Assalamu'alaikum wr.wb.,
Di milis pendidikan, seorang bapak bertanya bagaimana menghadapi anak didik atau anak kandung yang mau murtad. Berikut ini ada jawaban saya. Mungkin bermanfaat bagi yang lain.
Saya sudah beberapa kali berpengalaman dengan orang yang sudah siap murtad atau sudah pernah murtad tetapi kembali ke Islam. Yang terakhir, ada seorang anak muda (masih mahasiswa) yang hubungi saya. Dia sudah Muslim dari lahir, tetapi waktu ketemu saya sudah siap masuk agama Kristen pada minggu berikut. Dia anggap orang Kristen lebih bahagia dan tenang dari Muslim. Dia sudah tidak shalat, suka minum alkohol, ikut teman ke pesta2, dan sebagainya.
Suatu hari, dia mencari info di internet tentang perbedaan antara Islam dan Kristen, atau tentang bagaimana bisa masuk agama Kristen. Nggak tahu kenapa, dia malah ketemu blog saya, dan kemudian kirim email. Dia kaget karena ada orang bule mau tinggalkan agama Kristen untuk masuk Islam. Pertanyaannya terlalu banyak dan sulit untuk dibalas lewat email, jadi saya ajak dia ketemu dengan saya. Kita ketemu dan makan siang sambil ngobrol selama 3 jam. Setelah itu, saya tawarkan draft dari buku saya untuk dibaca, dan setelah satu minggu, kita bertemu lagi.
Intinya dari percakapan kita, saya jelaskan bahwa ajaran Islam (rata-rata) masuk akal dan mudah dicerna. Sumbernya jelas: Al Qur’an dan hadits. Sebaliknya, ajaran Kristen tidak demikian, dan saya jelaskan sebagian kecil dari apa yang ada di buku saya tetang ajaran Kristen yang tidak dicontohkan oleh Yesus, alias tidak jelas dari mana.
Setelah kira-kira 1 minggu, dia telfon saya dan mengatakan sudah tidak berniat lagi masuk agama Kristen, dan sudah baca seluruh buku saya 3 kali. Terakhir saya bicara dengan dia, dia mengatakan sudah shalat 5 waktu, baca Al Qur'an lagi, berhenti minum alkohol, tinggalkan teman lama (yang ajak mabuk2an), dan bertanya bisa mengikuti pengajian di mana lagi karena, pada saat ini, hanya mengikuti satu pengajian, alias tidak cukup.
Pada dasarnya, saya kira kebanyakan orang Islam yang ingin murtad menjadi demikian untuk alasan yang tidak selalu berkaitan dengan ajaran Islam sendiri. Misalnya, ada seorang perempuan yang hubungi saya dan mengatakan mau murtad karena dia membenci ibunya. Jadi dia ingin murtad untuk menghukum ibunya dengan suatu hukuman yang akan membuat ibu malu di depan seluruh keluarga dan teman.
Ada orang lain yang murtad setelah mimpi bertemu Yesus, tetapi sekaligus juga bisa dilihat beberapa keanehan pada orang tersebut, dan karena itu saya merasa yakin bahwa akalnya kurang sehat. Juga sangat mungkin ada masalah emosional yang membuat dia merasa tidak tenang di dalam kehidupannya. Bagi dia, sangat mudah untuk menyalahakan Islam dan kemudian tinggalkan Islam daripada minta bantuan kepada Allah yang Maha Kuasa (untuk mengatasi semua masalahnya).
Ada juga orang yang murtad karena tidak mendapatkan pendidikan agama yang baik dari orang tua sendiri jadi dia anggap agama itu tidak penting. Yang penting (menurut dia) adalah bahwa setiap orang harus merasa bahagia di dunia ini. Sikap seperti ini menjadi berbahaya ketika ada perempuan (biasanya) yang jatuh cinta dengan non-Muslim. (Saya sudah lupa berapa kali saya bertemu dengan seorang perempuan yang kekasihnya adalah non-Muslim, dan dia berharap pacarnya itu bisa “dibuat Muslim” setelah bicara dengan saya). Karena dia anggap bahwa cinta adalah segala-galanya di dunia ini, dan tidak ada tujuan di dunia ini selain mencari dan menemukan cinta dengan seorang kekasih (sesuai ajaran sinetron setiap hari di tivi), maka pada saat dia merasakan cinta tersebut, dia merasa bahwa ini merupakan kewajiban bagi dia untuk mengakui dan mengikuti perasaan cinta itu. Hasilnya, dia siap tinggalkan agama yang benar demi cinta. Dunia akhirat yang kekal tidak masuk perhitungan. Dalam kata lain, dia ambil keputusan dengan hatinya, bukan dengan akalnya. Akal diabaikan saja, karena hanya cinta yang penting.
Pernah saya coba menjelaskan kepada seorang perempuan bahwa mungkin saja Allah sedang menguji keimanan dia dengan membuat perasaan cinta terhadap non-Muslim. Kalau dia mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dia tidak mungkin akan siap murtad hanya untuk perasaan cinta dari seorang pria, yang juga bakalan ditolak oleh keluarganya si perempuan. Saya pernah mengatakan bahwa apa yang dia anggap cinta itu terasa sebagai 10/10 di dalam hatinya, alias sempurna dan tidak bisa lebih. Tetapi mungkin saja itu hanya ujian dari Allah, dan kalau dia teguh dalam keimanannya, dan tidak mau murtad untuk alasan kecil seperti cinta, maka barangkali Allah akan membalas dengan rasa cinta terhadap seorang pria yang lain yang memang Muslim dari lahir. Dan ketika dia ketemu orang yang baru itu, baru dia akan sadari bahwa skala 1-10 yang dia gunakan sebelumnya sebenarnya mencapai 100, jadi perasaan sebelumnya hanya 10/100 (atau 10% dari yang mungkin) bukan 10/10 (atau 100% dari yang mungkin). Batas rasa cinta yang dia rasakan sebagai 10, belum tentu sudah mencapai batas paling maksimal. Mungkin saja itu hanya sebuah tes bagi dia, dan setelah dia menolak murtad, baru Allah membuka hatinya untuk merasakan cinta sampai batas 100. Wallahu a’lam.
Intinya, orang yang murtad karena ada perasaan cinta terhadap non-Muslim (dari pengalaman saya memberikan nasehat kepada orang yang mengalaminya) biasanya tidak tahan lama, dan cepat atau lama (1-15 tahun) orang yang murtad itu akan menyesal. Apalagi kalau setelah 10 tahun murtad karena cinta, dia malah diceraikan oleh suaminya. Apalagi ditambah juga dengan selingkuhnya si suami. Jadi bisa berakhir dengan cara yang sangat pahit, dan rasa cinta “10” (dihitung sempurna) yang menjadi ladasannya untuk murtad belum tentu bertahan lama. Tetapi hari penghakiman dan dunia akhirat tidak akan hilang, jadi keputusan dia untuk murtad akan menjadi beban yang besar nanti.
Ada lagi seorang perempuan yang murtad karena menikah dengan non-Muslim. (Saya tidak tahu kalau keluarga setuju atau tidak). Setelah menikah, dia malah diajak ke gereja, dan dia mengatakan kepada saya “Sebagai seorang isteri yang beriman, saya seharusnya nurut dengan suami, jadi saya ‘terpaksa’ ikut ke gereja”. Tentu saja dia sangat salah paham kewajibannya sebagai seorang isteri yang beriman. Sangat tidak masuk akal bila dia wajib menuruti suaminya bila suaminya mengajak keluar dari Islam dan masuk agama lain, dan tentu saja dia salah paham bahwa seorang isteri yang beriman harus nurut dengan suaminya dalam semua keadaan, khususnya bila diajak murtad. Setelah ibu ini cerai, dia kembali ke Islam, tapi dengan setengah hati karena sudah lama di gereja, dan dia bertemu saya untuk menanyakan perbedaan antara Islam dan Kristen. Dia perlu diyakinkan bahwa Islam memang benar, karena walaupun dia sudah mengikuti kedua agama itu, dia masih tidak paham intinya dan perbedaannya antara kedua agama tersebut (dia masih awam).
Selain itu, ada juga orang yang murtad sebagai hasil dari Kristenisasi, dan saya kira semua orang Muslim sudah baca banyak tetang itu, jadi tidak perlu diulangi di sini.
Kalau bapak [yang kirim email untuk bertanya tentang masalah ini] mau mengatakan bahwa seorang Nabi bisa gagal juga dalam dakwahnya, saya kira tidak tepat. Memang kita tidak bisa memaksakan orang kafir menjadi Muslim dan juga kalau ada orang Muslim yang berserikeras untuk murtad, kita juga tidak bisa memaksakannya untuk paham bahwa itu tidak baik dan benar. Dia harus berniat untuk paham sendiri. Hidayah itu sangat mahal dan saya kira kebanyakan orang justru tidak paham betapa mahalnya hidayah itu. (Saya mencari kebenaran dalam agama selama 15 tahun, dan pelajari Islam dulu selama 5 tahun sebelum bisa baca syahadat). Juga bisa dikatakan bahwa kebanyakan orang sangat kurang bersyukur bahwa mereka dilahirkan sebagai Muslim di Indonesia, dan mereka kurang bersyukur karena tidak paham tentang apa yang sudah diberikan kepada mereka sejak lahir sebagai berkah dan hikmah yang besar dari Allah.
Juga penting untuk mengerti bahwa kita perlu berusaha semaksimal mungkin untuk berdakwah kepada orang lain yang ingin memahami Islam. Saya kira usaha dari seorang Nabi terhadap komunitasnya pasti sangat baik, dan bukan sekedar mengatakan:
“Mau masuk Islam?”
“Nggak usah!”
“Oke deh. Dahh”
Usaha dari seorang Nabi pasti lebih dari itu jadi tidak tepat kalau kita melihat orang Muslim murtad lalu menyalahkan dakwahnya seorang Nabi Allah.
Dalam kasus ada orang yang mau murtad, kita juga perlu bekerja keras untuk mendidiknya supaya dia bisa kembali menggunakan akal yang sehat (bila masih mungkin). Dengan orang pertama yang saya bahas di atas, saya perlu bicara dengan dia sekitar 6-10 jam atau lebih sebelum dia mulai berfikir kembali dan menggunakan akalnya daripada mengikuti emosinya saja. (Saya kira isi dari buku saya juga sangat membantu dia dalam proses berfikir).
Jadi, kalau ada anak yang mengatakan mau murtad, saya kira ada beberapa kemungkinan.
1. Anak itu kurang waras, alias dia Muslim dari lahir tetapi tidak begitu paham dan tidak anggap penting. Mungkin dia anggap kebutuhan untuk makan dan mandi setiap hari tidak begitu penting juga. Dia anggap dunia akhirat tidak penting dan hanya mau bahagia saat ini di dunia ini. Pemikiran jangka panjang tidak sehat.
2. Anak itu punya masalah sosial atau masalah pribadi (emosional), terutama dengan orang tua. Dia merasa tertekan di rumah, dan karena tidak bisa tenang, dia merasa solusinya adalah tinggalkan Islam karena kehidupan keluarganya sangat berkaitan dengan kegiatan Islam. Dengan tinggalkan Islam, dia bisa “menampar wajah” orang tua dan sangat menyakiti mereka, sekaligus memalukan mereka di depan umum. (Semua orang tua yang Muslim pasti merasa malu dan sakit hati bila anaknya murtad dan ketahuan oleh semua orang).
3. Anak itu tidak diberikan pengertian agama yang baik dari orang tua, atau dari guru sekolah. Dia menjalankan Islam, tetapi bukan karena paham melainkan sebagai kebiasaan saja, seperti memakai baju batik di pesta pernikahan – hanya kebiasaan saja yang diajarkan kepadanya tanpa landasan yang kuat. Sudah biasa dengan Islam, jadi diteruskan untuk sementara (masa mudanya) – sampai menjadi jenuh dan tidak mau lagi.
4. Anak itu memang tidak ditakdirkan untuk mendapatkan hidayah dari Allah. Kalau anak lahir sebagai orang kafir, biasanya dia tetap kafir dan hanya sedikit sekali yang berhasil masuk Islam. Kalau dia dari keluarga Muslim, mungkin saja Allah mencabut keimanan dari hatinya, dan biarkan dia menjadi kafir. Kalau untuk kasus ini, hanya Allah yang tahu dengan sebenarnya.
Jadi, kalau kita menghadapi seorang anak yang mau murtad, insya Allah dia termasuk dalam kategori 1-3 di atas. Artinya, kalau kita tanggapi keluhannya secara serius dan berusaha untuk menjawab pertanyaannya maka insya Allah dia bisa kembali ke jalan yang lurus.
Sayangnya, terlalu banyak orang tua (dan guru) akan menghadapi masalah serius seperti itu dengan meremehkan dan abaikan keluhan anak itu (dianggap tidak sungguh-sungguh, atau reseh saja), sambil juga marahi dia dan menyatakan tidak boleh murtad, tanpa menjelaskan dengan alasan yang bisa diterima. Kalau anak sudah berfikir lama tentang masalah agama, dan pada saat dia berusaha untuk menjelaskan pemikirannya kepada orang tua atau guru, dia malah dimarahi dan tetap tidak mendapatkan penjelasan, saya kira itu malah akan memperkuat keinginannya untuk tinggalkan Islam.
Jadi, saya anjurkan agar orang tua dan guru tanggapi perkara ini dengan sikap yang serius tapi tenang. Berusaha untuk tidak menjadi marah atau emosi, dan mencari akar dari permasalahannya. Kalau diteliti dengan baik, saya kira kebanyakan kasus ini punya akar di dalam urusan keluarga itu sendiri di mana perilaku orang tua kurang baik, dan bila tidak diperbaiki, maka anak itu akan melihat jalan murtad sebagai pilihan yang baik untuk menghukum keluarga dan sekaligus memutuskan hubungan dengan mereka.
Kalau ada anak yang mengatakan sudah pelajari semua ajaran dasar Islam dan Kristen dengan akal yang sehat, dan setelah membandingkan dan menganalisanya dia merasa yakin bahwa Kristen adalah agama yang paling benar dan paling masuk akal, maaf, saya kurang percaya. Justru yang sebaliknya yang sering terjadi: anak itu mengikuti emosi semata dan menyalahkan Islam untuk semua keluhan pribadi yang ada, dan akalnya tidak digunakan sama sekali. Oleh karena itu, orang tua dan guru sebaiknya berusaha untuk mencari inti dari permasalahan yang menyebabkan anak itu mau murtad. Saya yakin, dan insya Allah benar, akar masalahnya bukan dari Islam sendiri tetapi di dalam kehidupan pribadi anak itu, terutama di dalam hubungan dia dengan anggota keluarga yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(557)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(179)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
15 April, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Asslamualaikum..om gene, bukan kah setiap anak dilahirkan kedunia dalam keadaan fitrah/suci, apa anak lahir sudah tergariskan dia kafir? Bukan kah yang membentuknya demikian adalah keluarga atau
ReplyDeletelingkungannya
>>>>..4. Anak itu memang tidak ditakdirkan untuk mendapatkan hidayah dari Allah. Kalau anak lahir sebagai orang kafir, biasanya dia tetap kafir dan hanya sedikit sekali yang berhasil masuk Islam>>>???
>>kenapa perempuan muslim bisa menikah dengan non muslim>>sprt yg ditulis saya sependapat.
Tapi jika pernikahan karena kedok kristenisasi pun ..itu yang menyedihkan.
>>kasus perempuan yg menikahi pria non muslim, karena alasan dia hamil diluar nikah, karena tidak tahan menanggung malu, lalu sang pria mau menikahinya dengan syarat menikah di gereja dan otomatis dia mengikuti agama suaminya>>
>>> seandainya saya bisa, saya ingin memberikan tulisan om gene ini sama dia (si perempuan itu)
tapi jadi 'sensitif' kalo membahas agama dengan dia, saya malah melihat dia seperti org atheis sekarang, ke gereja tidak, apalagi masjid.
cuma butuh legalitas pernikahan saja karena ' Malu'
>>saya selalu berdo'a semoga Alloh Memberikan HidayahNya untuk Kembali'
>>Bukan kah dalam Alqur'an sudah terang2an di jelaskan>> budak perempuan muslim lebih baik dibanding menikahi seorang kafir.
Makanya saya ga habis pikir kalau lihat public figure demi legalitas pernikahan beda agama, pergi ke australia, singapore atau hongkong dsb.
Sah dimata hukum? hukum manusia??
di indonesia apa diakui??
Di mata agama? bukannya dihukumi zina.
wsslm
Assalamu'alaikum wr wb
ReplyDeleteBetul Rahma, Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah/suci ( Kullu Mauludin Yuuladu 'ala al fitrah…dst.
Rasulullah saw bersabda: ” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi ". (HR. Bukhari).
Sebelum anak tersebut mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah maka orangtuanyalah yang berperan dan bertanggung jawab terhadap keimanan seorang anak.Kalau kedua orangtuanya kafir bisa saja seorang anak juga cenderung menjadi kafir.
Tapi kekafiran juga tidak bisa dikatakan sebagai sebuah takdir, kasihan sekali orang-orang yang dilahirkan memiliki orangtua kafir dan tidak bisa masuk surga karena kekafirannya.Saat seseorang sudah dewasa dan mampu membedakan yang benar dan salah maka kewajibanyalah untuk mencari jalan kebenaran karena dia dianugrahi hati dan akal, disinilah fungsinya proses berpikir untuk mendapatkan hidayah kebenaran, karena hidayah bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tapi harus dicari dengan proses belajar dan berpikir, setelah itu baru hidayah Allah ditemukan.
Seorang koruptor belum tentu ditakdirkan melahirkan anak yang koruptor juga, seorang ulama belum tentu ditakdirkan melahirkan anak yang jadi ulama juga, tergantung informasi dan intervensi lingkungan dan pendidikan yang diterima akalnya.Seorang muslim juga bisa saja mempunyai anak yang non muslim karena info dan pengaruh lingkungan yang didapatnya seiring perjalanan waktu, sama saja dengan perbuatan baik dan buruk yang dilakukan seseorang bukanlah takdir tapi karena pilihan orang tersebut, karena setiap manusia punya kecenderungan untuk fujur dan taqwa, seperti dalam surat as Syams : 8 ( Maka Dia mengilhamkan kepadanya, jalan kejahatan dan ketakwaannya), manusialah yang memilih jalan itu, jadi bukan ditakdirkan untuk berbuat jahat atau takwa. Wallahu a'lam bishshawab.
Assalamu'alaikum.Wr.Wb.
ReplyDeleteTerimakasih bro Gene untuk semua perhatian, waktu, dan dakwahnya bagi sesama muslim, terutama yang diambang murtad.
Semoga Allah SWT membalas dengan segala kebaikan di dunia dan di akhirat. Amin.
Wassalam
Assalamu'alaikum...
ReplyDeleteTentang muslimah yang menikahi non muslim saya amati disekitar saya. Ada yang kemudian suaminya masuk Islam namun sayang belum pernah keliatan sholat jum'at atau sholat ied. Dan jumlahnya ada beberapa di sekitar tempat tinggal saya. Menurut Pak Gene apakah mereka ini sekedar u/ syarat aja masuk Islam(semoga tidak demikian) atau mereka malu atau bagaimana? karena sudah bertahun-tahun. Apalagi kalau diundang semacam pengajian dengan alasan tidak dapat baca Qur'an (meski di acara tsb mereka tdk diminta untuk baca Qur'an) jadi justru tidak mau hadir. Mohon sarannya Pak. Jazakumullah khair.
Assalamu'alaikum wr.wb.,
ReplyDeleteIya, dari pengalaman saya menasehati ibu2 yang suaminya masuk Islam, hampir semuanya tidak menjadi serius tentang Islam di kemudian hari. Mungkin 1-10 dari 1000 (seribu) muallaf (karena menikah) yang menjadi serius. Sisanya tidak. Mereka masuk Islam sebagai syarat untuk menikah. Tidak ada bedanya dengan syarat harus memakai baju adat. Asal dilakukan pada hari pernikahan itu (baju adat atau syahadat), sudah cukup untuk menikah. Besok, tinggal buang saja dan abaikan seumur hidup karena tidak dibutuhkan lagi.
Kalau dibuat pengajian, mereka akan menghindar, karena sebenarnya mereka tidak tertarik pada Islam dari awalnya.
Ini merupakan kesalahan pihak perempuan dan juga bapaknya.
Dari sisi perempuan, dia terlalu mengutamakan “cinta” semata, dan tidak berfikir secara logis tentang bagaimana kehidupan bagi dia dan anaknya bila sang suami tidak serius. Dia hanya pegang pada rasa cinta saja pada si pria asing, dan setelah 10-15 tahun baru dia menyesal sekali.
Dari sisi bapak pengatin perempuan juga ada kesalahan karena dia mengizinkan tanpa berfikir lebih dalam. Seharusnya dia menolak dulu. Kalau mereka mau menikah, bapak harus wajibkan si pria masuk Islam dulu, dan setelah 6 bulan atau lebih, bapak bisa periksa shalatnya dll. Kalau kelihatan bagus, pernikahan diizinkan. Sayangnya jarang begitu.
Yang sering terjadi, baca syahadat jam 9 pagi, akad nikah jam 11 pagi.
Besok hari, sang suami sudah mulai cuek pada Islam.
Setahu saya, tidak ada obat untuk masalah ini (keucali ada yang ingin berjuang lama dengan shalat tahajjud dll). Saya sudah pernah coba bicara dengan beberapa suami seperti itu, dan tidak berhasil. Mereka membantah terus, bertanya2 lagi, dan tetap tidak berubah (karena tidak mau berubah).
Mereka masih ingin minum alkohol, makan babi, hidup untuk kenikmatan dunia ini, dan abaikan dunia akhirat (“Emang ada dunia akhirat? Mana buktinya?!?!”)
Jadi, untuk yang sudah terlanjur menikah dengan orang asing yang masuk Islam pada saat menikah, maaf, saya tidak punya solusi selain berdoa terus kepada Allah. Tetapi terus terang, dari pengamatan saya melihat para wanita yang menikah dengan pria asing, sangat jarang ada yang agamanya sangat dalam. Justru sering kelihatan yang sebaliknya: agamanya cukup dangkal dan saya rasa itu salah satu alasan kenapa dia tertarik pada pria asing dari awalnya. Jadi kalau ada seorang isteri seperti itu, dan dia diberitahu bahwa obatnya hanya shalat tahajjud setiap malam (misalnya), maka justru sang isteri yang malas mengerjakan dan ingin mencari jalan yang lebih mudah. Dia kira kalau bikin pengajian saja di rumah sudah cukup. Dan setelah tidak berhasil, dia bingung mau pakai cara mana lagi.
Tetapi untuk orang yang masih berfikir untuk menikah dalam waktu dekat, si pria itu sebaiknya suruh masuk Islam dulu, dan setelah 6 bulan periksa kualitas islamnya. Kalau tidak mau begitu, silahkan menikah, tetapi nanti akan menyesal sendiri.
Yang paling para yang pernah saya hadapi adalah seorang ibu yang menikah dengan kekasihnya di kedutaan asing, dan tidak minta izin kepada bapak kandungnya. Dia tidak peduli kalau bapaknya tidak setuju dan menikah karena cinta. Setelah 20 tahun, suami masih hidup seperti orang asing biasa (saya lupa kl dia membaca syahadat atau tidak). Tapi yang parah adalah waktu ibu itu bertanya tentang status pernikahannya. Saya jelaskan bahwa menurut hukum Islam, pernikahannya tidak sah karena tidak ada izin dari bapak kandung dari si perempuan, dan pernikahannya dilakukan di kedutaan, bukan secara Islam. Jadi dalam hukum Islam, dia memang belum menikah dan apa yang dia lakukan selama 20 tahun itu dihitung perzinahan (dari pandangan Islam)!!! Kasihan sekali wanita yang mengutamakan “cinta” semata di atas hukum Allah.
Dulu juga ada kasus seorang bapak yang sudah masuk Islam sekitar 20 tahun dari saat menikah. Saat dia mau baca pidato, dia tunjukkan teks yang pakai huruf latin kepada saya, dan minta saya untuk membacanya dengan suara keras karena dia tidak tahu cari mengucapkan kalimat itu.
Kalimatnya ditulis seperti ini dengan huruf latin juga: “Bismillah hirrahman nirraham. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.”
Setelah saya baca untuk memberikan contoh, dia coba beberapa kali, tetapi masih tidak bisa.
Waktu saya tanya kepada si isteri tentang kualitas agama suaminya, dia bilang suaminya sudah sangat bagus dan rajin shalat, dan jadi imam di rumah. (Saya jadi sangat meragukan pernyataan dari isteri itu).
Intinya, saya tidak setuju bila para wanita Indonesia diperbolehkan menikah dengan pria asing kalau dia baru baca syahadat pada hari pernikahaannya. Dari pengalaman saya, hasilnya hampir selalu buruk. Tetapi di perempuan (rata-rata) tidak peduli, karena sudah ada “cinta”. Dan seperti biasa, anak yang menjadi korban, karena contoh yang mereka dapat dari bapak kandung mereka (yang menjadi Islam KTP) adalah bahwa Islam tidak begitu penting. Yang penting happy-happy saja! Kasihan sekali mereka.
Kalau mau menikah, mencari orang yang mengerti agama Allah dulu. Cinta nomor dua, bukan nomor satu.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteAssalamuailkum om,,
ReplyDeletesaya sudah 2 kali mengalami situasi spt tulisan ini, bedanya dia ini cma teman saya,
yang pertama kali saya cma membiarkannya dan tidak memberitahu orgg tuanya. dan akhirnya penyesalan yg saya rasakan krn dia2 benar2 murtad
bagaimana saya menyikapi utk yg k2 ini??
mohon bimbingannya, bagaimana saya harus menyikapinya?
Wa alaikum salam wr.wb.,
DeleteHarus berusaha untuk mengajak dia berpikir dengan akal yang sehat. Tidak mudah, tapi untuk sebagian orang masih ada harapan. Ajak dia diskusi ttg Islam. Selama ini, saya belum pernah dapat satu kasus di mana ada orang yang keluar dari Islam karena menganalisa, lalu pilih agama lain di atas Islam. Selalu terjadi karena ada masalah emosional, terutama masalah keluarga.
Jadi ajak orang itu diskusi.
Apakah bukunya sudah dipublish? Dimana saya bisa membelinya?
ReplyDeleteSaya juga email ke genenetto@gmail.com mohon advisenya.
Wassalamualaikum Wr Wb
Buku saya belum terbit. lagi disiapkan.
DeleteBukankan manusia bebas dalam memilih agama?bukankah kita sesama umat manusia dilarang mengejek atau membuat suatu statment yang menyalahkan ataupun merasakan bahwa yang lain itusalah? Sebenarnya semua agama itu sama,tergantung bagaimana menyikapi dan mempercayainya,ketika seorang nonmuslim,pasti dia berkata bahwa agama dia benar,begitupun juga dengan yang muslim. Semuantergantung hati,dan bagaimana bersikap,kepercayaan bukan sesuatu yang menjadi paksaan.terkadang banyak orang2 tua ataupun orangbyang disekitarnya untuk menuruti semua kehendak dirinya,tanpa memikirkan perasaan orang lain.jadi menurut saya,biarkanlah menurut pendapat hati masing2,jika agama itu baik untuk dia,maka ya sudah,berarti itu pilihan dia,bukan karena paksaan,terimakasih
ReplyDeleteAssalamu'alaikum wr.wb
ReplyDeleteMakasih sangat membantu,, saya jadi semangat kembali kejalan yang benar setelah saya menyatakan kalo saya mau murtad.. semoga dosa" saya diampuni,, semoga usaha saya memperbaiki semuanya juga diterima amin..
Wa alaikum salam. Kl mau diskusi lebih dalam, silahkan email saya di genenetto@gmail.com
DeleteAssalamu'alaikum tuan.
ReplyDeleteSaya mahu tanya. Anak perempuan saya ada pacar christian di Netherland. Dia sudah tinggal sendiri. Sekarang kerap ke Netherland. Anak saya banyak ber rahsia jadi kami sudah tak tahu apa2. Saya sangat sangat khuatir. Apa perlu saya buat selain berdoa.
Wa alaikum salam. Kenapa tidak diajak bicara, dan ditanyakan langsung apakah dia sudah pindah agama? Sangat mungkin dia sudah merasa bukan Muslim lagi, dan sudah biasa tidur bersama pacarnya. Kalau anda tidak berani bertanya, anda tidak pernah akan tahu.
DeleteDia tinggalkan rumah on 22 Feb 2016. Semasa bersama kami bila ditanya cuma kata pacarnya non muslim di netherland. Setahun 2 kali datang ke singapore. Anak saya ajak kepada Islam tapi hingga kini takde berita. Setelah anak saya tinggalkan kami lebih banyak soalan yang ditanya dia tak mahu cakap. Since she left I keep crying dan doa. Sekarang dia di netherland. 3mths in spore then 3 mths in netherland.
DeleteTahun in ramadhan dan eid anak saya di netherland. Sangat3 susah hati. Semua soalan kami tak mahu dijawab
DeleteTolong beri nasihat. Terimakasih
Kalau dia tidak mau diskusi dgn ibu, tidak ada yang bisa dilakukan. Ibaratnya ibu mau masuk ke rumah orang, tapi orang itu menolak buka pintu. Mau lakukan apa?
Deleteassalamualaikum wr wb
ReplyDeletepak sya mohon bantuan berupa saran dan solusi dari bpk. adik permpuan sya dia masih berusia 15thn, smjk 3thun lalu dlm pergaulannya,ia lebih akrab dan lebih dekat dgn tmn tmnnya yg non muslim. kami tinggal di papua dimna mayoritas/kebanyakan penduduk asli org disini beragama non muslim.
sifatnya yg keras kepala, sangat susah dinasehati oleh org tua agar lebih giat shalat, mengaji dan kgiatan ibadah lainnya .
ia jdi memiliki sifat yg trtutup trhpd org tua dan kakak2nya .
bbrpa bulan ini saya memantau status2 di sosial medianya dgn menggunakn akun lain . skrang sering kali ia membuat status dan memposting quotes dgn mengucap nama Tuhan lain selain Allah SWT .
sya sdh melaporkn pda org tua, namun saking keras sifat adik sya, kdang org tua sya sdh sangat bingung harus brbuat apa lagi.
lantas cara apa sajakah yg saya harus lakukan agar dpt menyadrkan dia kmbali pak ? melakukan pendekatan sprti apa ?
Wa alaikum salam wr.wb., Hal seperti ini memang sangat sulit. Dan seringkali keras kepala seorang anak disebabkan dia tidak dekat dgn orang tua, sakit hati terhadap mrk karena persoalan di masa lalu, jadi dia cari kesempatan utk melawan mereka. Di situ setan bisa masuk dan berikan pengaruh.
DeleteJadi utk disadarkan kembali tidak gampang, karena kerusakan sudah makan waktu bertahun2 dan tidak bisa diobati dgn sehari. Kalau mau coba, harus diajak diskusi dgn logika. Asal usul islam dan Al Quran jelas. Ada sejarahnya dan logis. Sedangkan utk agama di luar islam, tidak jelas, tidak logis, dan tidak ketahuan asal usulnya dari mana.
Jadi perlu ajak dia diskusi ttg agama. Dan dari pengalaman saya, orang yang tinggalkan islam utk agama lain tidak pernah pakai akal. Selalu pakai emosi. Dan kl berlawanan dgn keluarga, biasanya ada unsur sakit hati terhadap orang tuanya, yang menjadi pemicu.
Jadi hubungan yang rusak itu perlu diperbaiki, dan harus ada bbrp orang yg bisa ajak dia diskusi agama dgn gunakan logika.
Assalam mualaikum wrwb.. Bagaimana cara meyakinkan anak yg mau murtad karena pacaran dengan non muslim... Sebagai catatan saya seorang mualaf... Saya butuh sekali nasehat dari anda..
ReplyDeleteWa alaikum salam wr.wb.,
DeleteTidak begitu mudah. Sikap anak itu menunjukkan bahwa dia lebih pedulikan kasih sayang dari seorang pria non-muslim di dunia, daripada kasih sayang dari Allah. Dia hanya peduli pada dunia, dan hanya ingin senang sekarang saja.
Masalah paling utama biasanya ada di dalam keluarga sendiri. Dia benci orang tua, tidak dekat dengan orang tua, ibu cerewet, bapak keras, dsb. Jadi dia cari cinta dan ketenangan di tempat lain, lalu dapat pria non muslim. Masalah keluarga (kl ada) tidak bisa diobati dgn sekali diskusi saja. Dia akan tetap menjauhi keluarga, lewat pernikahan dgn pria itu.
Kalau dia tinggal terpisah dari keluarga, dan punya banyak kebebasan, maka lebih sulit lagi utk mengubah hatinya. Dan lebih sulit utk tahu apa dia bicara dgn jujur ttg kegiatan dia. Jadi perlu didekati, dan kl bisa, hidup satu rumah daripada di tempat yang jauh.
Coba anda tanya kepadanya kenapa mau mundur ke Yesus dari posisi Muhammad? Kenapa tidak mundur lebih jauh lagi dan ikuti Nabi Musa menjadi orang Yahudi, atau ikuti Ibrahim saja? Kenapa merasa berhak pilih2 sendiri mau ikuti Nabi Allah yang mana? Apa Allah tidak boleh tentukan? Apa dia juga pilih2 sendiri mau akui presiden yang sah yang mana? Masih menjadi pengikut setia Soeharto, dan hanya ikuti hukum yang dibuat oleh Soeharto? Kalau dia jadi jenderal, dan menolak perintah dari Presiden yang sah sekarang, dia akan dicap “pengkhianat negara” dan bukan “pengikut setia Soeharto”. Tidak akan dianggap berhak pilih2 sendiri.
Begitu juga dgn urusan Allah, agama, dunia dan akhirat. Ada yang sah, ada yang tidak lagi sah. Dia tidak berhak pilih sendiri, kecuali mau jadi orang sombong, yang merasa lebih tahu daripada Tuhan.
Dan kl dia bilang Yesus Anak Tuhan, suruh dia buka Al Kitab, dan tunjukkan berapa kali Yesus bicarakan Trinitas, dan berapa kali dia sebutkan terang2an bahwa dia adalah Anak Tuhan. Dan tentu saja, dia perlu kutip Yesus dalam bahasa aslinya, bukan bahasa terjemahan. Jadi coba buka Al Kitab dalam bahasa Yesus, agar lebih jelas (tapi tidak ada di seluruh dunia Al Kitab dalam bahasa Yesus, jadi tidak bisa).
Anak itu harus diajak diskusi dgn logika, dan belajar bahwa agama Kristen sudah diganti dengan ajaran baru sejak masa Nabi Muhammad. Begitu juga dulu Yesus gantikan ajaran Musa dgn yang baru, dan Musa gantikan ajaran Ibrahim dengan yang baru. Kok dia bisa terima pergantian dari Ibrahim ke Musa, dari Musa ke Yesus, lalu menolak dari Yesus ke Muhammad? Dari mana dapat hak menolak dan pilih2 sendiri? Tuhan tidak berikan hak itu kepada manusia.
Kalau tinggal di Jakarta, bisa coba tanya apa dia mau diskusi langsung dengan saya. Kalau tinggal di tempat yang jauh, usahakan terus ajak dia menggunakan akal. Tidak ada orang yang murtad dari Islam kecuali dia telah lepaskan daya pikir logika terlebih dahulu.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene