Assalamu’alaikum wr.wb.,
Luar biasa. Ternyata jumlah teroris sudah sangat berkurang di Indonesia. Pasukan khusus anti-terror, Densus 88, kehabisan pekerjaan penting sehingga mereka bebas untuk menjaga UJIAN NASIONAL (UN).
Keamanan ujian yang satu ini sepertinya sama pentingnya dengan keamanan Presiden.
Setahu saya, KPK tidak dijaga oleh pasukan khusus. Berarti ujian nasional lebih utama dari usaha memberantas korupsi.
Setahu saya, Bank Indonesia tidak dijaga oleh pasukan khusus, berarti ujian nasional lebih utama dari ekonomi negara. (Bayangkan kalau BI dibom, dan gedungnya serta semua dokumen di dalamnya menjadi hancur).
Setahu saya, BEJ tidak dijaga oleh pasukan khusus, berarti ujian nasional lebih utama dari BEJ. (Bayangkan kalau BEJ dibom, dan lantai trading serta semua dokumen dan server komputer di dalamnya menjadi hancur).
Setahu saya, semua pelabuhan tidak dijaga oleh pasukan khusus, berarti ujian nasional lebih utama dari usaha melindungi lingkungan dan sumber daya alam negara dengan mencegah illegal logging. Lingkungan boleh saja dirusak, hutan boleh saja dihabiskan oleh pengusaha jahat, tapi jangan sampai Ujian Nasional bocor.
Dan seterusnya…
Yang paling lucu dari berita ini adalah sang Menteri Pendidikan yang berpendapat bahwa UN setara dengan “rahasia negara”!!!
Berarti, seorang guru yang membagi kunci jawaban kepada muridnya telah menjadi penghianat bangsa? Jadi kalau ditangkap, apakah dihukum mati? Atau dipenjarakan seumur hidup?
Sedangkan kalau ada anggota DPR atau DPRD, menteri, gubenur, walikota atau bupati yang telah merampas uang negara untuk kepentingan diri sendiri, dan menyalurkannya kepada teman2 di partai yang sama, maka orang-orang itu justru TIDAK akan dianggap penghianat bangsa, dan kalau dihukum, hanya masuk penjara untuk beberapa tahun. Partainya pun tidak akan dicap sebagai penghianat bangsa, walaupun penuh dengan koruptor (yang sudah ketahuan dan belum ketahuan).
Tetapi seorang guru bisa menjadi orang jahat ibarat penghianat bangsa karena dia membocorkan ujian yang disamakan dengan “rahasia negara”?
Kesimpulan: Departemen Pendidikan (dan pemerintah) berada di tangan orang yang tidak bisa membedakan antara yang hak dan batil. Yang kecil dianggap besar, yang besar dianggap kecil. Yang utama dianggap tidak penting, yang tidak utama dianggap penting sekali.
Kapan bangsa ini akan dipimpin oleh orang bijaksana, yang sehat akalnya dan bertindak dengan cara yang wajar, dengan kesadaran atas tugas mereka sebagai pemimpin negara?
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene
Densus 88 Bukan Hanya Menangani Kasus Teror
Selasa, 29 April 2008 22:33:00
Laporan: Hj. Dewi Mardiani
Jakarta-RoL--Kapolri Jenderal Sutanto menegaskan bahwa kepolisian, termasuk Detasemen Khusus Anti Teror (Densus) 88 melakukan tugasnya dalam penegakan hukum. Karena itu, kewenangannya bukan hanya menangani masalah teror saja.
Penegasan itu merupakan tanggapan atas dilibatkannya Densus 88 dalam penanganan pembocoran ujian nasional (UN) yang dilakukan beberapa oknum guru di daerah. ''(Densus 88) Ini kan anggota Polri. Anggota polri bisa lakukan apa saja. Tentu untuk mengamankan supaya kegiatan (UN) itu tidak terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaannya,'' kata Sutanto di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/4).
Untuk personil Densus 88 dalam menangani para oknum pembocoran UN, sambungnya, jumlahnya bervariasi di tiap daerah. Mereka dilibatkan untuk pengamanan. ''Jumlahnya berapa tak akan sama untuk itu.''
Menurutnya, dikerahkannya Densus 88 itu bukan merupakan pengertian bahwa oknum guru itu diperlakukan seperti teroris. ''Nah ini yang salah. Tolong jangan dipersepsikan seperti itu.''
Anggota Polri bertugas dan bertindak menangani hukum apa saja, jelasnya. Jadi, Polri menangani tindakan yang bukan hanya soal teror saja. Tindakan hukumnya adalah jenis pelanggaran hukumnya yang dilakukan oleh si pelaku.
Dia membantah bahwa tindakan itu merupakan peralihan fungsi Densus 88. Menurutnya, itu salah pengertian. ''Kan bajunya polisi bisa lakukan apa saja. Menangai teror, penelundupan, pelanggaran yang dilakukan di daerah-daerah juga bisa. Ini juga dari dulu sudah dilakukan, bukan sekarang saja.''
Soal dilibatkannya Kepolisian, khususnya Densus 88, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ''Itu kami tidak tahu. Yang penting kami meminta untuk ditindak dengan betul-betul, karena masalah pidana memang kewenangan mereka, pihak kepolisian. Ternyata mereka sudah menjalankan dengan baik.''
Pihaknya berterimakasih kepada Polri dan berbagai pihak atas bantuannya dalam menjaga pelaksanaan UN. Kepada Kepolisian, pihaknya memang meminta untuk penanganan para pelaku tindak pidana, pembocoran, dan intervensi rahasia negara, agar dipidanakan. ''Tindakan itu memang tindak pidana.''
Soal kebocoran yang terjadi dalam UN, Bambang mengatakan, tindakan itu tetap tak bisa diterima walau pun dengan alasan membantu siswanya. UN harus dilakukan dengan kejujuran, terlebih lagi, masalah itu terkait dengan kerahasiaan negara. .
Pelanggaran itu terjadi di beberapa tempat, seperti Deli Serdang (Sumatera Utara), SMK swasta di Batam, Surakarta, SMU di Makassar (Sulsel) dan merembet di beberapa SMU di Bone.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada Selasa ini menentukan status hasil UN di sekolah-sekolah yang bermasalah tersebut. ''Apakah akan dibatalkan atau yang lainnya, yang pasti saya belum tahu apa yang akan mereka usulkan kepada saya.''
Sementara, sambungnya, untuk guru atau pihak sekolah yang terkait dengan tindak kriminal membocorkan soal ujian atau mengubah jawaban siswa, sudah diproses hukum di pihak kepolisian. Diharapkannya, dengan kejadian itu, semua pihak bisa mengambil pelajaran.
''Jadi pembelajaran ini berguna untuk para pihak pengajar sekolah, kepala sekolah, siswa, pengawas ujian, dan seluruh panitia UN untuk betul-betul menjaga rahasia negara,'' papar Bambang. pur
Sumber: Republika
Hahaha...
ReplyDeleteLucu betul pemerintahan ini. kalau aku sebagai siswa/guru/kepsek pasti amat sangat tersinggung "dianggap lebih jahat dan lebih membahayakan bangsa" daripada teroris dan koruptor. :-))
rgds,
UN memang buah simalakama. Di satu pihak, para guru dan kepala sekolah dituntut untuk melaksanakan UN dengan penuh kejujuran. Tapi di lain pihak, kementrian pendidikan menuntut agar semua siswa berhasil dalam UN, sehingga jika ada murid yang gagal, maka pihak guru dan kepsek lah yang akan dijadikan kambing hitamnya. Akibatnya, mereka akhirnya menghalalkan segala cara untuk menyelamatkan prestise sekolah, sekaligus tetap menjaga agar asap dapur mereka tetap menyala.
ReplyDeleteKalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Kita juga tidak mungkin menyalahkan siswa, karena kemampuan mereka tidak bisa disamaratakan di setiap daerah. Siswa di kota-kota besar yang beruntung mendapatkan fasilitas belajar yang memadai, tentu nilainya akan lebih baik dibanding siswa pedalaman yang gurunya saja datang seminggu sekali.
Kalau sudah begini, bagaimana mungkin UN dapat dikatakan efektif dalam mengevaluasi hasil belajar siswa?
Adanya pasukan khusus Densus 88 sampai Tim Pengawas Independen, hanya menunjukkan satu hal, bahwa dalam dunia pendidikan kita sudah hilang rasa saling kepercayaan.
Atau mereka malah diadakan hanya untuk memuaskan rasa penasaran masayarakat saja? Karena UN ternyata masih tetap dapat diakal-akalin walaupun di tengah pengawasan ekstra ketat seperti itu.Terkesan para pengawas tambahan itu hanya menghambur-hamburkan uang negara saja.
Saya hanya bisa menarik nafas pedih. Mau jadi apa dunia pendidikan kita? Mau di bawa kemana generasi muda kita ini?
Saya sebagai bagian dari dunia pendidikan itu hanya bisa menyarankan untuk semua pihak, janganlah tingkat keberhasilan pendidikan itu hanya dilihat dari besaran angka saja, melainkan lihatlah seluruh proses pembelajarannya. Jangan sampai kerja keras kita selama tiga tahun, rusak sekejap oleh UN yang hanya tiga/empat hari itu. Ibarat hujan yang menghapus panas sepanjang tahun.