Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

21 July, 2008

Solusi Masalah Pendidikan ada di Tangan Orang Tua


Assalamu’alaikum wr.wb.,

[Ada pembaca yang bertanya kepada saya tentang solusi terhadap masalah pendidikan yang saya bicarakan. Ini jawaban saya.]

Pak, saya sudah coba menjawab pertanyaan anda dalam komentar saya di post Pengakuan Guru 2. Saya yakin bahwa semua masalah ini bisa diselesaikan oleh orang tua yang peduli.

Kalau kita sedikit mempelajari sejarah serikat buruh di manca negara, kita bisa tahu bahwa demi kesejahteraan bersama, para pekerja bergabung dan menyatu di dalam sebuah serikat buruh.

Awalnya, mereka memang dilawan oleh pemerintah (dengan menggunakan polisi untuk memukuli mereka). Mereka juga dilawan oleh pemilik perusahaan, yang siap terima kerugian besar dengan menutup pabriknya, asal berhasil memecah-belahkan pekerja yang berprotes.

Di Inggris, ada sejarah mogok kerja satu kelompok yang berlangsung lebih dari 1 tahun lamanya. Para pekerja tidak mau kalah dan pemerintah/pengusaha juga tidak mau kalah.

Sejarah membuktikan bahwa walaupun menggunakan semua cara (polisi, ancaman hukum, pemerasan, ancaman fisik, sogokan, pemukulan, dll.) pemerintah pada akhir hari tetap kalah.

Kenapa?

Karena industri hanya ada selama ada pekerja. Tanpa pekerja, tidak ada industri. Yang namanya CEO atau direktur bukanlah orang yang membuat barang di pabrik. Sejarah serikat ini menunjukkan bahwa kalau suatu kaum benar2 kompak dan menuntut haknya, tanpa mundur, mereka insya Allah akan memang. Atau minimal bisa dikatakan mereka mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemerintah/pengusaha supaya mendapat hasil yang saling menguntungkan daripada menguntungkan satu pihak dan sangat merugikan yang lain.

Karena Indonesia belum melewati tahap perkembangan ini (satu bagian dari perkembangan demokrasi di manca negara), maka mayoritas dari pekerja di sini belum pernah bergabung dalam suatu serikat. Karena itu, orang tua biasa tidak punya konsep ini di dalam benak mereka. Mereka tidak berfikir untuk mogok. Mereka tidak berfikir untuk turun ke jalan dengan aksi damai dan menuntut haknya. (Sering dianggap tugas mahasiswa saja).

Menurut saya, hanya cara inilah yang paling mungkin memberikan hasil yang nyata dalam waktu dekat. Kalau menunggu partai politik yang bersih dan peduli mendapatkan kekuasaan di pemerintah, maka kita harus menunggu terlalu lama.

Bayangkan saja:

Senin depan, semua orang tua di seluruh Indonesia menolak bekerja/masuk kantor (selain fungsi umum yang penting/darurat – dokter, polisi, dll.) Semua pekerja biasa yang juga orang tua, dengan rukun, tetap di rumah dan tidak bekerja. Atau sekaligus, menghadiri demo rakyat 1 juta orang di semua jalan raya di semua kota.

Tututan orang tua hanya satu: pendidikan yang layak dari pemerintah untuk semua anak bangsa sekarang juga.

Kalau tuntutan tidak diterima, bulan depan orang tua janji mogok kerja lagi, tetapi untuk 3 hari, dan seterusnya. Kerugian negara bisa berapa untuk satu hari saja? Apakah mungkin pemerintah tidak takut dan abaikan aksi seperti ini? Saya yakin tidak mungkin.

Pengusaha pasti marah besar, dan mungkin juga ada sebagian orang yang dipecat, diancam akan dipecat, atau kena hukuman yang lain. Tetapi walaupun tingkat suksesnya hanya 60%, pemerintah pasti takut pada massa yang begitu kompak. Mereka pasti takut dilengserkan oleh rakyat yang menolak pemerintah. Ini yang terjadi pada Presiden Marcos di Filipina. Dia dijtatuhkan karena orang biasa turun ke jalan dan berdiri depan tentara. Mereka menolak Marcos karena inginkan perubahan. Ternyata, tentara ikut bersimpati pada mereka dan tidak bertindak. Akhirnya Marcos kabur ke luar negeri. (Kemarin di Myanmar aksi yang sama dimulai, tetapi tentara bertindak terhadap rakyat. Sayangnya, rakyat cepat kalah dan tidak mau teruskan perjuangannya.)

Dengan tindakan seperti ini, pemerintah akan sadar bahwa masyarakat TIDAK MENERIMA kelalaian mereka di bidang pendidikan. Tetapi masalah utama adalah masyarakat Indonesia belum berani untuk ambil tindakan seperti ini (berarti masih siap menerima kelalaian pemerintah). Di sini lebih banyak orang takut pada pemerintah daripada berani ambil risiko demi masa depan anak mereka dan semua anak bangsa sekaligus. Dan tindakan seperti ini hanya bisa berhasil kalau ada rasa perjuangan bersama, di mana semua orang tua saling peduli pada yang lain.

Saat ini, kalau anak tetangga putus sekolah, belum tentu kita peduli. Paling kita mengatakan sedih, dan tetap beli mobil baru, naik haji, bikin pesta pernikahan buat anak kita yang habiskan 200 juta, dan seterusnya. Belum ada rasa komunitas. Belum ada rasa “sama-sama punya anak, sama-sama peduli pada anak orang lain”.

Orang kaya peduli pada anak mereka saja. Mungkin orang miskin ingin mendapatkan kesempatan korupsi juga di kantor supaya anaknya bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan anaknya orang kaya. Tidak ada rasa komunitas. Tidak ada rasa saling peduli. Semua orang bertindak sendiri-sendiri, dan komplain sendiri-sendiri.

Kalau kita menjatuhkan beberapa tetes air mata di atas kepala pemerintah dan pejabat, kepala mereka menjadi sedikit basah dan cukup dilap dengan tisu. Lalu dilupakan. Kalau 100 juta orang tua menjatuhkan tetesan air mata mereka di atas kepala pemerintah pada saat yang sama, hasilnya adalah banjir raksasa. Mana mungkin diabaikan?

Orang tua harus bersatu dan menyusun strategi untuk melawan kebijakan pemerintah yang abaikan hak anak bangsa. Kalau tidak, tidak akan ada perubahan.

Semuanya ada di tangan orang tua. Mau bersatu, atau mau menangis sendiri? Terserah.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Gene Netto

5 comments:

  1. Mungkin, apa yg dikatakan Om Gene ada benar nya.
    Cuma perlu saya ingatkan, ada hadits:

    "Sebaik2nya pemimpin kalian ialah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian;
    kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.
    Sedangkan seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian;
    kalian mencela mereka dan mereka mencela kalian."
    Kami bertanya: "Ya Rasulullah, bolehkah kita memberontak kepada mereka?"
    Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian.
    Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian."
    (hr Muslim)

    "Kewajibanmu adalah mendengar dan menaati dalam keaddan berat dan ringan,
    pada saat giat dan malas, serta ketika hakmu tidak kamu dapatkan."
    (hr MUslim)

    "Hai Nabi Allah, bagaimana pendapatmu bila di tengah kami muncul pemimpin2 yang menuntut haknya dari kami,
    namun mereka tidak memberikan hak kami. Apa perintah mu kepada kami?"
    Rasulullah saw menjawab "Dengarlah dan taatilah.
    Mereka menanggung dosanya sendiri
    (karena tidak memberikan hak orang)
    dan kamu menanggung dosamu sendiri
    (karena tidak mendengar dan mentaati)"
    (hr Muslim)

    Ada bbrp hadits lagi yg serupa, namun yang ingin saya tekankan di sini:
    1. Jika hendak menasehati pemimpin, hendaklah menasihati yg baik.
    2. Kalau bisa, jauhi hal2 yang merusak dan terkesan anarkis.
    3. Saya sendiri tidak tahu hukum / masalah mengenai demo.
    Tapi, berdemo itu cukup berat di mata saya.
    Jika demo diperbolehkan, maka banyak hak yg harus ditunaikan,
    seperti menjaga lalu lintas, sampah, dll
    4. Kalau ada cara lain, bukan kah lebih baik demo itu menjadi pilihan terakhir?
    5. Saya lebih cenderung dg adanya organisasi yg membela pendidikan,
    tidak cukup PGRI, karena PGRI itu buat guru, bukan buat wali murid.

    semua yg benar itu datang nya dari Allah semata.
    Kalo ada kata yg salah, itu semua dari diri saya sendiri, mohon dimaafkan.

    ReplyDelete
  2. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Saya sangat mendukung gagasannya bro Gene.

    Menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa dengan melibatkan massa dalam jumlah yang siknifikan bukanlah suatu pemberontakkan terhadap pemerintah, hanya satu upaya membuka mata dan menyadarkan pemerintah bahwa rakyat sangat serius menginginkan perubahan.

    Mari kita menggalang komunikasi untuk mewujudkan demonstrasi orang tua murid menuntut pendidikan murah di Indonesia.

    Btw, bro Gene, gimana ya cara menggalang komunikasinya ? Perlu waktu berapa lama ya ?

    Wassalam.

    ReplyDelete
  3. Saya sudah tahu hadits2 itu Hazrat. Maksud saya bukan untuk ‘memberontak’ atau ‘membenci’ pemerintah, tetapi untuk memberi gambaran yang jelas tentang keinginan rakyat. Kalau ada orang di tivi yang mengatakan “rakyat mendukung ide saya”, bagaimana kita bisa tahu apakah benar/salah? Tetapi kalau 1 juta orang kelihatan di jalan, maka itu tidak bisa direkayasa dan tidak juga bisa ditolak sebagai kenyataan.
    Dengan rakyat turun ke jalan, pemerintah bisa melihat bahwa ini memang masalah serius, dan SEMUA orang tua inginkan masalah ini ditanggapi secara serius dan cepat. Kalau 1 orang kirim surat ke koran, atau 1 orang mendapat kesempatan bertemu dengan presiden, efeknya tentu saja tidak sekuat 1 juta orang di jalan.

    [dari komentar anda]:
    1. Jika hendak menasehati pemimpin, hendaklah menasihati yg baik.
    Gene: >> Berdiri di jalan memang bertujuan untuk menasihati dengan baik. Soalnya, kita sebagai orang biasa tidak bisa bertemu langsung dengan presiden dan bicara empat mata. Bagaimana dia bisa tahu keinginan kita?

    2. Kalau bisa, jauhi hal2 yang merusak dan terkesan anarkis.
    >>Saya tidak bicarakan anarki sama sekali. Justru ini masalahnya. Di negara barat, sering ada aksi damai yang dihadiri ibu rumah tangga dengan anaknya, dan sekedar berjalan kaki di tengah kota untuk ikut mendukung suatu pinsip/ide. Tentu saja pemerintah merasa dorongan kuat untuk tanggapi aksi seperti itu dari calon pemilih. Tetapi di Indonesia, semua demo dikaitkan langsung dengan anarki. Tidak wajib begitu. Kita harus menciptakan demo yang damai yang tidak mengandung unsur anarki sehingga yang itulah yang menjadi normal.

    3. Saya sendiri tidak tahu hukum / masalah mengenai demo. Tapi, berdemo itu cukup berat di mata saya. Jika demo diperbolehkan, maka banyak hak yg harus ditunaikan, seperti menjaga lalu lintas, sampah, dll
    >> Yang saya lihat di sini, setiap hari pasti macet. Tanpa demo sudah macet. Dan kemacetan itu tidak membawa perubahan. Kalau 1 hari dikorbankan untuk perubahan di bidang pendidikan, maka itu suatu pengorbanan yang kecil. Dan usul saya adalah hari itu juga terjadi pemogokan kerja massal, berarti tidak ada lalu lintas yang ‘normal’ di jalan, karena tidak ada yang kerja. Atau juga bisa dilakukan pada hari libur, seperti hari minggu.
    Kalau pemulung, kayanya malah senang kalau rakyat membuang botol aqua di pinggir jalan. Dan tanpa demopun, memang ada sampah di mana2 di sini. Ruginya apa kalau memang membawa perbaikan?

    4. Kalau ada cara lain, bukan kah lebih baik demo itu menjadi pilihan terakhir?
    >> Memang pilihan terakhir. Apalagi dari cara yang lain yang sudah bisa dikatakan efektif dan berhasil? Kalau ada cara lain yang akan membuat pemerintah dengar, tolong jelaskan.

    5. Saya lebih cenderung dg adanya organisasi yg membela pendidikan,
    tidak cukup PGRI, karena PGRI itu buat guru, bukan buat wali murid.
    >> Organisasi seperti ini sudah ada untuk puluhan tahun. Hasilnya nol. Dan justru sikap ini menjadi bagian dari masalah. Setiap orang tua inginkan ORANG LAIN memperbaiki masalah ini. Lalu ratusan orang tua kirim email kepada saya dan bertanya: sekolah mana yang paling baik di DKI biar ANAK SAYA bisa masuk? Anak orang lain, cuek saja. hanya anak DIA yang mau diberikan pendidikan yang layak. Karena semua orang tua tidak peduli pada anak tetangga, pemerintah bisa abaikan semua orang tua dengan mudah karena mereka tidak kompak.

    Wassalam,
    Gene

    ReplyDelete
  4. Terima kasih bingilti. Anda sudah tanggapi maksud dan tujuan saya dengan tepat. Kalau caranya menciptakan gerakan tersebut, lebih baik orang Indonesia yang mulai. Sebagai orang asing, saya sudah memberikan idenya. Wujud nyata saya harap bisa datang dari orang Indonesia, bukan dari orang asing. Anak anda yang menjadi korban, bukan anak saya. Berdirilah, dan memikirkan anak anda, dan juga anak tetangga. Kumpul dengan teman2 di lingkungan yang sama (tetangga, rekan kerja, teman kampus, dll.) dan saling bertanya bagaimana kita bisa menunjukkan ketidakpuasan kita tentang sistem pendidikan kepada pemerintah? Bagaimana kita bisa membujuk pemerintah untuk mendengarkan dan meninjaklanjuti aspirasi kita?

    Wassalam,
    Gene

    ReplyDelete
  5. suami saya mencoba untuk raised awareness pada perkumpulan orang tua murid, bahwa perkumpulan ini hendaknya bukan menjadi event organizer sekolah, dan hendaknya menjadi jembatan antara ortu dan guru, dan bahwa perkumpulan ini harus terlibat di dalam proses pendidikan anak, malah dicaci maki ortu lain, Pak...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...