Labels

alam (8) amal (101) anak (294) anak yatim (118) bilingual (22) bisnis dan pelayanan (6) budaya (7) dakwah (84) dhuafa (20) for fun (12) Gene (218) guru (57) hadiths (10) halal-haram (24) Hoax dan Rekayasa (34) hukum (68) hukum islam (53) indonesia (563) islam (544) jakarta (34) kekerasan terhadap anak (351) kesehatan (98) Kisah Dakwah (10) Kisah Sedekah (11) konsultasi (11) kontroversi (5) korupsi (27) KPK (16) Kristen (14) lingkungan (19) mohon bantuan (41) muallaf (48) my books (2) orang tua (6) palestina (34) pemerintah (136) Pemilu 2009 (63) pendidikan (497) pengumuman (27) perang (10) perbandingan agama (11) pernikahan (10) pesantren (32) politik (127) Politik Indonesia (53) Progam Sosial (61) puasa (38) renungan (170) Sejarah (5) sekolah (74) shalat (7) sosial (323) tanya-jawab (14) taubat (6) umum (13) Virus Corona (24)

01 June, 2012

Pembinaan Terhadap Muallaf

[Di dalam group muallaf, ada yang merasa saya terlalu tegas dalam membatasi pembahasan dari orang2 yang bukan muallaf, tetapi masuk ke group dengan niat “membina muallaf”. Karena sepertinya banyak orang yang bukan muallaf tidak begitu paham, maka saya kasih penjelasan di bawah ini, agar mereka bisa menyadari bahwa membina muallaf tidak sama dengan membina orang dewasa yang Muslim dari lahir tetapi masih awam. Mungkin ada manfaatnya kalau dibaca teman2 yang lain juga.]

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Saya pernah bicara 8 jam non-stop (kecuali shalat) dengan seorang muallaf yang mau murtad. Dia merasa semua yang dia alami sebagai seorang Muslim terlalu berat, jadi dia mau murtad saja. Setelah bicara lama dengan saya, akhirnya dia banyak menangis dan memilih sendiri untuk tetap sebagai seorang Muslim. Dalam diskusi itu, saya sengaja kasih dia dua pilihan, menjadi Muslim terus atau kembali Kristen, dan menjelaskan hasil yang baik dan buruk dari kedua pilihan itu. Hal itu sengaja dilakukan untuk memancing logika dia jalan. Karena keputusan murtad (setelah dia jelaskan semua alasannya) adalah keputusan dari emosi. Jadi saya harus memaksa dia untuk menganalisa keadaannya. Dan hal itu sangat mudah bagi saya karena setiap kali saya bertanya kepada dia, sebelum dia sempat berfikir dan buka mulut, saya sudah tahu jawabannya akan seperti apa, dan sudah siapkan pertanyaan susulan. Jadi dalam proses diskusi lama itu, saya bisa mengarahkan pikiran dia dari kondisi bingung dan mau putus asa menjadi yakin dan kuat untuk menghadapi semua ujian yang Allah berikan kepadanya.  

 Jadi pembinaan terhadap muallaf ada ilmunya. Orang yang bukan muallaf tidak selalu bisa mengerti hal seperti itu. Satu kalimat dari orang lain bisa dipikirkan berhari-hari atau berbulan2, karena si muallaf menjadi bingung dan bertanya, “Apa saya seorang Muslim yang baik? Apa ibadah saya diterima, walaupun ada banyak kesalahan di dalamnya?” Dan seterusnya.
Orang Muslim (kadang termasuk ustadz juga) yang bukan dari latar belakang muallaf merasa bebas “menyampaikan ilmu” kepada seorang muallaf. Tetapi mereka tidak sadar efek samping yang bisa muncul tanpa sepengetahuan dia di dalam hati si muallaf.

Karena saya sudah pernah lewati proses yang sama, dan insya Allah sudah mengerti “ilmu pembinaan muallaf” maka saya lebih utamakan apa saja yang baik dan bermanfaat bagi muallaf. Kalau ada orang yang “mengganggu” proses itu, maka saya bersikap seperti guru TK yang melihat anaknya diganggu oleh orang lain. Jadi saya kadang merasa harus tegas (tapi tidak selalu).

Banyak orang merasa bahwa guru yang baik adalah orang yang selalu dibutuhkan oleh muridnya. Itu persepsi yang sangat umum di sini, tetapi itu juga sangat salah. Saya seorang guru yang memiliki kualifikasi (S1 di bidang pendidikan), dengan 15 tahun pengalaman mengajar, dan juga seorang pelatih guru. Saya dulu diajarkan dan sekarang juga percaya sendiri bahwa di dunia pendidikan, seorang guru yang baik adalah guru yang bisa menjadikan dirinya “tidak dibutuhkan lagi” oleh muridnya.

Semua manusia akan wafat, termasuk guru kita. Jadi kalau murid selalu membutuhkan guru, apa yang mereka bisa lakukan pada saat gurunya wafat? Mereka akan mengalami kesulitan. Jadi guru yang baik akan berusaha untuk membina muridnya, sampai mereka bisa menjadi mandiri dan tidak perlu guru itu lagi. Dan itu juga tujuan saya di group Muallaf Indonesia. Saya akan senang sekali kalau ada seorang Muslim” (atau mantan muallaf) yang kirim email ke saya dan mengatakan ilmu di Muallaf Indonesia sudah terlalu mudah bagi dia, karena sudah dipahami semua. Jadi dia tidak merasa sebagai “muallaf” lagi tetapi merasa sebagai seorang Muslim yang sama seperti orang yang lahir dalam Islam. Dan dia sudah ikut pengajian di beberapa tempat, punya beberapa guru agama, sudah mengerti dasar2 fiqih dan tafsir. Dan oleh karena itu, dia merasa tidak perlu ikut Muallaf Indonesia lagi karena dia butuh ilmu yang lebih tinggi dari guru yang lain.

Sebagai gurunya (pembina muallaf) saya hanya bisa merasa berhasil kalau hal itu terjadi. Selama orang yang sama masih datang ke Muallaf Indonesia terus, sampai bertahun2, dan masih merasa ilmunya mimim dan sering bingung, maka saya merasa belum berhasil sebagai gurunya. Jadi tujuan saya adalah untuk kosongkan group ini dari muallaf, karena semua “orang Muslim” itu akan pindah ke tempat yang ilmunya lebih tinggi. Dan setelah itu, kita akan terima muallaf yang baru. (Tapi kalau orang lama mau tetap di sini sebagai pembina, juga boleh!)

Jadi kepada teman2 yang mungkin belum mengerti banyak tentang cara membina muallaf, lebih baik mengikuti arus yang sudah ada, karena dibentuk dengan tujuan yang jelas. Bisa saja anda “benar” dan ilmu yang ingin anda sampaikan “benar” dari guru agama yang juga “benar” tetapi tidak secara automatis berarti hal itu baik dan bermanfaat untuk disampaikan kepada para muallaf pada saat ini. Semoga bisa dipahami.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...