Assalamu’alaikum wr.wb.,
Pada hari minggu kemarin, saya bertemu dengan Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal dan Wakil Ketua Komisi Fatwa di Majelis Ulama Indonesia.
Pada kesempatan itu, saya penasaran untuk bertanya tentang demokrasi dan anjuran golput karena sudah berkali-kali ada orang yang berkomentar di blog saya atau kirim email yang menyatakan bahwa demokrasi itu haram hukumnya dan ummat Islam diwajibkan golput. Saya minta pendapat Dr. Ali Mustafa karena saya ingin memahami perkara ini lebih dalam.
Berikut ini, saya akan coba menjelaskan kembali semua yang disampaikan Dr. Ali Mustafa dalam dialog kami pada malam itu.
Kesimpulan dari diskusi kami adalah: pendapat bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi sehingga haram untuk diikuti tidak ada landasan dalam ajaran Islam.
Dr. Ali Mustafa juga berpendapat bahwa opini ini berasal dari musuh-musuhnya Islam, termusuk kaum Zionis. Mereka sangat inginkan agar ummat Islam tinggalkan demokrasi sehingga bisa dipecah-belahkan dan menjadi lemah.
Dr. Ali Mustafa bertanya, “Apa yang akan terjadi di negara seperti Indonesia kalau semua orang Muslim menjadi golput dan tinggalkan demokrasi? Yang jelas, kita sangat mungkin mendapatkan Presiden dan Wapres yang non-Muslim!” Dan mereka akan diakui oleh dunia sebagai pemimpin yang sah karena mereka mendapatkan hak berkuasa lewat pemilu! Kejadian seperti itu akan merupakan suatu kemenangan yang besar bagi kaum non-Muslim, terutama missionaris yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Kristen.
Kemudian, Dr. Ali Mustafa menjelaskan ada 3 kelompok orang yang mendukung sikap golput:
1. Skeptis: dia tidak yakin negara ini bisa diperbaiki jadi dia tidak mau terlibat dalam prosesnya
2. Kecewa: dia sudah merasa kegagalan “demokrasi” selama puluhan tahun di Indonesia (di bawah Soeharto) dan karena itu dia tidak mau terlibat lagi dengan pemerintahan manapun.
3. Ideologi (kelompok ini dipecah lagi):
a. Ideologi Islam
b. Ideologi Sekuler
Insya Allah 1 dan 2 sudah jelas.
Untuk 3A, yaitu Ideologi Islam, mereka anggap bahwa Indonesia harus berubah menjadi negara Islam yang berdasarkan hukum syariah saja. Karena tidak demikian pada saat ini, maka dianggap demokrasi haram dan ummat Islam harus golput.
Menurut Dr Ali Mustafa, kalau kita ikuti anjuran orang ini, maka orang kafir bisa menjadi kaum yang paling berkuasa di sini, dan ummat Islam harus nurut dengan hukum yang mereka buat. Pendapat ini bahwa demokrasi haram untuk orang Muslim berasal dari “aktor intelektual” dan mungkin juga dari kaum Zionis, katanya. Mereka inginkan agar ummat Islam menjadi lemah, dipecah-belahkan, dan kaum non-Muslim bisa berkuasa di atasnya.
Untuk pendapat 3B, yaitu Ideologi Sekuler, mereka anggap bahwa tidak ada kandidat yang 100% sekuler, jadi karena itu mereka memilih untuk tidak dukung semua. Mereka merasa bahwa Indonesia sudah terlalu islamiah, dan mereka inginkan negara yang 100% sekuler seperti negara barat, dan tidak boleh lagi ada hukum syariah di Aceh, Perda Syariah, UU Zakat, UU Pernikahan (yang islamiah), UU Wakaf, obligasi syariah (di bidang keuangan), UU Syariah Banking, dan sebagainya. Mereka anggap bahwa hukum-hukum seperti ini melanggar asas sekuler negara yang mereka harapkan, dan selama tidak bisa dihapus, mereka tidak anggap Indonesia sebagai negara sekluer yang sesungguhnya, dan karena itu demokrasi di sini harus ditinggalkan, alias mereka mau golput. Tidak ada kandidat yang layak dipilih karena tidak ada kandidat yang janji untuk menghapus semua UU tersebut dan mengubah Indonesia menjadi negara sekuler yang bersih dari UU yang islamiah.
Saya bertanya lebih dalam tentang pendapat 3A, yaitu Ideologi Islam. Saya ingin lebih paham kenapa ada begitu banyak orang Muslim yang anti-demokrasi. Dr. Ali Mustafa menjelaskan, ada 4 jenis hukum di dalam Islam:
1. Ibadah (shalat, haji, dll.)
2. Muamalah (kegiatan yang dilakukan antara manusia, jual-beli, sewa-menyewa, dll.)
3. Munakahat (hukum perkawinan, warisan, wakaf, dll.)
4. Jinayah (hukum kriminal, atau hukum syariah)
Dari 4 jenis hukum ini, 3 yang pertama sudah diaplikasi di dalam negara Indonesia. Jadi, sebenarnya, Indonesia sudah 75% menjadi negara Islam. Hanya yang ke-4 yang belum diaplikasi secara mutlak. Lalu, Dr. Ali Mustafa menjelaskan bahwa apa yang kita pahami sebagai demokrasi (rakyat bisa memilih pemimpin sendiri) tidak masuk ke bagian Ibadah. Sedangkan dalam hukum fiqih, kita wajib mengikuti contoh dari Rasulullah SAW dalam urusan Ibadah karena yang lain dari contoh Nabi SAW adalah haram. Sedangkan dalam semua urusan yang lain, apa yang kita kerjakan berstatus halal, selama tidak ada alasan yang jelas untuk membuatnya haram.
Urusan dunia diserahkan kepada kita untuk memutuskan lewat musyawarah (saling berdiskusi dan berkonsultasi). Kalau ada suatu contoh atau tindakan dari Nabi SAW, yang bukan ibadah, kita boleh aplikasikan dan juga boleh membentuk cara yang baru. Untuk semua urusan baru itu, selama tidak berhubungan dengan ibadah, dan tidak ada alasan untuk mengharamkan, maka kita bebas membentuk tindakan dan cara kerja yang baru yang sesuai dengan kebutuhan kita di dunia ini.
Saya bertanya tentang system Khilafa yang ada di zaman Nabi SAW dan bertanya apakah kita wajib menerapkan sistem yang sama karena kita akan berdosa kalau tidak “mengikuti Nabi SAW”. Dr. Ali Mustafa menjelaskan bahwa kita tidak wajib menggunakan sistem yang sama (artinya, boleh dipakai dan tidak dilarang, tetapi juga tidak wajib bagi kita) karena hal ini bukan termasuk urusan hukum ibadah. Oleh karena itu, Nabi SAW sendiri memberikan izin kepada ummatnya untuk mengatur urusan dunia dengan ilmu yang kita miliki, tanpa membatasi kreativitas kita untuk menciptakan sistem dan cara kerja yang baru.
Tetapi kalau ada orang yang hanya inginkan Khilafa, dan karena belum bisa mendapatkannya dia golput saja dulu, maka, menurut Dr. Ali Mustafa Yaqub, hal itu berarti dia justru “membantu” musuh-musuh Islam dalam keinginan mereka untuk berkuasa di atas ummat Islam. Kita boleh saja membahas sistem khalifa kalau kita semua menginginkannya, tetapi tidak jelas bagaimana kita bisa pindah dari sistem demokrasi yang sudah mengakar pada sistem khilafa. Dan apa yang akan dilakukan kepada semua warga negara non-Muslim yang tiba-tiba dipaksakan terima sistem khilafa padahal mereka inginkan demokrasi terus? Kalau hal seperti itu terjadi, mungkin akan ada perang sipil di sini, dengan orang non-Muslim dibantu oleh negara-negara barat untuk mengembalikan demokrasi di sini. Jadi, yang akan dihasilkan malah perang sipil (barangkali) bukan kejayaan bagi ummat Islam dan bangsa Indonesia.
Kata Dr. Ali Mustafa, di zaman Nabi SAW, wilayah kekuasaan Nabi SAW disebut “Jazirah Arab” sebagai nama suatu wilayah spesifik, dan itu tidak berbeda dengan wilayah yang bernama “Indonesia”. Jadi, kekuasaan kita di dalam wilayah Indonesia tidak berbeda dengan kekuasaan Nabi SAW di dalam Jazirah Arab. Oleh karena itu, di dalam wilayah Indonesia ini, kita bisa menerapkan sistem pemerintahan mana saja yang kita inginkan. Dan kalau rakyat mendukung demokrasi, dan bangsa bisa maju dan diterima oleh semua negara lain, maka tidak ada alasan untuk mengharamkan demokrasi. Dan karena itu, tidak ada alasan untuk memilih golput. Kalau kita masih mau golput saja, tanpa berfikir tentang dampaknya, jangan heran kalau pada akhir tahun ini Presiden, Wapres dan semua Menteri adalah orang non-Muslim!
Semoga informasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Kalau mau berbeda pendapat, silahkan.
Mohon maaf bila ada kesalahan atau kekurangan.
Wallahu a’lam bish-shawab,
Wa billahi taufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
Search This Blog
Labels
alam
(8)
amal
(100)
anak
(299)
anak yatim
(118)
bilingual
(22)
bisnis dan pelayanan
(6)
budaya
(8)
dakwah
(87)
dhuafa
(18)
for fun
(12)
Gene
(222)
guru
(61)
hadiths
(9)
halal-haram
(24)
Hoax dan Rekayasa
(34)
hukum
(68)
hukum islam
(52)
indonesia
(570)
islam
(556)
jakarta
(34)
kekerasan terhadap anak
(357)
kesehatan
(97)
Kisah Dakwah
(10)
Kisah Sedekah
(11)
konsultasi
(11)
kontroversi
(5)
korupsi
(27)
KPK
(16)
Kristen
(14)
lingkungan
(19)
mohon bantuan
(40)
muallaf
(52)
my books
(2)
orang tua
(8)
palestina
(34)
pemerintah
(136)
Pemilu 2009
(63)
pendidikan
(503)
pengumuman
(27)
perang
(10)
perbandingan agama
(11)
pernikahan
(11)
pesantren
(34)
politik
(127)
Politik Indonesia
(53)
Progam Sosial
(60)
puasa
(38)
renungan
(178)
Sejarah
(5)
sekolah
(79)
shalat
(9)
sosial
(321)
tanya-jawab
(15)
taubat
(6)
umum
(13)
Virus Corona
(24)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Demokrasi dalam sebuah kitab karya Syaikh Abdul Qadim Zallum yang menyerukan, "Demokrasi adalah system kufur, haram mengambil, menerapkan, dan mempropagandakannya." (Zallum, 1990).
ReplyDeleteMengapa demokrasi kufur? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir
(2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat
menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak
membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat).
Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas, sebab
menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan
manusia. Firman Allah SWT (artinya) : "Menetapkan hukum hanyalah hak Allah." (QS Al-Anaam : 57)
Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara
frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai
sistem kufur. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia untuk
membuat hukum adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) : "Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maa`idah : 44)
Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain
antara demokrasi dan Islam. Antara lain :
a. Dari segi sumber : demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal
manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-
Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW.
b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama
dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan
menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208).
c. Dari segi standar pengambilan pendapat : demokrasi menggunakan
standar mayoritas. Sedangkan Islam, standar yang dipakai tergantung materi
yang dibahas. Rinciannya : (1) jika materinya menyangkut status hukum
syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara
mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan
keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara
mayoritas.
d. Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat), di mana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas (‘adam al-taqayyud bi syai`in inda al-qiyaam bi al-amal) (Zallum, Kaifa Hudimat al-Khilafah, 1986).
Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya,
Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya,
perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum Syariah Islam (al-ashlu fi
al-afaal al-taqayyud bi al-hukm al-syar’i).
Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan Syariah Islam
itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr
(1990) menegaskan tanpa ragu-ragu : "Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya degan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat
bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara
rinci. Oleh karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk
mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi."
(Sumber: www.khilafah1924.org)
Pentingnya demokratisasi Timur Tengah belakangan ini kerap dilontarkan oleh para pejabat AS, termasuk Presiden Goerge W. Bush. Dalam pidatonya pada Kamis, 6/11/2003, di depan The National Endowment for Democracy, pada ulang tahun badan itu yang ke-20, Bush kembali menekankan pentingnya demokratisasi Timur Tengah.
ReplyDeleteDalam kesempatan itu, ada beberapa argumentasi yang dilontarkan Bush tentang pentingnya demokratisasi di Timur Tengah. Menurutnya, selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), peng-‘ekskpor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS. Dengan menyakinkan, Bush mengatakan, “Demokrasi akan menjangkau seluruh negara-negara Arab pada akhirnya.” (Khilafah. Com Journal, 21/11/2003).
Pertanyaannya, benarkah demokrasi akan menjadi solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini. Apakah demokrasi memberikan kebaikan pada manusia atau sebaliknya?
Menguji Sistem Demokrasi
Apa yang disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan muncul kesadaran baru bagi kaum Muslim tentang kebobrokan sistem kufur ini. Mereka juga bisa berhenti untuk bermimpi dengan harapan-harapan palsu yang ditawarkan sistem ini. Lebih penting lagi, mereka terhindar dari murka Allah Swt. Sebab, saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di tangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah, yakni suara yang mengatasnamakan rakyat.
(1) Demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti itu?
Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapatalis pulalah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat.
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).
Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Merekapun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.
Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki modal.
Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.
Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).
Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
(2) Demokrasi dan kebebasan.
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.
Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Prancis dan beberapa negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi). Kelompok-kelompok Islam, juga atas nama demokrasi, sering dilarang dengan alasan mengancam sekularisme. Untuk memperkuat tuduhan tersebut, kelompok Islam yang dianggap bertentangan dengan sekularisme kemudian dikaitkan dengan tindakan terorisme.
Atas nama perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktik lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.
Fakta lain, kekhawatiran munculnya sistem Islam telah mendorong penguasa sekular dan militer memberangus dan membatalkan kemenangan FIS di Aljazair—sebuah tindakan yang jelas-jelas tidak demokratis. Namun, negara-negara demokrasi seperti Prancis, Inggris, dan AS diam terhadap persoalan ini. Sebab, sistem Islam akan membuat negara-negara imperialis kehilangan kontrol terhadap negara bekas jajahannya itu.
Barat pada umumnya, khususnya AS, juga memuji-muji Turki sebagai model pemerintah ideal bagi umat Islam. Turki dianggap telah mempraktikkan demokrasi Islam. Padahal, di Turki, memakai kerudung saja dilarang dengan alasan bertentangan dengan prinsip sekularisme. Partai Raffah, yang sebenarnya sudah mengakui sekularisme Turki, juga terus ditekan, dan bahkan dibubarkan; lagi-lagi karena dianggap membahayakan sekularisme.
(3) Demokrasi dan kesejahteraan.
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi, tentu saja termasuk Dunia Islam. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktikkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.
Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.
Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara.
(4) Demokrasi dan stabilitas.
Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya. Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.
Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar masyarakat.
Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok. Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan stabilitas?
(5) Demokrasi dan kemajuan.
Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
Bandingkan pula dengan masa kejayaan Islam, yang jelas bukan berdasarkan sistem demokrasi. Betapa banyak karya intelektual yang dihasilkan oleh para pemikir Islam saat itu. Jutaan karya intelektual dihasilkan oleh para ulama besar seperti an-Nawawi, Ibn Taimiyah, Ibn hajar al-Asqalani, dan lainnya. Dunia Islam pun dipenuhi dengan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi, yang diakui oleh banyak pihak. Bandingkan dengan sekarang. Sebaliknyalah yang terjadi, negeri-negeri Islam yang sebagian besar menganut sistem demokrasi mundur dalam bidang sains dan teknologi. Lihat pula intelektualitas para penyeru kebebasan di negeri Islam, berapa banyak dan bagaimana mutu tulisan mereka dibandingkan dengan ulama-ulama Islam terdahulu.
Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.
Demokrasi: Alat Penjajahan Barat
Propaganda demokratisasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akan menguntungkan negara-negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankan penjajahannya atas negeri-negeri Islam.
Demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia, sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt. Demokrasi pun digunakan untuk memerangi kaum Muslim. Atas nama menegakkan demokrasi dan memerangi terorisme, negeri-negeri Islam diserang dan dijajah, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.
Untuk menyebarluaskan demokrasi itu, negara-negara kapitalis melakukan berbagai penipuan dan kebohongan. Ide demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga tampak bagus dan memberikan harapan kepada kaum Muslim. Alih-alih memberikan solusi terhadap persoalan kaum Muslim, sistem demokrasi justru memperparah kondisi kaum Muslim. Penyebab persoalan kaum Muslim justru adalah penerapan sistem demokrasi yang membuat mereka jauh dari aturan-aturan Allah. Padahal, hanya dengan penerapan aturan Islamlah kaum Muslim terbebas dari berbagai persoalan dan penjajahan.
(FARID WADJDI)
Farid Wadjdi
ReplyDeleteDirektur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Jakarta
Upaya menegakkan kembali Khilafah, belakangan kembali muncul menjadi wacana baik dikalangan umat Islam maupun negara-negara Barat. Bahkan pada Desember 2004, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020 diantaranya adalah A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Isu Khilafah pun dikaitkan dengan terorisme, sebagaimana yang terungkap dalam pidato Bush Kamis (6/10/2005) di depan undangan National Endowment of Democracy dan di hadapan The Ronald Reagan Presidential Library dalam kesempatan lain. Untuk pertama kalinya, Bush menyebutkan tujuan dari ideologi Islam ini, yakni mendirikan pemerintahan Islam dunia yang disebut oleh Bush dengan istilah ‘Imperium Islam’ dari Spanyol sampai Indonesia, yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia dan menggantikan pemerintahan moderat di negeri-negeri Islam. Pidato Bush ini mengarah pada institusi politik Islam—Khilafah Islam—yang memang bersifat global dan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. Disisi lain, ada juga kalangan umat Islam yang menganggap perjuangan menegakkan Khilafah adalah mimpin yang tidak bisa diwujudkan. Paling tidak ada beberapa alasan yang sering diungkap tentang kemustahilan berdirinya kembali Khilafah. Argumentasi yang sering dilontarkan adalah realita umat kini yang beragam (pluralitas) dan hidup dibawah naungan nation-state. Ditambah lagi kekhawatirn bahwa AS dan negara Barat lainnya tidak akan membiarkan Khilafah tegak kembali. Tulisan ini akan mengkritisi beberapa argumentasi diatas.
Secara historis meskipun didalamnya terdapat berbagai warna kulit, etnis, ras, dan geografis yang berbeda , Khilafah Islam mampu mempersatukan semua itu. Negara Islam yang perdana , Daulah Islam di Madinah, juga bukanlah komunitas yang homogen. Disana tercatat terdapat berbagai kelompok etnis atau qabilah seperti Auz dan Khazraj. Terdapat pula orang Yahudi dan musyrik , disamping Islam.
Apalagi setelah Khilafah Islam meluas melampai jazirah Arab. Kekuasaan Daulah Khilafah Islam menyebar menyatukan benua besar dunia mulai dari Asia, Afrika, hingga Eropa. Khilafah Islam juga mengingintegrasikan kawasan beragama Kristen ( Byzentium, Ethiopia, Kipti Mesir, Syam dan Bushra); Majusi-Zoroaster (Persia, Bahrain, Oman, Yamamah,Yaman), confusius (China) dan Hindu (India) . Termasuk menyatukan berbagai ras, suka, dan warna kulit : semetik (Arab, Syriani, Kaldean), Hametik (Mesir, Nubia, Berber dan Sudan); Aria (Parsia, Yunani, Spanyol dan India), Tourani (Turki dan Tartar).
Jadi secara konsepsional tidak ada kendala bagi sistem Khilafah untuk menyatukan berbedaan perbedaan. Hal ini disebabkan karakter utama dari ajaran Islam , yakni untuk seluruh manusia (kaaffatan lin-nas) dan memberikan kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Karena ditujukan untuk seluruh manusia , syariah Islam akan mengatur siapapun manusianya. Dan sekaligus siapapun manusia yang menerapkan syariah Islam di dalamnya akan mendapat kebaikan.
Sunni dan Syiah secara historis juga pernah hidup berdampingan di bawah naungan Khilafah. Memang ada persoal internal , ketika masing-masing kelompok lebih mementingkan diri sendiri. Namun, kondisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari provokasi negara-negara Barat. Konflik mulai memanas sejak Inggris masuk tahun 1917. Invasi Amerika Serikat di Irak tahun 2003 juga memberikan sumbangan besar membesarnya konflik ini.
Bukanlah kebetulan kalau strategi untuk memecah-belah Sunni dan Syiah ini juga merupakan rekomendasi A RAND Corporation pada report yang dipublikasikan tahun 2004 dengan judul, “US Strategy in The Muslim World After 9/11”. Report ini secara eksplisit menganjurkan untuk mengekploitasi perbedaan Sunni dan Syiah demi kepentingan AS di kawasan ini.
Mitos bahwa Sunni dan Syiah tidak bisa berkerjasama adalah salah besar. Ketika melawan penjajahan Inggris terutama antara tahun 1918-1919, ada tiga gerakan perlawanan yang saling berkerjasama. Di Najaf terdapat Jam‘iyah an-Nahdhah al-Islamiyah dan Jam‘iyah al-Wathaniyah al-Islamiyah. Di Baghdad koalisi Sunni-Syiah membentuk Haras al-Istiqlal (Garda Kemerdekaan). Sebagai tambahan, Revolusi Irak yang terjadi pada tahun 1920—yang disebut oleh Inggris sebagai pemberontakan—merupakan perlawanan jihad yang digerakkan oleh Sunni maupun Syiah berdasarkan fatwa Imam Shirazi, ulama besar Karbala.
Pentingnya Visi Kenegaraan Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Negara bangsa terbentuk , meskipun terdiri dari berbagai macam suku bangsa bisa bersatu karena meyakini visi kenegaraan yang sama. Sebaliknya disintegrasi bisa terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah akan bersatu. Dan ini bukan utopis karena Rasulullah SAW dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini justru menolong persatuan umat Islam sedunia Ditambah lagi dengan kecendrungan globalisasi dunia membuat ide nation-state semakin dipertanyakan. Kasus penyatuan Eropa , menjadi Masyarakat Eropa menjadi contoh menarik. . Gagasan Uni Eropa ini sebetulnya sudah lama, yakni sejak diluncurkan pada tahun 1950-an. Setelah melalui proses perundingan yang tidak pernah berhenti, ide besar itu baru terwujud pada tahun 1992, yakni ketika perjanjian itu ditandatangani di kota Maastrich, Belanda. hampir 40 tahun kemudian. Pernyatuan ini didorong oleh rasionalitas, bahwa tanpa bersama , Eropa akan mengalami kesulitan bersaing di pasar global , terutama untu berhadapan dengan Amerika Serikat. Pertanyaannya,kalau pemimpin dan masyarakat Eropa secara rasional memilih bersatu, kenapa kita tidak ? Padahal Umat Islam lebih punya dasar syar’i dan historis. Secara syar’i , Kondisi umat Islam yang menyedihkan saat terpecah sejatinya mempercepat keinginan umat untuk bersatu. Terakhir, memang Amerika saat ini kuat. Namun umat Islam lemah, disebabkan karena umat Islam tidak bersatu. Kalaulah umat Islam seluruh dunia bersatu dan menjadi negara adi daya baru, tentu saja AS akan berpikir panjang untuk menyerang Daulah Khilafah. Apalagi kalau mereka mengerti Khilafah akan dipertahankan oleh seluruh umat Islam yang sadar sampai titik darah penghabisan lewat perang semesta. Sangat jarang , invasi negara asing mendapat kemenangan, kalau muncul perlawanan total dari seluruh rakyat yang ingin dijajah. Pengalaman kekalahan AS di Vietnam menunjukkan bahwa perlawanan rakyat (gerilya) akhirya mampu mengusir AS dari negeri itu. Kemenangan Hizbullah di Lebanon Selatan, sejatinya menjadi pelajaran, meskipun persenjataan Israel sangat canggih, ternyata gagal melumpuhkan Hizbutllah. Kembali kuncinya, adanya dukungan rakyat yang penuh terhadap Hizbullah.. Sulitnya menaklukkan grilyawan di Irak dan Afghanistan menjadi contoh baik, bagaimana AS dengan persenjataannya yang super canggih, kewalahan melawan kelompok mujahidin yang senjatanya pas-pasan dan jumlahnya sedikit. Dalam sistem Khilafah, AS akan menghadapi puluhan juta tentara Islam yang siap syahid.
http://farid1924.wordpress.com/2007/09/12/mendirikah-khilafah-mimpi/
PERJUANGAN VIA DEMOKRASI ?
ReplyDelete(Pelajaran dari Krisis Politik Turki)
Farid Wadjdi
Direktur Forum On Islamic World Studies (FIWS)
Pertarungan kubu Islam yang berkuasa dan kelompok oposisi yang sekular semakin memanas menjelang pemilu parlemen Turki yang dipercepat menjadi 22 Juli tahun ini .Situasi tersebut berawal dari pemilihan presiden di parlemen yang nyaris dimenangkan oleh Abdullah Gul kandidat dari AKP yang berkuasa di Turki. Dalam pemilihan putaran pertama di parlemen, Gul hanya kurang 10 suara untuk dapat terpilih sebagai presiden, sehingga perlu dilakukan pemilihan putaran kedua. Bagaimanapun, hasil itu menebar kekhawatiran pro-sekularis. Jika terpilih, Gul dikhawatirkan akan mengganti prinsip sekularisme yang dibangun oleh Mustafa Kemal Ataturk dengan Syariah Islam.
Lepas dari pro kontra di atas, krisis Turki sepertinya kembali menggambarkan standar ganda demokrasi. Dalam sistem demokrasi, seharusnya suara mayoritas di parlemenlah yang menjadi penentu. Seharusnya, tidak ada alasan untuk menghalangi kandidat AKP , Abdullah Gul menjadi presiden. Namun, tuduhan memilik agenda islami tersembunyi, termasuk istrinya yang menggunakan jilbab, telah digunakan untuk menggagalkan kemenangannya. Apalagi militer Turki telah mengeluarkan ancamannya untuk mempertahankan sekulerisme di Turki. Ancaman ini bukan sekedar gertakan, mengingat sudah tiga kali militer melakukan kudeta. kudeta militer. Terakhir pada tahun 1997, militer melakukan kudeta, hingga dijatuhkan putusan mahkamah konstitusi yang membubarkan partai Refah dan melakukan pelarangan aktifitas politik bagi Erbakan. Padahal Partai Refah merupakan pemenang pemilu. Lagi-lagi alasannya, Refah mengancam sekulerisme. Campur tangan militer, jelas sangat tidak demokratis. Mengingat, seharusnya dalam sistem demokrasi, militer dibawah kontrol sipil, bukan sebaliknya.
Masihkah Efektif ?
Dalam konteks internal perjuangan gerakan Islam, krisis Turki kembali memunculkan perdebatan apakah perjuangan via parlemen dengan ikut dalam sistem demokrasi masih efektif. Selama ini pihak yang pro penggunaan sistem demokrasi untuk memperjuangkan syariah Islam berargumentasi, dengan menguasai parlemen atau pemerintahan adalah langkah mudah untuk menerapkan syariah Islam. Logikanya, ikut pemilu, raih suara terbanyak, mayoritas di perlemen, ubah sistem menjadi syariah Islam.
Namun realitasnya, tidaklah sesederhana itu. Di Turki sebelumnya, meskipun menang pemilu, lewat intervensi militer, pemerintahan dibawah pimpinan Partai Raffah pun dibubarkan. Hal yang sama pernah terjadi di Aljazair, meskipun FIS menang secara demokratis, namun lagi-lagi digagalkan oleh militer, yang pro sekuler. Kondisi Turki sekarang pun tidak jauh beda, Partai AKP harus menghadapi tekanan militer dan kelompok sekuler yang curiga kepada agenda islami partai ini. Krisis Turki juga menjadi pelajaran bahwa meskipun partai AKP ingin menampilkan diri sebagai partai sekuler tetap saja kelompok sekuler mencurigai agenda Islaminya.
Padahal Erdogan pimpinan AKP Saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4), secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap sekulerisme. “Demokrasi, sekularisme, dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang, adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang, maka pilar bangunan negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu. Dengan keinginan masyarakat, maka pilar-pilar itu akan hidup selamanya, ” tegasnya. (Eramuslim 18/04/2007)
Segara setelah Segera setelah AKP dideklarasikan, Erdogan pun pernah menegaskan, AKP bukan partai agama, melainkan partai yang ingin menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Turki. Erdogan juga menyatakan sangat mendukung masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa (UE) dan pelaksanaan program Dana Moneter Internasional (IMF) bagi reformasi ekonomi Turki yang mengalami krisis serius selama dua tahun terakhir ini. Lebih dari itu, Erdogan menegaskan, bersedia mempertahankan hubungan saling menguntungkan antara Turki dan Israel. (Kompas; 5/11/2002). Namun tetap saja Erdogan dicurigai dan ditolak oleh kelompok sekuler. Artinya, upaya menutup-nutupi agenda perjuangan penegakan syariah Islam, tidaklah menjamin, kelompok sekuler memberikan kesempatan kepada kelompok Islam untuk menegakkan syariah Islam.
Upaya kelompok sekuler dengan berbagai cara mempertahankan sekulerisme bisa dimengerti (meskipun bukan berarti benar). Sebab, sistem apapun pastilah memiliki imunitas untuk mempertahankan sistemnya. Hal yang sama terjadi dalam sistem demokrasi, silahkan bebas bicara dan menuntut apa saja, asal jangan bertentengan dan menghancurkan sistem demokrasi.
Dua Kunci Penting
Walhasil, realita politik tidaklah berhenti pada tataran doktrin. Meskipun dalam doktrin demokrasi, setiap pihak memiliki hak yang sama untuk menyuarakan apapun, namun bukan berarti elit pendukung demokrasi membiarkan demokrasi diganti dengan sistem Islam. Realita politik, juga tidak melulu bicara hukum. Secara hukum yang menjunjung tinggi supremasi sipil, militer seharusnya tidak boleh mengintervensi proses politik.
Namun, tentu saja militer yang pro sekuler punya kepentingan mempertahankan sistem sekuler. Realita politik akhirnya kembali bersandar pada siapa yang memiliki kekuataan politik yang riil dialah yang berkuasa.Kekuatan riil politik ini pada dasarnya ada pada dua pihak yakni masyarakat dan elit strategis (politisi, cendikiawan, jurnalis, terutama militer) . Siapa dan sistem apa yang mendapat dukungan masyarakat dan elit politik, dialah yang berkuasa. Karena itu yang lebih penting dilakukan oleh gerakan Islam dalam upaya penegakan syariah Islam adalah upaya penyadaran masyarakat dan meraih dukungan elit strategis.
Untuk bisa menyadarkan masyarakat, mau tidak mau, syariah Islam harus secara terbuka disampaikan. Tentu saja akan muncul penolakan, bisa jadi sangat keras. Namun, penolakan itu sangat mungkin muncul karena kekurangpahaman. Disinilah pentingnya dialog dan berdiskusi secara terbuka tentang syariah Islam, sehingga muncul pahamanan yang komprehensip dan benar tentang syariah Islam. Menutupi atau tidak mensuarakan syariah Islam secara terbuka , justru akan menghalangi upaya penyadaran ini.
Hal yang sama harus dilakukan pada elit strategis. Dengan melakukan kontak dan diskusi rutin, kekhawatiran tentang syariah Islam akan bisa dikurangi. Sebab selama ini, yang lebih dominan adalah propaganda negatif terhadap syariah Islam, bukan pembahasan secara obyektif. Harus dijelaskan penerapan syariah Islam, bukanlah merupakan ancaman terhadap bangsa dan negara. Sebaliknya, merupakan solusi bagi persoalan bangsa.
http://farid1924.wordpress.com/2007/09/14/menyoal-perjuangan-via-demokrasi/
Golput Haram, Buah dari Hilangnya Kepercayaan Rakyat!
ReplyDeleteSelama pemilu hanya berkisar pada pemilihan sosok pemimpin atau wakil rakyat saja, jangan salahkan rakyat jika golput di tahun 2009 ini akan meningkat, dan akan meningkat terus pada pemilu periode akan datang
KHILAFAH AKAN BERDIRI TAHUN 2020?
ReplyDeleteDesember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020: (1) Davod World: Digambarkan bahwa 15 tahun ke depan Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.(2) Pax Americana: Dunia masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Pax Americana-nya. (3) A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.(4) Cycle of Fear (Munculnya lingkaran ketakutan).
Di dalam skenario ini, respon agresif pada ancaman teroris mengarah pada pelanggaran atas aturan dan sistem keamanan yang berlaku. Akibatnya, akan lahir Dunia ‘Orwellian’ ketika pada masa depan manusia menjadi budak bagi satu dari tiga negara otoriter.
Salah satu skenario yang cukup kontroversial adalah kemunculan kembali Khilafah Islam. Skenario seperti ini sangat jarang diungkap dalam berbagai analisis dunia internasional. Bahkan banyak kaum Muslim sendiri yang mengatakan, berdirinya Khilafah Islam adalah utopis dan mustahil. Lepas dari apa maksud di balik ditulisnya berbagai skenario ini, paling tidak, kembalinya Khilafah Islam di kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang diperhitungkan kemungkinannya.
Potensi Khilafah yang pertama adalah ideologinya. Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam. Banyak diakui, ajaran Islam tidak sekadar agama ritual dan moral yang sifatnya individual saja; Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan. Sebagai agama yang komprehensif, Islam mampu menjawab dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan manusia. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.
Tidak mengherankan kalau peradaban Islam pernah menjadi salah satu peradaban utama dunia. Daulah Khilafah Islam pernah memegang kendali hampir setengah bagian dunia. Kemampuan memecahkan persoalan kehidupan dan menyatukan dunia inilah yang membuat Khilafah Islam diperhitungkan. Potensi ideologi ini akan menjadi lebih mengkhawatirkan lagi bagi Barat mengingat negeri-negeri Islam memiliki potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat besar. Kalau Khilafah Islam berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang berarti Khilafah Islam juga memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia akan wilayah kaum Muslim pastilah tinggi. Potensi penduduknya juga sangat besar, yakni lebih dari 1,5 miliar di seluruh dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam ini dianggap sebagai tantangan, atau lebih tepatnya lagi, ancaman bagi peradaban Barat sekarang.
Potensi Khilafah Islam untuk memberikan alternatif bagi peradaban Barat pada masa datang akan semakin besar mengingat gagalnya peradaban kapitalis Barat dalam menciptakan dunia yang lebih aman, sejahtera, dan adil. Hal ini tentu akan lebih mendorong umat Islam untuk mendukung Khilafah Islam. Khilafah yang akan tegak akan mampu berhadapan dengan peradaban kapitalis yang mulai membusuk. Khilafah tersebut akan menjadi negara yang kuat dan modern, yang akan mendesain masa depan kaum Muslim setelah mereka terbebas dari dominasi politik, militer, dan ekonomi Barat. Khilafah akan mengintegrasikan kekuatan Islam dengan ilmu pengetahuan. Pengintegrasian tersebut akan menyebabkannya mampu mendahului Barat dalam bidang inovasi, teknologi, dan penemuan-penemuan ilmiah.
Namun, tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalisme yang dominan saat ini, tidak berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan.
Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini. Cara ampuh ketiga yang dilakukan Barat adalah mengaitkan gerakan Islam global yang ingin menegakkan Khilafah dengan terorisme. Dalam laporan NIC yang membuat empat skenario ini, upaya itu tampak jelas saat mengaitkan skenario tegaknya Khilafah dengan surat fiktif dari cucu Osama bin Laden kepada keluarga dekatnya pada tahun 2020 (Lihat: Mapping the Global Future, hlm. 83).
Lepas dari itu, tegaknya kembali Khilafah Islam, insya Allah, akan semakin dekat. Saat ini sebagian umat Islam semakin menyadari kewajiban untuk menegakkan Khilafah Islam. Kesadaran ini sudah menjadi gerakan yang mengglobal di seluruh dunia. Peradaban Kapitalisme pun, sebagaimana bangkai, meskipun ditutupi dengan propaganda kebohongan, tetap saja semakin tercium baunya yang busuk dan menjijikkan. Mereka berbicara HAM, misalnya, tetapi mereka membantai ratusan ribu rakyat sipil di dunia atas nama HAM.
Sebaliknya, upaya Barat untuk melakukan propaganda negatif terhadap syariat Islam dan Khilafah pun tidak akan berhasil. Karena dorongan akidah Islam, kaum Muslim melihat bahwa syariat Islam dan Khilafah adalah kewajiban syariat. Mereka pun melihat secara gamblang bahwa pihak-pihak yang menyerang Khilafah adalah penjajah mereka.
Semua ini membuat kita optimis, bahwa Khilafah akan segera tegak; bukan tahun 2020, tetapi mudah-mudahan dalam waktu yang jauh lebih cepat. Kita harus tetap semangat memperjuangkan tegaknya Khilafah serta siap mengorbankan harta bahkan nyawa kita untuk perjuangan ini. Sebab, kita yakin, semua ini akan dibalas oleh Allah Swt. dengan surga. Allâhu akbar! [FW]
pusing euyyy baca komentar di postingan kali ini....
ReplyDeletepemaparan wacana dan makalah yang panjang lebar..., jd kayak kuliah lagi,
tapi ga ada yang dengan jelas menanggapi pemikiran Dr. ali mustafa,
malah saling adu postingan....ehmm
Assalamualaikum wr wb.
ReplyDeleteDalam Islam suatu pendapat atau argumen yg tidak didukung dengan dalil yang kuat maka argumen tersebut dipandang salah. Meskipun yg mengeluarkan pendapat itu adalah seorang profesor dan ulama akan tetapi tidak menunjukan dalil yg shoheh maka pendapatnya itu dipandang bathil. Kalau kita menerima dan menganggap seorang profesor atau org yg berpendidikan tinggi adalah seorang yg benar maka secara tidak langsung kita telah meninggalkan Al Quran dan Sunnah. Apa bedanya Prof.Dr. Ali Mustofa Yakup dgn Prof.Dr. Siti Musdah Mulia? Bahkan Siti Musdah Mulia malah telah mendapat gelar perhargaan dan kehormatan yg banyak sekali oleh pemerintah AS. Prof. Dr. Ali Mustofa Yakup dan Prof. Dr Siti Musdah mulia adalah satu alumni dari satu fakultas dan universitas yg sama yakni Fakultas Usuludin dan Filsafat UIN Jakarta.
Beliau akan sama aja kedudukannya jika berargumen tanpa menggunakan dalil dari Al Quran da Sunnah.
Saya sendiri masih tercatat sebagai mahasiswa di UIN Jakarta dari fakultas Sains dan Teknologi, sehingga sedikit banyak mengetahui seberapa 'baik' orang2 dari fakultas yg terkenal 'aneh' dgn argumen2 islam yg digali dgn menggunakan kacamata HAM, Gender, Nasionalis, Sekuler, dan Islam yg keindonesiaan.
Untuk itu saya mengajak teman2 untuk kembali membaca ulang apakah ada dalil yg kuat yg mendukung argumen dari Prof.Dr. Ali Mustofa yakup tersebut.
Semoga bermanfaat, dan mhn maaf bila salah kata.
waalaikumsalam Mr. Ardobinardi.
ReplyDeleteRif, aku sependapat dengan argumenmu. Bahwa kita tidak boleh berlepas diri dari Alquran dan Hadist juga Ijma para ulama yg diakui dunia.
bahwa tidaklah mudah memahami alquran dan hadist, sehingga kita butuh orang yang benar-benar mengerti bahasa alquran dan orang yang mengerti ilmu hadist.
Islam engajarkan, jangan melihat siapa yg berbicara tapi dengarkan apa yg diucapkan.
UIN selalu bikin heboh........
semoga kita semua terhindar dari tipu daya setan, yg selalu merayu manusia dengan sangat halus.
Kepada seluruh kaum muslimin, ayo kita belajar islam secara sungguh-sungguh, banyak hal dalam islam yang kita belum pahami, mari sibukkan diri dengan mengkaji alquran dan hadist Insya Allah kita termasuk orang yang beruntung. Ameen
wasalam
Afwan kalau ada yg salah, semoga Allah ta'ala mengampuni khilafku
nit
Assalamualaikum wr wb.
ReplyDeleteMaaf lama tidak OL, tapi giliran OL saya mendapatkan berita seperti ini dr situs warna Islam.
Zulkieflimansyah: Pemilu 2009, PKS Tak Jualan Syari’at Islam
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak akan menjual isu syari’at Islam pada Pemilu 2009. “Ini agar PKS bisa menempatkan orangnya di kekuasaan. Soal syariat Islam dan sebagainya, sudah tidak relevan lagi bagi PKS,” ujar Wakil Ketua Fraksi PKS (FPKS) Zulkieflimansyah, di Jakarta, Jum’at (30/12/2009).
Untuk itu, katanya, pihaknya mengaku siap berkoalisi dengan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurutnya, konstituen PDIP yang unik menjadi daya tarik utama PKS mendekati partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu.
“Kaum nasionalis di PDIP memiliki potret yang agak berbeda dan unik dengan kalangan nasionalis yang ada di partai lain. Oleh karena itu, koalisi PKS-PDIP adalah salah satu agenda besar kami,” lanjut Zul, sapaan akrab peraih doktor ekonomi dari univeritas bergengsi di Inggris.
Ia menambahkan, koalisi dengan PDI, bisa membuat tokoh Islam naik ke tampuk kekuasaan. “Kami sih inginnya, bagaimana agar bisa berkoalisi dengan PDIP, tapi kami yang menang,” kata Zul.”Terus terang, bagi PKS, lebih menarik kalau misalnya Pramono Anung berpasangan dengan Hidayat Nurwahid yang keduanya merupakan tokoh-tokoh muda. Kalkulasi politiknya pun lebih mudah.”
Berkoalisi dengan PDIP, aku dia, akan mempercepat tercapainya dua agenda besar PKS. Pertama, PKS ingin mendudukkan tokoh Islam di pusat kekuasaan. “Tujuannya adalah untuk memberantas radikalisme Islam. Karena siapapun yang sudah merasakan susahnya memimpin, akan mengerti betapa salahnya akar radikalisme,” kata Zul.
Agenda kedua adalah melakukan reformasi umat Islam. “PKS bukan semata-mata partai politik. PKS sekaligus sebuah gerakan moral yang tujuan pendiriannya adalah untuk mempercepat reformasi internal di kalangan umat Islam,”tandasnya. (WarnaIslam, 30/01/09)
http://warnaislam.com/berita/negeri/2009/1/30/66000/Zulkieflimansyah_Pemilu_2009_PKS_Tak_Jualan_Syariat_Islam.htm
Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum wr wb.
ardobinardi.blogspot.com
Assalamu'alaikum Ardo.
ReplyDeleteTerimakasih loh untuk informasinya.
Wah issue Pemilu kayaknya bener2 hangat di blog ini. Seru juga.
Aku kategori awam banget mengenai politik, pernah melihat Zulkieflimansyah di Metro TV. Cuman kalo dia berungkapan seperti diatas "Pemilu 2009 : PKS Tak Jualan Syariat Islam", nah buat aku yg tergolong dalam kategori awam ini, aku TIDAK kepikir untuk mengartikan bahwa ungkapan tersebut berarti Sama Dengan PKS Tidak Menerapkan Syariat Islam heheh.
Blak2an aja ya, for time being kayaknya PKS masih the one and oly choice. Tapi itu buat saya loh, yang tidak akan memilih golput di pemilu nanti. Insya Allah.
Yah namanya juga usaha kan. Siapa yg tidak gemes, pengen banget melihat terjadi perubahan menuju kebaikan di negri yang rupawan ini. Kita berusaha sesuai yang kita bisa, untuk selanjutnya biar Allah SWT yang menentukan.
Tapi kalo dari awal, pakemnya memang tidak interest dgn demokrasi dsb... yah itu pilihan sebagaimana pilihan2 hidup lainnya. Kan tidak ada paksaan bahkan dalam urusan agama sekalipun, apalagi untuk hal seperti ini.
Maaf kalo ada yang tidak sepakat dan tidak berkenan.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
irma
Saya pernah membaca tentang Golput ..!!
ReplyDeleteKetika angka Golput mencapai 41% artinya lebih dari 40% maka KUDETA Sah untuk dilaksanakan, karena Pemerintah di anggap gagal demokrasi Dan juga pemerintah atau hasil pemilihan adalah sebuah kegagalan demokrasi. (DASAR-DASAR DEMOKRASI)
(Ilmu Manajemen Administrasi Negara)
Jika sesuai kata Dr. Ali Mustafa Yakub, bahwa jika Islam Golput maka kemenangan akan di kuasai oleh Non muslim. Padahal jika muslim memilih golput, otomatis Demokrasi di anggap gagal karena jelas jumlah Islam di Indonesia lebih dari 41%<.
Permasalahan inilah sebenarnya yang menjadi polemik, ketika Kudeta terjadi atas negara akan dalam kondisi yang darurat.
Kudeta sebagai solusi dari Gagal Demokrasi hanya bisa dilakukan oleh kekuatan Militer untuk mengamankan negara.