggris dan Prancis. Ada dua sistem yang dipakai, full immersion yang menenggelamkan siswa ke dalam bahasa asing sepanjang hari dan semi-immersion yang lebih banyak menggunakan bahasa ibu. Untuk yang semi ada tiga variasi, early immersion, middle immersion, dan late immersion, dengan perbandingan antara bahasa ibu dan bahasa asing masing-masing 20 : 80, 50 : 50, dan 80 : 20.
Di kelas early immersion, mulai kelas 2 ke atas, disiapkan program language arts untuk bahasa ibu. Anak mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa asing, sebelum kemudian bahasa ibu. Walau kemampuan akademisnya lambat, namun kelak akan setara dengan anak reguler.
Di kelas 5 dan 6, kemungkinan kelas yang menggunakan bahasa asing tinggal 50%, terus sampai SMA pelajaran dalam bahasa asing tinggal 20%. Jadi, anak yang memakai bahasa asing sejak TK, akan berubah menggunakan bahasa ibu untuk sebagian besar pelajaran di SMP dan SMA.
Pada kelas late immersion sebaliknya, anak berbahasa ibu sampai kelas 6 - 8 dengan bahasa asing hanya 20%, dan di tahun terakhir SMA penggunaan bahasanya 50 : 50, atau bisa 80% bahasa asing dan 20% bahasa ibu. Jika siswa mengalami kesulitan belajar bahasa asing, maka ia mendapat bantuan khusus atau pindah kelas. Cuma, kalau diterapkan di sini, Gene khawatir, orangtuanya protes. Sebab, mereka sudah membayar uang pangkal sekolah puluhan juta rupiah dan tak bisa dikembalikan.
Penyiksaan mental
Di mata Gene, sistem di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Misalnya, di TK bahasa asing digunakan sebanyak mungkin tapi bahasa ibu digunakan juga, berarti semi immersion. Masuk SD, bahasa asing jadi bahasa utama, tapi tak ditentukan untuk pelajaran mana sehingga penggunaannya diacak. Naik ke SMP dan SMA, mungkin semua pelajaran dalam bahasa asing minus pelajaran bahasa Indonesia, mendekati model Sekolah Internasional. "Katakanlah ini model sekolah dwibahasa baru, tapi tak ada riset yang membuktikan dampak baik atau buruknya," cetus anggota perguruan silat Bunga Karang ini.
Bagaimana nasib bahasa ibu pada siswa dwibahasa? Gene menengarai, pasti ada kesenjangan sosialisasi dengan keluarga besarnya. Bisa jadi ia menganggap rendah bahasa dan budaya orangtuanya, karena sedari TK dicekoki bahasa asing.
Apa yang terjadi di kelas, tak semua orangtua mengetahuinya. Tak sedikit anak yang stres karena dipaksa mengerti bahasa asing. Ia selalu lambat dalam mengerjakan tugas, sehingga guru ekspat memberinya cap pemalas. Rupanya, ia kurang paham apa yang dijelaskan guru dalam bahasa asing. Ia merasa tertekan.
Untuk bisa berkomunikasi di kelas, si anak harus berusaha mengerti "peraturan bahasa" untuk bisa membentuk kalimat sendiri dan memahami kalimat orang lain. Jika ia belum berhasil pada proses ini, sementara bahasa ibu tak boleh digunakan, dampaknya cukup negatif bagi si anak.
Yang menyedihkan, jika si native speaker bukan orang dari dunia pendidikan dan asal bule. Alhasil, ia menggunakan bahasa yang terlalu rumit bagi anak, tidak disesuaikan dengan kemampuan anak memahaminya. Maka yang didengar anak adalah serangkaian suara berisik yang di tengah-tengahnya ada beberapa kosa kata yang bisa ditangkap. "Berarti sebagian besar yang diucapkan guru adalah sia-sia, tidak membangun kemampuan si anak, apalagi mengembangkan ilmu akademisnya dan cara berpikir yang makin dewasa," tuding Gene.
Bila siswa tak mengerti apa yang diucapkan gurunya, bagaimana ia bisa memahami ilmu matematika yang tengah diajarkan gurunya? "Bukankah itu bentuk penyiksaan mental dan emosional terhadap anak?" ujar lajang bershio anjing ini.
Nasib murid bilingual
Di kemudian hari, andai murid sekolah dwibahasa tidak kuliah di luar negeri, melainkan kuliah di dalam negeri, sanggupkah ia mengikuti perkuliahan dalam bahasa ibu? Sanggupkah ia bersaing dengan mereka yang dari SMA reguler? Sebab, mengerti sebagian dari bahasa Inggris sangat berbeda dengan sanggup menguasai ilmu akademis dalam bahasa Inggris, seperti yang dialami siswa dwibahasa.
Gene memberi misal, kemampuan bahasa Inggris seorang siswa 70%, diberi buku teks ekonomi dalam bahasa Inggris maka ia hanya memahami 70% dari isi buku, lalu menulis paper dengan kebenaran juga cuma 70%. Berbeda dengan siswa yang belajar ekonomi dalam bahasa ibu, setidaknya ia mampu menguasai 98% ilmu ekonomi.
Pria berbintang Taurus ini mengingatkan agar berhati-hati jika ingin menerapkan program baru untuk siswa. Lebih baik hati-hati daripada ambil risiko. Pertimbangkan 10 kali akan hasilnya, pikirkan pula hasil buruknya, konsultasi pada ahlinya, buat desain kurikulum, lakukan berkali-kali. Jika program kurang berhasil, hentikan dulu, dianalisis lagi, tanyakan lagi ahlinya, mungkin programnya bagus tapi penerapannya salah atau murid belum siap. "Bila kita melakukan kesalahan dalam pendidikan, kita tak bisa melihat langsung hasilnya, butuh waktu bertahun-tahun, dan kita tak bisa memundurkan waktu untuk memperbaikinya."
Dari seorang teman, Gene mendapat informasi, dalam suatu pertemuan antar-pengusaha terlontar bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah bisnis pendidikan, termasuk franchise sekolah. Tak pernah merugi, pasti untung, cepat mencapai break event point, titik impas. Masalah kualitas pendidikan? Gene angkat bahu.
Jika di kemudian hari terjadi kegagalan pendidikan, tak pernah ada sekolah yang minta maaf pada orangtua karena kesalahan guru dalam mengajar, atau kurikulum yang tidak stabil, atau guru kurang profesional. "Yang disalahkan pasti orangtua karena suasana rumah dituduh kurang kondusif, atau malah si anak disarankan diperiksa kemungkinan menderita autis, dan sebagainya." Kesalahkaprahan ini harus dihentikan. "Hanya pemerintah yang bisa melakukan, karena pemerintahlah yang memberi izin," tutup Gene geram.
(Dharnoto)
Teliti Membeli Pendidikan
Gene mengajak orangtua bersikap kritis:
1. Pelajarilah program dwibahasa, standarnya seperti apa. Informasi itu bisa dicari di internet.
2. Ajak beberapa orangtua lain untuk minta melihat kurikulum sekolah itu.
3. Jangan malu minta diperlihatkan CV semua guru, baik lokal maupun ekspat, terutama yang mengajar di kelas anak Anda.
4. Pantau dan analisis keadaan di kelas anak Anda. Jika terlihat penurunan nilai di suatu pelajaran, minta penjelasan pada guru, dan apa yang bisa dilakukan orangtua di rumah.
5. Perhatikan, apakah sang guru bersikap terbuka, mau menerima keluhan dan saran orangtua serta mau diajak berdiskusi.
6. Bila ada kegiatan sekolah yang meminta donasi orangtua, mintalah budget-nya untuk dipelajari.
7. Ajak orangtua lain membahas keadaan sekolah. Boleh juga membentuk asosiasi sendiri di luar Komite Sekolah. Keluhan bisa disampaikan langsung ke kepala sekolah, lisan atau tertulis.
8. Jika memungkinkan, dorong terbentuknya serikat guru di sekolah yang bisa memberi masukan terhadap kebijakan sekolah yang merugikan anak didik.
Terkendali Tapi Aktif
Elham Golfam sudah 15 tahun tinggal di Indonesia. Ibu guru lulusan Washington International University, AS, jurusan Education (Pendidikan) ini baru tiga tahun mengajar di Sekolah Mentari, Jakarta Selatan. Didirikan delapan tahun lalu, sekolah ini terdiri atas SD dan SMP, dengan dua pilihan, yakni kelas reguler dengan bahasa Indonesia lebih intensif, dan kelas internasional dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Bersama ibu tiga anak ini, ada sekitar 15 orang ekspat mengajar di sini. Pihak sekolah melakukan tes terhadap calon pengajar, antara lain observasi cara mengajar di kelas dengan materi yang dipilih sekolah. Adapun kurikulum yang dipakai, "Kombinasi antara kurikulum nasional dan kurikulum internasional dari Inggris, yang dimodifikasi atau dikembangkan tim pengajar," tambah Ny. Trianto ini.
Elham sendiri mengajar di kelas 3 SD, dengan 24 murid di kelasnya. Ia memberi semua pelajaran, kecuali olahraga, kesenian, musik, komputer, dan bahasa Indonesia, yang ditangani guru khusus. Dikatakan, semua guru ekspat menyampaikan pelajaran dalam bahasa Inggris, dan di dalam kelas siswa berinteraksi juga dalam bahasa Inggris. Secara umum, siswa tak menemui kesulitan dalam menyerap materi pelajaran, kecuali beberapa orang yang perlu bantuan lebih. Sedangkan suasana dalam kelas, "Terkendali tapi aktif," tutup wanita berusia 39 tahun ini.
Sumber: Simpatizone.Telkomsel