Labels

alam (8) amal (100) anak (293) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (18) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (564) islam (546) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (96) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (48) my books (2) orang tua (7) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (171) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

14 April, 2007

Ada Yang Menebak: Revolusi Pendidikan


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Tetapi perlu dipahami juga ada suatu hal yang lain yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat, dan tidak ada hubungan dengan teknologi sama sekali! Apakah ada yang tahu? (Dari Post: Jangan Membatasi Diri + Belum Ada Yang Menebak)

Ternyata hanya sedikit yang ikut menebak. Yang paling pertama mendapat jawaban yang benar adalah Ibu Shamara (di Blog). Dia mengatakan negara2 yang telah maju ini melakukan revolusi pendidikan. Dengan mengadakan wajib sekolah K-12 dalam 100 tahun terakhir di negara barat, banyak sekali yang berubah di masyarakat. Ini bukan alasan satu-satunya kenapa negara2 barat lebih maju, tetapi menjadi salah satu landasan untuk semua keberhasilan yang lain.

Kalau kita periksa sejarah lebih dari 100 tahun yang lalu, seorang anak petani akan ikut menjadi petani, anak tukang jahit menjadi tukang jahit, dan seterusnya. Mayoritas dari masyarakat buta huruf, dan hanya anak orang kaya dan bangsawan bisa mendapat pendidikan. Ada sedikit sekali sekolah swasta (misalnya sekolah Eton yang didirikan pada tahun 1440 AD) dan tidak ada sekolah negeri. Selain dari itu, ada anak orang kaya yang mendapat pelajaran di rumah dengan guru khusus (tutor) yang datang ke rumah setiap hari.

Untuk anaknya orang miskin, yang paling utama adalah mendapatkan pekerjaan supaya bisa makan setiap hari. Tidak kerja = tidak makan. Uang yang dihasilkan bapak dan ibu belum cukup untuk memberi makan kepada anaknya. Lalu setelah terjadi revolusi industri, ada banyak hal yang berubah dalam waktu yang relatif singkat. Dimulai sistem serikat buruh. Gaji karyawan, buruh dan tukang mulai naik. Kesejahateraan anak mulai dipikirkan pemimpin bangsa. Sekolah menjadi wajib. Awalnya, hanya sampai kelas 9-10, atau umur 15-16 tahun, dan hanya anak yang berniat kuliah akan teruskan sekolah sampai Kelas 12. Tetapi secara bertahap, setiap negara mulai wajibkan K-12, dan tentu saja kualitas pendidikan dan kualitas guru meningkat terus.

Dengan demikian, mayoritas dari masyarakat menjadi sanggup membaca dan menulis. Penjualan koran dan buku meningkat. Orang yang lahir dalam keluarga yang miskin ada harapan baru untuk “melebihi” bapaknya dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih baik. Ini merupakan sebuah revolusi pendidikan yang belum pernah terjadi sepanjang masa.

Tingkat “literacy” (sanggup baca tulis) di Selandia Baru, misalnya, mencapai 99% dari masyarakat. Membaca buku menjadi hal yang biasa. Hampir setiap rumah ada koleksi buku buat anak. Di Amerika, jumlah sekolah, perpustakaan umum, universitas dan jumlah pemenang piagam Nobel meningkat terus-terusan di dalam 100 tahun terakhir. Beda dengan Indonesia.

Kenapa revolusi pendidikan membantu negara2 ini maju? Karena orang yang hanya lulus SD (atau putus sekolah sebelum lulus SD) belum mendapat daya pikir yang terbentuk untuk menganalisa, membaca, menulis, berargumentasi, berbeda pendapat dan tetap berteman, bermimpi dan seterusnya. Yang sering saya jumpai di sini adalah orang yang lulus SD, menjadi pembantu rumah tangga atau tukang, dan sikapnya “nrimo” saja. Pasrah. Ini dunia saya. Saya tidak bisa menjadi lebih dari ini. Dan sikap ini ada dulu di dunia barat, lebih dari 100 tahun yang lalu.

Seseorang yang sudah lulus SMA dengan kualitas guru dan pendidikan yang bermutu tentu saja, sangat berbeda pikirannya dengan orang yang hanya lulus SD. Tambahan pendidikan itu membentuk daya pikir yang membantunya dalam semua hal. Untuk bisnis misalnya, pada saat orang lain hanya bisa melihat 1 solusi, anak yang sudah mendapatkan pendidikan yang baik bisa melihat 5 solusi. Hal yang sederhana seperti ini mendorong banyak perubahan di masyarakat di dalam semua bidang.

Semua kemajuan di negara barat bisa dikaitkan dengan peningkatan pendidikan masal di masyarakat. Orang yang sebelumnya bisa “dibohongi” mulai membaca sendiri undang-undang negara dan ingin terlibat dalam pengurusan kotanya atau negaranya. Orang bisa menyebarkan informasi secara tertulis untuk mencapai ratusan ribu orang, tanpa harus ketemu. Sebelumnya, seorang pemimpin harus bertemu langsung dengan rakyat untuk menyampaikan suatu ide. Sekarang, cukup ditulis artikel oleh wartawan dan efeknya sama. Informasi dan ilmu menjadi milik rakyat dan bukan milik kaum elit dan politikus.

Di Indonesia masih ada yang menginginkan seorang Presiden yang hanya lulus SMA. Menyedihkan sekali. Kita seharusnya mencari yang terbaik untuk masa depan bangsa, bukannya mundur ke masa lalu.

Saya dulu menjadi orang pertama di keluarga besar saya yang masuk kuliah di Australia. Sekarang ada beberapa sepupu yang lebih muda yang kuliah juga. Hal itu hanya terjadi karena pemerintah di Australia memberikan subsidi untuk kuliah bagi orang yang tidak sanggup. Kalau saya diwajibkan bayar penuh, saya juga tidak sanggup kuliah. Inilah yang bisa terwujud kalau sekolah diwajibkan dan kuliah dipermudah. Sampai sekarang, niat saya untuk melakukan S2 dan S3 belum tercapai karena saya memikirkan biayanya dan juga waktunya yang harus dihabiskan untuk mendapatkan gelar itu.

Lebih dari 100 tahun yang lalu, anak yang pintar dari keluarga yang miskin tetap tidak bisa sekolah. Sekarang, semua anak diwajibkan bersekolah dan anak pintar yang miskin itu mendapat kesempatan yang hampir setara dengan anaknya orang kaya. Inilah yang perlu kita utamakan untuk masa depan bangsa Indonesia.

Di Indonesia masih ada “penjajahan mental” yang tersisa dari zaman Belanda dan Orde Baru. Bentuk pemikiran ini hanya bisa berubah kalau masyarakat mendapatkan pendikan yang layak dan pendidikan menjadi hak setiap anak bangsa dan bukan orang elit saja.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

04 April, 2007

Belum ada yang menebak...

Belum ada yang menebak apa yang saya bicarakan di sini:

Tetapi perlu dipahami juga ada suatu hal yang lain yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat, dan tidak ada hubungan dengan teknologi sama sekali! Apakah ada yang tahu? Saya dengan sengaja tidak akan memberikan jawaban sampai hari Jumat. Kalau ada yang bisa menebak, saya akan salut pada anda sebagai pemikir yang baik. (Traktir kopi juga boleh.)

(Dari Post: Jangan Membatasi Diri)

Tidak ada yang menang kopinya. Kenapa negara maju begitu hebat, dan negara Indonesia begitu ketinggalan? Apa yang terjadi di negara sana? (Tidak ada kaitan dengan teknologi).
Ayo, coba menebak...

Letting the TV Baby-sit Your Child


(Letter to Jakarta Post 10 August 2006)

A front-page article in the Post (9 August) was about “Wanti” and her addiction to TV gossip shows, which were recently pronounced haram (forbidden) by Nadhlatul Ulama (NU). What struck me more, however, was not just Wanti’s addiction but another glaring fact that slipped quietly by and was easily missed: who looks after her children when she goes out?

According to the article, Wanti watched TV most of the day as her husband was at work and her seven year old son was at school. Her 18 month old daughter was left to flounder on the floor by herself, with cookies for breakfast (no time to cook – busy watching TV).

“By 6 p.m., Wanti had watched almost a dozen shows; the number would have been 15 but she went to a Koran recital for two hours and let Aldi watch cartoons.” So, who is looking after her seven year old son while she goes out? Is he at home alone? Is her husband there? I would hope that Wanti took her baby with her, but was anyone watching her son? The article makes no mention of other adults in the house. (Please let there be a loving grandmother there).

What about turning the TV off and spending time on the floor playing creative games with the children? What around reading with them to make them love books? What about just being a caring and attentive adult in their lives?

Why care about TV shows? Why doesn’t NU declare “bad parenting” to be haram instead? That could be followed up by free workshops in mosques all over the country to teach basic parenting skills like “paying attention to children”. That would surely have a much greater impact on Muslims and society in general than bothering with what people watch. Forget about TV shows. Put society’s focus back on how to be a good parent. Then TV gossip shows will disappear by themselves when parents are too busy playing to watch them anymore.

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

10 August 2006

Schools and teachers matter

(Letter to Jakarta Post 05 May 2006)

As a qualified teacher with more than 10 years classroom experience, I can only wonder about what The Jakarta Post wishes to achieve with its regular articles on education by Simon Gower, who actually has a degree in engineering.

His latest attempt (the Post, May 2) is truly saddening. His argument that classrooms are not "real" just proves how little he understands about the field of education, as opposed to giving job-skill training to future factory workers.

Having a "surplus" of university graduates in European countries is a blessing. There was a time when only the rich and privileged could get a degree. Now almost anyone can, yet Gower sees that as bad? Should we allow entry to university based on the amount of land owned by parents? That would sure keep the numbers down.

And if having more graduates means a "(lower) quality" of education, then how can we explain the hundreds of Nobel Laureates in the UK, Europe and the U.S.? Low quality "surplus" graduates? There are none in Indonesia, which has a low ratio of graduates. Isn't society better off with more great thinkers? Should we have fewer thinkers in society, perhaps, and more mindless drones to fill the factories owned by those who believe that the only purpose of schools is to "teach" "skills" to children so that they can work for companies when they graduate? God save us from curriculum dictated by CEOs.

Schools are not "self-serving". And we teachers are not in this field in order to keep ourselves employed. Studying the Roman Empire can show us what may befall the new U.S. empire. We can learn lessons from the "deadly dull textbooks" that good teachers can make "real" by turning the focus onto something topical. (Or, we can just ask for new textbooks).

The article shows contempt for teachers who spend "their entire working lives" in their chosen field. So what? So do many great doctors, engineers, police officers, and many great stay-at-home mothers.

GENE NETTO
Jakarta

05 May 2006

Schools Responsibility



(Letter to Jakarta Post 2 November 2004)


In response to the letter “Parents should be responsible” (Jakarta Post, Oct. 25), the policy of the school in question is outdated and inappropriate. Locking students out of schools is a worthless exercise and should be stopped. There are other more positive methods that could be used to “encourage” students to arrive on time. Locking them out is a negative, top-down approach which only teaches students to fear authority and to focus on goals rather than process. Speeding or dangerous driving to arrive on time is preferred? Attending school without breakfast is preferred? I also wonder if the policy applies to the Principal as well.

A student can be delayed for a variety of reasons, many of which are out of their control. A flooded street may cause a detour. So why punish the student?

Ms. Quan’s assertion that parents are responsible and should always know what their children are doing is not realistic. In 10 years of teaching, I have frequently heard secrets from students that they wouldn’t dare tell their parents. I have given advice about very serious issues because the child was afraid to talk to their parents.

Children keep secrets for various reasons. Blaming a parent for the decision of a child is unfair. In my experience only naive parents believe that they know all about their children. It is possible that Ms. Quan has a rare relationship with her child. That would be great if it’s true. Most parents are not that lucky, although many falsely believe that they are.

Rather than blame the parents (that’s easy) it would be better to focus on the responsibility of the school. Schools and teachers are charged with acting as surrogate parents (in loco parentis). They have a duty of care towards a child. That duty is not upheld by denying entry to a school. The school should act responsibly towards the child, the parents and the community.


Gene Netto

Jakarta

Tuesday, November 02, 2004

03 April, 2007

Spend Money On Poor Kids

My Letter To Jakarta Post (Published on 3 April 2007)

Spend Money On Poor Kids

Starting in April, the city administration will be giving away money for education. A total of Rp 47.5 billion to be exact (Post, 28 March). Will it go to the poorest of the poor who need it the most? Not exactly. The money will go to the richer children in private schools who attend the 761 Primary and 689 Junior High Schools in Jakarta.

The number of private Primary Schools is about 25% of the total number in the city (around 3,200), an extremely large percentage. Supporting any children in attending school is great, but why support the richer ones who are already receiving better facilities than others, facilities that in a western country would be considered normal and not elite? Are there no better uses for public money than encouraging the privatization of the school system? With entry fees ranging in the tens of millions, these schools are already doing good business without any help from the government.

The government says education in Primary is already free. But at a restaurant I often go to, there is a 10 year old boy who sells magazines until 11pm every day, including school nights. When I asked why, he said so he can afford to go to school. I talked to him about his family and his difficult life, so I believe he was being honest. Schools may well be free, but food, transport, books, uniforms, shoes, notebooks, pencils, etc., are very clearly not free. How many kids are not going to school for want of enough money to buy these things? Instead of helping kids like that boy, the government wants to make the life of richer kids in private schools even easier.

How about some other uses for that money in the public system such as higher teacher salaries, teacher training (upgrading of skills), fixing roofs so they don’t collapse, increasing the number of storybooks, providing computers, repainting school buildings, providing sports equipment, fixing toilets and providing soap, etc. Don’t kids in public schools deserve first use of public money? If the government gave away money to rich kids in Pondok Indah to reduce the cost of buying pizza, wouldn’t parents see it as an unnecessary expense, especially when there are so many kids who can’t eat properly everyday? Why can’t the government gets its priorities straight and take care of those who are suffering in the public schools before worrying about richer kids?

When is Indonesia going to get public officials who actually care about our children and the future of this country?

Gene Netto

Jakarta, Indonesia

Jangan Membatasi Diri 2


Kita memang patut sedih Gene. Tapi itu fakta. Guru sekualifikasi Mr Cho
'belum' dibutuhkan oleh sekolah-sekolah kita. Seperti yang Anda lihat
sendiri, bahkan sekolah-sekolah mahal (dan menyatakan dirinya
berkualitas internasional) pun masih menggunakan guru-guru yang
berkualifikasi asal-asalan.
Untuk dapat menghasilkan guru dengan kualifikasi seperti Mr Cho
dibutuhkan kompetisi yang ketat sehingga setiap guru berusaha untuk
meningkatkan kualifikasinya secara maksimal. Jika tuntutan kompetisi
tersebut tidak ada maka tidak akan bisa dihasilkan guru dengan
kualifikasi seperti itu. That's why I said our schools do not need a
teacher with such quality.
Now, what can we do, Gene? Kita perlu bersinergi untuk mengatawsi
masalah ini.

We can put all of our money, time and energy into re-training and motivating the teachers!

Stok guru sudah ada, hanya skilnya yang kurang. Motivational trainer banyak, orang Indonesia dan asing. Saya pernah melakukan training di Pusdiklat DKI dan ketua dari training tidak menentukan topiknya. Saya bebas untuk bicarakan apa saja.

Untuk 2 jam, tanpa bahan (sengaja), saya ajak para guru membahas “Apa itu guru?”, “Apa itu murid?” dan “Apa itu sekolah?”.

Itu saja.

Ada puluhan guru datang kepada saya sesudahnya dan menyatakan dunianya sudah berubah total, karena semua yang kita bahas tidak disadari sebelumnya.

Bagaimana kalau saya diberikan waktu satu minggu? Bagaimana kalau ada program yang dibuat oleh 20 Trainer yang berpengalaman (bukan hanya ide dari saya saja)? Bagaimana kalau semua guru di setiap wilayah bisa mendapatkan Training yang setara? Bagaimana kalau jumlah trainer 100 orang? Atau 1000?

Mustahil? Tidak.

Hanya persoalan logistik.

Hanya persoalan waktu.

Hanya persoalan pembiayaan.

Yang mana dari tiga persoalan itu yang sulit untuk Allah?

Negara Inggris bisa membuat terowongan di bawah laut. Di Amerika sudah beberapa kali dilakukan operasi dengan dokter dan pasien di negara yang berbeda: dokter mengendalikan robot lewat koneksi satelit dan melihat hasil di layar komputer.

Tetapi Indonesia tidak sanggup menyediakan sekian Trainer saja untuk melakukan Teacher Training?

Busway bisa, monorail bisa, gedung bertingkat tinggi bisa, rumah sakit bisa, jaringan telfon selular bisa, internet dan komputer bisa, kapal selam bisa, tetapi Trainer susah?

No way!! Saya sama sekali tidak percaya!

Ini hasil dari manusia yang membatasi diri.

Kita justru sangat membutuhkan guru seperti Mr Cho. Dan tugas serta tanggungjawaban kita sebagai pendidik adalah bagaimana kita bisa berjuang untuk mewujudkan hasil seperti itu.

Kalau kita mengatakan “tidak membutuhkan” karena sulit, dan generasi mendatang juga bicara begitu, dan generasi sesudahnya juga, dan seterusnya, mulai kapanlah akan ada orang yang mengatakan “SUDAHLAH! Sekarang kita butuhkan!!”

Kalau seratus tahun mendatang, ada yang bicara seperti itu dan menjadi serius mengubah paradigma pendidikan di negara ini, kenapa tidak boleh sekarang saja?

There are no limits except the limits we make.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

02 April, 2007

Jangan Membatasi Diri

Assalamu’alaikum wr.wb.,

“Kita tidak punya guru seperti Mr Cho karena kita memang tidak membutuhkan kualifikasi guru seperti Mr Cho.”

[Komentar ini ditulis seorang guru mengenai sebuah kisah di milis SD-Islam. Di kisah itu, seorang anak SMA di Amerika menceritakan bahwa guru sejarahnya bernama Mr. Cho menjadi inspirasi bagi dia, karena selalu mengajak dia untuk menjadi seorang pemikir yang lebih baik, sehingga dia merasa berhasil sendiri tanpa perlu dibantu gurunya lagi.]

Komentar ini membuat saya sedih sekali apalagi kalau datang dari seorang pendidik yang baik hati dan bijaksana.

Bagaimana kita bisa mengembangkan negara ini kalau semua orang sibuk melihat sasaran yang ada di depan kaki dan bukan sasaran yang ada di batasan pandangan (paling jauh di depan mata).

Bayangkan: kalau seorang guru memang sanggup menjadi seperti Mr Cho (guru yang sangat baik), kenapa harus dibatasi menjadi “Asal guru masuk kelas, dan murid hafalkan sekian fakta, bersyukur deh! Tidak usah lebih, karena itu terlalu sulit.”

Bayangkan: di Indonesia di masa mendatang ada seorang cendekiawan baru, ibarat Einstein, Edison, Galileo, Flemming, atau Da Vinci. Orang itu masih anak sekarang. Dengan guru yang memberikan dia semangat, ilmu, daya pikir dan wawasan dengan sebaik mungkin (bukan sempurna), anak itu menjadi pelopor yang akan mengubah negara ini. Contohnya, Bill Gates versi Indonesia. Setelah dia menciptakan X (misalnya, Microsoft Windows), dan setelah di menjadi manusia terkaya di dunia mengantikan Bill Gates, dan setelah dia menyatakan bahwa dia menjadi semangat berfikir dan belajar karena guru sekolah (memang sudah genius, tetapi guru menjadi percikan), suatu hari dia berkata seperti ini:

“Sebagai tanda bersyukur kepada Allah dan kepada guru saya, saya akan membayar hutang negara dengan uang pribadi saya. Saya akan simpan 10 trillion Rupiah di Investment Fund Syariah, dan dengan hasilnya, saya akan memperbaiki semua sekolah se-indonesia…” Dan seterusnya.

Tidak mungkin? Tidak percaya? Kalau percaya kepada Allah dengan penuh hati, tidak ada yang mustahil. Kitalah yang membatasi diri, dimulai dengan komentar seperti di atas: “kita tidak membutuhkan…” dengan arti: itu terlalu sulit untuk kita, tidak realistis, tidak praktis, kita tidak bisa, kita tidak sanggup, uang dari mana nanti,…” dan seterusnya!

Tidak ada yang sulit bagi Allah. Tidak ada yang sulit bagi orang yang percaya kepada Allah. Jangan menentukan masa depan bangsa ini dengan memandang ke bawah dan menetapkan standar yang rendah. Mengarah ke atas dengan mengharapkan hasil yang sebaik mungkin. Terserah Allah membantu kita berhasil atau tidak, tetapi sebagai syarat minimal, kita tidak akan membatasi diri tanpa alasan dari awalnya.

Kalau kita mengharapkan yang terendah (karena itu dinilai cukup), ya, kita akan bersyukur kalau hanya mencapai sasaran itu yang hampir pasti tercapai. Kalau kita mengharapkan lebih, tanpa kepastian bisa mencapainya, kita harus siap untuk gagal, tetapi rasa sukses jauh lebih besar kalau kita berhasil. Dan juga sangat mungkin bahwa dengan usaha untuk mencapai sasaran yang tinggi, kita akan melewati/melebihi sasaran rendah yang ditetapkan orang lain.

Seratus tahun yang lalu, tidak ada manusia yang bisa terbang. Tidak ada yang bisa tinggal di luar angkasa. Tidak ada operasi transplantasi jantung. Tidak ada komputer atau “artificial intelligence”. Tidak ada cara untuk mengirim teks ke lain negara dalam waktu 1 detik. Tidak ada microwave oven. Tidak ada Handycam. Tidak ada radar. Dan berapa banyak hal yang lain yang muncul secara tiba2 dalam 100 tahun terakhir?

Kenapa bisa begitu? Karena dari semua orang di bumi ini, ada yang memandang ke atas dan berjuang untuk mencapai sesuatu yang dikatakan “mustahil” oleh orang lain (dan teknologi mendukung juga, tentu saja).

Tetapi perlu dipahami juga ada suatu hal yang lain yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat, dan tidak ada hubungan dengan teknologi sama sekali! Apakah ada yang tahu? Saya dengan sengaja tidak akan memberikan jawaban sampai hari Jumat. Kalau ada yang bisa menebak, saya akan salut pada anda sebagai pemikir yang baik. (Traktir kopi juga boleh.)

Mudah-mudahan kita tidak mau bersikap “kalah duluan”. Mudah-mudahan kita bisa memandang ke atas di bidang pendidikan (biar orang lain mengurus yang lain) dan kita bisa mengubah negara ini dengan suara kita saja. Cukup menyatakan kepada orang lain “KAMU BISA!” daripada mengatakan “Tidak usah coba deh, segini saja sudah cukup.”

Negara ini dan masa depan anak ada di tangan kita yang menjadi guru dan orang tua.

Jangan menyerah duluan.

Berjuang untuk mendapat yang sebaik-baiknya.

Anggap setiap anak yang diajar anak kandung anda sendiri, dan berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi mereka semua. Untuk anak kandung anda tidak ada istilah “cukup baik”.

Mohon jangan digunakan untuk anak orang lain.

Kita mohon petunjuk dan pertolongan dari Allah setiap hari:

5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(Surah Al Fatihah QS. 1:5-6)

Dan Allah berjanji untuk melimpahkan rahmat kepada kita:

96. Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, PASTILAH Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

(Surah Al Araf QS. 7:96)

Rahmat dari Allah bukan suatu kemungkinan tetapi sebuah KEPASTIAN. Semua tergantung pada diri kita !!

JANGAN MEMBATASI DIRI !!

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

(Apakah anda sudah bisa menebak apa yang baru terjadi dalam 100 tahun terakhir ini di negara2 barat?)

01 April, 2007

Pemain Game Balapan Menjadi Pengemudi Berbahaya


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Dari BBC:

Hasil riset menunjuk bahwa balapan mobil virtual (di Playstation, Gameboy, komputer, dsb.) membuat seorang pengemudi lebih cenderung mengambil risiko di jalan saat mengemudi mobil benaran. Balapan virtual ini membuat pengemudi lebih agresif dan menjadi lebih cenderung ambil risiko, terutama untuk laki-laki, kata para periset Jerman.

Pria yang terbiasa main game balapan ini lebih mungkin membalap di jalan dan menyelip mobil lain, tetapi tingkat kecepatan reaksinya malah lebih pelan satu detik. Hasil riset ini dimuat kemarin di “Journal of Experimental Psychology: Applied”.

Riset menunjukkan bahwa pemain game balapan mobil ini lebih cenderung kena kecelakan mobil juga, kata periset, terutama untuk pemuda laki-laki – sebuah kelompok yang sudah dianggap “high risk” bagi semua perusahaan asuransi.

“Orang yang aktif di bidang ‘road traffic safety’ seharusnya memahami bahwa game balapan mobil ini membuat jalan kita lebih berbahaya,” kata periset.

Ternyata, sebuah survei baru dari Sekolah Pengemudi BSM juga menunjuk bahwa pengemudi muda lebih cenderung mengebut di jalan setelah main game balapan ini. Dari hasil survey itu, 27% dari pengemudi di bawah umur 24 tahun mengaku lebih sering mengambil risiko di jalan setelah menghabiskan waktunya untuk main game ini. Kalau hasil survei ini digabung dengan hasil riset di atas, maka kedua butki ini memberi kesan bahwa bermain game balapan membuat pengemudi lebih cenderung ambil risiko di jalan.

Di dalam studi yang terbaru, Dr Peter Fischer dari Ludwig-Maximilians University bersama dengan rekan dari Allianz Center for Technology merekrut 198 sukarelawan untuk mengikuti studi dalam 3 bagian. Pertama, para pengemudi ini disuruh menilai sendiri tingkat keselamatan pribadi mereka di jalan, dan menjelaskan berapa kali mereka telah kena kecelakaan mobil. Mereka juga harus menjelaskan frekuensi mereka main game balapan mobil. Kedua, mereka disuruh main game, termasuk balapan mobil dan juga yang netral seperti sepak bola. Keitga mereka diberi kesempatan mengemudi di dalam “computer simulator” untuk mengecek reaksi mereka seakan-akan berada di jalan.

BBC News

Kesimpulan:

Kalau anak anda masih di SD-SMP, mudah-mudahan tidak bermasalah. Selama dia tidak kecanduan main game balapan ini (setiap hari untuk berjam-jam), maka barangkali dampak game ini sudah hilang ketika dia menjadi remaja. Kalau anak sudah di SMP-SMA dan masih sering main game ini setiap hari, mungkin lebih baik bila orang tua bicara dengan dia 1-2 tahun sebelum mendapat SIM mobil. Ajak dia berhenti main game ini, dan gantikan dengan yang lain. Jelaskan bahwa game seperti ini akan membiasakan dia mengambil risiko di jalan, dan pada saat dia baru belajar mengemudi mobil sikap “senang ambil risiko” ini sangat berbahaya. (Kalau ambil risiko di game dan menabrak mobil lain, tinggal restart saja dan main lagi. Beda dengan mobil benaran).

Tidak disebutkan secara terinci di dalam artikel ini, tetapi sepertinya yang dimaksudkan dengan “game balapan” juga termasuk balapan motor (bukan mobil saja), berarti masalah ini juga berlaku untuk laki-laki muda yang main balapan motor dan mengendarai sepeda motor. Lebih baik bila orang tua waspada dan mengajak anak muda yang punya sepeda motor untuk berhati-hati, terutama kalau dia terbiasa main balapan motor di Playstation dll.

Hati-hati juga kalau suami anda (yang masih muda) terbiasa main game ini. Kecenderungan ambil risiko ini bisa saja berlaku juga untuk orang dewasa yang berkeluarga (tergantung kepribadiannya) dan tidak terbatas pada anak remaja saja.

Semoga bermanfaat,

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

31 March, 2007

Usul Membentuk Indonesian Education Watch


Setahu saya, tidak ada orang atau organisasi yang siap melindungi anak bangsa ini serta orang tuanya dari apa yang dilakukan terhadapnya di sekolah swasta. Ada usul dari seorang pembaca untuk membentuk “Indonesian Education Watch (IEW) sebagai LSM yang bisa melakukan investigasi dan memberikan keterangan tentang sekolah2 di Indonesia. Di internet saya temukan ini: “Sementara itu Saras Dewi dari National Education Watch (NEW) yang melakukan investigasi di SDN Percontohan IKIP mengatakan…” (Sumber: Tempo Interaktif). Tetapi setelah saya melakukan pencarian, saya tidak bisa menemukan situs yang membahas NEW ini setelah 2004, dan tidak ada websitenya. Apakah ada orang yang mempunyai informasi tentang organisasi ini? Apakah masih aktif?

Barangkali bermanfaat buat masyarakat kalau ada orang tua, pengacara, atau orang yang berpengalaman di bidang LSM yang siap mendirikan Indonesian Education Watch (atau mengaktifkan kembali NEW), dengan perlindungan hukum yang secukupnya tentu saja. Saya bukan seorang wartawan dan karena itu, saya tidak mempunyai waktu untuk melakukan cek dan ricek terhadap semua sekolah di DKI atau di Indonesia. Kalau ada yang ingin mendirikan LSM tersebut, barangkali bermanfaat kalau ada dua departemen di dalamnya: IEW Swasta dan IEW Negeri. Dengan demikian, masing2 bagian bisa berfokus pada isu yang spesifik yang perlu disampaikan kepada orang tua dan masyarakat. LSM seperti ini seharusnya memiliki staf yang sanggup melakukan cek dan ricek dengan menghubungi pihak sekolah dan meyampaikan dua pandangan terhadap orang tua. Saya bukannya tidak mau melakukan itu di Blog, hanya saja tidak punya waktu.

Bagaimana? Apakah ada orang yang memiliki pengalaman membangun sebuah LSM dari nol, dan merasa sanggup dan juga tertarik untuk mendirikan LSM Indonesian Education Watch ini?

Ditunggu komentar dan saran dari pembaca… (kecuali dari sekolah yang ancam saya dan para kroninya. Komentar mereka akan dihapus saja!)


Nama Sekolah Tidak Akan Disebut Lagi



Saya ingin mohon maaf kepada para orang tua yang peduli pada anaknya dan pendidikan yang baik bagi mereka. Mulai dari saat ini saya tidak akan menyebutkan nama sekolah swasta yang dinilai mengutamakan bisnis di atas kebutuhan pendidikan.

Ini disebabkan saya telah diancam dengan tindakan hukum oleh sebuah sekolah swasta di Jakarta Timur. Karena saya tidak mau membuang waktu saya untuk tanggapi mereka, artikel mengenai sekolah swasta yang satu ini sudah saya hapus dari Blog saya.

Mereka merasa dirugikan oleh email yang di-post di Blog saya. Email itu bukan dari saya tetapi dikirim kepada saya oleh beberapa orang tua, dan juga disebarkan di beberapa milis dan juga masuk koran Kompas pada tanggal 26 Maret. Ada orang tua bertanya mesti sekolahkan anaknya ke mana sekarang karena selain kehilangan uang pangkalnya, anak mereka menjadi terlontar di tengah semesta. Tetapi saya tidak bisa membantu selain menyebarkan informasi tentang sekolah tersebut untuk melindungi orang tua yang lain. Niat saya menyimpan email mereka di Blog adalah supaya orang tua yang lain bisa berfikir sendiri dan mengecek kebenaran dari pernyataan tersebut bila ingin masukkan anaknya ke sekolah itu. Selain dari itu, saya sudah menghapus nama semua sekolah swasta di Blog saya dan mulai saat ini saya hanya akan membicarakan semua sekolah secara umum saja tanpa menyebut namanya.

Selama ini saya menyebutkan nama sekolah2 dengan sengaja supaya orang tua bisa sadar bahwa sekolah idaman mereka tidak sehebat yang mereka perkirakan. Seringkali, pada saat saya sedang bicara dengan orang tua, saya menyebutkan beberapa kekurangan yang pernah saya lihat di sebuah sekolah swasta, tanpa memberikan namanya. Lalu, dengan senyuman lebar, ada seorang Ibu yang menyatakan “Oh, hal seperti itu tidak mungkin terjadi di sekolah anak saya. Sekolah anak saya punya guru Bule, dan bilingual, dan gedung mewah, pemilik sekolah sangat peduli dengan anak, dan uang pangkalnya sangat, sangat mahal.” Sayangnya, justru sekolah itulah yang saya bicarakan. Supaya Ibu itu bisa percaya, akhirnya saya merasa terpaksa menyebutkan nama sekolah itu dan menjelaskan apa yang saya lihat pada saat saya kunjungi sekolah. Tentu saja Ibu itu menjadi sangat shok. Selama ini dia menyangka bahwa sekolah anaknya termasuk sekolah terbaik di Indonesia karena biaya masuk sangat mahal. Ternyata, persepsi Ibu itu tidak didasarkan pengertian pendidikan. Dia hanya menyangka bahwa mahal = bagus.

Kalau misalnya sebuah sekolah menutup jendela di kelas dengan papan putih, atau memasang kawat berduri di areal bermain anak, atau menutup mulut anak dengan lakban (duct tape) maka hal itu menunjukkan bahwa guru dan pihak sekolah tidak mengerti bagaimana caranya mengendalikan anak. Bisa jadi sekolah ini sudah berubah dan tidak begitu lagi. (Dan kalau ada informasi dari orang tua atau dari pihak sekolah, saya selalu siap mengubah tulisan saya). Tetapi yang ingin saya bicarakan bukan soal apakah sudah diperbaiki atau belum, melainkan kenapa diperbolehkan begitu dari awalnya? Sebuah sekolah yang didirikan oleh orang2 yang mengerti pendidikan tidak akan izinkan hal seperti itu. Justru karena pernah dilakukan, kita bisa mendapat sebuah gambaran umum mengenai sekolah ini.

Kenyataan bahwa hal-hal seperti ini pernah diperbolehkan (untuk bertahun2) menunjukkan bahwa sekolah ini adalah sebuah bisnis dan tujuan utamanya bukan untuk memberikan yang terbaik bagi anak, karena mereka tidak mengerti apa yang terbaik untuk mendidik anak anda. Yang mereka mengerti adalah sekolah swasta merupakan bisnis yang sangat menguntungkan karena dengan asal menyediakan kelas dan “guru” mereka bisa balik modal dalam hanya beberapa tahun saja. Sesudahnya, tinggal meraih profit terus.

Barangkali orang tua sudah tahu bahwa para dokter di seluruh dunia bersumpah untuk melindungi pasien, minimal melakukan pengobatan yang tidak melukai pasien. Di dalam bahasa Inggris ini disingkatkan menjadi sebuah moto “Do no harm” (Jangan melukai/menyakiti). Pada saat saya belajar menjadi guru di Universitas Griffith, di Brisbane, Australia, kami diajarkan moto para guru, yaitu “Kesejahteraan/Perlindungan anak di atas segala-gala” (Safety First atau Always Protect The Children). Kenapa begitu? Sudah saya jelaskan dalam tulisan yang lain bahwa nilai tinggi tidak akan bermakna bagi orang tua kalau seandainya anak mereka menjadi buta atau lumpuh di sekolah disebabkan kelalaian para pengurus dan guru. Hal ini ditekankan kepada kami terus-terusan. Kesejahteraan anak selalu nomor satu. Pelajaran dan ilmu akademis adalah nomor dua. Bisnis dan profit tidak dibahas sama sekali.

Perlindungan anak ini begitu penting sampai masuk ke hukum negara: seorang guru wajib menegor dan menghalangi seorang anak, di mana saja dia berada, dari tindakan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain. Misalnya, kalau seorang guru melihat anak sedang manjat tiang listrik, maka guru wajib menyuruh dia turun, walaupun dia bukan muridnya guru itu. Kesejahteraan anak di atas segala-galannya.

Pernyataan dari sekolah yang mengancam saya ini: “We are all aware that all trainee teachers are required to learn School Business Management in one way or another during our course as teacher” adalah sesuatu yang sangat asing buat semua guru professional yang saya kenal. Di universitas saya, sama sekali tidak ada pelajaran untuk utamakan bisnis di sebuah sekolah. Yang ada hanya semua pelajaran yang dibutuhkan untuk menjaga kepentingan anak, bukan kepentingan pengusaha.

Mulai saat ini, saya tidak akan menyebutkan nama sekolah mana pun, walaupun saya tahu orang tua sangat menginginkan itu. Justru saya menyebutkan nama2 sekolah selama ini (walaupun terasa berat di hati) dengan niat membantu orang tua supaya bisa paham bahwa ada sekolah yang tidak sesuai dengan harapan anda (padahal anda tidak sadar).

Sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka perbaikilah dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu, lakukanlah dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, lakukan dengan hati. Dan ini merupakan selemah-lemahnya iman.”

(HR. Bukhari dan Tirmidzi)

Sebagai bisnis besar, tentu saja sekolah2 swasta di DKI memiliki pengacara yang mahal yang dibayar dengan uang anda untuk melindungi bisnis mereka dan bukan untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak anda. Dan uang anda yang mereka terima itu, digunakan untuk melindungi “profit margin” mereka, dengan cara apapun.

Kalau sebuah sekolah merasa dirugikan dengan pernyataan dari satu orang, maka mereka tidak akan terlalu kuatir kalau mereka merasa sangat yakin terhadap apa yang mereka sediakan bagi anak dan orang tua di sekolah. Mereka dengan tenang hati akan menjelaskan kepada orang tua bahwa orang itu salah dengan komentarnya mengenai sekolah. Mereka dengan tenang hati akan menghubungi orang itu dengan sikap yang baik, menawarkan informasi yang berbeda dan minta dia melakukan evaluasi yang baru. Anehnya, sebuah sekolah swasta yang sudah mengisi tabungannya dengan milyaran rupiah dari uang orang tua masih bisa merasa sebagai “korban” sehingga harus mengancam orang lain dengan tuntutan hukum.

Dari sekolah yang lain yang pernah saya sebutkan namanya, memang ada yang mengambil jalur bijaksana itu sebagai orang dewasa dengan membalas komentar saya dan menghubungi saya untuk berdialog. Oleh karena saya dihubungi dan diberikan informasi yang berbeda dari informasi semula, tulisan saya di-edit supaya memasukkan informasi dari pihak sekolah. Dan karena sekolah bersikap baik seperti itu, saya malah menjadi terkesan dengan sekolah tersebut dan tidak lagi melihat mereka sebagai sekolah yang utamakan bisnis di atas kepentingan anak.

Kalau ada sekolah yang membalas komentar saya dengan komentar mereka, maka orang tua diberikan dua pandangan dan dipersilahkan menilai sendiri. Lain halnya sekolah ini di Rawamangun yang langsung mengancam saya dan tidak pernah minta saya untuk mengubah tulisan saya dengan menawarkan informasi yang berbeda. Yang jelas, pihak sekolah ini, selain mengancam saya, tidak menyangkal tuduhan satupun dari orang tua yang menyebarkan email tentang mereka.

Ternyata masih ada orang tua yang ingin menyebarkan informasi tentang sekolah ini yang mengancam saya. Contohnya, ada surat dari pembaca yang masuk ke koran Kompas pada tanggal 26 Maret. Apakah Kompas akan diancam juga? Kalau tidak, kenapa? Informasi yang sama ada di internet di beberapa Milis. Apakah Moderator semua Milis akan diancam juga? Kalau tidak, kenapa? Kemarin saya sempat membalas ancaman sekolah ini dengan komentar saya (post itu diubah dan menjadi post ini). Sekaligus, saya menyediakan link ke surat pembaca tersebut di Kompas supaya orang tua bisa melihat sendiri buktinya bahwa ada yang lain yang juga menampung surat dari orang tua juga. Lalu sekolah ini mengancam saya sekali lagi, dan menyuruh saya hilangkan link itu. Kalau surat sudah dimuat di Kompas, berarti sudah di “Public Domain” untuk dilihat semua orang sepanjang masa, asal orang siap masuk ke situs Kompas dan melakukan pencarian. Apakah benar bahwa siapa pun yang memberikan link terhadap bagian surat di situs Kompas pada tanggal 26 Maret bisa dituntut di pengadilan? Seharusnya Kompas yang dituntut dan bukan orang yang hanya memberikan link ke situs mereka.

Pernyatan sekolah ini: “Upon clicking on this icon; your readers will be brought to an article [in Kompas], which clearly mention our school’s name. We consider this as an attempt to damage our reputation.” (Dan oleh karena itu, saya diancam, tetapi bukan Kompas?)

Anehnya, mereka mengancam saya karena tidak inginkan nama sekolahnya disebut di Blog saya, dan mengancam saya untuk kedua kalinya ketika memberikan link ke Kompas sebagai bukti bahwa surat dari orang tua juga ada di sana. Tetapi dengan meninggalkan komentar itu di Blog saya sebagai berikut: “[Atas Nama] Management, H#### KINDERGARTEN”, justru mereka sendiri yang menyebutkan nama sekolah mereka di Blog saya setelah mengancam saya karena melakukan hal yang sama.

Nama sekolah kita dilarang disebutkan di Blog anda, Salam, Management, (Nama Sekolah). Sungguh tidak logis dan tidak wajar. Apalagi kalau dilakukan dua kali. Apalagi ditambahkan pula dengan penghinaan terhadap saya secara pribadi. Apakah ini sebuah organisasi yang didirikan untuk mendidik anak bangsa ini dengan cara yang terbaik? Atau apakah ada tujuan yang berbeda? Sebuah tujuan yang sekarang menjadi sangat jelas dengan ancaman hukum yang tidak wajar dan argumentasi tidak logis yang mereka lontarkan? Orang tua sebaiknya berhati-hati.

Sudahlah. Saya sudah jenuh bahwa waktu saya dihabiskan untuk membahas satu sekolah saja. Saya ada banyak sekali tugas lain yang jauh lebih utama. Kalau orang tua ingin komplain tentang sekolah ini atau yang lain, silahkan kirim surat ke Kompas (kalau mau menyebutkan namanya) karena sepertinya sekolah swasta hanya takut pada Kompas. Mudah-mudahan Kompas atau koran yang lain akan melakukan investigasi yang lengkap. Kalau orang tua atau guru ingin membagi informasi dengan pembaca lewat saya, maka saya akan hapus nama pengirim dan nama sekolah. Informasi tersebut akan di simpan di Blog untuk memperkuat bukti tentang sekolah swasta yang tidak diatur dengan baik.

Orang tua silahkan berfikir sendiri apakah sekolah swasta anak anda memang ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak anda, atau apakah mereka hanya menjalankan bisnis biasa yang bertujuan untuk memperkaya pemilik sekolah? Saya berpesan kepada orang tua untuk hati-hati saja kalau ada sebuah sekolah swasta yang masih memiliki banyak kursi kosong, padahal sekolah yang lain ada “waiting list”. Bisa jadi sekolah itu agak kosong karena orang tua yang lain baru saja mencabut anaknya.

Setahu saya, tidak ada orang atau organisasi yang siap melindungi anak bangsa ini serta orang tuanya dari apa yang dilakukan terhadapnya di sekolah swasta. Ada usul dari seorang pembaca untuk membentuk “Indonesian Education Watch (IEW) sebagai LSM yang bisa melakukan investigasi dan memberikan keterangan tentang sekolah2 di Indonesia. Di internet saya temukan ini: “Sementara itu Saras Dewi dari National Education Watch (NEW) yang melakukan investigasi di SDN Percontohan IKIP mengatakan…” (Sumber: Tempo Interaktif). Tetapi setelah saya melakukan pencarian, saya tidak bisa menemukan situs yang membahas NEW ini setelah 2004, dan tidak ada websitenya. Apakah ada orang yang mempunyai informasi tentang organisasi ini? Apakah masih aktif?

Barangkali bermanfaat buat masyarakat kalau ada orang tua, pengacara, atau orang yang berpengalaman di bidang LSM yang siap mendirikan Indonesian Education Watch (atau mengaktifkan kembali NEW), dengan perlindungan hukum yang secukupnya tentu saja. Saya bukan seorang wartawan dan karena itu, saya tidak mempunyai waktu untuk melakukan cek dan ricek terhadap semua sekolah di DKI atau di Indonesia. Kalau ada yang ingin mendirikan LSM tersebut, barangkali bermanfaat kalau ada dua departemen di dalamnya: IEW Swasta dan IEW Negeri. Dengan demikian, masing2 bagian bisa berfokus pada isu yang spesifik yang perlu disampaikan kepada orang tua dan masyarakat. LSM seperti ini seharusnya memiliki staf yang sanggup melakukan cek dan ricek dengan menghubungi pihak sekolah dan meyampaikan dua pandangan terhadap orang tua. Saya bukannya tidak mau melakukan itu di Blog, hanya saja tidak punya waktu.

Kalau seandainya ada puluhan pengusaha yang mendirikan perusahaan penerbangan baru, barangkali konsumen menjadi senang karena tiba2 ada penerbangan yang lebih murah ke tujuan yang lebih banyak. Tetapi bagaimana kalau pengusaha tersebut tidak mempunyai ilmu tentang pesawat sama sekali dan semua keputusan dia didasarkan kepentingan bisnis yang utamakan profit di ata segala-galanya? Mungkin dia merasa sudah cukup kalau asal menyediakan pesawat tanpa pedulikan keamanan: yang penting balik modal dengan cepat. Masyarakat baru bisa sadar ada masalah setelah beberapa pesawat mengalami kecelakaan atau jatuh. Bagaimana dengan sekolah? Kira-kira apa yang akan membuat orang tua sadar ada masalah, kalau nama sekolah tidak boleh disebut (tanpa ancaman hukum) dan tidak ada pihak yang melakukan investigasi sama sekali?

Seharusnya ini menjadi tugas wartawan dan pemerintah. Seharusnya ada petugas dari Diknas yang melakukan investigasi terhadap sebuah sekolah setelah banyak orang tua komplain di koran dan di milis. Seharusnya hasil investigasi itu disampaikan ke wartawan yang ikut melakukan investigasi dengan hasilnya diterbitkan di koran mereka. Ini yang biasanya terjadi di negara asing. Di Indonesia kenapa tidak demikian juga? Apa yang menjadi halangan terhadap Diknas dan semua wartawan di DKI untuk melakukan investigasi demi kepentingan masayarakat dan anak kecil yang diperalat untuk kepentingan bisnis?

Setelah dipikirkan, sebuah sekolah swasta harus bayar ke Diknas untuk mendapatkan izin beroperasi. Sebagai sekolah swasta, wajarlah kalau bayaran itu cukup besar. Menurut situs Berita Pemda, ada 761 SD Swasta dan 689 SMP Swasta di DKI. Kalau semua sekolah ini (1450 sekolah swasta, belum termasuk SMA) membayar suatu biaya tertentu ke Diknas, apakah itu cukup sebagai alasan untuk tidak melakukan investigasi terhadap sekolah2 ini? Mudah-mudahan bukan inilah alasannya. Sayangnya, selama belum ada investigasi yang wajar dari pihak pemerintah dan wartawan, anak anda dijadikan kelinci percobaan di tangan pengusaha yang ingin balik modal dengan cepat dan menghasilkan profit yang setinggi mungkin.

Saya akan tetap menulis artikel tentang pendidikan, program bilingual, dan yang lain, walaupun ada ancaman dari pengusaha yang ingin melindungi bisnisnya di atas segala2nya. Semua yang saya lakukan, insya Allah, adalah untuk kepentingan anak, orang tua dan masa depan bangsa.

Sabda Rasulullah, “Barangsiapa selalu menyembunyikan ilmu pengetahuannya, maka di akhirat kelak akan dikalungi api neraka”

(HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim)

Saya tidak pernah akan menyatakan bahwa diri saya paling benar, dan pihak sekolah swasta selalu salah. Tujuan saya semata-mata untuk memberikan wawasan baru kepada orang tua bahwa apa yang terjadi di sebuah sekolah swasta harus dipantau oleh orang tua. Bisa jadi sekolah swasta anak anda adalah sekolah yang baik dan benar yang memberikan pendidikan yang bermutu, dan juga bisa jadi sekolah itu didirikan semata-mata untuk menghasilkan profit yang tinggi.

Saya ingin mohon maaf dengan sungguh-sungguh bila ada sekolah swasta di Jakarta yang merasa nama baik dilecehkan di dalam tulisan saya. Saya tidak berniat begitu dan hanya semata-mata ingin membuka mata orang tua supaya menjadi lebih kritis dan waspada terhadap apa yang dilakukan terhadap anak anda tanpa sepengetahuan anda. Saya tidak berniat memfitnah guru dan sekolah yang baik. Saya hanya merasa sedih bahwa ada sebagian sekolah yang merupakan tempat usaha murni dan orang tua tidak dilindungi siapa pun (pemerintah atau wartawan). Saya merasa beban moral sebagai seorang guru untuk melindungi anak kecil yang dijadikan “alat” untuk menghasilkan uang tanpa ada yang pedulikan masa depan mereka. Barangkali selama ini saya melakukan ini dengan cara yang kurang baik karena seharusnya tidak menyebutkan nama2 sekolah. Bila memang salah cara itu, saya mohon maaf. Mulai dari saat ini, saya akan berusaha untuk melakukan tugas yang sama dengan cara yang lebih baik.

Saya berserah diri kepada Allah dan mohon perlindungan dari pengusaha yang mengutamakan bisnis di atas kepentingan anak. Saya juga mohon orang tua membantu saya dengan mendoakan saya, dan juga dengan menjadi lebih aktif membahas masalah2 pendidikan swasta ini. Anda bisa membantu dengan cara mengirim surat ke koran. Bisa dengan minta tanggung jawaban dari Diknas untuk melakukan kontrol yang wajar. Bisa dengan mengadakan pertemuan di rumah saja dan mengajak teman2 diskusi tentang masalah sekolah supaya semua menjadi sadar.

Apakah anda pernah mengirim email ke Menteri Pendidikan dan minta tanggapan dari beliau atas perkara yang anda ketahui? Ini Website Depdiknas dan ini bagian Hubungi Kami. Coba saja kirim email dan minta teman-teman anda mengirim email kepada Diknas juga. Membahas apa yang anda tahu tentang sekolah swasta anak anda (bila terasa ada masalah yang perlu diperiksa). Minta tanggapan dari petugas pemerintah ini. Mereka mendapat gaji dari pajak anda. Mereka seharusnya siap melayani anda. Minta pelayanan itu karena itu merupakan hak anda sebagai seorang warga negara. Bapak Presiden SBY hanya menerima gaji sekarang karena anda telah memberikan kepercayaan kepadanya untuk memimpin bangsa ini. Bapak Presiden yang mengangkat Menteri Pendidikan. Mereka berdua seharusnya menaggapi secara serius masalah apa saja yang menganggu anak anda dan masa depan mereka. Minta tanggapan yang serius itu. Minta pertanggung-jawaban dari mereka. Minta Diknas melakukan investigasi terhadap sekolah yang merugikan anda atau teman anda. Kalau email anda tidak dijawab, kirim lagi besok/minggu depan.

Surat yang sama bisa juga diprint dan dikirim kepada Presiden SBY. Ini alamatnya: PO BOX 9949, Jakarta 10000. Anda juga bisa mengirim sms ke layanan SMS 9949. Di situs Presiden RI, kelihatan bahwa hanya 222 surat mengenai pendidikan masuk dalam satu bulan; sebuah jumlah yang kecil dibandingkan surat lain yang masuk. (Sayangnya, di situs ini tidak ada alamat email untuk Presiden). Bayangkan kalau statistik ini berubah dan tiba-tiba 10,000 surat tentang pendidikan masuk ke kantor Presiden, dan semuanya minta pertanggungjawaban Presiden terhadap pendidikan anak bangsa. Bayangkan kalau Bapak Presiden hubungi Menteri Pendidikan dan menyuruh dia bertindak. Bayangkan kalau ada yang berubah di sekolah anak anda disebabkan anda mengambil keputusan untuk mengirim satu surat saja. Bayangkan negara ini bisa menjadi seperti apa kalau semua orang tua melakukan hal yang sama!

Kalau orang tua siap menjadi lebih aktif dengan mencari solusi terhadap masalah2 ini, maka itulah yang terbaik untuk bangsa ini, bukan kritikan dari satu orang asing saja. Saya merasa bahwa saya berbicara sendiri padahal justru orang tua dan para guru yang lebih berhak membicarakan masalah2 ini. Seharusnya anda dan mereka menjadi lebih aktif supaya saya bisa menjadi pemantau yang lebih pasif. Usaha saya semata-mata untuk membantu anda dan anak anda yang akan membangun masa depan bangsa ini. Saya bukan warga negara. Saya tidak ada hak suara dalam pemilihan umum. Saya tidak bisa menjadi orang yang aktif di pemerintahan dengan kekuasaan secara formal untuk melindungi anak anda. Saya hanya bisa mengajak anda menjadi lebih sadar dan lebih aktif. Anda mempunyai hak sebagai warga negara. Anda mempunyai hak sebagai konsumen. Menuntut hak itu. Kalau anda tidak mau, dan mencari sekian banyak alasan tentang kenapa anda tidak bisa menjadi lebih aktif, maka saya tidak tahu bangsa ini akan menjadi seperti apa di masa depan.

Semoga anak bangsa ini bisa diselamatkan dari para pengusaha dan bisa mendapatkan kepedulian yang wajar dari pihak pemerintah. Anak anda adalah khalifa Allah dan pemimpin masa depan bangsa ini. Jangan mundur. Jangan takut. Memperkuat diri untuk berjuang dan menunut yang terbaik bagi mereka. Kita hanya mendapat beberapa tahun saja di dunia ini sebelum masuk kuburan. Manfaatkan waktu ini untuk membuat suatu perubahan sehingga dunia ini menjadi lebih baik sebelum anda kembali ke Allah. Ambil tindakan konkret untuk memperbaiki negara ini. Ambil tindakan konkret yang akan membantu anak anda dan anak orang lain. Masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. Lakukan sesuatu yang jelas. Soal berhasil atau tidak di tangan Allah dan yang penting kita semua siap berusaha dulu. Jangan cari alasan lagi untuk diam terus.

Tentu saja satu orang tidak bisa memperbaiki segala sesuatu sendiri. Tetapi kalau setiap orang berusaha untuk memperbaiki satu hal saja, maka dunia yang diterima anak bangsa ini akan jauh lebih baik. Anda bisa mulai dengan menggunakan suara anda untuk menuntut sekolah dan pendidikan yang lebih baik buat semua anak.

Jangan lupa bahwa teman anda dan tetangga anda juga punya anak. Dengan masuk sekolah swasta atau negeri, mereka juga membutuhkan pendidikan yang layak untuk membangun bangsa ini. Pikirkan mereka juga. Bisa jadi anak tetangga anda yang menjadi Presiden di masa depan. Berjuang untuk dia juga dan menuntut pendidikan yang bermutu untuk semua anak bangsa.

Wabillahi taufiq walhidayah,

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

24 March, 2007

INDONESIA: BENCANA ALAM ATAU PEMBUNUHAN MASSAL?


Oleh: Andre Vitchek, January 11, 2007

Lain hari, terjadi lagi kehilangan nyawa yang sesungguhnya tidak perlu: 16 orang terbunuh dan 16 orang masih hilang pada saat banjir dan longsor di Tahuna, sebuah pulau kecil dekat Sulawesi.Dengan kecepatan yang mengerikan, Indonesia telah menggantikan Bangla Desh dan India sebagai bangsa yang paling rentan bencana di dunia. Jika namaIndonesia muncul pada daftar judul utama di berita Yahoo, besar kemungkinan telah terjadi lagi suatu tragedi besar yang sesungguhnya tidak perlu terjadi di salah satu pulau dari kepulauan yang tersebar luas ini.Pesawat terbang hilang atau tergelincir di landasan pacu, kapal-kapal ferry tenggelam atau rontok di lautan bebas, kereta api bertabrakan atau tergelincir satu kali seminggu, penumpang yang tak berkarcis berjatuhan dari atap yang berkarat. Tumpukan sampah yang berbau busuk dan tidak memperoleh izin telah mengubur kelompok pemulung yang tak berdaya, tanah longsor telah menghanyutkan rumah-rumah kardus ke anak-anak sungai, gempa bumi serta gelombang pasang telah menghancurkan kota-kota serta desa-desa pantai.Kebakaran hutan di Sumatra telah menyesakkan nafas penduduk di daerah yang luas di Asia Tenggara.

Ruang lingkup bencana sebesar ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan sungguh aneh jika kita menyepelekannya sekedarsebagai nasib jelek bangsa atau amarah Tuhan ataupun karena keganasan alam belaka. Sebagian besar faktor penyebab bencana ini harus dipersalahkan pada korupsi, inkompetensi atau sekedar ketidakacuhan dari kelompok elite yang sedang berkuasa dan para pejabat peemrintah. Adalah kemiskinan, minimnya proyek untuk kepentingan umum, dan kegemaran [para pejabat untuk ] mencuri yang membunuh ratusan ribu pria, wanita serta anak-anak Indonesia yang tidak berdaya.

Sejak kudeta militer dalam tahun 1965 yang disponsori Amerika Serikat yang menjatuhkan Sukarno, dan menaikkan rezim militer yang sangat anti komunis, korup, dan pro pasar dari diktator Suharto, Indonesia terhindar dari pengawasan yang sungguh-sungguh dari media dan pemerintahan negara-negara Barat. Setelah jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, Indonesia dipuji oleh media massa sebagai suatu demokrasi yang sedang tumbuh dan semakin toleran.

Sebagian dari bencana ini adalah buatan manusia; [dan] hampir semuanya malah bisa dicegah. Dalam penelusuran yang lebih cermat semakin jelas terlihat bahwa orang-orang mati karena hampir tidak ada upaya pencegahan, kurangnya pendidikan (Indonesia merupakan negara yang ketiga paling rendah prosentase GDP anggaran pendidikannya sesudah Equatorial Guinea dan Ecuador) dan suatu sistem ekonomi pro pasar yang buas yang membiarkan sekelompok kecil orang kaya untuk memperkaya dirinya sendiri di atas penderitaan orang banyak yang hidup d engan biaya kurang dari dua dollar sehari.

Kesimpulan yang dapat ditarik terhadap bagaimana berfungsinya masyarakat Indonesia bisa sangat mengerikan. Namun, menghindari pengungkapan hal ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan jatuhnya korban nyawa yang berharga dari ratusan ribu manusia.

[Kehidupan bernegara di] Indonesia dewasa ini didorong oleh semangat mencari untung dalam bentuknya yang paling ekstrim. Ia juga merupakan salah satu dari bangsa yang paling korup di muka bumi. Dan kelihatannya tidak ada keuntungan cepat yang dapat diperoleh dari mengambil langkah-langkah preventif [terhadap bencana alam ini].

Dimanapun dunia, bendungan dan dinding anti-tsunami dipandang sebagai pekerjaan umum dan justru perkataan -umum- yang telah hampir lenyap dari kamus mereka yang membuat keputusan di Indonesia.Keuntunga n berjangka pendek bagi sekelompok khusus orang diberikan prioritas yang lebih tinggi dari kemanfaatan berjangka panjang bagi seluruh bangsa. Keruntuhan moral dari bangsa ini terbayang dalam skala nilai, yaitu: orang korup tapi kaya memperoleh penghormatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang jujur tapi miskin.

Tenggelamnya kapal-kapal ferry bukanlah "karena angin kencang dan ombak"; kapal-kapal itu tenggelam karena penuh sesak oleh penumpang dan karena perawatan yang buruk. Semuanya bisa dijadikan uang, bahkan keselamatan ribuan penumpang. Perusahaan-perusahaan hanya ingat terhadap keuntungannya sendiri, sedangkan para pengawas dari pemerintah hanya memperhatikan uang suap belaka. Tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dengan ratusan kurban dan disiarkan secara luas itu hanyalah salah satu dari ratusan kecelakaan laut yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Walaupun tidak bisa diperoleh angka statistik yang pasti (dengan alasan yang dapat diduga, yaitu karena pemerintah Indonesia berusaha sekeras-kerasnya untuk mencegah dipublikasikannya statistik komparatif secara lengkap), beberapa rute pelayaran kehilangan lebih dari tiga kapal setiap tahun.

Catatan keamanan dari industri penerbangan Indonesia merupakan salah satu yang paling buruk di dunia. Sejak tahun 1997, sekurang-kurangnya 666 orang telah meninggal dalam delapan kecelakaan pesawat di Indonesia. Latihan terhadap beberapa orang pilot sedemikian buruknya sehingga pesawat sering tergelincir di landasan pacu atau sama sekali tidak bisa menemukan landasan, atau [malah] mendarat di bagian tengah landasan. Pemeliharaan pesawat adalah masalah lainnya: flaps sering tidak berfungsi sama sekali; roda tidak dapat dimasukkan setelah take-off, ban yang jarang diganti cenderung meletus pada saat mendarat. Sungguh merupakan suatu keajaiban bagaimana beberapa pesawat - khususnya pesawat tua Boeing 737 yang diterbangkan oleh hampir semua perusahaan penerbangan Indonesia - bisa lolos dari inspeksi.

Setelah mewawancarai pejabat penerbangan sipil lokal (nama yang bersangkutan jelas tidak mau disebutkan) wartawan Anda mengetahui bahwa sistem navigasi dari beberapa bandar udara Indonesia berada dalam keadaan yang amburadul, terutama bandar udara Makasar di Sulawesi dan Medan di Sumatra.Rata- rata, telah terjadi satu kecelakaan kereta api setiap enam hari di Indonesia, umumnya disebabkan karena kurangnya penjagaan pada 8000 lintasan kereta api. Sebagai perbandingan, kereta api Malaysia tidak pernah mengalami kecelakaan fatal selama 13 tahun sampai tahun 2005 (satu kecelakaan terjadi tahun 2006, yang statistiknya bisa diperoleh)

Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia secara relatif mempunyai jumlah mobil per kapita yang kecil, namun jalan-jalannya merupakan jaringan jalan yang "paling banyak digunakan" di dunia (hanya nomor dua setelah Hongkong yang justru bukan merupakan negara): 5.7 juta kend eraan-km per tahun dari jaringan jalan. (2003, The Economist World in Figures, 2007 Edition).

Menurut The Financial Times, walaupun kepadatan yang luar biasa serta lalu lintas yang bagaikan merangkak ini, lebih dari 80 orang tewas setiap hari di jalan-jalan Indonesia, umumnya disebabkan oleh karena amat buruknya infrastruktur dan amat lemahnya penegakan hukum. Gempa bumi belaka tidaklah membunuh manusia. Faktor penyebab banyaknya jatuh korban adalah buruknya konstruksi rumah serta bangunan, bersamaan dengan kurangnya upaya preventif dan pendidikan preventif.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia rentan terhadap bencana; bahwa ia berada di kawasan yang disebut sebagai 'lingkaran api' (ring of fire). Namun kaum miskin tidak bisa mengharapkan adanya proyek perumahan umum yang mampu menahan gempa (seperti yang dibangun di negara tetangga, Malaysia). Hampir setiap keluarga harus mengurus nasibnya sendiri: merekaharus merancang dan mendirikan tempat tinggalnya sendiri. Gempa besar membunuh ratusan orang, kadang-kadang ribuan orang, dan menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan rumah mereka. Sekurang-kurangnya 5.800 orang meninggal dan 36.000 luka-luka pada tanggal 27 Mei 2006 sewaktu gempa berkekuatan 6.2 skala Richter menghantam daerah Jawa Tengah dekat kota bersejarah Yogyakarta. Infrastruktur yang primitif, fasilitas media yang tidak memadai, dan korupsi yang terjadi pada saat pendistribusian bantuan merupakan faktor yang menyebabkan tingginya jumlah korban pada saat terjadinya goncangan.

Pembabatan hutan secara tidak sah (illegal logging) dan penggundulan hutan merupakan alasan utama terjadinya tanah longsor. Semua orang tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan di Sumatera dan di tempat-tempat lain, tetapi para pejabat pemerintah enggan sekali melakukan penangkapan, oleh karena mereka yang bertanggung jawab terhadap penggundulan hutan tersebut biasanya kaya raya dan mempunyai koneksi dengan [pejabat] negara dimana bahkan keadilan bisa dijual.

Demikian banyak bentuk penyelesaian terhadap masalah-masalah ini, termasuk penegakan hukum, inspeksi dan upaya untuk mencari nafkah alternatif bagi masyarakat yang sedemikian putus asanya, sehingga mereka secara harfiah terpaksa ikut serta menggali lubang kuburnya sendiri dengan menghancurkan lingkungan, yang selanjutnya menghancurkan seluruh masyarakat itu sendiri.Namun hampir tidak ada yang dilakukan sama sekali, oleh karena pembabatan hutan secara tidak sah merupakan bisnis raksasa dan sangat menguntungkan, yang dapat mengisi demikian banyak telapak tangan yang menunggunya dengan sukacita.

Bulan lalu, beberapa puluh orang terbunuh kaena tanah longsor dan banjir bandang di bagian utara pulau Sumatra, yang memaksa 400.000 oang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Pada bulan Juni 2006, banjir dan tanah longsor yang disebabkan oleh hutan lebat telah menewaskan lebih dari 200 orang di provinsi Sulawesi Selatan.

Gelombang raksasa, yang terkenal sebagai tsunami, telah menewaskan lebih dari 126.000 orang di provinsi Aceh pada bulan Desember 2004. Bukan saja reaksi dari pemerintah Indonesia dan militernya amat lamban, sebagian besar dari bantuan luar negeri yang amat banyak itu lenyap karena korupsi. Jangankan membantu korban, banyak anggota tentara Indonesia memeras sogokan dari lembaga-lembaga bantuan dan merusak perbekalan atau air minum yang berharga jik a sogokan tidak dibayar.

Dalam suatu kasus menyolok tentang perampasan tanah oleh pemerintah, banyak korban dihambat pulang ke tanahnya sendiri, sedangkan anak-anak dipisahkan secara paksa dari orang tuanya (karena kehilangan sertifikat kelahiran) dan'diadopsi' oleh organisasi-organisa si keagamaan; beberapa di antaranya menjadi korban perdagangan manusia (human traficking). Lebih dari dua tahun setelah terjadinya tragedi yang menghancur-luluhkan Aceh ini, ratusan ribu orang masih tinggal di rumah-rumah darurat. Masih banyak korban tsunami lainnya, yang menghantam pantai Jawa selatan pada tanggal 17 Juli 2006 yang masih menunggu bantuan yang berarti. Menurut angka-angka resmi, sebanyak 600 orang tewas, namun angka yang sebenarnya hampir pasti jauh lebih tinggi.

Pejabat-pejabat Indonesi telah menerima peringatan dini dari Jepang namun tidak mau bertindak, kemudian mengatakan bahwa tidak banyak yang dapat diperbuat karena daerah tersebut tidak dilengkapi dengan sirene atau pengeras suara.

Indonesia sering menderita berbagai jenis bencana buatan manusia yang sungguh sukar untuk dimengerti dan diperbandingkan dengan apapun juga. "Banjir lumpur" baru-baru ini telah menenggelamkan demikian banyak desa di luar Surabaya. Bencana itu terjadi karena tidak dipatuhinya prosedur secara wajar oleh suatu perusahaan eksplorasi gas(yang sebagian sahamnya dimiliki oleh salah seorangmenteri kabinet)."Kecelakaan" ini telah menyebabkan lebih dari 10.000orang menjadi pengungsi, dan merendam lebih dari 1.000 are tanah dengan lumpur panas, menghancurkan satu-satunya jalan raya dari Surabaya serta jalan kereta api utama. Sampah telah menguburkan suatu desa pemulung miskin pada sebuah penimbunan sampah tanpa izin di luar kota Bandung.

Banyak lagi kejadian seperti itu, tapi daftar lengkap akan memenerlukan banyak sekali halaman surat kabar, bahkan mungkin suatu buku yang khusus ditulis tentang hal itu. Masalahnya adalah: kapankah rakyat Indonesia akan berkata bahwa sudah cukup apa yang terjadi itu dan kapankah mereka akan menuntut pertanggungjawaban dan keadilan, angka-angka statistik yang benar, dan 'cetak biru' yang konkrit untuk menyelesaikannya?

Hampir di semua negara, dua bencana yang terjadi baru-baru ini - peristiwa tenggelam yang mengerikan dari kapan 'Satria Nusantara" dan 'hilang'-nya pesawat Boeing 737 Adam Air dengan 102 penumpang - sudah lebih dari cukup untuk memaksa menteri kabinet untuk mengundurkan diri. Di Indonesia, kedua tragedi ini dipandang (atau ditampilkan) hanya sebagai suatu nasib buruk lainnya belaka tanpa meminta pertanggungjawaban atau akuntabiltas siapa pun juga.

Pers dan media massa Indonesia telah melaporkan secara detail masing-masing dan setiap bencana itu. Tetapi mereka gagal untuk menegaskan bahwa apa yang terjadi itu adalah suatu keadaan luar biasa dan tidak dapat ditoleransi, bahwa mungkin tidak ada negara besar lainnya di dunia yang mengalami demikian banyak korban manusia yang tidak semestinya terjadi karena bencana buatan manusia atau bencana yang sesungguhnya bisa dicegah. Upaya mengaitkan demikian banyak bencana dengan korupsi dan sistem sosial ekonomi telah ditolak sama sekali. Surat kabar Indonesia terkemuka Jakarta Post, baru-baru ini memberangus komentar ini, dan menolak menerbitkannya di halaman-halamannya.

Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam berbagai bencana, tidak termasuk kecelakaan kenderaan bermotor di jalan raya dan konflik bersenjata yang terjadi di seluruh kepulauan Indonesia. Jumlah itu lebih besar dari jumlah korban di Irak pada saat yang sama, juga lebih besar dari korban yang jatuh di Sri Langka atau di Peru selama perang saudara yang demikian lama.

Sungguh, banyak orang Indonesia yang hidup dalam keadaan berbahaya dan penuh risiko seperti mereka yang hidup di daerah yang tercabik-cabik oleh perang. Sebagian besar mereka tidak menyadarinya, oleh karena statistik komparatif atau tidak tersedia atau telah ditekan. Indonesia adalah miskin, tetapi masih berada dalam posisi untuk melindungi sebagian dari warganya yang rentan. Masalah utama adalah tidak adanya kehendak politik (political will). Cukup banyak semen dan batu bata untuk membuat bendungan dan dinding untuk menghambat tsunami, untuk memperkuat bukit-bukit di sekitar kota-kota, yang terancam akan dikuburkan oleh tanah longsor.

Suatu penglihatan sekilas di sekitar Jakarta berlusin-lusin shopping malls baru dibangun di beberapa tempat, dimana istana-istana mewah dari pejabat-pejabat yang korup telah memakan berhektar-hektar tanah. Keengganan untuk menyelesaikan masalah mempunyai akarnya pada korupsi. Badan-badan usaha serta pejabat-pejabat lokal telah mengemban gkan kemampuan khusus untuk mengeruk keuntungan dari apa pun juga, bahkan dari bencana dan dari penderitaan berjuta-juta rakyatnya sendiri.

Dalam kalimat sederhana, korupsi adalah pencurian dari publik. Tetapi jika korban yang harus dibayar harus dihitung dengan hilangnya ratusan ribu nyawa, ia menjadi pembunuhan massa.

Andre Vitchek adalah Novelis, jurnalis, produser film, salah seorang pendiri dari Mainstay Press (www.mainstaypress . org), Senior Fellow pada Oakland Institute (www.oaklandinstitute.org < http://te.org/>). Saat ini ia tinggal dan bekerja di Asia Tenggara dan bisa dihubungi pada alamat email andre-wcn@usa.net. Naskah aslinya berjudul "Indonesia: Natural Disasters or Mass Murder?", dimuat dalam International Herald Tribune dan The Financial Times, 12 Februari 2007, dikirimkan via e-mail oleh Duta Besar RI di Ceko,

(Dari Prof Dr Salim Said, MA,MAIA, dan diterjemahkan oleh Dr. Saafroedin Bahar, Komnas HAM.)

Baca Versi Bahasa Inggris (Original) di sini:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...