Sabtu, 20 Agustus 2011 06:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam
Sudah menjadi hal yang wajar jika sebagian kita memperoleh
parcel dari saudara muslim lainnya saat Idul Fithri atau lebaran. Karena hal
ini adalah bentuk saling memberi hadiah yang semakin memupuk rasa kasih
terhadap sesama. Namun ada satu catatan penting yang perlu diperhatikan dan
menjadi masalah jika parcel tersebut diberikan pada pejabat. Lebih jelasnya
simak bahasan sederhana berikut.
Hadiah Bisa Memupuk Rasa Kasih dan Sayang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu
akan membuat kalian saling mencintai." (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al
Kubro 6/169, hasan)
Saling memberi hadiah merupakan salah satu faktor yang
menumbuhkan rasa saling mencintai di antara kaum muslimin. Oleh karena itu,
seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya'ir:
Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain
bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka.
Hadiah Bisa Berubah Jadi Bencana
Hadiah tidak selamanya halal seperti di atas. Hadiah bisa
menjadi haram karena ada maksud tertentu, ada udang di balik batu. Itulah
hadiah yang diserahkan pada pejabat atau para hakim. Mereka bisa mendapati
hadiah karena jabatannya. Seandainya mereka adalah rakyat jelata seperti kami,
tentu mereka tidak mendapatkan parcel yang istimewa. Hadiah semacam parcel
tersebut pernah terjadi pada seorang yang dipekerjakan Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam untuk mengurus zakat. Lantas ia mendapati hadiah karena pekerjaannya
tersebut. Namun di akhir cerita, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam malah
mencela dirinya. Berikut kisahnya:
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar 'Urwah telah
mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa'idi mengatakan, Pernah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang
namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil
mengatakan, "Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku." Secara spontan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan
dengan redaksi 'naik minbar-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,
"Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus,
lalu ia datang dengan mengatakan, Ini untukmu dan ini hadiah untukku! Cobalah
ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia
menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan
ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di
lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta.
Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika
yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami
melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, " Ketahuilah, bukankah
telah kusampaikan?" (beliau mengulang-ulanginya tiga kali). (HR. Bukhari
no. 7174 dan Muslim no. 1832)
Kita juga dapat melihat dalam hadits lainnya juga dari Abu
Humaid As Sa'idi, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Hadiah bagi pejabat
(pekerja) adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad 5/424. Syaikh Al Albani
menshohihkan hadits ini sebagaimana disebutkan dalam Irwa’ul Gholil no. 2622)
Para Ulama Menilai Tentang Hadiah bagi Pejabat
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Para ulama tidak
berselisih pendapat mengenai terlarangnya hadiah bagi pejabat." Ibnu Habib
menjelaskan, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya
hadiah yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja (bawahan) dan penarik
pajak.” Demikianlah pendapat Imam Malik dan ulama Ahlus Sunnah sebelumnya.
Dari sini menunjukkan bahwa hadiah yang terlarang tadi tidak
khusus bagi hakim saja, tetapi bagi pejabat dan yang menjadi bawahan pun
demikian.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Adapun
hadits Abu Humaid, maka di sana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelek-jelekkan Ibnul Lutbiyyah yang menerima hadiah yang dihadiahkan
kepadanya. Padahal kala itu dia adalah seorang pekerja saja (ia pun sudah
diberi jatah upah oleh atasannya, pen).” (Fathul Bari, 5/221)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu
Humaid terdapat penjelasan bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah
haram dan ghulul (khianat). Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan
dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas disebutkan
mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh
pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat.
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits
tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah
semacam ini sebenarnya masih karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan
hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Hadiah yang kedua ini adalah hadiah yang
dianjurkan (mustahab). Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan mengenai
hukum pekerja yang diberi semacam ini dengan disebut hadiah. Pekerja tersebut
harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin,
maka diserahkan ke Baitul Mal (kas negara).” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
12/219)
Parcel Pengantar Menuju Suap
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga
menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu
jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang
yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan
(ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi
walaupun dia menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi,
“Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan
menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal
ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah
berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam
hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi
hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan
hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan
hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika
dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang
sudah kita ketahui bersama.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy
Syamilah, 18/232)
Mengapa Parcel Pejabat Dikatakan Khianat?
Hadiah bagi pekerja atau pejabat yang di mana hadiah
tersebut berkaitan dengan pekerjaannya (seandainya ia bukan pejabat, tentu saja
tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini bisa dikatakan khianat,
dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah
disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah
(sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa
hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal
terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin
dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat),
beliau tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah
semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah
suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih
tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai
penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”
Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah semacam parcel bagi
pejabat dan uang tips bagi karyawan yang kaitannya dengan pekerjaannya, itu
dikatakan khianat. Jelas sekali bahwa uang tips atau hadiah semacam tadi
diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan dia sebagai pejabat, karyawan atau
pekerja. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak diberikan hadiah semacam
itu. Seandainya ia hanya duduk-duduk di rumahnya, bukan sebagai pekerja atau
pejabat, tentu ia tidak mendapatkan bingkisan istimewa seperti parsel dan uang
tips tadi. Inilah yang namanya khianat, karena ia telah mengkhianati atasannya.
Inilah jalan menuju suap yang sesungguhnya. Inilah suap terselubung. Orang yang
memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup kemungkinan ia punya maksud tertentu.
Barangkali ia berikan hadiah agar jika ingin mengurus apa-apa lewat pejabat
akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC dan sebagainya. Inilah sekali lagi
suap terselubung di balik pemberian bingkisan parcel.
Perincian Tentang Hadiah
1. Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah
hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang
teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima
hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah
yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan
berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi topik utama kita
saat ini adalah hadiah jenis ini.
2. Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal
hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa
karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan
kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun
orang biasa.
3. Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut
terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan
badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun
haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu
hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan
sesuatu yang hukumnya wajib.
Demikian pembahasan ringkas dari kami tentang parcel
pejabat. Pembahasan secara lebih rinci telah dibahas pada artikel "Uang Tips, Uang Khianat"
di www.rumaysho.com.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 19 Ramadhan 1432 H (19/08/2011)
Masya Allah, beratnya jadi pejabat publik, kalau tidak hati-hati maka bisa tergelincir ke dalam kubangan dosa.
ReplyDeleteJadi pejabat publik harus ekstra kuat imannya, harus selalu mohon perlindungan kepada Allah Ta'ala agar tidak kena tipu daya syaiton yang asli dan syaiton dari golongan manusia.
Syukron Gene udah posting tentang topik yg sangat bagus ini.