Assalamu’alaikum wr.wb.,
Saya dikirim link ke milis ini:
sd-Islam. Bersama memperbaiki pendidikan:
http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/
dari salah satu anggota. Dia ajak saya bergabung.
Saya sudah membaca semua komentar tentang artikel saya yang ada di milis ini. Saya mau membalas sebagian besar, kalau boleh. Sebelumnya, saya mau informasikan bahwa saya sudah terima lebih dari 160 email dari orang tua, sampai ada juga dari manca negara.
Perlu diketahui bahwa hampir semuanya minta informasi tentang sekolah2 SD dan juga TK. Semua email yang telah saya terima itu bersikap positif (sampai saat ini, alhamdulillah) dan sepertinya para orang tua di DKI bingung sekali dan juga takut dengan proses mencari sekolah untuk anaknya.
Semuanya sepakat bahwa sekolah swasta sekarang bersifat bisnis, dan kualitas tidak bisa dijamin, atau mungkin lebih tepat mengatakan tidak sesuai dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Banyak yang menyatakan mendapat pengalaman yang serupa dengan apa yang saya ceritakan mengenai kurikulum, kualitas guru dan managemen sekolah. Ada yang menyatakan anaknya ditolak masuk SD karena tidak bisa membaca (dan tentu saja hal itu membuat orang tuanya stress!). Ada yang menyatakan bahwa mereka takut sekali kalau salah memilih sekolah, tetapi semuanya ingin mendapatkan sekolah dengan kualitas pendidikan yang sebaik mungkin (dengan harga terjangkau) untuk buah hatinya.
Oleh karena itu, saya menjadi semangat untuk meneruskan perjuangan ini, padahal di awalnya saya hanya berniat membuat sebuah artikel saja karena sudah bosan mengulangi cerita2 tersebut setiap kali ceramah.
Misalnya, ada orang tua menyatakan kepada saya setelah ceramah “Pak, saya kecewa dengan Sekolah X, jadi saya mau pindahkan anak ke Bina Nusantara (Binus). Binus bagus kan, Pak? Ada bulenya!” dan seterusnya. Mereka mengharapkan masukkan dari saya karena saya ada kualifikasi sebagai guru.
Saya mesti bagaimana? Berbohong? Jujur? Basa-basi, sehingga mereka tidak jadi tahu apa2? Bagaimana? Saya memutuskan untuk selalu jujur. Kalau saya tahu sesuatu, saya sampaikan. Kalau tidak tahu, saya menyatakan begitu. Orang tua SELALU menjadi kaget pada saat saya ceritakan “informasi dalam” itu.
Begitu saja dulu. Kalau ada banyak yang inginkan saya bergabung di sini, saya akan berusaha untuk membantu dengan sebaik mungkin. Sekarang, balasan komentarnya:
sayang juga ada sosok spt si bule mr gene ini tapi tampaknya tidak banyak yang mau mendapatakan keuntungan dari ilmu yang dia miliki, terutama sekolah2 islam di jabodetabek.
Saya siap dibayar, tapi tidak ada yang menawarkan. Hehehehe…
semoga sumbang saran gene bisa lebih didengar dan dipahami lalu bisa diterapkan.
Saya sedang berusaha untuk membantu jaringan SDIT untuk meningkatkan kualitas dari seluruhnya. Jaringan itu sudah 1200 SD se-Indonesia.
mungkin gene juga bisa lebih bermanfaat sekiranya dia jadi relawan pengembangan pendidikan dasar islam di aceh pasca tsunami ya, kan pasti lebih enak dan nyaman memulai dari 'nol' ...
Tidak. Sudah banyak LSM yang ke sana, dan kemunkginan besar, masa depan bangsa akan ditentukan di sini (DKI). Lulusan sekolah di DKI menjadi prioritas karena kemungkinan besar anak inilah yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Masalah di daerah bisa menyusul nanti kalau sudah ada langkah konkret di sini dulu. Kita terpaksa menentukan prioritas untuk jangka pendek.
Sy jadi penasaran, menurut bapak2 si Gene menyekolahkan anaknya dimana ya? Just curious.
Saya belum menikah, dan belum punya anak. Anak teman (yang dihitung keponakan) sekolah di Al Azhar Ps Minggu. Apa yang terjadi di sekolah dipantau oleh saya terus2an. Ketika Ibunya menjadi stress, saya tenangkan dengan menjelaskan bahwa komentar gurunya kurang tepat, dst. Ketika anak mendapat skil baru (mis. menghitung, di TK) saya pantau untuk memastikan dia diajar dengan benar, dan saya tambahkan dengan trik baru yang tidak didapat di sekolah.
Dan biasanya calon ortu seperti Gene ini dihindari supaya gak daftar....bener ini!! Artinya ada ortu yg memandang anaknya sangat 'perfect' dan mereka juga menuntut sekolah menjadi lingkungan yg 'perfect' juga sesuai standar versi mereka.
Saya paham yang dimaksudkan dengan ini karena pernah berhadapan dengan ortu seperti itu. Saya tidak bemaksud menjadi begitu. Mereka itu tidak pernah akan puas dengan usaha apapun dari pihak sekolah. Sayangnya, ortu itu seringkali kurang kerjaan, jadi mereka mau “mengurus” sekolah sendiri.
Saya ingin bertanya: kalau WC kotor, apa kita harus mensyukuri adanya WC di sekolah, atau bertanya kenapa tidak dibersihkan sehingga higenis? Kalau anak pipis di lantai WC, karena WC terlalu bau sehingga mereka tidak tahan masuk, apakah wajar kalau kita “bersikap positif” dan mensyukuri WCnya? Atau wajarlah kalau kita menjadi marah dan menuntut WC dibersihkan?
Bisa paham kan?
Isi dari artikel saya bertujuan untuk menginformasikan orang tua dengan maksud bertanya “kenapa tidak ditindak/diperbaiki” padahal tidak sulit?
sekedar info, gene ini masih bergelar BA alias bujang 'abadi' krn hingga kini masih single ... mungkin masih terus menimang-nimang mana sekian banyak proposal yang sesuai kriteria dia ... saya kenal dia tidak akrab tapi tahu dia sejak akhir 90an di awal dia masuk islam. semoga dia bukan NATO ya ... amin.
Waduh!... (Saya masuk Islam tahun 1996)
Si Gene ini tipikal bule yang punya wawasan dan pengetahuan yang luas
tentang pendidikan dengan standar internasional. Tentu saja karena ia
hidup dan mengalami sendiri standar pendidikan yang tinggi tersebut.
Betul. Tidak boleh ada orang kerja di sekolah2 saya di luar negeri kalau tidak bergelar di bidang pendikikan. Di sini beda.
Saya rasa ia jujur dengan apa yang dikatakannya
Insya Allah.
Tentu saja akan banyak orang yang 'berang' dengan pernyataannya ini karena
mungkin kita menganggap diri kita sudha bekerja cukup keras untuk
mencapai standari yang ada sekarang ini
Saya sangat bisa menghargai usaha dari guru/pihak sekolah…. Selama mereka berusaha!! Menerima uang dan menyatakan dengan enteng “Kita bilingual, ada bule di sini lho” setara dengan perusahaan penerbangan murah (budget airlines) yang menerima uang dan menyatakan dengan enteng “Pesawat kita ada dua sayap lho, berarti pasti sampai ke tujuan dengan selamat!”
Emang begitu gampang menentukan keberhasilan atau keselamatan?
dan ternyata dengan ringannya
si Gene ini bilang bahwa sekolah yang kita banggakan tersebut belum
masuk 'standar', standarnya Gene yang internasional tersebut tentunya.
Menyatakan hal2 ini terasa sangat berat di hati saya. Saya paling tidak tahan kalau ada yayasan sekolah yang minta saya lakukan evaluasi sekolah, dan sesudahnya seluruh rekomendasi saya diabaikan (“Mohon WC dibersihkan secara rutin karena baunya tercium dair jarak 10m”). Dan inilah sebuah sekolah Islam! Dengan poster di tembok:
“Kebersihan adalah sebagian bagi keimanan…[dan saya ingin tuliskan: untuk orang Kristen saja karena orang Islam tidak sanggup!]”
Tapi saya salut dengan si Gene ini karena ia punya keperdulian yang
tinggi pada standar pendidikan Indonesaia (dan sekolah Islam) dan mau
ambil resiko berhadapan dengan para pelaku pendidikan di Indonesia yang
kebanyakan memang tidak paham dan juga kepala batu. :-)
Terima kasih. Saya terpaksa peduli karena Allah telah memberikan saya ilmu ini. Kalau saya seorang dokter, saya akan komplain tentang rumah sakit barangkali.
Saya berharap akan semakin banyak orang seperti Gene yang tulus mau
memperbaiki kondisi pendidikan (sekolah Islam) dengan kritik-kritiknya.
Ini memang menyentakkan kita yang sudah terlanjur menganggap diri sudah
memiliki standar yang tinggi. :-P
Saya siap di-kloning saja. Biar ada banyak Gene di Indonesia. Hehe. Bercanda.
ada teman kami, mutual friend saya dan Gene, yang jauh lebih 'sadis' … tapi beliau bisa lebih 'fair' (spt diharapakan mas Riza) karena juga memberikan masukan/solusi untuk masalah yang dihadapi,
Apa solusinya??? Jangan dirahasiakan dong. Karena saya sama sekali tidak tahu solusinya selain membangun jaringan sekolah baru (money dari mane?) atau SD Negeri harus ditingkatkan kualitasnya sehingga hanya orang kaya banget yang anaknya sekolah di swasta (di Australia/ NZ memang begitu: hampir semua orang ke SD negeri dan hanya anak dari orang yang paling kaya yang masuk sekolah swasta!).
Selama kita tidak boleh menculik dan menyiksa anggota setiap yayasan sehingga mereka mulai peduli dengan pendidikan yang bermutu, yaa… gimana dong? Tidak bisa kita paksakan mereka memperbaiki diri karena mereka tidak peduli. Tanpa peduli, profit meningkat terus. Dan ada waiting list untuk masuk. Jadi, bagaimana caranya membuat mereka peduli kalau mereka tidak bisa dibujuk untuk peduli???
Please tell me the solution!!!!
ya, semoga Gene tulus ketika mencoba menanggapi gambaran yang ia alami itu, dan bisa lebih action-oriented
HOW? Apakah saya boleh memukul anggota yayasan yang minta saran dari saya dan sesudahnya tidak peduli untuk berubah? Gimana dengan yayasan yang TIDAK minta saran? Lebih sulit lagi. Action oriented maunya apa sih?? Ampun deh!!!
Kalau saya punya anak, saya akan lebih pusing dari orang tua yang tidak punya ilmu saya. Orang tua biasa merasa puas dengan sekolah X, karena dia tidak bisa melihatnya dengan mata saya. Kalau saya lihat “bule” dan setelah bertanya2, saya akan tahu dalam waktu 3 minit kalau dia bergelar pendidikan atau tidak. Orang tua biasa bisa ditipu. Berarti kalau saya punya anak, saya sudah siap putus asa!! (padahal nggak boleh ya.)
Saya justru bisa 'menikmati' kritikan Gene itu karena selama ini tak
ada saya baca kritik semacam ini.
Justru itu tujuan saya.
Fenomena 'sekolah bilingual' yang
ngawur itu memang sudah pada tahap mencemaskan
Karena Diknas tidak peduli. Ada undang2 bahwa bule yang mau kerja di sini harus ada gelar minimal S1. Saya sudah beberapa kali menemukan “guru” yang hanya lulus SMA. Bahkan ada yang mantan “kuli bangunan” dari Australia.
Diknas tanggung jawab bersama dengan sekolah atau kursus bahasa. Tetapi kalau Diknas tegas, bule yang ada sekarang akan hilang/tidak boleh kerja. Terus, orang tua komplain “kok tidak ada native di sini?” Terus, supaya bisnis sekolah tidak rugi, harus mencari bule dari luar negeri. Mereka harus dibiayai untuk datang ke sini. Lalu, biaya pendaftaran di sekolah meningkat drastis karena bule itu mahal selangit. Lalu, orang tua komplain lagi (nggak pernah puas ya!!).
Tetapi, apakah guru bule yang siap datang ke negara “teroris” ini (dari pandangan dia) termasuk guru paling baik se-Australia? Kalau dia termasuk yang terbaik, bukannya tawaran dia sana juga banyak?
Atau dia asal guru, yang tidak ada ikatan (single/cerai), atau dikeluarkan dari sekolah sana karena dia bermasalah (tapi gelar masih ada), atau dia pengen jalan2 karena dia seorang “hippy”, atau dia orang homo yang suka laki2 berkulit coklat (di sini banyak lho), atau dia seorang pedofil dan dia tahu anak2 mudah didapat di sini, atau tawaran gaji begitu gede dia harus terima supaya bisa beli rumah setelah pulang dari Indonesia, dan seterusnya.
Semua itu belum dipikirkan orang tua juga!!!
(supaya maskud saya jelas: dia Indonesia saya pernah bertemu dengan “guru” asing yang homo yang terang2an homo = memberitahu muridnya, pedofil yang akhirnya ditangkap polisi, orang kecanduan narkoba yang juga ditangkap, orang yang hanya mengejar gaji tinggi dan dia tidak begitu peduli pada anak, guru yang senang mengajak murid2 SMPnya yang perempuan ke rumahnya untuk “pesta”, tapi yang laki2 tidak diajak, dan sebagainya. Tetapi sebgaian besar dari mereka itu memang di kursus bahasa Inggris dan bukan di sekolah swasta. Apakah itu lebih baik bahwa kebanyakan dari mereka yang ngawur itu ada di kursus bahasa Inggris? Apakah anak di sekolah swasta tidak pernah ikut kursus bahasa?)
dan sebetulnya sudah
masuk dalam kategori pembodohan dan penipuan 'konsumen'.
“Selamat datang di dunia pendidikan swasta Indonesia”
Sayangnya para
orang tua juga tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana sebuah
sekolah yang baik itu sebenarnya dan apa standar-standar yang harus
dimiliki oleh sebuah sekolah dan tidak asal klaim saja.
BETUL!!!
Sekarang ini
para orang tua memang tidak mau tahu seperti apa proses yang terajdi di
sekolah dan hanya melihat dari 'kemasan' sekolah tersebut.
Hanya sebagian orang tua kaya yang begitu. Dari pengalaman saya, justru banyak sekali orang tua sangat peduli. Keasalahan mereka hanya dua:
1. Berasumsi bahwa bangunan mewah = kepedulian dan komitmen yang tinggi. 2. Percaya kepada pemilik sekolah/orang marketingnya yang sudah pintar meyakinkan orang tua/”konsumen”.
Kalau
dilihatnya bahwa di sekolah tersebut ada orang bulenya maka mereka
menganggap bahwa pengajaran bahasa Inggris di sekolah tersebut pastilah
terjamin kualitasnya.
Betul. Kita semua bisa ditipu begitu. Nanti, kalau sempat ke rumah sakit, mencari orang yang pakai jas putih. Berfikir: apakah dia pasti seorang dokter? Pasti? Yakin? Kalau yakin, beli jas putih sendiri dan berdiri di dalam RS. Tunggu saja. Dalam waktu kurang dari 1 jam, saya yakin ada yang mendekati dan menyatakan “Pak Dokter….!”
Nah! si Gene ini kemudian menunjukkan bahwa
ternyata banyak bule yang dihire oleh sekolah-sekolah tersebut
sebenarnya tidak memiliki kualifikasi untuk mengajar, baik bahasa
Inggris maupun bidang studi apapun.
Betul!
Kalau saya yang ngomong begini
bisa-bisa saya dianggap sok pinter. :-) Tapi kalau yang ngomong Gene
kita baru mau percaya. hehehe...
Insya Allah sya bisa dipercayai para orang tua. Tetapi para guru Indonesia harus mulai berani bicara juga. Mereka seringkali yang bocorkan informasi kepada saya. Tetapi mereka sangat takut memberitahu sesuatu langsung kepada orang tua karena takut dipecat kalau ketahuan! Saya tidak takut dipecat. Alhamdulillah, saya selalu mendapat tawaran yang lain dari sekolah/kantor yang lain (karena bule kali ya). Tetapi saya tidak berfikir begitu. Saya selalu merasa yakin bahwa Allah akan memberikan saya kesempatan di lain tempat untuk bekerja dengan keadaan yang lebih baik daripada yang hilang. Saya sangat yakin. Sepertinya, banyak orang lain kurang yakin.
hidup Gene ... !
hehehe ...
Hidup para guru Indonesia yang bekerja dengan baik dan diabaikan oleh pihak yayasan karena selalu inginkan profit yang tinggi di atas kesejahteraan para guru! Hidup pada guru Indonesia yang berusaha dengan sebaik mungkin untuk mendidik Khalifa Allah yang kecil.
tadinya saya berharap pak gene mau ngasih analisis mengenai sekolah yang seimbang.
Mau berapa puluh halaman?
melihat pendidikan dari kacamata sistematika pendidikan bukan yang anekdotal
Kalau itu, sudah ratusan halaman. Anekdot bisa langsung diterima karena bersifat pengalaman pribadi. Anekdot itu hanya untuk memberi sebuah syarat bahwa ada yang ganjil di dalam sekolah. Dan itu sudah cukup untuk membuat orang sadar bahwa ada masalah.
tetapi setelah dibaca baca, lha koq cuma yang sumbang doang yang diliat dan dilaporkan..
Kalau melaporkan bahwa lampu terang, rumput telah dipotong, buku di perpustakaan tidak kena kutu buku, atap tidak ambruk, kantin ada bakso yang enak, dsb. apa manfaatnya? Yang perlu dilaporkan adalah informasi di artikel yang saya buat kemarin supaya mengagetkan para orang tua, karena mereka seringkali melaporkan kepada saya bahwa sekolah anaknya baik karena gedungnya bagus dan ada bule. Rata2 orang tua sudah bisa melihat sisi baik tanpa perlu dikasihtahu.
Kalau saya ke Dokter, saya mau diberitahu tentang kenapa saya batuk selama 2 minggu, dan tidak perlu dikasihtahu bahwa kaki saya oke-oke saja. Saya sudah tahu. Itu sudah jelas. Kalau semua yang oke-oke saja juga disebut satu per satu oleh Pak Dokter, kunjungan saya menjadi 3 jam lamanya.
Dan kalau saya begitu pada saat membahas 10 sekolah, akan menjadi 300 halaman!
Kalau saya membuat laporan resmi atas permintaan yayasan, maka memang seperti itu: pro dan kontra. Kemarin, niat saya membuat artikel tidak seperti itu.
kalo mau fair, mbok ya baik dan buruk itu sama ditimbang, dan berikan analisis secara holistik, tidak komen sana komin sini.
Harap maklum.
kalo sekedar nyari kejelekkan dari sekolah,
I bet I can guarantee, sekolah manapun di dunia bisa kita kasih komentar jelek.
mau yang di New zealand, di Amrik , di Inggris atawa di Singapore sekalipun.
No Body perfects
Hmmm. Nggak juga. Yang seringkali saya melihat di sini (mis.WC yang kotor) tidak akan diterima orang tua di Australia. Kalau berlanjut terus, kepala sekolah bakalan dicopot dan diganti dari Diknas.
Kalau sampai membahayakan anak (kawat tajam di pagar) dan ada anak kena cidera berat seperti menjadi buta, baik kepala sekolah, guru yang seharusnya menjaga, tukang kebun, Dirjen Pendidikan dan seterusnya akan dituntut secara hukum. Mungkin karena mereka takut kalah di pengadilan mereka pakai jalan "damai" ( = settlement out of court) dan orang tua bisa mendapat ratusan ribu sampai jutaan dolar dari Diknas. Setelah itu, kalau dianggap telah terjadi kelalaian pihak sekolah (kenapa kawat tidak dipotong, terutama karena sudah dilaporkan sekian kali?), kepala sekolah akan ditahan polisi dan disidang karena kelalaian kepala sekolah menyebabkan cidera berat. Kalau divonis bersalah, dia pasti dipecat dan dilarang kerja lagi di sekolah seumur hidup dan ada kemungkinan masuk penjara (kalau menyebabkan kematian).
Apakah kepedulian yang begitu tinggi begitu bisa dikatakan “jelek”?
Ada sebuah kasus nyata dari beberapa tahun yang lalu di Australia: seorang anak SD ngambek, ditarik keluar dari kelas, dia membalas dengan menendang si guru di dada, dan guru langsung kena serangan jantung dan wafat (karena memang lemah jantung).
Hasilnya: orang tua ancam akan menuntut sekolah!!! Kok bisa, padahal si guru yang mati!! Sekolah ditanya kenapa anak ditarik keluar dari kelas dengan cara yang begitu kasar sampai dia membalas/membela diri? Guru disalahkan karena terlalu keras dan tidak bijaksana. (Seharusnya pakai psikologi untuk membuat anak tenang dulu, lalu ajak dia keluar dengan berjalan sendiri).
Jelek? Not really.
Terakhir saya ada di sekolah negeri di Australia, lingkungan aman, bersih, tidak ada bayaha sedikitpun, perpustakaan luas, penuh buku, setiap kelas dirawat terus, guru sering tidak pulang sampai larut sore karena kerja ekstra keras siapkan bahan2 untuk anak2 (tanpa disuruh), pihak administrasi selalu mendukung para guru dalam seluruh kegiatannya, orang tua dipersilahkan datang ke sekolah kapan saja dan bertanya2, dan seterusnya.
Jelek? Saya kira, tidak. Hanya saja terlalu banyak sekolah negeri dan swasta di sini begitu jauh di bawah standar ini sehingga kelihatan perbedaan yang begitu besar.
Kita bisa mengubah keadaan ini, kalau ada niat, baik dari Diknas, dari yayasan dan dari orang tua. Itulah yang paling sulit: mengubah persepsi orang bahwa “sekolah memang harus seperti ini di Indonesia dan sulit diperbaiki”.
Sayang!
Sekian saja.
Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene