Assalamu’alaikum wr.wb.,
Minggu kemarin saya berbincang dengan seorang anak SMA Kelas
2, di Jakarta. Dia jelaskan bahwa dia anak IPA. Saya tahu semua kelas di SMA
dibagi antara IPA dan IPS, tapi sebelumnya tidak terlalu sadari maknanya.
Ternyata, dia harus ambil semua mata pelajaran yang tidak diinginkan dan tidak
dibutuhkan. Contohnya, Kimia. Dia tidak ingin ikut kelas kimia, dan tidak butuh
di masa depan (karena punya rencana karir yang tidak membutuhkan kimia). Tapi
karena masuk aliran IPA, jadi wajib. Banyak siswa lain juga begitu. Tidak mau
ikut Kimia, tapi wajib.
Saya tanya suasana kelas seperti apa (karena penuh dengan
anak yang tidak mau ikut kimia). Dia bilang banyak anak tidur saja saat kimia.
Dan guru sudah jenuh, karena tahu anak tidak mau belajar, tapi guru juga
terpaksa mengajar mereka. Jadi guru sudah stress sendiri dan sering marah, dan
hanya mau mengajar dari buku teks saja, tanpa banyak perubahan. Eksperimen
kimia tidak ada (tidak ada lab), jadi yang diberikan hanya soal dalam buku,
banyak rumusan yang harus dihafalkan dan banyak PR yang bikin siswa lebih jenuh
lagi.
Lalu dia bercerita tentang kelas Mandarin. Saya bertanya
kenapa ikut Mandarin, karena dia sudah bilang tidak suka, jenuh, dan tidak mau
diikuti. Katanya wajib juga dari sekolah. Katanya hampir semua anak di kelas
itu tidak mau ambil Mandarin, jadi kebanyakan tidur saja di kelas itu. Kelas Mandarin
jadi kesempatan tidur buat banyak siswa, karena semuanya harus masuk jam 6.30
pagi (tidak boleh telat, walaupun 2 minit), sampai jam 2.30, ditambah les
sampai jam 8 malam, ditambah PR sekian jam. Siapa yang tidak mau tidur dalam
kelas Mandarin kalau setiap hari mengadapi jadwal begitu untuk 3 tahun?
Lalu dia ceritakan CCTV yang ada di setiap kelas. Kok ada
CCTV? Sudah wajib masuk jam 6.30 pagi, sampai larut malam (karena ada les dan
PR), dan sepanjang waktu sekolah dipantau terus oleh guru lewat CCTV. Jadi
kalau ada yang berdiri di atas meja (saat bercanda sama teman) langsung ditegor
(ada speaker di setiap kelas) dan disuruh turun.
Saya bertanya kepada dia, “Apa bedanya antara kondisi
sekolah kamu dan PENJARA?”
Dia diam, berpikir lama dan tidak bisa menjawab…
Mungkin bedanya adalah dia boleh pulang pada jam 3 sore, tapi
dengan syarat wajib kembali besok pagi untuk ulangi semua pelajaran yang tidak
disenangi sekali lagi, dan dipantau terus oleh sipir, ehh, maaf, guru sekolah.
(Definisi “penyiksaan mental” apa ya?)
Saya ceritakan bahwa waktu saya di SMA di Selandia Baru, di
kelas 11 (atau SMA kelas 2) ada sekitar 8 pelajaran (semuanya pilihan, selain
matematika dan bahasa Inggris saja yang wajib), dan di kelas 12 ada hanya 5
mata pelajaran saja, semuanya pilihan saya. Dia sepertinya mau pingsan, dan
bertanya apa dia dan semua teman bisa pindah ke Selandia Baru saja, karena
kondisi sekolah di Indonesia membuat dia ingin putus asa.
Yang membuat saya heran adalah 3 juta guru, 50 juta siswa dan 100 juta orang tua masih bisa
diam saja dan “pasrah”, walaupun mungkin semuanya tidak suka kondisi seperti
itu. Puluhan atau ratusan triliun rupiah bisa dikorupsi oleh PNS dan pejabat
setiap tahun, dan rakyat masih diam saja. Tapi untuk bangun puluhan ribu
sekolah baru, dengan kondisi dan fasilitas lebih baik, pemerintah selalu mengatakan
“tidak ada uang”. Dan rakyat diam dan terima saja.
Kalau sekolah2 bisa diperluas, dan ditambahkan jumlah kelas,
dan dibangun puluhan ribu sekolah baru, maka bisa dibuat sistem “moving class”,
agar siswa mengikuti kelas pilihan mereka, dan bukan mengikuti “satu paket”
yang penuh dengan kelas2 yang tidak diinginkan, dan tidak bermanfaat untuk
rencana karir mereka. Dan juga akan ada uang untuk pelatihan guru, agar guru
Indonesia bisa mencapai atau melebihi kualitas dunia. Saat ini, sistem
pendidikan Indonesia termasuk paling buruk di dunia (dalam hasil penelitian
internasional).
Kapan sistem pendidikan di sini bisa berubah? Kapan rakyat
Indonesia akan mulai peduli, daripada “cari selamat” untuk anaknya sendiri?
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene Netto
terima kasih Pak Gene Netto atas kritik dan komparasi pendidikan di Indonesia dengan di Selandia BAru. Semoga praktisi pendidikan di Indonesia cepat sadar dan segera mengambil langkah yang tepat agar Indonesia memiliki pendidikan yang baik. Jika murid saja sudah tidak minat, bagaimana ia bisa menerima pelajaran dengan optimal.
ReplyDeleteBosan rasanya mendapati bahwa nilai mereka bagus-bagus namun ketika 6 bulan ditanya lagi, mereka tidak ingat apa-apa (tidak ingat sama apa yang telah mereka pelajari). Saya pikir esensi belajar adalah, perbaikan diri, bukannya sesuatu yang dilihat lalu dilupakan.