Bagi orang yang belum tahu, salah satu dari pelajaran yang sangat berharga dari Perang Dunia II terkait pembelaan yang digunakan oleh prajurit Nazi, guru, polisi, hakim, PNS, dan semua petugas dan pejabat yang lain. Katanya, "Kami hanya mengikuti aturan!!" Jadi disebabkan ada "aturan" dari Hitler, orang Yahudi dan banyak kelompok yang lain boleh diusir, dipecat, ditangkap, disiksa, dipenjarakan, barangnya disita, dan juga dibunuh. Ada aturan yang mengizinkan. Semua petugas itu hanya "mengikuti aturan", jadi mereka menolak disalahkan.
Sejak itu, dalam persidangan di Eropa selama beberapa tahun, muncul pelajaran baru: Barangsiapa yang disuruh taat pada suatu aturan, atau arahan dari atasan mereka, atau aturan dari pemimpin wilayah, sedangkan mereka tahu bahwa itu buruk, jahat, tidak adil, atau bahkan melanggar UU negara, maka mereka DIWAJIBKAN MENOLAK. Dan kalau tidak menolak, maka mereka disalahkan dan harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tetapi sampai sekarang, di semua negara diktator, masih ada petugas dan pejabat yang menindas rakyat sendiri dan berikan alasan yang digunakan Nazi: “Hanya ikuti aturan!”
Dan di Indonesia, sering terlihat efeknya. Jenderal polisi suruh anak buah bunuh polisi lain, mereka laksanakan. Taat pada atasan. Kolonel TNI suruh anak buah buang dua remaja yang ditabrak mobilnya ke sungai (padahal masih hidup), dan mereka laksanakan. Taat pada atasan. Pemuda lulus dari pesantren, hafiz Quran, masuk Kementerian Agama, dan disuruh ikuti korupsi berjemaah terhadap dana Haji, dia taat pada atasan. Ada ribuan contoh yang lain.
Banyak guru juga bertindak dengan sikap yang sama. Ada aturan, ada arahan dari atasan, jadi para guru taat. Hanya ikuti aturan (atau arahan). Tidak ada yang berani protes. Tidak ada berani bertanya KENAPA harus ada aturan atau arahan itu, atau apakah adil. Tidak berani melakukan perubahan. Hanya bisa diam dan taat. Rakyat Indonesia yang dirugikan, sejak kenal guru-guru itu di masa sekolah. Pola pikir orang dewasa sekarang terbentuk oleh gurunya di zaman dulu. Diam dan taat pada aturan (dan arahan). Jangan berpikir, jangan berbeda pendapat, jangan peduli pada keadilan atau kebenaran atau ilmu atau UU negara. Diam dan taat saja. Lalu 70 juta siswa diberikan pola pikir itu dari gurunya…
Jadi sangat buruk kalau guru memotong rambut siswa secara paksa. Lebih baik 3 juta guru berani bertanya kenapa harus ada aturan yang mengatur ukuran rambut laki-laki itu, dan apa hubungannya antara rambut dan pendidikan. Lalu dicoret saja aturan tersebut, dan urusan rambut anak diserahkan kepada orang tuanya. Sederhana, bukan? Lalu orang tua dan siswa bisa diajak memberikan masukan tentang aturan mana lagi yang mau diubah di semua sekolah karena sebenarnya tidak penting, atau tidak berguna, dan hanya menjadi alat bagi guru yang buruk untuk menindas para muridnya.
Semoga bermanfaat sebagai renungan.
-Gene Netto
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(557)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(179)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
09 October, 2024
Kenapa Buruk Kalau Guru "Taat Pada Aturan" Dan Potong Rambut Siswa?
Subscribe to:
Posts (Atom)