Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

29 October, 2007

Re: Menjawab Dengan Jujur Atau "Benar" #3


Membalas beberapa komentar yang masuk dari pembaca:
Ada yang tidak suka komentar saya bahwa tidak ada penemuan yang baik di Indonesia. Saya yakin masih ada orang Indonesia yang pintar yang bisa berhasil sebagai penemu. Maksud saya, dari jumlah penduduk yang begitu besar, kenapa tidak ada lebih banyak? Mereka itu bisa berhasil walaupun sistem pendidikan tidak mendukung. Bagaimana nasib mereka kalau memang dibina dengan benar dari SD? Dan bagaimana dengan anak lain yang batal jadi penemu atau ahli karena bakatnya ada, tetapi mulai dari SD, mereka diwajibkan nurut dan bukan menjadi kreatif? Siapa yang mau bertanggung-jawab terhadap calon2 jenius dari Indonesia, seperti Joko Da Vinci dan Ahmad Einstein, yang akhirnya tidak muncul sebagai orang pintar karena semangat mereka untuk menggali ilmu secara independen dipatahkan di dalam sekolah? Siapa yang membela hak anak untuk belajar kalau guru pun menjadi pengganggu dalam proses belajar? 

Komentar dari beberapa pembaca:
Ada yang mengatakan proses itu penting daripada hasilnya.Tapi ada juga yang berpendapat bahwa proses dan hasil yang baik pasti itu yang diharapkan.
Betul. Yang paling dibutuhkan adalah proses dan hasil yang baik. Tetapi seringkali di sini, yang diutamakan hanyalah hasil! Dan hasil tersebut harus sesuai dengan kemauan guru. Jawaban yang lain salah. Ini sikap yang keliru sekali. Seharusnya proses lebih utama daripada hasil dalam pendidikan. Kalau proses 99% benar, hasil akan salah, tetapi murid hampir mengerti dan hampir mendapat jawaban yang benar. Tinggal dibina sedikit lagi dan insya Allah menjadi benar terus pada masa depan. Tetapi kalau hasil 100% benar tanpa peduli pada proses, maka yang jelas hanya satu: pada saat ini, dalam ujian ini, murid benar. Kalau besok? Tahun depan? Tergantung! Tergantung apakah dia mencapai hasil itu dengan proses yang benar (belajar, paham, coba, benar) atau dengan proses yang “asal” (nyontek dari teman, mencuri kunci jawaban, dapat bocoran dari guru). Kalau murid mencuri kunci jawaban, dan membagi-bagi kepada teman, yang pasti adalah jawaban para murid akan benar. Tetapi bagaimana dengan proses? Tidak usah peduli?
Ini masalahnya kalau hasil diutamakan di atas proses. Mau menjadi caleg? Wajib punya sertifikat lulus SMA. Kalau ternyata di masa lalu hanya lulus SMP atau bahkan SD, kemudian menjadi pengusaha yang kaya, kuat, dan sukses, bagaimana? Ohh, yang penting adalah HASIL. Beli saja sertifkat yang palsu. Asal tidak ketahuan, tidak menjadi masalah. Betul?

Saya sendiri bukannya tidak setuju dengan pendapat bahwa anak2 dilarang untuk mempunyai pendapat atau pandangan yang berbeda tapi memberi jawaban yang tepat dan benar adalah wajib.
Jawaban yang tepat yang benar yang mana? Coba anda jawab sekarang: hari ini terasa “panas” atau “dingin”? Lalu saya akan bertanya kepada dua teman dekat saya, 1 orang Eskimo, dan 1 orang Arab. Kalau jawaban anda berbeda dengan salah satu dari mereka, anda akan langsung dipecat dari perusahaan saya karena ternyata anda adalah orang bodoh yang tidak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana. Ayo, jawab sekarang dan siap-siap dipecat kalau salah! Panas atau dingin?
Kita harus membedakan antara ilmu pasti (sains) dan ilmu lain yang subyektif. Kalau pertanyaan adalah 2 + 2 = berapa, maka hanya jawaban 4 yang bisa diterima. Tetapi kalau murid ditanyakan “ini apa”, atau “kamu suka apa” maka jawaban harus boleh beraneka ragam.
Barangkali anda bukan guru sekolah. Ternyata sebagian guru sekolah memang keberatan kalau muridnya punya pendapat yang berbeda. Dan nilai murid dikurangi padahal benar. Ada beberapa soal yang saya lihat dengan mata sendiri di ujian anak SD. Misalnya, burung hantu tinggal di mana? Pohon. Salah, hutan. Burung penguin tinggal di mana? Antartika. Salah, di gunung es. Ini soal nyata yang disalahkan oleh sang guru padahal tidak salah.
Bagaimana kalau anak anda sendiri sering mendapat nilai 6-7 dalam ujian, tetapi kalau diperiksa dengan lebih cermat, nilainya adalah 9-10? Bagaimana perasaan anak itu, ketika dia merasa yakin bahwa dirinya benar tetapi guru mengatakan salah? Guru tidak boleh diperdebat, dan tidak ada orang tua yang ingin telfon sekolah dan bertanya kenapa jawaban anaknya disalahkan. Kalau anak berprotes kepada orang tua, paling orang tua yang sibuk hanya membenarkan guru dan menyuruh anak belajar lebih keras.
Kasihan anak itu. Pedidikan tidak menjadi proses membangkitkan keinginan siswa untuk menuntut ilmu, melainkan menjadi proses memaksakan semua anak nurut dengan kemauan guru. Kenapa semua anak tidak diperbolehkan mendapat nilai tinggi, sehingga harus ada yang disalahkan?

Tapi kalau soal2 yang untuk di ujikan di ujian akhir,misalnya.Saya yakin guru lebih tahu,tidak asal-asalan dan benar2 memikirkan dalam memberikan soal2 beserta pilihan jawaban yang tepat dan benar.
Yakin? Kenapa yakin? Bukti yang saya lihat sebaliknya. Guru sepertinya asal-asalan. Jawaban anak benar, tetapi disalahkan oleh guru. Alasannya apa? Kenapa semua anak wajib memberikan jawaban yang sama dengan guru?

trus menurut pak gene..bagaimana cara penilaian yang benar? kalau ada pertanyaan model pilihan ganda atau model benar salah, berarti kan memang harus ada yang dibenarkan dan disalahkan..
Bukannya pilihan ganda itu salah, tetapi yang salah adalah guru karena memberikan lebih dari satu jawaban yang benar. Kalau gambar seorang perempuan, bisa dianggap siapa saja. Tidak mesti Ibu. Bisa juga anak, sepupu, pembantu, dll. Hal seperti ini sangat subyektif, dan seharusnya seorang guru yang berilmu di bidang pendidikan sudah tahu.
Saya berpengalaman bertahun-tahun membuat ujian bahasa Inggris dan juga kunci jawaban untuk semua tingkat. Proses itu makan waktu berhari-hari sampai berbulan-bulan (tergantung tingkatnya). Itu bukan hal yang gampang yang bisa diselesaikan dalam 1 jam. Harus diperiksa dengan teliti: apakah tingkat ilmunya terlalu sulit, terlalu mudah. Apakah semua pertanyaan punya tingkat yang sama? Ada berapa bagian dalam ujian? Berapa tipe soal? Butuhkan berapa banyak waktu untuk mengerjakannya? Apa hanya satu jawaban yang benar, yang lain pasti salah? Kalau murid boleh tulis jawabannya sendiri, yang mana yang bisa dibenarkan? Dan seterusnya.
Sepertinya, proses ini dilewati secara singkat oleh sebagian guru, dan hasilnya seperti kita telah lihat. Gambar seorang perempuan dianggap Ibu oleh guru, pembantu oleh murid, dan hanya guru yang boleh benar. Seharusnya tidak ada jawaban “pembantu” dalam ujian tersebut. Berarti, guru tidak berfikir bahwa gambar itu bisa merupakan orang selain Ibu, dan kalau ada yang berfikir begitu, cukup disalahkan saja.

kalau saya baca tulisan bapak, tidak ada jawaban yang salah menurut bapak dan semua bisa dibenarkan menurut logika berpikir masing2 anak,
Bukan begitu. Maksud saya adalah dalam hal yang subjektif (di luar ilmu pasti), kita bisa saja menyalahkan jawaban orang lain kalau ingin benar sendiri. Kalau anda bilang panas, saya cukup mengatakan dingin. Teman saya selalu makan yang pedas, tetapi dia orang Padang, jadi yang membuat lidah saya terbakar justru kurang pedas bagi dia. Yang mana yang “benar” dari persepsi itu? Saya atau dia?

kalau begitu tidak akan ada standarisasi dalam sistem pengajaran dan penilaian donk kalau semuanya didasarkan pada jawaban logika berpikir masing2 anak yang pastinya berbeda satu dengan yang lainnya.. jangan cuman kritik aja, kita tunggu solusinya pak...
Solusinya sederhana: memastikan para guru memang mengerti proses pendidikan dan cara membuat, serta memeriksa, ujian. Ini pelajaran standar untuk seorang guru, dan guru yang merasa belum paham, atau terbukti belum paham, seharusnya dilatih lagi sampai dia paham.
Kalau semua pasien yang masuk sebuah rumah sakit di Jakarta dioperasi lalu wafat, apakah anda akan bertanya kepada pengritik “Solusinya apa?” Seharusnya sudah nyata: dokter itu tidak mempunyai ilmu yang semestinya. Sama halnya dalam ujian yang ngawur ini. Yang salah adalah gurunya. Dan gurunya yang harus ditegor. Kalau siswa tidak bisa, orang tua harus berani.

standarisasi sistem pengajaran bukan berarti doktrinasi jawaban, standarisasi pengajaran itu misalnya untuk matematika, dia sudah paham pecahan, persentase, desimal, …untuk bahasa Indonesia, standarisasi bisa berarti bisa menyusun kalimat, terstruktur, bisa berargumentasi dengan baik,kreatif. Jadi kalau ditanya, ikan hidup dimana? ada yang jawab, kolam, akuarium, laut, dll dll, berarti semua dibenarkan,
Betul sekali. Mudah-mudahan anda ini seorang guru. Justru sikap seperti ini yang dibutuhkan. Seringkali anak kecil punya daya pikir sendiri, dan pada awalnya kita sangat mudah menyatakan bahwa dia salah. Tetapi kalau dia diberikan kesempatan untuk mejelaskan jawabannya, bisa jadi kita menjadi paham “kebenaran” di dalamnya. Kalau anak disalahkan terus, belum tentu dia ingin berusaha terus. Tetapi sebaliknya, kalau anak dibenarkan lebih banyak dari disalahkan, dan diberikan rasa sukses sebagai hasil dari usahanya, Insya Allah dia ingin belajar dan berjuang terus.

Bagusnya sih, kl ujian itu bukan pilihan ganda, tapi essay, jd murid punya kesempatan memaparkan hasil pikirannya dan argumentasinya dalam sebuah tulisan.
Semua boleh dalam satu ujian. Justru ujian yang baik itu ada campuran karena anak (dan dewasa) punya cara berfikir yang berbeda. Ada anak yang lebih mudah melihat jawaban yang benar kalau bisa langsung membandingkan dengan jawaban lain yang salah, berarti dia membutuhkan mulitiple choice (pilihan ganda). Ada anak yang lebih mudah menulis pendapat sendiri karena sudah tahu yang benar, dan kalau dia lihat jawaban yang salah (tetapi mirip) dia malah menjadi terlalu bingung, berarti dia harus bisa menulis jawaban singkat sendiri. Ada yang pandai menulis essay yang panjang, ada yang tidak. Dan seterusnya. Jadi, semua soal itu bermanfaat, selama gurunya mengerti, dan juga fleksible.
Guru SD wajib menjadi fleksible dengan jawaban muridnya. Kalau Dosen Kedokteran tidak usah! (Pendapat selain dari itu salah. Hehe).

Coba kalau seandainya essay di gunakan pada waktu ujian akhir...otomatis waktu yang digunakan untuk menjawab soal2 tersebut tidak cukup. Begitupun kalau pemeriksaan hasil2 ujian itu.Berapa banyak waktu yang di butuhkan seorang guru untuk membaca hasil jawaban soal2 essay yang mengakibatkan terhambatnya memberikan hasil penilaian ujian itu sendiri.
Hiks, hiks, hiks. Saya sedih sekali memikirkan guru memikul beban berat berupa "essay muridnya". (Mungkin bisa mencapai satu kilo! Berat sekali!) Emangnya pemulung? Emangnya tukang bangunan? Menjadi guru itu sebuah profesi (…semestinya, tetapi di sini tidak nyata demikian). Mari kita coba mengaplikasikan komentar ini pada profesi yang lain:

Pertanyaan: "Berapa banyak waktu yang di butuhkan seorang dokter kandungan untuk menunggu hasil proses kelahiran yang mengakibatkan terhambatnya membantu Ibu yang lain?"
Jawaban: Waktunya bisa berjam-jam, bahkan sampai setengah hari. 
Berati semua Ibu hamil seharusnya wajib operasi sesar untuk menghemat waktu dokter! Setuju? Tidak setuju? Yang penting bisa menghemat waktu, betul?
Emang ada masalah apa kalau GURU diwajibkan memeriksa essay murid? Bukannya itu bagian dari tugasnya? Tetapi sudah ada sebuah solusi: kalau ada orang yang tidak ingin diberatkan menghabiskan beberapa jam untuk memeriksa ujian murid, jangan menjadi guru! Menjadi dokter kandungan saja (mereka tidak pernah sibuk atau dibebankan oleh pekerjaannya). Dan silahkan coba memberikan argumentasi di atas (wajib operasi sesar) kepada setiap ibu hamil, dengan alasan waktu dokter harus dihemat. 

Kesimpulan
Alangkah baiknya kalau pemerintah cukup peduli untuk melatihkan kembali semua guru di seluruh tanah air. Alangkah baiknya kalau guru itu sendiri menginginkan dan memintanya demi masa depan muridnya. Alangkah baiknya kalau semua orang tua memeriksa sendiri hasil ujian anaknya, dan mencari jawaban yang disalahkan oleh guru. Berfikir sendiri apakah wajar kalau jawaban “Pembantu” disalahkan dan hanya “Ibu” yang boleh benar? Kalau melihat ada beberapa jawaban anak anda yang benar, tetapi disalahkan, coba telfon sekolah dan bicara kepada guru atau kepada kepala sekolah (dengan sikap dan suara yang baik dan sopan, tentu saja). Mengajukan protes atas nama anak. Kalau cukup banyak orang tua menuntut hak untuk anaknya (hak bahwa jawaban yang benar harus diterima dan dibenarkan), Insya Allah setiap guru dan sekolah yang kurang baik akan berusaha untuk menjadi lebih baik.
Selama guru belum minta tolong, dan pemerintah belum peduli, semuanya kembali ke peran orang tua (pemilih Presiden). Anda punya hak, dan anak anda juga punya hak. Guru sekolah itu bukan musuh, tetapi guru yang kurang bijaksana perlu dilawan atau diperbaiki. Kalau dokter salah melakukan pengobatan, anda pasti lebih bersedia untuk menuntut hak anda sebagai pasien untuk mendapatkan pengobatan yang semestinya. Kenapa tidak mau menuntut hak bagi anak anda dan membela anak anda yang benar?

Silahkan baca juga:



Wassalam,
Gene

2 comments:

  1. Ass.Wr.Wb, menarik sekali isi tulisan bpk gene, saya jadi ingat dengan ibu saya yang begitu merdeka dalam mendidik saya dan adik-adik. Tidak ada kata benar atau salah dalam kamusnya, yang ada hanya kami harus terus membaca dan belajar mengenai semua ilmu. Ibu saya juga sering memprotes guru bila melihat jawaban benar tapi dinilai salah, sayangnya ia jadi dibenci karenanya. Pak gene benar! Problem pendidikan di indonesia terjadi karena saat ini guru memandang murid sebagai obyek dan bukan subyek. Semoga bapak menjadi guru yang akan selalu dicintai oleh murid.

    ReplyDelete
  2. Wah, Ibunya Rosaline baik banget deh. Kenapa orang tua yang lain tidak begitu semangat untuk membela anaknya? Saya sudah mulai memuat tulisan tentang proses dan hasil dalam pendidikan, tetapi belum selesai karena terlalu sibuk menulis buku. Insya Allah saya cari waktu untuk segera menyelesaikannya dan post di blog buat para orang tua.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...