Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

16 February, 2007

Komentar Tentang Sekolah Swasta DKI

Assalamu’alaikum wr.wb.,Bismillah hirrahman nirrahim.

Di sering menyatakan bahwa saya belum menemukan sekolah Islam yang bagus di Indonesia. Seorang ibu kirim email kepada saya dan menyatakan kaget. Dia minta saya menjelaskan kenapa pendapat saya seperti itu.
Artikel ini saya buat untuk menjelaskan pandangan saya terhadap sekolah swasta di Jakarta, Islam dan sekular, yang didasarkan pengalaman pribadi saya. Maaf, artikel ini agak panjang, tetapi saya sengaja membuatnya begitu supaya menjadi referensi yang lebih jelas dan akurat bagi para orang tua.

Kualifikasi saya
Supaya percaya dengan apa yang saya katakan, saya mau jelaskan kualifikasi saya dulu:
Saya seorang guru bahasa dan sejarah (Language and History teacher) dengan gelar Bachelor of Arts dan Graduate Diploma of Education dari Universitas Griffith di Brisbane, Australia. Sekarang saya sudah berpengalaman 10 tahun mengajar di kelas, baik di kursus bahasa Inggris maupun di sekolah swasta, juga les privat dan bentuk training yang lain. Sebagai pengamat pendidikan (hobi saya), saya sering membaca artikel dan berita tentang pendikikan, baik dari Indonesia maupun dari manca negara. Sudah beberapa kali saya melakukan kunjungan sekolah di DKI untuk menganalisa sekolah tersebut, baik karena ada permintaan dari orang tua atau teman, atau karena ada permintaan dari yayasan, atau karena saya sendiri ingin melihat sekolah itu. Hasilnya (laporan) biasanya diberikan secara lisan, tapi juga ada yang secara tertulis untuk anggota yayasan. Saya sudah melakukan Teacher Training untuk beberapa sekolah, dan juga untuk Pusdiklat DKI (melatihkan guru-guru SD).

Yang pernah saya lakukan sebagai seorang guru:
Mengajar bahasa Inggris di semua tingkat dari TK sampai dewasa, dari Foundation sampai TOEFL dan FCE.; melakukan Teacher Training; membimbing guru junior; menasihati kepala sekolah tentang masalah pendidikan dan masalah karyawan; membuat kurikulum bahasa Inggris untuk kursus bahasa Inggris dan sekolah swasta; membuat bahan dan ujian untuk murid di kursus dan sekolah swasta; melakukan Motivational Training untuk guru dan murid; membuat program Academic Writing untuk beberapa universitas di Indonesia dengan funding dari Ford Foundation; dan memeriksa dan menganalisa sekolah untuk menilai kualitasnya, termasuk “interview” para guru.

Saya pernah ditawarkan posisi sebagai: guru bahasa Inggris di beberapa sekolah swasta dan kursus; Kepala Sekolah di beberapa lokasi; Head of English Department (Binus High School, Simprug); Manager of English Services (Bina Nusantara University); dosen bahasa Inggris (Swiss German University, Serpong).
Sebagian besar dari tawaran ini tidak diterima karena beberapa alasan (gaji, lokasi, masalah dengan managemen, atau masalah dengan “job description”).
Insya Allah, semua pengalaman ini menjadi landasan yang cukup baik bagi saya untuk menganalisa sebuah sekolah dengan cara profesional.

Masalah Dengan Sekolah Di Indonesia
Masalah utama dengan sekolah swasta adalah tujuannya. Kebanyakan adalah bisnis yang dibangun oleh pengusaha yang tidak memiliki latar belakang pendikikan. Pada saat mereka mendirikan sekolah, mereka melihat bahwa orang lain sudah mendirikan sekolah dan menghasilkan profit besar, sampai ada yang membuat franchise sekolah (bukan cabang). Dengan demikian, sekolah menjadi sama dengan Starbucks atau Breadtalk: hanya sebuah bisnis yang menghasilkan profit bagi pemiliknya. Saya pernah mendengar seorang pemilik sekolah menyatakan dengan senyuman lebar dan dengan rasa bangga bahwa dia sudah break even (balik modal) dalam 4 tahun saja! Saya tidak paham kenapa hal itu membuatnya bangga.

Saya tidak berniat menjelekkan nama semua sekolah swasta atau semua guru yang kerja di sekolah itu. Ada masalah yang prinsip, dan ada masalah biasa. Semuanya memberi tanda bahwa sekolah tersebut tidak terfokus pada pendidikan seperti semestinya, dan bisa diperbaiki lagi, akan tetapi hal itu jarang terjadi, karena si pengusaha sebagai pemilik tidak melihat ada masalah sama sekali (“Profit tetap tinggi kok! Berarti orang tua puas! Kenapa harus diubah?”)

Sekolah Islam
Sekolah Islam tidak lepas dari masalah binis ini. Seringkali, yang diutamakan adalah profit untuk yayasan dan bukan kualitas guru atau kualitas pendidikan. Karena stok murid besar, sekolah bisa cuek pada kualitas sekolah dan tetap ada orang tua baru yang mau bayar mahal untuk daftarkan anaknya pada tahun berikut.

Yang sering terjadi, orang dewasa yang menjadi guru bukan orang yang kuliah pendidikan (lulusan IKIP, misalnya) tetapi orang mana saja yang bisa berbahasa Inggris karena ini yang dijual kepada orang tua: “Kita sekolah bilingual lho!” Saya pernah menemukan orang dengan gelar ekonomi, akutansi, finance, psikologi, hukum, sastra, linguistik, dan lain lain yang bekerja sebagai guru di sekolah swasta di Jakarta. Bahkan ada seorang apoteker. Saya bertanya kenapa dia bisa masuk sekolah, dia menjawab karena tidak ada pekerjaan lain, dan karena dia bisa berbahasa Inggris. Ini merupakan kegagalan sekolah untuk mendapatkan ahli pendidikan yang profesional.

Mungkin semua orang senang dengan [nama sekolah dihapus], salah satu sekolah Islam terkemuka di Indonesia. Sekarang, ada anak teman yang masuk TK sekolah tersebut. Guru anak itu membuat ibunya stres karena selalu mengeluh bahwa si anak “tidak bisa menulis dengan rapi”.

Pada umur 5,5 tahun tidak ada kewajiban untuk menulis dengan rapi! Seharusnya guru senang bahwa seorang anak laki-laki mau menulis daripada lari-lari terus. Ini sangat aneh. Pada umur ini, kemampuan motorik halus sedang berkembang. Seharusnya tidak ada orang (baik orang tua maupun guru) yang mewajibkan anak menulis dengan rapi pada umur ini. Dan seharusnya hal ini tidak menjadi salah satu hal yang dicermati guru, apalagi mengeluh kepada orang tua. Pada umur 7-9 ke atas, baru perlu dicermati.

Dan kalau kita jujur, apakah tulisan tangan yang rapi pernah ada pengaruh besar di dunia? Contoh: “Maaf, Mr. Einstein, Piagam Nobel anda harus dikembalikan karena anda menulis E = MC2 dengan tulisan yang tidak rapi. Maaf ya!” Para dokter di dunia terkenal dengan tulisan tangan yang tidak rapi. Apakah seharusnya tidak boleh menjadi dokter sampai bisa menulis dengan rapi?

Anak di sekolah itu lapor kepada saya bahwa di sekolah dia main dengan Lego juga (karena saya belikan dia Lego) tapi Legonya besar, bukan dengan batu-batu kecil seperti yang saya belikan. Tanpa melihatnya, saya tahu Lego yang dia maksudkan: Lego besar untuk anak berumur 2-4 tahun. Baca saja di kotaknya (ada batas umur). Berarti, Lego yang dia dapat di sekolah adalah mainan untuk balita berumur 2-4 tahun, padahal umur dia 5,5 tahun. Berarti yang membeli mainan untuk anak di sekolah itu tidak mengerti mainan yang mana yang cocok dengan umur anak, dan dia tidak mengerti kenapa Lego kecil lebih bermanfaat dari Lego besar pada umur ini: untuk melatihkan skil motorik halus yang juga digunakan untuk menulis! Kalau sekolah menuntut tulisan yang rapi, coba berikan mainan yang cocok dulu!

Saya juga dengar bahwa untuk masuk SD sekolah tersebut ada tes membaca dan menulis. Kalau tidak bisa membaca dan menulis, maka tidak bisa atau susah masuk (harus bayar lebih mahal kali?). Bukannya sekolah itu tempat belajar? Buat apa kita kirim anak ke SD kalau SD menuntut anak2 mendapatkan skil membaca dan menulis di luar sekolah? Kalau memang diajarkan di sekolah, kenapa harus dites untuk masuk? Kalau tidak diajarkan, emang siapa yang bertanggung jawab untuk mengajarkannya?
Bagaimana kalau rumah sakit ikut-ikutan menerapkan teori seperti ini: mau masuk rumah sakit, tes kesehatan dulu. Kalau ternyata tidak sehat, disuruh pulang dulu dan kembali kalau sudah sehat. Ampun!!

Bukannya masuk RS untuk menjadi sehat? Dan bukannya kita kirim anak ke SD untuk belajar membaca dan menulis? Kok sekolah bisa mewajibkan anak mendapat skil itu di lain tempat sebelum masuk?? Sungguh tidak masuk akal!

Pada saat saya diundang untuk menjadi juri di sebuah Lomba Bahasa Inggris di sekolah Islam tersebut, untuk anak2 dari jaringan sekolah itu se-DKI, saya kaget pada saat setiap anak dari sekolah yang sama membaca teks yang sama. Ini bukan lomba “membaca”, tapi lomba bahasa (bicara). Dari kosa kata yang digunakan, saya tahu bahwa orang dewasa yang menulisnya (gurunya barangkali?) dan bukan anak itu. Jadi piagam seharusnya dikasih kepada gurunya, bukan anak itu. Ini kegagalan dari pengurus lomba (para guru) untuk membuat peraturan yang jelas dan saya merasa bahwa seluruh hari itu sia-sia untuk anak2 dari sisi pendidikan.

Tapi saya tidak heran bahwa lomba menjadi kacau. Seseorang melaporkan kepada saya bahwa pada tahap “planning” para guru itu menghabiskan 2 jam untuk membahas seragam apa yang akan dipakai pada hari lomba. Setelah itu, mereka membahas lomba untuk sebentar sebelum bubar. Kalau bukan kenalan saya yang lapor begitu, saya tidak akan percaya. Guru itu sibuk memikirkan diri sendiri dan bukan lomba untuk kepentingan pendidikan anak.

Saat saya kunjungi sebuah sekolah Islam di Jakarta Selatan, saya kaget melihat bahwa papan putih ditempatkan di atas jendela. Kalau tutup pintu, kelas menjadi seperti gua, dan harus nyalakan lampu. Saya bertanya kenapa: katanya karena setiap kali ada orang yang lewat, anak tengok ke belakang. Jadi jendela harus ditutup. Ini kegagalan guru untuk mengendalikan anak (classroom management). Seharusnya, seorang guru profesional sudah tahu trik untuk membujuk anak fokus ke depan, dan tidak lihat ke belakang. Saya telah diberitahu bahwa sekolah ini sudah diperbaiki dan tidak seperti ini lagi. Pertanyaan saya adalah kenapa bisa seperti itu pada awalnya sehingga harus ada yang memperbaikinya? Kalau pengurus sekolah memang mengerti pendidikan dari awalnya, mereka tidak akan memberikan izin untuk jendela ditutup, dan guru yang ingin melakukannya akan diberi pengarahan atau training supaya mengerti caranya mengendalikan anak di kelas.

Sebagai Contoh: “PR malam ini tidak ada anak-anak, tapi kalau ada yang melihat ke belakang pada saat orang lewat, PR menjadi 1 halaman. Kalau terjadi lagi, 2 halaman, dan seterusnya. Tapi kalau kalian baik selama 30 minit, dan konsentrasi, 1 halaman dihapus, dan dihapus lagi sampai menjadi nol. Kalau kamu mau kerjakan PR, silahkan lihat ke belakang terus. Kalau tidak mau PR, lihat ke depan. Silahkan pilih sendiri.” Dan seorang guru juga harus fleksibel karena yang namanya “anak” ada batas waktu untuk berkonsentrasi yang sangat singkat. Kalau “melihat ke belakang” tidak merupakan sesuatu yang menimbulkan bahaya atau membuat kelas kacau untuk berjam2, kenapa harus dikhawatirkan oleh guru?

Selain dari masalah itu (kegagalan managemen kelas), juga makan biaya untuk listrik. Dan juga, cahaya matahari adalah suatu zat yang penting untuk perkembangan dan kesehatan anak. Juga ada pengaruh psikologis bagi anak yg bisa merasa “terkurung” di dalam sebuah kelas yang gelap. Cahaya alamiah adalah hal yang baik yang seharusnya ditambahkan bukan dikurangi.

Saat kunjungi [nama sekolah Islam ini dihapus] di daerah Jakarta Timur saya kaget melihat batang2 kayu di belakang sekolah dengan paku bangunan berdiri di tengahnya, seperti kayunya berduri. (Barangkali sudah tidak ada lagi sekarang). Ada tumpukan kayu (mungkin 70-100 batang) semuanya dengan paku yang berkaratan. Di depannya, 8 anak lari-lari main bulu tangkis tanpa memakai sepatu. Kalau ada yang injak ke samping, kaki akan kena paku. Kalau ada yang terdorong ke samping, kaki, paha, perut, dada, tangan dan mata bisa kena paku sekaligus. Saya panggil seorang pengurus karena melihat itu sebagai sesuatu yang berbahaya sekali. Seharusnya kayu itu tidak ada di sekolah. Komentar dia: “Wah, anak2 seharusnya tidak berada di situ. Kok pintu tidak dikunci.” Itu saja. Seharusnya kayu itu disingkirkan, atau ditutup, dan pintu ke belakang harus dikunci dan dicek terus, dan seharusnya ada pengumuman di pintu yang melarang anak2 ke belakang dengan menyebutkan sanksi bila melanggar.

Di kantin, anak anak berjalan tanpa sepatu (karena semua anak lepaskan sepatu di pintu masuk sekolah – lebih Islami kali?) dan menginjak tomat, daging, nasi, tulang ayam, sosis, saus tomat dan yang lain yang ada di lantai. Saya lewat kantin untuk mencapai ruangan kepala sekolah dan mencermati lantainya yang kotor karena anak2 baru selesai makan siang. Jadi, lepas sepatu lebih Islami, dan ... menginjak sosis adalah hal yang Islami juga? Dengan melihat kondisi sekolah, lebih baik anak2 pakai sepatu terus. Setelah melihat kayu yang penuh paku, saya sangat meragukan kemampuan dari pengurus sekolah untuk menjaga kualitas pendidikan, karena sudah jelas mereka tidak bisa menjaga ruang fisik dari acaman dan bahaya terhadap anak (padahal itu jauh lebih utama).

Saya kunjungi sebuah sekolah SD di sebelah sebuah masjid (saya lupa namanya). Kata salah satu orang tua saat bicara dengan saya, sekolah ini sangat bagus. Masa? Saya minta melihat kurikulum. Kepala sekolah mencari tapi tidak menemukan. Saya melihat daftar kelas2. Kurang lebih, yang saya ingat begini:
Menghafal al Qur’an.
Bahasa Arab
Bahasa Arab 2
Membaca Al Qur’an
Sejarah Islam
Bahasa Inggris
Matematika
IPA
(ada dua atau tiga lagi tapi saya lupa)

Tidak ada Kesenian. Tidak ada Olahraga. Tidak ada musik. Tidak ada Ekskul. Saya bertanya kenapa? Katanya: 1) tidak ada waktu lagi. 2) Musik tidak boleh dalam Islam, katanya. 3) Kesenian tidak perlu. 4) Olahraga: mereka bisa main bola dengan teman2 setelah sekolah. Luar biasa.

Kesenian: melatih motorik halus dengan menggambar, melukis, dsb. Melatih koordinasi tangan dan mata. Mempelajari warna dan campuran warna. Tidak semua orang menjadi ustadz: ada yang menjadi designer, berarti warna dan skil untuk membuat kombinasi warna perlu. Dari kebiasaan menggambar, ada yang menjadi artis, arsitek, designer, dan bahkan insinyur: rata-rata, insinyur membuat gambar mobil dulu dan sesudah itu baru membuat design, lalu membuatnya secara nyata. Kalau anak2 main dengan warna, ketahuan kalau ada anak yang sering bermasalah dengan warna: salah pilih atau salah menyebutkan. Bisa jadi ada masalah dengan matanya, atau dia buta warna. Lebih cepat terdeteksi, lebih baik.

Olahraga: dengan lari-lari dan bermain, kelihatan perkembangan motorik kasar, dan koordinasi tangan dan mata. Anak yang sering jatuh bisa ada masalah dengan telinga (keseimbangan), atau dengan matanya (minus, silinder). Masalah dengan mata penting untuk terdeteksi dengan cepat karena bisa menggangu pelajarannya. Anak tidak tahu bahwa matanya bermasalah. Dia menanggap semua orang “melihat” seperti itu, jadi dia tidak akan komplain bahwa tulisan guru samar-samar. Dengan main game di luar, anak belajar untuk membagi, berkompetisi, berlomba, menerima kekalahan dengan lapang dada, menang tanpa menjadi sombong, bekerja di dalam tim, bernegosiasi, bekerja cepat, berfikir cepat, ambil keputusan dengan cepat, dsb.

Musik: memainkan alat musik merupakan skil yang sulit. Mengembangkan motorik halus, gerakkan jari dengan cepat (seperti ketik), belajar mengikuti irama, menari, dan belajar puisi (lirik lagu sama dengan puisi) yang membantu perkembangan bahasanya dan kosa kata. Anak yang sulit mengikuti irama bisa ada masalah dengan pendengaran, bisa jadi dia kurang percaya diri, atau ada gangguan dengan koordinasi kakinya. Kalau dia tidak bisa menari, bisa ada gangguan telinga, atau gangguan syaraf sehingga kakinya tidak bertindak sesuai dengan keinginannya.

Pemantauan seperti ini termasuk apa yang dikerjakan guru profesional, beda halnya dengan seorang lulusan ekonomi yang bisa bahasa Inggris dan menjadi “guru”.

Saya pernah memberi tes bahasa Inggris kepada 100 anak SD dan dari 100 anak itu, saya menemukan satu anak yang bermasalah: dia tidak mau memandang mata saya. Mungkin orang lain (seperti si lulusan ekonomi) hanya akan mengatakan bahwa anak itu seorang pemalu dan melupakannya. Tetapi saya langsung telfon bapaknya. Dia menyatakan bahwa setelah saya berkomentar, dia baru sadar bahwa anaknya memang suka begitu dengan orang lain (selain orang tua). Berarti bukan karena diri saya (sebagai bule) yang membuat dia takut/malu. Dia memang tidak suka memandang mata orang dewasa. Saya hubungi seorang psikolog dan minta anak ini diobservasi.

Tidak memandang mata orang lain bisa berarti dia malu sekali, dan juga merupakan salah satu gejala Autis dan Asperger Syndrome (tipe Autis juga). Dari melihat anak itu dan setelah bertanya2 kepada bapaknya, saya menduga bahwa anak itu menderita dari Asperger Syndrome yang sangat ringan sehingga hanya ada satu gejala yang tampak: tidak suka memandang mata orang yang tidak dikenal! Untuk mengetahui kalau ada gejala yang lain, perlu dianalisa secara lengkap oleh seorang ahli. Saya serahkan kepada psikolog untuk melakukan diagnosis secara profesional.

Kalau saya bukan seorang guru, dan kalau saya tidak belajar tentang gejala penyakit yang diderita anak, dan kalau saya tidak memilih untuk melakukan investigasi (padahal tidak ada yang mewajibkan bagi saya utk cari informasi lebih dalam), maka anak itu belum tentu terdeteksi sebagai penderita Asperger sampai umurnya sudah terlalu tua. Untuk masalah seperti itu, lebih cepat ditangani, lebih baik hasilnya, terutama dari sisi pendidikan. Seringkali, anak sudah besar, dan nilai sekolah makin buruk terus, baru ketahuan ada masalah yang sudah lama mengganggu proses belajarnya.

Ada seorang teman yang memberitahu saya bahwa di sekolah dia ada guru yang menutup mulut anak TK dengan lakban (duct tape) karena... anak itu bicara terlalu banyak! Masa? Anak TK suka bicara? Dari kapan anak TK menjadi senang “bicara” di kelas? Bukannya semua duduk diam dan selalu nurut dengan gurunya seperti ROBOT? Setelah diperiksa, inilah salah satu guru yang bukan guru, tapi orang yang bisa berbahasa Inggris, karena itu sekolah “Bilingual”. Selamat kepada pemilik sekolahnya.

Saat saya periksa sebuah sekolah Islam di Jakarta Timur (saya lupa namanya) saya cek perpustakaan. Buku tidak banyak tapi cukuplah. Saya mengambil satu: ternyata buku teks matematika. Yang lain juga buku teks. Setelah saya bertanya pada Librarian (penjaga perpustakaan), dia memberitahu saya bahwa hanya ada buku teks di perpustakaan. Tidak ada buku cerita. Ada sedikit di dalam kelas saja. Seharusnya, setiap minggu setiap kelas dapat waktu di perpustakaan. Selain dari mendengar guru baca buku, anak2 harus diberi kebebasan (bahkan kewajiban) untuk memilih dan membaca buku sendiri. Bagaimana anak2 bisa mencintai buku kalau tidak ada pengalaman baca buku selain buku teks di sekolah?

Selandia Baru (New Zealand) adalah salah satu negara dengan tingkat kemampuan baca tulis (literacy rate) yang paling tinggi di dunia – sekitar 99% dari penduduk bisa membaca dan menulis dengan baik. Perpustakaan di SMP saya di Selandia Baru sebesar dua lantai dengan jumlah buku mencapai puluhan ribu. Waktu di SD, perpustakaan lebih besar dari satu kelas, dan penuh juga dengan buku. Kalau anda menyatakan bahwa buku mahal sehingga tidak bisa begitu di Indonesia, saya menyatakan bahwa ada cara untuk mendapatkan buku. Kita yang harus kreatif untuk mememukan caranya.

Satu contoh: daripada memberikan piagam setelah setiap lomba, beli satu buku dan pasang stiker di halaman depan dengan tulisan “Buku ini diberikan kepada Budi sebagai Pemenang Pertama pada lomba... dst.” Dan semua buku itu menjadi sumbangan buat perpustakaan sekolah. Setiap kali ada yang pinjam buku itu, kelihatan nama si Budi di depan. Bukan saja dia menjadi pemenang lomba, tapi juga dermawan yang membantu membangun sekolah dan masa depan adik kelas!! Bukanlah itu lebih baik dan lebih bermanfaat daripada setiap anak yang lulus SD mendapat sekotak piagam murahan?

Saat saya kunjungi sebuah sekolah di jakarta selatan [nama dihapus] saya menjadi kaget melihat tempat yang begitu berbahaya, saya heran ada orang tua yang mau masukkan anaknya ke sana. Di belakang sekolah ada jurang tanpa pagar di atas. Pada saat saya ada di sana untuk Open Day, seorang anak mengejar bola dan berhenti sekitar 2 meter dari pinggir jurang itu.

Perlu dipahami bahwa anak kecil tidak bisa mengukur jarak karena matanya dan persepsi jaraknya masih berkembang. Oleh karena itu, anak sering jedot kepala di meja makan karena dia tidak bisa melihat ujung meja yang menonjol itu. Menurut mata, masih jauh. Lalu jedot. Kalau ada jurang tanpa pagar, dan dia sedang lari mengejar bola, mata dia menyatakan jurang masih jauh maka dia kejar bola terus. Lalu tergelincir. Juga benar bahwa anak belum pintar mempertimbangkan risiko seperti orang dewasa. Orang dewasa melihat jalan yang ramai dan menyeberang dengan hati-hati. Anak melihat jalan dan melintas saja karena bahayanya tidak langsung masuk pikirannya.

Jalan masuk sekolah itu dibuat dari batu kali yang bulat dengan ukuran 5-15cm. Jalan tidak datar dan kita harus berjalan dengan pelan dan hati-hati. Saya yang dewasa hampir kena kaki keseleoh karena kaki saya injak sebuah batu besar dan tergelincir ke samping. Buat apa batu itu? Pagar di sebelah jalan itu dibuat dari kayu bambu yang bagian atasnya ditajamkan, seperti bambu runcing. (Apa ditakuti serang pasukan Belanda lagi?) Buat apa bambu di pagar sekolah ditajamkan begitu? Tingginya sekitar 50-60 senti. Saya bisa bayangkan seorang anak mendorong temannya, dan pada saat dia jatuh ke atas pagar itu, dadanya ketusuk bambu.

Ada seekor rusa di dalam kandang. Tembok kandang dibuat dari kawat ayam. Karena mengunakan kawat ayam yang kurang panjang, dua lapis diikat sehingga ada bagian atas dan bagian bawah dengan ikatan di tengah. Ikatan juga menggunakan kawat yang kuat, tetapi tidak diikat dengan rapi. Ada banyak bagian yang menonjol keluar sekitar 10-15cm. Artinya, tembok kandang itu menjadi “berduri” karena ujung2 kawat yang menonjol. Kalau ada anak lari ke sana, dan mendorong temannya, pada saat anak itu hajar kawat ayam, dia bisa ditusuk oleh kawat yang menonjol. Tingginya duri kawat itu sekitar 1 meter dari tanah, atau setinggi mata anak. Kalau mata seorang anak ketusuk, orang tua tidak bisa beli mata yang baru di toko swalayan.

Artinya semua ini, sekolah ini penuh dengan hal-hal yang berbahaya untuk anak (pada saat saya ke sana). Di Australia, tempat seperti itu tidak akan mendapat izin menjadi sekolah. Untuk membangun sekolah, keamanan dan keselamatan adalah nomor satu. Selalu. Bayangkan kalau anda terima telfon seperti ini: “Maaf, Ibu. Anak anda menjadi buta karena matanya ketusuk kawat saat dia main di samping pagar... tapi nilai bahasa Inggrisnya tinggi. Bagus kan?”

Pada saat ada informasi (iklan 1 halaman) tentang sekolah ini di sebuah koran, saya membaca suatu pernyataan yang paling aneh yang pernah saya baca berkaitan dengan pendidikan. Kata Pengurus “Kalau anak mau belajar tentang daun, maka dia harus memegang daun. Berarti harus ada hutan di depan sekolah.” Masa? Kalau teori pendidikan ini benar, coba kalau kita kembangkan: Kalau anak mau belajar tentang buaya, mereka harus memegang buaya. “Nah, Budi, yang sendang gigit kaki kamu itu, namanya buaya! Lihat giginya yang besar. Jangan teriak. Kamu masih punya kaki satu lagi.” Apakah begitu pendidikan? Kalau anak mau belajar tentang sesuatu, mereka harus mengalaminya secara langsung? Kalau belajar tentang alam semesta bagaimana? Atom? Pesawat? Piramida? Virus? Peredaran darah? Ledakan bom?

Berapa banyak hal selain daun dan bunga yang bisa dihadirkan di sekolah? Kalau seandainya dia membicarakan “Hands on Learning” atau “Experimental Learning”, maka saya tidak ada komentar karena itu memang bagus. Tetapi penjelasan dia tidak seperti itu, dal hal itu membuat saya meragukan pengertiannya tentang pendidikan.
Dan pada saat saya melihat jendela kelas tidak ada kacanya (supaya dekat dengan alam) saya memikirkan kemungkinan anak bisa kena Demam Berdarah. Nyamuk diberi akses penuh terhadap anak. Saya mencari alat pemadam kebakaran (karena gedung dibuat dari kayu) tapi tidak menemukannya (mungkin ada, tapi disimpan supaya tidak kelihatan). Tapi karena tidak ada kaca di jendela, anak bisa loncat keluar dari kelas dengan mudah kalau terjadi kebakaran.

Intinya, orang yang membangun sekolah ini seakan-akan inginkan anak kembali hidup di tengah hutan seperti orang Rimba. Saya bingung tentang kenapa ini menjadi idaman orang tua dan pemilik sekolah.

Sudah berkali-kali saya mengunjungi sebuah sekolah di DKI dan minta melihat kurikulum. Sering kali, kepala sekolah sulit menemukannya karena tidak tahu ada di mana. Lebih parah, sering ada yang menyatakan “Kita sedang menulisnya”. Dan “Kita” di sini adalah kepala sekolah dan para guru yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan. Pernah ada kepala sekolah menyatakan kepada saya dengan bangga: “Kita sudah membuat kurikulum untuk 6 bulan ke depan.”

Coba kita aplikasikan logika ini pada tempat yang lain: Kita naik bis dan pengemudi menyatakan “Saya ada peta untuk 6 kilo ke depan. Sisanya akan saya tulis dalam perjalanan kita ke Bali.” Apakah anda mau naik bis itu? Yakin bisa sampai ke tujuan?
Kalau kurikulum tidak dibuat dari K-6 dari awal sekolah, dan hanya 6 bulan di depan murid, bagaimana kalau sampai ke Kelas 6 dan para guru baru sadar ada banyak yang belum sempat diajarkan? Dari ilmu 100%, baru 60% yang diajarkan dari K-5. Apakah 40% yang tersisa bisa diberikan dalam 1 tahun terakhir? Seperti apa kelasnya nanti?
Kayanya ada banyak sekolah seperti ini, dan mayoritas dari orang tua tidak sadar bahwa sekolah tanpa kurikulum adalah masalah besar.

Ada sebuah sekolah yang mendapat “guru bahasa” dari negara Inggris untuk menyusun program bahasanya. Masalahnya adalah di Inggris dia bekerja sebagai DJ (Disc Jockey) di sebuah klub malam, tidak ada latar belakang pendidikan, dan juga tidak lulus kuliah. Program bahasa yang dia gunakan di sekolah itu diambil dari Amerika. Setelah diselidiki, ternyata program itu adalah sebuah program Phonics yang diciptakan pada tahun 1950an, dan sekarang sudah diganti di manca negara dengan program Phonemic Awareness (yang sifatnya berbeda).

Tetapi orang tua datang ke sekolah (“Kita sekolah bilingual lho!”) dan melihat bule, jadi mereka tidak bertanya tentang latar belakangnya. Yang penting bule.

Kalau mau tahu kalau sebuah sekolah bermasalah, coba cek kalau para guru sering diganti. Kalau setiap tahun ada banyak yang mengundurkan diri dan guru baru masuk, biasanya berarti ada masalah dengan managemen sekolah. Kalau gurunya bagus, dan kurikulum oke, tapi managemen sekolah tidak baik, maka guru akan keluar mencari kesempatan di lain tempat. Biasanya guru yang baik menjadi jenuh kalau kerjanya diganggu dan di otak-atik oleh pengusaha yang ingin mengatur sekolah sesuai dengan kemauan sendiri. Kalau guru sering diganti, dan kurikulum “sedang ditulis” maka hati-hati kalau mau masukkan anak anda ke sekolah itu.

Semua masalah yang disampaikan di atas bisa diatasi. Tapi karena pemilik sekolah tidak mengerti pendidikan, hal seperti ini dianggap masalah kecil dan bukan utama. Dan sayangnya, orang tua tidak sadar bahwa sekolah anak mereka adalah tempat yang tidak ideal.

Mohon diingat bahwa saya tidak membuat artikel ini dengan niat menjelekkan nama semua sekolah Islam yang ada di DKI. Walaupun tidak enak di hati, saya sengaja merasa kewajiban untuk membicarakan masalah ini supaya orang tua bisa menjadi sadar.

Sebagai seorang guru, saya merasa ada tanggung jawab untuk menyampaikan kritikan sekolah kepada para orang tua secara jujur. Kalau guru dari salah satu sekolah tersebut membaca artikel ini, mungkin dia tersinggung karena merasa sekolah dia oke-oke saja. Dan perlu dipahami, bahwa saya membandingkan sekolah di atas dengan sekolah ideal yang teratur secara baik.

Insya Allah pada suatu saat semua Sekolah Negeri di Indonesia bisa berubah menjadi sekolah ideal, dan sekolah swasta tidak akan diperlukan lagi, atau bisa dijaga secara ketat supaya tidak bisa menyimpang.

Masih ada banyak hal lain yang bisa saya sampaikan, tapi saya rasa sudah cukup untuk saat ini. Bisa jadi ada sekolah swasta yang bermutu di DKI, cuma saya belum mendengar tentang sekolah itu dan belum mengunjunginya.
Semoga bermanfaat,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

28 comments:

  1. Well said. Terima kasih untuk infonya, benar2 membuka mata. Saya sedang mencari-2 sekolah SD di Jakarta & sekitarnya untuk anak saya. Saya perhatikan memang banyak yg mengutamakan bilingual ini dengan klaim memakai 'standard internasional', yg tdk jelas dari lembaga apa.

    ReplyDelete
  2. very good article..thanks a lot..:)
    salam kenal ya..btw,Pak Gene apa tidak mau buka sekolah ni disini? :P

    ReplyDelete
  3. Artikelnya bagus. Paling ngga memang perbandingannya saya sudah pernah baca pada beberapa buku. Nah dari mayoritas sekolah jelek2 itu rasanya tetep harus kita pilih salah satunya. Secara realistis kita memang hidup di Indonesia yang pemerintahan dan orang2 yang memiliki sekolah memang belum terlalu concern dengan hal-hal tersebut. Tapi kan hidup terus berjalan dan anak2 kita tetap perlu sekolah, jadi sarannya bagaimana ? trus kan juga harus relaisitis juga sekolah yang deket dengan rumah juga jadi bahan pertimbangan. karena kalau anak cape di jalan, trus costnya meningkat juga jika harus hire supir.
    Nah untuk menutupi kekurangan yang ada di sekolah tersebut bagaimana cara kita membacupnya dirumah ?
    misalnya saya akhirnya memutuskan anak saya untuk masuk play group kinderland dibandin montessori, sebagai tambahannya dirumah saya mengajarkan anak ketrampilan untuk melatih syarat motorik halus dan sensoriknya, untuk motorik kasar saya tambahkan permainan2 diluar dan tambahan main di gymboree. untuk agama saya belum tau cari guru agama yang seperti apa untuk dipanggil kerumah.please advisenya.

    ReplyDelete
  4. Kalau saya punya anak (maaf, belum punya: Ibunya anak saya masih umpet, dan sulit ditemukan, hehe) maka saya akan memilih salah satu sekolah Islam yang dekat rumah. Mencari sekolah yang jauh membuat anak capai dan belum tentu membawa hasil yang lebih baik. Saya akan selediki sekolah dulu dengan cara mengajak bicara orang tua yang lain, dan juga satu atau dua guru, dan juga akan minta lihat2 di sekitar sekolah, dan juga minta melihat kurikulum. Kalau sepertinya cukup baik, anak saya boleh masuk dulu. Tetapi harus saya pantau terus apa yang terjadi di sekolah. Masalah utama di sini adalah para orang tua anggap kalau anak sudah "diserahkan" pada sebuah sekolah yang mahal, hasilnya akan pasti baik. (Kita juga begitu dengan dokter: kalau dokter sudah tangani anak, masa kita masih harus menambahkan obat sendiri?) Seharusnya sekolah juga begitu: sekolah sudah tangani jadi kita bisa tenang. Tetapi sayangnya tidak. Orang tua masih harus memantau terus. Jadi, sebaiknya tetap masuk sekolah Islam swasta yang dekat, tetapi jangan heran kalau guru sering keluar, atau ada masalah lain yang muncul sewaktu-waktu. Semua pelajaran sekolah harus dicek lagi di rumah. Mudah-mudahan tidak akan terjadi apa-apa yang membuat orang tua ingin pindah sekolah lagi, karena itu pasti sangat merepotkan. (Dan mahal: kenapa uang pangkal selalu non-refundable?) Semoga bermanfaat. Wass. Gene.

    ReplyDelete
  5. Senang membaca ulasan yang detil tentang sekolah-sekolah di Jakarta. Saya sempat menitipkan anak kedua kami di salah satu sekolah yang saudara ulas dan mencoba mengunjungi beberapa sekolah lainnya yang sudah diulas. Kesimpulan sepintas tidak berbeda. Akhirnya saya memberanikan diri menarik anak kedua kami setelah 1 semester di sekolah tersebut. Saya ambil alih untuk mendampinginya belajar di rumah.

    Setelah lebih dari enam tahun menemukan, mengisi, dan mengembangkan pendidikan anak merdeka di SD Hikmah Teladan, lalu mencoba merintis di Jakarta tapi batal karena berbagai alasan, saya yakin sekolahrumah/homeschooling merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi model pendidikan anak merdeka yang saya impikan.

    Saya mencoba merajut mimpi untuk mengembangkan komunitas belajar rumah kerlip sebagai wujud gerakan sosial kritis berbasis keluarga yang berupaya mendorong demokratisasi pendidikan demi kepentingan terbaik anak dan perempuan.

    Setuju dengan kata-kata Goethe, pengetahuan bukan dipelajari dengan merenung tapi dengan tindakan. saya berharap Gene dkk bersedia sharing pengalaman mendidik, bahkan jika mungkin membantu pengembangan komunitas belajar Rumah KerLiP yang saat ini menampung 227 anak, sebagian besar dari daerah terpencil seperti Pulau Sabu NTT. Awalnya karena ada teman yang berminat mengembangkan pendidikan anak merdeka yang mereka dapatkan setelah berinteraksi di SD Hikmah Teladan.

    Berkenan sharing/bergabung?
    saya tunggu di
    yantikerlip@gmail.com
    +62-21-7890151

    Salam
    Yanti

    ReplyDelete
  6. Assalamualakium.
    Untuk apa yg telah diutarakan oleh (Ibu? atau Bapa?) Gene Netto, ham pir80 % banyak benarnya,karena sa ya termasuk seorang bapa yg meng khawatirkan tentang METODE PENDI DIKAN DASAR di Indonesia tercinta ini.
    Saya punya pengalaman yg mempriha tinkan, sehingga anak pertama saya harus MENGHABISKAN dua TK, sampai akhirnya pilihan ketiga jatuh ke sekolah yg KATANYA UNIK, tapi un tuk saya merupakan pilihan yg CO COK.
    Anak pertama saya termasuk anak yg aktif, banyak bertanya dan memili ki rasa penasaran yg besar, karena memang sejak anak saya belajar bi cara saya dan istri membuat komuni kasi dg anak sedemikian rupa se hingga anak saya punya rasa ingin tahu dan kepenasaran yg tinggi. Tapi apa yg terjadi ????:
    Di TK yg pertama anak saya diang gap bermasalah karena TIDAK TERMA SUK ANAK YG PENDIAM DAN PENURUT, sehingga guru TKnya datang kerumah dan bertanya ke istri saya, SIAPA YG DITAKUTI DI RUMAH, yg dijawab o leh istri saya bahwa anak saya TA KUT pada bapaknya (yaitu saya). Minggu beri kutnya saya mendapat berita (dari tetangga yg sering mengantar anaknya ke TK yg sama) bahwa anak saya jadi pendiam dan penurut.Awalnya hal itu menggembi rakan,(sekaligus mencemaskan) tapi akhirnya saya tahu dari tetangga dan anaknya sendiri bahwa ternyata IBU GURU TKnya selalu mengancam a nak saya akan melaporkan ke saya jika ia tidak MENURUT. Anak saya memang TAKUT kepada saya, tapi sa ya lebih suka menyebut SEGAN, kare na kami(saya dan anak saya) selalu membuat kesepakatan dalam berkomu nikasi yg berorientasi reward dan hukuman, tentu saja setelah mela lui diskusi sederhana dan lugas.
    Waktu saya tanya anak saya, kena pa takut dilaporkan (oleh gurunya)kesaya kalau ia merasa tak bersa lah?, Katanya: Ia tak ingin menyu sahkan bapaknya (yaitu saya) kare na ia dianggap anak nakal di kelas nya padahal ia hanya ingin tanya ini dan itu. (Nah lho...bingung sa ya.Akhirnya saya KELUARKAN DARI TK tersebut dan pindah ke TK yang (ra sanya) lebih baik (walau saya kehi langan biaya yg tidak bisa ditarik lagi, tapi saya lebih mementingkan kenyamanan mental dan psikolgis anak saya).
    Di TK yg baru saya mendapat kom plain dari gurunya bahwa anak saya TERLALU BANYAK BERTANYA dan yg le bih mengecewakan saya adalah saat TK tsb digunakan sebagai media un tuk ujian PGTK (Pendidikan calon GuruTaman Kanak)selama tiga hari, Sekolah meminta kepada saya agar anak saya tidak datang kesekolah (Hanya anak saya dan satu orang temannya) karena dikhawatirkan si kap kritis anak saya akan meng ganggu jalannya ujian calon guru TK tersebut. (Waduuuuuuh)
    Akhirnya saya pindahkan anak saya ke TK berikut yg ternyata setelah dilakukan psikotes ternyata anak saya layak masuk SD kelas 1. Alhamdulillah segala hal yg pernah saya alami dua kali sebelumnya se karang tidak pernah lagi terjadi.
    Saya tidak berani bilang bahwa se kolah yg terakhir itu paling baik, tapi saya merasa menitipkan anak saya kesekolah yg cocok dg harapan saya dan juga karakter si anak, dan yg lebih penting interaksi gu ru dg orang tua murid begitu baik sehingga semua dapat terpecahkan dgsemangat mendidik dan membentuk anak yg baik.
    Kesimpulan:
    Apa benar anak yg baik itu anak yg MENURUT DAN DIAM di kelas
    Apa benar MENGANCAM itu metode men didik yg baik untuk balita.
    Apa benar sebagai orang tua kita HARUS MENUNTUT RANGKING ternaik si anak di kelas (Karena saya tidak akan pernah menuntut rangking ke anak saya)
    Untuk saya sebagai BAPANYA, ANAK adalah titipan ALLAH yg harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat.
    Untuk anak saya, BAPANYA adalah TEMAN dan suebr TELADAN yg terdekat

    Mudahan-mudah sekilas pengalaman ini memberi referensi singkat
    karena TIDAK PERNAH ADA SEKOLAH untuk MENJADI BAPAK dan IBU tapi ORANG TUA adalah teladan pertama bagi anak-anaknya

    10 Maret 2007
    etrik_ept@yahoo.com

    ReplyDelete
  7. Komentar Pak Gene benar bahwa sekolah swasta yang baru bermunculan ini banyak yang sekedar mengejar PROFIT !...dan suka bikin program aneh-aneh...

    Saya punya keponakan yang sekolah di salah satu SD swasta yg dibahas oleh Pak Gene. Baru2 ini sy mendengar bhw keponakan saya itu entah gimana ceritanya... di jadwalkan utk renang di SINGAPORE,(gila...kayak mau menghadapi SEA GAMES aja ya...) dan lucunya lagi dg biaya para ortu sendiri. Tujuannya pun nggak jelas utk apa jauh2 ke singapore segala, mending kalo renangnya bagus gitu. Pulang2 bawa medali masing2....apa-apaan ini, hanya utk mengangkat gengsi sekolah itu dan jg para ortunya???

    Tentuanya para guru2 jg ikutan berangkat lho...haha..

    ReplyDelete
  8. sebuah pencerahan ...

    saya jadi teringat uacapan seorang Pimpinan Redaksi sebuah surat kabar. Dia bilang kalau anda mau investasi dan mendapatkan untung besar, tanamkan investasi anda di bidang pendidikan dan kesehatan. Hampir tidak ada kata rugi disana.

    Memang beginilah jadinya kalau "pasar" menjadi ruh dari setiap tindakan.

    Mungkin institusi pendidikan yang ada sekarang ini hanya sekedar "mengajarkan" tapi tak pernah "mendidik". Kalau dalam Islam, ada yg namanya "ta'alim" ada yang namanya "tarbiyah"

    waLlahu a'lam.

    ReplyDelete
  9. Saya banyak setuju dengan anda. Tapi di sini anda banyak menyalahkan ketidaktahuan tentang permasalahan pendidikan akibat latar belakang yang bukan pendidikan.

    Kira-kira anda pernah tidak mengobservasi guru-guru yang lulusan pendidikan, apakah benar mengerti?

    Terima kasih.

    ReplyDelete
  10. Sebetulnya, saya ada beberapa teman yang lulusan IKIP/UNJ Jakarta dan juga dari Bandung (saya lupa nama universitas itu sekarang, sudah berubah). Mereka sangat baik di kelas, makanya menjadi teman saya. Mereka memutuskan untuk menjadi guru, dan bukan ekonom. Berarti sebagai landasan, mereka pernah memberikan komitmen terhadap pendidikan, dan sampai sekarang, semuanya masih mengajar. Beda dengan lulusan fakultas yang lain, yang hanya ingin mengajar untuk 1-3 tahun karena tidak ada pekerjaan yang lain.
    Tidak berarti semua lulusan dari IKIP adalah guru baik seperti teman saya, dan tidak berarti semua lulusan ekonomi tidak sanggup mengajar. Semua kembali ke guru masing2, tergantung niatnya dan usahanya. Terasa bedanya: kalau saya bicara dengan teman yang lulusan IKIP dan saya sebutkan “Classroom Management” tidak ada yang bingung. Lulusan ekonomi tidak punya landasan. Dan hal itu mempengaruhi semua keputusan di dalam kelas. Seorang guru yang kurang baik, bisa diperbaiki dengan training. Seorang lulusan ekonomi belum tentu bisa berubah setelah mendapat penjelasan beberapa jam saja. Kalau yang dibutuhkan untuk menjadi guru hanya beberapa jam training dan pengalaman di kelas, kenapa semua negara barat (yang saya tahu) wajibkan kuliah untuk 4 tahun? Ibaratnya kalau ada anak yang sakit, apakah cukup dirawat oleh seorang lulusan ekonomi yang pernah ikuti training tentang biologi? Atau mau kunjungi Dokter? Skil dokter bukan basa basi dan skil guru baik yang saya kenal juga bukan basa basi. Ada ilmunya yang sangat luas dan bermanfaat, yang tidak bisa didapatkan oleh orang yang pernah ikuti training (kalau memang ada training!)

    ReplyDelete
  11. Salam kenal Pak NETTO...Saya bukan guru, tapi saya suka mengamati dunia pendidikan.

    Saya tadi mencari info tentang lomba Matematika Di WTC Serpong besok, anak saya mau ikut. Tapi alhamdulillah nemu blog GENE NETTO yg bagus ini.Walaupun saya sangat mementingkan pendidikan agama anak, tetapi untuk memasukkan anak ke SD swasta yg berlabelkan Islam dengan berbagai tawaran yg katanya terobosan pendidikan, saya kok tidak tertarik. Pertimbangannya, pertama, jelas swasta ya pertama pasti berorientasi bisnis, yang lain baru menyusul. Yang kedua, saya lebih suka anak saya berada dalam lingkunagn yang tidak seragam latar belakangnya dan terbiasa dengan perbedaan. Pendidikan agama diberikan di rumah dengan contoh yang nyata. Walaupun di Sekolah banyak diajari pengetahuan agama, kalau di rumah tidak ada contoh pengamalan dari ortu ya akan tidak efektif. Jadi untuk SD anak saya, saya pilih SD negri saja. Kebetulan tahun ajaran baru nanti satu anak saya akan masuk kelas 1 SD. JAdi artikel ini lebih memantapkan pilihan saya.

    Kadang saya suka membandingkan dengan pendidikan SD saya dulu yg ala kadarnya di sebuah desa di Jawa TENGAH tapi kok ya "ok ok" saja.. Salam

    ReplyDelete
  12. hallo ass.wr.wb trmks banyak atas artikelnya sangat menarik bagi saya karena saya mempunyai adik yng tinggal di indonesia dan sekolah di tk islam tapi saya lihat masyarakat di sekitar kita sangat cenderung/ fanatik utk menyekolahkan anaknya kesitu krn di sekolah itu beredar memakai bilingual , yang ingin saya tanyakan bagaimana cara melihat sekolah itu bermutu tau tidak nya karena sebagian masyarakat indonesia hanya terkecoh dengan lelel sekolah standard internasional sedangkan mereka tidak tau cara mencetak generasi yang berkuwalitas? wass.wr.wb

    ReplyDelete
  13. sekolah anak saya,guru nya tiap tahun kok pada pindah ya? kira menurut pak Gene apa kenapa bisa terjadi seperti itu?

    ReplyDelete
  14. Hai Desy, biasanya itu disebabkan managemen yang buruk. Karena kondisi kerja di sekolah sulit diterima, atau pemilik sekolah punya sikap yang buruk dan sering menganggu kerjaan guru, mereka lebih pilih pindah kerja daripada melawan. Kalau melawan, mereka takut dipecat di tengah semester (dan karena itu akan sulit mencari pekerjaan baru) dan mereka juga takut tidak akan didukung oleh orang tua.
    Jadi, buat para guru dalam kondisi yang sangat lemah, mereka menunggu hingga akhir tahun/akhir kontrak, dan mereka pindah. (Tentu saja tidak ada serikat guru di sekolah itu.)
    Bu Desy bisa coba hubungi salah satu guru yang sudah keluar, dan minta dia jelaskan kondisi kerja di sekolah itu bagi para guru. Kalau dia mau jelaskan secara jujur, Bu Desy pasti terkejut, karena sangat berbeda dengan apa yang disampaikan pihak marketing sekolah.
    Ingat bahwa sekolah swasta itu bisnis. Mereka siap mengatakan apa saja supaya dapat uang dari ibu. Dan kalau ada guru yang bentrok, pasti guru yang disalahkan, bukan pihak sekolah yang mau memperbaiki diri. Orang tua hanya dilihat sebagai sumber uang, bukan pihak yang punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak buat anaknya. Yang penting, profit di atas segala-galanya. Selama orang tua tidak tahu tetang masalah yang ada, sekolah tidak perlu berubah. Jadi, lebih baik bila guru pindah daripada mereka dipertahankan oleh sekolah dan malah menjadi jenuh, dan memberitahu semua keluhannya kepada para orang tua.
    Guru yang sering keluar merupakan suatu kegagalan sekolah untuk menciptakan kondisi yang terbaik buat proses belajar-mengajar. Ini tanda sekolah yang utamakan profit, bukan pendidikan.

    ReplyDelete
  15. eneral - Uppss
    Dua Remaja Terancam 38 Tahun Penjara Karena Ubah Hasil Ujian

    Submitted by : Admin Date : June 22, 2008


    CALIFORNIA - Dua remaja California terancam hukuman 38 tahun penjara karena berhasil mencuri username dan password komputer sekolah untuk mengubah hasil ujian milik mereka.

    Omar Khan dan Tanvir Singh, yang saat ini masih berusia 18 tahun, menghadapi tuntutan berlapis karena membobol kantor guru sekolah Rancho Santa Margarita. Mereka membobol komputer administrasi di sekolah tersebut dan mengubah nilai hasil ujian mereka dari D dan C menjadi A.

    Dilansir melalui PC World, Kamis (19/6/2008), Khan telah ditangkap dua hari setelah kejadian tersebut sedangkan Singh diharapkan dapat menyerahkan diri saat sidang berlangsung.

    Pasal berlapis yang dikenai pengadilan atas tindakan kejahatan yang dilakukan keduanya cukup banyak. Pertama mereka memasuki kantor tanpa ijin, mencuri username dan password komputer sekolah, mencuri lembar ujian sebelum dilaksanakan, dan mengubah nilai ujian mereka serta 12 orang siswa lainnya.

    Tidak hanya itu, Khan juga terjerat hukuman karena menyusupi komputer sekolah dengan spyware sehingga mereka dapat mengakses pusat database sekolah secara jarak jauh sewaktu-waktu.

    Jika terbukti bersalah, Khan akan dijatuhi hukuman 38 tahun penjara sedangkan Singh hanya mendapatkan sanksi 3 tahun penjara saja karena hanya terlibat aksi membobol sekolah dan mencuri lembar ujian bahasa Inggris.

    Sumber : okezone
    My comment: Gila 38 tahun! Gimana di Indonesia? Malah dibantu menipu oleh guru dan kepsek. Ampuun deh

    ReplyDelete
  16. huhuhuu...
    jadi bingung mau sekolahin dimana, sd negeri nggak ada yang nyaranin...
    sd swasta sama aja,
    ada saran sekolah yang bagus untuk daerah jakarta selatan...
    btw, anakku ada 2, yang 2 tahun di highscope, yang 5 tahun di cikal, aku lagi survey sd yang bagus dan nggak mahal-mahal banget...

    ReplyDelete
  17. salam kenal mr. Genne
    saya bukan lulusan IKIP atau yang sejenis, saya ekonom yang sangat senang memperhatikan tentang liku2 pendidikan. karena saya menemukan ketidakpuasan terhadap pendidikan yang pernah saya enyam dari SD hingga bangku kuliah.
    semenjak kuliah saya memang mengidamkan pendidikan yang ideal, lingkuangan pendidikan dan bermain yang ideal, bagi anak2 saya kelak. dan saya sekarang sudah memiliki 2 anak.
    saya mungkin sama dengan ibu yanti diatas yang akhirnya lebih setuju dengan melakukan homeschool bersama anak2, setelah mengunjungi dan mengobservasi baik sarana dan kurikulum dari 3 sekolah swasta (islam).selain anak2 merasa tidak terkotak, tidak terbatasi oleh waktu dan hanya sekedar menghabiskan kurikulum, tetapi ada pengalaman lain tentang petualangan langsung belajar tentang lingkungan dan habitat binatang yang mungkin tidak bisa dilakukan anak2 lain yang belajar di sekolah karena keterbatasan ruang dan waktu.
    saya juga setuju dengan anda bahwa ilmu tidak hanya dipelajari secara konkret dan kasat mata, karena ada berbagai pengetahuan yang tidak bisa kita alami sendiri (karena faktor bahaya,ruang, ataupun waktu), tetapi dapat kita temukan dari kita banyak membaca.karena saat ini saya mengumpulkan berbagai buku baik ensiklopedi maupun cerita kesenangan anak2, baik dalam bahasa indonesia maupun dalam bahasa inggris.
    saat ini saya merasa, dengan saya memberikan kebebasan belajar, saya juga mendapatkan kebebasan finasial untuk mengatur alokasi dana yang digunakan untuk mendukung pembelajaran dan pengalaman pribadi yang benar2 disukai oleh anak2 saya.
    sekarang, meski dengan HS, anak saya tetap mendapat arahan saya untuk mendapat bimbingan tentang seni,bahasa, dan olah raga.
    dia belajar balet, belajar bahasa asing (inggris dan jepang), vokal, berenang, dan taekwondo bersama ayahnya. semua dengan kebebasan waktu yang tetap dalam rules disiplin.

    ReplyDelete
  18. Emang bener tuh..ane setuju banget ama postingan diatas. Mana biaya sekolah udah ga ketulungan mahalnya..Pusingggggggg..belon kalo ada yang ultah..kita sebagai ortu wajib sediain kado..nah..tambah pusing deh..
    btw..kalo ente punya kendaraan, ada baiknya main ke tips otomotif biar tambah pinter dan ga perlu sekolah montir..

    ReplyDelete
  19. Emang bener tuh..ane setuju banget ama postingan diatas. Mana biaya sekolah udah ga ketulungan mahalnya........
    jadi guru harus lebih kreatif dan inovatif
    semoga semakin sukses yaa
    salam istimewa..

    Jual Seragam Olahraga Sekolah

    ReplyDelete
  20. Keren bgt artikel, kita seperti " tersentil " kebanyakan ortu pgnnya dpt style drps pndidikan yg benar, apalagi klo bilingual wah kyknya keren bgt, pdhl tdk jg seperti itu.. bener2 mncari sekolah hrs disortir, dan lihat kemampuan anak. Sekolah bukan tempat untuk stress melainkan tempat yg nyaman.

    ReplyDelete
  21. Baru ini baca blog membahas bidang krusial (pas kalau saya bilang). 2 bidang krusial yg sering jd penyalahgunaan lahan bisnis. Intinya sealiran dengan pendapat pak Gene....kalaupun skeptis dgn pendidikan dr SD pun saya sudah ngalami pak....hehe mungkin yang mengenal P4 , GBHN dkk akan pahan....sekolah jadi semacam normatif formal saja, tidak sampai menyentuh kepribadian murid, yg menurur saya itu jauh lebih penting....iya waktu sekolah saya lebih merasa dimanfaatkan saja oleh sekolah (SDN inpress) di sebuah kota kecil...

    ReplyDelete
  22. Baru ini baca blog membahas bidang krusial (pas kalau saya bilang). 2 bidang krusial yg sering jd penyalahgunaan lahan bisnis. Intinya sealiran dengan pendapat pak Gene....kalaupun skeptis dgn pendidikan dr SD pun saya sudah ngalami pak....hehe mungkin yang mengenal P4 , GBHN dkk akan pahan....sekolah jadi semacam normatif formal saja, tidak sampai menyentuh kepribadian murid, yg menurur saya itu jauh lebih penting....iya waktu sekolah saya lebih merasa dimanfaatkan saja oleh sekolah (SDN inpress) di sebuah kota kecil...

    ReplyDelete
  23. Sy sudah 2x selama 2thn berturut2 mengikutkan anak sy utk trial di sekolah p*n@bur intl bdg (thn 2016 anak sy berusia 2thn dan tahun ini 3thn). Setelah membaca post pak Gene diatas, sy terhentak krn sy notice bahwa dalam wkt 1thn saja, sekolah tersebut sudah merombak semua guru dr kelas Early year sampai K1 (tidak ada guru yg sama dgn trial thn kmrn). Bahkan ketika itu sy menanyakan kpd guru yg mengajar, apakah masi sama dgn sistem tahun kemarin bahwa setiap hr jumat, disekolahan wajib menggunakan bahasa indonesia, dan alangkah terkejutnya sy bahwa guru tersebut lgsg menjawab sy bahwa skrg sudah berbeda krn tiap tahun selalu ganti sistem spy lebih baik lagi. Betapa kagetnya sy ketika membaca post diatas yg sangat sesuai dgn keraguan hati sy soal perubahan sekolah ini. Dalam pemikiran sy, apa perubahan tiap tahun ini sungguh2 bagus dalam sebuah sekolah (mksdnya apa benar2 membawa perubahan yg bagus) atau malah menjadi pertanyaan bagi saya, kok sekolah bs begitu gampang ganti2 guru dan sistem pengajaran ya??!! Tp saat ini, yg tersisa dr survey sekolah sy cuma sekolah berbasis singapore (k*nd*erlnd) yg banyak sy dengar desas desus negatif drpd positifnya...apakah ada sugest bagaimana spy sy benar2 bs memilih sekolahan yg tepat untuk anak saya? Saya sungguh2 perlu bantuan dan opini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekolah2 swasta seperti itu didirikan oleh pengusaha yang mau dapat profit dari “bisnis sekolah”. Mereka cuek saja kl sistem pendidikan nasional dibiarkan rusak. Yang penting mereka kaya, dan anak mereka bisa masuk sekolah dgn fasilitas berkualitas. Mrk anggap kondisi kelas yang nyaman, baru dan bersih setara dgn “pendidikan berkualitas”. Padahal yang membuat pendidikan berkualitas adalah GURU. Kelas yang baik adalah pelengkap, bukan yg utama. Mengajar anak di bawah pohon bisa dilakukan oleh guru yang berilmu. Saya pernah mengadakan kelas bahasa Inggris di dalam kolam renang dgn siswa. (Can you swim? How long have you been swimming, dsb.).

      Karena pemilik sekolah2 itu adalah pengusaha, dan rata2 tidak mengerti pendidikan, dan tidak mengerti kurikulum, maka mereka melakukan “eksperimen” terhadap anak orang lain, dgn uji coba sistem2 pendidikan dan program2 yg tidak mereka pahami. Mereka coba2 saja dan berharap bisa ketemu suatu sistem yang cukup memuaskan agar uang dari orang tua mengalir terus. Yang paling tidak mereka inginkan adalah “kebebasan bicara” bagi orang tua utk membahas kondisi sekolah mereka. Banyak sekolah punya pengacara mahal yang siap ancam orang tua dgn pasal “pencemaran nama baik” utk jamin masyarakat tidak akan bisa tahu kl ada orang tua yang kecewa dgn sekolah mereka, setelah keluarkan puluhan juta rupiah.

      Jadi selama sekolah2 itu dijaga oleh pasal tersebut (dan anggota DPR juga dijaga oleh pasal yg sama, makanya tidak mau dihapus), orang tua tidak bisa dapat feedback yang jujur dan terbuka dari orang tua lain, guru, ataupun siswa. Jadi semua orang tua hanya bisa tebak2 saja dan coba kirim anak ke sekolah2 itu, dgn harapan sekolah baru lebih baik dari sekolah yang lama.

      Delete
    2. Cukup banyak anak dipindahkan terus2an oleh orang tua yang mencari sekolah yg baik, jadi setiap sekolah swasta yang mahal dicoba satu per satu. Dan karena pemilik sekolah tidak mengerti pendidikan, mrk anggap bukan masalah kl banyak guru mengundurkan diri setiap tahun, dan kurikulum diganti lagi, dan sistem berubah lagi, dan banyak anak ditarik utk pindah sekolah. Selalu akan ada siswa baru, dan guru baru. Dan oleh karena itu sekolah2 swasta itu makin banyak. Orang tua, siswa dan masa depan Indonesia yang dirugikan. Tapi tidak ada yang mau peduli. Selama pengusaha kaya bisa tambah kaya dari “bisnis pendidikan”.

      Secara rutin ada orang tua yang email saya dan minta dikasih “daftar nama sekolah”. Ada yang minta nama sekolah buruk utk dihindari, atau sekolah baik agar mrk bisa coba masuk (walaupun selalu ada waiting list). Juga diminta informasi ttg keburukan sekolah2 tertentu yg punya “nama baik”. Alias, sekolah itu mungkin buruk dari sisi pendidikan, tapi karena orang tua puas dgn “pelayanan”, dianggap baik (karena orang tua tidak selalu paham kl anaknya dirugikan di sekolah). Semua orang tua itu tidak bisa dibantu. Selama ada pasal pencemaran nama baik yang diutamakan di atas hak bicara bebas di negara ini, tidak ada orang yg bisa membuka informasi ttg kondisi sekolah swasta dan sebutkan nama sekolah secara terbuka. Tidak akan ada situs seperti “TripAdvisor” utk hotel, tapi utk sekolah2, di mana orang tua bisa bandingkan feedback dari orang tua dan guru ttg setiap sekolah dgn hak komentar bebas. Kl dibuat ttg sekolah, setiap orang yang berikan komentar buruk akan dituntut oleh sekolah.

      Jadi orang tua selalu dalam kondisi tebak2 saja ttg masa depan anak mereka di sekolah2 itu. Tidak bisa dapat informasi, karena pemerintah sudah membuat kondisi di mana informasi tidak mungkin bisa dibagikan oleh orang yang tahu. Guru yang paling banyak tahu ttg kondisi sekolah, dan guru yang paling banyak diancam utk tidak bicara dgn orang tua. (Contoh, anak teman saya dicabuli di sebuah sekolah swasta di DKI. Kasus itu ditutupi oleh sekolah. Guru diwajibkan diam, dan bisa dipecat kl ketahuan bicara!)

      Saya merasa kasihan dgn siswa dan orang tua yg dapat kondisi pendidikan seperti ini. Tapi ini hasil dari kebijakan pemerintah. Jadi pengusaha kaya hanya memanfaatkan kondisi utk buka sekolah baru dan kejar kekayaan yang hampir terjamin ada di sekolah swasta…. Mohon maaf, tidak ada yg bisa dilakukan. Orang tua hanya bisa berdoa, dan coba sekolah baru lagi, dan berharap lebih baik dari yg sebelumnya. Selama tidak ada perubahan terhadap sistem pendidikan nasional, dan penghapusan pasal pencemaran nama baik, dan jaminan hak bicara bebas, masalah ini tidak akan hilang. Menjadi pendidikan berbasis “keberuntungan” di mana guru selalu dalam penekanan dan orang tua tidak bisa dapat informasi. Good luck!
      -Gene Netto

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...