Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ini adalah pengakuan dari seorang guru yang ditinggalkan sebagai komentar di post "Saya Lebih Mau Kelaparan Daripada Kirim Anak Saya Ke Sekolah Negeri".
Orang tua harus mulai peduli dan menjadi siap bertindak terhadap situasi dan kondisi ini. Orang tua harus mulai peduli dan siap menuntut pendidikan yang layak untuk semua anak bangsa. Orang tua yang lebih mampu pasti bersyukur bisa mendapat pilihan untuk memasukkan anaknya ke sekolah swasta tetapi seharusnya tidak perlu.
Di Australia, sebagai contoh, jumlah sekolah swasta sangat sedikit karena sekolah negeri sudah berkualitas dan gurunya juga. Tetapi di sini, jumlah sekolah swasta meningkat terus karena orang tua belum mau menuntut pendidikan yang layak untuk semua anak bangsa. Kalau sekolah negeri sudah berkualitas, sekolah swasta tidak diperlukan, kecuali untuk golongan yang paling kaya atau buat orang yang inginkan pendidikan khusus (berbasis agama, dll.).
Orang tua harus mulai peduli. Orang tua harus bertindak. Kalau tidak, pemerintah bisa mengabaikan aspirasi anak bangsa dengan mudah, karena tidak ada yang mau membela hak pendidikan buat anak-anak ini.
Semoga situasi ini bisa segera berubah.
Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai renungan untuk para orang tua.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
#######
Pengakuan dari guru sekolah negeri
Saya tidak terlalu terkejut mendengar kisah-kisah buruk anak yang bersekolah di sekolah negeri. Dari hasil observasi lapangan dengan mendampingi guru di sekolah negeri, saya sependapat dengan Anda. Di sekolah negeri satu kelas 30 -45 anak berjejalan. Dengan jumlah anak sebegitu banyak, sukar bagi guru untuk mengharapkan anak-anak (apalagi SD) duduk diam dan mendengrakan guru berbicara. Di mata para guru, proses belajar adalah menjadi copy cat gurunya, berbicara dan berfikir sperti mereka.
Sekolah yang saya dampingi termasuk (konon menurut diknas) adalah sekolah-sekolah unggulan. Tetapi dari 1 hari jam belajar kurang dari 60%nya dihadiri oleh guru pengajar dikelas. Selebihnya anak-anak dibiarkan 'belajar sendiri' dengan berbagai alasan, mulai dari guru yang harus rapat, ada tamu, pelatihan, mengunjungi teman sejawat sakit (mengapa dilakukan di jam kerja ya?) serta ber-MLM di ruang guru. Ketika guru hadir di kelas pun, pembelajaran sangat tidak efektif. Misalnya dalam pembelajaran Bahasa Inggris, murid-murid diminta presentasi tentang pet berkelompok 5 orang. Ketika presentasi hanya satu anak (dan biasanya yang paling pintar)saja yang berbicara dan 4 lainnya seperti boneka pajangan berdiri di depan kelas. Tidak ada feeback yang diberikan guru meskipun saya melihat ada beberapa kesalahan bahasa yang umum dilakukan murid dan cukup mengganggu pemahaman yang sangat bermanfaat jika dibahas.
Saya sungguh tidak heran kalau setelah 3+3+3= 9 tahun belajar Bahasa Inggris dari kelas 4 SD -3 SMA kemampuan berbahasa Inggris mereka tidak lebih dari yes/no/I don't know and I love you. Kalaupun ada anak yang kemampuannya lebih dari itu mungkin mereka les di luar atau mendapatkan cukup exposure berbahsa Inggris dari TV, lagu,bacaan, maupun internet.
Guru-guru di sekolah negeri umumnya memiliki kemampuan akademis dan metode pengajaran yang tidak memadai untuk layak disebut guru. Saya mengerti mengapa seseorang lulusan SPGA bisa menjadi guru bahasa Inggris dimana bahasa Inggrisnya sukar dipahami dan bagaimana seseorang lulusan IKIP jurusan Bahasa Inggris dan telah mengajar di SMA 20 tahun tidak bisa membedakan dan membandingkan fungsi simple present and present perfect tense. Beliau hanya tahu formulasi tense nya saja tanpa memahami dengan benar penggunaanya dari sisi makna. Bahkan ketika berbicara, bahasa Inggrisnya sangat kaku. Alasannya:
1. Guru sekolah negeri tidak direkrut dengan melewati ujian kemampuan bidanganya. Dahulu, ketika melamar jadi PNS tesnya adalah psikotes, pengetahuan umum dan pengetahuan Pancasila. Saya tidak tahu bagaimana dengan seleksi calon guru negeri sekarang.
2. Guru bahasa Inggris di sekolah negeri tidak dijaga mutu akademisnya. Ketika saya mengajar di satu kursus Bhs Inggris yang paling populer di Indonesia, setiap tahun para pengajar wajib mengikuti proficiency test. Berdasarkan hasil prof test ini ditentukan tingkat kenaikan hourly rate-nya. Guru yang kemampuan proficiency-nya jalan di tempat penghasilannya juga jalan di tempat dan jumlah jam mengajarnya lebih sedikit dibandingkan yang profieciency-nya meningkat.
3. Di tingkat wilayah, ada banyak supervisor mata pelajaran yang mestinya berkeliling memantau dan menjadi tempat konsultasi para pengajar. Akan tetapi yang saya lihat di lapangan, ketika berkunjung ke sekolah mereka tidak masuk ke kelas-kelas dan mengamati guru mengajar. Mereka biasanya akan menghabiskan lebih banyak waktu ngobrol dengan kepsek dan pulang setelah mendapatkan salam tempel dari beliau. Sesi konsultasi lebih ditekankan pada ada atau tidak adanya lesson plan buatan guru yang akan dijadikan bukti laporan kunjungan kepada atasanyya dikantor.
4. Ada MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) lintas sekolah yang sedikitnya melakukan pertemuan 1 bulan sekali. Tetapi di lapangan fasilitas ini nyaris tidak berfungsi. Presentasi yang dilakukan dalam pertemuan MGMP lebih banyak dihabiskan dengan perdebatan seputar kapan tunjangan ini itu bisa mereka terima, bagaimana mengisi berkas-berkas administrasi sekolah, dan sejenisnya. Kalaupun ada presentasi dari sesama guru, seringkali presentasinya tidak menjawab kebutuhan guru yang paling mendesak, misalnya bagaimana meningkatkan motivasi siswa belajar di kelas, bagaimana meng-handle kelas besar untuk kegiatan speaking. Seringkali juga presentasi dilakukan dalam Bahasa Indonesia (padahal semua yang hadir adalah guru Bhs. Inggris) dengan alasan agar pesan tersampaikan secara utuh dan menghindari kesalahpahaman. Atau yang mempresentasikan sama bloonnya dengan yang mendengarkan. Guru-guru swasta sering menganggap menghadiri MGMP sebagai sebuah beban. Mereka benar, nyaris tidak ada pembelajaran dari MGMP ini. Tambahan lagi acara sering molor dan agenda pertemuan tidak jelas. Sekolah-sekolah swasta yang cukup bermodal memilih untuk memanggil pelatih dari universitas atau mengirimkan para guru pada sesi-sesi pelatihan di Sampoerna Teacher Training atau di UI. Guru-guru sekolah negeri umumnya harus berjuang sendiri untuk memintarkan dirinya.
5. Guru sekolah negeri tidak dapat dipecat meskipun profesional mengajarnya sangat rendah. Hanya menteri pendidikan yang dapat memecat mereka. Ada juga sekolah negeri dengan komite sekolah yang sangat berdaya sehingga dapat mendesak kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas guru dengan berusaha mencari guru pendamping yang lebih berkwalitas. Guru pendamping ini diseleksi oleh komite sekolah dan dibayar dengan dana komite sekolah.
6. Kepala sekolah banyak yang tidak punya cukup waktu untuk menggiring para guru untuk lebih profesional. Kepala sekolah sibuk ’mengemis’ ke pemerintah tentang betapa butuhnya bangunan fisik sekolah sehingga murid-murid harus belajar dengan atap yang bocor di sana-sini. Kemudian pemerintah merenovasi sekolah mereka menjadi mentereng. Rengekan mereka tidak berhenti, selanjutnya mereka mendesak pemerintah dan komite sekolah untuk membelikan peralatan belajar canggih seperti laptop, in-focus, CCTV, class (home) theater dengan TV seukuran gajah. Bahkan yang lagi trend sekarang adalah meminta dirinya dan kroninya di sekolah dibiayai studi banding ke Australia dan Inggris seperti bapak-bapak di DPR itu dengan alasan mempersiapkan SBI (Sekolah Berstandard Internasional).
Kesimpulan saya, murid-murid di sekolah negeri nyaris tidak mendapatkan apa-apa dari sekolah. Kalau anak ibu pintar di sekolah, mungkin karena sudah in-born. Kalau dia disekolahkan ditempat yang baik, saya percaya kualitas anak ibu bakal lebih melesat. Hanya anak-anak yang cerdas dan independent learner saja yang bisa survive belajar di sekolah negeri. Jika anak ibu termasuk yang biasa-biasa saja, sukar untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya. Apalagi anak-anak yang kemampuannya di bawah rata-rata, mereka akan tergerus oleh keliaran suasana sekolah negeri.
Hasil keberadaan mereka di sekolah-sekolah negeri seperti di atas adalah anak-anak yang tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang berkepala dan berhati kosong. Mereka yang bekerja tanpa melibatkan otak dan hatinya, persis seperti sekawanan zombie. Merekalah yang kita lihat sehari-hari; para guru yang mengajarkan anak kita di sekolah, para pegawai negeri lainnya, para pejabat, para anggota DPR, dll. Mungkin dulu mereka pernah melewati masa-masa pembentukan di sekolah-sekolh negeri semacam ini sehingga mereka menjadi orang yang tegaan, tega menipu rakyat dan mencuri dana BOS anak-anak miskin. Sungguh, saya menjadi sangat emosional ketika harus menceritakan kebobrokan di sekolah negeri.
Sebagai orang tua dan guru, setiap kali saya melihat proses pembodohan anak-anak di kelas-kelas, hati saya rasanya teriris-iris dan marah sekali. Saya sangat beruntung punya pilihan untuk tidak mengirim anak-anak saya ke sekolah sampah semacam ini. Beberapa teman saya berusaha untuk memasukkan anaknya ke sekolah ungulan di tempat saya bekerja dengan cara menyogok jutaan rupiah, meskipun saya sudah menceritakan kondisi sekolah sejujurnya, tentang kualitas guru dan system pembelajaran di kelas. Anehnya, mereka tetap lebih percaya pada nama besar sekolah ini. Dengan alasan, jika anaknya bersekolah di sekolah negeri, mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk masuk UI dan ITB. Benarkah?
Orang tua yang sebenarnya mengetahui dan memiliki kebebasan finansial untuk memilihkan sekolah bagi anak-anaknya, tetapi memilih untuk menutup mata demi gengsi anaknya diterima di sekolah negeri unggulan, wajib merasa bersalah kalau kelak anak-anak ibu juga berkualitas sampah. Saya sangat setuju dengan ibu yang memilih untuk kelaparan daripada membiarkan anaknya diproses menjadi zombie di sekolah-sekolah negeri berkualitas sampah.
Semua yang saya ceritakan ini bukanlah lagu baru. Kalau pendidikan di sekolah memang bermutu dan dapat diandalkan, kursus-kursus bahasa Inggris, bimbel, dan les-les pelajaran di rumah-rumah tidak akan tumbuh menjadi bisnis yang subur. Mengapa anak-anak kita tidak bisa pe-de hanya dengan mengandalkan pengajaran di sekolah untuk menghadapi UAN dan test masuk sekolah? Mengapa mereka baru merasa pede setelah mengikuti bimbel luar sekolah dengan membayar jutaan rupiah untuk mendapatkan kesempatan digeber 1-2 bulan penuh dari pagi hingga sore mengunyah soal-soal test masuk universitas?
Selama 3 tahun belajar di sekolah, apa yang dilakukan/ dipelajari anak-anak kita? Kalau punya waktu silahkan hitung berapa banyak uang dan waktu yang telah dihabiskan untuk mengirimkan anak-anak kita ke sekolah, lantas hitung bagaimana output yang didapatkan mereka. Mahal dan murah tidak bisa dihitung dari berapa yang Anda bayarkan tetapi diperbandingkan dengan apa yang kita dapatkan dari pembayaran tsb. Mengirimkan anak ke sekolah negeri, meskipun yang katanya unggulan sekalipun, bisa lebih mahal daripada di sekolah swasta yang bermutu. Sudah waktunya kita berhenti menilai kualitas sekolah dari segi kemasan sekolah unggulan, sekolah negeri berstandard internasional, sekolah negeri kategori mandiri, bla..bla..bla....
JANGAN MAU DITIPU LABEL SEKOLAH YANG DIBERIKAN DIKNAS. JANGAN PERCAYA DENGAN HASIL EVALUASI SEKOLAH YANG DILAKUKAN DIKNAS. JANGAN PERCAYA DENGAN HASIL UJIAN NASIONAL. JANGAN PERCAYA DENGAN PIALA SELEMARI YANG DIPAJANG DI LOBY SEKOLAH. INI BUKAN INDIKATOR SEKOLAH BERKUALITAS
Sekolah-sekolah negeri menjadi unggul bukan karena sistem dan guru-gurunya berkualitas unggulan (jauh panggang dari api), tapi karena mereka berkesempatan memilih input yang berkualitas dibandingkan sekolah lain. Jadi sekolah itu unggul karena memang anak bapak dan ibu sudah unggul ketika memasuki sekolah tersebut, bukan karena dijadikan unggul oleh sistem sekolah. Jangan tergiur dengan jumlah siswa yang memenangkan segala macam lomba dari lomba makan kerupuk tingkat sekolah hingga olimpiade fisika tingkat dunia. Sekolah nyaris tidak melakukan apa-apa terhadap anak-anak yang memang dari rumah sudah unggul. Tidak selayaknya sekolah menjual prestasi mereka untuk menipu orang tua murid seolah-olah merekalah yang telah bekerja keras mengantarkan anak-anak kita menjadi unggulan. Kalau anak Anda bodoh, jangan berharap untuk jadi pintar, meskipun kemungkinan ini ada (dengan cara sekolah berkolaborasi untuk memanipulasi nilai raport dan ujian nasional sehingga anak ibu berkesan ’pintar’ di atas kertas). Tulisan saya ini pasti akan sangat menyakitkan bagi teman-teman saya sesama guru. Tetapi begitulah yang saya lihat di sekolah negeri di mana saya bekerja sampai detik ini.
Kalau Anda termasuk orang tua yang tidak punya pilihan selain menyekolahkan anak di sekolah negeri, masih ada harapan untuk menghindari anak-anak Anda terperangkap dalam zombinisasi. Ayolah, bapak dan ibu...jadilah orang tua yang kritis. Kritiklah kami para guru dan kepala sekolah sepedas-pedasnya. Jangan hanya manggut-manggut di rapat komite. Kalau teman-teman saya memble dan kepala sekolah cuex terhadap kualitas pengajaran sekolah, mungkin karena Anda juga memble, tidak mau peduli pada pendidikan anak-anak sendiri dan percaya seratus persen pada pembodohan yang dilakukan sekolah yang konon berlabel ’unggulan’. Anda menuntut guru bekerja keras, bagaiman kalau dimulai dengan Anda menunjukkan kepedulian pada kualitas dengan mengeritik kami di rapat komite. Dengan adanya undang-undang sisdiknas, bapak dan ibu punya power dan berhak untuk ikut campur merubah sekolah ke arah yang lebih bermutu. Kami para guru perlu disentil dan dibangunkan dari ketidakpedulian kami. Oh ya, kalau mengkritik jangan cuma berani di milis. Bicaralah di rapat komite, galang dukungan dari sesama ortu. Atau kalau sekolah tetap tidak peduli, tulis saja di koran ternama. Karena bagi sekolah, nama baik lebih penting dari realitas. Biasanya mempan. Jadilah ortu yang kritis, kalau memang Anda mencintai putra-putri Anda dan ingin melihat mereka tumbuh menjadi yang terbaik dari diri mereka masing-masing.
Ayo lah...jangan memble dan cuex. Jangan beraninya ngedumel di belakang. Ayo ngomong di rapat komite, tulis di koran, atau lapor DPRD komisi pendidikan dan KPK!
#######
Baca Juga:
Saya Lebih Mau Kelaparan Daripada Kirim Anak Saya Ke SD Negeri
Pengakuan Guru 2: Kelas “Bilingual” Kacau
Pengakuan Guru: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Kacau!
Solusi Masalah Pendidikan ada di Tangan Orang Tua
" Kalau Anda termasuk orang tua yang tidak punya pilihan selain menyekolahkan anak di sekolah negeri, masih ada harapan untuk menghindari anak-anak Anda terperangkap dalam zombinisasi. Ayolah, bapak dan ibu...jadilah orang tua yang kritis. Kritiklah kami para guru dan kepala sekolah sepedas-pedasnya. Jangan hanya manggut-manggut di rapat komite. Kalau teman-teman saya memble dan kepala sekolah cuex terhadap kualitas pengajaran sekolah,...."
ReplyDelete*** Saya pernah mewakili ponakkan untuk hadir di rapat komite guru di sekolah negeri dan swasta. Ada beberapa orang tua murid yang VOCAl menyuarakan mutu pendidikan, mengkritik kehadiran guru di kelas, cara mengajar dll sbg. Para guru dan kepsek mendengarkan dan menampung bahkan di hadiri wartawan entah wartawan apa saya tidak menanyakan.
Tapi setelah rapat itu selesai keesokkan harinya anak-anak dari orang tua yang VOCAL tersebut termasuk ponakan saya mendapat surat teguran (berisi jika anda tidak puas mengapa ibu tidak menyekolahkannya di LN). Ketika itu saya tidak pedulikan tapi beberapa bulan mendekati kenaikan kelas, mendapat surat panggilan lagi yang sama di terima orang tua yang VOCAL tersebut mengatakan; Apakah anak Ibu mau dinaikkan???..., sebaiknya tidak ya, Ibu juga sih ketika rapat komite VOCAl jadi itu salah Ibu lain kali kalau kritik pikir demi anak.
Nah, bagaimana para orang tua berani untuk mengkritik jika harus mendapat perlakuan demikian?....
Satu kasus lain. Ada sekolah kategori baik menurut saya tidak tahu yang lain. Seorang Ibu bercerita bahwa anaknya tidak naik kelas lalu mengatakan bahkan bisa disuap/sogok.
** Jadi menurut saya bukan saja Sekolah, guru, Kepsek dan artibut lainnya yang harus di benahi pemerintah tapi para orang tua juga jangan hanya menuntut tapi mampu tidak bersikap dengan sikap jujur jika anaknya yang kurang.
Dan selain hendaknya pemerintah sudah seharusnya peduli juga siapa saja yang peduli pendidikan anak bangsa berikan jawaban dari permasalahan ini karena itu yang lebih dibutuhkan banyak pihak saya rasa. (menglihat,mengamati, meneliti dsg artinya bisa memberikan sebuah jawaban)
Bangsa Indonsia terlalu banyak kurangnya tapi terkadang sudah begitu pun tidak mau bercermin dan mencontoh tapi pun jika sudah dicerminkan tetap saja bercermin dalam arti yang tidak sebenarnya...
Sedih sekali mendengar kisah seperti ini. Kalau seandainya dibuat satu blog/website baru di mana para orang tua bisa menampung keluhannya, mungkin dalam waktu singkat sudah berisi ribuan cerita yang setara dan itu haya dari orang tua yang terbiasa dengan internet. Kalau bisa dikumpulkan cerita2 dari semua orang tua yang lain, mungkin menjadi ratusan ribu.
ReplyDeleteKenapa semua orang tua yang tidak puas ini bersatu untuk memperjuangkan tujuan yang sama?
Tidak hanya di negeri. Pengalaman saya menyekolahkan anak di sekolah swasta dg kurikulum internasional, ternyata orang tua yg peduli hanya 5. Itu pun akhirnya berkurang karena 1 pindah ke luar kota, 2 hamil dan melahirkan. Awalnya sisa dua. Tapi kemudian entah karena tekanan apa, yg satu pun mengundurkan diri dari kevokalannya. Sehingga saya menjadi single fighter. Setelah jadi single fighter, sekolah merasa di awang2, shg mereka jadi seenaknya. Terakhir, saya memutuskan untuk mengeluarkan anak dari situ, daripada stress. Alasan sekolah mengabaikan "kurikulum internasional" yg dijanjikan adalah karena beban dari Diknas terlalu banyak dan itu harus diutamakan demi mendapatkan status dari Diknas, di mana itu bisa membuat sekolah lebih laku. Jadi, mutu terpaksa dikorbankan & janji dianggap angin lalu. Memalukan! Sekolah begini kok mengaku ingin mencetak generasi berakhlaqul karimah!
ReplyDeletesetelah membaca artikel ini, saya pikir memang banyak masukan serta fakta-fakta dilapangan yang tersaji secara nyata terutama terkait rendahnya kualitas sekolah dasar negeri di negara ini.. Memang membicarakan mengenai mutu Pendidikan di negara ini seperti membicarakan mana yang lebih dulu, telur atau ayam? dalam hal ini, lemah serta rendahnya campur tangan Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDN kita tentu merupakan salah satu faktor penyebab utama dari permasalahan ini.. Akhirnya semua itu berpulang kepada rendahnya kualitas Presiden kita dalam memilih Menteri yang bertanggung jawab terhadap Pendidikan di negara ini. Namun itu semua kembali lagi menjadi kesalahan rakyat kita karena memilih Presiden yang telah sukses menelurkan 2 album lagu-lagu yang umumnya tidak enak didengar namun gagal melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Presiden untuk bertanggung jawab membenahi seluruh persoalan di negara ini termasuk persoalan rendahnya kualitas SDN yang ada.
ReplyDeleteSo, point yang mau saya sampaikan adalah,,, pilihlah sekolah yang berkualitas untuk anak kita dengan disesuaikan dengan kemampuan finansial kita dan yang utama adalah, jangan pernah memilih pemimpin yang hanya bisa pencitraan. Pilih pemimpin yang memang benar aktif bekerja dan turun ke lapangan. Semoga segera ada perbaikan dalam bidang Pendidikan di negara ini. Amin