Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

24 October, 2007

Re: Menjawab Dengan Jujur Atau "Benar"? #2

Komentar dari seorang pembaca:

Assalamu alaikum wrwb
Yah saya sih setuju dan nggak setuju mengenai hal itu. Setuju di sebabkan mungkin ada benarnya bahwa apa yang di katakan si anak adalah jujur dari apa yang di alaminya dan sebagai bukti dari kepolosan seorang anak sehingga dia menjawab demikian tapi perlu di ketahui sekolahpun mempunyai penilaian akan hal tersebut jadi tidak mungkin dapat membenarkan jawaban si anak. Kalaupun toh seperti yang di katakan pak gene harus di teliti mengapa si anak menjawab hal sedemikian,itu sih wajar-wajar saja.Dengan menanyakan alasan kepada si anak tersebut mengapa memilih jawaban tersebut.Yang pada akhirnya memberikan pengertian kepada si anak bahwa "mengapa jawabannya tidak dapat di benarkan.
Yah...saya mengerti maksud pak gene. Tapi perlu di ketahui jawaban tersebut tidak dapat dibenarkan ,apalagi untuk di masukkan ke dalam nilai hasil akhir ujian,misalnya. Coba kalau seandainya jawaban tersebut 100% dibenarkan.Apa kata anak-anak yang lain yang benar2 mengetahui jawaban temannya itu salah dan mengetahui jawaban temannya tersebut dibenarkan oleh gurunya.
Wassalam

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Lebih baik kalau kita bersikap hati-hati terhadap jawaban dari anak sekolah, terutama anak SD. Kalau anak selalu disalahkan, walaupun dari suatu sisi kita bisa melihat bahwa argumentasinya benar, maka ini bisa mematahkan semangat anak untuk berusaha dan belajar dengan baik.
Coba berfikir begini: ilmu pasti seperti matematika berbeda dengan ilmu yang lain. Kalau melihat gambar, kita harus memberikan “interpretasi” kita. Dan kalau yang benar hanyalah pendapat guru, maka anak tidak perlu berfikir sendiri, tidak perlu membentuk opini sendiri, dan tidak perlu mencari data sendiri yang mendukung argumentasinya karena hanya argumentasi si guru yang dibenarkan.
Anak cukup saja menunggu sampai guru memberitahunya jawaban yang “benar” dan anak cukup mengikutinya tanpa dicernakan sama sekali.
Apakah bangsa kita bisa maju kalau anak2 kita dididik dengan cara seperti it uterus-terusan?
Di bawah ini saya membuat contoh2 “soal ujian”, dan juga memberikan jawaban dari “seorang guru” yang selalu paling benar. Semua ini adalah rekayasa saya supaya orang tua bisa berfikir tentang apakah itu “kebenaran”. Di dalam ujian, di mana anak SD ingin sekali mendapat nilai yang baik, sangat disayangkan kalau guru selalu hitam-putih dalam menentukan jawaban mana yang benar. 

Coba kalau anak anda ikuti ujian SD ini dan hasilnya adalah Nilai “0”.

Ikan tinggal di mana?
Anak: Di kolam ikan!
Guru: Salah. Ikan tinggal di laut.

Beruang panda tinggal di mana?
Anak: Di hutan.
Guru: Salah. Di Cina.

Koala tinggal di mana?
Anak: Di Australia.
Guru: Salah. Di pohon.

Lihat gambar kedua orang perempuan ini. Siapa mereka?
Anak: Ibu dan anak!
Guru: Salah. Kakak perempuan dan adik perempuan.

Lihat gambar kedua orang laki-laki ini. Siapa mereka?
Anak: Kakak laki-laki dan adik laki-laki.
Guru: Salah. Bapak dan anak.

Kalau sebuah gelas diisi dengan air hingga 50% apakah gelas setengah penuh atau setengah kosong?
Anak: Setengah penuh.
Guru: Salah. Setengah kosong.

Lihat kedua pengemis ini yang duduk di pinggir jalan. Apakah mereka kaya atau miskin?
Anak: Mereka miskin.
Guru: Salah. Pengemis di Jakarta kaya semua. Itu hanya profesi mereka.

Lihat foto orang ini? Apakah dia orang baik atau orang jahat?
Anak: Dia koruptor. Dia jahat.
Guru: Salah. Dia orang baik. Dia memberikan uang kepada Pak Camat untuk membangun lapangan bulu tangkis dekat rumah saya sebelum pilkada.

Lihat gambar lingkaran ini. Ini gambar apa? “O”
Anak: Lingkaran. Bola. Roda. Jeruk. Uang logam.
Guru: Salah semua. Ini gambar cicin kawin saya.

Kalau kamu dibawa ke kebun binatang, bagaimana perasaan kamu?
Anak: Jenuh. Aku tidak suka binatang. Mau di rumah, main Playstation.
Guru: Salah. Kamu harus bahagia. Semua orang harus suka binatang.

Sebutkan nama satu jenis makanan yang lezat sekali.
Anak: Pizza.
Guru: Salah. Makanan barat tidak ada yang enak. Jawaban yang benar adalah bakso, mie ayam, tempe, tahu, pisang goreng, pecel, rujak, dll. Jawaban selain dari itu salah.

Seorang anak yang membantah dengan orang tua atau guru adalah…?
Anak: Seorang anak yang berbeda pendapat.
Guru: Salah. Dia anak dzholim. Anak yang berdebat dengan orang tua atau guru adalah anak dzholim dan anak durhaka yang akan dilaknat Allah dan akan masuk neraka dan siksa terus sepanjang zaman. Jawaban selain dari itu adalah salah.

****************************
Kita bisa begini terus-terusan tanpa berakhir. Dalam “ujian” ini, anak mendapat nilai “0” karena semua jawabannya adalah “salah” menurut sang guru. Apakah ini pendidikan? Apakah ini hasil yang orang tua harapkan dari sekolah?
Dalam ujian ini, anak tidak bisa berbeda pendapat dengan guru dan hanya bisa mengikuti kemauan guru kalau mau mendapatkan nilai yang baik.
Itu bukan pendidikan, tetapi lebih akurat disebut indoktrinasi. Tujuannya semata-mata untuk membentuk pikiran anak sehingga mereka punya pendapat yang rukun dengan kemauan gurunya.
Saya sebagai seorang guru sangat sedih melihat orang tua dan guru yang mendidik anaknya dengan cara tersebut.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene

Silahkan baca juga:



8 comments:

  1. Assalamu alaikum wr.wb
    Saya pikir menuju suatu tempat yang kita inginkan tidak mesti harus satu jalan atau satu jenis kendaraan untuk sampai ketujuan.Tapi akhir dari perjalanan itu sendiri "apakah tiba di tempat yang benar2 di tuju...!.Seperti ilmu matematika atau fisika banyak cara untuk menyelesaikan suatu soal tanpa harus mengerjakan soal tersebut dengan cara A tapi juga mungkin ada cara B atau C.Tapi yang kita lihat adalah hasil akhir dari penyelesaian soal tersebut.Seorang yang mulanya sangat beriman,shalatnya tidak pernah terlewatkan,mengerjakan semua kebajikan dan banyak hal lain yang baik pastinya.Tapi pada akhir hayatnya dia menjadi murtad berpaling dari agama Allah SWT.Apakah dia tetap akan mendapatkan sorga Allah???Wallahu'alam.Apakah seperti itu?.Ada yang mengatakan proses itu penting daripada hasilnya.Tapi ada juga yang berpendapat bahwa proses dan hasil yang baik pasti itu yang diharapkan.Itu kalau kita melihat dari kacamata lain misal:seorang yang berwirausaha pasti harus melewati proses untuk mencapai sukses kalau pun gagal kan bisa mencoba yang lain dan berusaha supaya tidak gagal seperti sebelumnya tapi ujung-ujungnya kan, pastinya mengharapkan hasil yang terbaik bukan hasil akhir yang mengecewakan.Saya sendiri bukannya tidak setuju dengan pendapat bahwa anak2 dilarang untuk mempunyai pendapat atau pandangan yang berbeda tapi memberi jawaban yang tepat dan benar adalah wajib.Seperti istilah berbeda-beda tapi tetap satu.Seperti contoh soal2 yang anda katakan anak2 memiliki jawaban tersendiri untuk menjawab soal2 itu,tidak dipermasalahkan tapi guru kan mempunyai jawaban yang mungkin lebih tepat dan benar.Cuma bagaimana seorang guru mengarahkan si anak tanpa harus men-judge si anak itu "kamu salah,jawaban kamu begini dan begitu bla bla...dan seterusnya.Seperti yang anda katakan tanpa mengindoktrinasi.Dan itulah menjadi tugas seorang pendidik baik itu guru ataupun orang tua.Mungkin soal2 yang anda rekayasa itu tidak dipermasalahkan jika si anak menjawab demikian karena sayapun mungkin mempunyai jawaban yang berbeda dari jawaban si anak maupun si guru.Tapi kalau soal2 yang untuk di ujikan di ujian akhir,misalnya.Saya yakin guru lebih tahu,tidak asal-asalan dan benar2 memikirkan dalam memberikan soal2 beserta pilihan jawaban yang tepat dan benar.Seperti "multiple choise" pilihan ganda terkadang ada soal yang mengatakan "pilih tiga jawaban yang tepat dari pertanyaan dibawah ini"Di manakah orang utan tinggal,misal.Nah,pasti gurupun memberikan jawaban pilihan yang benar ada 3 dan pilihan yang lainnya di buat salah atau di buat ngaco.

    ReplyDelete
  2. trus menurut pak gene..bagaimana cara penilaian yang benar?

    kalau ada pertanyaan model pilihan ganda atau model benar salah, berarti kan memang harus ada yang dibenarkan dan disalahkan..

    kalau saya baca tulisan bapak, tidak ada jawaban yang salah menurut bapak dan semua bisa dibenarkan menurut logika berpikir masing2 anak,

    kalau begitu tidak akan ada standarisasi dalam sistem pengajaran dan penilaian donk kalau semuanya didasarkan pada jawaban logika berpikir masing2 anak yang pastinya berbeda satu dengan yang lainnya..

    jangan cuman kritik aja, kita tunggu solusinya pak...

    ReplyDelete
  3. capee deh baca komentar kedua,pantes aja sistem pendidikan susah ngarahinnya, kalo esensinya belum paham :( dan kl dikritik pasti defensif, langsung minta cariin solusi,ughhh :(

    standarisasi sistem pengajaran bukan berarti doktrinasi jawaban, standarisasi pengajaran itu misalnya untuk matematika, dia sudah paham pecahan, persentase, desimal, itu berarti dalam kehidupan sehari-hari, kalau dia diminta belanja kepasar 1/4 kg telur, sementara 1kg harga telur adalah 10.000, dia paham kl 1/4 itu = 2500.

    untuk bahasa Indonesia, standarisasi bisa berarti bisa menyusun kalimat, terstruktur, bisa berargumentasi dengan baik,kreatif. Jadi kalau ditanya, ikan hidup dimana? ada yang jawab, kolam, akuarium, laut, dll dll, berarti semua dibenarkan, karena ia sudah paham bahwa ikan memang selalu dihidup dalam air(logis), dan juga kreatif dalam memberikan berbagai jawaban.

    Jadi standarisasi pelajaran itu bukan doktrinasi jawaban yang harus begini dan begitu..

    Bagusnya sih, kl ujian itu bukan pilihan ganda, tapi essay, jd murid punya kesempatan memaparkan hasil pikirannya dan argumentasinya dalam sebuah tulisan.

    ReplyDelete
  4. nah tuh pinter!!! mendingan essai aja, jangan pilihan ganda atau benar salah...

    jadi siswa bisa berargumen dan memaparkan penjelasannya..banyak nilai plusnya dengan soal essay.

    ReplyDelete
  5. yah tapi soal essay itu kan pantasnya hanya di ujikan bukan pada saat ujian akhir tapi hanya pada saat dimana materi pelajaran telah selesai atau ujian kelas saja.Coba kalau seandainya essay di gunakan pada waktu ujian akhir...otomatis waktu yang digunakan untuk menjawab soal2 tersebut tidak cukup.Begitupun kalau pemeriksaan hasil2 ujian itu.Berapa banyak waktu yang di butuhkan seorang guru untuk membaca hasil jawaban soal2 essay yang mengakibatkan terhambatnya memberikan hasil penilaian ujian itu sendiri.

    ReplyDelete
  6. Hi..

    from my opinion, i think its time for students to learn and teacher to teach what we're calling perspective and how to respect that. so in the future we all can live in diversity without being cornered.

    right or wrong is not our call to judge...but honesty is something we can do...its better to answer with honesty rather than chasing righteousness.

    Wassalam.

    ReplyDelete
  7. Sekedar tambahan untuk soal dan jawaban. Isu utama
    selain guru adalah ortu. Dari tanggapan yg masuk
    sebenarnya kebaca banget bahwa ortu kita masih seperti
    itu. Tingkat keterlibatan dan pemahaman ortu tentang
    'apa yg dilakukan sekolah dan guru' masih sangat
    'tipis'. Sy (anak saya) bisa dibilang salah satu
    korban 'soal dan jawaban' klasik seperti yg dibahas.
    Anak sy yg terbesar sempat masuk di SD IT di area
    pondok gede (ketika kelas 4) dan dia hampir selalu
    ribut dengan gurunya mengenai soal yg dipatok
    jawabannya. Ini terutama terjadi di pelajaran semacam
    PPKN/IPS, tetapi hal yg sama juga pernah terjadi di
    pelajaran IPA. Terjadi ketika dia menolak pilihan yg
    ada, dan menjawab semua pilihan salah karena menurut
    referensi yg dia baca (diluar buku paket tentunya)
    jawabannya x. Singkatnya anakku jadinya dimusuhi
    gurunya, dan ketika akhirnya dia mulai mengambil
    kesimpulan jawab yg aman sj sesuai permintaan guru
    ...kami memutuskan keluar dari sekolah tersebut
    (setelah mencoba lebih kurang 6 bulan saja). Jadi
    sebenarnya biaya sekolah di Indonesia itu sangat2
    mahal Kang ...karena dengan biaya yg kita bayar, maka
    anak kita dipermak habis-habisan karakter bebasnya dan
    juga apa yg boleh disimpan di kepala dia.... Sedih
    banget.

    arie kerlip

    ReplyDelete
  8. Wah, ngeri juga kalau anak kecil bisa dimusuhi orang dewasa yang seharusnya menjaganya. Bangsa ini mau jadi apa kalau kualitas guru tidak ditingkatkan? Apakah tidak ada yang merasa kasihan sama anak kecil di sini?

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...