Assalamu’alaikum wr.wb. Mohon judul di atas itu diperhatikan baik-baik. Berasal dari kalimat dalam beritanya, dan berita seperti ini sangat normal. Seorang santri disodomi di pesantren. Setelah tahu, pesantren tersebut punya satu tujuan: MENJAGA NAMA BAIK PESANTREN! Tidak ada yang lebih utama daripada nama baik lembaga dan ustadz. Anak kecil? Siapa yang perlu peduli? Kalau nama pesantren buruk, dan semua santri kabur, pesantren bisa tutup.
Bagaimana dengan kyainya dan puluhan ustadz dan keluarganya yang dapat nafkah hidup dari pesantren itu? Masa semuanya harus cari tempat kerja dan tempat tinggal juga? Tidak boleh. Pesantren adalah institusi yang sakral, yang nama baiknya sakral, dan nama baik ustadz juga sakral. Yang tidak sakral adalah kehormatan dan harga diri dan keselamatan bagi anak kecil. Mereka tidak penting amat. Kalau 1 santri keluar, karena tidak tahan disodomi, besoknya masih bisa dapat 1 santri baru. Bangkunya akan diisi lagi. Uang tetap mengalir.
Semua orang tua dididik oleh ustadz untuk selalu berbaik sangka, jadi mereka berharap anaknya akan aman di pesantren. Dan memang aman di situ... Sampai tiba-tiba suatu hari menjadi tidak aman. Lalu 100% dari orang tua dan ustadz lain dan semua orang dewasa mengucapkan Mantra Nasional Indonesia: “Kami Tidak Menyangka!” Dan yang terjadi berikutnya adalah usaha keras agar PELAKU dilindungi sebaik mungkin, dan kasus diselesaikan secara damai dan kekeluargaan, dan pelaku dibebaskan untuk pergi ke tempat lain dan sodomi atau perkosa anak kecil di sana saja. Yang penting tidak terulang di sini saja ya. Anak yang hidup di tempat lain, cuek saja. Bukan santri saya jadi bukan urusan saya.
Negara ini penuh dengan puluhan juta orang tua Muslim yang memilih untuk berbaik sangka dan tidak mau tahu tentang masalah pencabulan terhadap anak di pesantren dan sekolah. Yang penting bukan anak mereka yang menjadi korban. Tetapi mereka tidak sadar: BANYAK SEKALI KORBAN TIDAK PERNAH MENGAKU. Jadi orang tua yang anggap anaknya “pasti aman” dengan buktinya “anak saya tidak pernah mengaku” sangat keliru. Mungkin sebagian besar dari anak mereka memang aman. Tetapi hanya Allah SWT yang tahu jumlah anak yang dicabuli sebenarnya, karena semua lembaga yang seharusnya peduli malah sibuk menjaga nama baik.
Hal yang persis sama telah terjadi dalam Gereja Katolik selama 100 tahun lebih. Dan baru ketahuan sekarang. Dan ketika Perancis (sebagai satu contoh) berusaha mencari semua orang yang pernah menjadi korban, mereka dapat 200 RIBU kasus. Di Indonesia ada berapa? Jangan bertanya. Tidak ada yang mau peduli. Dan tugas terpenting pesantren bukan untuk menjaga anak Muslim secara baik, tetapi malah untuk menjaga nama baik pesantren di atas segala-galanya. Kalau anak anda berada di pesantren, semoga mereka bisa selamat. Berdoa saja. Berharap kepada Allah. Karena percuma berharap kepada pengurus pesantren dan lembaga pemerintah.
Semoga bermanfaat sebagai peringatan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto
Trauma Mendalam Santri Korban Pencabulan Ustaz di Cirebon
"Anak ini sekarang nggak mau ketemu orang lain, mentalnya sudah kena. Dia juga nggak mau jauh dari orang tuanya. Karena tekanan ini, keluarga korban akhirnya memutuskan untuk pindah rumah sementara supaya tidak terus-menerus diganggu pihak pesantren yang meminta jalan damai," ujar Andi. "Dua korban lain juga mengalami pelecehan. Ketiganya disodomi, termasuk korban perempuan. Pelaku ini benar-benar sadis," ujarnya.
https://www.detik.com
Search This Blog
Labels
28 February, 2025
Keluarga Korban Pencabulan Ustaz Di Cirebon Pindah Rumah Karena Diganggu Pihak Pesantren Yang Meminta Jalan Damai Terus
02 February, 2025
Banyak Anak Punya Akhlak Yang Rusak, Siapa Yang Bisa Memperbaikinya?
[Komentar]: Sekarang banyak perempuan gak bener live streaming sembari melakukan aksi asusila (hubungan intim) sama pasangannya. Diduga dapat saweran dari aplikasi live streaming. Aplikasi dan teknologi perusak moral SDM bangsa Indonesia. Pemerintah harus putar otak untuk mengatasi hal ini di tengah lapangan kerja sangat terbatas.
[Gene]: Assalamu’alaikum wr.wb. Kemampuan untuk "Mengatasi" suatu masalah harus diawali dengan:
1) Menyadari faktanya ada masalah,
2) Kemampuan berpikir untuk mencari solusi
3) Kemauan untuk mencari solusi
4) Kemampuan bertindak secara aktif
5) Siap beradaptasi apabila solusi pertama tidak berhasil
6) Rencana jangka panjang untuk mencegah masalah itu muncul lagi.
Semua tahap itu belum terlihat di kalangan pejabat dan pemimpin. Kerusakan moral anak bangsa sering dibahas, tetapi semua pihak terkait buru-buru cuci tangan karena tidak ingin disalahkan, jadi juga tidak mau mengaku bertanggung jawab. Orang tua salahkan guru. Guru salahkan orang tua. Guru dan orang tua salahkan masyarakat. Masyarakat salahkan pemerintah. Pemerintah salahkan orang tua dan guru. Guru agama salahkan orang tua dan teknologi. Penjual teknologi salahkan orang tua dan guru. Banyak pihak salahkan negara barat. Anak salahkan orang dewasa. Dan seterusnya. Tidak ada solusi karena tidak ada yang mencari solusi karena tidak ada yang merasa bertanggung jawab.
Coba berpikir. Kapan pernah dibuat mata pelajaran dan mata kuliah “Tata Cara Menjadi Orang Tua Yang Baik”? Kalau mau mengemudi mobil dan motor, ada kewajiban punya SIM. Kalau mau menjadi orang tua, tidak ada kewajiban apapun. Tidak ada pendidikan, pelatihan, pengarahan, panduan, buku teks, ujian, dll. Bebas saja menjadi orang tua dan besarkan anak dengan cara apa saja, termasuk cara yang buruk. Untuk hampir semua hal yang bisa mengganggu masyarakat kalau tidak diatur secara baik, ada proses belajar dan dapat izin. Diatur oleh pemerintah dan lembaga terkait. Demi keselamatan masyarakat. Kenapa tidak ada proses belajar serupa untuk “Menjadi Orang Tua”, walaupun itu salah satu tugas yang paling penting dalam sebuah masyarakat?
Kalau anak dibesarkan tanpa pendidikan, agama, budaya, dan moralitas yang baik, jangan salahkan orang tuanya saja. Bertanya juga, kenapa pemerintah, masyarakat, guru, dan orang tua dari zaman dulu tidak menuntut pendidikan berkualitas bagi semua manusia sebelum menjadi orang tua? Kualitas anak dan masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan sekarang. Kenapa nilai dalam mata pelajaran sekolah dianggap penting, tetapi kemampuan menjadi orang tua berkualitas tidak pernah dipedulikan? Mau memperbaiki akhlaknya anak bangsa? Mulai dengan mendidik anak sekolah sekarang, sehingga mereka sanggup melaksanakan tugasnya sebagai orang tua 10 tahun di depan.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
-Gene Netto