Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

02 May, 2008

Ahli Fikih Himbau Pengecam MUI untuk Tahu Diri

Jumat, 02 Mei 2008

Kalangan ahli fikih (hukum Islam) meminta tokoh Islam dan pengecam fatwa MUI harus tahu diri. “Mohon tahu dirilah kalau bukan bidangnya,” ujar Prof Dr. Huzaemah

Hidayatullah.com—Kalangan ahli fikih dan hukum Islam beramai-ramai meminta para intelektual untuk lebih tahu diri terhadap segala komentar dan pernyataannya menyangkut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Ahmadiyah.

Seruan kalangan ahli fikih dan hukum Islam ini datang dari Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo, pakar hukum syariah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Muinudinillah, MA serta ahli fikih Dr. Zain an-Najah.

Ketika dihubungi oleh www.hidayatullah.com secara terpisah, mereka meminta agar kalangan intelektual dan tokoh Islam yang tak mengerti lebih jauh tentang hukum Islam untuk tak memberikan pernyataan, ucapan atau statemen yang membingungkan masyarakat, apalagi mengecam fatwa MUI menyangkut Ahmadiyah.

Prof Dr Huzaemah yang juga Ketua MUI bidang Komisi Remaja dan Perempuan kepada www.hidayatullah.com mengatakan, beberapa hari ini dirinya merasa sedih melihat media massa dan TV memuat pernyataan tokoh yang disebut intelektual dan bahkan tokoh-tokoh Islam menyangkut keputusan fatwa MUI tentang Ahmadiyah.

“Masyarakat harus tahu siapa-siapa yang berkomentar itu. Dan saya meminta, yang tak paham hukum Islam jangan bicara seenaknya,” ujarnya.

Menurut ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini, dalam prinsip hukum Islam, setelah Al-Quran dan Al-Hadits, sandaran hukum berikutnya adalah ijma’ ulama. Sebab 'Al ulama-u waratsatu al anbiya' (ulama adalah pewaris para Nabi), katanya.

“Kalau tidak kepada ulama, kita akan bertanya kepada siapa lagi menyangkut masalah berkaitan dengan hukum Islam ini,” ujarnya. Karena itu, tambah Huzaimah, apa yang telah dilakukan oleh MUI dalam kasus fatwa tentang Ahmadiyah adalah sudah benar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Muinudinillah. Pakar hukum Syariah lulusan Riyad ini mengatakan, jika ada perdebatan terhadap suatu masalah dalam masyarakat, maka, yang harus dijadikan sandaran adalah orang-orang yang lebih ahli. Baginya, sangat tidak sopan jika orang-orang diluar ahli, khususnya masalah yang berkaitan dengan hukum Islam tiba-tiba memberikan pernyataan seenaknya.

“Jika saya ditanya masalah ilmu sejarah atau soal yang tak ada kaitannya dengan hukum Islam saya juga akan tahu diri, “ tambahnya.

Direktur Pascasarjana Studi Islam UMS ini mengatakan, selama ini, para intelekual membela Ahmadiyah dengan alasan mereka ‘dizolimi’. “Lantas bagaimana dengan sikap Ahmadiyah yang “mendzolimi” akidah Islam soal kenabian Muhammad?” tambahnya.

Lebih jauh, Muinudinillah mempertanyakan sikap tokoh-tokoh Islam yang justru mengecam fatwa MUI. “Seharusnya mereka itu ber wala’ (loyalitas) kepada Islam. Mengapa justru sebaliknya?”.

Sebagaimana diketahui, menyusul pernyataan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) yang menyatakan aliran Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam dan harus dihentikan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut dituduh menjadi penyebab utama terjadinya aksi kekerasan.

Yang cukup mengagetkan, komentar dan pernyataan yang bernada serangan justru datang dari tokoh-tokoh Islam yang sesungguhnya tak punya latar belakang hukum Islam. Termasuk diantaranya Adnan Buyung Nasution dan Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif yang lebih dikenal pengamat sejarah.

Pelecehan Ulama

Menyangkut kecaman-kecaman terhadap fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Adian Husaini dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) mengatakan, sudah tepat jika MUI mengeluarkan soal fatwa keagamaan dalam Islam. Lain halnya jika MUI mengeluarkan fatwa diluar bidangnya.

“Sudah benar jika MUI mengeluarkan fatwa. Apalagi masalah Ahmadiyah. Masa MUI mengeluarkan resep. Itu kan tugas dokter, “ jawabnya pandek.

Hal serupa juga dinyatakan Dr. Ahmad Zain An Najah. Mantan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, PCIM Kairo Mesir ini mengatakan, fatwa itu adalah hak ulama, bukan perorangan. Dan yang mengerti urusan fatwa adalah mereka-mereka yang tahu dan mengerti secara baik hukum Islam. Karenanya, jika ada orang meskipun dikenal tokoh Islam, tapi bukan berlatar belakang hukum Islam atau fikih, mereka tak memiliki hak. Anehnya, menurut Zain, setiap ada fatwa MUI, semua media massa termasuk TV justru meminta komentar tokoh-tokoh yang tak ahli dalam hukum Islam.

“Nah, seharusnya media massa dan televisi mengerti. Ke mana seharusnya masalah fatwa ini ditanyakan. Tapi, kok, orang-orang yang tak paham hukum Islam diminta pendapat dan terus-menerus mendapatkan tempat. Ada apa ini?, “ujarnya.

Pria asal Klaten yang meraih predikat summa cumlaude dengan disertasi Al-Qadhi Husain wa Atsaruhu Al-Fiqhiyah ini cukup heran dengan kondisi di Indonesia.

Sekedar membandingkan, belum ada dalam sejarahnya fatwa ulama dikecam apalagi dilecehkan orang-orang awam dan bukan ahli dibidangnya kecuali di Indonesia. Ia mencontohkan, dalam kasus semua fatwa yang dikeluarkan Darul Ifta’ al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) atau Majma'ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar, tak pernah masyarakat bahkan pihak pemerintah mempertanyakan atau mengotak-atik nya.

“Umumnya, semua masarakat Mesir paham dan menghormati, bahkan termasuk pihak pemerintah,” tambahnya. Berbeda dengan dengan di Indonesia di mana fatwa ulama ‘dilecehkan’ orang yang tak paham hukum Islam. [cha, berbagai sumber/ www.hidayatullah.com]

Sumber: Hidayatullah.com

01 May, 2008

Unraveling Iraq: Twelve Answers to Questions No One Is Bothering to Ask About Iraq

Maaf, terlalu panjang untuk membuat terjemahan. (Buat yang bisa bahasa Inggris saja) -Gene-

Go to Original

Unraveling Iraq: Twelve Answers to Questions No One Is Bothering to Ask About Iraq

By Tom Engelhardt, TomDispatch.com

Sunday 20 April 2008

Can there be any question that, since the invasion of 2003, Iraq has been unraveling? And here's the curious thing: Despite a lack of decent information and analysis on crucial aspects of the Iraqi catastrophe, despite the way much of the Iraq story fell off newspaper front pages and out of the TV news in the last year, despite so many reports on the "success" of the President's surge strategy, Americans sense this perfectly well. In the latest Washington Post/ABC News poll, 56% of Americans "say the United States should withdraw its military forces to avoid further casualties" and this has, as the Post notes, been a majority position since January 2007, the month that the surge was first announced. Imagine what might happen if the American public knew more about the actual state of affairs in Iraq - and of thinking in Washington. So, here, in an attempt to unravel the situation in ever-unraveling Iraq are twelve answers to questions which should be asked far more often in this country:

1. Yes, the war has morphed into the U.S. military's worst Iraq nightmare: Few now remember, but before George W. Bush launched the invasion of Iraq in March 2003, top administration and Pentagon officials had a single overriding nightmare - not chemical, but urban, warfare. Saddam Hussein, they feared, would lure American forces into "Fortress Baghdad," as Secretary of Defense Donald Rumsfeld labeled it. There, they would find themselves fighting block by block, especially in the warren of streets that make up the Iraqi capital's poorest districts.

When American forces actually entered Baghdad in early April 2003, however, even Saddam's vaunted Republican Guard units had put away their weapons and gone home. It took five years but, as of now, American troops are indeed fighting in the warren of streets in Sadr City, the Shiite slum of two and a half million in eastern Baghdad largely controlled by Muqtada al-Sadr's Mahdi Army militia. The U.S. military, in fact, recently experienced its worst week of 2008 in terms of casualties, mainly in and around Baghdad. So, mission accomplished - the worst fear of 2003 has now been realized.

2. No, there was never an exit strategy from Iraq because the Bush administration never intended to leave - and still doesn't: Critics of the war have regularly gone after the Bush administration for its lack of planning, including its lack of an "exit strategy." In this, they miss the point. The Bush administration arrived in Iraq with four mega-bases on the drawing boards. These were meant to undergird a future American garrisoning of that country and were to house at least 30,000 American troops, as well as U.S. air power, for the indefinite future. The term used for such places wasn't "permanent base," but the more charming and euphemistic "enduring camp." (In fact, as we learned recently, the Bush administration refuses to define any American base on foreign soil anywhere on the planet, including ones in Japan for over 60 years, as permanent.) Those four monster bases in Iraq (and many others) were soon being built at the cost of multibillions and are, even today, being significantly upgraded. In October 2007, for instance, National Public Radio's defense correspondent Guy Raz visited Balad Air Base, north of Baghdad, which houses about 40,000 American troops, contractors, and Defense Department civilian employees, and described it as "one giant construction project, with new roads, sidewalks, and structures going up across this 16-square-mile fortress in the center of Iraq, all with an eye toward the next few decades."

These mega-bases, like "Camp Cupcake" (al-Asad Air Base), nicknamed for its amenities, are small town-sized with massive facilities, including PXs, fast-food outlets, and the latest in communications. They have largely been ignored by the American media and so have played no part in the debate about Iraq in this country, but they are the most striking on-the-ground evidence of the plans of an administration that simply never expected to leave. To this day, despite the endless talk about drawdowns and withdrawals, that hasn't changed. In fact, the latest news about secret negotiations for a future Status of Forces Agreement on the American presence in that country indicates that U.S. officials are calling for "an open-ended military presence" and "no limits on numbers of U.S. forces, the weapons they are able to deploy, their legal status or powers over Iraqi citizens, going far beyond long-term U.S. security agreements with other countries."

3. Yes, the United States is still occupying Iraq (just not particularly effectively): In June 2004, the Coalition Provisional Authority (CPA), then ruling the country, officially turned over "sovereignty" to an Iraqi government largely housed in the American-controlled Green Zone in Baghdad and the occupation officially ended. However, the day before the head of the CPA, L. Paul Bremer III, slipped out of the country without fanfare, he signed, among other degrees, Order 17, which became (and, remarkably enough, remains) the law of the land. It is still a document worth reading as it essentially granted to all occupying forces and allied private companies what, in the era of colonialism, used to be called "extraterritoriality" - the freedom not to be in any way subject to Iraqi law or jurisdiction, ever. And so the occupation ended without ever actually ending. With 160,000 troops still in Iraq, not to speak of an unknown number of hired guns and private security contractors, the U.S. continues to occupy the country, whatever the legalities might be (including a UN mandate and the claim that we are part of a "coalition"). The only catch is this: As of now, the U.S. is simply the most technologically sophisticated and potentially destructive of Iraq's proliferating militias - and outside the fortified Green Zone in Baghdad, it is capable of controlling only the ground that its troops actually occupy at any moment.

4. Yes, the war was about oil: Oil was hardly mentioned in the mainstream media or by the administration before the invasion was launched. The President, when he spoke of Iraq's vast petroleum reserves at all, piously referred to them as the sacred "patrimony of the people of Iraq." But an administration of former energy execs - with a National Security Advisor who once sat on the board of Chevron and had a double-hulled oil tanker, the Condoleezza Rice, named after her (until she took office), and a Vice President who was especially aware of the globe's potentially limited energy supplies - certainly had oil reserves and energy flows on the brain. They knew, in Deputy Secretary of Defense Paul Wolfowitz's apt phrase, that Iraq was afloat on "a sea of oil" and that it sat strategically in the midst of the oil heartlands of the planet.

It wasn't a mistake that, in 2001, Vice President Dick Cheney's semi-secret Energy Task Force set itself the "task" of opening up the energy sectors of various Middle Eastern countries to "foreign investment"; or that it scrutinized "a detailed map of Iraq's oil fields, together with the (non-American) oil companies scheduled to develop them"; or that, according to the New Yorker's Jane Mayer, the National Security Council directed its staff "to cooperate fully with the Energy Task Force as it considered the 'melding' of two seemingly unrelated areas of policy: 'the review of operational policies towards rogue states,' such as Iraq, and 'actions regarding the capture of new and existing oil and gas fields'"; or that the only American troops ordered to guard buildings in Iraq, after Baghdad fell, were sent to the Oil Ministry (and the Interior Ministry, which housed Saddam Hussein's dreaded secret police); or that the first "reconstruction" contract was issued to Cheney's former firm, Halliburton, for "emergency repairs" to those patrimonial oil fields. Once in charge in Baghdad, as sociologist Michael Schwartz has made clear, the administration immediately began guiding recalcitrant Iraqis toward denationalizing and opening up their oil industry, as well as bringing in the big boys.

Though rampant insecurity has kept the Western oil giants on the sidelines, the American-shaped "Iraqi" oil law quickly became a "benchmark" of "progress" in Washington and remains a constant source of prodding and advice from American officials in Baghdad. Former Federal Reserve chief Alan Greenspan put the oil matter simply and straightforwardly in his memoir in 2007: "I am saddened," he wrote, "that it is politically inconvenient to acknowledge what everyone knows: the Iraq war is largely about oil." In other words, in a variation on the old Bill Clinton campaign mantra: It's the oil, stupid. Greenspan was, unsurprisingly, roundly assaulted for the obvious naiveté of his statement, from which, when it proved inconvenient, he quickly retreated. But if this administration hadn't had oil on the brain in 2002-2003, given the importance of Iraq's reserves, Congress should have impeached the President and Vice President for that.

5. No, our new embassy in Baghdad is not an "embassy": When, for more than three-quarters of a billion dollars, you construct a complex - regularly described as "Vatican-sized" - of at least 20 "blast-resistant" buildings on 104 acres of prime Baghdadi real estate, with "fortified working space" and a staff of at least 1,000 (plus several thousand guards, cooks, and general factotums), when you deeply embunker it, equip it with its own electricity and water systems, its own anti-missile defense system, its own PX, and its own indoor and outdoor basketball courts, volleyball court, and indoor Olympic-size swimming pool, among other things, you haven't built an "embassy" at all. What you've constructed in the heart of the heart of another country is more than a citadel, even if it falls short of a city-state. It is, at a minimum, a monument to Bush administration dreams of domination in Iraq and in what its adherents once liked to call "the Greater Middle East."

Just about ready to open, after the normal construction mishaps in Iraq, it will constitute the living definition of diplomatic overkill. It will, according to a Senate estimate, now cost Americans $1.2 billion a year just to be "represented" in Iraq. The "embassy" is, in fact, the largest headquarters on the planet for the running of an occupation. Functionally, it is also another well-fortified enduring camp with the amenities of home. Tell that to the Shiite militiamen now mortaring the Green Zone as if it were? enemy-occupied territory.

6. No, the Iraqi government is not a government: The government of Prime Minister Nouri al-Maliki has next to no presence in Iraq beyond the Green Zone; it delivers next to no services; it has next to no ability to spend its own oil money, reconstruct the country, or do much of anything else, and it most certainly does not hold a monopoly on the instruments of violence. It has no control over the provinces of northern Iraq which operate as a near-independent Kurdish state. Non-Kurdish Iraqi troops are not even allowed on its territory. Maliki's government cannot control the largely Sunni provinces of the country, where its officials are regularly termed "the Iranians" (a reference to the heavily Shiite government's closeness to neighboring Iran) and are considered the equivalent of representatives of a foreign occupying power; and it does not control the Shiite south, where power is fragmented among the militias of ISCI (the Badr Organization), Muqtada al-Sadr's Mahdi Army, and the armed adherents of the Fadila Party, a Sadrist offshoot, among others.

In Afghanistan, President Hamid Karzai has been derisively nicknamed "the mayor of Kabul" for his government's lack of control over much territory outside the national capital. It would be a step forward for Maliki if he were nicknamed "the mayor of Baghdad." Right now, his troops, heavily backed by American forces, are fighting for some modest control over Shiite cities (or parts of cities) from Basra to Baghdad.

7. No, the surge is not over: Two weeks ago, amid much hoopla, General David Petraeus and Ambassador Ryan Crocker spent two days before Congress discussing the President's surge strategy in Iraq and whether it has been a "success." But that surge - the ground one in which an extra 30,000-plus American troops were siphoned into Baghdad and, to a lesser extent, adjoining provinces - was by then already so over. In fact, all but about 10,000 of those troops will be home by the end of July, not because the President has had any urge for a drawdown, but, as Fred Kaplan of Slate wrote recently, "because of simple math. The five extra combat brigades, which were deployed to Iraq with the surge, each have 15-month tours of duty; the 15 months will be up in July? and the U.S. Army and Marines have no combat brigades ready to replace them."

On the other hand, in all those days of yak, neither the general with so much more "martial bling" on his chest than any victorious World War II commander, nor the white-haired ambassador uttered a word about the surge that is ongoing - the air surge that began in mid-2007 and has yet to end. Explain it as you will, but, with rare exceptions, American reporters in Iraq generally don't look up or more of them would have noticed that the extra air units surged into that country and the region in the last year are now being brought to bear over Iraq's cities. Today, as fighting goes on in Sadr City, American helicopters and Hellfire-missile armed Predator drones reportedly circle overhead almost constantly and air strikes of various kinds on city neighborhoods are on the rise. Yet the air surge in Iraq remains unacknowledged here and so is not a subject for discussion, debate, or consideration when it comes to our future in Iraq.

8. No, the Iraqi army will never "stand up": It can't. It's not a national army. It's not that Iraqis can't fight - or fight bravely. Ask the Sunni insurgents. Ask the Mahdi Army militia of Muqtada al-Sadr. It's not that Iraqis are incapable of functioning in a national army. In the bitter Iran-Iraq War of 1980-88, Iraqi Shiite as well as Sunni conscripts, led by a largely Sunni officer corps, fought Iranian troops fiercely in battle after pitched battle. But from Fallujah in 2004 to today, Iraqi army (and police) units, wheeled into battle (often at the behest of the Americans), have regularly broken and run, or abandoned their posts, or gone over to the other side, or, at the very least, fought poorly. In the recent offensive launched by the Maliki government in Basra, military and police units up against a single resistant militia, the Mahdi Army, deserted in sizeable numbers, while other units, when not backed by the Americans, gave poor showings. At least 1,300 troops and police (including 37 senior police officers) were recently "fired" by Maliki for dereliction of duty, while two top commanders were removed as well.

Though American training began in 2004 and, by 2005, the President was regularly talking about us "standing down" as soon as the Iraqi Army "stood up," as Charles Hanley of the Associated Press points out, "Year by year, the goal of deploying a capable, free-standing Iraqi army has seemed to always slip further into the future." He adds, "In the latest shift, the Pentagon's new quarterly status report quietly drops any prediction of when local units will take over security responsibility for Iraq. Last year's reports had forecast a transition in 2008." According to Hanley, the chief American trainer of Iraqi forces, Lt. Gen. James Dubik, now estimates that the military will not be able to guard the country's borders effectively until 2018.

No wonder. The "Iraqi military" is not in any real sense a national military at all. Its troops generally lack heavy weaponry, and it has neither a real air force nor a real navy. Its command structures are integrated into the command structure of the U.S. military, while the U.S. Air Force and the U.S. Navy are the real Iraqi air force and navy. It is reliant on the U.S. military for much of its logistics and resupply, even after an investment of $22 billion by the American taxpayer. It represents a non-government, is riddled with recruits from Shiite militias (especially the Badr brigades), and is riven about who its enemy is (or enemies are) and why. It cannot be a "national" army because it has, in essence, nothing to stand up for.

You can count on one thing, as long as we are "training" and "advising" the Iraqi military, however many years down the line, you will read comments like this one from an American platoon sergeant, after an Iraqi front-line unit abandoned its positions in the ongoing battle for control of parts of Sadr City: "It bugs the hell out of me. We don't see any progress being made at all. We hear these guys in firefights. We know if we are not up there helping these guys out we are making very little progress."

9. No, the U.S. military does not stand between Iraq and fragmentation: The U.S. invasion and the Bush administration's initial occupation policies decisively smashed Iraq's fragile "national" sense of self. Since then, the Bush administration, a motor for chaos and fragmentation, has destroyed the national (if dictatorial) government, allowed the capital and much of the country (as well as its true patrimony of ancient historical objects and sites) to be looted, disbanded the Iraqi military, and deconstructed the national economy. Ever since, whatever the administration rhetoric, the U.S. has only presided over the further fragmentation of the country. Its military, in fact, employs a specific policy of urban fragmentation in which it regularly builds enormous concrete walls around neighborhoods, supposedly for "security" and "reconstruction," that actually cut them off from their social and economic surroundings. And, of course, Iraq has in these years been fragmented in other staggering ways with an estimated four-plus million Iraqis driven into exile abroad or turned into internal refugees.

According to Pepe Escobar of the Asia Times, there are now at least 28 different militias in the country. The longer the U.S. remains even somewhat in control, the greater the possibility of further fragmentation. Initially, the fragmentation was sectarian - into Kurdish, Sunni, and Shia regions, but each of those regions has its own potentially hostile parts and so its points of future conflict and further fragmentation. If the U.S. military spent the early years of its occupation fighting a Sunni insurgency in the name of a largely Shiite (and Kurdish) government, it is now fighting a Shiite militia, while paying and arming former Sunni insurgents, relabeled "Sons of Iraq." Iran is also clearly sending arms into a country that is, in any case, awash in weaponry. Without a real national government, Iraq has descended into a welter of militia-controlled neighborhoods, city states, and provincial or regional semi-governments. Despite all the talk of American-supported "reconciliation," Juan Cole described the present situation well at his Informed Comment blog: "Maybe the US in Iraq is not the little boy with his finger in the dike. Maybe we are workers with jackhammers instructed to make the hole in the dike much more huge."

10. No, the U.S. military does not stand between Iraq and civil war: As with fragmentation, the U.S. military's presence has, in fact, been a motor for civil war in that country. The invasion and subsequent chaos, as well as punitive acts against the Sunni minority, allowed Sunni extremists, some of whom took the name "al-Qaeda in Mesopotamia," to establish themselves as a force in the country for the first time. Later, U.S. military operations in both Sunni and Shiite areas regularly repressed local militias - almost the only forces capable of bringing some semblance of security to urban neighborhoods - opening the way for the most extreme members of the other community (Sunni suicide or car bombers and Shiite death squads) to attack. It's worth remembering that it was in the surge months of 2007, when all those extra American troops hit Baghdad neighborhoods, that many of the city's mixed or Sunni neighborhoods were most definitively "cleansed" by death squads, producing a 75-80% Shiite capital. Iraq is now embroiled in what Juan Cole has termed "three civil wars," two of which (in the south and the north) are largely beyond the reach of limited American ground forces and all of which could become far worse. The still low-level struggle between Kurds and Arabs (with the Turks hovering nearby) for the oil-rich city of Kirkuk in the north may be the true explosion point to come. The U.S. military sits precariously atop this mess, at best putting off to the future aspects of the present civil-war landscape, but more likely intensifying it.

11. No, al-Qaeda will not control Iraq if we leave (and neither will Iran): The latest figures tell the story. Of 658 suicide bombings globally in 2007 (more than double those of any year in the last quarter century), 542, according to the Washington Post's Robin Wright, took place in occupied Iraq or Afghanistan, mainly Iraq. In other words, the American occupation of that land has been a motor for acts of terrorism (as occupations will be). There was no al-Qaeda in Mesopotamia before the invasion and Iraq was no Afghanistan. The occupation under whatever name will continue to create "terrorists," no matter how many times the administration claims that "al-Qaeda" is on the run. With the departure of U.S. troops, it's clear that homegrown Sunni extremists (and the small number of foreign jihadis who work with them), already a minority of a minority, will more than meet their match in facing the Sunni mainstream. The Sunni Awakening Movement came into existence, in part, to deal with such self-destructive extremism (and its fantasies of a Taliban-style society) before the Americans even noticed that it was happening. When the Americans leave, "al-Qaeda" (and whatever other groups the Bush administration subsumes under that catch-all title) will undoubtedly lose much of their raison d'être or simply be crushed.

As for Iran, the moment the Bush administration finally agreed to a popular democratic vote in occupied Iraq, it ensured one thing - that the Shiite majority would take control, which in practice meant religio-political parties that, throughout the Saddam Hussein years, had generally been close to, or in exile in, Iran. Everything the Bush administration has done since has only ensured the growth of Iranian influence among Shiite groups. This is surely meant by the Iranians as, in part, a threat/trump card, should the Bush administration launch an attack on that country. After all, crucial U.S. resupply lines from Kuwait run through areas near Iran and would assumedly be relatively easy to disrupt.

Without the U.S. military in Iraq, there can be no question that the Iranians would have real influence over the Shiite (and probably Kurdish) parts of the country. But that influence would have its distinct limits. If Iran overplayed its hand even in a rump Shiite Iraq, it would soon enough find itself facing some version of the situation that now confronts the Americans. As Robert Dreyfuss wrote in the Nation recently, "[D]espite Iran's enormous influence in Iraq, most Iraqis - even most Iraqi Shiites - are not pro-Iran. On the contrary, underneath the ruling alliance in Baghdad, there is a fierce undercurrent of Arab nationalism in Iraq that opposes both the U.S. occupation and Iran's support for religious parties in Iraq." The al-Qaedan and Iranian "threats" are, at one and the same time, bogeymen used by the Bush administration to scare Americans who might favor withdrawal and, paradoxically, realities that a continued military presence only encourages.

12. Yes, some Americans were right about Iraq from the beginning (and not the pundits either): One of the strangest aspects of the recent fifth anniversary (as of every other anniversary) of the invasion of Iraq was the newspaper print space reserved for those Bush administration officials and other war supporters who were dead wrong in 2002-2003 on an endless host of Iraq-related topics. Many of them were given ample opportunity to offer their views on past failures, the "success" of the surge, future withdrawals or drawdowns, and the responsibilities of a future U.S. president in Iraq.

Noticeably missing were representatives of the group of Americans who happened to have been right from the get-go. In our country, of course, it often doesn't pay to be right. (It's seen as a sign of weakness or plain dumb luck.) I'm speaking, in this case, of the millions of people who poured into the streets to demonstrate against the coming invasion with an efflorescence of placards that said things too simpleminded (as endless pundits assured American news readers at the time) to take seriously - like "No Blood for Oil," "Don't Trade Lives for Oil," or ""How did USA's oil get under Iraq's sand?" At the time, it seemed clear to most reporters, commentators, and op-ed writers that these sign-carriers represented a crew of well-meaning know-nothings and the fact that their collective fears proved all too prescient still can't save them from that conclusion. So, in their very rightness, they were largely forgotten.

Now, as has been true for some time, a majority of Americans, another obvious bunch of know-nothings, are deluded enough to favor bringing all U.S. troops out of Iraq at a reasonable pace and relatively soon. (More than 60% of them also believe "that the conflict is not integral to the success of U.S. anti-terrorism efforts.") If, on the other hand, a poll were taken of pundits and the inside-the-Beltway intelligentsia (not to speak of the officials of the Bush administration), the number of them who would want a total withdrawal from Iraq (or even see that as a reasonable goal) would undoubtedly descend near the vanishing point. When it comes to American imperial interests, most of them know better, just as so many of them did before the war began. Even advisors to candidates who theoretically want out of Iraq are hinting that a full-scale withdrawal is hardly the proper way to go.

So let me ask you a question (and you answer it): Given all of the above, given the record thus far, who is likely to be right?

--------

Tom Engelhardt, who runs the Nation Institute's Tomdispatch.com, is the co-founder of the American Empire Project. His book, "The End of Victory Culture" (University of Massachusetts Press), has been updated in a newly issued edition that deals with victory culture's crash-and-burn sequel in Iraq.

Tomdispatch recommendations: For another numbered piece on Iraq, check out Gary Kamiya's eminently sane reprise of the Ten Commandments as applied to the launching of the 2003 invasion - to be found at Salon.com. ("Commandment I, "Thou shalt not launch preventive wars?"; Commandment VI: "Do not allow neoconservatives anywhere near Middle East policy? Special Bill Kristol Sub-commandment VI a: Stop giving these buffoons prestigious jobs on newspaper-of-record Op-Ed pages, top magazines and television shows. They have been completely and consistently wrong about everything. Must we continue to be subjected to their pontifications?"). Also let me offer a Tomdispatch bow of thanks to Cursor.org's daily "Media Patrol" column. Someone at that site with a keen eye for the less noticed but newsworthy pieces of any day (and an always splendid set of links) makes my life so much easier, when gathering material for essays like this one.

Source: Truthout

30 April, 2008

Densus 88 Bukan Hanya Menangani Kasus Teror


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Luar biasa. Ternyata jumlah teroris sudah sangat berkurang di Indonesia. Pasukan khusus anti-terror, Densus 88, kehabisan pekerjaan penting sehingga mereka bebas untuk menjaga UJIAN NASIONAL (UN).

Keamanan ujian yang satu ini sepertinya sama pentingnya dengan keamanan Presiden.

Setahu saya, KPK tidak dijaga oleh pasukan khusus. Berarti ujian nasional lebih utama dari usaha memberantas korupsi.

Setahu saya, Bank Indonesia tidak dijaga oleh pasukan khusus, berarti ujian nasional lebih utama dari ekonomi negara. (Bayangkan kalau BI dibom, dan gedungnya serta semua dokumen di dalamnya menjadi hancur).

Setahu saya, BEJ tidak dijaga oleh pasukan khusus, berarti ujian nasional lebih utama dari BEJ. (Bayangkan kalau BEJ dibom, dan lantai trading serta semua dokumen dan server komputer di dalamnya menjadi hancur).

Setahu saya, semua pelabuhan tidak dijaga oleh pasukan khusus, berarti ujian nasional lebih utama dari usaha melindungi lingkungan dan sumber daya alam negara dengan mencegah illegal logging. Lingkungan boleh saja dirusak, hutan boleh saja dihabiskan oleh pengusaha jahat, tapi jangan sampai Ujian Nasional bocor.

Dan seterusnya…

Yang paling lucu dari berita ini adalah sang Menteri Pendidikan yang berpendapat bahwa UN setara dengan “rahasia negara”!!!

Berarti, seorang guru yang membagi kunci jawaban kepada muridnya telah menjadi penghianat bangsa? Jadi kalau ditangkap, apakah dihukum mati? Atau dipenjarakan seumur hidup?

Sedangkan kalau ada anggota DPR atau DPRD, menteri, gubenur, walikota atau bupati yang telah merampas uang negara untuk kepentingan diri sendiri, dan menyalurkannya kepada teman2 di partai yang sama, maka orang-orang itu justru TIDAK akan dianggap penghianat bangsa, dan kalau dihukum, hanya masuk penjara untuk beberapa tahun. Partainya pun tidak akan dicap sebagai penghianat bangsa, walaupun penuh dengan koruptor (yang sudah ketahuan dan belum ketahuan).

Tetapi seorang guru bisa menjadi orang jahat ibarat penghianat bangsa karena dia membocorkan ujian yang disamakan dengan “rahasia negara”?

Kesimpulan: Departemen Pendidikan (dan pemerintah) berada di tangan orang yang tidak bisa membedakan antara yang hak dan batil. Yang kecil dianggap besar, yang besar dianggap kecil. Yang utama dianggap tidak penting, yang tidak utama dianggap penting sekali.

Kapan bangsa ini akan dipimpin oleh orang bijaksana, yang sehat akalnya dan bertindak dengan cara yang wajar, dengan kesadaran atas tugas mereka sebagai pemimpin negara?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Densus 88 Bukan Hanya Menangani Kasus Teror

Selasa, 29 April 2008 22:33:00

Laporan: Hj. Dewi Mardiani

Jakarta-RoL--Kapolri Jenderal Sutanto menegaskan bahwa kepolisian, termasuk Detasemen Khusus Anti Teror (Densus) 88 melakukan tugasnya dalam penegakan hukum. Karena itu, kewenangannya bukan hanya menangani masalah teror saja.

Penegasan itu merupakan tanggapan atas dilibatkannya Densus 88 dalam penanganan pembocoran ujian nasional (UN) yang dilakukan beberapa oknum guru di daerah. ''(Densus 88) Ini kan anggota Polri. Anggota polri bisa lakukan apa saja. Tentu untuk mengamankan supaya kegiatan (UN) itu tidak terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaannya,'' kata Sutanto di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/4).

Untuk personil Densus 88 dalam menangani para oknum pembocoran UN, sambungnya, jumlahnya bervariasi di tiap daerah. Mereka dilibatkan untuk pengamanan. ''Jumlahnya berapa tak akan sama untuk itu.''

Menurutnya, dikerahkannya Densus 88 itu bukan merupakan pengertian bahwa oknum guru itu diperlakukan seperti teroris. ''Nah ini yang salah. Tolong jangan dipersepsikan seperti itu.''

Anggota Polri bertugas dan bertindak menangani hukum apa saja, jelasnya. Jadi, Polri menangani tindakan yang bukan hanya soal teror saja. Tindakan hukumnya adalah jenis pelanggaran hukumnya yang dilakukan oleh si pelaku.

Dia membantah bahwa tindakan itu merupakan peralihan fungsi Densus 88. Menurutnya, itu salah pengertian. ''Kan bajunya polisi bisa lakukan apa saja. Menangai teror, penelundupan, pelanggaran yang dilakukan di daerah-daerah juga bisa. Ini juga dari dulu sudah dilakukan, bukan sekarang saja.''

Soal dilibatkannya Kepolisian, khususnya Densus 88, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ''Itu kami tidak tahu. Yang penting kami meminta untuk ditindak dengan betul-betul, karena masalah pidana memang kewenangan mereka, pihak kepolisian. Ternyata mereka sudah menjalankan dengan baik.''

Pihaknya berterimakasih kepada Polri dan berbagai pihak atas bantuannya dalam menjaga pelaksanaan UN. Kepada Kepolisian, pihaknya memang meminta untuk penanganan para pelaku tindak pidana, pembocoran, dan intervensi rahasia negara, agar dipidanakan. ''Tindakan itu memang tindak pidana.''

Soal kebocoran yang terjadi dalam UN, Bambang mengatakan, tindakan itu tetap tak bisa diterima walau pun dengan alasan membantu siswanya. UN harus dilakukan dengan kejujuran, terlebih lagi, masalah itu terkait dengan kerahasiaan negara. .

Pelanggaran itu terjadi di beberapa tempat, seperti Deli Serdang (Sumatera Utara), SMK swasta di Batam, Surakarta, SMU di Makassar (Sulsel) dan merembet di beberapa SMU di Bone.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada Selasa ini menentukan status hasil UN di sekolah-sekolah yang bermasalah tersebut. ''Apakah akan dibatalkan atau yang lainnya, yang pasti saya belum tahu apa yang akan mereka usulkan kepada saya.''

Sementara, sambungnya, untuk guru atau pihak sekolah yang terkait dengan tindak kriminal membocorkan soal ujian atau mengubah jawaban siswa, sudah diproses hukum di pihak kepolisian. Diharapkannya, dengan kejadian itu, semua pihak bisa mengambil pelajaran.

''Jadi pembelajaran ini berguna untuk para pihak pengajar sekolah, kepala sekolah, siswa, pengawas ujian, dan seluruh panitia UN untuk betul-betul menjaga rahasia negara,'' papar Bambang. pur

Sumber: Republika

28 April, 2008

Hamas Kecam Rencana Gus Dur Menghadiri Perayaan 60 Tahun Israel

Rabu, 23 April 2008

Daripada merayakan penjajahan Israel terhadap Palestina, lebih baik menjenguk dan membantu 1,5 juta rakyat Palestina di Gaza yang sedang kelaparan dan krisis bahan bakar, karena diblokade Israel. Demikian pendapat Dr Musa Abu Marzuk, Wakil Kepala Biro Politik Hamas dalam Wawancara Khusus dengan Hidayatullah.com.

Hidayatullah.com--Rencana mantan Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid untuk menghadiri perayaan 60 tahun berdirinya negara Zionis Israel, bulan Mei mendatang, dikritik oleh tokoh pejuang kemerdekaan Palestina, Dr Musa Abu Marzuq.

Ditemui oleh Hidayatullah.com di kantornya di Damaskus beberapa jam yang lalu, Abu Marzuq, yang menjabat Wakil Kepala Biro Politik Hamas (Gerakan Perlawanan Islam untuk Kemerdekaan Palestina) menyebut rencana itu, "sungguh-sungguh memalukan."

Menurut Abu Marzuq, merayakan 60 tahun berdirinya Zionis Israel sama halnya merayakan pembantaian, pengusiran, perusakan kebun-kebun dan penjajahan atas rakyat Palestina dan Masjidil Aqsa.

"Bagaimana mungkin seorang Muslim seperti Abdurrahman Wahid tega ikut serta merayakan kezaliman atas saudara-saudara Muslimnya sendiri?" tukasnya.

Menurut Abu Marzuq, kalau Presiden AS George Bush menghadiri perayaan seperti itu, dirinya masih bisa memahami, tapi kalau seorang bekas presiden dari sebuah bangsa Muslim terbesar di dunia yang melakukannya, "sungguh memalukan."

Dr Musa menyarankan kepada tokoh-tokoh Indonesia untuk datang sendiri melihat keadaan saudara-saudaranya di Gaza.

"Sudah berbulan-bulan, 1,5 juta saudara-saudara Anda, terutama anak-anak, saat ini hidup tanpa bahan bakar, tanpa obat-obatan dan makanan yang sangat terbatas karena diblokade oleh Zionis Israel," jelasnya.

Namun, Abu Marzuq mengingatkan, bahwa Israel tidak mungkin memberikan izin kepada siapapun untuk menyaksikan kekejaman mereka atas para penduduk Gaza.

"Minggu lalu, bekas (Presiden AS Jimmy) Carter juga dilarang Israel masuk ke Gaza," katanya.

Karena masuk ke Gaza tidak mungkin, saat ini, ia menyarankan para tokoh Muslim Indonesia agar mengunjungi para pengungsi Palestina di Yordania, Mesir dan Suria. "Ada 6 juta saudara-saudara Anda bangsa Palestina yang sekarang diusir oleh Zionis Israel dan terpaksa hidup di pengungsian," katanya.

Menanggapi langkah-langkah pemerintah Otoritas Palestina di bawah Mahmud Abbas yang menambah terus jumlah "duta besar" Palestina di berbagai negara, Abu Marzuq mengatakan, bahwa dirinya tak merasa ada masalah dengan itu.

Sejak sepuluh tahun silam, sudah lebih dari seratus negara yang memiliki duta besar atau perwakilan PLO. "Yang terpenting," kata Abu Marzuq, "para duta besar itu bekerja untuk kepentingan kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa Palestina. Jangan sampai mereka memperkeruh suasana dengan menjelek-jelekkan kelompok tertentu yang mengakibatkan lemahnya persatuan bangsa Palestina."

Ketika berkunjung ke Indonesia beberapa bulan silam, Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas di depan tokoh-tokoh Indonesia menyebut Hamas sebagai "kriminal". Namun Abu Marzuq enggan menanggapi pernyataan-pernyataan yang bernada kampanye hitam itu.

Menurutnya, apapun yang dikatakan oleh Mahmud Abbas tentang Hamas, tidak akan banyak pengaruhnya bagi kepentingan Palestina.

"Sebab dunia sudah bisa menyaksikan," ujarnya, "siapa yang benar-benar bekerja untuk kemerdekaan Palestina, dan siapa yang hanya bikin masalah."

Menurut Abu Marzuq, saat ini ada upaya keras untuk membangun citra, seakan-akan Gaza di bawah Hamas adalah Korea Utara yang kacau-balau dan pemerintahnya salah urus. Sedangkan Tepi Barat adalah Korea Selatan yang modern dan kaya raya.

"Tapi kami ingin menyampaikan, bahwa prioritas pekerjaan kami adalah rekonsiliasi rakyat Palestina, keselamatan mereka dan dikembalikannya hak-hak mereka di manapun mereka berada," kata Abu Marzuq.

Sejauh ini Mahmud Abbas telah melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Zionis Israel Ehud Olmert sebanyak 51 kali. "Hasilnya bukan saja nol, malah semakin buruk," simpul Abu Marzuq.

Dr Musa Abu Marzuq lahir di Gaza tahun 1951. Setelah menyelesaikan kesarjanaan tekniknya di Universitas Ayn Syams, Kairo ia bekerja di bidang industri di Uni Emirat sampai tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian ia menyelesaikan studi S-3 di Amerika Serikat.

Di Biro Politik Hamas (Harakah Muqawwamah Al-Islamiyah), Abu Marzuq adalah wakil dari Khalid Misy'al yang pernah diwawancarai majalah Suara Hidayatullah, edisi September 2006.[Dzikrullah, Khadijah, dan Kaisya Fatina (fotojurnalis) dari Damaskus/www.hidayatullah.com]

Sumber: Hidayatullah.com

27 April, 2008

Irak, dari 1001 Malam ke Sejuta Janda

Senin, 7 April 2008 | 15:01 WIB

SEBUAH mobil meledak di sebuah kios es krim yang sangat populer di Baghdad. Api membakar bangunan di sekitarnya sedangkan pecahan bom menembus tubuh-tubuh manusia tak berdosa yang kebetulan berada di situ. Tujuh belas orang tewas dan puluhan lainnya luka.

Serangan bom pada hari pertama bulan Agustus 2007 itu hanya sehari dua menghiasi halaman koran-koran di seluruh dunia. Setelah itu segera dilupakan orang, karena tersaji berita-berita serangan berikutnya yang kadang menelan korban lebih banyak.

Namun insiden itu mengubah nasib Maysa Sharif (28). Seketika itu juga ia bergabung dengan hampir sejuta perempuan Irak lain yang menjadi janda karena suami mereka terbunuh dalam tiga kali perang dan era Saddam yang bergelimang darah.

Besarnya jumlah janda itu menjadi malapetaka tersendiri bagi Irak yang entah kapan menjadi negara damai. Tanpa jaring pengaman sosial dan lapangan kerja yang sangat minim, para janda itu tidak banyak punya pilihan untuk menghidupi keluarganya dan sangat tergantung pada belas kasihan orang lain yang lebih beruntung.

Maysa sedang hamil lima bulan dan pagi itu ia sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya ketika ledakan itu menggetarkan rumahnya di pusat Baghdad. Ia langsung lari ke tempat suaminya, Hussein Abdul-Hassan menjaga kios rokoknya. Laki-laki itu dilihatnya sudah tergeletak di tanah.

"Pecahan bom menembus badannya dan kepalanya terkuak. Mata dan mulutnya juga terbuka," kata Maysa menuturkan pengalamannya pagi itu.

"Sebenarnya saya ingin memeluknya, tapi polisi menyeret saya menjauh. Mereka khawatir ada ledakan susulan," tambahnya.

Mimpi buruknya belum berakhir. Saif, anak laki-lakinya yang baru berusia 7 tahun, waktu itu ikut sang ayah berjualan. Bocah itu tidak ditemukannya. Ia baru mendapat kabar, Saif meninggal di rumah sakit ketika jenazah sang suami sedang diantar untuk dimakamkan di kota suci Najaf.

Iring-iringan jenazah lalu balik ke Baghdad, lalu meletakkan jenazah Saif di peti yang sama. "Mereka melarang saya melihat jenazah anak saya. Saya juga dilarang ikut ke Najaf, karena saya sedang hamil. Saya tidak percaya Saif meninggal, sampai saya kemudian menerima surat kematiannya," katanya.

Maysa kini tinggal bersama tiga anaknya, Ali (10), Tabarak (2) dan Abdullah yang namanya dipilih Hussein malam sebelum kematiannya. Mereka tinggal di sebuah kamar di rumah kakak ipar Maysa di pusat Baghdad.

Bagaimana masa depan Maysa dan ratusan ribu janda lain di Irak? Tidak jelas. Dengan prioritas perjuangan pemerintah sekarang untuk melepaskan diri dari krisis politik dan perang yang memasuki usia enam tahun, maka rintihan perempuan seperti Maysa jelas terabaikan.

Menurut hasil survei Samira al-Moussawi, anggota parlemen yang dikenal dengan pembelaannya terhadap para janda, jumlah janda di seluruh Irak mencapai 738.240 orang. Rentang usia mereka mulai dari 15 tahun hingga 80 tahun pada Januari 2007. Jumlah itu hasil hitungan sejak perang Iran-Irak 1980-1988. Termasuk di dalamnya yang ditinggal suami yang meninggal secara alami.

Menteri Urusan Perempuan Nirmeen Othman mengingatkan bahwa persoalan ini bisa menjadi krisis sosial di masa damai. Ia memperkirakan jumlah janda di Irak sekarang 1,3 juta. Generasi berikutnya pasti terancam, katanya.

Sebuah sekolah dasar baru saja dibuka untuk menampung 640 anak yatim piatu di Sadr City, Baghdad. Kepala sekolahnya, Asma Karim mengatakan, mereka berada di situ karena tidak ada jaminan masa depan bila terus tinggal di rumah.

"Orang-orang tersisa yang mau merawat anak anak ini lebih memikirkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup, soal pendidikan nomor kesekian," kata Asma.

Al-Moussawi, geolog yang beralih menjadi politisi, mengaku kewalahan dengan permintaan bantuan, termasuk 448 surat yang dikirimkan ke kantornya baru-baru ini dalam sebuah kantong plastik dari kawasan Syiah, Diwaniyah. "Tidak ada satu pun strategi. Kalau pun ada strategi untuk mengatasi masalah sosial ini adalah untuk kaum perempuan, bukan anak-anak," katanya.

Ia sekarang sedang mengajukan program berbiaya 1 juta dolar (sekitar Rp 9 miliar). Jumlah yang sangat kecil bagi negara kaya minyak seperti Irak yang anggaran belanjanya mencapai 48 miliar dolar AS. Program itu untuk memberikan pendidikan keterampilan bagi para janda dan meningkatkan pendapatan mereka. Sayangnya kabinet menolak program itu.

Umm Hiba (38) ibu dua anak yang tinggal di utara Baghdad menyalahkan diri sendiri atas kematian sang suami. Waktu itu, 27 Januari 2007, ia menyuruh suaminya ke pasar membeli yogurt untuk makan malam yang sedang dimasaknya. Sebuah mortir mengakhiri hidupnya.

"Itu salah saya. Kalau saya tidak menyuruhnya, dia pasti masih hidup bersama anak-anak," katanya sambil menangis dan menggendong anak laki-lakinya yang baru berusia 2 tahun.

Bersama anak perempuannya yang berusia 7 tahun, mereka tinggal di kamar belakang sebuah rumah. Di rumah itu ia tinggal juga ibu mertua yang buta dan keluarga lain. Ia membangun sebuah kamar mandi dan dapur darurat di situ.

Keluarga dan tetangganya mengumpulkan uang untuk biaya pemakaman suaminya. Namun ia terpaksa menjual furnitur untuk membeli domba untuk kurban peringatan satu tahun kematian laki-laki itu. Harga domba untuk menjalankan tradisi itu tidak cukup dibeli dengan uang pensiunnya yang cuma 62 dolar per bulan.

Umm Hiba mengaku selalu gagal mendapat pekerjaan. Setiap lamaran kerja selalu berakhir dengan penolakan. Sebenarnya ia masih bisa bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sekolah. Namun ia ogah. "Saya punya ijazah SMA. Malu kan kerja seperti itu," katanya.

Uang pensiun itu semakin lama makin tidak bisa mencukupi untuk membeli makanan dan pakaian yang harganya terus naik. Di Irak semuanya mahal, kecuali nyawa manusia yang sangat murah," katanya.

Sebagai perbandingan, ketika Saddam masih berkuasa, janda korban perang akan mendapat jatah tanah, biaya pemakaman dan uang pensiun yang cukup.

Suami Jalila Hasan, Kadhum Mohammed berusia 29 tahun waktu ia tewas dalam perang Iran-Irak. Waktu itu Jalila masih berusia 17 tahun dan mendapatkan pensiun. Bahkan pemerintah memberinya pilihan pesangon, mobil atau uang tunai dengan jumlah setara. Jalila memilih yang kedua. "Dibanding sekarang, dulu kami lebih diperlakukan lebih baik. Tidak dibiarkan dalam kemelaratan," katanya.

Jalila yang sekarang tinggal bersama ibunya di Sadr City masih mendapatkan pensiun 80 dolar per bulan, tetapi nilainya sekarang sudah merosot jauh.

Afifa Hussein ditinggalkan sang suami Uraibi Hamid (58) yang tewas ditembak orang tak dikenal 14 Juli lalu di Samara. Tinggallah sekarang Afifa dengan delapan anaknya. Ia harus berjuang merawat dua putranya yang cacat dan seorang putrinya yang sakit-sakitan. Untuk mendapatkan uang tambahan bagi keluarganya, putranya yang berusia 19 tahun menjadi sopir taksi, sebuah profesi yang amat berbahaya di Irak sekarang.

Seorang putrinya putus sekolah karena tidak ada biaya, sedangkan satu putra lainnya yang trauma keluar dari rumah itu dan tinggal bersama keluarga di tempat lain.

Kisah memilukan lain meluncur dari mulut Badriyah Hamid (40), perempuan Syiah dengan 10 anak. Ia bekerja hingga larut malam di sebuah sekolah di desa Rashidiyah yang didominasi warga Sunni pada 23 Mei 2007. Saat itu ia mendengar suaminya, Fadhil Jafar, tewas ditembak dan mayatnya dibuang di pinggir jalan.

"Saya lari ke tempa itu bersama semua anak saya, kami memeluk mayatnya. Dia ditembak enam kali di punggung dan kepalanya," kata Badriyah.

Pembunuhan itu membuat salah satu putranya menderita amnesia, tidak bisa lagi membaca dan menulis, sehingga dikeluarkan dari sekolah. Namun sebagai keturunan Kurdi yang tangguh, Badriyah tidak menyerah begitu saja pada keadaan.

Lalu ia mengajak seluruh keluarganya pindah ke rumah keluarga suaminya. Namun ia kemudian khawatir anak-anak perempuannya akan dipaksa kawin dengan anak laki-laki keluarga itu. Jadi dengan uang sumbangan para tetangga ia pindah dari situ ke sebuah rumah dua kamar bersama anak-anaknya.

Untuk menyambung hidup, ia kadang-kadang mendapat pekerjaan sebagai petugas kebersihan, namun tetap saja uang yang dihasilkan tidak cukup. Ia khawatir, tanpa suami, anak-anaknya menjadi tidak terkendali, misalnya menjadi pengedar narkoba atau pengaruh buruk lainnya.

"Suami saya adalah segalanya dalam hidup saya. Tanpa dia, hidup ini terasa sangat sulit, karena tidak ada yang bisa membantu dan tidak ada yang bisa mengisi celah yang ditinggalkannya. Di samping harus mengatasi persoalan keuangan, saya juga harus menjaga moral anak-anak saya dan melindungi mereka dari lingkungan yang jahat," kata Badriyah.

Kisah Masya, Jalila, Afifa dan Badriyah secara total mengubah gambaran Irak sebagai negeri indah yang digambarkan dalam Kisah 1001 Malam. Kini Irak menjadi negeri sejuta janda dengan berjuta-juta anak yang tidak jelas masa depannya. Kalau saja perang berakhir, belum tentu penderitaan para janda ini turut berakhir.(AP)

Sumber: Kompas.com

26 April, 2008

Kelaparan dan Disfungsi Negara


Suswono

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS

Berita media tentang kematian seorang ibu hamil serta seorang anaknya karena kelaparan di Makassar sungguh sangat memilukan dan menghentak nurani bangsa ini. Fakta tersebut ternyata masih belum selesai.

Selanjutnya, muncul tayangan dan berita tentang fenomena anak-anak meregang nyawa karena busung lapar di Trenggalek dan NTT. Bahkan, daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan, yaitu Kota Bekasi juga tidak luput dari kasus balita yang menderita busung lapar.

Fakta penderitaan balita yang mengalami busung lapar dan sejumlah fenomena dampak kemiskinan lainnya layak membuat kita bertanya ulang tentang fungsi negara. Untuk apa negara ini didirikan kalau tidak untuk menjamin kebutuhan pokok warga negaranya? Apa fungsi negara ini kalau tidak untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga negaranya?

Busung lapar dan kelaparan menurut pakar gizi adalah bentuk ekstrem kemiskinan. Para pakar juga mengatakan bahwa fenomena busung lapar dan kelaparan adalah fenomena puncak gunung es. Artinya, ada sejumlah besar kasus kelaparan yang tidak terungkap ke permukaan karena publik tidak dapat mengaksesnya akibat pihak yang mengalami masalah tersebut menyimpan dalam-dalam masalahnya atas alasan malu, kehilangan harapan akan adanya bantuan, dan sekian banyak alasan lainnya.

Kelaparan vs korporasi

Sehubungan dengan fenomena kelaparan dan busung lapar yang terjadi pada bangsa Indonesia, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah mengapa bisa terjadi hal yang sedemikian ini? Ironis ketika bangsa ini berhasil membuat segelintir perusahaan multinasional menjadi raksasa dunia ekonomi, tetapi di sisi lain gagal hanya untuk memberikan kebutuhan karbohidrat bagi rakyatnya.

Dalam laporan pendapatannya pada 2007, pihak Exxon Mobil memperoleh keuntungan yang fantastis, yaitu sebesar 40,6 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 3.723,02 triliun (dengan kurs Rp 9.170). Nilai penjualan Exxon Mobil mencapai 404 miliar dolar AS, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia.

Setiap detiknya Exxon Mobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai 18,7 miliar dolar AS atau setara dengan nilai Rp. 171,479 triliun. Hal ini juga didapatkan oleh Royal Dutch Shell yang menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai 31 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 284,27 triliun.

Di tengah kemakmuran yang berlebihan yang didapat para perusahaan multinasional dalam menikmati sumberdaya alam Indonesia, kita terpuruk dengan angka kemiskinan yang tinggi. Terserah kita ingin menggunakan angka kemiskinan yang mana. Yang sangat moderat ala BPS yang jumlahnya 37,17 juta jiwa (16,58 persen) penduduk Indonesia atau angka yang lebih mengejutkan seperti yang disampaikan Bank Dunia, yakni 49,5 persen rakyat Indonesia berpendapatan di bawah dua dolar AS/hari alias miskin. Kedua angka itu menunjukkan jumlah puluhan juta anak bangsa ini miskin dan pada saat yang bersamaan puluhan bahkan ratusan triliun sumberdaya alam republik ini dinikmati oleh perusahaan asing.

Cermin disfungsi negara

Gap yang dalam antara idealita konstitusi tentang pemanfaatan sumberdaya alam untuk sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat dan realita puluhan juta rakyat yang masih bergelut dengan kemiskinan merefleksikan disfungsi negara dalam menyejahterakan rakyat. Disfungsi yang pertama tampak dalam hal fungsi distributif negara, yakni bagaimana negara mengalokasi sumberdaya, anggaran, kesempatan ekonomi secara adil. Adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan ekonomi akan ada pihak-pihak yang termarjinalkan oleh mekanisme pasar.

Mereka-mereka ini harus ditolong dan itu menjadi peran negara yang bisa membantu mereka melalui fungsi distributifnya. Busung lapar dan kelaparan adalah bentuk kemiskinan yang absolut dan itu adalah parameter kegagalan yang telak tentang peran negara mewujudkan fungsi distributifnya.

Fenomena kemiskinan ekstrem dalam bentuk busung lapar dan kelaparan juga mencerminkan kegagalan negara dalam mewujudkan fungsi stabilitatifnya. Fungsi ini menurut para pakar ekonomi publik lahir karena bertolak pada kenyataan bahwa para pelaku ekonomi pada keadaan-keadaan tertentu tidak berdaya mengatasi masalah ekonomi yang mereka hadapi sehingga kalau dibiarkan begitu saja akan menimbulkan instabilitas perekonomian secara keseluruhan.

Masalah pengangguran adalah contoh masalah yang akan menimbulkan instabilitas perekonomian. Dari mazhab Keynesian kita mengetahui bahwa ketika pengangguran hadir dan tidak bisa diatasi hanya dari investasi swasta maka investasi negara harus hadir untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Peran ini dikatakan peran stabilitatif karena dengan masifnya pengangguran bukan saja berimbas pada shock perekonomian, tetapi juga bisa merembet pada shock sosial-politik lainnya yang bisa menimbulkan kerugian besar negara. Shock sosial politik sebagai dampak pengangguran akan terjadi ketika pengangguran itu berlanjut menjadi kemiskinan, apalagi ketika kemiskinan absolut menjadi eksis.

Kebijakan solutif

Solusi mengatasi masalah kemiskinan dan kelaparan ini terletak pada dua bentuk kebijakan, yakni proteksi dan subsidi. Hanya dalam konteks kekinian kita, ada pertanyaan klasik yang selalu layak untuk dimunculkan tentang kebijakan proteksi dan subsidi di negara kita, yakni apakah kebijakan itu telah mencapai targetnya. Target yang kita maksud adalah target orang maupun target filosofisnya.

Target orang adalah subsidi, dinikmati oleh masyarakat marjinal yang membutuhkannya. Target filosofi, subsidi berhasil membantu masyarakat marjinal dan miskin tersebut keluar dari kemiskinan dan kemarjinalannya. Permasalahan yang terjadi adalah ketidakefektifannya subsidi dan proteksi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawaban singkatnya karena terjadi goverment failure, suatu terminologi yang merujuk bahwa gagalnya intervensi pemerintah dalam mencapai target kebijakan yang ditetapkannya karena masalah-masalah yang inheren ada dalam tubuh pemerintah itu sendiri.

Di era reformasi, untuk mengatasi masalah government failure tentulah tidak cukup dengan kebijakan semata (political will). Artinya, para elite negara ketika memutuskan suatu political will dalam bentuk pemberian subsidi dan proteksi kepada masyarakat miskin dan marjinal, tidak cukup hanya dicanangkan, dideklarasikan, atau bahkan ditulis dalam perundang-undangan. Namun, semua kebijakan tersebut harus dikawal dengan ketat di lapangan, dipantau, dan dievaluasi sendiri oleh pejabat yang mengeluarkannya dari hari ke hari implementasinya.

Sumber: Republika

25 April, 2008

PKS Laporkan Gratifikasi Rp 1,9 Miliar, Mana Partai Lain?

Perhatian, perhatian!

Laporan gratifikasi anggota DPR:

PKS: Rp 1,9 MILYAR

Golkar: Rp 15,8 JUTA

PDK: Rp 5 JUTA

PKB: Rp 1 JUTA

PKS menerima dan melaporkan 1,9 MILYAR, tapi tiga partai lain termasuk GOLKAR hanya mendapat dan melaporkan 21,8 JUTA!!!!!!!!!

YANG BENAR!!!!!!!!!???????

PKS Laporkan Gratifikasi Rp 1,9 Miliar, Mana Partai Lain?

23/04/2008 10:59 WIB

Arry Anggadha - detikcom

Jakarta - DPR sedang disorot. Kasus-kasus yang menjurus korupsi tumbuh subur di lembaga tinggi negara yang berkantor di kawasan Senayan, Jakarta ini. Diyakini banyak anggota DPR yang menerima gratifikasi. FPKS harus diapresiasi karena telah mengembalikan gratifikasi Rp 1,9 miliar. Tapi, mana partai lain?

Data yang didapatkan detikcom dari KPK, hingga saat ini ada 57 laporan mengenai gratifikasi yang diterima anggota DPR. Ironisnya, 57 laporan ini hanya berasal dari 4 parpol, yaitu PKS, Partai Golkar, PDK, dan PKB. Anggota-anggota DPR dari partai-partai lainnya belum melaporkan adanya gratifikasi.

Dari empat parpol yang melaporkan gratifikasi itu, PKS melaporkan gratifikasi paling besar Rp 1,9 miliar. Sementara Partai Golkar yang memiliki anggota DPR lebih banyak hanya melaporkan Rp 15,8 juta, PDK Rp 5 juta, dan PKB hanya Rp 1 juta.

Menurut Humas KPK Johan Budi, gratifikasi itu tidak hanya diterima anggota DPR dari perjalanan dinas ke daerah berupa uang. "Ada yang dikembalikan ke KPK dalam bentuk tiket pesawat, parcel, barang pecah belah, dan sebagainya," jelas Johan.

Johan menjelaskan dari 57 laporan itu hanya 17 persen yang ditindaklanjuti KPK ke penyelidikan dan penyidikan. "Sekitar 10 laporan-lah. Sebab, kita mempertimbangkan barang bukti awal yang kuat adanya dugaan anggota DPR lainnya yang juga menerima gratifikasi yang sama," jelas Johan. Sayang, Johan tidak mau menyebutkan 10 anggota DPR yang laporannya ditindaklanjuti itu.

Sementara itu, hari ini, Rabu (23/4/2008), Ketua Komisi IV Ishartanto diperiksa KPK. Pemeriksaan ini terkait pemberian gratifikasi yang diperoleh rombongan Komisi IV saat kunjungan ke daerah. Dua hari lalu, anggota FPKS Djaluluddin Asy-Syatibi juga diperiksa terkait hal ini. Djaluluddin-lah yang melaporkan gratifikasi Rp 30 juta ke KPK seusai berkunjung ke Bintan. Anggota DPR lain kok tidak melaporkan? ( ary / asy )

Sumber: Detiknews.com

23 April, 2008

Zalimnya Pemerintahan Ini…


26 Mar 08 13:54 WIB

Oleh Rizki Ridyasmara

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari, demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur. “Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?” tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia limapuluh dua tahun ini menggeleng. “Gak ada minyaknya…”

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan, katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. “Saya bingung… saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi harus jualan apa… modal gak ada…keterampilan gak punya….” Pak Jumari bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang cekung.

“Maaf dik saya menangis, saya benar-benar bingung… mau makan apa kami kelak.., ” ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana. “Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami begini …”

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang melingkar di leher. “Dik, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana, punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja… “ Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

"Dik, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita, oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya. Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut ‘anggaran negara’ digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah, fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan, akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila lainnya. Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah!

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli. Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan… Di tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. “Nak, ini nasi bungkus yang engkau minta…” Dia makan dengan lahap. Saya tatap dirinya dengan penuh kebahagiaan. Alhamdulillah, saya masih mampu menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yang sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup. Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar… Mudah-mudahan mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah akhir kelak… Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah…

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah…

Sumber: Oase Iman di Eramuslim

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...