Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

18 April, 2008

Substance Not Sound Bytes


By Ralph Nader

In this year’s presidential campaign, the major media want you to focus on the candidates’ gaffes, their tactics toward one another’s gaffes, the flows of political gossip and four second sound bytes.

Over and over again this is the humdrum pattern. Is Obama an elitist because of what he said about small towns in Pennsylvania? Why do Hillary and Bill exaggerate? Will Bill’s mouth drag Hillary down? Will Barack’s pastor drag him down? What about the gender factor? The race factor? Will they figure?

Who has more experience on Day One? What is McCain’s wizardry over the reporters on the campaign trail? Can McCain project any human warmth? Which state must Hillary win and by what margin to continue in the race?

On the Sunday talk shows, it is the same couple dozen members of the opinion oligopoly. There is Bill Kristol bringing home the neocon bacon with dreary frequency. There is the James Carville/Mary Matalin spouse show featuring their squabbling over ideology.

Meanwhile the daily struggle of the American people, absorbing the results of the power abuses by the rich, powerful and corporate, continues outside this inbred force field of insipid coverage and commentary.

The people hear nothing regarding what McCain, Obama and Clinton will do about runaway drug, gasoline, and heating oil prices, not to mention what these Senators have already not done in these areas of public outcry.

Disintegration is everywhere. Public works are crumbling—schools, clinics, public transit, libraries, drinking water and sewage-treatment plants. Tax dollars are being used to destroy more of Iraq and to subsidize or bail out companies recklessly run by obscenely overpaid CEOs. Public deficits are soaring.

Corporate criminals laugh all the way to the bank and back. Eighty percent of the workers have been falling behind while the growth of the economy, until last October, made the rich richer and the hyper-rich go off the charts.

One of three workers lives on Wal-Mart wage levels. Nearly fifty million Americans are without health insurance. Eighteen thousand of these Americans die each year because they cannot afford health care, according to the Institute of Medicine. The recession deepens.

The corporate giants are abandoning millions of American workers as they move whole industries to dictatorial regimes abroad where political elites dictate wages, ban independent trade unions, and given sufficient grease, reduce other costs for these companies. Only American CEOs are not outsourced in this mad dash for greed and profits.

All our democratic institutions—courts, agencies, legislatures—are bypassed by “pull-down” autocratic trade treaties like the secretive World Trade Organization and NAFTA.

Wall Street operators seethe with reckless risks and then expect Washington to bail them out. Sure, why not? Washington is run by Wall Street executives on temporary job assignment in high government positions. The big corporations are big government.

Consumers are facing rapidly rising food prices, more home foreclosures, and rising rents. They have lost control over their money, as shown by the daily gouging by credit card companies, cell phone operators and the thousands of imposed fees, penalties, and charges, so well described in the new book /Gotcha Capitalism/ by MSNBC reporter Bob Sullivan. Poverty increases.

Each year, about 58,000 Americans die from air pollution (EPA figures), and 100,000 patients lose their lives from medical negligence in hospitals and many more from hospital-induced infections. Have you heard any of the major campaigns pay any attention to these grim casualty levels?

Anxious workers feel shut out – they are disrespected, denied claims, arbitrarily laid off and just plain helpless on the shifting sands and seas of corporate globalization.

Fully 81 percent believe the country is going in the wrong directions. Almost as many believe corporations have too much control over their lives. And 61 percent polled say the major parties are failing.

Now turn on the television and radio coverage of the presidential campaign. How much of the above is reflected in the incessant distractions about tactics, gaffes and the fervid money-raising race?

Can the press and pundits ever be serious if the people do not grab hold of politics and make them become serious about their pleas, their plight and their revulsions? If voters want a concise mission statement, read the preamble to the Constitution, which starts “We the People…” /not/ “We the Corporations….”

There is a responsibility attached to those words.

Source: Nader.org

Kekuatan Asing di Belakang Ahmadiyah?


Jumat, 18 Apr 08 07:00 WIB

Assalamu 'alaikum, pak ustadz.

Saya agak curiga bahwa gerakan Ahmadiyah yang sudah divonis sesat ini tidak kunjung dilarang di Indonesia. Jangan-jangan pemerintah kita ini memang diancam oleh kekuatan asing dan tidak punya nyali untuk melarangnya.

Bagaimana kita memahami situasi seperti ini pak ustadz, mohon pencerahannya, syukran jazila

Wassalam

Sarif

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sejak awal mula sejarah berdiri Ahmadiyah, keterlibatan pihak asing sudah sangat kentara. Penjajah Inggris memang telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada gerakan ini di India, serta rela memberikan dana yang tidak terbatas demi tegaknya dakwah Ahmadiyah.

Padahal seluruh ulama di dunia telah bersepakat untuk menyebut bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari agama Islam, karena prinsip dasarnya bertentangan dengan akidah Islam. Yang utama karena menjadikan Mirza sebagai nabi dan menerima wahyu.

Namun Ahmadiyah sangat bermanfaat buat penjajah Inggris saat itu, sebab Ahmadiyah akan membuat jihad dan perlawanan umat Islam terhadap Inggris akan mengendor. Dengan keberadaan Ahmadiyah, penjajah tidak perlu lagi capek-capek menghadapi rakyat, biar saja rakyat dilawan oleh rakyat juga.

Inggris cukup mengadu domba sesama bangsa India, sambil memberikan dukungan penuh kepada aliran sesat Ahmadiyah.

Di dalam buku Tabligh-i-risalat, vol. VII halaman 17, Mirza menulis:

"Aku yakin bahwa setelah pengikut-pengikutku bertambah, maka mereka yang percaya pada doktrin jihad akan makin berkurang. Oleh karena menerima aku sebagai Messiah dan Mahdi maka sekaligus berarti taat pada perintahku, yaitu dilarang berjihad terhadap Inggris. Bahkan wajib atas mereka berterima-kasih dan berbakti pada kerajaan itu."

Jadi sejak awal Ahmadiyah memang alat yang digunakan oleh penjajah Inggris untuk meredam jihad dan perlawanan umat Islam India. Maka kalau sekarang ini Ahmadiyah terkesan dibackingi oleh negara-negara besar, rasanya memang ada benang merahnya.

Sebab buat apa lagi pemerintah merasa takut untuk melarang gerakan Ahmadiyah, kalau bukan karena takut tekanan pihak asing. Pemerintah SBY sekarang ini sudah didukung oleh semua ulama, bahkan Badan Pengawasan Aliran Kepercayaan pun sudah menetapkan bahwa Ahmadiyah itu sesat. Bola sekarang berada di tangan pemerintah.

Logikanya, apa sih susahnya mengeluarkan pengumuman sesatnya Ahmadiyah? Kenapa sebegitu loyo pemerintah untuk melindungi akidah bangsa ini dari paham sesat Ahmadiyah? Jangan-jangan ada apa-apanya.

Maka kalau kita kaitkan dengan keterlibatan penjajah Inggris saat mendirikan Ahmadiyah di India dahulu, rasanya tidak aneh kalau keberadaan Ahmadiyah ini memang didukung oleh kekuatan asing, yang membuat pemerintah kita kelihataan jadi aras-arasan, takut melarang, atau berlagak pilon, atau entah kenapa, yang jelas sikap pemerintah yang plin-plan itu sangat menunjukkan bahwa ada tekanan international dari luar. Entah siapa mereka.

Empat Negara Asing Menekan Indonesia

Dan logika yang kami sebutkan di atas ternyata terbukti. Statemen dari pak Nasarudiin Umar yang menjawab sebagai Dirjen Bimas Islam Departemen Agama secara tegas telah membenarkan teori itu.

"Memang ada empat negara yang mengimbau agar Ahmadiyah tak dibubarkan. Yaitu dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan satu lagi saya lupa. Suratnya ditujukan ke Menteri Agama dan ada tembusannya ke saya." begitu ujar beliau beberapa waktu yang lalu.

Apa yang diungkapkan oleh pak Nasarudin ini sebuah pernyataan jelas dan tanpa malu-malu. Dan semua ini menjelaskan dengan mudah, mengapa sampai hari ini pemerintah masih 'sakit gigi' untuk melarang Ahmadiyah secara terbuka.

Meski pak Nanasrudin mengatakan bahwa pemerintah tidak terpengaruh dengan tekanan itu, namun yang namanya ancaman tetap saja ada dampak psikologisnya. Semakin lama pemerintah bersikap plin-plan, maka semakin membutikan bahwa tekan asing itu memang ada dan berjalan dengan sangat efektif.

Penjelasan Nasarudin kemudian dikuatka oleh ketua MPR-RI, Dr Hidayat Nur Wahid, MA. Dalam salah satu kesempatan beliau mengatakan bahwa manuver beragam yang dilakukan oleh pihak tertentu yang menggangap pembubaran Ahmadiyah sebagai pelangaran HAM dalam beragama perlu dicurigai, karena dikhawatikan itu salah satu cara-cara yang dilakukan pihak asing untuk merusak kedaulatan Indonesia.

"Yang kita khawatirkan itu cara pihak asing untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan Indonesia, melalui pendanaan kepada LSM yang vokal terhadap isu HAM, "ujarnya.

Pemerintah Wajib Melindungi Umat Islam

Padahal seharusnya pemerintah memikirkan nasib 200 juta umat Islam di negeri ini yang agamanya dirusak, diobok-obok, dihina dan dilecehkan oleh kekuatan asing yang anti Islam itu.

Atau jangan-jangan, memang ditunda-tundanya pelarangan itu disengaja untuk memancing terjadinya tindak anarkhi berikutnya. Tujuannya agar stigma bahwa di Indonesia ada Islam ekstrem semakin laku didagangkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dunia internasional.

Mirza Ghulam Ahmad: Tipikal Kaki Tangan Penjajah

Sosok Mira Ghulam Ahmad ternyata tipikal seorang yang menjilat kepada pemerintah penjajah Inggris. Kita bisa membuktikan dari tulisan-tulisannya yang menunjukkan kesetiaan, ketundukan serta penyerahan diri totalnya kepada sang penjajah.

Padahal dunia tahu bahwa Inggris tidak lain hanyalah penjajah, yang datang ke India untuk merampas negeri, mengangkangi sekian banyak asset-asset negeri itu, melebarkan kekuasaan serta menjadikan kemuliaan penduduk India menjadi kehinaan.

Namun seorang Mirza malah berpihak kepada penjajah dan tega mengkhianati saudara sebangsanya sendiri. Dia adalah seorang kaki tangan penjajah, yang merelakan dirinya dijadikan alat untuk merobohkan kemuliaan bangsa India. Dalam beberapa bukunya, kita bisa melihat bagaimana sesungguhnya sikapnya kepada Inggris.

Sebagian besar perjalanan hidupku ialah mendukung dan membela pemerintah Inggris... Saya selalu menganjurkan agar setiap Muslim haruslah menjadi pengabdi pada pemerintah ini, dan sanubari mereka janganlah ada sedikitpun niat meniru-niru perbuatan menumpah- numpahkan darah oleh Imam Mahdi atau Messiah yang begitu fanatik memberi ajaran-ajaran bodoh dan sempit." (Lihat Tiryacal-Qulub halaman 15 blirza)

Di lain tulisan, dia juga mengatakan bahwa bangsa India seharusnya berterima kasih kepada penjajah Inggris

"Sesungguhnya tidak menyempurnakan hak atau tidak berterima kasih kamu pada Inggris berarti tidak menyempurnakan hak atau tidak berterima-kasih kamu kepada ALLAH." (Lihat At-Tabligh halaman 41)

Maka sebaiknya pemerintah kita ini segara sadar dan tahu diri, tidak ada gunanya selalu mengikuti kemauan asing. Kenapa sih tidak sekali-sekali mandiri dan punya harga diri.

Jangan mau hanya dijadikan hewan sirkus yang ditabuhi genderang, lalu berjoget mengikuti irama buatan penjajah. Kita sudah merdeka sejak tahun 1945, tapi kenapa mental terjajahnya masih saja melekat. Apakah karena kita terlalu lama dijajah Belanda?

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: Eramuslim

Budaya Saling Memberi Nasehat


Khutbah Jum'at

11/4/2008 | 04 Rabiul Akhir 1429 H |

dakwatuna.com - Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Sering kita dengar dari keterangan dan penjelasan para ulama, para kiayi, ustazd, dan muballigh bahwa tugas paling penting dari para Rasul adalah menyampaikan risalah Allah swt. kepada ummat manusia. Urgensi isi risalah para rasul itu sama, yaitu “agar manusia menyembah hanya kepada Allah dan mengingkari semua bentuk sesembahan selain Allah (thaghut).”

Ternyata selain tugas mulia dan suci ini, para nabi banyak disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pemberi nasehat. Hal ini disebabkan karena manusia tidak cukup hanya menerima risalah dakwah Islam saja. Akan tetapi juga membutuhkan pemberi nasehat dan peringatan dalam hidupnya, karena manusia adalah mahluk pelupa dan pelalai, bahkan makhluk yang banyak berbuat kesalahan. Oleh karena itu, Allah swt. menyatakan:

Wal ashri, innal insaana lafii khusrin, illalladziina aamanuu wa ‘amilush-shaalihaati watawaa shaubil haqqi watawaa shaubish-shabri.

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-‘Asr)

Semangat surat Al-Asr ini menjelaskan keharusan setiap orang untuk beriman dan beramal sholeh, jika ingin selamat baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan iman dan amal sholeh saja ternyata masih merugi, sebelum menyempurnakannnya dengan semangat saling memberi nasehat dan bersabar dalam mempertahankan iman, meningkatkan amal shaleh, menegakkan kebenaran dalam menjalankan kehidupan ini.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Sedemikian pentingnya prinsip “saling memberi nasehat” dalam ajaran Islam, maka setiap manusia pasti membutuhkannya, siapapun, kapanpun, dan di manapun dia hidup. Layaklah kalau dikatakan bahwa “saling memberi menasihat “ adalah sebagai sebuah keniscayaan yang harus ada pada setiap muslim.
Namun sangatlah disayangkan jika ada di antara kita yang menganggap sepele soal nasehat ini. Atau merasa dirinya sudah cukup, sudah pintar, sudah berpengalaman sehingga tidak lagi butuh yang namanya nasehat dari orang lain. Padahal dengan menerima nasehat dari orang lain pertanda adanya kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan dan menunjukkan kelebihan pada orang tersebut.

Kalimat “nasaha” yang artinya nasehat, makna dasarnya adalah menjahit atau menambal dari pakaian yang sobek atau berlubang. Maka orang yang menerima nasehat artinya orang tersebut siap untuk ditutupi kekeruangan, kesalahan, dan aib yang ada pada dirinya. Sedangkan orang yang tidak mau menerima nasehat menunjukkan adanya sifat kesombongan, keangkuhan, dan ketertutupan pada orang tersebut.

Saking sedemikian pentingnya nasehat ini, Nabi saw. bersabda:

Dari Abi Amer atau Abi Amrah Abdullah, ia berkata, Nabi saw. bersabda, “Agama itu adalah nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam dan orang-orang biasa.” (HR. Muslim)

Dari hadist di atas dapat kita pahami bahwa memberi dan menerima nasehat adalah berlaku untuk manusia, siapapun dia, apapun kedudukan dan jabatannya, tanpa kecuali.

Hadist di atas juga menjelaskan kepada kita bahwa agama akan tegak manakala tegak pula sendi-sendinya. Sendi-sendi itu adalah saling menasehati dan saling mengingatkan antara sesama muslim dalam keimanan kepada Allah, keimanan kepada Rasul, dan keimanan kepada Kitab-Nya. Artinya, agar kita selalu berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dari Allah dan Kitab-Nya dan mentauladani sunah-sunah Rasul-Nya.

Sedangkan bentuk nasehat kepada para pemimpin adalah ketaatan dan dukungan kita sebagai rakyat kepada para pemimpin Islam dalam menegakkan kebenaran, mengingatkan mereka jika lalai dan menyimpang dengan cara yang bijak dan kelembutan, meluruskan mereka jika menyimpang dan salah. Sedangkan nasehat untuk orang-orang biasa adalah dengan memberi kasih sayang kepada mereka, memperhatikan kepentingan hajat mereka, menjauhkan hal yang merugikan mereka dan sebagainya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Di dalam Al-Qur’an, Allah swt. mengisahkan tentang bagainama Nabi Musa a.s., seorang nabi dan rasul yang ternyata dapat menerima nasehat dari salah seorang kaumnya.

wa jaa-a rajulun min aqshal madinati yas’aa, qaala yaa muusaa innal mala-a ya’tamiruuna bika liyaqtuluuka, fakhruj innii laka minan nashihiin. Fakharaja minhaa khaa-ifan yataraqqabu, qaala rabbi najjinii minal qaumizh zhaalimiin.

“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: Ya Tuhanku selamatkanlah aku dari orang-orang yang dzalim itu.” (QS. Al-Qashash: 20-21)

Lalu bagaimana dengan kita yang orang biasa yang bukan Nabi dan Rasul? Sudah barang tentu sangatlah membutuhkan nasehat. Kita senantiasa membutuhkan nasehat dari orang lain. Demikian juga harus bersedia memberi nasehat kepada orang lain yang memohon nasehat kepada kita.

“Hak seorang muslim pada muslim lainnya ada enam: jika berjumpa hendaklah memberi salam; jika mengundang dalam sebuah acara, maka datangilah undangannya; bila dimintai nasehat, maka nasehatilah ia; jika memuji Allah dalam bersin, maka doakanlah; jika sakit, jenguklah ia; dan jika meninggal dunia, maka iringilah ke kuburnya.” (HR. Muslim)

Dengan saling menasehati antara kita, maka akan banyak kita peroleh hikmah dan manfaat dalam kehidupan kita. Akan banyak kita temukan solusi dari berbagai persoalan, baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat bangsa bahkan Negara.

Karenanya nasehat itu sangatlah diperlukan untuk menutupi kekurangan dan aib yang ada di antara kita. Karena nasehat itu dapat memberi keuntungan dan keselamatan bagi yang ikhlas menerima dan menjalankannya. Karena saling menasehati itu dapat melunakkan hati dan mendekatkan hubungan antara kita. Karena satu sama lain di antara kita saling membutuhkannya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….

Saling menasehati antara sesama muslim terasa semakin kita perlukan, terutama ketika tersebar upaya menfitnah adu domba antara sesama muslim yang datang dari orang-orang kafir, munafik, dan orang-orang fasik yang ingin melemahkan umat Islam sebagai penduduk terbesar negeri ini. Mereka tidak senang terhadap kesatuan dan persatuan umat Islam.

Demikian pula ketika mendekati hari-hari menjelang pesta demokasi seperti pilkada, pilgub, pemilihan umum, dan sebagainya. Terkadang panasnya suhu politik menyulut sikap orang in-rasional (tidak rasional) dan emosi di tengah masa, bahkan dapat mengarah ke sikap anarkhis dan merusak.

Dalam situasi seperti itu, kita sering lupa akan makna ukhuwah Islam. Lupa tugas amar ma’ruf nahi mungkar dan lupa tugas dan kewajiban untuk saling menasehati dengan cara saling kasih sayang antara kita.

Semoga Allah swt. senantiasa memberikan pemahaman kepada kita akan arti pentingnya saling memberi nasehat antara kita. Semoga kita mampu memberi nasehat dan senang menerima nasehat dari siapapun, selama tidak bertentangan dengan nilai kebenaran dan kabaikan, sehingga kita dapat terhindarkan dari bahaya adu domba dan fitnah yang dapat memecah belah umat Islam, masyarakat, bangsa, dan Negara. Barakallu lii walakum….

Sumber: Dakwatuna.com

HOAX: Editor Denmark yang terbakar hidup2

Berita palsu dalama BAHASA INDONESIA:
Cartoonist 'Jyllands Posten’ yang menghina Rasul kita lewat karikaturnya dengan bencana kebakaran yg menimpa bersama keluarganya. Beliau terbakar hidup-hidup bersama keluarganya, juga tidak lupa ikut semua harta seisi rumahnya....habiiiiiiis. Pemerintah Denmark sangat merahasiakan, menyembunyikan bahkan menutup-nutupi berita ini dari media massa dan khayalak ramai. Sebarkan berita ini booooo.... biarkan teman2 yang beriman melafazkan "Subhaaanallah" atas kebesaranNya mengazab orang2 yang berani melecehkan RasulNya.
****************
Assalamu'alaikum wr.wb.,
Tidak ada berita asli mengenai kematian pembuat kartun ini di semua situs berita resmi, situs umum dan semua blog.
Artinya, seorang pembuat kartun terkenal bisa wafat, gedungnya terbakar, tetapi semua situs berita, semua situs umum dan semua blog tidak melipat kejadian ini sama sekali. Apakah mungkin pemerintah Denmark atau pemerintah yang lain bisa mengendalikan begitu banyak sumber informasi di internet?

Artinya, informasi ini tidak benar, alias rekayasa. Tetapi karena banyak orang menerima dalam bentuk email, mereka sebarkan dan post di milis tanpa berfikir atau tanpa cek dan recek. Hasilnya, banyak orang menjadi percaya karena terima email yang sama beberapa kali (“Kalau ada di email, pasti benar!)
Beritanya juga sangat keliru karena ada 12 pembuat kartun (bukan 1 saja). Info dalam bahasa Inggris (sumber utama dari berita palsu ini) mengatakan THE ARTIST WHO DREW (yang berarti hanya 1 orang yang membuat kartun, beda dengan salah satu artist (= “one of the artists”). Kalau memang salah satu dari 12 orang itu telah wafat, maka menyebutkan namanya tidak bisa menyakitinya. Kok namanya tidak disebut?

Ada juga email satu lagi yang setara dalam bahasa Inggris yang menggantikan kata ARTIST dengan EDITOR. Tetap juga tidak benar.
Baik editor maupun 12 pembuat kartun tersebut masih hidup. Dan bahkan salah satu pembuat kartun itu memberikan interview sekitar 2-3 minggu yang lalu (bulan Maret 2008), dan saya baca hasil interview di situs berita resmi, lengkap dengan fotonya.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto

Versi BAHASA INGGRIS/English Version
Subject: Editor Denmark yang terbakar hidup2
'Danish Editor burnt alive'
The editor of the Danish newspaper 'Jyllands Posten' was burnt to death when a fire mysteriously broke out in his bedroom, a Saudi newspaper claims.

[This very similar email is also on the internet:]
Breaking news message: News Flash .!!!!!
The artist who drew the pictures of the Prophet Muhammed (P.B.U.H) has died in a fire. He was burned alive. Denmark government is hiding the news from the public and everyone has got to know. Plz spread this (its the price one must pay 4 the insult of s Prophet)
The editor of the Danish newspaper 'Jyllands Posten' was burnt to death when a fire mysteriously broke out in his bedroom, a Saudi newspaper claims. According to the newspaper, the editor was sleeping in his bedroom when the fire ravaged his bedroom. He and his newspaper became controversial when it had published blasphemous caricatures of Prophet Muhammad (PBUH).

The paper claims that the Danish govt is trying to cover up the news of the death. He was hit by divine retribution, the paper added. Muslims, all over the world, strongly denounced this blasphemous act and massive protests were held in all Muslim countries including Pakistan. Text messages and emails that claim that the editor or the cartoonist has been burnt alive have also been circulating since Tuesday, lending support to this report. The paper named the editor as Elliot Back. However, Back is merely a senior in Computer Science at Cornell University, who had published the caricatures on his website. Name of the culture editor of Jyllands Posten, who commissioned the caricatures, is Flemming Rose. Jens Julius is the name of one of the cartoonists that drew the images. There were 12 cartoonists in all, who according to the BBC have gone into hiding.

16 April, 2008

KPI Peringatkan "Mamamia Show" Karena Mengganggu Waktu Maghrib


Rabu, 16 Apr 08 05:40 WIB

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberikan peringatan keras terhadap tayangan program televisi berupa ajang kompetisi bernyanyi secara langsung (live) "Mamamia Show" dan sejenisnya (“Star Dut” dan “Super Seleb Show”) yang mengganggu ibadah sholat Maghrib yang wajib dilaksanakan umat Islam

Protes KPI itu dilayangkan setelah mendapatkan masukan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU), serta menerima protes dari sejumlah elemen masyarakat.

“Selain mengganggu penonton di rumah, KPI pusat juga mendapatkan keluhan bahwa di studio Indosiar tidak disediakan tempat shalat untuk penonton acara reality show tersebut,” kata Ketua KPI Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja dalam surat yang dilayangkan ke PBNU, Selasa(15/4).

Berdasarkan pemantau, tayangan kompetisi bahkan dimulai sebelum waktu shalat maghrib tiba dan berakhir hingga larut malam. Indosiar hanya memberikan jeda waktu untuk adzan maghrib beberapa menit saja, kemudian acara dilanjutkan kembali.

Kalaupun dipersiapkan tempat shalat, pihak Indosiar tidak mungkin bisa menampung ratusan penonton yang hadir, sambil menyiapkan tempat berwudhu sekaligus. Sementara itu, banyak di antara keluarga peserta dan para penonton yang hadir tampak berbusana muslim dan dipancing untuk bersorak sorai pada menit-menit shalat maghrib yang sangat pendek sekitar 65 menit.

KPI meminta pihak Indosiar memindahkan jam tayang ”Mama Mia Konser” dan program ajang kompetisi sejenis pada pukul 19.00 waktu setempat. Selain itu, lanjut Sasa, jam tayang program tersebut juga dapat mengganggu waktu belajar anak-anak.

Bahkan, KPI beranggapan program pemilihan bakat itu masih menampilkan lelucon-lelucon kasar dalam dialog antara pembawa acara dan komentator.

“KPI Pusat mengingatkan Indosiar untuk senantiasa memperhatikan peraturan-peraturan terkait isi siaran dalam Undang Undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, ” sambung Sasa Djuarsa.(novel/nu.ol)

Sumber: Eramuslim

*************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ternyata, kalau ada kesempatan muncul di tivi, dan ketawa2 bersama dengan para artis, banyak ibu2 yang berbusana Muslim (dan bapak2 juga) siap tinggalkan ibadah wajib. Tapi kalau ibu itu disuruh lepaskan jilbab supaya bisa masuk tivi, apakah dia mau? Saya yakin banyak yang akan menolak, tapi kalau diajak mengabaikan ibadah wajib, no problem. Yang penting masuk tivi deh. Ha ha, hi hi. Menjadi terkenal. Sholat maghrib? Apa itu?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

14 April, 2008

Pemotongan Dana BOS


Biaya Pendidikan di Pundak Rakyat

Sabtu, 12 April 2008 | 01:42 WIB

Jakarta, Kompas - Pemotongan anggaran bantuan operasional sekolah untuk buku menambah beban masyarakat. Buku pelajaran merupakan salah satu biaya terbesar yang harus ditanggung masyarakat dalam menempuh pendidikan dasar. Seharusnya, bantuan untuk buku pelajaran ditingkatkan, bukannya dipotong.

Seperti diwartakan sebelumnya, anggaran BOS untuk buku yang semula Rp 432 miliar dipotong Rp 166 miliar, sedangkan beasiswa bagi siswa miskin Rp 359 miliar jadi Rp 71,85 miliar.

Warga pinggir Kali Grogol di daerah Kemandoran Pluis, Jakarta, Jumina (36), Jumat (11/4), mengatakan, anaknya di kelas VI sebuah sekolah dasar negeri di Palmerah selama satu semester terakhir tidak punya buku pelajaran sama sekali. Untuk belajar sehari-hari, mempersiapkan ujian akhir sekolah berstandar nasional, anaknya terpaksa meminjam buku teman atau belajar di rumah teman.

”Saya waktu itu tidak punya uang, sekarang juga tanggung, sudah mau lulus. Total harga buku lebih dari Rp 100.000 dan tidak bisa dicicil sedikit-sedikit. Saya mana punya uang sekaligus banyak begitu. Apalagi adiknya yang duduk di kelas II juga minta dibelikan buku pelajaran,” ujar Jumina yang mengandalkan pendapatan dari jualan mi ayam.

Keuntungan bersih berjualan adalah Rp 20.000-Rp 40.000 setelah naiknya harga sejumlah bahan baku seperti harga minyak. Dia membayar kontrak rumah Rp 250.000 per bulan dan uang saku Rp 1.000 untuk setiap anaknya. Jumina mempunyai empat anak, dua duduk di kelas II dan kelas VI SD. Satu anak berumur empat tahun, yang tertua baru putus sekolah di kelas II SMA.

Anaknya yang kelas II dipinjami tiga buku dari sekolah. Sisanya masih harus membeli. Anaknya yang kelas VI tidak mendapat pinjaman buku. Mendengar dana BOS buku dipotong, dia hanya berkata, ”Yah, seperti biasa aja.... Pasrah.”

Kaseh (35), warga di daerah yang sama, mengeluhkan hal serupa. Seorang anak Kaseh duduk di kelas I SMP swasta dan seorang lagi di kelas II SD negeri. Sumber penghasilannya dari usaha sablon. ”Anak saya yang kelas I SMP semester terakhir harus beli buku Rp 113.000, tidak boleh dicicil dan harus dibayar satu bulan. Kalau tidak ada uang, tidak ada buku. Terpaksa utang sana-sini. Kemarin dia minta Rp 15.000 untuk LKS (buku Lembar Kerja Siswa),” ujarnya.

Kaseh juga harus membeli buku untuk anaknya yang kelas II SDN Rp 250.000 untuk satu tahun. Mereka sulit bertukar buku karena buku antarsekolah berlainan. Bahkan, setiap angkatan di satu sekolah pun sering berbeda bukunya.

Mereka memang tak dipungut lagi iuran sekolah bulanan setelah ada BOS, tetapi bagi mereka biaya buku saja sudah sangat berat. ”Buat saya, orang susah, seharusnya pendidikan mah gratis. BOS harusnya ditambah,” ujarnya.

Aktivis pendidikan dari Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal, Fitri, mengatakan, pemotongan anggaran oleh pemerintah terhadap beasiswa bagi anak miskin dan BOS buku mencerminkan betapa biaya pendidikan semakin dilimpahkan kepada masyarakat.

Padahal, bantuan yang ada pun belum memadai untuk menjamin akses masyarakat ke pendidikan dasar. ”Ini tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat miskin dan semakin menambah hambatan mereka dalam mengakses pendidikan dasar. Padahal, mereka sangat membutuhkan dan masih meyakini pendidikan merupakan modal untuk mengubah nasib mereka,” ujar Fitri.

Negara saat ini memang harus berhemat untuk dapat maju dan berjalan, tetapi seharusnya tidak berhemat dalam hal pembangunan pendidikan. Peningkatan sumber daya manusia akan dapat meningkatkan perekonomian, kesejahteraan, dan keberdayaan masyarakat. (INE)

Sumber: Kompas, 12 April 2008

************************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Anehnya, saat baca berita ini, saya jadi ingat rencana Diknas untuk menghabiskan ratusan milyar untuk membangun SBI – Sekolah Bertaraf Internasional, yang akan memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak2 pilihan.

Hmmmm…

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Fatwa Dr. Yusuf Qordhowi Tentang Halalnya 0.5% Alkohol


Jumat, 11 Apr 08 09:57 WIB

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.

Ustadz, Bagaimana tanggapan ustadz tentang fatwa Dr.Yusuf Qordhowi tentang halalnya minuman beralkohol yang berkadar 0.5%? Apa landasan beliau? Bukankah ada hadits yang menyebutkan bahwa minuman yang memabukan baik sedikit atau banyak tetap haram.

Terima kasih atas jawabannya.

NK

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya Syeikh Al-Qaradawi bukan menghalalkan khamar. Yang beliau sebutkan adalah kadar maksimal Alkohol yang masih bisa ditolelir dalam suatu obat atau makanan. Dan tidak ada yang salah dalam masalah ini.

Bahkan LPPOM MUI malah lebih longgar ketika memberikan batasan, mereka menyebut kadar nilai 2%, jauh lebih banyak dari yang disebutkan oleh Al-Qaradawi.

Bukankah Banyak dan Sedikit Tetap Haram?

Benar sekali bahwa banyak atau sedikit tetap haram, tetapi kita harus perhatikan dulu, yang disebut banyak atau sedikit itu apanya?

Bukan kadar Alkohol tapi khamar. Khamar itu mau diminum cuma setetes atau mau ditenggak seember, sama-sama haram. Tapi Alkohol tidak sama atau tidak identik dengan khamar. Inilah titik masalahnya.

Kita bisa katakan bahwa Alkohol adalah senyawa kimia, sedangkan Khamar adalah karakter suatu bahan makanan, minuman atau benda yang dikonsumsi.

Definisi khamar tidak terletak pada susunab kimianya, tapi definisinyaterletak pada efek yang dihasilkannya, yaitu al-iskar (memabukkan). Maka benda apa pun yang kalau dimakan atau diminum akan memberikan efek mabuk, dikategorikan sebagai khamar.

Maka definisi khamar yang benar menurut para ulama adalah'segala yang memberikan efek iskar (memabukkan)'. Dan definisinya bukanlah 'semua makanan yang mengandung Alkohol'.

Sebab menurut para ahli, secara alami beberapa makanan kita seperti besar, singkong, duren dan buah lainnya malah mengandung Alkohol. Namun kita tidak pernah menyebut bahwa berat itu haram karena mengandung Alkohol.

Dan karena definisinya segala benda yang memberikan efek iskar, maka ganja, opium, drug, mariyuana dan sejenisnya, tetap bisa dimasukkan sebagai khamar. Padahal benda itu malah tidak mengandung Alkohol.

Daun ganja kering yang dilinting seperti rokok, rasanya tidak mengandung Alkohol, tapi dia tetap dikatakan sebagai khamar. Karena daun itu memabukkan kalau dihisap asapnya.

Senyawa Alkohol sendiri kalau kita minum, bukan efek al-iskar (mabuk) yang dihasilkan, melainkan efek al-mautu.

Al-Mautu? Apa itu?

Al-mautu artiya kematian. Coba saja minum alkohol 70% yang kita beli di Apotek, tidak usah banyak-banyak, segelas saja, insya Allah langsung innalillahi.

Dalam dalam kadar yang kecil dan sedikit, Alkohol aman bagi tubuh dan juga tidak memberi efek al-iskar, juga tidak memberi efek al-mautu. Karena itu banyak ulama dan lembaga pengawas makanan yang membolehkan khamar dengan kadar tertentu, terutama untuk larutan obat.

Dan karena Alkohol tidak identik dengan khamar, maka bila jumlahnya sedikit masih bisa ditolelir.

Lalu Bagaimana Mengukur Al-Iskar?

Kepolisian biasanya memang mengukur apakah seseorang mabuk atau tidak, mengunakan kadar Alkohol dalam darah. Padahal dalam syariah Islam, cara pengukuran seperti itu tidak pernah dilakukan.

Sebab fenomena al-iskar itu mudah sekali diketahui, sama saja dengan menyebutkan beda orang yang tidur dengan yang tidak tidur. Tidak perlu diukur dengan beragam pengukuran hingga sampai REM segala.

Pokoknya anak kecil juga tahu membedakan, mana tidur dan mana melek. Sederhana sekali karena syariah Islam itu memang sederhana saja.

Kalau mau tahu apakah sebuah minuman bersoda itu sudah termasuk khamar atau bukan, suruh saja kucing atau kelinci meminumnya. Kita lihat efeknya, kalau hewan itu jalannya sempoyongan lantaran teler nenggak minuman itu, nah ketahuan deh bahwa minuan itu khamar. Maka otomatis kita sebut minuman itu khamar, meski tidak ada alkoholnya.

Tapi kucing atau kelincinya harus yang sehat wal afiat, jangan kucing yang kerjaannya mabok juga. Yang begitu sih tidak bisa dijadikan ukuran. Habis, tiap hari kerjaannya nenggak bir, AO, mansion, vodka, topi miring, dan sejenisnya. Kucingnya harus kucing yang belum pernah mabok sebelumnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: Eramuslim

11 April, 2008

Penjelasan Fatwa Syekh Yusuf Al Qardhawi: Minuman Boleh Mengandung Kadar Alkohol

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ada pembaca blog yang minta penjelasan tentang dua buah berita (lihat di bahwa) yaitu fatwa Syekh Yusuf al Qardhawi yang menyatakan minuman boleh mengandung kadar alkohol, kemudian MUI membenarkan fatwa tersebut. Berikut ini, saya ingin menyampaikan ilmu yang pernah didapatkan dari guru saya almarhum KH Masyhuri Syahid (ahli fiqih dan anggota MUI) karena kita pernah membahas perkara tersebut di kelas fiqih.

Insya Allah, fatwa dari Syekh Yusuf al Qardhawi benar. Insya Allah, tanggapan dari MUI juga benar.

Yang diharamkan Allah di dalam Al Qur’an adalah khamar, yaitu sebuah minuman yang dibuat dengan sengaja, dan sengaja diciptakan dengan kadar alkohol dengan tujuan memabukkan si peminum. Jadi, kalau ada minuman/makanan selain dari itu, yang tujuannya tidak untuk memabukkan, apalagi kalau kadar alkohol muncul secara tidak sengaja dan tidak diatur, maka hal itu diperbolehkan dan tidak diharamkan kebanyakan ulama.

Tetapi perlu diketahui bahwa ada juga pendapat sebagian ulama yang sangat hati-hati, bahwa kadar alkohol seberapapun di dalam makanan atau minuman apapun adalah alasan untuk mengharamkannya. Jadi mereka haramkan apapun yang punya kadar alkohol, termasuk tape dan durian. Ada pula pendapat yang menyatakan makruh (tidak haram, tetapi lebih baik ditinggalkan).

Kata Syekh Yusuf al Qardhawi:

"Keberadaan alkohol dalam proporsi 5 per seribu (0,5 persen) itu tidak dilarang karena itu adalah jumlah minimal, khususnya ketika itu dihasilkan dari fermentasi alami. Oleh karena itu tidak ada yang salah dengan meminum minuman itu," tulis Qardhawi.

Kata MUI:

Ketua MUI Amidhan mengatakan harus teliti melihat konteks fatwa Qardhawi. Ulama Mesir itu menyikapi minuman berenergi di Qatar yang mengeluarkan fermentasi.

"Minuman berenergi bukan khamar, mungkin keluar fermentasinya berupa zat ethanol. Kalau kadarnya di bawah 1 persen itu ditolerir," kata Amidhan kepada detikcom, Jumat (11/4/2008).

Minuman berenergi, menurut Amidhan, tidak dimaksudkan untuk menjadi minuman memabukkan. Angka 1 persen adalah batas yang dinilai tidak akan menyebabkan mabuk. Masyarakat harus membedakannya dengan khamar seperti arak, bir atau wine yang memang sengaja dibuat untuk memabukkan.

Jadi, di sini menjadi jelas bahwa konteks dari fatwa tersebut sangat penting. Yang dibicarakan Syekh Yusuf al Qardhawi adalah minuman berenergi. Bukan bir atau wiski yang mempunyai kadar alkohol yang rendah.

Mungkin dari pandangan orang biasa, tidak ada bedanya. Tetapi dari pandangan ulama fiqih tetap ada bedanya. Kalau kadar alkohol 0,5% itu muncul di dalam sebuah mimuman berenergi, maka hal itu hanya merupakan hasil alami dari proses fermentasi. Hal ini belum tentu disengaja, dan juga belum tentu bahwa kadar alkohol dikontrol supaya persis sama di dalam setiap botol. (Tetapi untuk bir dan lain-lain, kadar alkohol sangat dikontrol, dan bahkan ditulis di botolnya biar peminum bisa tahu).

Ternyata, tidak ada bar dan klub malam di mana orang masuk dan pesan minuman berenergi karena berniat mabuk. Dan produsennya juga tidak menciptakan produk tersebut dengan niat memabukkan orang. Justru sebaliknya, dia ingin menyehatkan orang, dan tidak membicarakan bagaimana caranya mengatur kadar alkoholnya, atau bagaimana supaya peminum bisa menjai mabuk atau kecanduan. Dia juga tidak berusaha mendapat akses untuk memasukkan produknya ke bar dan klub malam supaya minuman berenergi itu bisa dijual di sana dan bersaing langsung dengan bir, wiski, vodka, dan lain-lain.

Jadi, statusnya tetap sebagai minuman berenergi yang karena proses fermentasi alami, ternyata muncul kadar alkohol kecil. Hal yang setara bisa terjadi dengan buah yang diawetkan, minuman yang mengandung bahan-bahan tertentu seperti gula, saus di dalam botol seperti saus teriyaki dll., makanan seperti tape, dan juga bisa ada secara alami di dalam buah seperti durian. Dalam semua kasus ini, alkoholnya tidak diciptakan dengan niat memabukkan orang, jadi tidak bisa disamakan dengan minuman beralkohol seperti bir dan wiski (khamar) yang hanya diciptakan untuk memabukkan.

Tetapi, kalau misalnya ada kasus di mana satu orang paham bahwa minuman berenergi tersebut mengandung kadar alkohol yang kecil, dan dia dengan sengaja minumnya berkali-kali setiap hari biar bisa merasa “mabuk” maka minuman itu (bagi dia) sudah menjadi sama dengan khamar (bir, wiski, dll.), jadi bagi dia minuman itu memang harus diharamkan. Tetapi buat tentangganya yang hanya minumnya sewaktu-waktu karena ingin merasa segar, tidak berniat menjadi mabuk, dan tidak menyamakan fungsinya dengan bir, dan tetap akan beli walaupun tidak ada kadar alkohol sama sekali, maka Insya Allah tidak haram dan tidak bisa disebut “khamar”. Coba berfikir seperti ini: kalau ada orang yang kecanduan bir yang tahu bahwa di bar tertentu, semua bir, wiski, vodka dan minuman lain tidak punya kadar alkohol sama sekali, apakah dia masih akan masuk dan pesan minuman itu bila ternyata tidak bisa mabuk? Pasti dia tidak mau karena niat dia beli minuman itu adalah biar bisa merasa “mabuk”.

Jadi, minum berenergi yang punya kadar alkohol kecil berbeda dengan bir. Bir yang punya 0% alkohol tetap tidak diizinkan oleh ulama, karena setelah diteliti, tetap ada kadar alkoholnya, walaupun sangat kecil. Lalu apa bedanya?

Bedanya adalah bir 0% itu diciptakan oleh perusahan yang memproduksikan bir. Jadi, mereka sangat peduli pada “khamar” karena merupakan bisnis utama mereka. Kalau mereka membuat sebuah minuman dengan kadar alkohol yang sangat rendah, kita tidak bisa tahu “niat” mereka apa. Misalnya, mereka punya tujuan untuk membiasakan masyarakat dengan minuman tersebut, supaya di masa depan lebih mudah bagi masyarakat untuk “pindah” ke produk utama mereka, yaitu bir yang beralkohol tinggi.

Jadi, barangkali bir 0% itu hanya merupakan trik marketing mereka supaya di masa depan banyak orang menjadi senang minum bir yang beralkohol. Kita tidak tahu. Tetapi yang jelas, sebagai perusahaan minuman keras, mereka sangat peduli pada kadar alkohol karena itulah ilmu mereka dan mereka sangat pintar dan sangat peduli pada proses mengatur kadar alkohol di dalam minuman mereka.

Sebaliknya, kalau kita bertanya kepada produsen minuman berenergi tentang kadar alkohol di dalam setiap botol dan apa yang dia lakukan untuk mengatur tingkat alkohol tersebut supaya rata dalam setiap botol, mungkin dia akan menjawab, “Emang gue pikirin?” karena dia sangat tidak peduli pada hal itu. Dia tidak merasa sebagai penjual minuman beralkohol dan tujuan dia bukan untuk memabukkan orang. Beda dengan produsen bir.

Kesimpulannya, kalau mau setuju dengan pendapat sebagian ulama yang sangat hati-hati, silahkan tinggalkan semua makanan dan minuman yang punya kadar alkohol, walaupun sangat kecil. Kalau mau anggap makruh (tidak haram, tetapi lebih baik ditinggalkan) silahkan juga, dan kedua sikap ini sangat baik dan mulia. Dan yang terakhir, ada pendapat bahwa minuman tersebut tidak sama dengan “khamar” yang Allah haramkan, karena tidak diproduksi dengan niat memabukkan orang.

Silahkan pilih salah satu pendapat yang diyakini. Dari pembicaraan yang panjang dengan guru saya KH Masyhuri Syahid, saya merasa yakin pada pendapat terahkhir (tidak haram karena tidak sama dengan khamar). Tetapi kalau ada teman yang berbeda pendapat karena ingin hati-hati, silahkan. Kita tidak perlu ribut tentang hal seperti ini. Yang penting kita menggali ilmu dan meyakini salah satu pendapat tersebut.

Semoga bisa dipahami. Mohon maaf bila ada kesalahan.

Wabillahi taufiq walhidayah.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

11/04/2008 07:00 WIB

Fatwa Qardhawi Soal Alkohol Jadi Kontroversi

Fitraya Ramadhanny - detikcom

Baca di sini: Detik.com

11/04/2008 08:10 WIB

MUI Benarkan Qardhawi Soal Minuman Beralkohol

Fitraya Ramadhanny – detikcom

Baca di sini: Detik.com

10 April, 2008

Korban Sodomi oleh Guru Ngaji Trauma Lihat Pria


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Sedih sekali baca berita ini. Mungkin si pelaku ingin bersaing dengan pastor gereja Katolik yang sudah berkali-kali ditangkap karena melakukan sodomi terhadap anak yang seharusnya dilindungi dan dibimbing dalam agama.

Juga sangat disayangkan sikap anak-anak yang lain di lingkungan si korban. Anak yang sudah menjadi korban diejek oleh mereka dan menjadi korban lagi.

Bagaimana anak kecil bisa bersikap begitu kejam terhadap tentangga dan teman sekolahnya yang tidak bersalah? Di mana orang tuanya yang seharusnya mengajarkan mereka untuk merasa kasihan pada si korban? Apa perlu ajaran khusus di sekolah sehingga anak2 sekolah bisa merasa “kasih-sayang” di dalam hatinya?

Masa korban diejek anak2 yang lain?

Bagaimana masa depan bangsa ini kalau warga negara sudah menjadi kejam dan tidak punya rasa sayang di dalam hatinya pada umur 10 tahun?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

10/04/2008 14:33 WIB

Korban Sodomi oleh Guru Ngaji Trauma Lihat Pria

Andi Saputra - detikcom

Jakarta - Trauma psikis telah dialami Farhan, salah satu siswa SD Perniagaan Tambora, Jakarta Barat, yang menjadi korban sodomi oleh guru ngajinya, Yusuf (24). Farhan yang kini duduk dibangku kelas 2, mengalami trauma berat. Menurut penuturan orangtua Farhan, Aisyah, Farhan tidak mau lagi menemui laki-laki.

"Farhan sering mengurung diri di rumah dan hanya mau keluar saat sekolah. Karena teman-temannya sering ngejek-ngejek," tutur Aisyah di Polres Jakarta Barat, Jl S Parman, Jakarta Barat, Kamis (10/3/2008).

Aisyah berharap, Yusuf dihukum seberat-beratnya, "Saya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya karena pelaku sudah kejam ke anak saya."

Sementara, saat ini polisi tengah melakukan visum pada 10 korban. Sedangkan korban lainnya, telah divisum pada Rabu 9 April 2008 malam. Keseluruhan korban divisum di RSCM. ( ptr / ana )

10/04/2008 15:24 WIB

Guru Ngaji Sodomi 26 Anak Diancam 15 Tahun Penjara

Andi Saputra - detikcom

Jakarta - Yusuf alias Ucup alias Cucup Kurniawan (24), tersangka sodomi pada 26 siswa ngajinya hukuman penjara 15 tahun penjara.

"Yusuf terancam pasal 82 UU No 23/2002 tentang UU Perlindungan Anak jo pasal 292 KUHP, dengan ancaman penjara 15 tahun," kata Kapolres Jakarta Barat Kombes Iza Fadri, di Mapolres Jakarta Barat, Jl S Parman No 31, Jakarta Barat, Kamis (10/3/2008).

Yusuf ditangkap di kampung halamannya, Wanaraja, Garut, Jawa Barat. "Saat ditangkap, Yusuf tidak melakukan perlawanan sedikit pun," ujar dia.

Iza menambahkan, pihaknya telah mendapatkan 17 laporan dari korban sodomi yang dilakukan oleh Yusuf. Mereka adalah FA, UD, AN, IR, AG, AS, UM, MA, PE, RI, IR, OK, BO, FI, RU, RA, RY. Rata-rata korban berusia 5 tahun hingga 15 tahun.

"Jumlah ini akan bertambah karena pelaku melakukan sodomi dari 2004 hingga sekarang," pungkasnya. ( ptr / nrl )

Sumber: Detik.com

Terungkap, Proyek Rahasia Bush untuk Singkirkan Hamas dari Ghaza


Selasa, 4 Mar 08 16:02 WIB

Dugaan ada nyacampur tangan AS dalam penggulingan pemerintahan Hamas yang sah di Palestina, ternyata benar adanya. Setelah pemerintahan Hamas tumbang dan menyingkir ke Ghaza, pemerintahan AS ternyata masih belum puas juga. Presiden AS George W. Bush rupanya telah merancang proyek rahasia untuk mengakhiri penguasaan Hamas atas Ghaza.

Proyek rahasia itu diungkap majalah Vanity Fair berdasarkan sejumlah dokumen-dokumen rahasia yang berhasil mereka dapatkan. Dari dokumen-dokumen itu diketahui bahwa Bush dan Menlu Condoleezza Rice telah menandatangani sebuah rencana membantu Presiden Palestina Mahmud Abbas untuk menyingkirkan Hamas dari Ghaza.

Isi dokumen-dokumen tersebut, menurut Vanity Fair, juga menguatkan tuduhan yang dilontarkan Hamas dan sebagian rakyat Palestina selama ini, bahwa AS telah memberikan bantuan persenjataan dan uang untuk menumpangkan pemerintahan Hamas yang terpilih lewat pemilu yang demokratis di Palestina.

Setidaknya ada tiga memo rahasia yang dikeluarkan jajaran pemerintahan Bush, yang dibeberkan oleh Vanity Fair terkait dengan rencana jahat Bush terhadap Hamas. Memo pertama dibuat oleh Konsul Jenderal AS di al-Quds, Jake Walles. Dalam memo disebutkan bahwa pada tahun 2006, pemerintahan Bush memerintahkan Walles untuk mengatakan pada Abbas di Ramallah agar presiden Palestina itu membubarkan pemerintahan Hamas, jika Hamas tidak mau mengakui rejim Zionis Israel.

"Kami yakin sudah waktunya buat Anda (Abbas) untuk bergerak dengan cepat dan meyakinkan. Jika Hamas dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak sepakat (tidak mau mengakui Israel), Anda harus tegas menentukan tujuan dan segera mendeklarasikan situasi darurat serta membentuk pemerintahan darurat yang secara eksplisit memegang komitmen platform tersebut. Jika Anda bertindak sesuai jalur, kami akan membantu Anda baik dari sisi material maupun sisi politik... Kami akan di sana mendukung Anda, " demikian bagian isi memo pertama.

Memo kedua disusun oleh Departemen Luar Negeri AS. Dalam memo itu disebutkan bahwa harus dicari cara-cara yang bisa "mengakhiri permainan" di mana Abbas harus menyingkirkan Hamas dari tampuk kekuasaan sampai akhir tahun 2007. Untuk itu, Abbas harus diberi perlengkapan untuk memperkuat pasukannya.

Sedangkan memo ketiga, berisi perencanaan di mana Abbas akan membubarkan pemerintahan bersatu Fatah-Hamas dan kesepakatan keamanan akan dilakukan antara Dahlan dan Dayton untuk memperkuat pasukan Fatah. Yang dimaksud dengan Dayton adalah Letnan Jenderal Keith Dayton, yang pada saat itu menjadi kordinator pasukan pengamanan AS di Palestina. (ln/presstv)

Sumber: Eramuslim

Losing the War for Reality (Failure in the CIA)

This is well worth the read. It’s quite amazing how old names from the past 25 years keep popping up again in new administrations. It such a shame that the majority of the American public have no interest in controlling what their government does. Or even care enough to want to know. They are probably more interested in knowing about what Britney Spears or Paris Hilton are doing.

As long as that situation continues, the whole world is at the mercy of US foreign policy, and there are no “checks and balances” anymore. There is only the “Truth” as presented by Fox News.

Go to Original

Losing the War for Reality

By Robert Parry

Consortium News

Tuesday 08 April 2008

When future historians look back at the sharp decline of the United States in the early 21st Century, they might identify the Achilles heel of this seemingly omnipotent nation as its lost ability to recognize reality and to fashion policies to face the real world.

Like the legendary Greek warrior - whose sea-nymph mother dipped him in protective waters except for his heel - the United States was blessed with institutional safeguards devised by wise Founders who translated lessons from the Age of Reason into a brilliant constitutional framework of checks and balances.

What the Founders did not anticipate, however, was how fragile truth could become in a modern age of excessive government secrecy, hired-gun public relations and big-money media. Sophisticated manipulation of information is what would do the Republic in.

That is the crucial lesson for understanding the arc of U.S. history over the past three decades. It is a central theme of a new book by former CIA analyst Melvin A. Goodman, Failure of Intelligence: The Decline and Fall of the CIA.

As a senior Kremlinologist in the CIA's office of Soviet analysis, Goodman was on the front lines of the information war in the early 1980s when ideological right-wingers took control of the U.S. government under Ronald Reagan and began to gut the key institutions for assessing reality.

One of the target institutions was the national press corps, which came under sustained assault from the Right - with reporters facing accusations of disloyalty and "liberal bias" from both inside the Reagan administration and from well-financed right-wing attack groups. [For details, see Robert Parry's Lost History or Secrecy & Privilege.]

Another key institution on the Right's radar scope was the CIA's analytical division, which was responsible for supplying objective information about the world's dangers to senior government officials.

However, in the 1970s and early 1980s, CIA analysts were seeing evidence of an accelerating decline in the Soviet Union, especially in its technological capabilities and its economy. Thus, Moscow seemed genuinely interested in détente with the West, especially a winding down of the dangerous and expensive arms race, the analysts concluded.

"A CIA paper warning of the Soviet Union's impending descent into economic stagnation, 'Soviet Economic Problems and Prospects,' was issued in 1977, setting out the reasons why the Soviet economy was in trouble and why its future was so grim," wrote Goodman in his book.

While many Americans might have thought the Soviet decline would be good news, it wasn't welcomed by the U.S. right-wing or inside the military industry. They preferred that the American people still perceive an ascendant and implacable communist enemy, all the better to justify brush-fire wars and higher spending on weapons systems.

So, when Reagan captured the White House in 1980, his followers set their sights on purging the CIA's analytical division of its historical commitment to objectivity, to be replaced by a submissive readiness to deliver politically desirable data.

Robert Gates's Role

As Goodman's book explains in impressive detail, the key action officer for carrying out this reversal of the CIA's analytical role was a young bureaucrat named Robert Gates, who is now George W. Bush's Secretary of Defense.

Goodman recalls the CIA's analytical tradition of honest scholarship, which was established in the early days of the Cold War by the likes of Harvard professor William Langer, a former intelligence analyst in World War II.

"Langer and his successor, Yale professor Sherman Kent, were keen analysts in their own right and merciless in criticizing the work of their colleagues," Goodman wrote. "Both Langer and Kent were independent, tenacious, and tough-minded. They made sure that analysts 'told it like it was,' even if the conclusions of the estimates were not consistent with favored policy.

"Kent emphasized that he wanted intelligence delivered with the 'bark on,' no matter how unpopular the message was to policymakers."

However, that ethos began to erode in 1973 - beginning with President Richard Nixon's appointment of James Schlesinger as CIA director and Gerald Ford's choice of George H.W. Bush for that job in 1976 - but the principle of objectivity wasn't swept away until Ronald Reagan put in his campaign chief, William Casey, as CIA director. Casey then chose the ambitious Robert Gates to run the analytical division.

Rather than Kent's mandate for "bark on" intelligence, Goodman observed, "Bob Gates turned that approach on its head in the 1980s and tried hard to anticipate the views of policymakers in order to pander to their needs.

"Unlike Kent, Gates consistently told his analysts to make sure never to 'stick your finger in the eye of the policymaker.'"

It didn't take long for the winds of politicization to start blowing through the halls at Langley.

"Bill Casey and Bob Gates guided the first institutionalized 'cooking of the books' at the CIA in the 1980s, with a particular emphasis on tailoring intelligence dealing with the Soviet Union, Central America, and Southwest Asia," Goodman wrote.

"Casey's first NIE [National Intelligence Estimate] as CIA director, dealing with the Soviet Union and international terrorism, became an exercise in politicization. Casey and Gates pushed this line in order to justify more U.S. covert action in the Third World.

"In 1985, they ordered an intelligence assessment of a supposed Soviet plot against the Pope, hoping to produce a document that would undermine Secretary of State [George] Shultz's efforts to improve relations with Moscow. The CIA also produced an NIE in 1985 that was designed to produce an intelligence rationale for arms sales to Iran."

After years of overestimating growth of Soviet military spending, which had been pegged at 4 to 5 percent a year, CIA analysts sought in 1983 to correct the growth rate down to 1 percent, only to be blocked by Gates, according to Goodman.

"Gates would not permit the paper with the revised growth rates to be published, but warned [Defense Secretary Caspar] Weinberger, who 'went nuts,' according to two former CIA analysts," Goodman wrote. "Two years later, Gates finally permitted the paper to be circulated, but he refused to publish a paper."

The Triumph of Career

From his front-row seat at CIA headquarters, Goodman watched in dismay as Gates applied his bureaucratic skills to reverse the agency's analytical principles.

"While serving as deputy director for intelligence from 1982 to 1986, Gates wrote the manual for manipulating and centralizing the intelligence process to get the desired intelligence product," Goodman wrote.

Gates promoted pliable CIA careerists to top positions, while analysts with an independent streak were sidelined or pushed out of the agency.

"In the mid-1980s, the three senior [Soviet division] office managers who actually anticipated the decline of the Soviet Union and Moscow's interest in closer relations with the United States were demoted," Goodman wrote, noting that he was one of them.

"All understood the weakness of the Soviet Union, but were removed from their managerial responsibilities by the director of the Soviet office, Douglas MacEachin, under the orders of the deputy director of intelligence, Bob Gates."

The reason, Goodman wrote, was: "The Reagan administration would not accept any sign of Soviet weakness or constraint, and CIA director Casey and deputy director Gates made sure intelligence analysis presented the Russian Bear as threatening and warlike."

These institutional blinders remained in place for the rest of the 1980s.

"As a result, the CIA missed the radical change that Mikhail Gorbachev represented to Soviet politics and Soviet-American relations, and missed the challenges to his rule and his ultimate demise in 1991," Goodman wrote.

So, when the Soviet Union - the CIA's principal target - collapsed without any timely warning to the U.S. government, the CIA didn't as much "miss" this development as it was blinded by ideological taskmasters to the reality playing out in plain sight.

Covering Up

Then, rather than take the Soviet intelligence failure to heart, Gates and other bureaucrats went to work covering their tracks. For that, they got the help of Harvard's Kennedy School, which received hundreds of thousands of dollars to finance case studies to show that the CIA "got it right," Goodman wrote.

"The office director for the Soviet Union during much of the 1980s, when the work of politicization was undertaken, Douglas MacEachin, was sent to Harvard as intelligence officer in residence to help the director of the case studies, Philip Zelikow, prepare these studies," Goodman wrote.

"In 1993, MacEachin became the CIA's deputy director for intelligence," Goodman wrote. "Zelikow and MacEachin were reunited in 2004, when Zelikow was named staff director of the 9/11 commission and appointed MacEachin a team leader on the staff. Zelikow and MacEachin made sure that the commission did not indict the CIA for its contributions to the 9/11 intelligence failure."

In the 1980s, two other brave analysts - Richard Barlow and Peter Dickson - were punished when they clashed with the Casey-Gates desires regarding analyses on nuclear proliferation issues, particularly evidence that Pakistan was developing a nuclear bomb.

At the time, the Reagan administration wanted the Pakistan-bomb issue downplayed because the Pakistani intelligence service was helping the United States funnel arms to Islamic fundamentalists flocking to Afghanistan to fight Soviet troops.

Ironically, after the Soviet Union withdrew from Afghanistan in the late 1980s, the chief beneficiaries of that covert U.S. program included Osama bin Laden, who used the Afghan war to organize his band of al-Qaeda terrorists, and Pakistani physicists, who did develop a nuclear bomb and sold the technology to "rogue" countries.

Yet, in the 1980s, while out-of-step analysts were pushed aside, many of Gates's protégés - the likes of John McLaughlin, Paul Pillar and Alan Foley - went on to successful CIA careers. Eventually, they would play key roles in the politicizing of the intelligence on Iraq's WMD, Goodman wrote.

A central theme of Goodman's book is that the consequences of this obsequious intelligence - this failure to face reality - have been disastrous:

"Much of the intelligence damage in the run-up to the Iraq War was due to the DI [the CIA's Directorate of Intelligence] believing that it was actually 'serving' the White House in preparing its assessments of Iraqi WMD. [Old-time analysts] Langer and Kent did not see themselves as 'serving' the White House, but 'informing' the White House."

Gates Advances

Goodman noted that other cozy relationships helped advance Gates's career and blocked a truthful recounting of recent American history. Goodman even traced the end of serious congressional oversight of intelligence to 1991 and the Senate Intelligence Committee's capitulation during Gates's confirmation hearings to be CIA director.

After Gates had been blocked from the top CIA job in 1987 because of his ties to the Iran-Contra scandal, Gates "set about to launder his credentials and particularly to insinuate himself with [Sen. David] Boren," D-Oklahoma, chairman of the Senate Intelligence Committee, Goodman wrote.

"In 1991, the White House checked with Boren to see if Gates could receive confirmation this time around, and Boren angered many Democrats on the intelligence committee when he guaranteed confirmation to White House aide Boyden Gray."

But a firestorm over Gates's role in politicizing CIA intelligence threatened his nomination in fall 1991. Rather than back off this time, however, President George H.W. Bush told committee Republicans "that he was 'going to the mat' for Gates and wanted his nomination confirmed at all cost," Goodman wrote.

Gates's future ultimately was saved by Boren and his top aide, George Tenet, who shepherded the nomination through the committee and then the full Senate.

Once Gates got in as director, he went to work shielding Bush from political scandal, including Bush's secret military support of Saddam Hussein's regime in Iraq during the 1980s, according to Goodman.

Gates helped squelch the House Banking Committee's examination of a multi-billion-dollar Iraqi-financing operation involving the Italian-owned Banca Nazionale del Lavoro, Goodman wrote, adding:

"The fact is that the Bush administration was engaged in an effort to subsidize and arm Saddam Hussein right up to the Iraqi invasion of Kuwait, and the CIA was totally aware of these efforts."

The Casey-Gates approach of putting politics and ideology ahead of objective analysis was still alive and well a decade later when then-CIA director George Tenet offered President George W. Bush the "slam-dunk" intelligence on Iraq's WMD.

Though Goodman suspects that Bush would have invaded Iraq whatever the CIA did, "it is conceivable … that honest leadership from George Tenet and John McLaughlin and a strong CIA stand could have created more opposition to the war from the Congress, the media, and the public," Goodman wrote.

But that didn't happen. Instead, Goodman wrote: "The CIA's failure in the run-up to the Iraq War was a total corporate breakdown."

Even in the wake of the Iraq WMD disaster, politicization has remained dominant, according to Goodman.

Tenet's successor, former Republican congressman Porter Goss, issued a memo to the CIA staff telling them to "support the administration and its policies in our work. As Agency employees, we do not identify with, support, or champion opposition to the administration or its policies."

In Goodman's view, other post-9/11 changes in the structure of the U.S. intelligence community - such as topping it off with another presidential appointee as Director of National Intelligence - have failed to address the underlying problem of a lost ethos that was committed to telling the truth no matter the political consequences.

Faced with mounting opposition to the Iraq War in 2006, President Bush also dipped back into his father's old roster of pliable bureaucrats and brought Robert Gates back into the government as Secretary of Defense. Gates helped put a fresh face on the "surge." [For more on Gates, see Consortiumnews.com's archive, "Who Is Bob Gates?"]

Lost Moral Compass

To Goodman, the erroneous intelligence analyses - that caused the United States to massively over-spend on military hardware to confront a declining Soviet threat in the 1980s and that led the nation into a bloody quagmire in Iraq this decade - were not simply mistakes.

"The intelligence provided in the Gorbachev era and the run-up to the Iraq War represented the failure of the CIA's moral compass," Goodman wrote. "There have been pluses and minuses over the sixty-year history of the CIA, but the past twenty-five years have provided an unending cycle of failure in telling truth to power. …

"The moral failure is the most worrisome aspect of all because, without the willingness to tell truth to power, reform and reorganization of CIA become irrelevant."

That lost ethos of seeking truth and telling it - both in the political and journalistic worlds - also goes a long way to explaining how the American Republic lost its way.

-----------

Robert Parry broke many of the Iran-Contra stories in the 1980s for the Associated Press and Newsweek. His latest book, Neck Deep: The Disastrous Presidency of George W. Bush, was written with two of his sons, Sam and Nat, and can be ordered at neckdeepbook.com. His two previous books, Secrecy & Privilege: The Rise of the Bush Dynasty from Watergate to Iraq and Lost History: Contras, Cocaine, the Press & 'Project Truth' are also available there. Or go to Amazon.com.

Source: Consortium News

09 April, 2008

1 Dari 5 ABG Putri Alami Kekerasan Seksual Saat Pacaran

09/04/2008 12:30 WIB

Nadhifa Putri - detikcom

Jakarta - Kekerasan seksual di kalangan remaja atau ABG sangat memprihatinkan. 1 Dari 5 remaja putri mengalami kekerasan seksual saat berpacaran atau dating violence.

"Harus diwaspadai adanya kekerasan di masa pacaran atau dating violence. Satu dari 5 remaja putri di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam masa berpacaran," kata Meutia Hatta saat konferensi pers Rencana Aksi Nasional Mewujudkan Keluarga Bersih dari Pornografi di Kantor Menneg PP, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (9/4/2008)

Kata Meutia, dating violence banyak terjadi karena remaja yang kecanduan pornografi. Kecanduan itu, menyebabkan pemaksaan pada remaja perempuan agar mau berhubungan intim. "Pelaku akan melakukan pemaksaan dan pelecehan secara verbal ataupun fisik dengan memperlihatkan gambar porno," tambahnya.

Dia juga mengatakan, berdasarkan toptenreveiw.com Indonesia masuk nomor 7 dari 10 peringkat dunia negara pengakses pornografi. Dari survey itu, di tahun 2006 berkembang 100 ribu situs bermaterikan pornogrofi anak yakni usia 18 tahun ke bawah.

Data itu menyebutkan 89 persen chating anak muda berkonotasi seksual. Rata-rata pengaksesnya berusia 11 tahun.

Sedangkan 80 persennya berusia 15-75 tahun telah biasa mengakses pornografi hardcore atau adegan hubungan intim yang memperlihatkan alat vital. "Yang lebih parah lagi data tersebut menyebutkan 90 persen akses pornografi dilakukan saat belajar dan melakukan tugas bersama," jelas Meutia.

Untuk mengantisipasinya perlu adanya informasi dan edukasi kepada para remaja tentang hak reproduksi. "Saya juga imbau orangtua untuk berperan aktif," tukasnya.

Terkait masalah itu, dia akan menggelar Aksi Nasional Mewujudkan Keluarga Bersih dari Pornografi. ( mar / nvt )

Sumber: Detiknews.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...