Assalamu’alaikum wr.wb.,
Di dalam sebuah Facebook group yang saya ikuti, seringkali
ada orang yang mengutip hadiths atau ayat. Dengan jelas dan tegas, mereka
mengatakan “Ada hadithsnya!” lalu dikutip hadithsnya untuk mendukung
argumentasi mereka. Atau “Ada ayatnya” lalu dikutip ayatnya.
Biasanya,
apa yang disampaikan memang sangat benar sekali, dan penjelasan juga bagus dan
benar. Ayat itu benar ada, dan memang bisa digunakan untuk memperkuat suatu
pendapat atau argumentasi karena memang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
ulama dan ahli tafsir. Begitu juga hadithsnya karena hadiths itu memang ada,
sahih dan sangat bisa digunakan dengan cara tersebut. Ini merupakan ilmu Islam
yang benar, yang kalau ditanyakan kepada para ustadz dan kyai akan dibenarkan
juga karena sesuai dengan apa yang mereka ajarkan.
Tetapi kadang juga, ada orang yang menyampaikan pendapat
yang belum tentu disetujui semua orang, atau pendapat yang tidak diyakini
secara umum oleh ummat Islam. Orang
itu mengatakan kita semua harus meyakini bahwa X itu wajib, atau X itu haram atau makna dari suatu keadaan adalah X.
Lalu dikutip ayat atau hadiths. Setelah dibaca, kalau dari isi teksnya,
sepertinya memang betul. Ayat dan hadiths tersebut tidak diragukan
kebenarannya, dan teks sudah jelas di depan mata dengan pernyataan yang sepertinya
sederhana.
Masalahnya cuma satu. Ayat atau hadiths tersebut punya
makna yang lain, yang tidak bisa dipahami dari sekedar membaca teksnya saja. Kalau
sebatas baca terjemahan dalam bahasa Indonesia, “sepertinya” jelas dan mudah
dipahami. Tetapi kalau bertanya kepada seorang ustadz yang punya ilmu yang baik,
maka dia mungkin akan senyum dan mengatakan, “Mohon maaf, tetapi anda salah
paham.”
Yang telah terjadi adalah suatu teks (ayat atau hadiths) yang
mengandung kalimat yang jelas dan sederhana dipahami secara TEKSTUAL saja,
tetapi belum tentu punya makna yang juga jelas dan sederhana. Bisa juga teks
itu punya makna lebih dari satu, dan bisa juga punya makna yang hanya bisa
dipahami setelah diteliti KONTEKS-nya dan dibandingkan lagi dengan ayat dan hadiths
yang juga membahas topik yang sama.
Dulu, saat saya masuk Islam, saya dapat suatu rahmat yang
besar dari Allah dalam bentuk guru saya KH Masyhuri Syahid dari MUI. Setelah
mulai membahas agama dengan Pak Kyai, dan saya menunjukan sikap tertarik pada bidang
fiqih, Pak Kyai mulai mengajar saya secara rutin. Saya ingat sekali salah satu
pelajaran pertama dari Pak Kyai berupa sebuah peringatan. Dia menegaskan bahwa
orang awam seperti saya (yang masih muallaf saat itu) sama sekali tidak boleh
membaca terjemahan Al Qur'an, atau hadiths, lalu mengatakan pada diri sendiri,
“Saya sudah baca, saya sudah paham!” Sikap
itu bisa menjadi hal yang
berbahaya dalam proses belajar agama.
Pak Kyai Masyhuri menegaskan lagi, bahwa Al Qur'an dan
hadiths HANYA bisa dipahami lewat bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. Dan lebih
dari itu, sangat penting untuk memeriksa KONTEKS dari sebuah ayat atau hadiths.
Kalau sebatas membaca teks terjemahan, dan merasa paham, maka itu membuka suatu
pintu yang sangat berbahaya bagi semua orang Muslim yang masih awam. Kadang, sebuah kalimat
bisa berubah sekali di dalam konteks yang berbeda. Jadi, kalau kita baca
terjemahan, di mana sangat mungkin maknanya sudah berubah sedikit sekali dari
bahasa aslinya, dan setelah itu, kita juga tidak peduli pada konteksnya, maka
harus siap-siap menjadi keliru dan salah paham.
Jadi saya diajarkan seperti itu. Kalau mau paham dengan
benar, maka harus ada proses yang benar. Pertama, kita harus bertanya, “Kata-kata
apa yang digunakan di dalam bahasa Arab?” dan bukan semata-mata melihat terjemahan saja.
Dan kalau belum bisa berbahasa Arab, maka harus bertanya kepada seorang ustadz
yang mengerti. Kedua, KONTEKS-nya apa pada saat ayat ini turun, atau apa yang
sedang terjadi pada saat Nabi mengucapkan kalimat yang menjadi hadiths ini?
Kalau bahasa Arab tidak dipahami, dan konteks tidak dipedulikan, maka dengan
sangat mudah bisa terjadi PERUBAHAN MAKNA.
Dan ini yang sudah saya saksikan beberapa kali di dalam group Facebook tersebut, dan juga di beberapa tempat yang lain.
Orang datang dan menyampaikan pendapat. Lalu setelah ada yang berprotes sedikit (“Masa seperti itu Pak?”),
orang itu berusaha untuk membuktikan kebenaran dari pendapatnya. Ayat ada.
Hadiths ada. Lalu disampaikan teks ayat
dan hadiths dalam bahasa Indonesia. Kalau
penjelasan yang disampaikan sesuai dengan ajaran para ustadz dan kyai, biasanya
tidak menjadi masalah. Dan orang yang
belum tahu menjadi tahu. Orang yang
belum belajar mendapat
pelajaran. Tetapi kadang yang terjadi adalah yang sebaliknya. Orang yang
berpendapat itu mengikuti pikiran dan keinginan sendiri, lalu pikiran itulah
yang diperkuat dengan ayat dan hadiths. Ini bukan hasil dari pengajian yang dia
ikuti. Ini bukan hasil dari binaan seorang ahli agama. Ini adalah seorang
Muslim, yang dengan ilmu terbatas,
berusaha belajar sendiri dengan baca-baca di internet, lalu melihat sebuah ayat
atau hadiths, memikirkan maknanya,
dan kemudian dia mengucapkan di dalam hatinya:
“SAYA SUDAH BACA, SAYA SUDAH PAHAM!”
Lalu karena dia merasa “sudah paham” maka dengan semangat
yang besar, dia mulai menyebarkan pendapatnya kepada semua orang, untuk
meyakinkan mereka juga. Dia tidak berhenti
sejenak dan bertanya kepada yang lebih ahli, karena dia merasa sudah baca dan paham
sendiri, jadi buat apa harus tanya
pada ustadz?
Hasilnya adalah pendapat dia yang keliru, yang merupakan hasil dari
kesalahpahaman terhadap maknanya di dalam
sebuah ayat atau hadiths,
disebarkan ke mana-mana di dalam beberapa
group dan komunitas. Lalu pada saat orang lain mengatakan tidak setuju atau tidak yakin pendapat itu benar,
dia merasa harus menegor mereka dan suruh mereka setuju. Dia sudah baca, dan
sudah paham, jadi orang lain harus
mengikuti dia dan dan ikut paham seperti dia
juga. Dan hasilnya setelah itu adalah dia mengganggu orang yang
sedang belajar, karena dia menyampaikan pendapat yang keliru dan kemudian mulai
ribut dengan orang yang tidak setuju. Perbuatan seperti ini sudah saya saksikan
di beberapa tempat, berkali-kali dalam sekian tahun terakhir ini.
Kesimpulan saya dari semua ini hanya satu. Kita semua
sebagai orang Muslim
yang mau belajar lebih banyak dan ingin menjadi Muslim yang baik, WAJIB punya guru agama masing-masing. Dan ini juga merupakan salah satu ajaran dari Kyai
Masyhuri kepada saya dulu. Dia mengatakan orang yang bukan ustadz atau kyai,
yang tidak bisa bahasa Arab, dan belum diajarkan ilmu tafsir, sama sekali tidak
sanggup memahami Al Qur'an dan hadiths secara benar. Pasti akan keliru dalam banyak
perkara, karena yang bisa mengerti hanyalah ahli agama yang sudah diajarkan
“cara yang benar untuk mengerti” secara turun-menurun dari zaman Nabi Muhammad
SAW sampai dengan sekarang.
Tidak cukup kita baca sendiri terjemahan ayat dan hadiths dari
internet, KECUALI kita sudah mengikuti pelajaran agama dan pengajian secara rutin dari dulu, dan sudah
punya dasar ilmu agama yang kuat. Untuk orang2 seperti itu, walaupun belum menjadi ustadz,
pada saat mendapatkan ayat atau hadiths yang membuat mereka berfikir-fikir (karena sepertinya ada
makna yang lain) maka mereka
sudah mengerti sendiri ada kewajiban
untuk cek langsung kepada
guru agamanya yang bisa bahasa Arab dan
juga ahli tafsir, untuk mendapatkan pengertian yang lebih
dalam. Jadi orang seperti itu sudah bisa menambahkan
ilmu agama secara “independen” (di luar waktu pengajian) karena bisa membedakan
antara apa yang sesuai dengan ajaran ustadz dan sudah dipahami, dan hal baru
yang belum tentu dipahami secara benar dan perlu dicek lagi. Saya sering ketemu
ibu-ibu pengajian dan bapak-bapak yang ikut pengajian setelah jam kantor yang
seperti ini. Mereka belum menjadi “ahli agama”, tapi dasarnya sudah cukup kuat
untuk tahu kapan mereka sudah paham, dan kapan mereka perlu bertanya lagi. Jadi
insya Allah mereka masih cukup terjaga oleh ilmu yang sudah dikaji selama
bertahun-tahun.
Tetapi bagi orang
awam atau muallaf yang belum kuat ilmu agamanya,
hal seperti itu tidak bisa dilakukan karena bagi mereka, semua ayat dan hadiths
hanya bisa dipahami secara tekstual saja. Itu yang dikatakan “bahaya” oleh guru saya dulu dan sekarang saya sudah melihat buktinya secara
langsung. Ternyata, pelajaran dari Pak Kyai Masyhuri itu sangat betul dan sangat
bermanfaat kalau mau diterima. Jangan sampai ummat Islam, terutama orang awam dan muallaf,
merasa tidak begitu membutuhkan guru agama yang ahli bahasa Arab dan ahli
tafsir, karena cukup kita semua “baca-baca” dari internet. Sikap seperti itu
membuka pintu untuk menjadi keliru
dan salah memahami ajaran agama
Islam.
Semoga
bermanfaat.
Wabillahi
taufik walhidayah,
Wassalamu’alaikum
wr.wb.,
Gene
Netto
Maaf menyela mr Gene, bagaimana dengan Fatwa ulama (Fatawa Lajnah Daimah) apakah bisa dijadikan rujukan secara umum?
ReplyDeleteJangan menghakimi kayak gitu. Org pengen belajar Islam aja udah alhamdulillah. Banyak keterbatasan utk belajar Islam. Yg paling gampang ya dari internet. Soal terjemah, saya yakin 90% dari yg diterjemahkan itu benar. Yg 10% mungkin ada kendala salah arti. Itu wajar, jangan jadikan itu sbg hambatan tuk baca terjemah. Salah dalam belajar itu biasa, ada juga guru yg salah. Normal, karena manusia tempatnya salah. Teman2 jangan takut salah. Allah akan membimbing kita.
ReplyDelete@Irwanto keren
DeleteMohon maaf tapi anda keliru sekali. Menyuruh orang “jangan takut salah”? Justru yang salah itu bisa menjadi penyimpangan besar. Penyimpangan itu kalau menjadi bagian yang diajarkan, maka yang mulai pertama kali dengan penyimpangan itu akan kena dosa besar dari semua orang yang mengikutinya.
Islam tidak bisa dan tidak boleh dipahami dari teks terjemahan. Kalau anda punya guru agama, pasti diajarkan begitu karena begitu yang benar.
Baca satu ayat: bunuhlah orang kafir!
Sudah paham? Tidak perlu belajar konteks dan makna dari guru agama? Sudah baca terjemahan bahasa indonesia dan sudah paham sendiri? Boleh bunuh semua orang non-Muslim?
Baca ayat lain: orang yang berjihad akan masuk sorga!
Sudah paham? Sudah baca terjemahan? Kalau ada teman yang bilang “jihad” = membunuh polisi dan menjatuhkan negara sehingga ada pemerintahan Islam, lalu orang awam ikut, apa sudah benar? Kata orang awam, dia sudah baca teks terjemahan sesuai dengan anjuran anda. Kata anda, baguslah, jangan takut salah. Guru agama tidak perlu. Paham sendiri saja.
Terjemahan Al Qur'an dan tafsir Al Qur'an sangat berbeda.
Ada baiknya anda menyuruh orang awam mencari beberapa guru agama untuk belajar dengan benar, dan bukan suruh semua orang silahkan jalan sendiri tanpa perlu guru. Seharusnya semua Muslim takut salah dan takut menyimpang. Anda menyuruh yang sebaliknya.
Tolong dipikirkan kembali.
mas irwanto..
Deletesaya setuju dengan yang punya blog.. bener bahaya belajar lewat internet.. mungkin ma perlu tanya-tanya dengan seseorang yang ahli dalam bidang agama..
menterjemahkan Al qur'an itu butuh ilmu apalagi menafsirkan..
mungkin jika anda pernah belajar dari pesantren anda akan mengetahui bahayanya belajar ilmu tanpa guru
nah ini yang benar... jangan sembarang share masalah agama, mantap info x (y) , kasian yang baru bisa internet, udah bisa bicara, itu bid'ah ,, itu haram ,, itu syirik ,, eh ternyata gurunya buku + internet,, gurunya tak ada turun temurunnya sampai Rasullullah SAW.
ReplyDelete