Search This Blog

Labels

alam (8) amal (100) anak (299) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (8) dakwah (87) dhuafa (18) for fun (12) Gene (222) guru (61) hadiths (9) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (52) indonesia (570) islam (557) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (357) kesehatan (97) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (40) muallaf (52) my books (2) orang tua (8) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (503) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (11) pesantren (34) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (60) puasa (38) renungan (179) Sejarah (5) sekolah (79) shalat (9) sosial (321) tanya-jawab (15) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

08 April, 2008

Remember: They Are Liars

Read more of William Rivers Pitt's columns

Remember: They Are Liars

By William Rivers Pitt

t r u t h o u t | Columnist

Tuesday 08 April 2008

“No one is such a liar as the indignant man.”

- Friedrich Nietzsche

George W. Bush, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Condoleezza Rice, along with a slew of administration underlings and a revolving-door cavalcade of brass hats from the Pentagon, have been making claims regarding Iraq for many years now.

They claimed Iraq was in possession of 26,000 liters of anthrax, "enough to kill several million people," according to a page on the White House web site titled Disarm Saddam Hussein.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of 38,000 liters of botulinum toxin.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of 500 tons, which equals 1,000,000 pounds, of sarin, mustard and VX nerve agent.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of nearly 30,000 munitions capable of delivering these agents.

They lied.

They claimed Iraq was in possession of several mobile biological weapons labs.

They lied.

They claimed Iraq was operating an "advanced" nuclear weapons program.

They lied.

They claimed Iraq had been seeking "significant quantities" of uranium from Africa for use in this "advanced" nuclear weapons program.

They lied.

They claimed Iraq attempted to purchase high-strength aluminum tubes "suitable for nuclear weapons."

They lied.

They claimed America needed to invade, overthrow and occupy Iraq in order to remove this menace from our world. "It would take just one vial, one canister, one crate slipped into this country," went the White House line, "to bring a day of horror like none we have ever known."

They lied.

"Simply stated," said Dick Cheney in August of 2002, "there is no doubt that Saddam Hussein now has weapons of mass destruction."

Liar.

"Right now," said George W. Bush in September of 2002, "Iraq is expanding and improving facilities that were used for the production of nuclear weapons."

Liar.

"We know for a fact," said White House Press Secretary Ari Fleischer in January of 2003, "that there are weapons there."

Liar.

"We know that Saddam Hussein is determined to keep his weapons of mass destruction," said Colin Powell in February of 2003, "is determined to make more."

Liar.

"We know where they are," said Donald Rumsfeld in March of 2003. "They are in the area around Tikrit and Baghdad, and east, south, west and north somewhat."

Liar.

"The Iraqi people understand what this crisis is about," said Paul Wolfowitz in March of 2003. "Like the people of France in the 1940s, they view us as their hoped-for liberator."

Liar.

"No one ever said that we knew precisely where all of these agents were," said Condoleezza Rice in June of 2003, "where they were stored."

Liar.

"I have absolute confidence that there are weapons of mass destruction inside this country," said Gen. Tommy Franks in April of 2003. "Whether we will turn out, at the end of the day, to find them in one of the 2,000 or 3,000 sites we already know about or whether contact with one of these officials who we may come in contact with will tell us, 'Oh, well, there's actually another site,' and we'll find it there, I'm not sure."

Wrong.

"Before the war," said Gen. Michael Hagee in May of 2003, "there's no doubt in my mind that Saddam Hussein had weapons of mass destruction, biological and chemical. I expected them to be found. I still expect them to be found."

Wrong.

"Given time," said Gen. Richard Myers in May of 2003, "given the number of prisoners now that we're interrogating, I'm confident that we're going to find weapons of mass destruction."

Wrong.

"Do I think we're going to find something? Yeah, I kind of do," said Maj. Gen. Keith Dayton in May of 2003, "because I think there's a lot of information out there."

Wrong.

Gen. David Petraeus, commander of US forces in Iraq, is about to give testimony before the Senate regarding the current state of affairs in that battle-savaged country. He is a political general, one of many America has seen and heard over the last five years, one who would leap nude from the Capitol dome before telling the real truth about matters in Iraq ... or who would speak using words fed to him by liars, and thus be wrong.

Remember: they lie. They all lie, from the top man down to the bottom. If their lips are moving, a lie is unfolding. If they say water is wet, get into the shower to make sure.

They lie.

Period.

End of file.


William Rivers Pitt is a New York Times and internationally bestselling author of two books: "War on Iraq: What Team Bush Doesn't Want You to Know" and "The Greatest Sedition Is Silence." His newest book, "House of Ill Repute: Reflections on War, Lies, and America's Ravaged Reputation," is now available from PoliPointPress.

Source: Truthout

MUI: Roti Bread Talk Tidak Dijamin Halal


MUI “Angkat Tangan” Kehalalan

Selasa, 08 April 2008

Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat-tangan terhadap kehalalan produk roti BreadTalk. BreadTalk dianggap mengabaikan peringatan MUI

Hidayatullah.com--Kehalalan roti BreadTalk kembali dipertanyakan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lagi bertanggung jawab atas kehalalan roti produksi PT Talkindo Selaksa Anugerah itu.

"Kami sampaikan kepada masyarakat, kami tidak bisa menjamin masyarakat lagi mengenai kehalalan roti BreadTalk," ujar Kepala Bidang Sertifikasi Halal LPPOM MUI Muti Arintawati.

Muti, sebagaimana disampaikan okezone, Selasa (8/4) mengatakan, manajemen produsen roti milik pengusaha Johnny Andrean itu tidak memiliki itikad baik untuk memperpanjang sertifikat kehahalan BreadTalk. Sertifikat kehalalan dari MUI yang dimiliki BreadTalk sudah kadaluarsa sejak September 2007 lalu.

"Karena sertifikat itu hanya berlaku dua tahun. Kami sudah sampaikan beberapa kali surat peringatan tapi tidak direspons. Jadi kami tegaskan lagi kepada masyarakat Muslim bahwa MUI tidak lagi bertanggung jawab dengan kehalalan BreadTalk," tandasnya.

BreadTalk didirikan pada tahun 6 Maret 2003 oleh George Quek, seorang wirausahawan yang sebelumnya memulai jaringan food court yang sukses di Singapura, Food Junction. Konsepnya berbeda dibandingkan dengan toko-toko roti lainnya pada umumnya, dengan memerhatikan penampilan toko yang dirancang agar terlihat eksklusif serta memperlihatkan dapur pembuatan roti kepada para pengunjungnya melalui kaca transparan.

Tahun 2005, MUI pernah mengumumkan BreadTalk, Hoka Hoka Bento, dan Bir Bintang sebagai makanan dengan kategori subhat. “BreadTalk dan Hoka Hoka Bento dinyatakan syubhat (meragukan) dan Bir Bintang 0 persen alkohol dinyatakan haram,” demikian ujar Sekretaris Umum MUI, Dien Syamsudin, saat jumpa pers kala itu. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Sumber:

Hidayatullah.com

Okezone.com

******************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Pertanyaan saya: Apakah ini merupakan sebuah trik bisnis baru (atau lama)?

Langkah pertama, dapatkan sertifikasi halal.

Langkah kedua, biarkan sertifikat itu kadaluarsa. Abaikan semua surat peringatan dari MUI.

Langkah ketiga, teruskan bisnis seperti biasa. Mungkin banyak orang tidak akan dengar berita tersebut, kecuali masuk tivi dan halaman depan semua koran.

Dan kalau tidak, banyak konsumen akan makan seperti biasa. (Sampai sekarang saya masih sering melihat ibu-ibu yang memakai jilbab yang makan di Hoka-Hoka Bento, jadi mereka pasti belum mendengar berita bahwa Hokben itu syubhat (diragukan), yang berati juga ada kemungkinan bahwa makanan itu haram.)

Dengan tindakan ini, semua perusahan bisa mendapatkan seritfikat halal untuk awal operasi bisnisnya saja sehingga lebih laku, lalu berasumsi bahwa masyarakat secara luas tidak akan tahu kalau sertifikat sudah kadaluarsa. Dan sesudahnya, kecuali ekspose secara besar-besaran di media massa, banyak orang biasa tidak akan pernah tahu bahwa status halalnya telah berubah, dan kalau sekedar mendengar “isu” dari teman, mungkin tidak percaya dan makan terus. Mereka akan berasumsi bahwa berita tersebut dari teman hanya sebatas isu saja, atau gejala persaingan bisnis.

Terima kasih kepada LPPOM MUI atas penjagaannya.

Mari kita semua memboikot Breadtalk supaya mereka tahu bahwa ummat Islam tidak suka dipermainkan oleh pengusaha yang siap mengabaikan kebutuhan keagamaan kita, padahal kita sudah terbukti menjadi konsumen yang baik hati dan setia pada bisnis mereka.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

05 April, 2008

Sesame Street / Jalan Sesame


(Jalan Sesama bisa disaksikan di Trans 7, jam 13.30, setiap hari.)

Komentar dari teman di milis sd-islam:

Gene, siang ini saya juga menonton Jalam Sesama dengan dua anak saya. Ini adalah pengalaman menonton tv yang paling menyenangkan setelah bertahun-tahun. Seminggu yang lalu saya juga sempat menonton, dan..... saya melihat Cookie Monster [= tokoh favorit Gene]! Wah penampilannya sama kerennya, begitu juga lucunya. Cookie Monster berbahasa Indonesia sama lucu dan menyenangkan.

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ya Bu,

Dari pengalaman saya di Australia, bukan anak saja yang nonton Sesame Street (SS), tapi orang dewasa suka nonton juga.

Aku dulu sangat sangat senang dengan Cookie Monster dan Mr Snuffelafagus (teman Big Bird yang mirip mammoth/gajah berbulu). Dan saya masih ingat sampai sekarang ketika awalnya Mr Snuffelafagus muncul sebagai teman Big Bird, dan setiap kali Big Bird panggil orang lain untuk bertemu dengannya, Mr S sudah menghilang, sehingga orang lain tidak percaya pada Big Bird.

25 tahun kemudian, masih bisa diingat. Apakah 25 tahun di depan, orang dewasa di Indonesia akan mengingat suatu adegan dari acara2 anak yang mereka tonton sekarang?

Teman2 saya juga seperti itu. Sampai saat kuliah, kami bisa kumpul di kantin dan diskusi seru tentang tokoh-tokoh SS dan bahas kehebatan masing2, sampai menjadi berdebat pula! (“Cookie Monster lebih lucu daripada Ernie”).

Di Austalia, ada piagam khusus untuk “children’s television”, ada dana dari pemerintah untuk PH yang ingin membuat film/sinetron/kartun anak, dan ada saingan besar antara stasiun televisi untuk menciptakan acara anak yang berkualitas.

Apakah sudah tahu “Wiggles” dari Australia? Ada VCDnya di sini. http://www.thewiggles.com.au/au/home/

Mereka berempat sekedar bernyanyi, berdrama, dll. Dan mereka berempat sudah menjadi tokoh masyarakat, sudah menjadi sangat kaya, dan juga sangat bahagia “masuk kantor” setiap hari. Anak2 kecil dan ibunya pun sangat senang nonton setiap hari.

Yang saya nantikan di sini adalah PH dan stasiun televisi yang menyadari betapa besar keuntungan dari program yang baik seperti ini, dan sekaligus sangat baik buat anak, dan juga masyarakat.

Benar2 menjadi win-win solution.

Tetapi sekarang, semuanya pada sibuk bikin sinetron murahan (yang penuh dengan adegan ribut antara anak dan orang tua, anak dan guru, anak dan pembantu, anak dan anak lain, penculikan, penghinaan, perampokan, dan seterusnya), juga bikin reality show yang belum tentu pantas untuk anak, pesta nanyi, pesta musik, dll., tanpa peduli pada dampaknya terhadap anak, tanpa ada niat mendidik sama sekali.

Profit saja yang dikejar.

Tetapi pengalaman di luar negeri membuktikan bahwa program yang berkualitas justru menghasilkan profit yang jauh lebih besar lagi, karena anak bukan sekedar nonton sesaat, tetapi apa yang mereka tonton menjadi bagian dari kehidupannya (seperti yang saya dan teman2 rasakan tentang SS).

Sampai sekarang, Sesame Street masih main di AS, dan kalau tidak salah, telah menjadi acara televisi anak yang ditayangkan paling lama dalam sejarah.

Indonesia, dengan biaya yang minim bisa membuat yang setara. Kalau ada yang berminat. Kapan PH dan stasiun televisi akan berminat? Demi anak, demi masyarakat, demi masa depan bangsa, dan Insya Allah, profit yang dibutuhkan akan terwujud juga dan malah lebih besar dari sekarang.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

(Jalan Sesama bisa disaksikan di Trans 7, jam 13.30, setiap hari.)

Pernikahan dengan sepupu (2)


(Komentar dari teman di milis) :

Gene, ini sudah mulai ada data (dari dua pasangan suami-isteri) tetang hasil pernikahan sepupu:

1. 5 anak: 3 normal, 2 terbelakang

2. 4 anak: 3 normal, 1 terbelakang

Mungkin kalau ini diteruskan, apa data yang terkumpul bisa dijadikan kesimpulan?

Agung W

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Mas Agung,

Riset seperti ini harus dilakukan oleh dokter, atau ahli genetik.

Seperti saya bilang sebelumnya, ada juga banyak orang di sini yang menikah dengan sepupunya, dan anaknya kelihatan sehat dan “normal” secara mental dan fisik.

Barangkali masalah bisa timbul dengan anak dari pasangan sepupu bila secara keturunan ada gen yang bermasalah, dan kalau diganda di dalam tubuh anak (dan bapak dan juga dari ibu), baru bisa menimbulkan penyakit. Tetapi kalau anak hanya kena setengah dari gen tersebut dari bapaknya atau dari ibunya, maka penyakit itu belum tentu akan muncul.

Kalau sudah ketahuan ada gen yang bermasalah, misalnya suatu bentuk kanker yang didapat dari orang tua, dan memang ada sejarahnya di dalam keluarga, sebaiknya calon suami dan isteri itu periksa ke dokter untuk tanya berapa besar kemungkinan anak mereka bisa kena penyakit. Setelah itu, kalau dokter bilang risiko besar sekali, maka pasangan itu bisa berfikir 2 kali apakah mau menikah atau tidak.

Kita harus ingat bahwa ilmu kedokteran juga dari Allah. Dan pernikahan antara sepupu hanya diperbolehkan, bukan dianjurkan. Memiliki budak juga halal di dalam Islam, tetapi ternyata, kita sudah tinggalkan walaupun Allah izinkan. Mungkin diperlukan suatu gerakan dari para dokter untuk mengajurkan agar orang berfikir dua kali dan periksa darah atau konsultasi dengan dokter sebelum menjalankan hubungan serius dengan sepupunya. Kalau hal ini disosialisasikan, nanti orang tua yang bijaksana bisa memberikan anjuran kepada anaknya untuk berhati-hati.

Saya bukannya mau melihat pernikahan tersebut dilarang, karena Allah memang menghalalkan, tetapi saya rasa banyak sekali orang tidak sadar atas risikonya. Mereka baru sadar setelah sudah terlanjur menikah dan anaknya kena penyakit teretentu, kemudian dokter menjelaskan. Bagaimana dengan anak berikutnya?

Jadi, lebih bijaksana kalau kita minta para dokter/pemerintah melakukan analisa terhadap perkara ini dan mengumpulkan data aktual karena sepertinya ini menjadi masalah yang lebih besar di sini ketimbang di lain negara. (Dari semua kenalan saya dari manca negara, setahu saya tidak ada satupun yang menikah dengan sepupnya, dan anak dari mereka yang kena penyakit serius bukannya tidak ada, tetapi sangat jarang sekali).

Jadi, kita perlu informasi.

Dan informasi itu harus ilmiah, harus dari dokter dan ahli biologi.

Dan setelah itu, perlu diinformasikan kepada rakyat dengan dukungan dari pada ahli agama setelah mereka juga diajarkan tentang risiko dari pernikahan tersebut.

Di Indonesia, karena masih merupakan negara berkembang, seorang anak yang lahir dalam keadaan sakit keras atau cacat bisa dijamin punya masa depan yang kruang cerah. Di negara barat ada macam2 bantuan dari pemerintah seperti dana khusus buat anak, subsudi, pengobatan gratis, sekolah khusus, terapi gratis, rumah penginapan khusus (untuk orang dewasa yang cacat mental), dan seterusnya.

Di sini?

Jadi, kalau ada cara untuk mengurangi jumlah anak yang bermasalah dengan mengajarkan masyarakat tentang risiko pernikahan antar sepupu, maka saya rasa itu harus dilakukan.

Allah sudah menyediakan ilmu kedokterannya. Kita yang harus bijaksana dalam aplikasinya.

Di milis lain, saya baca komentar ini:

Di Indonesia juga ada di satu desa ( saya lupa nama desanya dan pernah ditayangkan dalam pemberitaan media ) yang mayoritas anak-anak yang lahir mengalami cacat fisik dan cacat mental. Setelah diteliti ternyata salah satu penyebabnya adalah pernikahan antarkerabat yang masih dekat, selain masalah gizi tentunya. Namun faktor kekerabatan itu yang menjadi faktor dominan.

Dalam Islam memang tidak ada pelarangan pernikahan dengan kerabat dekat selama memang sesuai dengan ketentuan syar'i, namun anjuran dalam Islam pun jelas bahwa pernikahan itu salah satunya adalah untuk memperbesar persaudaraan, sehingga pernikahaan dengan pihak diluar kerabat sangat dianjurkan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene



03 April, 2008

Jangan tinggalkan anak sendirian di mobil. Kapanpun.


(Berita di bawah ini dipadukan dan diringkas dari tiga artikel di Detik.com, hari Kamis 3/4/2008)

Jakarta - Pencurian mobil Toyota Avanza B 1056 JM saat dipanaskan di depan rumah, menunjukkan para pencuri mobil semakin nekat. Polda Metro Jaya mengeluarkan imbauan agar masyarakat lebih berhati-hati.

"Para pemilik kendaraan bermotor diimbau untuk lebih berhati-hati dan waspada pada saat kendaraan sedang dipanaskan," demikian himbauan dalam situs TMC Polda Metro Jaya, Kamis (3/4/2008).

Ritual warga sebelum berangkat kerja adalah memanaskan mobil dengan pintu pagar terbuka, sambil bolak-balik memasukkan barang dan dokumen yang akan dibawa ke kantor. Tidak ada yang menduga kesibukan di pagi hari itu merupakan titik lemah yang dimanfaatkan mereka yang berniat jahat.

Peristiwa yang dialami pasangan Adi Harahap dan Novi Nike pagi hari ini bisa menjadi pelajaran. Adi dan Novi tidak menduga ada pencuri yang nekat menggasak mobil mereka pukul 06.00 WIB pagi itu di depan rumah mereka di Tebet Timur, Jakarta Selatan.

Padahal kedua anak mereka yang manis, Salma (7) dan Razwa (5), sudah ada di dalam mobil untuk diantarkan ke sekolah. Adi dan Novi segera melapor ke Polsek Metro Tebet. Polisi bergerak cepat dengan menyebarkan informasi ke jajaran Polda Metro Jaya dan radio-radio.

Kata Polisi, "Diduga penjahat sudah profesional. Kita sudah tahu identitas dan ciri-ciri pelaku," ujar Kanit Serse Polsek Tebet Iptu Nurdin A Rahman di Polsek Tebet, Jl Prof DR Sahardjo, Jakarta, Kamis (3/4/2008).

Selama terbawa perampok, kedua anak itu berteriak minta tolong. Perampok kemudian menurunkan kedua bocah itu di Tol Pondok Jaya Bekasi. Mereka mencegat taksi Jakarta City yang dikemudikan Ediman (39). Dengan taksi itulah kedua bocah itu bertemu kembali orangtuanya. ( ziz / nvt )

Jakarta - Ada baiknya anak-anak menghapal nomor ponsel kedua orangtuanya. Salma (7) dan Razwa (5) cepat kembali ke pangkuan orangtuanya karena mereka menghapal nomor ponsel sang ayah, Adi Harahap.

Kedua bocah lucu tersebut berkumpul kembali dengan keluarganya setelah sopir taksi Jakarta City Ediman (39) mengembalikan anak Novi Nike-Adi Harahap itu.

Taksi Edi diberhentikan secara tiba-tiba oleh perampok di pintu keluar Tol Pondok Jaya Bekasi. Perampok lalu menyerahkan Salma (7) dan Razwa (5), yang terbawa dalam mobil Avanza hitam yang dirampoknya dari Novi Nike di depan rumahnya di Jl Tebet Timur, Jakarta Selatan.

"Saya diberhentikan oleh mobil Avanza. Terus diserahi 2 anak kecil itu," ujar Ediman kepada detikcom di Polsek Tebet, Jl Prof DR Sahardjo, Jakarta, Kamis (3/4/2008).

Edi mengatakan, saat diserahkan pelaku, kedua anak itu tidak menangis sama sekali. Edi pun mengira, pelaku adalah penumpang biasa yang hendak naik taksinya. Namun setelah menyerahkan kedua anak itu, pelaku langsung pergi.

"Saya kira penumpang yang mau nganterin anaknya. Tetapi kok kabur. Ketika saya baru jalan sekitar 10 menit, kedua anak itu menangis dan teriak-teriak minta pulang," katanya.

Setelah itu, lanjut Edi, Salma mengatakan kepada dirinya kalau tidak mengenal pelaku dan minta dipulangkan ke rumah orang tuanya di Tebet.

"Saya bingung kok tiba-tiba menangis. Akhirnya saya tanya di mana rumahnya dan HP bapaknya. Terus saya hubungi papa anak itu, janjian ketemuan di Halim," tandasnya. ( ziz / nrl )

Sumber: Detik.com satu , dua , tiga

25 WAYS TO TALK SO YOUR CHILDREN WILL LISTEN


A major part of discipline is learning how to talk with children. The way you talk to your child teaches him how to talk to others. Here are some talking tips we have learned with our children:

1. Connect before you direct

Before giving your child directions, squat to your child's eye level and engage your child in eye-to-eye contact to get his attention. Teach him how to focus: "Mary, I need your eyes." "Billy, I need your ears." Offer the same body language when listening to the child. Be sure not to make your eye contact so intense that your child perceives it as controlling rather than connecting.

2. Address the child

Open your request with the child's name, "Lauren, will you please..."

3. Stay brief

We use the one-sentence rule: Put the main directive in the opening sentence. The longer you ramble, the more likely your child is to become parent-deaf. Too much talking is a very common mistake when dialoging about an issue. It gives the child the feeling that you're not quite sure what it is you want to say. If she can keep you talking she can get you sidetracked.

4. Stay simple

Use short sentences with one-syllable words. Listen to how kids communicate with each other and take note. When your child shows that glazed, disinterested look, you are no longer being understood.

5. Ask your child to repeat the request back to you

If he can't, it's too long or too complicated.

6. Make an offer the child can't refuse

You can reason with a two or three-year-old, especially to avoid power struggles. "Get dressed so you can go outside and play." Offer a reason for your request that is to the child's advantage, and one that is difficult to refuse. This gives her a reason to move out of her power position and do what you want her to do.

7. Be positive

Instead of "no running," try: "Inside we walk, outside you may run."

8. Begin your directives with "I want."

Instead of "Get down," say "I want you to get down." Instead of "Let Becky have a turn," say "I want you to let Becky have a turn now." This works well with children who want to please but don't like being ordered. By saying "I want," you give a reason for compliance rather than just an order.

9. "When...then."

"When you get your teeth brushed, then we'll begin the story." "When your work is finished, then you can watch TV." "When," which implies that you expect obedience, works better than "if," which suggests that the child has a choice when you don't mean to give him one.

10. Legs first, mouth second

Instead of hollering, "Turn off the TV, it's time for dinner!" walk into the room where your child is watching TV, join in with your child's interests for a few minutes, and then, during a commercial break, have your child turn off the TV. Going to your child conveys you're serious about your request; otherwise children interpret this as a mere preference.

11. Give choices

"Do you want to put your pajamas on or brush your teeth first?" "Red shirt or blue one?"

12. Speak developmentally correctly

The younger the child, the shorter and simpler your directives should be. Consider your child's level of understanding. For example, a common error parents make is asking a three-year- old, "Why did you do that?" Most adults can't always answer that question about their behavior. Try instead, "Let's talk about what you did."

13. Speak socially correctly

Even a two-year-old can learn "please." Expect your child to be polite. Children shouldn't feel manners are optional. Speak to your children the way you want them to speak to you.

14. Speak psychologically correctly

Threats and judgmental openers are likely to put the child on the defensive. "You" messages make a child clam up. "I" messages are non-accusing. Instead of "You'd better do this..." or "You must...," try "I would like...." or "I am so pleased when you..." Instead of "You need to clear the table," say "I need you to clear the table." Don't ask a leading question when a negative answer is not an option. "Will you please pick up your coat?" Just say, "Pick up your coat, please."

15. Write it

Reminders can evolve into nagging so easily, especially for preteens who feel being told things puts them in the slave category. Without saying a word you can communicate anything you need said. Talk with a pad and pencil. Leave humorous notes for your child. Then sit back and watch it happen.

16. Talk the child down

The louder your child yells, the softer you respond. Let your child ventilate while you interject timely comments: "I understand" or "Can I help?" Sometimes just having a caring listener available will wind down the tantrum. If you come in at his level, you have two tantrums to deal with. Be the adult for him.

17. Settle the listener

Before giving your directive, restore emotional equilibrium, otherwise you are wasting your time. Nothing sinks in when a child is an emotional wreck.

18. Replay your message

Toddlers need to be told a thousand times. Children under two have difficulty internalizing your directives. Most three- year-olds begin to internalize directives so that what you ask begins to sink in. Do less and less repeating as your child gets older. Preteens regard repetition as nagging.

19. Let your child complete the thought

Instead of "Don't leave your mess piled up," try: "Matthew, think of where you want to store your soccer stuff." Letting the child fill in the blanks is more likely to create a lasting lesson.

20. Use rhyme rules.

"If you hit, you must sit." Get your child to repeat them.

21. Give likable alternatives

You can't go by yourself to the park; but you can play in the neighbor's yard.

22. Give advance notice

"We are leaving soon. Say bye-bye to the toys, bye-bye to the girls…"

23. Open up a closed child

Carefully chosen phrases open up closed little minds and mouths. Stick to topics that you know your child gets excited about. Ask questions that require more than a yes or no. Stick to specifics. Instead of "Did you have a good day at school today?" try "What is the most fun thing you did today?"

24. Use "When you…I feel…because…"

When you run away from mommy in the store I feel worried because you might get lost.

25. Close the discussion

If a matter is really closed to discussion, say so. "I'm not changing my mind about this. Sorry." You'll save wear and tear on both you and your child. Reserve your "I mean business" tone of voice for when you do.

Source: AskDrSears.com

Masalah sekolah swasta


Mohon dipahami bahwa saya tidak menulis artikel ini dengan niat “menyerang” sekolah swasta. Niat saya sebatas memberikan tambahan wawasan kepada para orang tua supaya mereka lebih waspada terhadap sekolah anaknya. Saya juga yakin ada sebagian sekolah swasta yang baik, yang tidak seperti yang digambarkan di bawah. Tetapi ada pula yang kurang baik. Jangan sampai ada anak yang komplain kepada orang tua tentang masalah di sekolah dan orang tua tidak percaya karena menganggap sekolah swasta yang mahal itu pasti “bagus”.

Saya mendapat email ini dari seorang teman. Katanya masuk Koran Tempo kemarin. Saya tidak tahu kalau isinya benar atau salah, tetapi saya memberikan tanggapan pribadi di bawah. Semoga bermanfaat untuk renungan saja. Nama sekolah yang dibahas sudah saya hapus dengan sengaja. Gene.

*********************

Perlakuan salah sekolah

Rabu, 02 April 2008

Opini

Saya merasa sangat kecewa atas perlakuan yang terjadi pada putri saya dan merasa tertipu telah memasukkan anak saya di Sekolah Dasar Islam [nama sekolah dihapus] di [Jakarta Selatan-Tangerang]. Anak saya yang baru kelas I SD ini telah mengalami depresi dan tekanan yang cukup berat akibat intimidasi oleh guru kelasnya sendiri, tanpa berani menceritakannya kepada kami orang tuanya. Untungnya, kami sebagai orang tua akhirnya mendeteksi ada hal yang tidak wajar yang terjadi pada putri kecil kami dengan memperhatikannya sering terbangun dan menangis sendiri di malam hari. Juga, bila ia mewarnai gambar, ia hanya menggunakan warna hitam untuk keseluruhan gambar tersebut.

Tekanan yang diterimanya dimulai dari larangan ke toilet untuk buang air kecil, sehingga anak kami menjadi takut untuk minum air, dan urinenya sempat menjadi sangat keruh dan suhu tubuhnya selalu tinggi. Lalu, setiap akan pulang ke rumah, dia selalu diberi giliran yang paling belakang, padahal ia telah menyelesaikan tugas lebih dulu dari teman-temannya.

Belum terhitung kecaman yang kerap diterimanya tanpa alasan yang kuat, termasuk dipermalukan di hadapan teman-temannya hanya karena tidak ingat salah satu ayat dari hafalan surat pendek (Juz Amma).

Setelah kami mengetahui perlakuan yang diterimanya tersebut, kami mencoba beberapa kali mengkomunikasikan hal ini dengan guru kelasnya. Namun, kami tidak digubris, malahan anak kami diberi hukuman-hukuman karena mengadu. Kami mulai mencoba menjelaskannya ke kepala sekolah. Sayangnya, cerita kami kurang dipercayai, karena guru kelas tersebut terhitung orang lama di sekolah tersebut.

Dari itu semua, yang paling membuat hancur hati saya sebagai orang tua ialah, setelah kami membawa masalah ini ke kepala sekolah, putri kami yang masih kelas I SD tersebut malah dituduh mencuri uang teman-temannya dan dihakimi tanpa menginformasikan kepada kami sebagai orang tuanya terlebih dulu. Putri saya telah dua kali diinterogasi di ruang UKS oleh guru tersebut dengan menghadirkan temannya satu per satu layaknya seorang penjahat besar saja. Saya mungkin tidak akan sekecewa ini andai saja putri kami tersebut sudah berada di kelas III atau IV SD, dan tidak lagi takut untuk pergi ke sekolah yang masih agak asing baginya tersebut.

Saya sungguh heran, di sekolah yang mendidik anak usia sekolah dasar, penghukuman dan ancaman dianggap sebagai pendisiplinan. Sementara itu, mempermalukan seorang anak kecil di depan teman-temannya dianggap sebagai tindakan yang memotivasi agar lebih giat belajar. Saat ini saya benar-benar merasa putus asa karena putri saya sedang belajar di pertengahan tahun akademis sehingga tidak mungkin untuk pindah ke sekolah lain, atau ia akan ketinggalan satu tahun dari teman-teman seusianya. Sementara itu, tekanan dari guru kelasnya tersebut belum juga berakhir hingga saat ini.

Bila ada di antara pembaca yang dapat memberikan solusi kepada kami, kami akan sangat berterima kasih.

D.H. Widayatmoko

*********************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ada teman yang bilang dia meragukan isi surat ini. Mohon maaf, saya malah percaya dengan berita seperti ini. Saya dulu kerja di dua sekolah swasta di DKI, yang pertama selama 7 bulan, dan yang kedua selama 3 bulan. (Dengan sengaja saya tidak menyebutkan nama sekolah2 tersebut).

Dari apa yang saya saksikan sendiri dan banyak sekali cerita yang saya dengar dari teman2 di sekolah2 swasta yang lain, cerita seperti ini bukan hal yang asing lagi. Dan juga karena pengalaman itu, saya sekarang tidak bersedia untuk kerja lagi di sekolah swasta di Jakarta.

Sudah ada ratusan orang tua yang bermohon kepada saya lewat email dan secara langsung dengan minta saya menyebutkan nama sekolah yang paling berkualitas supaya mereka bisa pindahkan anaknya ke sana. Saya tidak bisa memberikan referensi karena belum berani menjamin sekolah mana pun (dari sekolah yang saya tahu, atau yang pernah diceritakan kepada saya.)

Dulu saya pernah terima surat yang setara dengan yang di atas (lewat email), yang juga diterbitkan di Kompas, dari orang tua yang anaknya masuk sebuah sekolah swasta di Jakarta Timur. Saya tempatkan di blog dengan niat informasikan orang tua yang lain. Lewat beberapa hari, saya dihubungi sekolah tersebut, dan diancam dengan tindakan hukum bila surat itu tidak dihilangkan dari blog. (Saya tidak menambahkan atau mengurangi isinya dari si penulis, seorang ibu yang merasa kecewa dan ditipu).

Yang membuat saya heran, sekolah itu sama sekali tidak peduli untuk menjawab atau menyangkal komplain dari orang tua itu dan hanya sebatas mengancam saya. Kesannya, yang terpenting adalah jangan sampai banyak orang tua tahu tentang masalah ini. Jangan sampai surat itu yang menjelekkan nama sekolah bisa disebarkan secara luas di internet.

Jadi, kalau ada orang yang mau menulis surat seperti ini tentang sekolah manapun, saya malah anggap Ibu itu sangat berani, karena sekolah swasta cenderung menjaga bisnisnya (citra buruk = bisnis bisa turun) daripada menjawab surat itu, lalu mohon maaf bila memang bersalah, dan berusaha untuk memperbaiki sekolahnya.

Kesannya: pengritik terhadap sekolah = musuh sekolah; kesalahan dan kekurangan sekolah = rahasia bisnis yang tidak boleh dibocorkan.

(Ada cerita tentang sekolah swasta di mana hampir seluruh anak di sekolah itu gagal dalam ujian internal, dan hasilnya dirahasiakan biar orang tua tidak tahu. Coba berfikir, kalau ada sekolah yang menjual “produk” seperti “program bilingual” karena orang tua sangat ingin “beli”, lalu karena program tersebut kurang bagus, hampir semua anak gagal dalam tes bahasa. Apakah pihak sekolah ingin memberitahu orang tua atau tidak? Berfikir seperti pengusaha yang mengejar profit, dan jawab sendiri.)

Selama saya kerja di sebuah sekolah swasta (nama sekolah tidak perlu disebut), saya berusaha untuk memberikan pengarahan kepada pengurus karena ada banyak hal yang saya anggap kurang dari sisi pendidikan, tetapi mungkin bagi mereka no problem karena uang tetap masuk! Saya selalu dapat kesan bahwa semua pengurus, baik dari pemilik sampai ke kepala sekolah, dan juga sebagian guru, sangat tidak mengerti pendidikan. Tetapi hal itu tidak berarti mereka tidak sanggup menampung anak di kelas dan memberikan pelajaran kepadanya. Ada pula guru yang baik yang bisa mengajar sendiri dan tidak perlu bimbingan, jadi sekolah bisa berfungsi (dan uang tetap masuk).

Waktu saya kerja di sana, kebanyakan guru bukan sarjana pendidikan. Sangat jelas bahwa guru bisa dapat pekerjaan karena bisa berbahasa Inggris sebagai salah satu kemampuan utama yang dicari pihak sekolah. Sekolah selalu dijual ke publik sebagai sekolah “bilingual” tetapi “program bahasa”nya sangat tidak tepat, menurut saya.

Yang menjalankan program bahasa Inggris adalah orang bule yang mantan Disk Jockey (DJ) dari Inggris, yang drop out dari kuliah di semesta pertama karena ingin menjadi DJ saja. (Dia sendiri yang memberitahu saya dan dia merasa senang di Indonesia karena tanpa gelar ataupun ilmu bisa mendapat gaji sekitar 15 juta rupiah, net.)

Di kelas ada banyak hal yang menggangu saya sebagai guru. Misalnya, ketika si guru bule itu tinggalkan seorang anak menangis di kelas setelah dia diejek dengan kasar oleh beberapa anak yang lain. Dia tidak bisa menulis dengan rapi, lalu diejek, kemudian menangis sendiri di kursi, dan ditinggalkan begitu saja sampai saya tidak tahan melihatnya lagi dan gendong dia keluar (dia anak kelas 1).

Kesalahan utama adalah di pihak guru (dan juga sekolah) karena fokus utama dari hampir semua kelas bahasa Inggris yang saya saksikan adalah “menulis huruf dengan rapi”, bukan belajar bahasa, dan saya anggap itu sangat tidak tepat untuk anak TK dan Kelas 1. Bahkan si “guru” suka mengucapkan komentar yang sangat tidak pantas seperti: kamu salah, kamu tidak bisa, kamu bodoh, tulisan kamu jelek, kamu tidak bisa mengeja dengan benar, dan seterusnya.

Beberapa kali saya memantau dia dari belakang kelas, mencatat semua hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki, lalu membuat laporan untuk pengurus sekolah.

Tanggapan terhadap kasus itu? Anak yang menangis itu disalahkan dan dibilang cengeng. Katanya, lebih baik bila saya biarkan dia menangis saja. (Dan saya memang biarkan dia selama 20 minit, karena menunggu guru bertindak, tetapi setelah itu saya tidak bisa tahan lagi dan intervensi.)

Mereka minta saya masuk kelas dan “mengajar” begitu saja, tetapi saya menolak karena tidak ada kurikulum yang jelas untuk mengajarkan bahasa asing. Dan saya juga disuruh “belajar” dari si DJ (guru bahasa Inggris) supaya bisa gunakan “program” yang dia pakai (pihak sekolah merasa puas dengan “program” itu karena memaksakan anak menulis huruf yang rapi). Karena itu, selama 3 bulan saya jarang mengajar dan lebih banyak melakukan observasi, menulis rekomendasi, melakukan riset untuk mencaritahu program bilingual seperti apa yang paling tepat di situ, dan mulai menyusun kurikulum untuk semua tingkat.

Saya juga sering komentari hal2 yang saya anggap sangat berbahaya, seperti anak TK bermain dengan gunting yang sangat tajam dan selalu terbuka. Gunting itu dibeli karena, kata pengurus, bagus untuk anak. Ada per kecil di antara dua pegangan, sehingga gunting selalu dalam keadaan terbuka dan tidak bisa ditutup.

Setelah lihat anak TK “main pedang” dan jalan2 di kelas, dengan gunting itu dipegang di depannya atau setinggi mata/muka anak yang sedang duduk di kursi, saya jadi takut sekali dan teriak di kelas, memerintahkan semua anak untuk segera duduk di kursi. Habis itu, saya membuat peraturan baru: gunting hanya boleh dipakai bila sedang duduk di meja, dan tidak boleh dibawa. (Sebelumnya, tidak ada peraturan). Saya periksa gunting itu, ujungnya sangat tajam, bisa memotong kulit, dan menurut saya tidak layak untuk anak di bawah 8-10 tahun.

Besok hari, saya pergi belanja, beli gunting khusus untuk anak kecil yang dilapisi karet dan bagian tajamnya bisa digosokkan ke tangan tanpa kena luka, tapi masih cukup tajam untuk potong kertas dan kardus. Dan bisa ditutup.

Saya bawa ke sekolah dan menulis memo kepada pengurus, dan saya minta demi keselamatan mata anak agar semua gunting yang berbahaya itu diambil dari TK dan Kelas 1-2, diganti dengan contoh yang saya berikan, dan gunting yang tajam/berbahaya itu disimpan untuk kelas 4 ke atas.

Hasilnya: tidak ada yang berubah. (Kalau sekarang saya tidak tahu).

Ini hanya 2 dari puluhan cerita, dari hanya satu sekolah, dalam waktu hanya 3 bulan saja. Artinya, kalau semua orang tua, semua anak dan semua guru se-DKI disurvei dengan benar, saya yakin 100% akan ditemukan ribuan kasus yang setara, di mana terjadi hal-hal yang sangat tidak baik atau bisa dikatakan sangat buruk untuk perkembangan mental, sosial, dan pendidikan anak. (Dan ini hanya di sekolah swasta yang mahal. Bagaimana di sekolah negeri yang jumlahnya lebih banyak?)

Kita tidak pernah tahu karena orang tua tidak punya tempat untuk mengadu dan sangat jarang ada orang tua yang berani menulis surat di koran.

Apalagi kalau anak-anak itu sendiri mau bercerita dan komplain tentang sekolah ataupun gurunya.

Dan mungkin para guru takut dipecat kalau bicara/komplain kepada orang tua langsung (kalau managemen sekolah itu buruk), jadi mungkin kita harus tunggu sampai mereka pindah sekolah dan setelah itu baru kita bisa tanyakan mereka tentang sekolah tersebut. Kalau sudah keluar, biasanya mereka baru berani untuk membocorkan “rahasia sekolah”.

Pesan saya ke teman2 yang peduli pada anak dan peduli pada pendidikan:

(mohon jangan tersinggung bila anda sedang kerja di sebuah sekolah swasta, ini hanya kesimpulan secara global saja dan tentu saja tidak benar untuk setiap guru, pengurus, atau sekolah)

1. Sekolah swasta di sini adalah bisnis yang bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan karena pemantauan dari pemerintah atau organisasi lain sangat minim/tidak ada.

2. Bila ada orang tua yang komplain tentang sekolah anaknya ataupun tentang guru, lebih baik percaya dulu. Kalau salah, mohon maaf kepada pihak sekolah yang disalahkan. Bila benar, anaknya perlu dilindungi. Perlu diingatkan bahwa pemilik/pengurus sekolah swasta ada di sisi bisnis sekolah, bukan pada sisi “melakukan yang terbaik bagi anak, walaupun bisa merugikan bisnis sekolah”. Orang tua yang komplain sebaiknya didengarkan dan dipercayai saja dulu daripada diragukan.

3. Jangan terlalu percaya pada penjelasan kepala sekolah, pengurus atau pemilik sekolah tentang apa yang terjadi di sekolah. Umumnya, kepala sekolah bisa tetap sebagai kepala sekolah karena dia mewakili kemauan pemilik sekolah dengan baik. (Kalau dia sering berprotes demi anak, demi guru, atau demi pendidikan, hampir dijamin bahwa dia akan digantikan dengan orang yang lebih “nurut”.) Pemilik sekolah ingin menjaga bisnisnya karena masa depan franchise sudah jelas sangat besar. Mereka berdua (pemilik dan kepsek) tidak berada di sisi guru (dengan asumsi guru adalah orang baik) ataupun pada sisi anak (dengan asumsi anak adalah orang baik dan tidak bermasalah). Mereka berada di sisi bisnis pendidikan, dan anak anda adalah komoditas yang dijual-belikan.

4. Juga jangan automatis percaya pada guru kalau belum kenal. Ada sebagian guru yang kurang baik, dan tidak layak menjadi guru (dan mungkin dia komplain tentang sekolah padahal dia sendiri yang bermasalah, dan sekolahnya bagus). Ada juga guru yang sangat, sangat baik, tetapi dia takut bicara karena takut dipecat. Jadi kalau dia bilang sekolah oke-oke saja, bisa jadi dia tidak berani jawab dengan jujur karena takut bahwa komentar dari dirinya akan disampaikan kepada pemilik sekolah lewat orang tua. Kalau sudah kenal dengan seorang guru, dan percaya kepadanya, baru bisa percaya pada apa yang dia katakan tentang sekolah tersebut.

5. Tidak ada solusi yang jelas untuk semua masalah yang saya ceritakan di atas, karena ini merupakan masalah sistemik. Dengan sistem yang rusak, sangat sulit untuk diperbaiki dari dalam ataupun dari luar. Dan selama sekolah swasta menjadi bisnis tanpa pantauan yang serius dari pemerintah atau pihak lain (seperti komisi anak atau komisi pendidikan), jangan harap mereka ingin berjuang untuk membela hak setiap anak. Yang mereka perjuangkan adalah profit. Dan apapun yang meningkatkan profit adalah pikiran utama mereka. Pendidikan yang layak adalah nomor dua.

6. Mungkin kita berfikir bahwa sekolah bisa kena masalah besar kalau ada orang tua yang komplain di koran atau menyebarkan informasi yang menjelekkan nama sekolah. Ternyata tidak. Mereka cukup menjaga supaya ratusan ribu orang tua yang lain tidak tahu, atau tidak percaya, karena jumlah orang tua yang mampu, yang sedang mencari sekolah swasta, jauh lebih besar dari jumlah kursi yang tersedia. Ada istilah dalam bahasa Inggris: “It’s a sellers market” (Ini pasar yang menguntungkan si penjual, bukan si pembeli.) Jadi kalau orang tua sanggup memasukkan anak ke sekolah yang dianggap sedikit “bermasalah” oleh sebagian orang lain, mereka tetap bersyukur karena sudah tahu sulitnya mencari sekolah swasta. Dan mereka sudah tahu bahwa kebanyakan sekolah sudah punya waiting list sepanjang Kali Ciliwung. Kalau sebuah sekolah ditinggalkan sebagian anak dan orang tua yang kecewa, pihak sekolah cukup pasang iklan dan spanduk. Bulan depan sudah bakalan penuh lagi dengan anak baru karena orang tuanya belum tahu apa-apa tentang sekolah itu, tetapi mereka bisa lihat sendiri fasilitas yang lebih moderen, dan dengan itu melakukan asumsi bahwa sekolah pasti bagus.

7. (Dan jangan lupa bahwa uang pangkal puluhan juta adalah non-refundable, sekalipun anak anda terpaksa pindah kota, sakit, ataupun wafat. Dan setelah anak anda keluar, uang pangkal itu dikantongi sekolah, dan kursinya dijual lagi. Berarti, sekolah malah bisa dapat untung ratusan juta kalau ada sekian orang tua yang mencabut anaknya setiap tahun. Untuk mengisi kursi, tinggal telfon orang tua yang anaknya masih di wating list…)

Kesimpulan:

Sistem pendidikan swasta ini sudah cukup bermasalah dan tidak ada pihak satupun (setahu saya) yang sedang berusaha untuk memperbaikinya atau memantaunya. (Hiduplah Homeschooling! Hehe.)

Yang bisa melakukan perbaikan mungkin hanya sekolah itu masing2, kalau berminat, dan walaupun kesan dari tulisan di atas cukup buruk, saya tetap yakin ada sebagian sekolah yang ingin melakukan yang terbaik bagi anak2nya dan berminat untuk meningkatkan kualitas sekolahnya, selama tidak mengganggu profit margin, tentu saja.

Masalahnya adalah, apakah sekolah anak anda termasuk di dalam sekolah yang “berniat baik” ini, yang selalu menjaga anak dengan sebaik-baiknya, yang mencari guru yang terbaik, dan selalu siap menerima kritikan karena hal itu bantu sekolah berkembang dan menjadi lebih baik lagi? Dan anda bisa tahu dari mana? Dari penjelasan pemilik sekolah sendiri yang sangat meyakinkan itu? Hmmm… Yakin?

Sekali lagi, mohon dipahami bahwa saya tidak menulis artikel ini dengan niat “menyerang” sekolah swasta. Niat saya sebatas memberikan tambahan wawasan kepada para orang tua supaya mereka lebih waspada terhadap sekolah anaknya. Saya juga yakin ada sebagian sekolah swasta yang baik, yang tidak seperti yang digambarkan di atas. Tetapi ada pula yang kurang baik. Jangan sampai ada anak yang komplain kepada orang tua tentang masalah di sekolah dan orang tua tidak percaya karena menganggap sekolah swasta yang mahal itu pasti “bagus”.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

02 April, 2008

Keributan tentang pernikahan antara sepupu di Inggris


Ada keributan di Inggris karena seorang menteri mengritik orang yang menikah dengan sepupunya (dan mayoritas dari mereka adalah orang Pakistan, dan Muslim).

Kata Pak Menteri Woolas, semua dokter di Inggris sudah tahu bahwa pernikahan antara sepupu menjadi penyebab dari banyak penyakit keturunan, dan karena itu dia menyatakan akan terjadi krisis health care di masa depan, disebabkan orang Pakistan (yang Muslim) ini sering melahirkan anak yang cacat. Kemudian anak ini akan menjadi beban pada National Health Service (yang wajib memberikan layanan medis secara gratis atau dengan biaya minim/disubsidi).

Sebuah kelompok advokasi Muslim bernama Muslim Public Affairs Committee (MPAC) menuntut kepada Perdana Menteri agar Menteri Wollas dipecat dari posisinya, dan mengatakan bahwa pernyataan dari menteri itu adalah bagian dari Islamophobia (ketakutan pada Islam).

Kata Pak Menteri, siapa saja yang menikah dengan sepupunya meningkatkan kemungkinan akan terjadi kelainan genetik. Katanya, perkara yang perlu dibahas adalah pernikahan antara sepupu yang, walaupun sah dalam hukum, bisa menimbulkan kelainan bagi anak. Dia menekankan bahwa ini bukan masalah yang berkaitan dengan Islam, tapi masalah budaya dari para imigran Pakistan.

Dia juga mengatakan bahwa semua petugas medis sudah tahu bahwa jumlah anak dengan kelainan ini jauh lebih besar di komunitas Pakistan daripada di komunitas yang lain. Dan semua orang juga tahu bahwa itu disebabkan pernikahan antara sepupu.

Juru bicara dari MPAC mengatakan ini “gila” untuk seorang Menteri Lingkungan membahas masalah ini, dan seharusnya dia berfokus pada hubungan antara polusi lingkungan dan kelainan genetik.

Tetapi, pernyataan Pak Menteri juga didukung oleh anggota parlemen Ann Cryer (Labour) yang pernah membicarakan hal yang sama pada 13 tahun yang lalu, karena dia mendapatkan riset yang membuktikan bahwa risiko orang Pakistan (di tinggal di Inggris) akan melahirkan anak dengan kelainan genetik adalah 13 kali lebih besar daripada orang biasa.

Kata Cryer, “Kita membicarakan sebuah komunitas yang masih berfokus pada budaya zaman dahulu di mana kekayaan itu ditahan di dalam satu keluarga (dengan cara pernikahan antara sepupu).”

Katanya lagi, “Saya pernah mendapat anak-anak yang buta dan tuli. Ada satu anak yang membawa tabung oksigen di punggungnya dan hanya bisa bernafas lewat lubang di tenggorokannya.” (Ada kelainan di bagian tenggorokan atas?)

“Orang tua diberikan peringatan oleh dokter untuk tidak tambah anak, tetapi dalam beberapa bulan sesudahnya, mereka melahirkan anak kedua dengan kelainan genetik yang persis sama.”

Riset yang dilakukan oleh BBC2 pada bulan November 2005 membuktikan bahwa anak dari pasangan suami-isteri Pakistan di Inggris hanya merupakan 3,4% dari semua kelahiran di Inggris. Tetapi anak dari pasangan yang sama yang punya kelainan genetik justru mencapai 30% dari semua anak di Inggris.

*******************

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Bagaimana dengan Indonesia? Di sini juga ada sebagian orang yang menikah dengan sepupunya (termasuk sebagian dari teman dan kenalan saya). Apakah ada riset dan pemeriksaan medis yang bisa membantu mereka supaya tahu risiko akan dapat anak dengan kelainan genetik atau tidak?

Maksudnya, mungkin ada pasangan suami-isteri, yang sepupu, yang tidak bermasalah dan bisa punya anak yang sehat. Dan sebaliknya, mungkin ada sebgian sepupu yang sebaiknya tidak menikah karena ada kemungkinan besar semua anaknya akan kena kanker yang sama (karena bapak ibu punya gen kanker yang sama, misalnya).

Apakah ada hasil riset seperti ini di Indonesia?

Apakah ada dokter yang ahli di bidang ini?

Apakah ini suatu perkara yang perlu dibahas secara umum di media massa?

Kalau tidak salah, anaknya Nabi SAW juga ada yang menikah dengan sepupunya, dan sepertinya mereka dapat anak yang sehat. Jadi, anak yang mana yang bisa sehat, dan anak mana yang bisa sakit, karena sepertinya tidak semua anak dari suami-isteri yang sepupu akan lahir dengan kelainan?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Read the full article here:

Birth defects warning sparks row

A minister who warned about birth defects among children of first cousin marriages in Britain's Asian community has sparked anger among critics.

Story from BBC NEWS:
Published: 2008/02/10 15:45:51 GMT
© BBC MMVIII

01 April, 2008

Siti Musdah Mulia: Islam Mengakui Homoseks

Senin, 31 Maret 2008

Aktivis liberal Siti Musdah Mulia mengatakan, lesbian dan homoseksual diakui dalam Islam. Diskusi juga menyalahkan para ulama yang melarang perilaku menyimpang ini

Hidayatullah.com--Homosek dan homoseksualitas adalah kelaziman dan dibuat oleh Tuhan, dengan begitu diizinkan juga dalam agama Islam, demikian salah satu ucapan Musdah Mulia dalam sebuah diskusi di Jakarta pada hari Kamis, 27 Maret 2008 kemarin.

Homoseks-Homoseks dan homoseksualitas bersifat alami (wajar) yang diciptakan oleh Allah, seperti itu diizinkan dalam Islam, demikian hasil diskusi yang diselenggarakan di Jakarta itu.

Dalam diskusi itu juga disebutkan, sarjana-sarjana Islam moderat mengatakan tidak ada pertimbangan untuk menolak homoseks dalam Islam, dan bahwa pelarangan homoseks dan homoseksualitas hanya merupakan tendensi para ulama.

Selain diskusi menyalahkan para ulama, juga menuduh banyak Muslim lainnya didasarkan pada penafsiran-penafsiran berfikir sempit dalam pengajaran-pengajaran Islam.

Siti Musdah Mulia wakil Indonesia Conference of Religions and Peace mengutip Surat al-Hujurat (49:3) yang mengatakan bahwa salah satu berkah untuk manusia adalah bahwa semua para laki-laki dan perempuan bersifat sama, dengan mengabaikan etnisitas, kekayaan, posisi-posisi sosial atau bahkan orientasi seksual.

"Tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka," dia juga mengatakan dalam diskusi yang diorganisir oleh NGO, Arus Pelangi.

"Dan membicarakan tentang keimanan adalah hak istimewa Allah untuk menghakimi," ujarnya dikuti koran The Jakarta Post.

"Inti sari dari agama (Islam) adalah memanusiakan manusia, rasa hormat dan memuji mereka."

Musdah juga mengatakan homoseksualitas dari Tuhan dan sebaiknya dianggap sebagai suatu kelaziman, menambahkan tidak didorong hanya oleh nafsu.

Redaktur Majalah Mata Air, Soffa Ihsan juga mengatakan, pengakuan heterogenitas Islam juga sebaiknya memasukkan homoseksualitas.

Dia mengatakan orang Muslim perlu terus melakukan ijtihad untuk menghindari paradigma lama dengan tanpa mengembangkan interpretasi yang berpandangan terbuka.

Nurofiah dari NU mengatakan yang menyebabkan pelarangan gender akibat kontruk sosial.

"Seperti prasangka bias jender atau patriarchy, prasangka penyimapangan sosial dibuat. Akan benar-benar berbeda jika kelompok yang menguasai menjadi pelaku homoseksualitas, " katanya.

Selain Musdah Mulia, pembicara yang ikut hadir adalah Nurofiah dari Nahdlatul Ulama (NU), wakil Hizbut Tahrir Indonesia, dan wakil Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kelompok Arus Pelangi mengatakan, di beberapa tempat, di Indonesia, perilaku homosek sudah diakui. "Kita mengetahui bahwa di Ponorogo (Jawa Timur)telah ada pengakuan homoseksualitas," ujar pemimpin Arus Pelangi, Rido Triawan.

Sementara itu, Wakil MUI dan HTI mengutuk perilaku yang termasuk hombreng ini.

"Ini merupakan suatu dosa. Kita tidak akan mempertimbangkan, menganggap homoseks sebagai musuh, tetapi kita akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka sedang lakukan adalah salah," ujar Wakil Ketua MUI, Amir Syarifuddin.

Rokhmat, dari HTI, beberapa kali meminta peserta-peserta homoseksual yang hadir dalam acara itu segera untuk menyesali dan secara berangsur-angsur kembali ke jalan yang benar.

Arus Pelangi dibentuk pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta dengan kantor secretariat di Jalan Tebet Dalam 4 no 3 Jakarta Selatan. Arus Pelangi, sesuai namanya, adalah NGO tempat mangkalnya kaum lesbian dan, gay, bisexual dan transgender (LGBT).

Dalam pasal keanggotan AD/ART Arus Pelangi disebutkan, "Individu yang mempunyai orientasi seksual LGBT dan/atau individu yang mempunyai orientasi heterosexual yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan hak-hak dasar LGBT."

Sumber: Hidayatullah.com

31 March, 2008

Anak manja menganggu sekolah


Anak SD yang dimanjakan orang tuanya bisa menyebabkan gangguan di sekolah karena mereka akan mengulangi tindakan yang “memaksa kehendaknya”, seperti yang dilakukan di rumah.

Riset untuk National Union of Teachers (NUT, Serikat Guru Nasional) menjelaskan bahwa ada sebagian anak yang mengambek, menggunakan kata kasar, dan menjadi agresif secara fisik. Periset dari Cambridge University melakukan 60 interview dengan staf dan murid di dalam 10 sekolah. Di antara hasilnya ada penjelasan tentang anak SD yang bergadang sampai jam 3 pagi dan main game komputer/playstation yang mengandung adegan kekerasan.

Ada contoh dari seorang ibu yang merasa gembira karena berhasil membujuk anaknya yang berumur lima tahun untuk tidur pada jam 1 pagi, daripada jam 3 pagi sebelumnya.

Ada contoh dari seorang anak berumur 7 tahun yang menghancurkan Playstation sendiri, lalu mengganggu ibunya terus-terusan selama 1 minggu sampai akhirnya ibu itu beli Playstation yang baru buat anaknya.

Kata para periset, ada sebagian orang tua yang sama sekali tidak bisa mengucapkan “tidak” ketika anak menuntut sesuatu seperti televisi pribadi atau komputer pribadi yang bisa digunakan di kamar. Sebagian orang tua yang lain siap melakukan apa saja supaya anaknya bisa diam.

Masalahnya adalah orang tua merasa kesulitan untuk membesarkan anaknya di dunia ini yang sudah menjadi sangat komersial. Ketua dari NUT, Steve Sinnott, menuntut dibuat larangan baru untuk ilkan yang ditujukan kepada anak. Katanya “Orang tua sedang berusaha untuk “bertahan” dengan memberikan segala sesuatu kepada anaknya”. Dan budaya ini sudah masuk ke dalam sekolah dan merepotkan para guru.

Kata Sinnott, “Seorang anak yang dilatih di rumah untuk mendapatkan apa saja yang diinginkan dengan ngambek, sudah jelas dampak yang akan terwujud di dalam kelas.” Perbuatan yang buruk sedang dicontohkan di rumah.

Sangat sulit untuk memberikan motivasi kepada anak tersebut karena ketika mereka sudah mulai bersekolah, mereka sudah menjadi ahli “pembujukan terhadap orang dewasa”. Laporan juga menjelaskan bahwa program2 yang dibuat untuk memperbaiki perbuatan buruk dari anak ini tidak berhasil.

Dengan sistem reward, anak yang “nakal” akan mendapatkan reward untuk sekedar mendengarkan guru saja, sedangkan anak lain yang tidak “nakal” harus melakukan sesuatu yang lebih dari perbuatan yang biasa untuk mendapatkan reward yang sama. (Pasti dianggap tidak adil oleh anak yang tidak nakal).

********

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Ini yang sedang terjadi di Inggris. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah anaknya orang mampu di sini menjadi sama? Apakah anak yang mampu di sini sudah manja sekali dan orang tuanya tidak bisa mengatakan “tidak” kepadanya?

Kebanyakan anak mampu masuk sekolah swasta. Mereka hidup dalam keadaan serba punya, dan barangkali permintaan mereka jarang ditolak oleh orang tua.

Mungkin orang tua merasa lebih baik membeli daripada anak ngambek dan minta terus. Dan untuk orang tua yang kerja (bapak dan ibu kerja) mungkin mereka merasa harus beli banyak produk karena itu akan membuktikan kasih sayang terhadap anaknya, dan sekaligus memberi imbalan kepada anak karena orang tua pulang malam terus, dan seterusnya.

Apakah ada baiknya bila iklan buat produk anak juga dibatasi di Indonesia? Apakah di sini sudah terlalu banyak? Dampaknya apa?

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene

Read the full story here:

Spoilt children disrupt schools

By Hannah Goff
BBC News at the NUT conference, Manchester

Story from BBC NEWS:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...