Barangkali Wapres benar. Kondom sangat utama untuk dipikirkan seorang Wapres.
Barangkali Gubenur benar. Busway yang habiskan ratusan milyar dan bikin jalan lebih macet lagi untuk layani minoritas dari masyarakat, dengan sekaligus makan subsidi cukup besar, lebih utama untuk dipikirkan seorang Gubenur.
Barangkali Walikota benar. Kuburan yang perlu dibongkar supaya tanah wakafnya bisa dijual kepada pengusaha yang ingin membangun apartemen di atasnya (walaupun melanggar hukum syariah 100%) lebih utama untuk dipikirkan seorang walikota.
Tidak mungkin ada hal yang lebih utama, yang bisa mengisi waktu mereka untuk mencari solusinya, seperti layanan kesehatan untuk anak miskin.
Tidak mungkin. Kondom saja. Busway saja. Apartemen saja.
Itulah yang terpenting.
Kalau bukan Allah yang menjaganya, siapa yang kira-kira akan peduli kepadanya? Kira-kira siapa yang mau menjaga semua anak yatim karena kuatir bahwa Nabi kita ada di antaranya, atau minimal untuk mengingat perjuangan Nabi dan menghormatinya? Tentu saja bukan pejabat pemerintah.
Saya dulu sering melihat anak yatim di panti dan berfikir “Dulu ada orang seperti kita yang melihat Nabi Muhammad SAW setiap hari, pada saat dia ‘hanya’ anak yatim, dan mereka sama sekali tidak tahu masa depannya bagaimana.” Apakah mereka merasa terdorong untuk berbuat baik kepadanya hanya karena dia seorang anak yatim yang tidak berkuasa? Lalu saya berfikir bahwa saya harus berbuat sebaik mungkin pada anak di depan saya itu karena saya sama sekali tidak tahu dia akan menjadi apa di masa depan. Bisa jadi dia ditakdirkan Allah menjadi pemimpin negara, imuwan penting, orang alim atau Kyai besar bagi ummat Islam. Lalu saya pikirkan semua anak yatim lain yang tidur tanpa merasakan kasih sayang dari pemerintah maupun masyarakat, dan saya ingat pada Nabi Muhammad SAW yang mengalami masa sebagai anak yatim juga.
Nabi Allah Muhammad SAW tidak ditakdirkan menderita di bahwa ketidakpedulian pemerintah Indonesia dan kita semua pada zaman ini. Bagaimana kalau seandainya kita bisa melihat Nabi kita sedang menderita karena lapar dan sakit pada saat dia masih seorang anak yatim, padahal kita tahu dia akan menjadi Nabi kita? Bukannya hati kita pasti sakit sekali melihatnya? Tetapi kita tidak memandang anak yatim yang lain dengan rasa kasih sayang yang setara. Mereka hanya anak yatim biasa, yang miskin dan tidak berdaya. Mereka bukanlah Nabi kita.
Nabi Muhammad SAW dijaga oleh orang-orang di sekitarnya (atas izin Allah).
Anak yatim dan anak miskin di Indonesia belum tentu bisa begitu beruntung.
Silahkan membaca.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene
*********************
Imam, anak terpandai di kelas 1 rupanya sakit. Pantas tiga hari kemarin dia tidak masuk. Imam boleh dikatakan jauh lebih pandai daripada hampir semua teman sekelasnya. Dua minggu yang lalu kami memberi ujian akhir SD edisi tahun lalu, edisi yang harus mereka kerjakan tahun lalu agar lulus SD. Hal itu kami lakukan untuk mengevaluasi, kemudian mengelompokkan mereka, dan memberi remedial karena matematika anak-anak itu luar biasa memprihatinkan. Nyaris semuanya dapat 10. Imam dapat 87. Yang terdekat dengannya adalah seorang anak perempuan, Rosita, dengan nilai 76.
Mengingat nilai kelulusan SD adalah 4.5, kami heran bagaimana mereka bisa lulus. Soal yang kami berikan adalah soal yang mereka dapat dalam ujian SD yang mereka lalui kurang dari setahun yang lalu.
Saya keluar bersama bu Galuh menemui Imam dan ibunya. Di ruang duduk bangunan serba guna yang jadi lokasi SMP terbuka itu, Imam terbaring lemas di sofa panjang satu-satunya yang ada disitu. Dokter puskesmas kemarin memberitahu bahwa dia mungkin demam berdarah atau/dan tipus atau/dan hepatitis. Harus masuk rumah sakit.
Tapi kemarin itu dia ditolak rumah sakit karena tidak punya kartu askeskin. Hanya ibunya yang mempunyai kartu askeskin. Mengapa cuma ibu yang punya, kan harusnya seluruh keluarga punya? Iya, bu. Di RW lain mah punya semua, tapi di RW saya satu keluarga cuma dikasih satu. Seorang paramedis belakangan bercerita bahwa memang begitu karena belum lama ini pemerintah kota kehabisan blanko kartu askeskin itu, jadi satu keluarga cuma dapat satu. Tapi semestinya bisa bu, karena seluruh anggota keluarga pasti sudah terdaftar di Askes. Rumah sakit juga tahu, cuma mereka tidak mau direpotkan karena prosedurnya menjadi lebih rumit untuk mereka. Ibu Imam memperlihatkan kartu askeskinnya. Kata "keluarga miskin" di kartu itu membuat saya miris.
Tanpa ada uang jaminan atau kartu askeskin, Imam tidak bisa masuk RS walaupun dia harus segera dirawat. Sebelum ke RS, seorang guru memberi nama seseorang yang mungkin bisa membantu. Ibu tersebut menanyakan nama tersebut, dia malah ditanyai, "Ibu kenal tidak dengan bu Lilis itu? Kalau tidak kenal ngapain ibu tanya-tanya dan mau ketemu dia?" Ibu si Imam tak bisa menjawab karena dia juga tak tahu mengapa dia harus menghubungi ibu itu.
"Kami juga diacuhkan, bu. Beberapa kali saya bicara tapi dibelakangi, mereka ngobrol saja sendiri seperti saya tidak ada." Ayah Imam akhirnya marah dan mengajak pulang. Seorang perawat merasa kasihan dan memanggil mereka. Dia menyuruh agar labnya saja yang segera dilakukan dulu, perawat tersebut akan menjamin. Ternyata lab tidak terima karena tetap harus bayar dulu.
Tidak pelak lagi petang itu jadi petang yang sibuk untuk kami. Paramedis yang memberi reko dan bekerja di RS itu, yang sedang cuti, dipanggil juga. Dia adik Ibu Nur, guru yang kami minta jadi koordinator SMP terbuka kami. Urusan dievaluasi. Kami memutuskan langkah-langkah. Besok paginya bu paramedis yang pernah menangani administrasi di RS tersebut akan menguruskan askesnya ke kantor askes. Urusan itu diharap bisa selesai lebih cepat karena dia paham lika-likunya dan orang-orang askes mengenalnya. Besok, begitu surat-suratnya selesai, kami akan mengantarkannya ke RS. Sementara itu Ibu Nur membekali ibu Imam dengan makanan, antara lain tepung beras agar lebih mudah membuat bubur untuk Imam. Pocari Sweat yang saya belikan didisrekomendasikan oleh bu Paramedis karena kalau Imam hepatitis, minuman itu akan memperberat kerja hatinya.
Ibu Paramedis mengeluarkan stetoskopnya dan memeriksa kesehatan Imam. Lalu dia menjelaskan pada ibu Imam apa yang harus dilakukan di rumah. Imam harus istirahat total, kencing juga di kamar saja pakai pispot. Saya mengingatkan bahwa mereka bisa menggunakan ember karena saya yakin mereka tidak punya pispot. Makan harus bubur, alat makannya tidak boleh dipakai atau dicampur dengan alat makan anggota keluarga lainnya, dsb.
Saya dan Ibu Sofyan, pengajar keterampilan, kemudian mengantarkan mereka pulang. Imam nyaris tidak bisa berjalan. Saya memapahnya keluar sementara ibunya yang tidak tahu akan diantar sudah keluar duluan keluar untuk memanggil ojek.
Kijang tahun 90an yang disupiri bu Sofyan menyusuri jalan berbatu yang awal semester ini saya susuri dengan sepeda. Imam saya suruh berbaring di kursi tengah dengan kepala di atas pangkuan ibunya untuk mengurangi pengaruh goncangan mobil di jalan berbatu itu. Kami menyeberangi jalan aspal Parakan Saat. Jalan di tepi sungai itu mulai menyempit sampai akhirnya kami tiba di depan sebuah rumah petak berimpit di tepi sungai. Pintunya dilindungi anyaman plastik biru dari tempias hujan, angin dan matahari, mungkin itu limbah yang berasal dari plastik penutup tenda-tenda pinggir jalan.
Sekali lagi saya masuk ke dalam rumah yang bisa membuat stres kalau kita tinggal di dalamnya lebih lama dari sejam. Rumah itu terdiri dari tiga ruang berjajar menghadap sungai. Di ruang sebelah kiri waktu kita masuk ada sumur. Di ruang yang tengah, tempat pintu masuk, ada meja yang berisi makanan yang tidak menarik sama sekali. Saya jadi ingat pembantu saya yang kadang tetap saja membawa makanan yang menurut saya sudah tidak baik lagi walaupun saya larang dan saya suruh buang. Begitulah wajah makanan di atas meja itu. Bukan hanya tidak menarik, tetapi juga tampak seperti sisa-sisa, semua serba sepotong atau seimprit.
Di ruang sebelah kanan yang gelap (sebetulnya semua ruang gelap kecuali ruang sumur) ada ruang tidur berisi satu tempat tidur bertingkat dan lemari. Tempat tidurnya dialasi potongan-potongan kain. Kalau pun ada kasur dibawahnya, pastilah tipis sekali. Semua tampak kusut dan kumal.
Saya kira Imam berasal dari keluarga yang lebih baik kondisinya. Mungkin itu karena wajahnya yang tampak bersih dan matanya yang selalu bersinar. Ternyata kondisi keluarganya sama buruknya dengan beberapa anak yang dulu saya survei.
Kemarin, setelah melewatkan setengah hari yang melelahkan, paramedis baik itu berhasil memperoleh dokumen-dokumen yang dibutuhkan Imam. Wah, meletihkan dan makan waktu, padahal mereka kenal saya, katanya. Saya bisa membayangkan bagaimana kalau tak kenal. Entah kapan akan selesai. Jangan-jangan keburu mati anak orang.
Jam 15.30 Imam kami jemput. Kami minta ibunya menyiapkan pakaian untuk Imam di rumah sakit. Sampai di RS Ujung Berung, saya mengingatkan salah satu guru pengantar untuk mengopi semua dokumen yang ada beberapa kali. Nanti tiap loket pasti minta satu, saya meyakinkan. Beliau pergi mengopi, tapi cuma sekali. Sayang bu kalau tidak terpakai, katanya.
Benar saja. Tiap loket minta satu kopi. Entah kemana mereka menyimpan begitu banyak kopi dokumen yang harus diserahkan pasien setiap hari. Ibu Zakiah terpaksa pergi mengopi lagi.
Saya hapal birokrasi RS dalam menangani Askes karena tahun ini, waktu si sulung sakit serius dan ayahnya juga mau dioperasi sedikit, kami memutuskan menggunakan askes. Ribetnya minta ampun. Tidak usah saya ceritakan lagi. Yang jelas, tanpa pengantar dan tanpa dukungan orang terdekat, kalau ke RS pemerintah dengan Askes, orang sakit bisa-bisa bukan sembuh melainkan malah tambah parah atau jangan-jangan malah mati!
Kami masuk ke ruang UGD. Bau ruang itu tidak cocok untuk bau rumah sakit. Baunya lebih cocok untuk bau kamar kecil. Terasa lembab dan bau pesing. Aaahhhh. Dari situ, Imam ke lab untuk periksa darah. Untung disitu baunya lebih menyenangkan. Perawat menarik lengan baju Imam ke atas. Lengannya yang kurus terbuka jelas. Kalau makanannya adalah apa yang kami lihat di meja makan mereka, tidak heran anak itu bukan hanya kurus dan kecil, tapi juga nyaris tak berdaging. Bahkan kulitnya bergelayut sedikit karena kurusnya. Tak pantas untuk kulit anak kecil.
Setelah hasil tes darah keluar, kami menunggu dokter. Lalu diagnosa Imam pun keluar: hepatitis dan kemungkinan tifus. Imam harus segera masuk ruang isolasi RS, tapi Ruang Isolasi RS Ujung Berung penuh. Dia harus dirujuk ke RS Hasan Sadikin.
Ibu Zakiah, yang bawa mobil, tadi terpaksa pulang karena tamu yang datang ke rumahnya sudah terlalu lama dibiarkan menunggu. Kami memanggil taksi. Hujan rintik-rintik mulai menderas. Taksi tak jua datang. Adzan Magrib sudah tadi berbunyi. Ah, saya belum sempat menyiapkan homemade pangsit untuk isi wonton soup makan malam kami malam ini. Padahal Bogie sedang sakit. Tadi Karina juga mengatakan badannya tidak enak sepulang kuliah. Saya telpon Fatima, si bungsu, untuk membuat pangsit seperti yang bunda buat dan siapkan makan malam untuk ayah dan kakak. Untung si kecil ini tertarik masak memasak. Jam 19.00, taksi belum tampak hidungnya. Kami mulai berpikir mencari alternatif karena saat hujan taksi memang susah. Siapa yang bisa dimintai tolong? Tengah risau begitu, saya teringat seorang guru lainnya yang kadang datang dengan mobil jipnya. Untunglah dia bersedia. Saya aplusan dengan ibu itu. Diujung jalan Pacuan Kuda saya diturunkan dan pulang ke rumah untuk ganti memeriksa anggota keluarga saya sendiri yang sakit dan memastikan mereka makan malam. Hampir jam sepuluh, kedua ibu yang mengantar ke RS Hasan Sadikin itu baru bisa pulang ke rumah. Di RS Hasan Sadikin pun masalah birokrasi hampir saja membuat anak itu nyaris ditolak lagi.
Kami orang-orang terdidik ini saja pusing padahal kami sudah mengandalkan berbagai koneksi, bagaimana pula orang-orang kecil seperti keluarga Imam. Orang miskin memang harus dilarang sakit di negeri ini.
ida