Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (562) islam (543) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (10) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (37) renungan (169) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (6) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

15 September, 2007

Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua


Assalamu'alaikum wr.wb.,

Ini artikel yang masuk Majalah Intisari, Bulan Juli 2007, halaman 160-166. Saya carikan di Intisari online, tapi tidak ketemu. Saya tidak tahu kenapa, tapi ada di situs Simpatizone.Telkomsel.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua

Sudah lama Rusdi (34) - identitas disamarkan - merasa gerah. Guru matematika kelas reguler ini geleng kepala menyaksikan perilaku guru ekspat yang mengajar di kelas internasional sekolahnya. "Ekspat yang mengajar di kelas dwibahasa tidak kapabel. Masak bukan lulusan biologi mengajar biologi?" keluh alumnus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini. Yang bikin geram Rusdi, "Gaji kami hanya sepersepuluh mereka," kesal ayah seorang anak ini.

Hal ini lantaran sekolah mengejar komposisi 60% pengajar ekspat dan 40% guru lokal. Nah, berhubung menggaji guru ekspat yang benar muaahalll, sekolah Rusdi - dan juga beberapa sekolah internasional lainnya di Jakarta - asal saja merekrut orang bule. Asal mau dibayar murah, meski masih jauh di atas guru lokal.

Masih kata Rusdi, tak jarang mereka ambil turis yang kebetulan sedang melancong ke Indonesia dan kehabisan uang. Atau juga dicomot dari kursus-kursus bahasa Inggris. Bahkan, "Ada juga yang diambil dari Jalan Jaksa." Jalan Jaksa merupakan kawasan penginapan murah bagi bule di Jakarta.

Pengajar kurang kompeten

Gene Netto (37) manggut-manggut. Pria kelahiran Nelson, Selandia Baru, ini mengiyakan Rusdi. Ditemui terpisah, alumnus Graduate Diploma of Education Griffith University, Brisbane, Australia, yang berpengalaman sepuluh tahun mengajar di sekolah swasta, les privat, kursus bahasa Inggris, dan pelatihan karyawan ini ikut prihatin.

Ia mengakui, menjamurnya kelas dwibahasa di sini semata karena banyaknya peminat. Alhasil, kepentingan bisnis lebih mengemuka. Pihak sekolah berupaya keras menghadirkan tenaga pengajar ekspat, agar orangtua teryakini bahwa anaknya memasuki sekolah internasional. Gene menantang, "Jika diteliti CV-nya, dari seratus guru bule, mungkin hanya seorang yang punya kualifikasi sebagai guru bahasa asing."

Dengan gemas pemilik gelar Bachelor of Arts untuk Language and History (guru bahasa dan sejarah) ini berkisah pernah bertemu seorang guru ekspat yang tidak lulus kuliah dan profesinya di AS adalah disc-jockey di diskotik. Bahkan, seorang yang hanya lulusan SMA di Amrik, di sini jadi guru TOEFL.

Awalnya, sekolah dwibahasa memberi kemampuan kepada anak berbahasa dalam dua bahasa sambil memahami dua budaya. Gene memberi contoh Kanada yang memiliki puluhan ribu sekolah dwibahasa karena di sana ada dua budaya, yakni Inggris dan Prancis. Ada dua sistem yang dipakai, full immersion yang menenggelamkan siswa ke dalam bahasa asing sepanjang hari dan semi-immersion yang lebih banyak menggunakan bahasa ibu. Untuk yang semi ada tiga variasi, early immersion, middle immersion, dan late immersion, dengan perbandingan antara bahasa ibu dan bahasa asing masing-masing 20 : 80, 50 : 50, dan 80 : 20.

Di kelas early immersion, mulai kelas 2 ke atas, disiapkan program language arts untuk bahasa ibu. Anak mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa asing, sebelum kemudian bahasa ibu. Walau kemampuan akademisnya lambat, namun kelak akan setara dengan anak reguler.

Di kelas 5 dan 6, kemungkinan kelas yang menggunakan bahasa asing tinggal 50%, terus sampai SMA pelajaran dalam bahasa asing tinggal 20%. Jadi, anak yang memakai bahasa asing sejak TK, akan berubah menggunakan bahasa ibu untuk sebagian besar pelajaran di SMP dan SMA.

Pada kelas late immersion sebaliknya, anak berbahasa ibu sampai kelas 6 - 8 dengan bahasa asing hanya 20%, dan di tahun terakhir SMA penggunaan bahasanya 50 : 50, atau bisa 80% bahasa asing dan 20% bahasa ibu. Jika siswa mengalami kesulitan belajar bahasa asing, maka ia mendapat bantuan khusus atau pindah kelas. Cuma, kalau diterapkan di sini, Gene khawatir, orangtuanya protes. Sebab, mereka sudah membayar uang pangkal sekolah puluhan juta rupiah dan tak bisa dikembalikan.

Penyiksaan mental

Di mata Gene, sistem di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Misalnya, di TK bahasa asing digunakan sebanyak mungkin tapi bahasa ibu digunakan juga, berarti semi immersion. Masuk SD, bahasa asing jadi bahasa utama, tapi tak ditentukan untuk pelajaran mana sehingga penggunaannya diacak. Naik ke SMP dan SMA, mungkin semua pelajaran dalam bahasa asing minus pelajaran bahasa Indonesia, mendekati model Sekolah Internasional. "Katakanlah ini model sekolah dwibahasa baru, tapi tak ada riset yang membuktikan dampak baik atau buruknya," cetus anggota perguruan silat Bunga Karang ini.

Bagaimana nasib bahasa ibu pada siswa dwibahasa? Gene menengarai, pasti ada kesenjangan sosialisasi dengan keluarga besarnya. Bisa jadi ia menganggap rendah bahasa dan budaya orangtuanya, karena sedari TK dicekoki bahasa asing.

Apa yang terjadi di kelas, tak semua orangtua mengetahuinya. Tak sedikit anak yang stres karena dipaksa mengerti bahasa asing. Ia selalu lambat dalam mengerjakan tugas, sehingga guru ekspat memberinya cap pemalas. Rupanya, ia kurang paham apa yang dijelaskan guru dalam bahasa asing. Ia merasa tertekan.

Untuk bisa berkomunikasi di kelas, si anak harus berusaha mengerti "peraturan bahasa" untuk bisa membentuk kalimat sendiri dan memahami kalimat orang lain. Jika ia belum berhasil pada proses ini, sementara bahasa ibu tak boleh digunakan, dampaknya cukup negatif bagi si anak.

Yang menyedihkan, jika si native speaker bukan orang dari dunia pendidikan dan asal bule. Alhasil, ia menggunakan bahasa yang terlalu rumit bagi anak, tidak disesuaikan dengan kemampuan anak memahaminya. Maka yang didengar anak adalah serangkaian suara berisik yang di tengah-tengahnya ada beberapa kosa kata yang bisa ditangkap. "Berarti sebagian besar yang diucapkan guru adalah sia-sia, tidak membangun kemampuan si anak, apalagi mengembangkan ilmu akademisnya dan cara berpikir yang makin dewasa," tuding Gene.

Bila siswa tak mengerti apa yang diucapkan gurunya, bagaimana ia bisa memahami ilmu matematika yang tengah diajarkan gurunya? "Bukankah itu bentuk penyiksaan mental dan emosional terhadap anak?" ujar lajang bershio anjing ini.

Nasib murid bilingual

Di kemudian hari, andai murid sekolah dwibahasa tidak kuliah di luar negeri, melainkan kuliah di dalam negeri, sanggupkah ia mengikuti perkuliahan dalam bahasa ibu? Sanggupkah ia bersaing dengan mereka yang dari SMA reguler? Sebab, mengerti sebagian dari bahasa Inggris sangat berbeda dengan sanggup menguasai ilmu akademis dalam bahasa Inggris, seperti yang dialami siswa dwibahasa.

Gene memberi misal, kemampuan bahasa Inggris seorang siswa 70%, diberi buku teks ekonomi dalam bahasa Inggris maka ia hanya memahami 70% dari isi buku, lalu menulis paper dengan kebenaran juga cuma 70%. Berbeda dengan siswa yang belajar ekonomi dalam bahasa ibu, setidaknya ia mampu menguasai 98% ilmu ekonomi.

Pria berbintang Taurus ini mengingatkan agar berhati-hati jika ingin menerapkan program baru untuk siswa. Lebih baik hati-hati daripada ambil risiko. Pertimbangkan 10 kali akan hasilnya, pikirkan pula hasil buruknya, konsultasi pada ahlinya, buat desain kurikulum, lakukan berkali-kali. Jika program kurang berhasil, hentikan dulu, dianalisis lagi, tanyakan lagi ahlinya, mungkin programnya bagus tapi penerapannya salah atau murid belum siap. "Bila kita melakukan kesalahan dalam pendidikan, kita tak bisa melihat langsung hasilnya, butuh waktu bertahun-tahun, dan kita tak bisa memundurkan waktu untuk memperbaikinya."

Dari seorang teman, Gene mendapat informasi, dalam suatu pertemuan antar-pengusaha terlontar bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah bisnis pendidikan, termasuk franchise sekolah. Tak pernah merugi, pasti untung, cepat mencapai break event point, titik impas. Masalah kualitas pendidikan? Gene angkat bahu.

Jika di kemudian hari terjadi kegagalan pendidikan, tak pernah ada sekolah yang minta maaf pada orangtua karena kesalahan guru dalam mengajar, atau kurikulum yang tidak stabil, atau guru kurang profesional. "Yang disalahkan pasti orangtua karena suasana rumah dituduh kurang kondusif, atau malah si anak disarankan diperiksa kemungkinan menderita autis, dan sebagainya." Kesalahkaprahan ini harus dihentikan. "Hanya pemerintah yang bisa melakukan, karena pemerintahlah yang memberi izin," tutup Gene geram.

(Dharnoto)

Teliti Membeli Pendidikan

Gene mengajak orangtua bersikap kritis:

1. Pelajarilah program dwibahasa, standarnya seperti apa. Informasi itu bisa dicari di internet.

2. Ajak beberapa orangtua lain untuk minta melihat kurikulum sekolah itu.

3. Jangan malu minta diperlihatkan CV semua guru, baik lokal maupun ekspat, terutama yang mengajar di kelas anak Anda.

4. Pantau dan analisis keadaan di kelas anak Anda. Jika terlihat penurunan nilai di suatu pelajaran, minta penjelasan pada guru, dan apa yang bisa dilakukan orangtua di rumah.

5. Perhatikan, apakah sang guru bersikap terbuka, mau menerima keluhan dan saran orangtua serta mau diajak berdiskusi.

6. Bila ada kegiatan sekolah yang meminta donasi orangtua, mintalah budget-nya untuk dipelajari.

7. Ajak orangtua lain membahas keadaan sekolah. Boleh juga membentuk asosiasi sendiri di luar Komite Sekolah. Keluhan bisa disampaikan langsung ke kepala sekolah, lisan atau tertulis.

8. Jika memungkinkan, dorong terbentuknya serikat guru di sekolah yang bisa memberi masukan terhadap kebijakan sekolah yang merugikan anak didik.

Terkendali Tapi Aktif

Elham Golfam sudah 15 tahun tinggal di Indonesia. Ibu guru lulusan Washington International University, AS, jurusan Education (Pendidikan) ini baru tiga tahun mengajar di Sekolah Mentari, Jakarta Selatan. Didirikan delapan tahun lalu, sekolah ini terdiri atas SD dan SMP, dengan dua pilihan, yakni kelas reguler dengan bahasa Indonesia lebih intensif, dan kelas internasional dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Bersama ibu tiga anak ini, ada sekitar 15 orang ekspat mengajar di sini. Pihak sekolah melakukan tes terhadap calon pengajar, antara lain observasi cara mengajar di kelas dengan materi yang dipilih sekolah. Adapun kurikulum yang dipakai, "Kombinasi antara kurikulum nasional dan kurikulum internasional dari Inggris, yang dimodifikasi atau dikembangkan tim pengajar," tambah Ny. Trianto ini.

Elham sendiri mengajar di kelas 3 SD, dengan 24 murid di kelasnya. Ia memberi semua pelajaran, kecuali olahraga, kesenian, musik, komputer, dan bahasa Indonesia, yang ditangani guru khusus. Dikatakan, semua guru ekspat menyampaikan pelajaran dalam bahasa Inggris, dan di dalam kelas siswa berinteraksi juga dalam bahasa Inggris. Secara umum, siswa tak menemui kesulitan dalam menyerap materi pelajaran, kecuali beberapa orang yang perlu bantuan lebih. Sedangkan suasana dalam kelas, "Terkendali tapi aktif," tutup wanita berusia 39 tahun ini.

Sumber: Simpatizone.Telkomsel

7 comments:

  1. Bagus ya kalau yang mengulas pakar pendidikan. Indonesia memang suka mengada-adakan yang belum ada. Contohnya di Bekasi ada pelajaran bahasa daerah di SD. Daerah Bekasi bahasanya Sunda, padahal orang rantau yang menyekolahkan anaknya disitu kebanyakan orang2 Jawa & ada beberapa Batak, nah lho?... Pusing kan kalau si anak nanya2? Mene ketehe... orang kita bercakap2 dengan tetangga yang lain suku pakai bahasa Indonesia.

    ReplyDelete
  2. dulu saya sempat berpikir, karena kesel dengan sistem pendidikan di Indo, ingin bikin sekolah TK dan SD sendiri. Tapi setelah baca2 blognya Pak Gene ini, jd mengurungkan minat, karena memang ternyata ada ilmunya mendirikan sekolah itu, gak bisa ngasal. Tp kl saya perhatikan, yaa di Indonesia ini, gampang banget bikin sekolah, siapa aja bisa ngediriin sekolah, lulusan SMA pun bisa, dan parahnya Depdiknas tidak pernah mengeevaluasi kualitas guru dan kurikulum sekolah2 baru yg berjamuran itu. Jadi yaa gitu, sekolah mahal belum tentu kualitasnya bagus.

    erika

    ReplyDelete
  3. Kalau ibu Erika ingin mendirikan sekolah, silahkan saja. Indonesia membutuhkan lebih banyak sekolah yang berkualitas. Intinya adalah: jangan mengatur sekolah sendiri kalau tidak punya ilmunya. Carilah orang yang punya ilmu di bidang pendidikan, seseorang yang ibu percayai, dan memberikan dia kekuasaan sebagai kepala sekolah/direktur untuk mengurus sekolah. Ibu bisa bantu dia dengan marketing, design interior atau apa saja yang tidak secara spesifik berkaitan dengan cara mengajar dan hasil dari pelajaran.
    Dengan demikian, Indonesia mendapat sekolah yang berkualitas, ibu mendapat sekolah yang bisa dibanggakan, dan Insya Allah anak di sekolah itu mendapatkan pendidikan yang layak. Dari semua sekolah yang dilaporkan kepada saya sebagai sekolah yang tidak baik, hampir selalu masalah utama adalah pengusaha yang paling berkuasa di dalam urusan pendidikan, sehingga guru menjadi takut kehilangan pekerjaan kalau melawan.

    ReplyDelete
  4. Woow.....ga nyangka ternyata ada yang berani mengupas masalah ini....

    Sebenarnya hal ini juga pernah saya alami, sedikit berbagi cerita......
    sewaktu saya menjadi academic coordinator di sebuah lembaga kursus ada permintaan kelas toefl dari satu perusahaan tapi dengan syarat yang mengajar harus expat....pusing tujuh keliling mencari expat yang qualified tapi mau dibayar dengan murah....Akhirnya manager saya memutuskan untuk mencarinya di jalan jaksa.... hehehe. Saya sendiri ga tau tuh apa jadinya di kelas...si expat ngajar apa soalnya pihak perusahaan ga ada yang komplain. Karena bagi mereka yang terpenting adalah gurunya Native speaker tidak perduli kompetensinya dalam mengajar.

    well... setelah mengetahui lebih dalam seluk beluk industri pendidikan, saya memutuskan berhenti dari posisi manajemen dan lebih memilih untuk tetap berada di garis depan....alias ngajar....

    Uniknya saya mengalami kejadian yang membuat saya terheran-heran lagi, ceritanya....waktu saya diminta jadi juri di acara open house sekolah internasional berlisensi Singapura. Waktu itu saya menjadi juri sekaligus pembaca pertanyaan dalam lomba cerdas cermat berbahasa inggris. Saya tidak sendiri, partner saya adalah seorang juri asing staff pengajar sekolah tersebut. Ketika membacakan pertanyaan2 itu sepertinya dia sendiri bingung dengan apa yang dia bacakan..... PAdahal isinya adalah pertanyaan eksakta yang dipelajari oleh siswa sma. Meskipun bidang pendidikan sya bukan ilmu pasti melainkan bahasa....tetapi karena pernah mempelajarinya ketika di sma tidak terlalu sulit bagi saya untuk membacakan soal2 tersebut....
    Saat itu saya jadi berfikir....apa bule itu ga lulus SMA???
    V(*_*)

    Kenyataaan pahit yang harus dialami.... saya memiliki sertifikat TEFL tetapi karena bukan native speaker.... selalu menjadi nomor dua.

    At least....harus tetap semangat.... well Commitment to Quality Learning..... setidaknya itu motto di tempat saya bekerja...hehehe

    Afwan....Maaf yah, jadi curhat

    ReplyDelete
  5. O yea...mau menambahkan...setelah saya tahu trik2 manajemen industri pendidikan di tempat kursus itu saya memutuskan berhenti dan bekerja di lembaga bahasa yang berkomitmen dalam pengajaran bahasa Inggris...
    V(*_*)

    ReplyDelete
  6. Apa yang dikatakan Gene itu betul walau tidak semua. Sekolah Bilingual itu pada umumnya memang belum siap tetapi mereka merasa harus segera mulai. Mereka mencoba dengan semampunya. Memang sih boleh saja, tapi jangan lupa bahwa ini pendidikan untuk umat manusia. Saya sendiri konsultan untuk sekolah sejenis. Selama ini, kelemahan sekolah adalah mau modern tapi belum mampu. Jadinya seadanya deh... Tapi ada juga memang yang terlalu pelit. Si owner merasa bahwa yang penting untungnya banyak. Qualitas? Ya Insya Allah! Serahkan saja sama guru-guru yang ada disekolah itu. kalau ada complaint? Ya paling guru yang akan jadi bulan-bulanan.

    ReplyDelete
  7. Sekolah kami baru saja mau memulai Prog. Bilingual. Ternyata tidak mudah. Banyak yang perlu dipersiapkan. Persiapan sarana prasana,tenaga pengajar. Dan kalau melihat kondisi sekolah kami rasanya belum siap! Betul, bukan ilmu yang didapat, bisa-bisa hanya dijadikan ladang bisnis nantinya. Tidak mungkin membebani sepenuhnya sapras kepada orang tua murid. ini akan jadi biaya mahal. STOP dan tunda dulu! Gunakan kekuatan dan kelemahan sekolah. Persiapkan sematang mungkin kalau ingin membuka Prog/kelas bilingual.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...